FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
YUSTIN MARINTA
C014182070
RESIDEN PEMBIMBING :
SUPERVISOR PEMBIMBING :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Stambuk : C014182070
Telah menyelesaikan tugas refarat dan laporan kasus pada tanggal April 2019dan telah
mendapatkan perbaikan. Tugas ini dalam rangka kepaniteraan klinik pada departemen
psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Supervisor Pembimbing
1.1 PENDAHULUAN
Postpartum blues atau sering disebut juga sebagai maternity blues yaitu kesedihan
pasca persalinan yang bersifat sementara. Postpartum depression yaitu depresi pasca
persalinan yang berlangsung saat masa nifas, dimana para wanita yang mengalami hal ini
kadang tidak menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan penyakit., psikosis
postpartum dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat karena bisa
menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap pasca
melahirkan.(2,3)
Angka baby blues mencapai 50% - 80% pada ibu baru melahirkan. Angka kejadian
baby blues di Asia cukup tinggi dan bervariasi antara 26-85%. Di Indonesia angka baby
blues yaitu 50-70% . Baby blues dapat berlanjut menjadi depresi postpartum dengan jumlah
bervariasi dari 5% hingga lebih dari 25% setelah ibu melahirkan dan 1% mengalami Psikosis
postpartum4. Psikosis postpartum merupakan keadaan darurat karena risiko potensial untuk
pembunuhan bayi atau bunuh diri pada ibu sangat tinggi. Oleh karena itu, rujukan segera ke
psikiater, rawat inap, atau indikasi inisiasi obat antipsikotik segera. Psikosis postpartum
dikaitkan dengan 70 kali lipat peningkatan risiko bunuh diri pada 12 bulan pertama
pascapersalinan dengan angka puncak dalam beberapa hari hingga beberapa minggu5.
Melihat hal di atas, jelas bahwa psikosis post partum merupakan masalah kesehatan yang
akan dihadapkan pada tahun-tahun yang akan datang. Dalam refarat ini, penulis akan
membahas mengenai psikosis postpartum yang merupakan gangguan psikotik pasca
persalinan (3).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFENISI
Psikosis post partum (kadang-kadang disebut psikosis puerplural) adalah suatu
contoh gangguan psikotik yang tidak tergolongkan yang terjadi pada perempuan yang
baru saja melahirkan bayi. Sindrom ini paling sering ditandai dengan depresi ibu,
waham, dan pikiran membahayakan diri sendiri atau bayinya. Ide bunuh diri atau
pembunuhan terhadap bayi harus terus dipantau dengan ketat. Sebagian besar data yang
tersedia menunjukkan hubungan dekat antara psikosis postpartum dan gangguan mood,
terutama gangguan bipolar dan gangguan depresif mayor(6).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi psikosis postpartum berkisar antara 0,89 dan 2,6 pada 1000
kelahiran di beberapa negara, dan sebuah studi melaporkan prevalensi menjadi 5 dari
1000 kelahiran. Perkiraan kejadian ini tampaknya relatif konsisten dengan prevalensi
yang sering dikutip 1-2 dalam 1000 kelahiran untuk psikosis pascapartum pada
populasi umum (7).
2.3 ETIOLOGI
Penurunan cepat tingkat reproduksi hormon yang terjadi setelah melahirkan dikatakan
dapat berkembang menjadi depresi pada wanita dengan depresi postpartum. Penurunan
hormon progesteron signifikan berhubungan dengan perubahan suasana hati dengan sebuah
pengaruh tambahan pada pola makan.6 Pada studi lainnya, didapatkan peningkatan serum Cu
yang sejalan dengan terjadinya inflamasi atau disregulasi auto-imun.9 Ketika tingkat
inflamasi tinggi, penderita akan mengalami gejala depresi seperti lemas, dan lesu. Kedua,
inflamasi akan meningkatkan level kortisol dan akhirnya akan menurunkan serotonin dengan
menurunkan prekursornya, yaitu trypthopan4.
Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan 4 faktor penyebab depresi postpartum sebagai
berikut :
a. Faktor konstitusional.
Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat obstetri pasien yang
meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi dari kehamilan dan
persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita primipara. Wanita primipara
lebih umum menderita blues karena setelah melahirkan wanita primipara berada dalam proses
adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi lahir jika ibu tidak paham
perannya ia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat.
b. Faktor fisik.
Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan mental selama 2
minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik dihubungkan dengan kelahiran pertama
merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis setelah melahirkan dan periode
laten selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat
berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron naik dan estrogen yang menurun
secara cepat setelah melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.
c. Faktor psikologis.
Peralihan yang cepat dari keadaan “dua dalam satu” pada akhir kehamilan menjadi dua
individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian psikologis individu. Klaus dan
Kennel (Regina dkk, 2001), mengindikasikan pentingnya cinta dalam menanggulangi masa
peralihan ini untuk memulai hubungan baik antara ibu dan anak.
d. Faktor sosial.
Paykel (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak memadai lebih
sering menimbulkan depresi pada ibu – ibu, selain kurangnya dukungan dalam perkawinan.
1. Biologis.
Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar hormon seperti
estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas
atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat.
a. Faktor umur.
Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang
perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini
mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu.
Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan
seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi
seorang ibu.
b. Faktor pengalaman.
Beberapa penelitian diantaranya adalah pnelitian yang dilakukan oleh Paykel dan
Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih
banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang
ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali
baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang
dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri muda dari kelas sosial
menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami krisis
setelah kelahiran bayi pertama.
c. Faktor pendidikan.
Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang digunakan
selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan
pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul
dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi
pascasalin.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi postpartum
adalah faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan
hormonal, faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu.
Namun demikian, secara lebih spesifik sejumlah laporan mengemukakan bahwa DPM
dipicu oleh (a) dampak masa transisi (Curran, Hazen, Jacobvitz, & Feldman, 2005), (b)
ambivalensi dan rasa tidak aman (Simpson et al, 2003), dan (c) masalah dengan suami (Clark
et al, 2003). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
Kelahiran bayi pertama di dalam keluarga merupakan periode transisi bagi pasangan
suami istri. Sebagai pasangan rumah tangga yang tadinya hanya hidup berdampingan berdua
kini harus mempersiapkan diri menyambut kedatangan anggota baru dalam keluarga.
Perhatian khusus yang diberikan kepada bayi yang baru lahir dapat menyita waktu
kebersamaan suami dan istri. Berkurangnya waktu bersama antara suami dan istri dapat
menimbulkan kesenjangan hubungan suami-istri. Kesenjangan tersebut mempengaruhi
hubungan komunikasi serta afeksi antara suami dan istri, dan hal ini berpotensi menimbulkan
Depresi Postpartum (Curran et al, 2005).
Oleh karena itu, pasangan suami istri harus mewaspadai kesenjangan yang mungkin
terjadi antara mereka akibat kelahiran bayi mereka, dan pasangan suami istri harus berupaya
untuk mempertahankan hubungan mereka dalam periode transisi ini.
Para wanita yang bersikap ambivalen merupakan wanita yang merasa tidak aman, dan
individu yang merasa tidak aman cenderung rentan terhadap depresi (Simpson et al, 2003).
Individu yang merasa tidak aman cenderung bersikap negatif dalam menilai dirinya sendiri
(seperti merasa tidak berharga untuk dicintai atau diberikan dukungan) dan beranggapan
bahwa sosok individu yang dekat dengan mereka (attachment figure) cenderung bersikap
tidak mencintai dan tidak mendukung (Bowlby, 1980). Mereka yang ambivalen di satu pihak
sangat mengharapkan keberadaan sosok lain yang amat dekat dengan mereka untuk
memberikan dukungan bila dibutuhkan. Namun di lain pihak mereka diselimuti kecemasan
bahwa sosok yang dekat dengan diri mereka itu justru tidak akan ada bersama mereka atau
tidak akan mampu menolong mereka di saat yang amat dibutuhkan (Simpson et al, 2003).
Pada psikosis postpartum gejala dapat terjadi dalam jangka waktu setahun setelah
melahirkan anak. namun awalnya sering terjadi pada minggu kedua atau minggu ketiga
setelah persalinan. Gejala yang khas pada psikosis postpartum yaitu:
1. Agitasi.
2. Gelisah.
3. Emosi yang labil.
4. Kegembiraan yang berlebihan.
5. Insomnia.
6. Menangis.
7. Bingung.
8. Dan lama-kelamaan akan timbul episode psikotik yang gawat dengan gambaran
mania dan delirium.(2)
Waham dapat timbul pada 50% pasien dan halusinasi pada sekitar 25%.
Keluhan berkenaan dengan ketidakmampuan bergerak, berdiri, atau berjalan juga
sering ditemukan.
2.5 DIAGNOSIS
Pasien psikosis post partum memiliki perbedaan dengan pasien depresi mayor
sejak pasien menampilkan masalah kognitif, adanya delusi, dan perilaku yang tidak
teratur9. Psikosis post partum jangan dikacaukan dengan keadaan yang disebut
postpartum blues, suatu keadaan normal yang terjadi pada hampir 50% perempuan
setelah melahirkan. Postpartum blues berlangsung beberapa hari dan ditandai dengan
rasa takut, lelah, ansietas, dan iritabilitas yang mulai segera setelah kelahiran anak dan
berkurang keparahannya setelah berlangsung seminggu (6).
2.7 PENGOBATAN
Gejala rekuren psikosis postpartum pada anak selanjutnya ditemukan pada 90%
kasus. Penelitian yang dilakukan Kendell tahun 1987 menyatakan bahwa pemberian
lithium sebagai propilaksis setelah melahirkan memberikan pencegahan gejala
rekuren sekitar 90% pada kasus yang ditemui.
1. Bobak, L. et al. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas. Edisi 4. Alih Bahasa:
Maria & Peter. Jakarta: EGC
2. Riordan, Jan. EdD, Prof: Postpartum Depression in Breastfeeding and Human
Lactation , Third Edition. Jones and Bartlett publishers.London . 2004. Hal. 476-484.
3. Kaplan. Usmle Step 2 CK Obsetriccs and Gynecology Lecture Notes.Edisi 2005-
2006. Kaplan medical. 2006.Hal.98-100.
4. Wulansari P, Istiaji E, Ririanty M. Hubungan antara Pengetahuan Ibu Tentang Baby
Blues, Proses Persalinan dan Paritas dengan Baby Blues di RSIA Srikandi IBI
Kabupaten Jember. Jurnal IKESMA. 2017;13(1):40-45.
5. Sadock B, Sadock V. Kaplan & Saddock’s Comprehensive textbook of psychiatry
Vol I/II. Tenth Edition. China. Wolters Kluwer. 2017.
6. Klier, Claudia M, Maria Muzik, Kanita Dervic, Nilufar Mossaheb, Thomas Benesch,
Barbara Ulm, and Maria Zeller. The Role Of Estrogen and Progesteron in Depression
After Birth. Journal of Psychiatric, 2007, p: 273-279.
7. VanderKruik R, et al. The lobal prevalence of postpartum psychosis : a systematic
review . BMC Psychiatry (2017). 17:272
8. Soep. Pengaruh Intervensi Psikoedukasi dalam Mengatasi Depresi Postpartum di RSU
Dr. Pirngandi Medan. Univ. Sumatra Utara, Medan.2009
9. Tatano, C. Watson,J, Postpartum mood and anxiety disorders.. Canada UK. Jones and
Bartlett Publisher. 2006
LAPORAN KASUS
Skizofrenia Paranoid
IDENTITAS PASIEN
LAPORAN PSIKIATRIK
Nama : Ny. L
Usia : 47 tahun
Agama : Katolik
Suku : Makassar
Alamat : Makassar
A. Keluhan Utama
Mengamuk
B. Riwayat Gangguan
sekarang
2. Hendaya/disfungsi
Awal perubahan perilaku pasien 3 tahun yang lalu (2016) saat usaha yang
ditekuni mengalami kebangkrutan, pasien yang awalnya suka berpergian keluar
kota karena bekerja saat bangkrut mulai jarang berpergian dan mulai berdiam diri
di rumah. Usaha kecil-kecilan masih dilakukan pasien di rumah tapi tidak
seberapa sehingga usaha tersebut kurang menguntungkan.
• Infeksi (-)
• Kejang (-)
• Alkohol (+) hanya saat pasien kumpul dengan teman-temannya atau acara-
acara keluarga.
Riwayat kelahiran pasien lahir normal cukup bulan di Rumah sakit. Tidak
ditemukan cacat lahir ataupun kelainan bawaan. Ibu pasien juga tidak
pernah mengalami pendarahan dan penyakit fisik selama kehamilan. Tidak
ada konsumsi alkohol, obat-obatan atau jamu selama kehamilan dan
mendapat ASI eksklusif dari ibunya sampai usia 2 tahun.
Pasien tinggal bersama orang tua dan saudaranya. Pasien lanjut minum susu
formula pada usia 2 tahun dan mula makan makanan biasa. Pasien bertumbuh dan
berkembang seperti anak seusianya. Proses toilet training didapatkan pasien saat umur
3 tahun. Saat itu ibu pasien mengajarkan dengan disiplin. Segala hal yang bisa
dilakukan pasien selalu dibantu oleh ibunya.
Pasien diasuh dan tinggal bersama kedua orang tuanya dan saudaranya. Pada waktu
kecil, pasien mampu bermain dengan teman sebayanya. Pasien mendapat kasih
sayang dan perhatian yang cukup dari kedua orang tuanya. Pasien mulai bersekolah
di SD pada usia 6 tahun. Pasien merupakan murid yang rajin dan tidak malas ke
sekolah dan termasuk dalam peringkat 20 besar di sekolah. Pasien adalah seorang
yang mudah bergaul dan mempunyai banyak teman walaupun agak pendiam. Ketika
pulang ke rumah dari sekolah, pasien kadang singgah bermain dan sesekali
membantu pekerjaan rumah.
Keterangan
= Laki – laki
= Perempuan
= Gangguan Jiwa
= Meninggal
= Penderita
= tinggal serumah
F. Situasi Sekarang
Saat ini pasien hanya tinggal bersama ibunya. Saudara-saudara pasien ada
yang tinggal diluar kota dan ada juga yang tinggal di Makassar. Saudara pasien
sering datang di rumah pasien untuk mengunjungi ibu pasien dan pasien. Ibu
pasien tidak mau meninggalkan pasien sendiri di rumah walaupun sudah diajak
oleh saudara pasien untuk tinggal di rumah saudara pasien karena takut pasien
akan mengamuk di rumah.
Pasien tidak sadar akan dirinya yang sakit dan menyangkal bahwa dirinya sakit
serta menolak untuk berobat. Pasien mengaku tidak membutuhkan perawatan
karena pasien merasa sehat dan mengaku ingin segera pulang ke rumah.
II. STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
2. Kesadaran : Berubah
2. Afek : Tumpul
3. Orientasi
Waktu : Baik
Tempat : Baik
Orang : Baik
4. Daya ingat:
Jangka Panjang : Baik
Jangka Pendek : Baik
Jangka Segera : Baik
5. Pikiran abstrak : Terganggu
6. Bakat kreatif : Tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri : Terganggu
D. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi :
E. Proses Berpikir
1. Arus pikiran
• Produktivitas : Cukup
2. Isi pikiran:
Ide-ide kejaran :
G. Daya Nilai
H. Tilikan (Insight)
A. Status Internus
B. Status Neurologis
GCS: E4M6V5, Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk negatif, pupil
bulat isokor 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya (+/+), fungsi motorik dan
sensorik keempat ekstremitas dalam batas normal. Tidak ditemukan refleks
patologis. Cara berjalan normal, keseimbangan baik. Sistem saraf sensorik
dan motorik dalam batas normal. Kesan: Normal.
Awal perubahan perilaku pasien 3 tahun yang lalu (2016) saat usaha yang
ditekuni mengalami kebangkrutan, pasien yang awalnya suka berpergian keluar
kota karena bekerja saat bangkrut mulai jarang berpergian dan mulai berdiam diri
di rumah. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit dan gangguan jiwaa
sebelumnya. Pasien juga tidak memiliki riwayat keluarga pernah menderita
gangguan jiwa sebelumnya.
Pada pemeriksaan status mental pasien datang berpakaian dengan mengenakan
baju kaos berwarna merah dan celana panjang jeans hitam. Rambut pendek,
warna hitam. Pembicaraan spontan, lancar, intonasi meningkat dan sikap terhadap
pemeriksa tidak kooperatif. Mood sulit dinilai, afek tumpul, empati tidak dapat
dirabarasakan. Daya konsentrasi terganggu. Halusinasi auditorik, gangguan isi
pikir yaitu waham. Tilikan derajat 1, penyangkalan sepenuhnya terhadap
penyakit. Secara keseluruhannya, setiap informasi yang diutarakan pasien dapat
dipercaya.
V. EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I
2. Gangguan waham menetap (F22) : Pasien mempunyai waham bizarre dan ide
kejaran sehingga memenuhi kriteria skizofrenia. Pasien juga memiliki halusinasi auditorik
sehingga differensial diagnosis ini dapat disingkirkan.
Axis II
Pasien dikenal sebagai seorang yang pendiam tapi memiliki cukup banyak teman
dan aktif bersosialisasi. Data yang didapatkan belum cukup yang mengarah pada ciri
suatu kepribadian tertentu. Mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah
represi dan acting out.
Axis III
Tidak ada
Axis IV
Masalah pekerjaan
Axis V
• Organobiologik
• Psikologik
• Sosial
1. Farmakoterapi
R/Risperidon 2 mg 1 tablet/12jam/oral
Trihexyphenidil 2mg/12jam/oral
2. Psikoterapi
3. Sosioterapi
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Dubia ad
bonam
Ad sanationam : Malam
1. Faktor pendukung prognosis:
2. Faktor penghambat:
Pasien tidak merasa sakit dan merasa tidak perlu berobat, pasien
hanya memiliki ibu sebagai keluarga inti, tapi ibu pasien sudah
berumur 80 tahun sehingga tidak mampu mendampingi pasien
IX. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien dan perkembangan penyakitnya serta menilai efektivitas
terapi dan kemungkinan efek samping yang terjadi.
Tanggal 10 April 2019
Pemeriksaan Status Mental
Seorang laki-laki, wajah tampak sesuai dengan umurnya 50-an tahun, memakai baju kaus
putih, celana hitam, perawakan tubuh kurus, kulitputih, perawatan diri kesan cukup.
Psikomotor : Tenang
Isi pikir :
Ide-ide kejaran : Pasien meyakini bahwa ada orang yang mengintai dan mengawasinya
Terapi
/Risperidon 2 mg 1 tablet/12jam/oral
Trihexyphenidil 2mg/12jam/oral
Seorang laki-laki, wajah tampak sesuai dengan umurnya 50-an tahun, memakai baju kaus
kuning, celana hitam, perawakan tubuh kurus, kulitputih, perawatan diri kesan cukup.
Isi pikir :
Ide-ide kejaran : Pasien meyakini bahwa ada orang yang mengintai dan mengawasinya
Terapi
/Risperidon 2 mg 1 tablet/12jam/oral
Trihexyphenidil 2mg/12jam/oral
X. DISKUSI
• Sebagai tambahan:
Diagnosis banding yang boleh dipertimbangkan pada pasien ini adalah Gangguan
afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik (F31.2) dan Skizoafektif (F25).2
Pasien ini diberikan Risperidon 2 mg, sesuai dengan terapi antipsikosis atipikal.
Risperidon bekerja dengan cara menghambat reseptor serotonin dan dopamine.3 Pasien turut
diberikan Clozapin 25 mg yang merupakan obat antipsikosis. Ianya bekerja dengan cara
menghambat serotonin alfa adrenergik.
Selain itu, pasien turut diberikan Trihexyphenidyl 5mg untuk mengobati gejala
ekstrapiramidal. Gejala ekstrapiramidal ini muncul akibat penggunaan obat antipsikotik.
Trihexyphenidyl bekerja dengan cara menghambat asetilkolin.4
Pasien diberikan psikoterapi berupa terapi interpersonal dan sosioterapi. Hal ini
sesuai karena terapi interpersonal, sosioterapi dan kognitif telah terbukti efektifitasnya
dalam kasus gangguan psikotik. Terapi kognitif bertujuan untuk mengurangi gejala depresi
dan mencegah rekurensi, dengan cara mengajarkan pasien untuk mengidentifikasi masalah
dan mengubah pola pikir pasien menjadi positif. Terapi interpersonal dilakukan untuk
memperbaiki kemampuan sosial pasien dan memperbaiki hubungan interpersonal. Selain
itu, terapi sosioterapi dilakukan untuk keluarga pasien, atau orang disekitar pasien dapat
menerima keadaan pasien dan menciptakan suasana yang mendukung pasien.5
DAFTAR PUSTAKA
2. Maslim Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III dan DSM 5. Cetakan 2. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa Fk-Unika Atma Jaya. Di cetak oleh PT. Nuh Jaya
5. Amir Syarif et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI Jakarta.
2012