Anda di halaman 1dari 21

Referat

DEPRESI POST PARTUM

Oleh:
Wafya Melosi Ramschie R 2495 B
Dian Herdianti P 2757 B

Pembimbing : Dr.dr. Adnil Edwin Nurdin, Sp.KJ

BAGIAN PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMIL

PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada


Allah SWT dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Referat dengan judul
“Depresi Post Partum” yang merupakan salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik
Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil
Padang.
Dalam usaha penyelesaian tugas referat ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.dr. Adnil Edwin Nurdin, Sp.KJ selaku
pembimbing dalam penyusunan tugas ini.
Kami menyadari bahwa didalam penulisan ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan
kritik yang membangun guna penyempurnaan tugas referat ini. Akhir kata, semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Padang, 8 Juli 2019

Penulis

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2018 menyatakan
bahwa angka kejadian gangguan mental emosional meningkat sebesar 3,8%
dibandingkan tahun 2013 dan angka kejadian depresi mencapai 6,1% dan hanya 9%
pasien yang berobat untuk mengatasi hal tersebut. Hal ini menjadi sebuah tren yang
baru mengingat terjadi peningkatan serta kejadian depresi yang cukup tinggi dalam
5 tahun terakhir dan masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk berobat.1
Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3-8% dengan 50%
kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20-50 tahun. World Health Organization
(WHO) menyatakan gangguan depresi mengenai 20% wanita dan 12% laki-laki
pada suatu waktu dalam kehidupan.2
Gangguan mental seperti depresi dapat terjadi setelah melahirkan, terdapat
tiga gangguan yaitu baby/mother blues syndrome, depresi post partum dan psikosis
post partum. Depresi post partum menjadi masalah kesehatan masyarakat saat ini,
dikarenakan kejadiannya yang terus meningkat. Depresi postpartum adalah suatu
kondisi ketika ibu mengalami gangguan fungsi psikologis setelah melahirkan, yang
mana ibu mengalami perasaan sedih yang berlebihan dan diikuti oleh gejala
penyertanya; perubahan pola tidur dan nafsu makan, gangguan psikomotor,
penurunan konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa atau meras tidak berguna, cemas
berlebihan, tidak berdaya, tidak nyaman dalam merawat anak, serta pada keadaan
yang berat dapat timbul keinginan untuk bunuh diri.3 Gejala ini dapat muncul dalam
waktu 1 bulan setelah melahirkan berbeda dengan baby blues syndrome yang
muncul hanya dalam waktu 1 minggu.4
Prevelansi depresi post partum di dunia terjadi sekitar 10% – 20%.4 World
Health Organization (WHO) menyatakan bahwa wanita setelah melahirkan lebih
beresiko terkena depresi tiga kali lipat.5 Prevalensi depresi post partum di Indonesia
diperkirakan sekitar 22,7%. Dalam berbagai studi yang dilakukan di Indonesia
bahwa terdapat faktor risiko depresi post partum yang signifikan yaitu faktor

3
demografi, komplikasi saat kehamilan, persalinan dan setelah melahirkan,
kehamilan pertama dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR).6
Depresi post partum merupakan sebuah keadaan depresi yang terjadi pasca
kelahiran. Semakin lama berangsur-angsur pasien semakin menarik diri dan
kehilangan fungsi psikososial lainnya dan juga menimbulkan deteriorasi pada
pasiennya. Prognosis pasien pun beragam tergantung dari faktor risiko yang
dimiliki oleh individu pasien itu sendiri. Penatalaksanaan secara komprehensif
sampai ke lingkungan tempat tinggal pasien sangat mempengaruhi proses perbaikan
fungsi pasien, sehingga dibutuhkan sekali dukungan dari keluarga ataupun
masyarakat kepada pasien dengan depresi post partumagar tidak menjadi beban
bagi keluarga ataupun masyarakat. Oleh karena itu penting bagi klinisi untuk
memahami depresi post partum mulai dari etiologi, gejala, sampai penatalaksanaan
komprehensif.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk mempelajari,
memahami, dan menelaah kasus yang berhubungan dengan definisi, epidemiologi,
etiologi, gambaran klinis, diagnosis, pencegahan, tatalaksana, dan prognosis
depresi post partum.

1.3 Metode Penulisan


Metode penulisan referat ini berupa tinjauan kepustakaan merujuk kepada
berbagai literatur seperti textbook dan jurnal.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan referat ini adalah menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai depresi post partum.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Depresi post partum adalah suatu kondisi yang sering terjadi pada wanita
setelah melahirkan namun dapat diatasi dengan baik. Menurut DSM V bahwa
kriteria mayor dari depresi post partum adalah terdapat episode depresi pada pasien
dengan durasi lebih dari empat minggu pasca persalinan.7

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian depresi postpartum adalah 2 per 1000 kelahiran, sekitar
50% sampai 60% perempuan mengalami depresi postpartum saat mereka memiliki
anak pertama, dan sekitar 50% pada perempuan yang mempunyai riwayat keluarga
gangguan mood.7 Motzfeldt mengungkapkan bahwa angka kejadian depresi
postpartum secara global antara 10-15%.8
Prevelansi depresi post partum di dunia terjadi sekitar 10% – 20%.4 World
Health Organization (WHO) menyatakan bahwa wanita setelah melahirkan lebih
beresiko terkena depresi tiga kali lipat.5 Angka kejadian depresi postpartum di Asia
cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%.9 Prevalensi depresi post partum
di Indonesia diperkirakan sekitar 22,7%.6
Dalam berbagai studi yang dilakukan di Indonesia bahwa terdapat faktor
risiko depresi post partum yang signifikan yaitu faktor demografi, komplikasi saat
kehamilan, persalinan dan setelah melahirkan, kehamilan pertama dan Berat Bayi
Lahir Rendah (BBLR).6

2.3 Etiologi
1. Faktor Hormonal
Secara biologis, selama kehamilan dan pasca persalinan terjadi perubahan
fisiologis dan menduga bahwa gangguan depresi pada ibu berasal dari defisiensi
nutrisi dan/atau gangguan keseimbangan metabolisme, anemia defisiensi besi,
sensitifitas terhadap fluktuasi, dan penurunan kadar hormone estrogen dan
progesteron, fluktuasi hormon gonad dan kadar hormon steroid neuroaktif lainnya
yang mana mengalami fluktuasi setelah persalinan, adanya perubahan kadar sitokin

5
dan hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) axis, serta terjadinya perubahan kadar
asam lemak, oksitosin, dan arginin-vasopressin.10
a. Hormon Steroid
Hormon steroid berperan penting dalam proses depresi termasuk depresi
post partum. Pada saat hamil dan melahirkan jumlah hormon steroid dan peptide
mengalami perubahan yang fluktuaktif yang bisa memicu terjadinya depresi post
partum. Perubahan jumlah hormon pada masa gestasi adalah estradiol,
cortikcosterone, corticotropic realeasing hormone (CRH) dan oksitosin. Selain itu
jumlah progesterone meningkat 20 kali lipat saat masa kehamilan dan estradiol
meningkat 200-300 kali pada umur gestasi 20 minggu. Peningkatan tersebut tetap
berjalan sampai trimester ke tiga namun turun drastis ketika proses partus sehingga
hipotesis yang muncul adalah penururan tersebut memicu terjadinya depresi post
partum. Selain itu berdasarkan penelitian Parizek et al tahun 2014 menemukan
bahwa peningkatan jumlah androgen dan estrogen pada saat 4 minggu sebelum
kelahiran akan menjadi faktor pencetus depresi post partum. 8

Gambar 2.1 Grafik Perubahan Hormon Saat Kehamilan dan Pasca


Persalinan.8

b. Glukokortikoid
Glukokortikoida dapat menjadi penyebab terjadinya depresi. Stres dan
axis HPA sangat berkaitan satu sama lain. Pada pasien dengan depresi maupun
depresi post partum terdapat abnormalitas pada axis HPA dengan terjadinya

6
hipersekresi kortisol dan abnormalitas pada sekresi diurnal kortisol. 8 Peningkatan
glukokortikoid menyebabkan umpan balik negatif pada axis HPA, menghambat
pelepasan maternal CRH (Corticotrophin releasing hormone), dan menyebabkan
umpan balik positif pada CRH plasenta sehingga merangsang sekresi hipofisis
ACTH dan kortisol. Kadar kortisol mencapai puncaknya pada usia kehamilan 34-
36 minggu. Setelah persalinan, kadar kortisol kembali menjadi normal pada hari ke
4-5 pasca bersalin. Sistem CRH sangat berperan dalam terjadinya depresi karena
selain menjadi regulasi utama dalam system otonom, endokrin, dan imunitas, CRH
juga berperan dalam respon perilaku terhadap stressor. Peningkatan kadar CRH
dapat menyebabkan terjadinya depresi.11
Saat persalinan terjadi pelepasan plasenta, yang menyebabkan kadar
progesteron, estrogen dan CRH berkurang drastis, mencapai kadar normal seperti
sebelum hamil pada hari ke-5 pasca persalinan, begitu juga kadar kortisol juga
mengalami penurunan pasca persalinan. Diduga setiap wanita memiliki sensitifitas
yang berbeda, sehingga perubahan hormon yang terjadi pada saat kehamilan dan
pasca persalinan menyebabkan terjadinya depresi pasca persalinan.10
c. Oksitosin
Oksitosin berperan dalam depresi post partum, hal ini terjadi karena
oksitosin merupakan hormon yang bisa berinteraksi dengan glukokortikoid.
Interaksi kedua hormon tersebut pada saat kehamilan dan pasca melahirkan akan
meningkatkan kerentanan seseorang menderita depresi post partum.8
d. Prolaktin
Selama kehamilan terjadi peningkatan kadar prolaktin dan mencapai
puncaknya saat persalinan. Prolaktin diduga memiliki peran dalam timbulnya
perasaan cemas, depresi, dan sifat kasar pada wanita tidak hamil dengan
hiperprolaktinemia.10
2. Jenis Kelamin Anak
Sylven et al tahun 2011 menyebutkan bahwa faktor jenis kelamin janin
sangat berpengaruh terhadap depresi post partum terutama pada anak laki-laki
dimana meningkatkan faktor risiko lima kali lipat dari perempuan.12

7
3. Genetik
Penelitian yang dilakukan oleh Guintivano pada tahun 2014 menyebutkan
bahwa terdapat pola berbeda antara DNA dengan depresi post partum dan wanita
eutim. Mereka melalukan studi dengan membagi 2 kelompok wanita dengan
riwayat depresi post partum dan tidak, dalam penelitiannya didapatkan modifikasi
gen CpG methylation pada dua lokus HP1NP3 dan TTC9B. Gen ini berperan
sebagai estradiol mediated signaling sehingga karena perubahan yang terjadi
menyebabkan plastisitas di hipokampus dengan penyebab awal pada ER.13

4. Umur
Faktor umur saat kehamilan dan kehamilan dikaitkan dengan kesiapan
mental wanita untuk menjadi seorang ibu. Umur yang dianggap berisiko untuk
kehamilan adalah umur dibawah 18 tahun dan usia diatas 35 tahun karena
kehamilan bisa mengancam jiwa ibu dan janin. Umur belasan merupakan masa
yang sulit untuk menjadi ibu, perkawinan diusia remaja berisiko tinggi untuk
perpisahan dan mempunyai anak dapat menambah tekanan jiwa bagi pasangan
tersebut. Kehamilan diumur belasan juga akan menimbulkan risiko seperti anemia,
tekanan darah tinggi, kelahiran premature dan bedah Caesar.14,15
Wanita yang melahirkan anak pertama pada umur diatas 35 tahun lebih
besar kemungkinannya mengalami kesulitan dalam persalinan, kemungkinan
terjadinya kelainan kromosom pada janin, serta ibu-ibu usia lebih tua mudah
terserang penyakit diabetes mellitus dan tekanan darah tinggi. Semua hal tersebut
bisa menjadi stressor tersendiri bagi seorang ibu, sehingga bisa menyebabkan
gangguan psikologis.14,15
5. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga memberi pengaruh dalam mengurangi depresi
postpartum pada ibu. Wanita yang kurang mendapatkan dukungan dari keluarganya
tentu akan mudah merasa dirinya tidak berharga dan kurang diperhatikan oleh
suami atau keluarganya, sehingga wanita tersebut akan mudah mengalami
gangguan depresi postpartum. Sedangkan Ibu yang merasa dihargai, diperhatikan
dan dicintai oleh suami dan keluarga tidak akan merasa diri kurang berharga. Salah
satu manfaat dukungan keluarga adalah dalam pengelolaan terhadap stress dengan

8
menyediakan pelayanan, perawatan, sumber-sumber informasi dan umpan balik
yang dibutuhkan untuk menghadapi stress dan tekanan.16
6. Pendidikan dan Pekerjaan
Faktor pendidikan memiliki dua sudut pandang yang berbeda. Ibu yang
berpendidikan tinggi umumnya banyak pikiran dan bingung antara peran sebagai
ibu dalam merawat anak dan keluarga dengan keinginan ibu untuk meningkatkan
karier sehingga ibu dengan pendidikan tinggi lebih rentan mengalami depresi.9
Namun sudut padang lain menyebutkan tingkat pendidikan dikaitkan dengan
penerimaan informasi lebih baik pada ibu dengan pendidikan tinggi sehingga
pencegahan depresi postpartum akan lebih mudah.
Keadaan ibu yang harus bekerja setelah melahirkan atau kesibukan dan
tanggung jawab dalam pekerjaan dapat memicu depresi postpartum.16 Wanita yang
bekerja merasa mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam rumah tangga
yaitu sebagai seorang istri dan seorang ibu yang juga memiliki tanggung jawab
dalam pekerjaan.17
7. Sosial Ekonomi
Depresi postpartum banyak dijumpai pada kelompok starus ekonomi yang
rendah karena ibu akan mengalami tekanan sosial yang kemudian akan menjadi
beban mental tersendiri bagi ibu. Status ekonomi yang rendah kemungkinan
berhubungan dengan ketersediaan sumber daya finansial, emosional dan kesehatan
yang dapat menjadi potensi yang mempengaruhi terjadinya depresi postpartum.17

2.4 Gambaran Klinis


Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain:18

1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang


mungkin dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih.
Biasanya dia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu
kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada atau
pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya
(depresi senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini
hari dan membaik di siang hari.

9
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh
diri sulit diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan.
Pikiran bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus
dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya,
tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan
keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan
dalam pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan
kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi
gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang
nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri
dan turunnya penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham
dimana penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman untuk
dosanya di masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun
kesalahan yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga
bisa merasa bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh orang
lain. Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham
nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien
menyatakan bahwa dia kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi
asing. Dia merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat tidak
nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri
sendiri mungkin ditemukan.
9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun
dini hari, kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya
dapat menjadi insomnia total.

10
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan,
amenore dan kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi
kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.

Berdasarkan DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)


gejala depresi postpartum adalah; insomnia, hipersomnia, agitasi atau retardasi,
kelelahan, perubahan nafsu makan, merasa tidak berharga, merasa bersalah,
penurunan konsentrasi, dan bahkan ada keinginan untuk bunuh diri. Gejala tersebut
timbul hampir setiap hari yang berlangsung dalam 2 minggu pasca persalinan.
Penderita juga mengalami perubahan mood dan atau kehilangan minat dalam
aktifitas sehari-hari dalam empat minggu kelahiran.19

2.5 Pedoman Diagnosis


Indonesia menyadur parameter penegakkan diagnosis depresi berdasarkan
ICD-10 yang diterjemahkan dan disesuaikan menjadi PPDGJ-III (Pedoman
Penegakan Diagnosis Gangguan Jiwa-Edisi Ketiga). Pada PPDGJ-III terdapat suatu
gejala utama dan gejala lainnya dalam menegakkan diagnosis depresi, yaitu sebagai
berikut:20

Gejala Utama
- Afek Depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktifitas
Gejala Lainnya
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur yang terganggu
- Nafsu makan berkurang

11
Gambar 2.2 Diagnosis Depresi Post Partum
Berdasarkan DSM IV, depresi postpartum didefinisikan jika selama 2
minggu atau lebih mengalami: 1) penurunan mood, atau 2) kehilangan ketertarikan
dalam menjalani aktifitas sehari-hari ditambah dengan empat dari gejala berikut
(gangguan nafsu makan, gangguan tidur, agitasi, lelah, merasa tidak berharga dan
bersalah, kurang konsentrasi, adanya pikiran untuk bunuh diri).21

2.6 Pencegahan Depresi Postpartum


Persalinan dan kelahiran merupakan suatu keadaan normal, bukan suatu
keadaan patologis. Keterlibatan suami dan anggota keluarga lainnya sangat
diperlukan karena persalinan, kelahiran dan merawat bayi merupakan pengalaman
keluarga. Tenaga kesehatan memfasilitasi keterlibatan seluruh anggota keluarga
dalam membantu keluarga saat membuat keputusan untuk perawatan mereka,
membantu keluarga memiliki pengalaman yang positif sesuai harapannya,

12
mengatasi masalah yang ditemui dalam perawatan ibu dan bayi serta interaksi
harmonis antara mereka melalui program edukasi.
Dalam proses penyesuaian menjadi ibu, ibu sangat rentan terhadap
gangguan emosi terutama selama kehamilan, persalinan dan postpartum. Sistem
dukungan yang kuat dan konsisten merupakan faktor utama keberhasilan
melakukan penyesuaian bagi ibu. Dukungan yang paling efektif tersebut adalah dari
suami.
Dukungan anggota keluarga yang lain juga mempengaruhi keadaan ibu
tersebut, kehadiran orang tua sangat mendukung kesiapan psikologis ibu untuk
menjalankan peran sebagai ibu. Demikian juga anggota keluarga yang lainnya,
termasuk saudara juga membantu ibu sebagai tempat mengekspresikan perasaan
atau tempat meminta bantuan dalam mengerjakan rumah tangga selama periode
postpartum. Semakin banyak dukungan dari orang-orang terdekat, semakin kecil
kemungkinan timbulnya depresi postpartum.
Sebagai tenaga kesehatan pencegahan depresi postpartum pada ibu dapat
dilakukan dengan metode psikoedukasi dengan mengemas materi edukasi dalam
bentuk poster, leaflet dan booklet. Materi tersebut berisi tentang pengertian depresi
postpartum, perubahan-perubahan baik fisik maupun mental, faktor-faktor yang
dapat menyebabkan depresi postpartum, dampak yang diakibatkan oleh depresi
postpartum pada bayi yang dilahirkan maupun terhadap ibu itu sendiri serta
keluarga, cara mencegah depresi postpartum, dan cara-cara untuk mengatasi bila
terjadi depresi postpartum dengan pendekatan pada penguatan koping individu
dalam mengatasi depresi.22

2.7 Tatalaksana
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada
sejumlah tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan
diagnostik yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana
pengobatan harus dimulai yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga
kesehatan pasien selanjutnya.11
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya
berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan obat

13
dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis
yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter
mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi mungkin
terganggu.12

1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa
pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi
tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat
pada antidepresan.11
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada
proses farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki
efek farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali
(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja
untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya
epinefrin dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini
sesuai dengan etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari
abnormalitas dari sistem neurotransmitter di otak.12Obat antidepresan yang
akan dibahas adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs),
antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga
(SRNIs).13
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan
sebagai pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat.11
Golongan trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu
trisiklik primer, tetrasiklik amin sekunder (nortriptiline, desipramine) dan
tetrasiklik tersier (imipramine, amitriptline). Dari ketiga golongan obat
tersebut, yang paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder
karena mempunyai efek samping yang lebih minimal. Obat golongan
tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan

14
harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini
tersedia dalam formulasi generic.11
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga
bekerja sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin
tersier menghambat reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini
mempunyai implikasi bahwa depresi akibat kekurangan norepinefrin lebih
responsive terhadap amin sekunder, sedangkan depresi akibat kekurangan
serotonin akan lebih responsive terhadap amin tersier.13

b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)


MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun yang
lalu. Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi
oksidatif katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin,
noreprinefrin dan 5-HT dalam otak naik.14Obat ini sekarang jarang
digunakan sebagai lini pertama dalam pengobatan depresi karena bersifat
sangat toksik bagi tubuh. Selain karena dapat menyebabkan krisis
hipertensif akibat interaksi dengan tiramin yang berasal dari makanan-
makanan tertentu seperti keju, anggur dan acar, MAOIs juga dapat
menghambat enzim-enzim di hati terutama sitokrom P450 yang akhirnya
akan mengganggu metabolisme obat di hati.14

c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)


SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini
pertama pada gangguan depresif berat seain golongan trisiklik.11Obat
golongan ini mencakup fluoxetine, citalopram dan setraline. SSRIs sering
dipilih oleh klinisi yang pengalamannya mendukung data penelitian
bahwa SSRIs sama manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik
ditoleransi oleh tubuh karena mempunyai efek samping yang cukup
minimal karena kurang memperlihatkan pengaruh terhadap sistem
kolinergik, adrenergik dan histaminergik. Interaksi farmakodinamik yang
berbahaya akan terjadi bila SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena

15
akan terjadi peningkatan efek serotonin secara berlebihan yang disebut
sindrom serotonin dengan gejala hipertermia, kejang, kolaps
kardiovaskular dan gangguan tanda vital.13

d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitor)


Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang
hampir sama dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga
menghambat dari reuptake norepinefrin.12

Gambar 2.3 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama14

e. Terapi Non Farmakologis


Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam
pengobatan depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan
terapi perilaku.1 NIMH telah menemukan predictor respons terhadap
berbagai pengobatan sebagai berikut ini:15
1. Disfungsi sosial yang rendah menyatakan respons yang baik
terhadap terapi interpersonal

16
2. Disfungsi kognitif yang rendah menyatakan respons yang baik
terhadap terapi kognitif-perilaku dan farmakoterapi
3. Disfungsi kerja yang tinggi mengarahkan respons yang baik
terhadap farmakoterapi
4. Keparahan depresi yang tinggi menyatakan respons yang baik
terhadap terapi interpersonal dan farmakoterapi.
Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang
memusatkan pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan
depresi berat. Tujuan terapi ini untuk menghilangkan episode depresif dan
mencegah rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji
kognitif negative.11
Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman,
memusatkan pada satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang
dialami sekarang, dengan menggunakan dua anggapan: pertama, masalah
interpersonal sekarang kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal
yang disfungsional. Kedua, masalah interpersonal sekarang kemungkinan
terlibat di dalam mencetuskan atau memperberat gejala depresif
sekarang.11

2.8 Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan
pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati
berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar episode yang diobati
berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan antidepresan sebelum 3 bulan hampir
selalu menyebabkan kembalinya gejala.11
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan
depresif berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama.
Banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik yang
baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan depresif berat. Episode ringan, tidak
adanya gejala psikotik, fungsi keluarga yangstabil, tidak adanya gangguan
kepribadian, tinggal dalam waktu singkat di rumah sakit dalam waktu yang singkat,
dan tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah indikator prognostik

17
yang baik. Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan
distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan
riwayat lebih dari satu episode sebelumnya.11

Gambar 2.4 Prognosis dari Depresi Post partum

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Riset Kesehatan Dasar, 2018. Riset Kesehatan Dasar.


http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_20
18/Hasil%20Riskesdas%202018.
2. Hutagaol ET. Efektivitas Intervensi Edukasi pada Depresi Postpartum (Tesis).
Depok: Universitas Indonesia; 2010.
3. Suryati. The Baby Blues and Post Natal Depression: Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas; 2008 Maret-Sep II.
4. Nurbaeti I, Deoisres W, Hengudomsub P. Association between Psychosocial
Factors and Postpartum Depression in South Jakarta, Indonesia. Sex Reprod
Healthc [Internet]. 2019; Available from:
https://doi.org/10.1016/j.srhc.2019.02.004
5. World Heath Organization. Mental Health Action Plan 2013 – 2020. Geneva:
World Health Organization. 2013
6. Idaiani S, Basuki B. Postpartum depression in Indonesian women : a national
study. 2012;3(1):3–8.
7. Wisner KL, Moses-Kolko EL, Sit DKY Postpartum depression: a disorder in
search of a definition. Arch Womens Ment Health 2010;13:37-40.
8. Brummelte S, Galea LAM. Hormones and Behavior Postpartum depression :
Etiology , treatment and consequences for maternal care. Horm Behav
[Internet]. 2016;77:153–66. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.yhbeh.2015.08.008
9. Basri AH, Zulkifli A, Abdullah MT. Efektivitas Psikoedukasi terhadap Depresi
Postpartum Di RSIA Sitti Fatimah dan RSIA Pertiwi Makassar Tahun 2014:
Bagian Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
2014.
10. Gondo HK. Skrining Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) pada
Postpartum Blues: Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. 2010.

19
11. Cohen LS, Nonacs RM. Postpartum Mood Disorder. In Mood and Anxiety
Disorder During Pregnancy and Postpartum. Review of Psychiatry Vol. 24,
Arlington: American Psychiatric Publishing, 2005:77-96.
12. Sylven, S.M., et al., Newborn gender as a predictor of postpartum mood
disturbances in a sample of Swedish women. Arch. Womens Ment. Health
2011;14:195–201.
13. Guintivano, J., et al., Antenatal prediction of postpartum depression with blood

DNA methylation biomarkers. Mol. Psychiatry 2014;19:560–567.


14. Rusli RA, Meiyuntariningsih T, Warni WE. Perbedaan Depresi Pasca


Melahirkan pada Ibu Primipara Ditinjau dari Usia Ibu Hamil: Universitas Hang
Tuah Surabaya. 2011 April;13(1).
15. Sloane& Benedict. (2009). Petunjuk lengkap kehamilan. AlihBahasa,
AntonAdiwiyoto. Jakarta: PustakaMina.
16. Wahyuni, S. Murwati. & Supiati. Faktor Internal dan Eksternal yang
Mempengaruhi Depresi Postpartum: Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan. Volume
3, No 2, November 2014, hlm 106-214.
17. Fatmawati, D.A. Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Postpartum Blues. Jombang: Jurnal Edu Health. 2015,Sept; 5(2).
18. Ingram, I. M, dkk. Catatan Kuliah Psikiatri. Jakarta: EGC. 1995
19. Sara T, Daniel MA, Lloyda W. Postpartum Depression (PPD): American
Journal of Clinical Medicine.2009;6(2).
20. Kay J dan Tasman A. Essentials of Psychiatry. United State of America. John
Wiley & Sons. 2006
21. Sit DK, Wisner KL. The Identification of Postpartum Depression: Psychiatric
Medicine. London: 2009 Sep;52(3):456-468.
22. Sope. Pengaruh Intervensi Psikoedukasi dalam Mengatasi Depresi Postpartum
di RSU DR. Pirngadi Medan (Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara;2009.
23. Sadock, B. J. & Sadock, V. A. Kaplan and Sadock's Synopsis ofPsychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10thEd. Philadelphia:Lippincott
Williams & Wilkins; 2007
24. National Academy on An Aging Society. Depresion A treatable disease.
Washington; 2000

20
25. Arozal W., dan Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi.
Edisikelima. Editor Sulistia G. Ganiswara. Jakarta; 2007
26.Gibbons RD, Hur K, Bhaumik DK, Mann JJ. The relationship between
antidepressant prescription rates and rate of early adolescent suicide. 2006. Am
J Psychiatry :163
27.National Institute of Mental Health. Depression and Diabetes. Departement of
Health and Human Services. NIH Publication; 2011
28. World Health Organization.Depression: A Global public health concern.
Department of Mental Health and Substance Abuse, WHO.2012
29. Tolentino JC, Schmidt SL. DSM-5 Criteria and Depression Severity:
Implications for Clinical Practice. Front Psychiatry. 2018;9:450. Published
2018 Oct 2. doi:10.3389/fpsyt.2018.00450
30. Gautam S, Jain A, Gautam M, Vahia VN, Grover S. Clinical Practice Guidelines
for the management of Depression. Indian J Psychiatry. 2017;59(Suppl 1):S34–
S50. doi:10.4103/0019-5545.196973

21

Anda mungkin juga menyukai