Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU KEJIWAAN APRIL 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFARAT : PSIKOSIS POSTPARTUM

LAPORAN KASUS : SKIZOFRENIA PARANOID (F20.0)

YUSTIN MARINTA

C014182070

RESIDEN PEMBIMBING :

dr. Mirna M. Zain

SUPERVISOR PEMBIMBING :

Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp. KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Yustin Marinta

Stambuk : C014182070

Judul Refarat : Psikosis Postpartum

Judul Laporan Kasus : Skizofrenia Paranoid (F20.0)

Telah menyelesaikan tugas refarat dan laporan kasus pada tanggal April 2019dan telah
mendapatkan perbaikan. Tugas ini dalam rangka kepaniteraan klinik pada departemen
psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, April 2019

Supervisor Pembimbing

(Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp. KJ) (dr. Mirna M. Zain )


PSIKOSIS POST PARTUM

1.1 PENDAHULUAN

Kehamilan, persalinan dan postpartum merupakan episode dramatis terhadap kondisi


biologis, perubahan psikologis dan adaptasi dari seorang wanita yang pernah mengalaminya.
Perubahan fisik dan emosional yang komplek menyebabkan seorang calon ibu memerlukan
adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup terkait dengan proses kehamilan, persalinan dan
masa postpartum.(1) Seorang wanita mempunyai reaksi emosi yang berbeda dalam
menghadapi masa hamil, persalinan, dan nifas . Gangguan emosional pasca persalinan dibagi
menjadi tiga, yaitu postpartum blues (maternity blues atau baby blues), postpartum
depression, dan postpartum psikosis dengan angka kejadian yang bervariasi di seluruh dunia.

Ada 3 tipe gangguan jiwa pascapersalinan, diantaranya adalah postpartum blues,


postpartum depression dan psikosis postpartum. (2,3)

Postpartum blues atau sering disebut juga sebagai maternity blues yaitu kesedihan
pasca persalinan yang bersifat sementara. Postpartum depression yaitu depresi pasca
persalinan yang berlangsung saat masa nifas, dimana para wanita yang mengalami hal ini
kadang tidak menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan penyakit., psikosis
postpartum dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat karena bisa
menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap pasca
melahirkan.(2,3)

Angka baby blues mencapai 50% - 80% pada ibu baru melahirkan. Angka kejadian
baby blues di Asia cukup tinggi dan bervariasi antara 26-85%. Di Indonesia angka baby
blues yaitu 50-70% . Baby blues dapat berlanjut menjadi depresi postpartum dengan jumlah
bervariasi dari 5% hingga lebih dari 25% setelah ibu melahirkan dan 1% mengalami Psikosis
postpartum4. Psikosis postpartum merupakan keadaan darurat karena risiko potensial untuk
pembunuhan bayi atau bunuh diri pada ibu sangat tinggi. Oleh karena itu, rujukan segera ke
psikiater, rawat inap, atau indikasi inisiasi obat antipsikotik segera. Psikosis postpartum
dikaitkan dengan 70 kali lipat peningkatan risiko bunuh diri pada 12 bulan pertama
pascapersalinan dengan angka puncak dalam beberapa hari hingga beberapa minggu5.
Melihat hal di atas, jelas bahwa psikosis post partum merupakan masalah kesehatan yang
akan dihadapkan pada tahun-tahun yang akan datang. Dalam refarat ini, penulis akan
membahas mengenai psikosis postpartum yang merupakan gangguan psikotik pasca
persalinan (3).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFENISI
Psikosis post partum (kadang-kadang disebut psikosis puerplural) adalah suatu
contoh gangguan psikotik yang tidak tergolongkan yang terjadi pada perempuan yang
baru saja melahirkan bayi. Sindrom ini paling sering ditandai dengan depresi ibu,
waham, dan pikiran membahayakan diri sendiri atau bayinya. Ide bunuh diri atau
pembunuhan terhadap bayi harus terus dipantau dengan ketat. Sebagian besar data yang
tersedia menunjukkan hubungan dekat antara psikosis postpartum dan gangguan mood,
terutama gangguan bipolar dan gangguan depresif mayor(6).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi psikosis postpartum berkisar antara 0,89 dan 2,6 pada 1000
kelahiran di beberapa negara, dan sebuah studi melaporkan prevalensi menjadi 5 dari
1000 kelahiran. Perkiraan kejadian ini tampaknya relatif konsisten dengan prevalensi
yang sering dikutip 1-2 dalam 1000 kelahiran untuk psikosis pascapartum pada
populasi umum (7).

Hasil penelitian lain yang dilakukan Wratsangka (1996) di RSUP. Hasan


Sadikin Bandung mencatat wanita yang mengalami depresi dan psikosis postpartum
pada wanita primipara sekitar 50-80%. Dan yang mengalami depresi dan psikosis
pada multipara sekitar 33%. Hasil penelitian yang dilakukan Alfiben (2000) di
Rs.Cipto Mangunkusumo tidak berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh
Wratsangka, 70% wanita primipara mengalami depresi dan psikosis postpartum dan
30 % pada wanita multipara.(8)

. Sekitar 50% perempuan yang terkena mempunyai riwayat keluarga dengan


gangguan mood. Meskipun psikosis postpartum pada dasarnya gangguan pada
perempuan, beberapa kasus yang langka menyerang ayah. Pada keadaan tersebut,
seorang suami merasa digantikan oleh anak dan dapat berkompetisi memperebutkan
cinta dan perhatian ibu. Namun, laki-laki tersebut mungkin telah mempunyai
gangguan mental mayor yang kemudian dieksaserbassi oleh stress karena menjadi
ayah (6)

2.3 ETIOLOGI

Penurunan cepat tingkat reproduksi hormon yang terjadi setelah melahirkan dikatakan
dapat berkembang menjadi depresi pada wanita dengan depresi postpartum. Penurunan
hormon progesteron signifikan berhubungan dengan perubahan suasana hati dengan sebuah
pengaruh tambahan pada pola makan.6 Pada studi lainnya, didapatkan peningkatan serum Cu
yang sejalan dengan terjadinya inflamasi atau disregulasi auto-imun.9 Ketika tingkat
inflamasi tinggi, penderita akan mengalami gejala depresi seperti lemas, dan lesu. Kedua,
inflamasi akan meningkatkan level kortisol dan akhirnya akan menurunkan serotonin dengan
menurunkan prekursornya, yaitu trypthopan4.

Walaupun penyebab depresi cenderung pada tingkat penurunan hormon, beberapa


faktor lain mungkin menjadi penyebab terjadinya depresi post partum. Kejadian stress dalam
hidup, riwayat depresi sebelumnya, dan riwayat keluarga yang mengalami gangguan mood,
semua dikenal sebagai prediktor depresi mayor pada wanita1.

Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan 4 faktor penyebab depresi postpartum sebagai
berikut :

a. Faktor konstitusional.

Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat obstetri pasien yang
meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi dari kehamilan dan
persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita primipara. Wanita primipara
lebih umum menderita blues karena setelah melahirkan wanita primipara berada dalam proses
adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi lahir jika ibu tidak paham
perannya ia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat.

b. Faktor fisik.

Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan mental selama 2
minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik dihubungkan dengan kelahiran pertama
merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis setelah melahirkan dan periode
laten selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat
berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron naik dan estrogen yang menurun
secara cepat setelah melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.

c. Faktor psikologis.

Peralihan yang cepat dari keadaan “dua dalam satu” pada akhir kehamilan menjadi dua
individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian psikologis individu. Klaus dan
Kennel (Regina dkk, 2001), mengindikasikan pentingnya cinta dalam menanggulangi masa
peralihan ini untuk memulai hubungan baik antara ibu dan anak.

d. Faktor sosial.

Paykel (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak memadai lebih
sering menimbulkan depresi pada ibu – ibu, selain kurangnya dukungan dalam perkawinan.

Menurut Kruckman (Yanita dan zamralita, 2001), menyatakan terjadinya depresi


pascasalin dipengaruhi oleh faktor :

1. Biologis.

Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar hormon seperti
estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas
atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat.

2. Karakteristik ibu, yang meliputi :

a. Faktor umur.

Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang
perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini
mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu.
Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan
seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi
seorang ibu.

b. Faktor pengalaman.
Beberapa penelitian diantaranya adalah pnelitian yang dilakukan oleh Paykel dan
Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih
banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang
ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali
baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang
dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri muda dari kelas sosial
menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami krisis
setelah kelahiran bayi pertama.

c. Faktor pendidikan.

Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik


peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja
atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu
rumah tangga dan orang tua dari anak–anak mereka (Kartono, 1992).

d. Faktor selama proses persalinan.

Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang digunakan
selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan
pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul
dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi
pascasalin.

e. Faktor dukungan sosial.

Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan


pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi postpartum
adalah faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan
hormonal, faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu.

Namun demikian, secara lebih spesifik sejumlah laporan mengemukakan bahwa DPM
dipicu oleh (a) dampak masa transisi (Curran, Hazen, Jacobvitz, & Feldman, 2005), (b)
ambivalensi dan rasa tidak aman (Simpson et al, 2003), dan (c) masalah dengan suami (Clark
et al, 2003). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Periode Transisi Akibat Kelahiran bayi

Kelahiran bayi pertama di dalam keluarga merupakan periode transisi bagi pasangan
suami istri. Sebagai pasangan rumah tangga yang tadinya hanya hidup berdampingan berdua
kini harus mempersiapkan diri menyambut kedatangan anggota baru dalam keluarga.
Perhatian khusus yang diberikan kepada bayi yang baru lahir dapat menyita waktu
kebersamaan suami dan istri. Berkurangnya waktu bersama antara suami dan istri dapat
menimbulkan kesenjangan hubungan suami-istri. Kesenjangan tersebut mempengaruhi
hubungan komunikasi serta afeksi antara suami dan istri, dan hal ini berpotensi menimbulkan
Depresi Postpartum (Curran et al, 2005).

Oleh karena itu, pasangan suami istri harus mewaspadai kesenjangan yang mungkin
terjadi antara mereka akibat kelahiran bayi mereka, dan pasangan suami istri harus berupaya
untuk mempertahankan hubungan mereka dalam periode transisi ini.

b. Ambivalensi dan Perasaan Tidak Aman

Para wanita yang bersikap ambivalen merupakan wanita yang merasa tidak aman, dan
individu yang merasa tidak aman cenderung rentan terhadap depresi (Simpson et al, 2003).
Individu yang merasa tidak aman cenderung bersikap negatif dalam menilai dirinya sendiri
(seperti merasa tidak berharga untuk dicintai atau diberikan dukungan) dan beranggapan
bahwa sosok individu yang dekat dengan mereka (attachment figure) cenderung bersikap
tidak mencintai dan tidak mendukung (Bowlby, 1980). Mereka yang ambivalen di satu pihak
sangat mengharapkan keberadaan sosok lain yang amat dekat dengan mereka untuk
memberikan dukungan bila dibutuhkan. Namun di lain pihak mereka diselimuti kecemasan
bahwa sosok yang dekat dengan diri mereka itu justru tidak akan ada bersama mereka atau
tidak akan mampu menolong mereka di saat yang amat dibutuhkan (Simpson et al, 2003).

Simpson et al (2003) menjelaskan bahwa kondisi pra dan pasca melahirkan


merupakan salah satu rentang kondisi yang menimbulkan stres yang cukup besar bagi wanita,
khususnya mereka yang ambivalen. Kondisi pra dan pasca melahirkan ini menimbulkan
persepsi pada ibu yang melahirkan bahwa dukungan suami mereka jauh berkurang daripada
biasanya, walaupun sesungguhnya bantuan suami pada dirinya sama sekali tidak berkurang.
Artinya, kondisi pra dan pasca melahirkan cenderung menimbulkan persepsi negatif wanita
terhadap kualitas hubungannya dengan suami, dan keadaan ini menurunkan kualitas
hubungan emosional dirinya dengan suami dan dengan bayi mereka.

c. Masalah dengan Suami

Kurangnya dukungan emosional dari suami dan ketidakpuasan perkawinan berperan


penting dalam mempengaruhi munculnya depresi Postpartum (Simpson et al, 2003).
Kurangnya keselarasan antar suami-istri besar kemungkinan akan menimbulkan kesenjangan
afeksi di antara mereka berdua (Curran et al, 2005); kesenjangan afeksi akan menurunkan
kepuasan perkawinan sehingga kualitas hubungan rumah tangga akan semakin menurun dan
dukungan suami juga menjadi semakin menurun. Akibatnya, istri semakin merasa dirinya
kurang diperhatikan atau bahkan merasa ditelantarkan oleh suaminya, dan istri menjadi lebih
rentan terhadap gejala depresi postpartum.

2.4 GEJALA KLINIS

Pada psikosis postpartum gejala dapat terjadi dalam jangka waktu setahun setelah
melahirkan anak. namun awalnya sering terjadi pada minggu kedua atau minggu ketiga
setelah persalinan. Gejala yang khas pada psikosis postpartum yaitu:
1. Agitasi.
2. Gelisah.
3. Emosi yang labil.
4. Kegembiraan yang berlebihan.
5. Insomnia.
6. Menangis.
7. Bingung.
8. Dan lama-kelamaan akan timbul episode psikotik yang gawat dengan gambaran
mania dan delirium.(2)
Waham dapat timbul pada 50% pasien dan halusinasi pada sekitar 25%.
Keluhan berkenaan dengan ketidakmampuan bergerak, berdiri, atau berjalan juga
sering ditemukan.

Pasien dapat mempunyai perasaan tidak ingin merawat bayinya, tidak


mencintai bayi, dan pada beberapa kasus, ingin melukai bayi dan/atau dirinya sendiri.
Materi waham dapat melibatkan ide bahwa bayi mati atau cacat. Pasien dapat
menyangkal kelahiran dan mengekspresikan pikiran bahwa dia tidak menikah, masih
perawan., tersiksa, dipengaruuhi, atau suka melawan. Halusinasi dengan tema yang
sama dapat berupa suara yang memberitahu pasien agar membunuh bayinya (6).

2.5 DIAGNOSIS

Dalam DSM-V, psikosis postpartum diklasifikasikan sebagai “short psychotic


disorder” pada bagian spectrum schizophrenia dan gangguan psikotik lain9. Diagnosis
dapat ditegakkan bila psikosis terjadi dalam waktu singkat dengan kelahiran anak.
Gejala khas mencakup waham, defisit kognitif, gangguan motilitas, kelainan mood,
dan kadang-kadang halusinasi (6).

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Sama seperti semua gangguan psikotik, klinisi harus mempertimbangkan


kemungkinan gangguan psikotik disebabkan kondisi medis umum atau gangguan
pikotik akibat zat. Kondisi medis umum yang potensial meliputi hipotiroidisme dan
sindrom cushing. Gangguan psikotik akibat zat dapat disebabkan pemakaian obat
nyeri seperti pentazocine (Talwin) atau obat antihipertensi selama kehamilan.
Penyebab medis lain meliputi infeksi,toksemiaa, dan neoplasma.(6)

Pasien psikosis post partum memiliki perbedaan dengan pasien depresi mayor
sejak pasien menampilkan masalah kognitif, adanya delusi, dan perilaku yang tidak
teratur9. Psikosis post partum jangan dikacaukan dengan keadaan yang disebut
postpartum blues, suatu keadaan normal yang terjadi pada hampir 50% perempuan
setelah melahirkan. Postpartum blues berlangsung beberapa hari dan ditandai dengan
rasa takut, lelah, ansietas, dan iritabilitas yang mulai segera setelah kelahiran anak dan
berkurang keparahannya setelah berlangsung seminggu (6).

Psikosis Postpartum Depresi postpartum Sindrom


babyblues
Gejala Waham pikiran Memenuhi gejala gejala psikologis
membahayakan diri sendiri depresi, takut berupa sedih,
atau bayinya. Ide bunuh diri melukai bayinya cemas dan
atau pembunuhan terhadap emosi labil
bayi
Diagnosis  DSM V brief • DSM V : Sindrom
psychotic disorder MDD spesifik babyblues
with postpartum dengan onset
onset peripartum
 PPDGJ III F 53.1) • PPDGJ III : F
Gangguan mental 53.0 :
dan perilaku berat Gangguan
yang berhubungan Mental dan
dengan masa nifas perilaku
YTK ringan yang
berhubungan
dengan masa
nifas YTK

Penatalaksanaan  Psychoeducation  Konseling Terapi suportif :


dan psychotherapy  Support reassurance
 Antispikotik atipikal groups
 ECT  SSRI
Waktu Onset dapat terjadi Onset dapat terjadi Onset
(postpartum) minimal 1 hari post paling cepat dalam memuncak pada
partum dan kurang dari 1 24 jam dan paling 3-5 hari dan
bulan postpartum, lambat beberapa menghilang
puncaknya pada minggu bulan setelah setelah 2
kedua kelahiran minggu

2.7 PENGOBATAN

Psikosis postpartum merupakan kegawatdaruratan psikiatri sehingga


memerlukan perawatan rumah sakit segera. Tingginya angka bunuh diri dan bunuh
bayi sehingga memerluka penanganan agresif di rumah sakit. Penggunaan agen
mood-stabilizing sebagai rencana terapi dan segera diberikan sebagai terapi inisiasi
serta agen antipsikotik. Beberapa klinis merekomendasikan penggunaaan antipsikotik
seperti perphenazine, haloperidol, atau fluphenazine karena lebih poten dan memiliki
efek sedasi yang kurang. Penggunaan antipsikotik atipikal juga dapat digunakan
seperti olanzapine dan risperidone. Gejala depresi mungkin muncul setelah fase
mania/psikotik terkontrol. Pemberian antidepresan perlu mendapatkan perhatian
karena dosis yang cepat ditingkatkan dapat mempresipitasi munculnya hipomania.

Gejala rekuren psikosis postpartum pada anak selanjutnya ditemukan pada 90%
kasus. Penelitian yang dilakukan Kendell tahun 1987 menyatakan bahwa pemberian
lithium sebagai propilaksis setelah melahirkan memberikan pencegahan gejala
rekuren sekitar 90% pada kasus yang ditemui.

Beberapa pendapat menyatakan penurunan drastic level estrogen merupakan


penyebab yang dapat menganggu fungsi tirod dan stress pada level hormone juga
pada reseptor dopamine di otak. Pemberian dosis tinggi estrogen pada wanita yang
memiliki resiko tinggi dengan onset cepat munculnya psikosis postpartum dapat
mengurangi resiko rekuren pada anak selanjutnya, namun meningkat resiko
tromboembolisme. Pemberian mood stabilizer dan neuroleptics efektif dalam
menurunkan resiko munculnya kembali gejala dan lebih aman dibandingkan dengan
pemberian estrogen (6,9).

Terapi termasuk membantu pasien menerima dan memudahkan pasien


berperaan sebagai ibu. Perubahan faktor lingkungan jugadapat diindikasikann.
Dukungan yang bertambah dari suami dan orang lain dalam lingkungan dapat
membantu mengurangi stress ibu. Sebagian besar studi melaporkan angka pemulihan
dari penyakit akut yang tinggi (6).
DAFTAR PUSTAKA

1. Bobak, L. et al. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas. Edisi 4. Alih Bahasa:
Maria & Peter. Jakarta: EGC
2. Riordan, Jan. EdD, Prof: Postpartum Depression in Breastfeeding and Human
Lactation , Third Edition. Jones and Bartlett publishers.London . 2004. Hal. 476-484.
3. Kaplan. Usmle Step 2 CK Obsetriccs and Gynecology Lecture Notes.Edisi 2005-
2006. Kaplan medical. 2006.Hal.98-100.
4. Wulansari P, Istiaji E, Ririanty M. Hubungan antara Pengetahuan Ibu Tentang Baby
Blues, Proses Persalinan dan Paritas dengan Baby Blues di RSIA Srikandi IBI
Kabupaten Jember. Jurnal IKESMA. 2017;13(1):40-45.
5. Sadock B, Sadock V. Kaplan & Saddock’s Comprehensive textbook of psychiatry
Vol I/II. Tenth Edition. China. Wolters Kluwer. 2017.
6. Klier, Claudia M, Maria Muzik, Kanita Dervic, Nilufar Mossaheb, Thomas Benesch,
Barbara Ulm, and Maria Zeller. The Role Of Estrogen and Progesteron in Depression
After Birth. Journal of Psychiatric, 2007, p: 273-279.
7. VanderKruik R, et al. The lobal prevalence of postpartum psychosis : a systematic
review . BMC Psychiatry (2017). 17:272
8. Soep. Pengaruh Intervensi Psikoedukasi dalam Mengatasi Depresi Postpartum di RSU
Dr. Pirngandi Medan. Univ. Sumatra Utara, Medan.2009
9. Tatano, C. Watson,J, Postpartum mood and anxiety disorders.. Canada UK. Jones and
Bartlett Publisher. 2006
LAPORAN KASUS

Skizofrenia Paranoid

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. R.R


Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/ Umur : 53 Tahun
Status perkawinan : belum menikah
Agama : Katolik
Warga Negara : Indonesia
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln Talasappang Graha Asri
No Status / No. Reg : 176843
Tanggal datang ke RSKD : 8 April 2019

LAPORAN PSIKIATRIK

Diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari:

Nama : Ny. L
Usia : 47 tahun

Agama : Katolik

Suku : Makassar

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Makassar

Hubungan dengan pasien : Adik pasien


I. RIWAYAT PENYAKIT

A. Keluhan Utama
Mengamuk

B. Riwayat Gangguan
sekarang

1. Keluhan dan Gejala

Seorang pasien laki-laki berusia 53 tahun datang ke ugd RSKD untuk


pertama kalinya dibawa oleh adiknya dengan keluhan mengamuk yang dialami
dalam 2 minggu yang terakhir. Puncaknya pada hari senin (8 April 2019) pasien
menutup pintu rumah dan tidak membiarkan ibunya keluar dari rumah,
sehingga adiknya memanggil polisi untuk membuka rumah karena khawatir
dengan ibunya. Setelah polisi datang, pasien dibawa ke RSKD. Dia mengaku
menutup pintu karena yakin ada yang memata-matai pasien diluar rumah, dan
mendengar suara-suara bahwa ada yang mengawasinya diluar rumah. 2 minggu
sebelumnya pasien pernah menyiram air pada ibunya saat sedang tidur, ia juga
menyimpan benda-benda tajam dalam kamar sehingga keluarganya takut
ibunya tinggal dengan pasien. Saat ditanya mengenai benda-benda tajam yang
disimpan dalam kamar, dia mengaku benda tersebut dipakai untuk melindungi
dirinya dari orang yang mengawasinya diluar rumah. Selain mengamuk pasien
juga sering terlihat gaduh gelisah, jalan mondar-mandir di dalam rumah, jarang
keluar dari rumah dan bicara-bicara sendiri, curiga kepada orang baru dan
keluarga, suka marah-marah pada handphonenya dan mengaku bahwa seluruh
dunia tau isi handphonenya, tidur sangat kurang, makan jarang, tidak mandi
selama seminggu.

2. Hendaya/disfungsi

Berdasarkan alloanamnesis, autoanamnesis dan pemeriksaan status mental


didapatkan gejala klinis yang bermakna yaitu perilaku gelisah, sering bicara
sendiri, mengamuk tanpa kenal waktu. Keadaan ini menimbulkan penderitaan
(distress) pada pasien, keluarga, dan masyarakat sekitar serta terdapat hendaya
(dissability) pada fungsi sosial seperti tidak keluar rumah dan tidak bertemu orang
lain. Hendaya pekerjaan yakni tidak bekerja setelah pasien mengalami gejala
tersebut. Hendaya penggunaan waktu senggang seperti kurang tidur, sehingga
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita gangguan jiwa.

3. Faktor Stressor Psikososial

Awal perubahan perilaku pasien 3 tahun yang lalu (2016) saat usaha yang
ditekuni mengalami kebangkrutan, pasien yang awalnya suka berpergian keluar
kota karena bekerja saat bangkrut mulai jarang berpergian dan mulai berdiam diri
di rumah. Usaha kecil-kecilan masih dilakukan pasien di rumah tapi tidak
seberapa sehingga usaha tersebut kurang menguntungkan.

4. Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat fisik sebelumnya

• Trauma kepala (-)

• Infeksi (-)

• Kejang (-)

• Merokok (+) 1 atau 2 batang setiap hari, sejak lulus SMA.

• Alkohol (+) hanya saat pasien kumpul dengan teman-temannya atau acara-
acara keluarga.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya

1. Riwayat penyakit fisik: tidak ada


2. Riwayat penggunaan NAPZA: merokok 1 atau 2 biji setiap hari, dan
alkohol pada acara-acara keluarga
3. Riwayat gangguan psikiatri sebelumnya: tidak ada

D. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat Prenatal dan Perinatal (0-1 tahun)

Riwayat kelahiran pasien lahir normal cukup bulan di Rumah sakit. Tidak
ditemukan cacat lahir ataupun kelainan bawaan. Ibu pasien juga tidak
pernah mengalami pendarahan dan penyakit fisik selama kehamilan. Tidak
ada konsumsi alkohol, obat-obatan atau jamu selama kehamilan dan
mendapat ASI eksklusif dari ibunya sampai usia 2 tahun.

2. Riwayat Masa Kanak Awal (1-3 Tahun)

Pasien tinggal bersama orang tua dan saudaranya. Pasien lanjut minum susu
formula pada usia 2 tahun dan mula makan makanan biasa. Pasien bertumbuh dan
berkembang seperti anak seusianya. Proses toilet training didapatkan pasien saat umur
3 tahun. Saat itu ibu pasien mengajarkan dengan disiplin. Segala hal yang bisa
dilakukan pasien selalu dibantu oleh ibunya.

3. Riwayat Masa Kanak Awal dan Tengah (3-11 tahun)

Pasien diasuh dan tinggal bersama kedua orang tuanya dan saudaranya. Pada waktu
kecil, pasien mampu bermain dengan teman sebayanya. Pasien mendapat kasih
sayang dan perhatian yang cukup dari kedua orang tuanya. Pasien mulai bersekolah
di SD pada usia 6 tahun. Pasien merupakan murid yang rajin dan tidak malas ke
sekolah dan termasuk dalam peringkat 20 besar di sekolah. Pasien adalah seorang
yang mudah bergaul dan mempunyai banyak teman walaupun agak pendiam. Ketika
pulang ke rumah dari sekolah, pasien kadang singgah bermain dan sesekali
membantu pekerjaan rumah.

4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja (Usia 12-18 tahun)

Pasien dikenal sebagai seorang yang mudah bergaul, pasien aktif


bersosialisasi di gereja dan punya banyak teman. Pasien dikenal sebagai orang
pendiam namun memiliki beberapa teman di sekolah. Pasien lebih banyak memiliki
teman di gereja dibanding di sekolah. Pasien tidak memiliki pacar sewaktu sekolah.
Sore hari, pasien sering berkumpul bersama teman-temannya di gereja dan aktif di
organisasi pemuda di gereja. Pasien dikenal taat beribadah dan bersikap baik dan
sopan pada teman-temannya. Pasien sering berkumpul dengan teman-temannya
untuk latihan musik seperti bermain gitar.
5. Riwayat Masa Dewasa

• Riwayat Pekerjaan: Pasien bekerja sebagai wiraswasta, menjual barang


pecah belah dan mendistribusinya di beberapa toko-toko di Makassar dan
diluar Makassar.

• Riwayat Pernikahan: Pasien belum menikah

• Riwayat Agama: Pasien beragama katolik

• Riwayat Pelanggaran Hukum: Selama ini pasien tidak pernah terlibat


dengan masalah pelanggaran hukum.

E. Riwayat Kehidupan Keluarga

Pasien merupakan anak ke 2 dari 7 bersaudara. Hubungan dengan keluarga baik


sebelum sakit dan tinggal di rumah bersama orang tua (ibu). Saudara pasien sudah
berkeluarga sehingga hanya pasien yang tinggal dengan ibunya di rumah. Pasien
belum menikah. Saudara pasien sering datang ke rumah pasien dan sering
menghubungi pasien dan ibunya. Saudara pasien mengatakan pasien sering
berbicara aneh saat menelpon pasien, sehingga keluarga pasien mulai curiga
terhadapa perubahan sifat pasien sejak 2 minggu lalu. Ibu pasien merupakan ibu
rumah tangga yang berusia 80 tahun yang mengurus kebutuhan rumah tangga di
rumah pasien. Ayah pasien sudah meninggal saat pasien masih SD sehingga
hanya ibu pasien yang mengurus pasien dan saudara-saudaranya sejak kecil. Ibu
pasien dikenal pendiam dan jarang marah pada anak-anaknya dan bersikap sangat
lembut. Ibu pasien merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Keluarga dari ibu
pasien dikenal memiliki sifat yang baik dan agak pendiam dibandingkan keluarga
dari ayah pasien. Ayah pasien yang sudah meninggal merupakan anak ke dua dari
4 bersaudara. Keluarga dari ayah pasien dikenal memiliki sifat yang ramah dan
suka bicara. Hubungan dengan keluarga besar ayah pasien kurang akrab sejak
kematian ayah pasien dan hanya bertemu saat hari-hari besar saja.
GENOGRAM

Keterangan

= Laki – laki

= Perempuan

= Gangguan Jiwa
= Meninggal

= Penderita

= tinggal serumah

F. Situasi Sekarang

Saat ini pasien hanya tinggal bersama ibunya. Saudara-saudara pasien ada
yang tinggal diluar kota dan ada juga yang tinggal di Makassar. Saudara pasien
sering datang di rumah pasien untuk mengunjungi ibu pasien dan pasien. Ibu
pasien tidak mau meninggalkan pasien sendiri di rumah walaupun sudah diajak
oleh saudara pasien untuk tinggal di rumah saudara pasien karena takut pasien
akan mengamuk di rumah.

G. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya

Pasien tidak sadar akan dirinya yang sakit dan menyangkal bahwa dirinya sakit
serta menolak untuk berobat. Pasien mengaku tidak membutuhkan perawatan
karena pasien merasa sehat dan mengaku ingin segera pulang ke rumah.
II. STATUS MENTAL

A. Deskripsi Umum

1. Penampilan

Seorang laki-laki berpakaian dengan mengenakan baju kaos berwarna


merah dan celana panjang jeans hitam. Rambut pendek, warna hitam.
Wajah sesuai usia, perawakan kurus, perawatan diri kurang.

2. Kesadaran : Berubah

3. Perilaku dan aktivitas psikomotor : Gelisah

4. Pembicaraan : Spontan, lancar, kadang-kadang


intonasi meningkat

5. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif

B. Keadaan Afektif (Mood) , Perasaan, Empati dan Perhatian

1. Mood : Sulit dinilai

2. Afek : Tumpul

3. Empati : Tidak dapat dirabarasakan

C. Fungsi Intelektual (Kognitif)

1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan: Pengetahuan umum


dan kecerdasan sesuai dengan tingkat pendidikan pasien

2. Daya konsentrasi : Terganggu

3. Orientasi
 Waktu : Baik
 Tempat : Baik
 Orang : Baik

4. Daya ingat:
 Jangka Panjang : Baik
 Jangka Pendek : Baik
 Jangka Segera : Baik
5. Pikiran abstrak : Terganggu
6. Bakat kreatif : Tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri : Terganggu

D. Gangguan Persepsi

1. Halusinasi :

Halusinasi auditorik (+) :

Pasien mendengar suara yang dipersepsikan sebagai suara laki-laki dan


perempuan bahwa ada yang mengawasi pasien diluar rumah dan memata-
matai pasien dan menyuruh pasien untuk menutup semua pintu rumah.

2. Ilusi : tidak ada

3. Depersonalisasi : tidak ada

4. Derealisasi : tidak ada

E. Proses Berpikir

1. Arus pikiran

• Produktivitas : Cukup

• Kontinuitas : kadang-kadang irrelevan, koheren

• Hendaya berbahasa : Tidak ada

2. Isi pikiran:

• Pre-okupasi : Tidak Ada

• Gangguan isi pikiran :

Ide-ide kejaran :

Pasien meyakini bahwa diluar rumahnya ada dua orang yang


mengintai dan mengawasinya sehingga dia tidak keluar rumah dan
menutup rumah.
Waham bizarre :

Pasien mengaku bahwa handphonenya transparan dan merupakan


handphone yang dimiliki oleh orang di seluruh dunia dan terhubung
dengan semua orang.

F. Pengendalian Impuls : Terganggu

G. Daya Nilai

1. Norma sosial : Terganggu

2. Uji daya nilai : Terganggu

3. Penilaian realitas : Terganggu

H. Tilikan (Insight)

Derajat 1 (Penyangkalan sepenuhnya terhadap penyakit)

I. Taraf Dapat Dipercaya : Dapat dipercaya

III. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS

A. Status Internus

Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 130/90 mmHg, Nadi 88x/menit,


Pernapasan 24x/menit, suhu 36,5 oC. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterus, jantung paru abdomen dalam batas normal, ekstremitas atas dan
bawah tidak ada kelainan.

B. Status Neurologis

GCS: E4M6V5, Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk negatif, pupil
bulat isokor 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya (+/+), fungsi motorik dan
sensorik keempat ekstremitas dalam batas normal. Tidak ditemukan refleks
patologis. Cara berjalan normal, keseimbangan baik. Sistem saraf sensorik
dan motorik dalam batas normal. Kesan: Normal.

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Seorang pasien laki-laki berusia 53 tahun datang ke ugd RSKD untuk


pertama kalinya dibawa oleh adiknya dengan keluhan mengamuk yang
dialami dalam 2 minggu yang terakhir. Puncaknya pada hari senin (1 April
2019) pasien menutup pintu rumah dan tidak membiarkan ibu pasien keluar
dari rumah, sehingga adik pasien memanggil polisi untuk membuka rumah
karena khawatir dengan ibu pasien. Pasien dibawa ke RSKD. Pasien mengaku
menutup pintu karena merasa ada yang memata-matai pasien diluar rumah,
dan mendengar suara-suara bahwa ada yang mengawasinya diluar rumah. 2
minggu sebelumnya pasien pernah menyiram air pada ibunya saat sedang
tidur, pasien juga menyimpan benda-benda tajam dalam kamar. Saat ditanya
mengenai benda-benda tajam yang disimpan dalam kamar, pasien mengaku
benda tersebut dipakai untuk melindungi dirinya dari orang yang
mengawasinya diluar rumah.

Awal perubahan perilaku pasien 3 tahun yang lalu (2016) saat usaha yang
ditekuni mengalami kebangkrutan, pasien yang awalnya suka berpergian keluar
kota karena bekerja saat bangkrut mulai jarang berpergian dan mulai berdiam diri
di rumah. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit dan gangguan jiwaa
sebelumnya. Pasien juga tidak memiliki riwayat keluarga pernah menderita
gangguan jiwa sebelumnya.
Pada pemeriksaan status mental pasien datang berpakaian dengan mengenakan
baju kaos berwarna merah dan celana panjang jeans hitam. Rambut pendek,
warna hitam. Pembicaraan spontan, lancar, intonasi meningkat dan sikap terhadap
pemeriksa tidak kooperatif. Mood sulit dinilai, afek tumpul, empati tidak dapat
dirabarasakan. Daya konsentrasi terganggu. Halusinasi auditorik, gangguan isi
pikir yaitu waham. Tilikan derajat 1, penyangkalan sepenuhnya terhadap
penyakit. Secara keseluruhannya, setiap informasi yang diutarakan pasien dapat
dipercaya.
V. EVALUASI MULTIAKSIAL

Aksis I

Berdasarkan autoanamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan status mental,


ditemukan adanya gejala klinis yang bermakna konsentrasi terganggu dan tidur
terganggu. Keadaan ini menimbulkan penderitaan (distress) pada dirinya, sulit
melakukan tugas dalam kehidupan harian, dan sulit mengisi waktu luangnya
dengan hal yang bermanfaat (disability) sehingga dapat disimpulkan bahwa
pasien menderita Gangguan jiwa. Pasien mengalami hendaya berat dalam
menilai realitas sehingga pasien digolongkan dengan Gangguan Jiwa Psikotik.
Pasien tidak ditemukan adanya riwayat infeksi dan trauma kepala maupun
gangguan neurologis sehingga Gangguan Jiwa Organik dapat disingkirkan.
Berdasarkan autoanamnesis, alloanamnesis, dan pemeriksaan status mental
ditemukan adanya gejala klinis yang bermakna berupa afek berubah,
konsentrasi berkurang, nafsu makan berkurang, dan tidur terganggu. Perubahan
perilaku dimulai 3 tahun sebelumnya, saat usaha yang ditekuni pasien
mengalami penurunan, merugi dan banyak hutang. Setelah itu pasien mulai
tampak gelisah, afek tumpul dan disertai halusinasi auditorik dan waham
bizarre, serta ide kejaran. Selama ini pasien tidak memiliki riwayat penyakit,
dan masuk RS. Berdasarkan gejala-gejala klinis ini dapat ditegakkan diagnosis
Skizofrenia Paranoid (F20.0).

Pasien didiagnosis banding dengan:

1. Skizoafektif tipe manik (F25.0) : Pasien mempunyai waham bizarre yaitu


mengaku memiliki handphone yang transparan dan diketahui oleh seluruh dunia sehingga
memenuhi kriteria skizofrenia. Namun pasien tidak menonjolkan gangguan afektif
bersamaan pada satu episode sehingga differensial diagnosis ini dapat disingkirkan.

2. Gangguan waham menetap (F22) : Pasien mempunyai waham bizarre dan ide
kejaran sehingga memenuhi kriteria skizofrenia. Pasien juga memiliki halusinasi auditorik
sehingga differensial diagnosis ini dapat disingkirkan.
Axis II

Pasien dikenal sebagai seorang yang pendiam tapi memiliki cukup banyak teman
dan aktif bersosialisasi. Data yang didapatkan belum cukup yang mengarah pada ciri
suatu kepribadian tertentu. Mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah
represi dan acting out.

Axis III

Tidak ada

Axis IV

Masalah pekerjaan

Axis V

GAF Scale 50-41 (gejala berat (serious), disabilitas berat).

VI. DAFTAR MASALAH

• Organobiologik

Tidak ada kelainan

• Psikologik

Ditemukan adanya masalah psikologi yang diderita pasien, sehingga pasien


memerlukan psikoterapi.

• Sosial

Ditemukan adanya hendaya dalam sosial, bekerja sehingga pasien


memerlukan sosioterapi.
VII. RENCANA TERAPI

1. Farmakoterapi

R/Risperidon 2 mg 1 tablet/12jam/oral

Chlorpromazine 100mg/24jam/oral malam

Trihexyphenidil 2mg/12jam/oral

2. Psikoterapi

Ventilasi: Memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan


keluhan dan isi hati serta perasaan sehingga pasien merasa lega.

3. Sosioterapi

Memberikan penjelasan kepada pasien, keluarga pasien dan orang-orang di


sekitarnya sehingga dapat menerima dan menciptakan suasana lingkungan
yang mendukung.

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Dubia ad
bonam
Ad sanationam : Malam
1. Faktor pendukung prognosis:

• Pasien menunjukkan gejala positif

• Keluarga pasien mendukung kesembuhan pasien

• Akses ke pelayanan jiwa lancar

2. Faktor penghambat:
 Pasien tidak merasa sakit dan merasa tidak perlu berobat, pasien
hanya memiliki ibu sebagai keluarga inti, tapi ibu pasien sudah
berumur 80 tahun sehingga tidak mampu mendampingi pasien

IX. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien dan perkembangan penyakitnya serta menilai efektivitas
terapi dan kemungkinan efek samping yang terjadi.
Tanggal 10 April 2019
Pemeriksaan Status Mental

Seorang laki-laki, wajah tampak sesuai dengan umurnya 50-an tahun, memakai baju kaus
putih, celana hitam, perawakan tubuh kurus, kulitputih, perawatan diri kesan cukup.

Kontak mata (+), verbal (+)

Psikomotor : Tenang

Verbalisasi : Spontan, lancar, intonasi biasa


Afek : tumpul
Gangguan Persepsi : halusinasi auditorik diakui tidak ada hari ini
Arus Pikir : kadang-kadang irrelevan

Isi pikir :

Waham bizarre : Pasien mengaku bahwa handphonenya transparan dan merupakan


handphone yang dimiliki oleh orang di seluruh dunia dan terhubung dengan semua orang

Ide-ide kejaran : Pasien meyakini bahwa ada orang yang mengintai dan mengawasinya

Terapi

/Risperidon 2 mg 1 tablet/12jam/oral

Chlorpromazine 100mg/24jam/oral malam

Trihexyphenidil 2mg/12jam/oral

Tanggal 12 April 2019


Pemeriksaan Status Mental

Seorang laki-laki, wajah tampak sesuai dengan umurnya 50-an tahun, memakai baju kaus
kuning, celana hitam, perawakan tubuh kurus, kulitputih, perawatan diri kesan cukup.

Kontak mata (+), verbal (+)


Psikomotor : Tenang

Verbalisasi : Spontan, lancar, intonasi biasa


Afek : tumpul
Gangguan Persepsi : halusinasi auditorik diakui tidak ada hari ini
Arus Pikir : kadang-kadang irrelevan

Isi pikir :

Waham bizarre : Pasien mengaku bahwa handphonenya transparan dan merupakan


handphone yang dimiliki oleh orang di seluruh dunia dan terhubung dengan semua orang

Ide-ide kejaran : Pasien meyakini bahwa ada orang yang mengintai dan mengawasinya

Terapi

/Risperidon 2 mg 1 tablet/12jam/oral

Chlorpromazine 100mg/24jam/oral malam

Trihexyphenidil 2mg/12jam/oral

X. DISKUSI

Gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya


halusinasi, waham, perilaku kataton, perilaku kacau, pembicaraan kacau yang
pada umumnya disertai tilikan yang buruk. Waham atau delusi adalah
kepercayaan yang salah, berdasarkan simpulan yang salah tentang kenyataan
eksternal, yang dipegang teguh meskipun apa yang diyakini semua orang
merupakan bukti-bukti yang jelas dan tak terbantahkan.1

Skizofrenia Paranoid (F20.0)

Skizofrenia Paranoid adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan


ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat
halusinasi, waham atau perilaku kacau/aneh.
Kriteria Diagnostik Menurut PPDGJ III:

F20.0 Skizofrenia Paranoid

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia:


1. Harus adanya sedikit satu gejala berikut:
a. “thought echo”/ “thought insertion” / “thought broadcasting”
b. “delusion of control” / “delusion of influence” / “delusion of passivity”
/ “delusion perception” /
c. halusinasi auditorik
d. waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil.

2. Atau paling sedikit dua gejala berikut:


a. Halusinasi yang menetap dari pancaindera apa saja, disertai baik oleh
waham yang mengambang ,aupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas
b. Arus pikiran yang terputus yang berakibat inkoherensi atau
pembicaraan yang tidak relevan
c. Perilaku katatonik
d. Gejala-gejala negatif

3. Gejala-gejala khas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan


atau lebih.
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan dan penarikan diri secara sosial.

• Sebagai tambahan:

1. Halusinasi dan /atau waham harus menonjol:


a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau
memberi perintah atau halusinasi auditorik tanpa
bentuk verbal berupa bunyi pluit atau bunyi tawa
b. Halusinasi pembauan atatu pengecapan rasa atau
bersifat seksual atau halusinasi visual
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis
2. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan
serta gejala katatonik secara relative tidak nyata dan tidak
menonjol.2

Diagnosis banding yang boleh dipertimbangkan pada pasien ini adalah Gangguan
afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik (F31.2) dan Skizoafektif (F25).2

Medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia, tetapi intervensi


psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis. Penatalaksanaan psikososial umumnya
lebih efektif pada saat pasien berada dalam fase perbaikan dibanding fase akut. Terapi
berorientasi keluarga dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan tentang gangguan
yang dialami pasien dan menciptakan suasana yang baik agar dapat mendukung proses
pemulihan pasien.

Pasien ini diberikan Risperidon 2 mg, sesuai dengan terapi antipsikosis atipikal.
Risperidon bekerja dengan cara menghambat reseptor serotonin dan dopamine.3 Pasien turut
diberikan Clozapin 25 mg yang merupakan obat antipsikosis. Ianya bekerja dengan cara
menghambat serotonin alfa adrenergik.

Selain itu, pasien turut diberikan Trihexyphenidyl 5mg untuk mengobati gejala
ekstrapiramidal. Gejala ekstrapiramidal ini muncul akibat penggunaan obat antipsikotik.
Trihexyphenidyl bekerja dengan cara menghambat asetilkolin.4

Pasien diberikan psikoterapi berupa terapi interpersonal dan sosioterapi. Hal ini
sesuai karena terapi interpersonal, sosioterapi dan kognitif telah terbukti efektifitasnya
dalam kasus gangguan psikotik. Terapi kognitif bertujuan untuk mengurangi gejala depresi
dan mencegah rekurensi, dengan cara mengajarkan pasien untuk mengidentifikasi masalah
dan mengubah pola pikir pasien menjadi positif. Terapi interpersonal dilakukan untuk
memperbaiki kemampuan sosial pasien dan memperbaiki hubungan interpersonal. Selain
itu, terapi sosioterapi dilakukan untuk keluarga pasien, atau orang disekitar pasien dapat
menerima keadaan pasien dan menciptakan suasana yang mendukung pasien.5
DAFTAR PUSTAKA

1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikatri (2nd ed).


Sylvia DE, Gitayanti H, editor. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2013;

2. Maslim Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III dan DSM 5. Cetakan 2. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa Fk-Unika Atma Jaya. Di cetak oleh PT. Nuh Jaya

3. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi 2014.


Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2014

4. Sadock B, Sadock V. Kaplan & Saddock’s Comprehensive textbook of


psychiatry Vol I/II. Tenth Edition. China. Wolters Kluwer. 2017.

5. Amir Syarif et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI Jakarta.
2012

6. Sadock, Benjamin James et al. Synopsis of Psychiatry. Philadelphia: Wolters


Kluwer; 2015
7. Kaplan HI, BJ Sadock, JA Grebb, Skizofrenia dalam Sinopsis Psikiatri, Jilid
Satu, Binarupa Aksara, Jakarta, 2010.

Anda mungkin juga menyukai