Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHUUAN

A. Latar Belakang
Masa kehamilan hingga saat melahiran merupakan suatu peristiwa
kompleks yang berpengaruh bagi seorang ibu. Banyak perubahan yang dapat
menyebabkan gangguan baik dari aspek fisik dan psikologikal. Perubahan
tersebut dapat menjadi suatu depresi setelah melahirkan yang disebut depresi
pasca melahirkan atau Postpartum Depression (Elvira, Ismail, Moegni, &
Herqutanto, 2013). Depresi postpartum adalah suatu gangguan mood yang
terjadi setelah melahirkan dan merefleksikan disregulasi psikologikal yang
merupakan tanda dari gejala depresi mayor. (Pradnyana, Wayan Westa, &
Ratep, 2013)
Gangguan mood ini biasanya terjadi 2-6 minggu setelah melahirkan
dengan karakterististik yaitu perasaan depresi, kecemasan yang berlebihan,
insomnia, dan perubahan berat badan (Ardiyanti & Dinni, 2018). Kondisi
depresi postpartum merupakan suatu keadaan yang serius, dimana sebuah
penelitian membuktikan bahwa 25% ibu yang baru pertama melahirkan
mengalami depresi pasca melahirkan yang berat dan pada ibu yang
melahirkan anak selanjutnya sekitar 20% (Kusuma, 2017). Angka kejadian
depresi postpartum adalah 1 sampai 2 dari 1000 kelahiran dan sekitar 50
sampai 60% ibu mengalami depresi postpartum saat memiliki anak pertama,
dan sekitar 50% ibu yang mengalami postpartum tersebut memiliki riwayat
keluarga dengan gangguan mood (Prayoga, Dira, Ayu, & Wahyuni, 2016).
Angka prevalensi kejadian deresi postpartum secara global mencapai hingga
10- 15%. Di negara seperti Malta, Malaysia, Austria, Denmark, dan
Singapura, hanya ada sedikit laporan mengenai kejadian tersebut. Sementara
itu di negara seperti Brazil, Afrika Selatan, Taiwan, Korea, Italia, dan Kosta
Rika, laporan mengenai terjadinya gejala depresi postpartum cukup tinggi.
Bahkan sebuah penelitian yang dilakukan di India, melibatkan 359 ibu
primipara, didapatkan insiden depresi postpartum sebanyak 11% (Motzfeldt,
Andreasen, Pedersen, & Pedersen, 2013). Angka kejadian depresi postpartum
di Asia cukup tinggi dan bervariasi antara antara 26-85%. Sedangkan di
Indonesia angka kejadian tersebut antara 50-70% dari wanita pasca
persalinan. Penelitian di beberapa rumah sakit di Indonesia seperti di RSUP
Haji Adam Malik, Medan tahun 2009 bahwa dari 50 ibu postpartum spontan
dirawat inap sebanyak 16% mengalami depresi postpartum (Kurniasari &
Astuti, 2015). Pada tahun 2017 di RS KIA Sadewa Yogyakarta, kejadian
depresi postpartum adalah sebanyak 7,7%. Hal ini menandakan bahwa
kejadian depresi postpartum perlu mendapatkan perhatian mengingat masih
banyaknya insiden yang terjadi di berbagai daerah (Diniyah, 2017). Seorang
ibu yang mengalami gangguan depresi postpartum biasanya memiliki mood
yang tertekan, hilangnya ketertarikan atau senang dalam beraktivitas,
gangguan nafsu makan, gangguan tidur, agitasi fisik atau pelambatan
psikomotor, lemah, merasa tidak berguna, susah konsentrasi, bahkan
keinginan untuk bunuh diri (Roswiyani, 2010). Efek dari depresi postpartum
ini tidak hanya terjadi pada ibu, namun bisa juga terjadi pada bayi dari ibu
tersebut. Bayi akan mengalami keterlambatan dari berbagai aspek, baik dari
segi kofnitif, psikologi, neurologi, dan motorik Bayi juga akan cenderung
lebih rewel sebagai respon untuk mencari dan mendapatkan perhatian dari
ibunya (American Academy of Pediatrics, American College of Obstetricians
and Gynecologists., 2012). Meninjau hal tersebut sangat penting dilakukan
diagnosis dini untuk mencegah depresi postpartum maupun memanajemen
ibu yang sudah terdiagnosis agar tidak semakin memperparah kondisinya.
Diagnosis dan manajamen tersebut perlu dilakukan sejak dini terutama di
negara berkembang karena besarnya jumlah populasi serta tingginya angka
kesuburan (Burgut, Bener, Ghuloum, & Sheikh, 2013).
Masa postpartum akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan fisik
maupun psikologis. Kondisi psikologis ibu postpartum mengalami perubahan
yang bersifat kondisi kejiwaan maupun adanya perubahan atau transisi peran.
Dari yang semula belum memiliki anak, adanya kehadiran bayi, maka terjadi
masa transisi peran menjadi orang tua, antara lain; peran menyusui dan peran
pengasuhan serta perawatan bayi. Menjadi orangtua merupakan suatu krisis
tersendiri dan ibu harus mampu melewati masa transisi. Upaya dan
kemampuan melalui masa transisi inilah yang disebut adaptasi. Bidan sebagai
pemberi asuhan kebidanan mempunyai peran untuk memfasilitasi ibu
postpartum menghadapi perubahan-perubahan psikologis yang terjadi pada
masa postpartum. Meskipun pada umumnya perubahan ini normal, namun ibu
harus difasilitasi, didukung, dan didampingi untuk dapat melalui fase
perubahan ini dengan baik. Sehingga peristiwa perubahan psikologis yang
normal ini harus mampu dilalui dengan baik oleh ibu
dan dapat diadaptasikan dengan baik.
B. Tujuan
Mengetahui Asuhan Kebidanan yang dilakukan pada ibu postpartum Ny. C
22 tahun P1A0 dengan depresi postpartum
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi Depresi Postpartum

Depresi postpartum merupakan gangguan mood yang terjadi setelah


melahirkan. Gangguan ini merefleksikan disregulasi psikologikal yang
merupakan tanda dari gejala-gejala depresi mayor (Kusuma, 2017). Depresi
postpartum biasanya dialami oleh ibu setelah 4 minggu melahirkan. Tanda -
tanda yang menyertainya adalah perasaan sedih, menurunnya suasana hati,
kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari, peningkatan atau penurunan berat
badan secara signifikan, merasa tidak berguna atau bersalah, kelelahan,
penurunan konsentrasi bahkan ide bunuh diri. Pada kasus yang berat depresi
dapat menjadi psikotik, dengan halusinasi, waham dan pikiran untuk
membunuh bayi. Diketahui sekitar 20–40% wanita melaporkan adanya suatu
gangguan emosional atau disfungsi kognitif pada masa pascapersalinan (Nasri,
Wibowo, & Ghozali, 2017).

Dampak negatif dari depresi postpartum tidak hanya dialami oleh ibu,
namun dapat berdampak pada anak dan keluarganya juga. Ibu yang mengalami
depresi tersebut, minat dan ketertarikan terhadap bayinya dapat berkurang. Ibu
menjadi kurang merespon dengan positif seperti pada saat bayinya menangis,
tatapan matanya, ataupun gerakan tubuh. Akhirnya ibu yang mengalami
depresi postpartum tidak mampu merawat bayinya secara optimal termasuk
menjadi malas memberikan ASI secara langsung (Wahyuni, 2014).

B. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab depresi postpartum belum diketahui secara pasti, namun


banyak penelitian dan pustaka yang menyebutkan penyebab gangguan tersebut
dapat berasal dari faktor biologis maupun psikososial. Penurunan hormon
progesteron yang signifikan dapat mempengaruhi suasana hati dari ibu.
Perubahan itu terlihat dengan adanya gejala depresi seperti lemas dan lesu
(Brockington, 2009).

Berbagai faktor fisiologis dan psikososial diteliti dapat menjadi penyebab


dari depresi postpartum. Beberapa hal yang diduga menjadi etiologi depresi
postpartum antara lain (Brummelte & Galea, 2016):

1. Neurologi postpartum
Depresi postpartum secara mekanisme biologi berhubungan dengan
adanya gangguan depresif mayor. Secara umum, depresi berintegritas
dengan penyakit pada sirkuit neuron dengan ditandai adanya pengurangan
volume otak. Pengurangan ini terjadi pada seseorang yang mengalami gejala
depresi mayor. Semakin lama seseorang mengalami gejala tersebut, maka
akan semakin berkurang volume otaknya. Jumlah yang berkurang yaitu
protein otak yang berfungsi mencetuskan pertumbuhan neuron dan formasi
sinaps. Adanya stres dan depresi dapat mengurangi jumlah protein otak
tesebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa setelah dilahirkannya plasenta
pada saat persalinan maka kadar estrogen dan progesterone plasma dari sang
ibu mulai turun secara drastis. Kedua hormon tersebut memilki efek neural
pada konsentrasi psikologis. Maka dari itu, dengan adanya penurunan
drastis dari hormon tersebut dapat berefek pada psikologis.
2. Gangguan Autoimun
Selama persalinan, seorang ibu terpapar berbagai antigen fetal. Suatu
penelitian menduga bahwa akibat adanya paparan tersebut berefek pada
kondisi psikologis ibu. Seorang ibu menjadi cenderung emosional yang
diduga asalnya dari gangguan autoimun tersebut.
3. Gangguan Tidur dan Ritme Sikardian
Ketika seorang ibu melahirkan maka ia akan mengalami masa
adaptasi untuk perannya yang baru. Dengan adanya peran baru tesebut,
seorang ibu menjadi kekurangan waktu tidurnya karena harus menjaga
bayinya. Aktivitas itu cenderung membuat ibu menjadi kelelahan atau
fatigue sehingga bisa memicu terjadinya depresi. Kurangnya waktu tidur
menyebabkan hormone tidur yang dihasilkan di kelenjar pineal otak menjadi
berkurang. Hormon tersebut adalah hormon melatonin. Terganggunya
produksi hormon tersebut merupakan kontributor terhadap depresi
postpartum (Sharkey, Pearlstein, & Carskadon, 2013).
Sebuah studi membuktikan bahwa ibu primipara atau ibu yang baru
pertama kali melahirkan lebih banyak mengalami depresi postpartum. Hal
tersebut terjadi karena ketidaksiapan ibu primipara secara psikologis dalam
menghadapi kelahiran bayi lebih besar daripada ibu multipara atau yang
sudah melahirkan lebih dari sekali. Ibu multipara sudah memilki
pengalaman mengadapi kelahiran sebelumnya sehingga tidak stres dalam
menyambut kelahiran anak tersebut (Soep, 2011).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kusuma, terdapat hubungan
antara pekerjaan dengan kejadian depresi postpartum. Keadaan ibu yang
harus kembali bekerja setelah melahirkan dapat memicu timbulnya depresi.
Ibu yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan peran dan aktivitas
barunya sebagai seorang ibu dapat mengalami gangguan psikologis atau
depresi postpartum (Kusuma, 2017).
Menurut penelitan Kurniasari (2015, terdapat hubungan antara umur
ibu, dengan kejadian depresi postpartum. Semakin muda usia ibu, maka
akan semakin berisiko menimbulkan gangguan depresi postpartum. Hal ini
dikarenakan usia yang muda cenderung tidak siap dalam perubahan
perannya sebagai ibu, yaitu dalam kesiapan fisik, mental, finansial, dan juga
sosial. Tidak hanya usia muda, namun usia yang terlalu tua juga dapat
menjadi faktor risiko karena adanya faktor kelelahan dan keadaan anatomi
tubuh yang sudah tidak baik lagi untuk hamil dan bersalin. Sementara itu,
terdapat juga hubungan antara tingkat pendidikan ibu dan kejadian depresi.
Ibu yang tingkat pendidikannya rendah akan mempunyai jumlah anak yang
banyak dan kualitas dalam perawatan bayi juga tidak baik Kehamilan yang
terjadi pada usia muda , biasanya terjadi pada perempuan yang putus
sekolah. Semakin tinggi pendidikan ibu, maka akan semakin baik juga
pengetahuannya karena akan banyak informasi yang didapat. Paritas juga
berhubungan dengan risiko terjadinya depresi postpartum. Gangguan
postpartum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat obstetri pasien
yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi
dari kehamilan dan persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada
wanita primipara. Wanita primpara rentan terjadi gangguan depresi karena
setelah melahirkan wanita tersebut berada dalam proses adaptasi, yang pada
mulanya hanya memikirkan diri sendiri namun begitu bayi lahir, jika ibu
tidak siap dan paham akan peran barunya maka ibu menjadi bingung
sementara bayinya harus tetap dirawat. Maka dari itu diperlukan juga
adanya dukungan suami dalam menghadapi masa-masa adaptasi tersebut.
Kurangnya dukungan suami yang dapat berisiko menimbulkan depresi pada
ibu yang baru melahirkan. Dukungan suami yang dapat berupa perhatian,
komunikasi dan hubungan emosional yang intim. Jika hal-hal tersebut tidak
terjalin dengan baik, dapat menjadi faktor yang paling bermakna menjadi
pemicu terjadinya depresi postpartum pada ibu (Kurniasari & Astuti, 2015)
Selain itu, depresi postpartum juga dapat disebabkan oleh pengaruh
dari jenis persalinan. Penelitian yang dilakukan oleh Ariyanti membuktikan
bahwa ibu dengan persalinan bedah lebih banyak mengalami depresi
postpartum dibandingkan dengan persalinan pervagina. Hal tersebut terjadi
karena proses penyembuhan dari persalinan bedah memakan waktu yang
cukup lama sehingga menghambat ibu untuk menjalani peran barunya
(Ariyanti, Nurdiati, & Astuti, 2016).
C. Diagnosis
Melahirkan, dilihat dari sudut pandang kedokteran psikologi, merupakan
peristiwa kompleks dalam pengalaman seorang manusia. Ibu yang baru
melahirkan rentan mengalami gangguan kejiwaan akibat pengaruh fisik dan
perubahan psikologis saat melahirkan. Maka dari itu sangat penting untuk
melakukan deteksi dan mendiagnosis dini dari depresi postpartum agar tidak
terjadi hal yang lebih buruk (Brockington, 2009).
Evaluasi wanita dengan kemungkinan depresi postpartum membutuhkan
anamnesis yang cermat untuk memastikan diagnosis, mengidentifikasi apakah
ada gangguan lainnya, dan mengelola masalah medis dan psikososial yang
terkontribusi didalamnya. Sekitar 70% dari ibu yang baru melahirkan memiliki
gejala depresi ringan yang umumnya akan memuncak pada rentang 2 hinggan
5 hari setelah melahirkan. Gejala tersebut biasanya mulai mereda secara
spontan dalam waktu 2 minggu, namun jika tidak terdeteksi dengan cepat dan
terlambat ditangani, dapat berkembang menjadi depresi yang disebut depresi
postpartum (Stewart & Vigod, 2016).
Kriteria yang digunakan dalam skrining penegakkan diagnosis depresi
postpartum dapat digunakan beberapa instrumen antara lain (Gjerdingen &
Yawn, 2007):
1. Schedule of Afective Disorders and Schizophrenia (SADS)
SADS terdiri dari beberapa pertanyaan terbuka yang berkaitan dengan
gejala dengan penjajakan untuk pertanyaan berikutnya. Terdapat 11 gejala
depresif dalam delapan kategori yaitu gangguan makan, gangguan tidur,
kelelahan, kurang semangat, perasaan bersalah, gangguan konsentrasi,
keinginan bunuh diri, dan gangguan motorik. Setiap gejala tersebut diberi
skor 1-6 oleh pemeriksa dengan skor minimal 3 (ringan) pada setiap
gejalanya. Gejala tersebut harus minimal terjadi selama 2 minggu.
2. Structured Clinical Interview for DSM-IV-R (SCID)
SCID merupakan wawancara berbasis klinis yang menggabungkan
kriteria diagnosis DSM-IV dan memiliki versi berbeda yang digunakan
untuk pasian rawat inap, rawat jalan, hingga yang bukan populasi klinis.
Instrumen ini terdiri dari enam modul yang memerlukan 45-60 menit
untuk melengkapinya.
3. Standard Psychiatric Interview (SPI)
SPI merupakan wawancara yang digunakan bukan untuk individu,
namun survey komunitas. Instrumen ini terdiri dari 10 gejala psikiatrik.
4. Present State Examination (PSE)
PSE merupakan wawancara yang digunakan untuk mencari gejala
yang terjadi 4 minggu sebelum dilakukan wawancara tersebut. Biasanya
instrumen ini digunakan untuk studi dan penelitian mengenai depresi
postpartum.
5. Hamilton Rating Scale for Depression (HSRD)
HSRD adalah instrumen untuk menilai keparahan depresi bagi
pasien yang sudah terdiagnosa. Terdiri dari 17 gejala depresi dan sering
digunakan pada beberapa literatur yang membahaas depresi postpartum.
6. Edinburgh Postnatal Depression Scale (EDPS)
EDPS adalah instrument yang berupa kuisioner 10 item yang
mudah dijalankan, dan merupakan alat skrining yang efektif dan spesifik
untuk menskrining depresi postpartum secara internasonal. Dari 10
pertanyaan tersebut, masing-masing pertanyaan memiliki nilai 1-3, dengan
skor total maksimal 30 poin. Jika seorang perempuan mendapatkan poin l0
atau lebih dan memiliki pikiran untuk membahayakan diri sendiri maupun
bayinya, maka diperlukan wawancara lebih lanjut dengan psikiater untuk
melihat gejala dan menentukan diagnosis.

Pada umumnya, perempuan yang mendapatkan hasil EPDS antara 5-9


dengan gejala depresi tanpa ide bunuh diri harus dievaluasi kembali 2-4
minggu setelah tes dilakukan (Gondo, 2012).

Instrumen skrining tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-


masing dalam menegakan diagnosis depresi postpartum. Instrumen yang sering
digunakan dalam penegakan diagnosis adalah EDPS. Sementara untuk yang
lainnya lebih sering digunakan dalam penelitian dan studi mengenai depresi
postpartum.

Selain instrumen yang telah disebutkan di atas, dapat juga digunakan


Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi III
(PPDGJ-III) skrining gangguan depresi postpartum. Pada kriteria tersebut,
depresi postpartum merupakan gangguan jiwa yang berhubungan dengan masa
nifas (tidak lebih dari 6 minggu setelah persalinan), yang tidak memenuhi
kriteria di tempat lain, serta memenuhi kriteria episode depresi. Adapun
episode depresi tersebut seperti afek depresif, kehilangan minat, mudah lelah,
berkurangnya konsentrasi, terganggunya waktu tidur, dan nafsu makan
berkurang. Episode tersebut terjadi sekurang-kurangnya selama dua minggu
(Maslim, 2013).

Sedangkan pada kriteria Diagnostic And Statisctical Manual of Mental


Disorders, edisi keempat (DSM-IV) dan juga dibantu oleh uji Edinburgh
Postnatal Depression Scale (EPDS), ibu dengan gejala depresi postpartum
didefinisikan dengan beberapa gejala mayor, di mana salah satunya harus ada
mood yang tertekan atau penurunan kesenangan. Gejala tersebut antara lain
gangguan nafsu makan, agitasi fisik atau pelambatan psikomotor, lemah,
menurunnya konsentrasi, dan adanya keinginan bunuh diri. Ibu juga sering
merasakan insomnia meskipun bayinya telah tertidur. Gejala-gejala tersebut
harus ada sepanjang hari dan terjadi seminimalnya selama dua minggu (Guze,
2014).

D. PENYIMPANGAN DARI KONDISI PSIKOLOGIS YANG NORMAL


(PSIKOPATOLOGI)
Beberapa penyimpangan kondisi psikologis yang normal pada ibu
postpartum meliputi:
1. Depresi postpartum ringan hingga sedang
Lebih kurang 10-15% ibu akan mengalami depresi postpartum
ringan hingga sedang untuk pertama kalinya. Depresi adalah masalah
kesehatan masyarakat yang penting. Bukti yang kuat dari hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa ganggguan ini dapat menjadi kronis,
merusak hubungan antara ibu dengan pasangannya, serta memiliki dampak
yang merugikan terhadap perkembangan emosi dan kognitif anak (Murray
et al.,1999). Insiden depresi lebih tinggi pada 3 bulan postpartum
dibandingkan dengan 1 bulan postpartum. Istilah depresi postpartum hanya
digunakan untuk menggambarkan kondisi non psikosis ringan hingga
sedang, istilah ini tidak boleh digunakan sebagai istilah umum untuk
semua bentuk gangguan kesehatan jiwa setelah persalinan (Fraser &
Cooper, 2009).
Depresi postpartum terjadi lebih lambat dibandingkan dengan postpartum
blues. Beck (1996) melakukan penelitian metaanalisis untuk
mengidentifikasi faktor risiko depresi postpartum ringan hingga sedang
adalah sebagai berikut:
a. Depresi antenatal.
b. Riwayat depresi postpartum sebelumnya.
c. Kualitas dukungan psikososial pada ibu.
d. Kejadian hidup yang penuh stress.
e. Stress terkait dengan perawatan anak.
f. Postnatal blues atau postpartum blues.
g. Kualitas hubungan dengan pasangan.
h. Kecemasan pada masa antenatal.
Bukti-bukti penelitian epidemiologi menunjukan bahwa faktor
penyebab atau kausatif depresi postpartum adalah karena adanya faktor-
faktor psikososial seperti; kejadian hidup yang penuh stress, adanya
konflik hubungan, tidak adanya pasangan yang mendukung, tingkat
stressor obstetrik yang tinggi, tidak bekerja, status sosial ekonomi rendah
dll (O’Hara et al 1991). Gangguan depresi postpartum dapat memiliki
bentuk yang berbeda-beda. Namun secara umum dalam bentuk yang
paling ringan, dapat berupa gejolak berbagai pergolakan emosi pada masa
nifas dan mungkin tidak mudah dibedakan dari perubahan emosi yang
dialami selama masa transisi peran menjadi ibu atau pada postpartum
blues.
Namun depresi postpartum yang lebih berat, gejalanya dapat dibedakan
dengan jelas dari perubahan emosi yang normal. Depresi postpartum dapat
terjadi pada bulan pertama postpartum, biasanya pada saat bidan sudah
mulai menghentikan asuhan, dan dapat berlangsung hingga setahun
(Fraser & Cooper, 2009). Tanda-tanda awal depresi postpartum meliputi
kecemasan dan kekhawatiran terhadap bayi. Perasaan tidak mampu
melakukan koping dan perasaan tertekan dengan tuntutan
menjadi ibu dan memiliki bayi baru lahir, hal ini dapat menyebabkan
gangguan tidur. Biasanya muncul perasaan sedih, tidak mampu, tidak
berharga, kehilangan nafsu makan, harga diri rendah, serta menurunnya
suasana hati secara terus-menerus, serta hilangnya kegembiraan dan
spontanitas. Gambaran tersebut tidak sulit untuk dideteksi, tetapi mungkin
terabaikan oleh para bidan atau tenaga kesehatan yang lain yang
menangani ibu postpartum. Ada masalah lain yang menyebabkan depresi
masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan di kalangan masyarakat,
yang membuat banyak ibu memilih untuk diam.
Ibu mungkin merasa bersalah, terisolasi, dan merasa gagal ketika
seharusnya mereka merasakan kemenangan dan puas memperoleh peran
ibu yang kuat. Beberapa ibu dan pasangannya mungkin tidak tahu secara
jelas mengenai tanda dan gejala depresi postpartum
(Fraser & Cooper, 2009). Bidan harus cermat dalam melakukan
pengkajian, sehingga dapat mengidentifikasi adanya tanda dan gejala
depresi postpartum. Ibu mungkin akan menyembunyikan kondisi
emosinya atau tidak terbuka mengenai apa yang dirasakannya,
termasuk dengan pasangan maupun orang-orang di sekelilingnya. Melalui
kunjungan nifas yang efektif serta interaksi yang positif antara bidan
dengan ibu, dimana kunjungan nifas dilakukan sesuai fase-fase kunjungan
yang dibahas pada Bab 1, akan mampu untuk mengidentifikasi adanya
depresi postpartum secara dini. Bidan harus cermat ketika
melakukan pengkajian, lakukan observasi hubungan ibu dan bayi untuk
mengkaji bagaimana ibu berinteraksi dengan anaknya, dengan
mempertimbangkan pengaruh budaya, kaji apabila ada masalah yang
terkait dengan menyusui, tidur, dan temperamen umum ibu, dan bidan
perlu meyakini pentingnyan dukungan psikososial pada ibu. Pasangan juga
harus dilibatkan dalam interaksi ini untuk membantu meringankan
ketegangan yang meningkat, yang dimungkinkan bisa terjadi terkait
dengan masalah hubungan dengan pasangan.
2. Depresi postpartum berat
Kira-kira 3-5% ibu akan mengalami bentuk gangguan depresi yang
lebih berat (Oates, 2000). Gangguan depresi berat dapat terjadi pada periode
postpartum awal atau lanjut. Ibu yang mengalami depresi berat tampak
mengalami kesedihan yang mendalam dan sakit. Etiologi yang
sesuangguhnya belum jelas, namun dugaan yang paling kuat adalah riwayat
gangguan depresi, baik pada postpartum maupun waktu lainnya (O’Hara
dan Swain 1996).
Secara umum faktor neuroendokrin juga memiliki peranan; pemicu
utamanya adalah estradiol. Awalnya gejala depresi berat tidak begitu
nampak atau tersembunyi, kemudian mulai timbul secara lambat pada 2-3
minggu pertama postpartum. Biasanya mulai timbul saat asuhan kebidanan
dan dukungan sosial dari pasangan, keluarga dan teman berkurang secara
signifikan. Pemeriksaan pada saat kunjungan postpartum periode 6 minggu
postpartum merupakan titik yang bermanfaat dalam mendeteksi kondisi
depresi postpartum berat. Namun terkadang dua pertiga kejadian depresi
berat akan muncul kemudian, yaitu antara 10-12 minggu postpartum
(Brockington, 1996).
Karakteristik utama depresi postpartum berat adalah sebagai berikut:
a. Sindrom biologis gangguan tidur, bangun terlalu pagi hari. Ibu mungkin
akan merasa sangat tertekan dan gejalanya memburuk pada pagi hari
b. Gangguan konsentrasi, gangguan proses pikir, ketidakmampuan untuk
mengambil keputusan, dan ketidakmampuan untuk melakukan koping
(mekanisme pertahanan diri terhadap stimulasi atau stressor dari luar)
dalam kehidupan sehari-hari.
c. Emosi tidak terpengaruh dan penurunan suasana hati yang mendalam.
d. Kehilangan kemampuan untuk merasakan kesenangan (anhedonia).
e. Perasaan bersalah, tidak mampu, dan merasa menjadi ibu yang tidak
baik.
f. Kurang lebih sepertiga ibu mengalami distres pikir dan perenungan
obsesif yang terganggu.
g. Seringkali timbul kecemasan yang berlebihan dan bahkan serangan
panik.
h. Gangguan nafsu makan dan penurunan berat badan.
i. Pada beberapa ibu, terjadi psikosis depresif dan morbid, halusinasi, dan
pemikiran waham
E. Penatalaksanaan

Wanita yang mengalami depresi yang tidak diobati selama kehamilan


memiliki risiko tujuh kali lipat mengalami depresi postpartum dari wanita yang
tidak memiliki gejala depresi antenatal; oleh karena itu, pengobatan depresi
antenatal penting untuk pencegahan depresi pascapersalinan. Dalam satu
penelitian observasional kecil yang melibatkan 78 wanita yang menerima
diagnosis depresi pada trimester pertama kehamilan, depresi pascapersalinan
tidak terjadi pada semua wanita yang mengalami depresi diobati dengan baik
psikoterapi atau farmakoterapi, dibandingkan dengan 92% wanita dengan
depresi yang tidak diobati. Intervensi suportif dan psikologis lebih efektif
ketika dilakukan setelah melahirkan dibandingkan saat mereka diinisiasi
selama kehamilan Nutrisi yang sehat, oalhraga teratur , dan tidur yang cukup
juga dianjurkan, meskipun bukti untuk mengurangi risiko depresi
pascapersalinan atas faktor-faktor dasar ini masih terbatas (Stewart & Vigod,
2016).

Dalam menatalaksana ibu dengan depresi postpartum, butuh penanganan


secara luas baik dengan diberikannya terrapin non-farmakologis dan
farmakologis. Melalui terapi nonfarmakologis, yaitu terapi psikologis, ibu
dapat menemukan cara tepat untuk menghadapi gejala depresi tersebut,
mengatasi gangguan yang muncul, atau berpikir positif ketika situasi sedang
tertekan (Pearlstein, Howard, Salisbury, & Zlotnick, 2009).

Tatalaksana dalam perawatan depresi postpartum bervariasi tergantung


dengan tingkat keparahan dari gejalanya, termasuk kemampuannya untuk
merawat dan berinteraksi dengan bayu yang baru lahir. Jika baru terjadi gejala
ringan atau sedang maka dapat dikelola dalam perawatan primer terdekat
namun lebih baik jika langsung dirujuk ke bagian psikiatrik untuk mencegah
komplikasi yang lebih parah, terutama ketika ibu sudah memiliki pikiran untuk
mencelakai atau membahayakan diri sendiri dan orang lain. Namun dalam
melakukan perawatan depresi postpartum dapat terjadi beberapa kendala bagi
sebagian orang, seperti masalah keuangan, transportasi, dan penitipan anak.

Untuk wanita dengan gejala ringan, intervensi psikososial yang dapat


diberikan contohnya ialah meningkatkan dukungan, seperti dukungan dari
teman sebaya dan konseling yang dilakukan oleh praktisi kesehatan yang
professional. Intervensi tersebut merupakan lini pertama dalam perawatan
depresi postpartum. Sebuah penelitian metaanalisis menunjukkan bahwa
wanita yang dirawat dengan intervensi psikososial lebih kecil
memungkinannya untuk tetap depresi pada 1 tahun postpartum dibandingkan
wanita yang hanya menerima perawatan standar di layanan primer. Untuk
wanita dengan gejala penyakit sedang, dan untuk mereka dengan gejala
penyakit ringan yang tidak dapat merespon intervensi psikososial saja, dapat
direkomendasikan untuk mendapatkan psikoterapi formal seperti terapi
perilaku kognitif dan terapi interpersonal. Terapi ini diberikan secara
berkelompok maupun individu dalam kurun waktu 12 hingga 16 minggu.
Terapi perilaku kognitif berfokus pada perubahan pola pikir maladaptif,
perilaku, atau keduanya, untuk menghasilkan perubahan positif dalam keadaan
emosional. Sementara itu, terapi interpersonal adalah terapi suasana hati untuk
hubungan interpersonal dan berfokus pada peningkatan hubungan untuk
membantu dengan transisi peran seorang wanita menjadi orang tua baru
(Stewart & Vigod, 2016).

Seorang ibu yang mengalami depresi jangan segan untuk selalu


menceritakan segala keluh kesahnya kepada keluarga atau orang lain yang
dapat mengerti dan bisa membantu. Selain itu, istirahat yang cukup juga
diperlukan agar dapat menghindari diri dari perasaan depresi akibat kelelahan,
misalnya dengan meminta bantuan orang lain yang dapat dipercaya untuk
bergantian mengurusi bayi. Dari segi pola makan, harus diberikan secara
teratur dengan menu yang sehat dan seimbang diikuti olahraga ringan agar
mood dapat membaik (Guille, Newman, Fryml, Lifton, & Epperson, 2013).

Jika sudah dilakukan terapi perilaku kognitif dan interpersonal maupun


terapi nonfarmakologis namun tidak berhasil, maka dapat diberikan terapi
farmakologi. Terapi ini juga dapat diberikan jika penderita depresi postpartum
lebih menyukai obat-obatan daripada terapi perilaku. Antidepresan yang
dianggap dapat berkompatibel dengan ibu menyusui harus diresepkan oleh
psikiater. Selain antidepresan, biasanya dapat juga diberikan sertraline. Untuk
ibu depresi postpartum yang sedang menyusui biasanya diberikan pengobatan
dengan dosis 50 mg setiap harinya selama 1 minggu. Setelah itu, di evaluasi
kembali dan dilihat efek samping dari obat tersebut. Jika masih ada keinginan
untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain, maka ditambahkan dosis
sesuai dengan kebutuhan (misalnya ditambah 50mg setiap 2 minggu dengan
dosis harian maksimal 200 mg hingga tercapainya remisi dengan sempurna.
Terapi farmakologi umumnya dilanjutkan 6 hingga 12 bulan setelah remisi
sempurna untuk mengurangi risiko kekambuhan. Jika gejala-gejala masih
berulang dan terus mengalami kekambuhan maka disarankan untuk
berkonsultasi kembali dengan spsikiater dan mendapatkan perawatan intensif
kembali (Stewart & Vigod, 2016).

Namun bagi ibu yang menderita depresi postpartum yang cukup parah,
sebaiknya melakukan kunjungan ke dokter agar dapat diberikan terapi
farmakologis seperti golongan tricyclc antidepressant (TCAs). Terapi ini akan
meringankan gejala-gejala dari depresi postpartum sehingga dapat menjalani
kegiatan sehari-hari secara normal (Guille, et al., 2013)

Keanekaragaman gejala dari depresi postpartum, risiko terhadap bayi, dan


keterampilan dari sumber daya yang dibutuhkan, maka sangat dibutuhkan
pelayanan rawat inap yang terspesialisasi untuk gejala tersebut. Diperlukan
adanya layanan ibu dan anak dari tenaga medis yang berasal dari multidisiplin
ilmu, termasuk psikiater, psikolog, perawat, dan juga tenaga sosial. Dimana
tujuannya adalah untuk pencegahan, diagnosis dini, dan intervensi, dengan
gangguan keluarga yang minimal. Dengan adanya tim yang mendukung
tersebut, ibu yang mengalami depresi postpartum dapat terlayani dan
termanajemen dengan baik. (Brockington, 2009).
BAB III

CONTOH KASUS

ASUHAN KEBIDANAN IBU NIFAS PADA NY.C

UMUR 22 TAHUN P1A0 DENGAN POSTPARTUM BLUES

I. PENGKAJIAN

A. IDENTITAS

IDENTITAS PASIEN IDENTITAS SUAMI

1. Nama : Ny. C Nama : Tn. D

2. Umur : 22 Tahun Umur :24 Tahun

3. Agama : Islam Agama : Islam

4. Suku bangsa : Jawa Suku Bangsa : Jawa

5. Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

6. Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Swasta

7. Alamat : Grandwisata

B. DIAGNOSA KEBIDANAN

Ny. A P1A0 Umur 22 tahun postpartum hari


ke 2 dengan postpartum blues
C. DATA SUBYEKTIF
1) Ibu mengatakan bernama Ny. A umur 22 tahun

2) Ibu mengatakan telah melahirkan anak


pertamanya tanggal 01 mei 2015 pukul
20.00 WIB dan berjenis kelamin laki-laki
3) Ibu mengatakan ini anak pertama dan belum pernah
keguguran

4) Ibu mengatakan sulit tidur dan tidak nafsu makan

5) Ibu mengatakan merasa terganggu karena


bayinya rewel sehingga ibu sulit tidur dan
tidak nafsu makan
D. DATA OBYEKTIF

1) Keadaan umum : Cukup

2) Kesadaran : Composmentis

3) Tanda – Tanda Vital

Tekanan Darah : 110/70 mmHg Suhu :


36,7 ºC

Nadi : 82 x/i
Respirasi: 22 x/i

4) Rambut : Hitam, berminyak, sedikit


rontok
5) Muka : Simestris,
tidak
oedema,
tidak pucat,
kusam

6) TFU : 1 jari dibawah pusat

7) Kontraksi : Keras

E. MASALAH

Ibu cemas dengan keadaannya dan keadaan bayinya

F. KEBUTUHAN

Dukungan moril dan suport mental

II. DIAGNOSA POTENSIAL

Depresi postpartum

III. TINDAKAN SEGERA

Konsultasi dengan tenaga kesehatan seperti bidan,


dokter spesialis jiwa atau psikiater
IV. RENCANA TINDAKAN

Tanggal Masuk : 03 mei 2015 pukul :


16.30 WIB
a. Beritahu ibu hasil pemeriksaan

b. Beritahu pada ibu bahwa dirinya adalah ibu yang baik.

c. Beritahukan ibu untuk memperlakukan dirinya dengan baik

d. Anjurkan ibu untuk menceritakan segala


permasalahan atau hal lain yang ingin
diungkapkan kepada teman atau kerabat
terdekat.
e. Anjurkan ibu untuk berkonsultasi
dengan tenaga medis
untuk mengurangi kekhawatirannya

5. Berikan ibu KIE tentang tanda bahaya masa nifas

V. PELAKSANAAN TINDAKAN

Tanggal Masuk : 03 mei 2015 pukul : 16.35 WIB

A. Memberitahu ibu hasil pemeriksaan, bahwa ibu sedang


mengalami

sindrome postpartum bues

B. Memberitahu ibu bahwa dirinya adalah ibu


yang baik dan mampu merawat anaknya
dengan baik
C. Memberitahu ibu untuk memperlakukan
dirinya dengan baik, dengan cara:
1. Makan makanan yang bergizi.
2. Banyak istirahat dan tidur.

3. Pergi keluar untuk mendapat cahaya matahari.

4. Berlatih secara rutin (berjalan selama 20 menit atau


lebih).

5. Menyediakan waktu untuk diri sendiri


(untuk sejenak menghindari tugas-tugas
dan urusan bayi).
6. Melewatkan waktu bersama teman-teman.
7. Menganjurkan ibu untuk menceritakan segala
permasalahan atau hal lain yang ingin diungkapkan
kepada teman atau kerabat terdekat.
8. Menganjurkan klien untuk berkonsultasi dengan tenaga
medis untuk mengurangi kekhawatirannya
9. Memberitahu ibu tentang tanda bahaya masa nifas
dengan cara:
a. Menjelaskan tentang perdarahan yang keluar dari jalan
lahir secara

tiba-tiba dan bertambah banyak, yang


ditandai ganti pembalut 2 kali selama 30
menit

b. Menjelaskan tentang pengeluaran dari


jalan lahir yang berbau busuk

c. Menjelaskan tentang rasa sakit atau nyeri


di bagian perut atau punggung
d. Menjelaskan tentang tanda-tanda
hipertensi diantaranya tekanan darah
lebih dari 140/90 mmHg, sakit kepala
yang terus menerus dan menetap, nyeri
ulu hati, pandangan mata kabur, oedema
pada muka dan tangan

e. Menjelaskan tentang tanda-tanda infeksi


diantaranya demam, muntah, rasa sakit
saat BAK, atau tidak enak badan

f. Menjelaskan tentang permasalahan pada


payudara diantaranya payudara berubah
jadi merah, panas, terasa sakit, bengkak,
puting lecet atau keluar nanah

g. Menjelaskan tentang kehilangan nafsu


makan selama masa nifas

h. Menjelaskan tanda-tanda tromboplebitis


diantaranya betis terasa nyeri atau sakit,
kemerahan, dan panas

i. Menjelaskan tentang sindrome baby


blues diantaranya perasaan yang sedih
atau tidak mampu mengasuh bayinya
atau diri sendiri

j. Menjelaskan tentang perasaan yang letih


atau nafas yang terengah- engah

k. Memberitahu ibu untuk melakukan


tindakan jika mengalami tanda bahaya
untuk segera datang ke tenaga kesehatan.
VI. EVALUASI

Tanggal Masuk : 03 mei 2015 pukul : 17.10 WIB

A. Ibu sudah tahu ibu hasil pemeriksaan

B. Ibu sudah mengerti bahwa dirinya adalah ibu yang baik

C. Ibu bersedia untuk memperlakukan dirinya dengan baik

D. Ibu bersedia untuk menceritakan segala


permasalahan atau hal lain yang ingin
diungkapkan kepada teman atau kerabat
terdekat.
E. Ibu bersedia untuk berkonsultasi dengan
tenaga medis untuk mengurangi
kekhawatirannya
F. Ibu sudah tahu tentang tanda bahaya masa nifas

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pembahasan ini penulis akan membahas


tentang proses asuhan kebidanan yang telah
diberikan kepada Ny. A umur 22 tahun P1A0
postpartum hari ke-2 dengan PostPartum Blues di
RB Dr. Johan Surakarta secara lebih terperinci,
menurut langkah-langkah dalam manajemen
Varney yang dimulai dari pengkajian sampai
dengan evaluasi sebagai berikut:
1. Pengkajian Data

Dalam pengkajian, penulis memperoleh


data dari data subjektif dan obyektif. Pada
kasus ibu nifas Ny. A umur 22 tahun P1A0
postpartum hari ke-2 dengan postpartum
blues, di dapatkan data subjektif yaitu ibu
sulit tidur, tidak nafsu makan dan ibu merasa
cemas. Hal ini sesuai teori yang dikemukakan
oleh Nurjanah (2013) bahwa gejala
postpartum blues yaitu sulit tidur, tidak nafsu
makan, cemas dan pikiran menakutkan
mengenai bayi. Pada langkah ini penulis tidak
menemukan kesenjangan antara teori dan
praktek karena tanda-tanda yang dialami oleh
Ny.A sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Nurjanah (2013)
2. Interpretasi Data

Pada kasus Ny. A diagnosa kebidanan


Ny. A P1A0 umur 22 tahun nifas hari ke-2
dengan postpartum blues, masalah yang
timbul yaitu tampak cemas, dasarnya
perasaan berubah-ubah, kebutuhannya

dukungan suami, keluarga, teman dan teman


sesama ibu. Hal tersebut sesuai dengan teori
Marmi (2014) bahwa untuk penanganan rasa
cemas dukungan suami, keluarga, teman dan
teman sesama ibu. Maka penulis tidak
menemukan kesenjangan antara kasus dan
teori Marmi (2014) karena rasa cemas dapat
ditangani dengan membicarakan rasa cemas
yang dialami.
3. Diagnosa Potensial

Dalam kasus ibu nifas Ny.A dengan


postpartum blues ini ditemukan diagnosa
potensial Depresi postpartum dengan
antisipasi konsultasikan pada dokter atau
orang yang profesional, agar dapat
meminimalisasikan faktor resiko lainnya dan
membantu melakukan pengawasan. Hal
tersebut sesuai dengan teori Marmi (2014).
Penulis tidak menemukan kesenjangan antara
kasus dan teori Marmi (2014)
4. Tindakan segera

Dalam kasus ini tindakan segera yaitu


konsultasi dengan tenaga kesehatan. Hal
tersebut sesuai dengan teori Dewi dan
Sunarsih (2011) yaitu salah satu penanganan
postpartum blues dengan berkonsultasi
dengan tenaga kesehatan seperti bidan, dokter
spesialis jiwa serta psikiater. Maka penulis
tidak menemukan kesenjangan antara kasus
dan teori Dewi dan Sunarsih (2011)
5. Rencana Tindakan

Intervensi asuhan yang dilakukan pada kasus Ny.A dengan

postpartum blues yaitu Beritahu ibu hasil pemeriksaan, Beritahu


pada ibu

bahwa dirinya adalah ibu yang baik,


Beritahukan ibu untuk memperlakukan
dirinya dengan baik, Anjurkan ibu untuk
menceritakan segala permasalahan atau hal
lain yang ingin diungkapkan kepada teman
atau kerabat terdekat, Anjurkan ibu untuk
berkonsultasi dengan tenaga medis untuk
mengurangi kekhawatirannya, Beritahu ibu
tentang tanda bahaya masa nifas. Berdasarkan
perencanaan yang diberikan pada ibu nifas
Ny.A dengan postpartum blues tidak ada
kesenjangan karena sesuai dengan teori
Marmi (2014)
6. Pelaksanaan Tindakan

Pada kasus ini sudah dilaksanakan


pelaksanaan asuhan kebidanan pada ibu nifas
Ny. A dengan postpartum blues yaitu
memberitahu ibu hasil pemeriksaan,
memberitahu pada ibu bahwa dirinya
bukanlah ibu yang buruk, memberitahukan
ibu untuk memperlakukan dirinya dengan
baik, menganjurkan ibu untuk menceritakan
segala permasalahan atau hal lain yang ingin
diungkapkan kepada teman atau kerabat
terdekat, menganjurkan ibu untuk
berkonsultasi dengan tenaga medis untuk
mengurangi kekhawatirannya. Dalam
pelaksanaan tidak ada kesenjangan dalam
memberikan asuhan antara praktek dan teori
Marmi (2014).
7. Evaluasi

Setelah dilakukan asuhan kebidanan


pada ibu nifas Ny.A dengan postpartum
blues maka hasil akhirnya ibu sudah tahu
hasil pemeriksaan, ibu mengerti bahwa
dirinya bukanlah ibu yang buruk, ibu
bersedia untuk memperlakukan dirinya
dengan baik, ibu bersedia untuk
menceritakan segala permasalahan atau hal
lain yang ingin diungkapkan kepada teman
atau kerabat terdekat, ibu bersedia untuk
berkonsultasi dengan tenaga medis untuk
mengurangi kekhawatirannya. Berdasarkan
kasus diatas tidak terdapat kesenjangan
antara praktek dan teori Marmi (2014)
BAB V

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Setelah melakukan asuhan kebidanan pada

Ny. A P1A0 dengan postpartum blues di RB Dr.

Johan Surakarta mulai dari pengkajian sampai

evaluasi dengan menggunakan pendekatan

menejemen kebidanan menurut varney, maka

peneliti tidak menemukan kesenjangan antara

teori dan praktek, kemudian dapat dirincikan

sebagai berikut

1. Pada pengkajian pada Ny.A P1A0 umur 22

tahun dengan postpartum blues

dilaksanakan dengan mengumpulkan data

subyektif yang diperoleh dari hasil

wawancara dimana ibu mengatakan sulit

tidur, tidak nafsu makan dan cemas terhadap

keadaan bayinya dan dirinya. Data obyektif

dieroleh dari pemeriksaan fisik seperti

keadaan umum dan pemeriksaan sistematis

2. Interpretasi data meliputi diagnosa

kebidanan yaitu Ny. A P1A0 Umur 22

tahun dengan postpartum blues, masalah


yang muncul yaitu Ibu cemas dengan

keadaannya dan keadaan bayinya sehingga

kebutuhan yang diberikan yaitu dukungan

moril dan suport mental

3. Diagnosa potensial pada Ny.A P1A0


umur 22 tahun dengan poostpartum blues yaitu
depresi postpartum

4. Tindakan segera pada Ny.A P1A0 Umur 22

tahun dengan postpartum blues yaitu

Konsultasi dengan tenaga kesehatan

5. Pada rencana asuhan kebidanan yang akan

dilakukan pada ibu nifas Ny.A P1A0 umur

22 tahun dengan postpartum blues yaitu

Beritahu ibu hasil pemeriksaan, Beritahu

pada ibu bahwa dirinya bukanlah ibu yang

buruk, Beritahukan ibu untuk

memperlakukan dirinya dengan baik,

Anjurkan ibu untuk menceritakan segala

permasalahan atau hal lain yang ingin

diungkapkan kepada teman atau kerabat

terdekat, Anjurkan ibu untuk berkonsultasi

dengan tenaga medis untuk mengurangi

kekhawatirannya, Beritahu ibu tentang

tanda bahaya masa nifas


6. Pelaksanaan pada kasus ibu nifas Ny. A

P1A0 umur 22 tahun dengan postpartum

blues adalah Memberitahu ibu hasil

pemeriksaan, bahwa ibu sedang mengalami

sindrome postpartum blues, Memberitahu

ibu bahwa dirinya bukanlah ibu yang buruk,

Memberitahu ibu untuk memperlakukan

dirinya dengan baik, menganjurkan ibu

untuk menceritakan segala permasalahan

atau hal lain yang ingin diungkapkan

kepada teman atau kerabat terdekat,

Menganjurkan klien untuk berkonsultasi

dengan tenaga medis untuk mengurangi

kekhawatirannya, memberitahu ibu tentang

tanda bahaya masa nifas

7. Evaluasi pada kasus ibu nifas Ny.A P1A0

Umur 22 tahun dengan postpartum blues

adalah Ibu sudah tahu ibu hasil

pemeriksaan, Ibu sudah mengerti bahwa

dirinya bukanlah ibu yang buruk, Ibu

bersedia untuk memperlakukan dirinya

dengan baik, Ibu bersedia untuk

menceritakan segala permasalahan atau hal


lain yang ingin diungkapkan kepada teman

atau kerabat terdekat, Ibu bersedia untuk

berkonsultasi

dengan tenaga medis untuk mengurangi

kekhawatirannya, Ibu sudah tahu tentang

perawatan bayi sehari-hari, Ibu sudah tahu

tentang tanda bahaya masa nifas

8. Setelah dilakukan asuhan kebidanan pada

Ny.A dengan menerapkan tujuh langkah

varney, tidak ditemukan antara kesenjangan

teori dan praktek. Dan dilanjutkan dengan

data perkembangan dengan menggunakan

metode SOAP

B. SARAN

1. Bagi Profesi

Diharapkan dapat memberikan masukan

kepada anggota profesi dalam

mengembangkan tingkat pengetahuan ibu

nifas tentang postpartum blues

2. Bagi Institusi

Diharapkan dapat dijadikan bahan masukan

dalam memberikkan mata kuliah yang


berkaitan dengan penelitian ini,terutama

mata kuliah Askeb IV Patologi

3. Bagi Instansi

Diharapkan dapat dijadikan bahan masukan


dan bahan referensi untuk penelitian
selanjutnya yang berhubungan pada ibu
nifas dengan postpartum blues.
DAFTAR PUSTAKA

Irawati, D. Yuliani, F. 2014. Pengaruh Faktor Psikososial Dan Cara Persalinan


Terhadap Terjadinya Postpartum Blues Pada Ibu Nifas. Jurnal Hospital
Majapahit Vol.1 No. 6, Februari 2014. Jurnal Ilmiah Kesehatan Politeknik
Kesehatan Majapahit Mojokerto. Mojokerto

Janiwarty, B. Pieter, H, Z. 2013. Pendidikan Psikologi Untuk Bidan. Yogyakarta :


Andi Offset

Marmi. 2014. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas “Pueperium Care”.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai