Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

POST PARTUM BLUES

A. Konsep Dasar Teori


1. Pengertian
Postpartum blues adalah depresi ringan dan sepintas yang
umumnya terjadi dalam minggu pertama atau lebih sesudah melahirkan
(Marshal, 2004). Menurut Jan Riordan dan Kathleen (2001),
mendefinisikan bahwa post partum blues adalah “Kesedihan”
postpartum : tangisan, perubahan suasana hati yang mana lebih sering
terjadi pada anak pertama dan bersifat sementara pada minggu pertama
dan kedua. Dapat juga diartikan keadaan depresi secara fisik maupun
psikis pada ibu yang dapat terjadi setelah beberapa hari kelahiran
sampai kira-kira sebulan kemudian (Sjahruddin, 2006). Sedangkan
Linda (2004), mendefinisikan postpartum blues adalah periode pendek
kelabilan emosi sementara yang ditandai dengan mudah menangis,
intabilitas, rasa letih, mudah marah, cemas dan sedih biasanya terjadi
menjelang akhir minggu pascapartum pertama.
Depresi postpartum adalah suatu kondisi mood depresi yang berat
yang terjadinya sekitar 4 minggu setelah kelahiran bayi. Depresi
postpartum mungkin muncul terlambat 30 minggu dari postpartum,
bahkan sebagian mengatakan kurang dari 12 bulan pertama postpartum.

2. Etiologi
Penyebab pasti belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor
yang diduga berperan dapat menyebabkan post partum blues,
diantaranya :
a. Faktor hormonal yang berhubungan dengan perubahan kadar
estrogen, progesterone, prolaktin dan ekstradiol. Penurunan kadar
estrogen setelah melahirkan sangat berpengaruh pada gangguan
emosional pascapartum karena estrogen memiliki efek supresi
aktivitas enzim monoamine aksidase yaitu suatu enzim otak yang
bekerja menginaktifasi noradrenalin dan serotonin yang berperan
dalam perubahan mood dan depresi.
b. Faktor demografi yaitu umur dan paritas.
c. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.
d. Latar belakang psikososial ibu, seperti : tingkat pendidikan, status
perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan
jiwa sebelumnya, social ekonomi serta keadekuatan dukungan
social dari lingkungan (suami, keluarga dan teman). Apakah suami
menginginkan juga kehamilan ini, apakah suami, keluarga
dan teman memberikan dukungan moril (misalnya dengan
membantu pekerjaan rumah tang selama atau berperan sebagai
tempat ibu mengadu/berkeluh-kesah) selama ibu menjalani
kehamilannya atau timbul permasalahan misalnya suami
yang tidak membantu, tidak mau mengerti perasaan istri maupun
persoalan lainnya dengan suami, problem dengan orangtua dan
mertua, problem dengan si sulung.
e. Takut kehilangan bayinya atau kecewa dengan bayinya.
Ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa postpartum
blues tidak berhubungan dengan perubahan hormonal, biokimia
atau kekurangan gizi. Antara 8 % sampai 12 % wanita tidak dapat
menyesuaikan peran sebagai orang tua dan menjadi sangat tertekan
sehingga mencari bantuan dokter. Dengan kata lain para
wanita lebih mungkin mengembangkan depresi postpartum jika
mereka tertekan secara sosial dan emosional serta baru saja
mengalami peristiwa kehidupan yang menekan. Ada juga pendapat
bahwa kemunculan dari postpartum blues ini disebabkan oleh
beberapa faktor dari dalam dan luar individu. Penelitian dari
Dirksen dan De Jonge Andriaansen (1985) menunjukan bahwa
depresi tersebut membawa kondisi yang berbahaya bagi
perkembangan anak dikemudian hari
Etiologi pasti dari depresi postpartum masih belum jelas, namun
berbagai faktor fisiologis dan psikososial telah diinvestigasi. Berikut
beberapa hal yang diduga menjadi etiologi dari depresi postpartum :
a. Neurobiologi postpartum
Mekanisme biologi dari depresi postpartum dipercaya
berhubungan dengan gangguan depresif mayor. Depresi secara
umum merupakan penyakit dengan integritas sirkuit neuron, yang
telah ditunjukkan pada studi dengan pengurangan volume otak
seseorang yang didiagnosa dengan gangguan depresif mayor.
Yang menarik, jumlah volume yang hilang secara langsung
berhubungan dengan lama penyakit. Stres dan depresi bekerja
dengan mengurangi jumlah protein otak yang mencetuskan
pertumbuhan neuron dan formasi sinaps. Dan penyebab
neurobiologi ini berinteraksi dengan kemampuan genetik dan
faktor lingkungan atau psikososial
b. Gangguan Autoimun
Kondisi fisiologis yang cenderung ke kemarahan setelah
kelahiran bayi bisa berasal dari autoimun. Satu penelitiian menduga
bahwa kemarahan ibu berasal dari paparan ibu terhadap berbagai
antigen fetal selama persalinan. Sebagai contoh, tiroiditis
postpartum merupakan suatu kondisi dengan autoantibodi tiroid
yang terdeteksi di plasma diantara 6 minggu hingga 6 bulan
postpartum. Hal tersebut terjadi pada 6-9 % wanita yang tidak
memiliki riwayat penyakit tiroid. Pada sebagian kasus, penyakit ini
muncul dengan fase hipertiroid yang diikuti dengan fase hipotiroid,
atau hanya muncul dengan hipertiroidisme atau hipotiroidisme saja.
Beberapa studi telah mencoba untuk menentukan kejadian depresi
yang mana yang berhubungan dengan penyakit tiroid itu sendiri.
Belum ada kesimpulan pasti yang berhasil didapatkan, namun
depresi postpartum mungkin berdasarkan tiroid.
c. Gangguan Tidur dan Ritme Sirkardian
Sedikitnya 5 studi sejak tahun 1968 telah menduga bahwa
gangguan tidur dapat menyebabkan depresi postpartum. Ibu baru
tidak selalu dapat tidur ketika mereka membutuhkannya, karena
mereka harus menjaga bayinya. Kecenderungan wanita tersebut
untuk menjadi depresi mungkin disebabkan oleh kelelahan atau
fatique. Melatonin adalah hormon tidur yang dihasilkan di kelenjar
pineal otak. Konsentrasinya dalam plasma akan mulai meningkat di
sekitar waktu tidur dan memuncak pada pukul 3 dini hari, dan
selanjutnya akan menurun hingga hampir tidak terdeteksi pada saat
bangun. Paparan terhadap cahaya, terutama cahaya biru dengan
panjang gelombang sekitar 470 nm akan menghambat pelepasan
melatonin.
3. Pathway
4. Tanda dan Gejala
Gejala post partum blues (Novak dan Broom, 2009) yaitu suatu
keadaan yang tidak dapat dijelaskan, merasa sedih, mudah tersinggung,
gangguan pada nafsu makan dan tidur. Selanjutnya dengan kata lain,
ciri-ciri post partum blues menurut Young dan Ehrhardt (dalam Strong
dan Devault, 2009) diantaranya:
a. Perubahan keadaan dan suasana hati ibu yang bergantian dan sulit
diprediksi seperti menangis, kelelahan, mudah tersinggung,
kadang-kadang mengalami kebingungan ringan atau mudah lupa.
b. Pola tidur yang tidak teratur karena kebutuhan bayi yang baru
dilahirkannya, ketidaknyamanan karena kelahiran anak, dan
perasaan asing terhadap lingkungan tempat bersalin.
c. Merasa kesepian, jauh dari keluarga, menyalahkan diri sendiri
karena suasana hati yang terus berubah-ubah.
d. Kehilangan kontrol terhadap kehidupannya karena ketergantungan
bayi yang baru dilahirkannya.

Gejala yang menonjol dalam depresi post partum adalah trias


depresi yaitu:
a. Berkurangnya energy
b. Penurunan efek
c. Hilang minat (anhedonia)

Gejala depresi post partum yang dialami 60% wanita mempunyai


karateristik dan spesifik antara lain:
a. Trauma terhadap intervensi medis yang terjadi
b. Kelelahan dan perubahan mood
c. Gangguan nafsu makan dan gangguan tidur
d. Tidak mau berhubungan dengan orang lain e. Tidak mencintai
bayinya dan ingin menyakiti bayinya atau dirinya sendiri.
5. Komplikasi
a. Bagi Ibu
Depresi pasca melahirkan bisa meningkatkan resiko ibu mengalami
gangguan depresi kronik dan episode depresi mayor lainnya.
b. Bagi Ayah
Ibu yang mengalami depresi postpartum juga bisa menyebabkan
ayah mengalami depresi.
c. Bagi Si Kecil
Anak dengan ibu yang mengalami depresi postpartum
kemungkinan akan memiliki gangguan emosi dan perilaku, seperti
gangguan makan dan tidur, mudah menangis, dan terlambat
berbicara.

6. Pemeriksaan Penunjang
Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa
secara langsung post partum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan
beberapa simtom yang tampak dapat disimpulkan sebagai gangguan
depresi post partum blues bila memenuhi kriteria gejala yang ada.
Kekurangan hormon tyroid yang ditemukan pada individu yang
mengalami kelelahan luar biasa (fatigue) ditemukan juga pada ibu yang
mengalami post partum blues mempunyai jumlah kadar tyroid yang
sangat rendah.
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah
merupakan acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk
skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner dengan sebagai alat
bantu. Endinburgh Posnatal Depression Scale (EPDS) merupakan
kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intensitas
perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca salin.
Pertanyaanpertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan,
kecemasan, perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat
pada post-partum blues . Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh)
pertanyaan, di mana setiap pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan
jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai
dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin saat itu.
Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat
diselesaikan dalam waktu 5 menit. Cox et. Al., mendapati bahwa nilai
skoring lebih besar dari 12 (dua belas) memiliki sensitifitas 86% dan
nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis kejadian post-partum
blues. EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa negara seperti
Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. EPDS dapat
dipergunakan dalam minggu pertama pasca salin dan bila hasilnya
meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian.

7. Pengobatan dan Penatalaksanaan


Post-partum blues atau gangguan mental pasca-salin seringkali
terabaikan dan tidak ditangani dengan baik. Banyak ibu yang ‘berjuang’
sendiri dalam beberapa saat setelah melahirkan. Mereka merasakan ada
suatu hal yang salah namun mereka sendiri tidak benar-benar
mengetahui apa yang sedang terjadi. Apabila mereka pergi
mengunjungi dokter atau sumber-sumber lainnya Untuk minta
pertolongan, seringkali hanya mendapatkan saran untuk beristirahat
atau tidur lebih banyak, tidak gelisah, minum obat atau berhenti
mengasihani diri sendiri dan mulai merasa gembira menyambut
kedatangan bayi yang mereka cintai.
Penanganan gangguan mental pasca-salin pada prinsipnya tidak
berbeda dengan penanganan gangguan mental pada momen-momen
lainya. Para ibu yang mengalami post-partum blues membutuhkan
pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan dukungan
pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan dukungan
psikologis seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus juga
dipenuhi. Mereka membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan
pikiran dan perasaan mereka dari situasi yang menakutkan. Mungkin
juga mereka membutuhkan pengobatan dan/atau istirahat, dan
seringkali akan merasa gembira mendapat pertolongan yang praktis.
Dengan bantuan dari teman dan keluarga, mereka mungkin perlu untuk
mengatur atau menata kembali kegiatan rutin sehari-hari, atau mungkin
menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan dengan konsep mereka
tentang keibuan dan perawatan bayi. Bila memang diperlukan, dapat
diberikan pertolongan dari para ahli, misalnya dari seorang psikolog
atau konselor yang berpengalaman dalam bidang tersebut.
Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk
mempersiapkan para wanita untuk kemungkinan terjadinya gangguan
mental pasca-salin dan segera memberikan penanganan yang tepat bila
terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk para ahli
psikologi/konseling bila memang diperlukan. Dukungan yang memadai
dari para petugas obstetri, yaitu: dokter dan bidan/perawat sangat
diperlukan, misalnya dengan cara memberikan informasi yang
memadai/adekuat tentang proses kehamilan dan persalinan, termasuk
penyulit-penyulit yang mungkin timbul dalam masa-masa tersebut serta
penanganannya.Post-partum blues juga dapat dikurangi dengan cara
belajar tenang dengan menarik nafas panjang dan meditasi, tidur ketika
bayi tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan tulus dengan peran baru
sebagai ibu, tidak perfeksionis dalam hal mengurusi bayi,
membicarakan rasa cemas dan mengkomunikasikannya, bersikap
fleksibel, bergabung dengan kelompok ibu-ibu baru. Dalam penanganan
para ibu yang mengalami post-partum blues dibutuhkan pendekatan
menyeluruh/holistik. Pengobatan medis, konseling emosional, bantuan-
bantuan praktis dan pemahaman secara intelektual tentang pengalaman
dan harapan-harapan mereka mungkin pada saat-saat tertentu. Secara
garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat
perilaku, emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-
sama, dengan melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan
juga teman dekatnya.
Untuk mencegah terjadinya depresi post partum sebagai anggota
keluarga harus memberikan dukungan emosional kepada ibu dan jangan
mengabaikan ibu bila terlihat sedang sedih, dan sarankan pada ibu
untuk :
a. Beristirahat dengan baik
b. Berolahraga yang ringan
c. Berbagi cerita dengan orang lain
d. Bersikap fleksible
e. Bergabung dengan orang-oarang baru
f. Sarankan untuk berkonsultasi dengan tenaga medis.

Ada cara-cara menghidari atau mengatasi depresi:


a. Batasi pengunjung jika kehadiran mereka ternyata malah
mengganggu waktu istirahat anda.
b. Untuk sementara waktu hindari komsumsi coklat atau gula dalam
jumlah yang berlebihan karena dapat menjadi bahan pemicu
depresi.
c. Perbanyak mendengar musik favorit anda agar anda dapat merasa
lebih rileks disarankan musik-musik yang menenangkan.
d. Lakukan olahraga atau latihan ringan, cara ini selain ampuh dalam
mengurangi depresi, tapi juga dapat membantu mengembalikan
bentuk tubuh.
e. Sesekali berpergianlah agar anda tak merasa bosan, karena berada
di rumah.
f. Dukungan yang suportif dari suami dan anggota keluarga lainnya
sangat berpengaruh bagi keadaan psikis ibu.

Ada dua macam perawatan depresi :


a. Terapi bicara
Adalah sesi bicara dengan terapi, psikologi atau pekerja sosial
untuk mengubah apa yang difikir, rasa dan lakukan oleh penderita
akibat menderita depresi.
b. Obat medis
Obat anti depresi yang diresepkan oleh dokter, sebelum
mengkonsumsi obat anti depresi, sebaiknya didiskusikan benar obat
mana yang tepat dan aman bagi bayi untuk dikonsumsi oleh ibu
hamil atau ibu menyusui.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan,
alamat, medical record dan lain-lain.
b. Dampak Pengalaman Melahirkan
Banyak ibu memperlihatkan suatu kebutuhan untuk memeriksa
proses kelahiran itu sendiri dan melihat kembali perilaku mereka
saat hamil dalam upaya retrospeksi diri (Konrad, 1987). Selama
hamil, ibu dan pasangannya mungkin telah membuat suatu rencana
tertentu tentang kelahiran anak mereka, hal-hal yang mencakup
kelahiran pervagina dan beberapa intervensi medis. Apabila
pengalaman mereka dalam persalinan sangat berbeda dari yang
diharapkan (misalnya ; induksi, anestesi epidural, kelahiran sesar),
orang tua bisa merasa kecewa karena tidak bisa mencapai yang
telah direncanakan sebelumnya. Apa yang dirasakan orang tua
tentang pengalaman melahirkan sudah pasti akan mempengaruhi
adaptasi mereka untuk menjadi orang tua.
c. Citra Diri Ibu
Suatu pengkajian penting mengenai konsep diri, citra tubuh, dan
seksualitas ibu. Bagaimana perasaan ibu baru tentang diri dan
tubuhnya selama masa nifas dapat mempengaruhi perilaku dan
adaptasinya dalam menjadi orang tua. Konsep diri dan citra tubuh
ibu juga dapat mempengaruhi seksualitasnya. Perasaan-perasaan
yang berkaitan dengan penyesuaian perilaku seksual setelah
melahirkan seringkali menimbulkan kekhawatiran pada orang tua
baru. Ibu yang baru melahirkan bisa merasa enggan untuk memulai
hubungan seksual karena takut merasa nyeri atau takut bahwa
hubungan seksual akan mengganggu penyembuhan jaringan
perineum.
d. Interaksi Orang tua – Bayi
Suatu pengkajian pada masa nifas yang menyeluruh meliputi
evaluasi interaksi orang tua dengan bayi baru. Respon orang tua
terhadap kelahiran anak meliputi perilaku adaptif dan perilaku
maladatif. Baik ibu maupun ayah menunjukkan kedua jenis
perilaku maupun saat ini kebanyakan riset hanya berfokus pada ibu.
Banyak orang tua baru mengalami kesulitan untuk menjadi orang
tua sampai akhirnya keterampilan mereka membaik. Kualitas
keibuan atau kebapaan pada perilaku orang tua membantu
perawatan dan perlindungan anak. Tanda-tanda yang menunjukkan
ada atau tidaknya kualitas ini, terlihat segera setelah ibu
melahirkan, saat orang tua bereaksi terhadap bayi baru lahir dan
melanjutkan proses untuk menegakkan hubungan mereka.
e. Perilaku Adaptif dan Perilaku Maladaptif
Perilaku adaptif berasal dari penerimaan dan persepsi realistis
orang tua terhadap kebutuhan bayinya yang baru lahir dan
keterbatasan kemampuan mereka, respon social yang tidak matur,
dan ketidakberdayaannya. Orang tua menunjukkan perilaku yang
adaptif ketika mereka merasakan suka cita karena kehadiran
bayinya dan karena tugas-tugas yang diselesaikan untuk dan
bersama anaknya, saat mereka memahami yang dikatakan bayinya
melalui ekspresi emosi yang diperlihatkan bayi dan yang kemudian
menenangkan bayinya, dan ketika mereka dapat membaca gerakan
bayi dan dapat merasa tingkat kelelahan bayi. Perilaku maladaptif
terlihat ketika respon orang tua tidak sesuai dengan kebutuhan
bayinya. Mereka tidak dapat merasakan kesenangan dari kontak
fisik dengan anak mereka. Bayi – bayi ini cenderung akan dapat
diperlakukan kasar. Orang tua tidak merasa tertarik untuk melihat
anaknya. Tugas merawat anak seperti memandikan atau mengganti
pakaian, dipandang sebagai sesuatu yang menyebalkan. Orang tua
tidak mampu membedakan cara berespon terhadap tanda yang
disampaikan oleh bayi, seperti rasa lapar, lelah keinginan untuk
berbicara dan kebutuhan untuk dipeluk dan melakukan kontak
mata. Tampaknya sukar bagi mereka untuk menerima anaknya
sebagai anak yang sehat dan gembira.
f. Struktur dan fungsi keluarga
Komponen penting lain dalam pengkajian pada pasien post partum
blues ialah melihat komposisi dan fungsi keluarga. Penyesuaian
seorang wanita terhadap perannya sebagai ibu sangat dipengaruhi
oleh hubungannya dengan pasangannya, ibunya dengan keluarga
lain, dan anak-anak lain. Perawat dapat membantu meringankan
tugas ibu baru yang akan pulang dengan mengkaji kemungkinan
konflik yang bisa terjadi diantara anggota keluarga dan membantu
ibu merencanakan strategi untuk mengatasi masalah tersebut
sebelum keluar dari rumah sakit.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (D.0077)
b. Risiko Defisit Nutrisi b.d Faktor Psikologis d.d stres,
keengganan untuk makan (D.0032)
c. Berduka b.d antisipasi kehilangan d.d menangis, pola tidur
berubah, tidak mampu berkonsentrasi (D.0081)
3. Intervensi Keperawatan
No SDKI SLKI SIKI
1 Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Observasi
pencedera fisiologis perawatan diharapkan 1. Identifikasi lokasi,
(D.0077) Nyeri ekspektasi karakteristik, durasi,
menurun atau hilang frekuensi, kualitas, intensitas
[L.08066 ] dengan nyeri
Kriteria hasil: 2. Identifikasi skala nyeri
1. Meringis menurun 3. Identifikasi respon nyeri non
2. Sikap protektif verbal
menurun 4. Identifikasi faktor yang
3. Gelisah menurun memperberat dan
memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
9. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis:
TENS, hipnosis, terapi
musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis:
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5. Anjurkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
2 Risiko Defisit Setelah dilakukan Manajemen gangguan makan
Nutrisi b.d Faktor perawatan diharapkan Observasi
Psikologis d.d stres, status nutrisi  Monitor asupan dan
keengganan untuk terpenuhi, dengan keluarnya makanan dan
makan (D.0032) Kriteria hasil: cairan serta kebutuhan kalori
1. Porsi makanan yang Terapeutik
dihabiskan 1. Timbang berat badan
2. IMT normal secara rutin
3. Frekuensi makan
2. Diskusikan perilaku
meningkat
makan dan jumlah aktivitas
4. Nafsu makan
membaik fisik (termasuk olahraga)
5. Perasaan cepat yang sesuai
kenyang 3. Lakukan kontak perilaku
(mis.target berat badan,
tanggung jawab perilaku)
4. Didampingi ke kamar
mandi untuk pengamatan
perilaku memuntahkan
kembali makanan
5. Berikan penguatan positif
terhadap keberhasilan target
dan perubahan perilaku
6. Berikan konsekuensi jika
tidak mencapai target sesuai
kontrak
7. Rencanakan program
pengobatan untuk perawatan
dirumah
(mis.medis,konseling)
Edukasi
1. Anjurkan membuat
catatan harian tentang
perasaan dan situai pemicu
pengeluaran makanan
(mis.pengeluaran yang
disengaja, muntah, aktivitas
berlebihan)
2. Ajarkan pengaturan diet
yang tepat
3. Ajarkan keterampilan
koping untuk penyelesaian
maslah perilaku makan

Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang target berat
badan, kebutuhan kalori dan
pilihan makanan

Manajemen Nutrisi
Observasi
1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan
intoleransi makanan
3. Identifikasi makanan yang
disukai
4. Identifikasi kebutuhan kalori
dan jenis nutrien
5. Identifikasi perlunya
penggunaan selang
nasogastrik
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygine sebelum
makan, jika perlu
2. Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis: piramida
makanan)
3. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang sesuai
4. Berikan makanan yang tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
5. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
6. Berikan suplemen makanan,
jika perlu
7. Hentikan pemberian makanan
melalui selang nasogatrik jika
asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis: pereda nyeri,
antlemetik), jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu
Promosi Berat Badan
Observasi
1. Identifikasi kemungkinan
penyebab BB kurang
2. Monitor adanya mual dan
muntah
Terapeutik
1. Sediakan makanan yang
tepat sesuai kondisi pasien
2. Berikan pujian kepada
pasien untuk peningkatan
yang dicapai
Edukasi
Jelaskan jenis makanan yg
bergizi tinggi, terjangkau
3 Berduka b.d Setelah dilakukan 1. Tentukan pada tahap mana
antisipasi kehilangan perawatan: pasien terfiksasi dalam tahap
d.d menangis, pola 1. Klien mampu berduka. Identifikasi
tidur berubah, tidak menyatakan secara perilaku-perilaku yang
mampu verbal perilaku- berhubungan dengan tahap
berkonsentrasi perilaku yang ini.
(D.0081) berhubungan dengan 2. Kembangkan hubungan
tahap-tahap berduka saling percaya dengan klien.
2. Klien mampu Perlihatkan empati dan
mengakui posisinya perhatian. Jujur dan tepati
sendiri dalam proses semua janji.
berduka 3. Perlihatkan sikap menerima
3. Klien mampu dan membolehkan klien
secara mandiri untuk mengekspresikan
menentukan perasaannya secara terbuka.
pemecahan masalah 4. Dorong klien untuk
berhubungan dengan mengekspresikan rasa marah.
kehilangan yang Jangan defensif jika
dialaminya permulaan ekspresi
4. Klien tidak kemarahan dipindahkan
terlalu lama kepada perawat. Bantu
mengekspresikan pasien mengeksplorasi
emosi-emosi dan perasaan marahnya.
perilaku-perilaku 5. Bantu klien untuk
yang berlebihan mengeluarkan kemarahan
berhubungan dengan yang terpendam dengan
disfungsi berduka berpartisipasi dalam aktivitas
dan mampu positif motorik kasar semisal
melaksanakan joging atau olahraga lainnya.
aktivitas 6. Ajarkan klien tentang tahap-
kehidupannya tahap berduka yang normal
sehari-hari secara dan perilaku yang
mandiri berhubungan dengan seriap
tahap.
7. Bantu klien dalam
memecahkan masalahnya
sebagau usaha untuk
menentukan metode-metode
koping yang lebih adaptif
terhadap pengalaman
kehilangan. Berikan umpan
balik positif untuk setiap
identifikasi dan strategi
dalam pembuatan keputusan.

DAFTAR PUSTAKA

Ling, F. W, dan Duff, P. 2001. Obstetrics and Gynecology. New York : Mc Graw
– Hill Companies.

Malonda, B. F. 1999. Sosial – Budaya, Gangguan Emosi dan Fisik Pasca Salin
Masyarakat Pedesaan Sumedang. Diakses 29 September 2004.
http://www.tempo.co.id/ medika arsip/ 122002/ art-2.htm.

Novak, J.C., Broom, B.L. 2009. Maternal and Child Health Nursing. Missouri:
Mosby,Inc.

Regina, Pudjibudojo, J. K dan Malinton, P. K. 2001. Hubungan Antara Depresi


Postpartum Dengan Kepuasan Seksual Pada Ibu Primipara. Anima
Indonesian Psychological Journal. Vol. 16. No. 3. 300 – 314.

Romney Marshal, Steinbart. 2004. Accounting Information System (Buku Satu).


Jakarta: Salemba Empat.

Santrock, J .W. 2002. Perkembangan Masa Hidup. Jilid I. Jakarta : Erlangga.


Sloane, P. D, dan Benedict, S. 1997. Petunjuk Lengkap Kehamilan. Jakarta :
Mitra Utama.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai