2. Etiologi
Penyebab pasti belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor
yang diduga berperan dapat menyebabkan post partum blues,
diantaranya :
a. Faktor hormonal yang berhubungan dengan perubahan kadar
estrogen, progesterone, prolaktin dan ekstradiol. Penurunan kadar
estrogen setelah melahirkan sangat berpengaruh pada gangguan
emosional pascapartum karena estrogen memiliki efek supresi
aktivitas enzim monoamine aksidase yaitu suatu enzim otak yang
bekerja menginaktifasi noradrenalin dan serotonin yang berperan
dalam perubahan mood dan depresi.
b. Faktor demografi yaitu umur dan paritas.
c. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.
d. Latar belakang psikososial ibu, seperti : tingkat pendidikan, status
perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan
jiwa sebelumnya, social ekonomi serta keadekuatan dukungan
social dari lingkungan (suami, keluarga dan teman). Apakah suami
menginginkan juga kehamilan ini, apakah suami, keluarga
dan teman memberikan dukungan moril (misalnya dengan
membantu pekerjaan rumah tang selama atau berperan sebagai
tempat ibu mengadu/berkeluh-kesah) selama ibu menjalani
kehamilannya atau timbul permasalahan misalnya suami
yang tidak membantu, tidak mau mengerti perasaan istri maupun
persoalan lainnya dengan suami, problem dengan orangtua dan
mertua, problem dengan si sulung.
e. Takut kehilangan bayinya atau kecewa dengan bayinya.
Ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa postpartum
blues tidak berhubungan dengan perubahan hormonal, biokimia
atau kekurangan gizi. Antara 8 % sampai 12 % wanita tidak dapat
menyesuaikan peran sebagai orang tua dan menjadi sangat tertekan
sehingga mencari bantuan dokter. Dengan kata lain para
wanita lebih mungkin mengembangkan depresi postpartum jika
mereka tertekan secara sosial dan emosional serta baru saja
mengalami peristiwa kehidupan yang menekan. Ada juga pendapat
bahwa kemunculan dari postpartum blues ini disebabkan oleh
beberapa faktor dari dalam dan luar individu. Penelitian dari
Dirksen dan De Jonge Andriaansen (1985) menunjukan bahwa
depresi tersebut membawa kondisi yang berbahaya bagi
perkembangan anak dikemudian hari
Etiologi pasti dari depresi postpartum masih belum jelas, namun
berbagai faktor fisiologis dan psikososial telah diinvestigasi. Berikut
beberapa hal yang diduga menjadi etiologi dari depresi postpartum :
a. Neurobiologi postpartum
Mekanisme biologi dari depresi postpartum dipercaya
berhubungan dengan gangguan depresif mayor. Depresi secara
umum merupakan penyakit dengan integritas sirkuit neuron, yang
telah ditunjukkan pada studi dengan pengurangan volume otak
seseorang yang didiagnosa dengan gangguan depresif mayor.
Yang menarik, jumlah volume yang hilang secara langsung
berhubungan dengan lama penyakit. Stres dan depresi bekerja
dengan mengurangi jumlah protein otak yang mencetuskan
pertumbuhan neuron dan formasi sinaps. Dan penyebab
neurobiologi ini berinteraksi dengan kemampuan genetik dan
faktor lingkungan atau psikososial
b. Gangguan Autoimun
Kondisi fisiologis yang cenderung ke kemarahan setelah
kelahiran bayi bisa berasal dari autoimun. Satu penelitiian menduga
bahwa kemarahan ibu berasal dari paparan ibu terhadap berbagai
antigen fetal selama persalinan. Sebagai contoh, tiroiditis
postpartum merupakan suatu kondisi dengan autoantibodi tiroid
yang terdeteksi di plasma diantara 6 minggu hingga 6 bulan
postpartum. Hal tersebut terjadi pada 6-9 % wanita yang tidak
memiliki riwayat penyakit tiroid. Pada sebagian kasus, penyakit ini
muncul dengan fase hipertiroid yang diikuti dengan fase hipotiroid,
atau hanya muncul dengan hipertiroidisme atau hipotiroidisme saja.
Beberapa studi telah mencoba untuk menentukan kejadian depresi
yang mana yang berhubungan dengan penyakit tiroid itu sendiri.
Belum ada kesimpulan pasti yang berhasil didapatkan, namun
depresi postpartum mungkin berdasarkan tiroid.
c. Gangguan Tidur dan Ritme Sirkardian
Sedikitnya 5 studi sejak tahun 1968 telah menduga bahwa
gangguan tidur dapat menyebabkan depresi postpartum. Ibu baru
tidak selalu dapat tidur ketika mereka membutuhkannya, karena
mereka harus menjaga bayinya. Kecenderungan wanita tersebut
untuk menjadi depresi mungkin disebabkan oleh kelelahan atau
fatique. Melatonin adalah hormon tidur yang dihasilkan di kelenjar
pineal otak. Konsentrasinya dalam plasma akan mulai meningkat di
sekitar waktu tidur dan memuncak pada pukul 3 dini hari, dan
selanjutnya akan menurun hingga hampir tidak terdeteksi pada saat
bangun. Paparan terhadap cahaya, terutama cahaya biru dengan
panjang gelombang sekitar 470 nm akan menghambat pelepasan
melatonin.
3. Pathway
4. Tanda dan Gejala
Gejala post partum blues (Novak dan Broom, 2009) yaitu suatu
keadaan yang tidak dapat dijelaskan, merasa sedih, mudah tersinggung,
gangguan pada nafsu makan dan tidur. Selanjutnya dengan kata lain,
ciri-ciri post partum blues menurut Young dan Ehrhardt (dalam Strong
dan Devault, 2009) diantaranya:
a. Perubahan keadaan dan suasana hati ibu yang bergantian dan sulit
diprediksi seperti menangis, kelelahan, mudah tersinggung,
kadang-kadang mengalami kebingungan ringan atau mudah lupa.
b. Pola tidur yang tidak teratur karena kebutuhan bayi yang baru
dilahirkannya, ketidaknyamanan karena kelahiran anak, dan
perasaan asing terhadap lingkungan tempat bersalin.
c. Merasa kesepian, jauh dari keluarga, menyalahkan diri sendiri
karena suasana hati yang terus berubah-ubah.
d. Kehilangan kontrol terhadap kehidupannya karena ketergantungan
bayi yang baru dilahirkannya.
6. Pemeriksaan Penunjang
Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa
secara langsung post partum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan
beberapa simtom yang tampak dapat disimpulkan sebagai gangguan
depresi post partum blues bila memenuhi kriteria gejala yang ada.
Kekurangan hormon tyroid yang ditemukan pada individu yang
mengalami kelelahan luar biasa (fatigue) ditemukan juga pada ibu yang
mengalami post partum blues mempunyai jumlah kadar tyroid yang
sangat rendah.
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah
merupakan acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk
skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner dengan sebagai alat
bantu. Endinburgh Posnatal Depression Scale (EPDS) merupakan
kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intensitas
perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca salin.
Pertanyaanpertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan,
kecemasan, perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat
pada post-partum blues . Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh)
pertanyaan, di mana setiap pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan
jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai
dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin saat itu.
Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat
diselesaikan dalam waktu 5 menit. Cox et. Al., mendapati bahwa nilai
skoring lebih besar dari 12 (dua belas) memiliki sensitifitas 86% dan
nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis kejadian post-partum
blues. EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa negara seperti
Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. EPDS dapat
dipergunakan dalam minggu pertama pasca salin dan bila hasilnya
meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (D.0077)
b. Risiko Defisit Nutrisi b.d Faktor Psikologis d.d stres,
keengganan untuk makan (D.0032)
c. Berduka b.d antisipasi kehilangan d.d menangis, pola tidur
berubah, tidak mampu berkonsentrasi (D.0081)
3. Intervensi Keperawatan
No SDKI SLKI SIKI
1 Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Observasi
pencedera fisiologis perawatan diharapkan 1. Identifikasi lokasi,
(D.0077) Nyeri ekspektasi karakteristik, durasi,
menurun atau hilang frekuensi, kualitas, intensitas
[L.08066 ] dengan nyeri
Kriteria hasil: 2. Identifikasi skala nyeri
1. Meringis menurun 3. Identifikasi respon nyeri non
2. Sikap protektif verbal
menurun 4. Identifikasi faktor yang
3. Gelisah menurun memperberat dan
memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
9. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis:
TENS, hipnosis, terapi
musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis:
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5. Anjurkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
2 Risiko Defisit Setelah dilakukan Manajemen gangguan makan
Nutrisi b.d Faktor perawatan diharapkan Observasi
Psikologis d.d stres, status nutrisi Monitor asupan dan
keengganan untuk terpenuhi, dengan keluarnya makanan dan
makan (D.0032) Kriteria hasil: cairan serta kebutuhan kalori
1. Porsi makanan yang Terapeutik
dihabiskan 1. Timbang berat badan
2. IMT normal secara rutin
3. Frekuensi makan
2. Diskusikan perilaku
meningkat
makan dan jumlah aktivitas
4. Nafsu makan
membaik fisik (termasuk olahraga)
5. Perasaan cepat yang sesuai
kenyang 3. Lakukan kontak perilaku
(mis.target berat badan,
tanggung jawab perilaku)
4. Didampingi ke kamar
mandi untuk pengamatan
perilaku memuntahkan
kembali makanan
5. Berikan penguatan positif
terhadap keberhasilan target
dan perubahan perilaku
6. Berikan konsekuensi jika
tidak mencapai target sesuai
kontrak
7. Rencanakan program
pengobatan untuk perawatan
dirumah
(mis.medis,konseling)
Edukasi
1. Anjurkan membuat
catatan harian tentang
perasaan dan situai pemicu
pengeluaran makanan
(mis.pengeluaran yang
disengaja, muntah, aktivitas
berlebihan)
2. Ajarkan pengaturan diet
yang tepat
3. Ajarkan keterampilan
koping untuk penyelesaian
maslah perilaku makan
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang target berat
badan, kebutuhan kalori dan
pilihan makanan
Manajemen Nutrisi
Observasi
1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan
intoleransi makanan
3. Identifikasi makanan yang
disukai
4. Identifikasi kebutuhan kalori
dan jenis nutrien
5. Identifikasi perlunya
penggunaan selang
nasogastrik
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygine sebelum
makan, jika perlu
2. Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis: piramida
makanan)
3. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang sesuai
4. Berikan makanan yang tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
5. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
6. Berikan suplemen makanan,
jika perlu
7. Hentikan pemberian makanan
melalui selang nasogatrik jika
asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis: pereda nyeri,
antlemetik), jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu
Promosi Berat Badan
Observasi
1. Identifikasi kemungkinan
penyebab BB kurang
2. Monitor adanya mual dan
muntah
Terapeutik
1. Sediakan makanan yang
tepat sesuai kondisi pasien
2. Berikan pujian kepada
pasien untuk peningkatan
yang dicapai
Edukasi
Jelaskan jenis makanan yg
bergizi tinggi, terjangkau
3 Berduka b.d Setelah dilakukan 1. Tentukan pada tahap mana
antisipasi kehilangan perawatan: pasien terfiksasi dalam tahap
d.d menangis, pola 1. Klien mampu berduka. Identifikasi
tidur berubah, tidak menyatakan secara perilaku-perilaku yang
mampu verbal perilaku- berhubungan dengan tahap
berkonsentrasi perilaku yang ini.
(D.0081) berhubungan dengan 2. Kembangkan hubungan
tahap-tahap berduka saling percaya dengan klien.
2. Klien mampu Perlihatkan empati dan
mengakui posisinya perhatian. Jujur dan tepati
sendiri dalam proses semua janji.
berduka 3. Perlihatkan sikap menerima
3. Klien mampu dan membolehkan klien
secara mandiri untuk mengekspresikan
menentukan perasaannya secara terbuka.
pemecahan masalah 4. Dorong klien untuk
berhubungan dengan mengekspresikan rasa marah.
kehilangan yang Jangan defensif jika
dialaminya permulaan ekspresi
4. Klien tidak kemarahan dipindahkan
terlalu lama kepada perawat. Bantu
mengekspresikan pasien mengeksplorasi
emosi-emosi dan perasaan marahnya.
perilaku-perilaku 5. Bantu klien untuk
yang berlebihan mengeluarkan kemarahan
berhubungan dengan yang terpendam dengan
disfungsi berduka berpartisipasi dalam aktivitas
dan mampu positif motorik kasar semisal
melaksanakan joging atau olahraga lainnya.
aktivitas 6. Ajarkan klien tentang tahap-
kehidupannya tahap berduka yang normal
sehari-hari secara dan perilaku yang
mandiri berhubungan dengan seriap
tahap.
7. Bantu klien dalam
memecahkan masalahnya
sebagau usaha untuk
menentukan metode-metode
koping yang lebih adaptif
terhadap pengalaman
kehilangan. Berikan umpan
balik positif untuk setiap
identifikasi dan strategi
dalam pembuatan keputusan.
DAFTAR PUSTAKA
Ling, F. W, dan Duff, P. 2001. Obstetrics and Gynecology. New York : Mc Graw
– Hill Companies.
Malonda, B. F. 1999. Sosial – Budaya, Gangguan Emosi dan Fisik Pasca Salin
Masyarakat Pedesaan Sumedang. Diakses 29 September 2004.
http://www.tempo.co.id/ medika arsip/ 122002/ art-2.htm.
Novak, J.C., Broom, B.L. 2009. Maternal and Child Health Nursing. Missouri:
Mosby,Inc.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia