Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ni Putu Harista Diandari

NIM : P07124218006
Prodi : Sarjana Terapan Kebidanan Semester V
Mata Kuliah : Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui

Depresi Post Partum


Kehamilan seorang wanita adalah penting karena hal ini merupakan symbol terjadinya
transisi ke arah kedewasaan (Zajicek, dalam Strong & Devault, 1989). Menjadi ibu adalah
kebahagian tak terkira bagi seorang wanita. Hal tersebut sudah tidak bisa dipungkiri lagi,
meskipun setelah melahirkan seorang wanita harus beradaptasi dalam menjalani perannya
sebagai ibu. Kendati demikian, tak semua ibu merasa Bahagia setelah melahirkan. Keadaaan ini
bisa jadi memicu depresi pasca persalinan dan syndrome baby blues. Sebelumnya, mari bicara
mengenai masa post partum terlebih dahulu. Masa postpartum merupakan masa ketika terjadi
berbagai perubahan pada wanita setelah bersalin, baik perubahan fisiologis, psikologis, maupun
sosio kultural dan spiritual. Pada masa post partum inilah seorang wanita atau perempuan
mendalami perannya sebagai orangtua teruma seorang ibu yang bertanggung jawab atas
kehidupan anaknya. Karena hal inilah tercetus berbagai reaksi psikologis, mulai dari reaksi
emosional ringan hingga ke tingkat gangguan jiwa yang berat. Menurut Townsend (2005),
gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap stressor dari dalam atau luar lingkungan,
yang berhubungan dengan perasaan dan perilaku yang tidak sejalan dengan budaya, kebiasaan
dan norma setempat dan mempengaruhi kondisi social seorang individu. Perubahan ini dapat
menyebabkan gangguan psikologis ibu, yang mana dapat menjadi suatu depresi setelah
melahirkan yang dinamakan depresi pasca melahirkan atau yang disebut depresi postpartum.

Seorang ibu post partum sangat mungkin mengalami gangguan depresi post partum (post
partum depressive) maupun gangguan baby blues syndrome. Kedua masalah psikologis pada ibu
nifas tersebut sebenarnya adalah dua permasalahan yang berbeda, namun banyak orang yang
salah paham mengira bahwa dua masalah tersebut adalah sama. Menurut Esha dkk, “Depresi
postpartum merupakan gangguan mood setelah melahirkan yang merefleksikan disregulasi
psikologikal yang merupakan tanda dari gejala-gejala depresi major”. Mood yang tertekan,
hilangnya ketertarikan atau senang dalam beraktivitas, gangguan nafsu makan, gangguan tidur,
agitasi fisik atau pelambatan psikomotor, lemah, merasa tidak berguna, susah konsentrasi,
keinginan untuk bunuh diri merupakan gejala-gejala yang dapat dijumpai pada ibu dengan
depresi postpartum. Gejala postpartum  depression atau postnatal depression bisa terjadi pada
awal kehamilan, beberapa minggu sesudah melahirkan, atau hingga setahun sesudah bayi lahir.
Pada intinya, ibu yang mengalami depresi post partum cenderung gelisah dan cemas ketika
berhadapan dengan bayinya.

Sementara Baby Blues Syndrom adalah suatu tingkat keadaan depresi bersifat sementara
yang dialami oleh kebanyakan ibu yang baru melahirkan karena perubahan tingkat hormon,
tanggung jawab baru akibat perluasan keluarga dan pengasuhan terhadap bayi. Keadaan ini
biasanya muncul antara hari ke-tiga hingga ke-sepuluh pasca persalinan, seringkali setelah pasien
keluar dari rumah sakit. Postpartum blues pada ibu pasca persalinan masih dianggap sebagai hal
yang wajar sehingga seringkali terabaikan dan tidak tertangani dengan baik (Iskandar, 2004).
Lebih lanjut, tingkat keparahan gejala maupun dampak terjadinya depresi postpartum
menjadikan gangguan ini benar-benar tidak dapat diabaikan.

Lebih dari 50% perempuan yang mengalami depresi postpartum tidak tahu bagaimana
dan kemana mencari bantuan untuk mengatasi kondisi yang dialami. Perempuan yang
mengalami depresi mengerti bahwa ada sesuatu yang salah dalam diri mereka, mayoritas adalah
ibu primipara dan ibu yang melahirkan yang anak terakhirnya berusia di atas 5 tahun sehingga
ibu sudah lupa dengan pengalaman sebelumnya, begitu juga dengan ibu yang melahirkan bayi
laki-laki setelah sebelumnya melahirkan bayi perempuan (Bussel et al., 2009 ; Pillitteri, 2010).
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) diperkirakan wanita melahirkan yang
mengalami depresi postpartum ringan berkisar 10 per 1000 kelahiran hidup dan depresi
postpartum sedang atau berat berkisar 30 sampai 200 per 1000 kelahiran hidup.

Kondisi gangguan psikologis pada awal masa postpartum dikategorikan sebagai gejala
gangguan mental ringan yang sering tidak dipedulikan oleh ibu postpartum sendiri. Kondisi ini
menjadi pencetus keadaan yang lebih berat. Apabila dibiarkan dalam waktu lama kondisi ini bisa
memiliki dampak buruk bagi ibu maupun bayi (Sadock, 2007). Namun rasa takut itu sebenarnya
bisa diatasi. Karena semua perasaan takut itu berasal dari otak bawah sadar. Maka kita sendiri
yang paling bisa mengatasinya walaupun motivasi dari orang terdekat juga berperan penting.
Kondisi ibu postpartum memerlukan perhatian khusus, ibu membutuhkan prose penyesuai baik
secara fisik maupun psikologis untuk memulihkan dirinya ke kondisi normal. Seorang ibu
setelah melahirkan dapat mengalami gangguan suasana hati misalnya kecewa, takut, tidak
sayang kepada bayi dan rasa bersalah karena memiliki perasaan tersebut. Kondisi gangguan
psikologis pada awal masa postpartum dikategorikan sebagai gejala gangguan mental ringan
yang sering tidak dipedulikan oleh ibu postpartum sendiri. Kondisi ini menjadi pencetus keadaan
yang lebih berat.

Penegakan diagnosis suatu depresi postpartum dapat ditegakkan melalui gejala-gejala


klinis yang tampak seperti mood yang tertekan, hilangnya ketertarikan atau senang dalam
beraktivitas, gangguan nafsu makan, gangguan tidur, agitasi fisik atau pelambatan psikomotor,
lemah, merasa tidak berguna, susah konsentrasi, keinginan untuk bunuh diri. Untuk menegakkan
diagnosis tersebut selain dari riwayat serta penampakan gejala, dapat ditunjang melalui test
Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS).

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-
IV), sebuah depresi dipertimbangkan sebagai postpartum jika dimulai selama empat minggu
setelah kelahiran. Pola gejala pada wanita dengan depresi postpartum sama pada wanita yang
mengalami masa depresi selama tidak hamil. Susah berinteraksi dengan perawat dalam keadaan
stres dan bayi meningkatkan resiko pendekatan yang tidak aman dan terjadinya masalah kognitiv
dan sifat pada anak.

Cerita Seorang Ibu yang Mengalami Post Partum Depressive/ Depresi Post Partum.

Nama beliau adalah Ibu Intan Wijayanto, seorang wanita yang mengaku dirinya susah
memiliki momongan. Ia baru bisa hamil setelah tiga tahun menikah, saat ditanya bagaimana
perasaannya beliau mengatakan, bahagia tapi lebih banyak banyak perasaan takut yang
menghantui sejak masa kehamilan. Ia mulai sadar bahwa dirinya mengalami setres setelah dokter
mengatakan bahwa ia harus menjalani operasi Caesar. Saat itu, Ibu Intan merasa down namun, ia
berusaha untuk menerima bahwa dirinya tidak dapat melahirkan secara normal.

Beliau bercerita setelah melahirkan ia merasa tegang tidak seperti ibu post partum pada
umumnya, ia terjaga sepanjang hari dan mengalami gangguan tidur. Sejak usai melahirkan beliau
banyak memikirkan mengenai apa-apa saja yang harus ia lakukan sebagai seorang ibu yang
dimana ini adalah pertama kali baginya. Pikiran-pikiran tersebut tanpa disangka membuatnya
semakin setres, pada akhirnya semua pikiran tersebut hanya ada di kepalanya saja, beberapa hal
yang sudah ia rencanakan untuk dilakukan tidak terlaksana, sehingga beliau mulai menyalahkan
diri sendiri. Hal tersebut berlanjut di hari kedua atau hari ketiga pasca melahirkan dimana ia
mendapati bayinya pipis mengeluarkan darah dan dokter mengatakan bahwa bayinya kurang
minum ASI, dimana kita ketahui ASI sangat penting karena kandungannya yang sangat baik
untuk nutrisi bayi. Hal itu menyebabkan bayinya harus diberi sufor agar dapat tertolong.
Mengetahui hal tersebut membuat Ibu Intan kembali menangis dan merasa semakin bersalah, ia
telah gagal menjadi seorang ibu, pikirnya. Ekstalasi depresi tersebut naik turun, bahkan ia sampai
pernah berpikiran untuk mengakhiri hidupnya dan mengakhiri hidup anaknya. Menurutnya, itu
adalah fase terburuk yang pernah ia alami. Dukungan yang datang hanya dari suami saja, di
tengah kebingungan merasa sendiri, tidak tahu arah, harus kemana? Harus bagaimana? Ia hanya
bisa bertahan di dalam kegelapan tersebut untuk tetap sadar tidak meyakiti dirinya sendiri dan
menyakiti anaknya. Di situasi yang gelap, dengan amarah, tangisan, tekanan, kehilangan diri
sendiri, dan kebingungan rasanya serti berengang, namun tenggelam mencoba untuk berenang ke
atas namun sesuatu terasa menghantam menekan tubuhnya ke bawah tenggelam Kembali.
Perasaan seperti itu ia rasakan sampai hamper tiga tahun.

Suatu ketika, di tahun 2016 ia mengikuti sebuah acara Lingkaran Ibu “Halo Ibu”. Sejak
saat itu ia menyadari dan mengetahui bahwa apa yang telah ia rasakan selama ini adalah depresi
post partum. Ia baru mengetahui, depresi tersebut adalah hal yang wajar yang bisa terjadi pada
wanita pasca persalinan, dan yang terpenting masalah itu bisa diatasi. Setelahnya, ia menangis
sepanjang jalan Bintaro menuju Bogor dalam keadaan menyetir monil. Sampai di rumah ia
berkata pada suaminya sambil menangis, “kayaknya aku gila” kata-kata pertama yang ia ucapkan
pada suaminya adalah “kayaknya aku gila, deh” menurutnya, proses mengakui tersebutlah yang
menjadi awal titik balik dirinya yang baru, keinginan untuk sembuh yang tentu membutuhkan
dukungan dari suaminya.

Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti terapi. Ia menyakinkan diri sendiri


selama ini ia berbuat hal yang salah dan ia harus segera mencari pertolongan dan solusi. Depresi
yang ia alami harus tuntas dan selesai. Sesi terapi yang ia jalani benar-benar memberishkan
semua pikirannya walau semuanya tidak langsung sembuh, ia membutuhkan waktu sekitar
setahun untuk menemukan terapis yang cocok sehingga ia dapat sembuh dari depresi pasca
persalinan yang menghantuinya bertahun-tahun.

Baginya kelas perisapan ibu hamil itu bagus, kita dapat mendapatkan informasi yang
cukup, mempersiapkan segala hal yang berhubungan dengan persalinan, dan mengasuh anak.
Tapi itu saja tidak cukup, yang terpenting adalah kesiapan mental masing-masing ibu untuk
menerima apapun yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan dan inginkan harusnya hal itu
juga mengambil porsi yang sama benar dan sama pentingnya. Supaya mental kita jauh lebih kuat
untuk menerima hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan, dan juga jangan mencoba untuk
menjadi sempurna. Jangan hanya terpaku pada pemikiran seorang ibu harus melahirkan secara
normal, harus memberikan ASI eksklusif. Menurutnya, karena informasi yang terlalu banyak
itulah yang dapat menyebabkan setres dan berakhir dengan depresi. Jadilah seorang ibu yang apa
adanya, jangan terlalu memaksakan diri untuk menjadi sempurna.

Terakhir ia berpesan,”ketika kamu merasa sakit, sdih itu semua adalah perasaan yang
valid, tidak apa-apa rasain aja, akui aja. Kamu mungkin akan takut. Kalau memang butuh
bicara, utarakan, obrolin sama suami boleh atau sama teman mungkin atau dengan orang
terdekat. Rasakan dan jangan denial. Ketika memang kamu ada masalah disitu, sesegera
mungkin cari pertolongan. Setelah itu, berjanjilah pada diri sendiri bahwa kamu mau sembuh,
dan kamu harus sembuh. Jangan putus asa, kamu akan menemukan dirimu yang baru”.

Dari cerita di atas dapat diketahui bahwa penyebab depresi post partum yang dialami Ibu
Intan tersebut sebenarnya berasal dari pemikiran-pemikiran yang terlalu berlebihan. Pemikiran
berlebihan itu yang memancing setres dan akhirnya berakhir pada depresi jika tidak segera
ditangani. Postpartum depression tidak disebabkan oleh satu faktor penyebab saja. Biasanya
kondisi ini disebabkan oleh kombinasi faktor fisik dan emosional. Setelah melahirkan,
kadar hormon estrogen dan progesteron di dalam tubuh ibu akan turun drastis. Hal ini
menyebabkan perubahan kimia di otak yang memicu terjadinya perubahan suasana hati.
Ditambah lagi, kegiatan mengasuh bayi dapat membuat ibu tidak dapat beristirahat dengan
cukup untuk memulihkan dirinya setelah melahirkan. Kurangnya istirahat dapat menimbulkan
kelelahan, baik secara fisik maupun emosional, hingga akhirnya memicu depresi pasca
melahirkan. Selain itu, ada beberapa factor yang dapat menyebabkan ibu mengalami depresi post
partum diantaranya, pernah menderita depresi sebelumnya, menderita gangguan psikologis,
menyalahgunakan NAPZA, hamil di usia muda dan memiliki banyak anak.

Tips yang diberikan Ibu Intan sudah cukup jelas yaitu, mempersiapkan mental sebaik
mungkin. Karena percuma jika sudah memahami semua informasi tetapi mental kita tidak kuat
untuk menerima hal-hal yang tidak berkenan selama proses persalinan dan nifas berlangsung.
Tips lain yang dapat dicoca yaitu, selalu menjaga komunikasi dengan suami supaya ketika terasa
ada sesuatu yang salah dapat segera dibicarakan dan dicari solusinya bersama. Tips lain yang
mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi rasa depresi post partum adalah yang pertama, dengan
menjauhkan diri dari hal-hal negative. Ibu yang mengidap depresi postpartum sangat emosional.
Apapun yang mereka lihat, akan mereka hubungkan dengan kondisi mereka sendiri. Yang kedua,
Kenali diri sendiri. Ada baiknya ibu mengenali batasan-batasan yang ada pada diri sendiri agar
supaya ketika gejala depresi ini muncul, ibu cepat tanggap untuk mencari bantuan baik itu dari
psikolog maupun psikiater. Yang ketiga, jangan membebani diri sendiri. Jangan sungkan minta
bantuan suami, keluarga, atau asisten rumah tangga. Kalau sudah merasa lelah dan benar-benar
butuh tidur, tapi pekerjaan rumah masih banyak, tidurlah. Bangun rasa nyaman pada diri sendiri
agar proses kehamilan dan persalinan menjadi menyenangkan. Yang keempat, menjauhkan diri
dari orang-orang yang negative. Tidak semua orang akan mendukung saat proses kehamilan
maupun persalinan terjadi. Mungkin di antara mereka ada orang-orang yang menyalahkan ibu
sehingga memicu rasa tertekan dan depresi. Lebih baik mengahbiskan waktu dengan orang-orang
yang mengerti kondisi ibu yang memang rentan akibat pengaruh hormone. Yang kelima, tahu
kapan harus mnecari bantuan.

Pesan yang dapat dipetik dari cerita Ibu Intan adalah umur tidak bisa menjadi patokan
seseorang siap untuk memiliki anak. Butuh mental sekuat baja disamping perisapan-persiapan
yang lain. Jangankan wanita yang menikah usia muda karena hamil sebelum menikah, seorang
wanita yang sudah menikah dan siap umur untuk hamil pun belum tentu siap mental untuk
menjadi seorang ibu, karena menjadi seorang ibu tanggung jawabnya luar biasa. Maka sebelum
memutuskan untuk memiliki anak, yakinkan diri dan perisapkan mental terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai