Anda di halaman 1dari 28

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................ 1

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................... 3

BAB II CEDERA KEPALA ........................................................................................................ 4

II.1 Definisi .................................................................................................................. 4


II.2 Anatomi ................................................................................................................... 4
II.3 Aspek fisiologis cedera kepala ................................................................................ 7
II.4 Patofisiologi cedera kepala..................................................................................... 8
II.5 Klasifikasi cedera kepala......................................................................................... 9
II.6 Gejala Klinis............................................................................................................ 18
II.7 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................... 21
II.8 Penatalaksanaan ...................................................................................................... 22
II.9 Prognosis ................................................................................................................. 25

BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 27

1
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lapisan kulit kepala ............................................................................................. 4,5


Gambar 2. Anatomi otak....................................................................................................... 7
Gambar 3. Contoh Cedera kepala......................................................................................... 9,10
Gambar 4. glasgow coma scale............................................................................................ 11
Gambar 4. CT-Scan Epidural Hematom ................................................................................ 13
Gambar 5. CT-Scan Subdural Hematom ............................................................................... 14
Gambar 6. CT-Scan SDH Akut dan SDH Kronis...................................................................... 15
Gambar 7. Kontusi dan hematoma intraserebral................................................................... 15
Gambar 8. CT-Scan Cedera Difuse ........................................................................................ 17
Gambar 9. Klasifikasi Le fort ................................................................................................ 18

2
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam
pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar
karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan
usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah,
disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit.80 % di
kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10%termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk
cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.Sebagai
tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi
masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan
tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis pasien
cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.Adapun
pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri,
Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala
ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala
berat.Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan,
peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,anamnesa dan pemeriksaan
fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera
kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI CEDERA KEPALA


Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain
Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan
kerusakankemampuan kognitif dan fungsi fisik.

II.2 ANATOMI KEPALA


a) Kulit Kepala

4
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit
Connective tissue atau jaringan penyambung
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak
Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
Perikranium Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-
anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan
waktu lama untuk mengeluarkannya.

b) Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa
anterior tempat lobus frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

5
c) Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan
ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis.Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera
kepala.
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.

6
d) Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar
14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon(otak
belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu.
Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardio respiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

7
e) Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per
hari.
f) Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
g) Vaskularisasi
Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari
otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

II.3 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA


a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang
selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
penderita. Tekanan intracranial yangtinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang
mengganggu fungsi otak.TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi
dari 20mmHg dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera
kepala,semakin buruk prognosisnya.
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari
tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan
jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br),

8
volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).Vic = V br+ V csf + V bl
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata mean arterial
presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan
memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun
sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan menghilang. Apabila ADO
sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan
yang menetap.

II.4 PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder.Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh prosesak selarasi deselarasi gerakan kepala.

9
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya
disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)dan
otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
BERDASARKAN PATOFISIOLOGI

1. Komosio serebri : tidak ada jaringan otak yang rusak tetapi hanya kehilangan fungsi
otak sesaat (pingsan < 10 mnt) atau amnesia pasca cedera kepala.
2. Kontusio serebri : kerusakan jaringan Otak + pingsan > 10 menit atau terdapat lesi
neurologik yg jelas.
3. Laserasi serebri : kerusakan otak yang luas + robekan duramater + fraktur tulang
Tengkorak terbuka.

10
II.5 KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
a) Mekanisme cedera kepala Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas
cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda
tumpul.Sedang cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.

b) Beratnya cedera Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma


Scale adalah sebagai berikut :

1. GCS 13-15 : Cedera kepala ringan CT scan dilakukan bila ada lucid interval/
riwayat kesadaran menurun. evaluasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral +
tanda-tanda vital.
2. GCS 9-12 : Cedera kepala sedang periksa dan atasi gangguan nafas,
pernafasan dan sirkulasi, pemeriksaan kesadaran, pupil, tanda fokal serebral,
leher, cedera orga lain, CT scan kepala, obsevasi.
3. GCS 3-8 : Cedera kepala berat : Cedera multipel. + perdarahan intrakranial
dengan GCS ringan /sedang.
G

11
c) Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.Fraktur dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone
window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut
antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle
sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervusfasialis (Bernath,
2009) Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi,
lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih
banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20kali pada pasien
yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial
sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat
dirumah sakit untuk pengamatan.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural, dan kontusi (atauhematoma intraserebral). Pasien pada kelompok
cedera otak difusa,secara umum, menunjukkan CT scan normal namun
menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan
klinis.
a) Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang potensial
antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau

12
menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat
robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior.Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5%
darikeseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selaludiingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsung
lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung
denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die),
keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan
pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna
dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion ).
Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan
dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas.

13
b) Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater
dan arakhnoid.SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukansekitar
30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya
vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining . Namun ia juga dapat
berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.Fraktura tengkorak
mungkin ada atau tidak Selain itu, kerusakan
otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanyasangat lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural.Mortalitas umumnya 60%,
namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagimenjadi akut dan kronis.

1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom

14
seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga
menunjukan adanya hematom subdural.

Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang


disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola
tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens,
berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya,
gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini
semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens

3. Kontusi dan hematoma intraserebral.


Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas
terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap
tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma
intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,terdapat zona
peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral
dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di
dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan

15
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada
sisilainnya (countrecoup).Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan
tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

4. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera
kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai
derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan.
Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi
tanpa amnesia.Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde
dan amnesia antegrad.
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita
dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu.defisit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-
gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
dimana pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita
dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu.Penderita
sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap

16
dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.Penderita seringg menunjukan
gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu
diduga akibat cedera aksonal difus dan cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis
tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.

Dalam beberapa referensi, trauma maxillo facial juga termasuk dalam bahasan
cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski
bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu
menjadi pertimbangan.

CEDERA MAXILLOFACIAL
A. Faktur maxilaris Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan
dicirikan oleh:
a) Mobilitas palatum
b) Mobilitas hidung yang menyertai palatum
c) Epistaksis
d) Mobilitas 1/3 wajah bag tengah

Klasifikasi menurut lefort


1. Lefort I
Fraktur melintang rendah pada maxila yang hanya melibatkan palatum,dicirikan oleh
pergeseran arcus dentalis maxila dan palatum,mal oklusi gigi biasanya bisa
terjadi(Boies, 2002).
2. Lefort II

17
Fraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang
jelas. Biasanya mal oklusi gigidan pergeseran pllatum kebelakang.Fraktur end-block
pada palatum dan sepertiga tengah wajah tremasuk hidung.
3. Lefort III
Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah
terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser.

B. Fraktur os zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai
hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcuszygomaticus.
Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporo
Oksipital.

Ada 2 macam fraktur impresi :


1. Impresi fraktur tertutup : akibat pukulan benda keras yg mengakibatkan tulang kepala
melesak kedalam dengan membiarkan tekanan/tidak terhadap parenkim otak tanpa
mengakibatkan robeknya kulit kepala dan hubungan dengan dunia luar.
2. Impresi fraktur terbuka : impresi tulang kepala + robekan kulit kepala dan terjadi
hububungan dengan dunia luar, bila impresi hebat dapat terjadi robekan pada
duramater.
pemeriksaan Fisik dilakukan cermat untuk menentukan operasi segera/ terencana atau
konservatif.

18
II.6 GEJALA KLINIS
Gejala klinis cedera kepala Lesi Intracranial Focal

Epidural hematom

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan
kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering
juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di
observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam
akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera
kepala.

Gejala yang sering tampak :

1. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma


2. Bingung
3. Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5. Nyeri kepala yang hebat
6. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
7. Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
8. Mual
9. Pusing
10. Berkeringat
11. Pucat
12. Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan
epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya
pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun
sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua
pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang
otak.

Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas
tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur

Subdural Hematom

1. Hematoma Subdural Akut

19
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam
foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini
dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.

2. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini
juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status
neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam
beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial
yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

3. Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane
fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada
usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan

20
CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada
bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut
dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan

Intracerebral hematom

1. Sakit kepala mendadak yang eksplosif


2. Fotofobia
3. Mual dan muntah
4. Hilang kesadaran
5. Kejang-kejang
6. Gangguan respiratori
7. Shock

II.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a) Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan
untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin
ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,Luka tembus (tembak/tajam),
Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala
yang menetap, Gejala fokal neurologis,Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto
polos kepala meliputi jangan mendiagnosa foto kepala normal jika foto tersebut tidak
memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dilakukan foto polos
posisi AP/lateraldan oblique.
b) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)

Indikasi CT Scan adalah :


1. Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obatobatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

21
3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah
injuri.
c) MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d) Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e) Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f) X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i) CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
j) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan(oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial
k) Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
l) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.

II.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat.
22
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
a) Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b) Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c) Penurunan tingkat kesadaran
d) Nyeri kepala sedang hingga berat
e) Intoksikasi alkohol atau obat
f) Fraktura tengkorak
g) Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h) Cedera penyerta yang jelas
i) Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j) CT scan abnormal

Terapi medika mentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi,pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat
dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan
operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuro
radiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
a) Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
b) Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
c) Tanda fokal neurologis semakin berat
d) Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
e) Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
f) Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
g) Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
h) Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

23
i) Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)

Standar Terapi

Penatalaksanaan cedera kepala secara umum dengan memperbaiki jalan napas (airway),
pernapasan (breathing) dan sirkulasi pasien, mencegah tidak sampai terjadi hipoventilasi dan
hipovolemia yang dapat menyebabkan secondary brain damage.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 1315)

1. Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan
abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedangberat,
pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur tengkorak, rinorea-otorea,
cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah, tidak mungkin
kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia. Bila tidak memenuhi
kriteria rawat maka pasien dipulangkan dengan diberikan pengertian kemungkinan
kembali ke rumah sakit bila dijumpai tanda-tanda perburukan.
2. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap - 2 jam.
3. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali memang sama
sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-12)

1. Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik.


2. Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi
memburuk dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera
kepala berat.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS <= 8)

1. Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan jangan
banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat disingkirkan.
2. Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi korban agar
tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb
kurang dari 10 gr/dl.

24
3. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan
pemeriksaan batang otak secara periodik.
4. Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada penderita
dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang mencolok.
5. Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 31, furosemide
diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri, berikan anti perdarahan.
6. Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang jika
penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka, rhinorea,
otorea.
7. Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan
gastrointestinal.
8. Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.
9. Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi.
10. Fisioterapi dan rehabilitasi

II.9 PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi
yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik.
Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk
pemulihan dari cedera kepala.
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

25
BAB III
KESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera
primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder
yang terjadi akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer.Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi
beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam
bahasan cedera kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun
merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu
dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau
lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak
mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara,
penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan
dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami
kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan
fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. American college of Surgeons, 1997. Advance Trauma Life Suport . United States
of America: Firs Impression
2. Haryo W et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.Yogyakarta: PustakaCendekia
Press of Yogyakarta
3. David B. 2009. Head Injury.www.e-medicine.com
4. Boies adam. 2002. Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6. Jakarta: EGC.
5. Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua. Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
6. Ghazali Malueka. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
7. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .
SumatraUtara: USU Press.
8. Kluwer wolters. 2009.Trauma and acute care surger. Philadelphia: LippicottWilliams
and Wilkins
9. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 27 November
2007. Pekanbaru.
10. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org
[diakses 29 Oktober 2014]
11. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam :Advanced
Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI,
2004.
12. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :Neurosurgery
2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.
13. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam: Neurosurgery
2nd edition. New York : McGraw Hill, 1996.
14. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological and
Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins, 2003.
15. Findlaw Medical Demonstrative Evidence. Closed head traumatic brain injury.
Http://findlaw.doereport.com [diakses 29 Oktober 2014]
16. Saanin S. Cedera Kepala. Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery. [diakses 29
Oktober 2014]
17. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra
Grafindo, 2005

27
REFERAT
CEDERA KEPALA

Disusun oleh :
Didik Setiyadi 1102009082

Pembimbing :
dr.Joko Nafianto, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RS BHAYANGKARA TK.1 RADEN SAID SUKANTO
APRIL 2015

Anda mungkin juga menyukai