Anda di halaman 1dari 17

TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

SIROSIS HEPATIS

Oleh:

Wafya Melosi Ramschie 1740312291

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis

hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan

pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi karena nekrosis hepatoseluler.1

Sirosis hepatis merupakan konsekuensi dari penyakit hati kronis yang ditandai dengan

penggantian jaringan hati oleh fibrosis, jaringan parut dan nodul regeneratif (benjolan yang

terjadi sebagai hasil dari sebuah proses regenerasi jaringan yang rusak) akibat nekrosis

hepatoseluler, yang mengakibatkan penurunan hingga hilangnya fungsi hati.2

Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi dua yaitu sirosis hati kompensata yang berarti

belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai dengan

gejala dan tanda klinis yang sangat jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari

hepatitis yang kronik pada satu tingkat yang tidak terihat perbedaannya secara klinis.1

Epidemiologi

Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Keseluruhan insidensi sirosis diAmerika

diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibatpenyakit hati

alkoholik maupun infeksi virus kronik. Di Indonesia, data prevalensi sirosishati belum ada,

hanya laporan dari beberapa pusat pendidikan saja.

Menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi

sirosis hati adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam, atau rata-rata
47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Perbandingan prevalensi sirosis pada

pria:wanita adalah 2,1:1 dan usia rata-rata 44 tahun.3

Etiologi

Penyebab sirosis hati dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu penyebab

hepatoselular, kolestasis, dan obstruksi aliran vena hepatis. Penyebab hepatoselular sirosis hati

diantaranya adalah virus hepatitis (B, C, D), penyakit hati alkoholik, autoimun, steatohepatitis

non alkoholik yang berkaitan dengan DM, malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri koroner,

pemakaian obat kortikosteroid, dan hepatotoksik akibat obat atau toksin. Penyebab sirosis yang

termasuk dalam kolestasis adalah obstruksi bilier, sirosis bilier primer, sirosis bilier sekunder

yang berhubungan dengan obstruksi saluran empedu ekstrahepar menahun dan kolangitis

sklerosis primer, sedangkan penyebab sirosis karena obstruksi aliran vena diantaranya karena

sindroma Budd-Chiari, penyakit venooklusif, dan sirosis kardiak (akibat gagal jantung

kongestif dan perikarditis konstriksi).5

Di negara barat penyebab tersering dari sirosis hati adalah akibat alkoholik. Sedangkan

di Indonesia penyebab sirosis hati terutama disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B maupun

hepatitis C. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, didapatkan bahwa virus

hepatitis B menyebabkan sirosis sebanyak 40-50%, dan virus hepatitis C sebanyak 30-40%,

dan untuk sisanya 10-20% kasus penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus

bukan B dan C. Untuk alcohol sebagai penyebab sirosis hati, di Indonesia belum didapatkan

data yang lengkap. 1

Patogenesis

Sirosis hati terjadi melaui beberapa tahap fibrogenesis yang diakibatkan oleh respon

penyembuhan setelah timbulnya penyakit hati akut atau proses lanjutan dari penyakit hati

kronik, dan sirosis hati merupakan stadium akhir dari perjalanan fibrosis hati. Proses yang
terjadi pada fibrosis hati berkaitan dengan respon inflamasi terhadap hepatic stellate cells dan

adanya akumulasi matriks ekstraselular. 6,7

Permulaan dan perkembangan fibrosis hati sangat dipengaruhi oleh aktivasi hepatic

stellate cells yang dipicu oleh sitokin seperti TGF-bl yang mengaktivasi enzim

transglutaminase dan sintesis kolagen. Aktivasi dari hepatic stellate cells ini akan

menyebabkan peningkatan ekspresi gen matriks ekstraseluler dan otot polos serta peningkatan

proliferasi pada daerah perisinusoid yang merupakan area nekrotik sehingga di kemudian hari

menjadi area fibrosis melalui pembentukan kolagen-kolagen. 7

Dalam keadaan normal, hepatic stellate cells merupakan sel penghasil utama matriks

ekstraselular setelah terjadi cidera pada hati. Matriks ekstraseluler akan diproduksi lebih

banyak pada kondisi hepatic stellate cells yang teraktivasi dan akan mengalami penumpukan

di space of Disse dan memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian

mengubah pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang

seharusnya dimetabolisme oleh hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah sistemik dan

menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses ini akan menimbulkan

pembentukan jaringan fibrotik akibat dari ketidakseimbangan antara sintesis dan penguraian

matriks ekstraselular disertai dengan penurunan fungsi hepatoselular sampai adanya

manifestasi klinik dari sirosis hati dan menimbulkan hipertensi portal. 6

Pada kebanyakan kasus sirosis, ditemukan tiga pola khas yang mendasari terjadinya

sirosis, yaitu : 8

1. Sirosis Laenec

Sirosis laenec dikenal juga dengan sirosis alkoholik yang berhubungan dengan

penggunaan alkohol yang lama. Perubahan pertama pada hati yang disebabkan oleh alkohol

adalah terjadinya akumulasi lemak di dalam sel-sel hati (infiltrasi lemak). Terjadinya

akumulasi lemak di dalam sel hati mencerminkan adanya gangguan metabolism yang
mencakup peningkatan produksi trigliserida yang berlebihan, menurunnya sekresi trigliserida

dari hati, dan menurunnya oksidasi asam lemak. Apabila konsumsi alkohol tetap diteruskan,

maka akn terbentuk jaringan parut yang luas di hati. Penyebab utama kerusakan hati akibat

alkohol lebih banyak ditemui apabila pasien juga mengalami malnutrisi.6

Secara makroskopis hati akan terlihat membesar, rapuh, tampak berlemak, dan

mengalami gangguan fungsional akibat penumpukan lemak yang banyak. Sedangkan secara

mikroskopis ditandai dengan nekrosis hepatoseluler, sel-sel balon, dan infiltrasi PMN di hati.1

2. Sirosis Pascanekrotik

Sirosis pascanekrotik terjadi setelah nekrosis berbecak pada jaringan hati. Hepatosit

dikelilingi oleh jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati dan diselingi dengan

parenkim hati yang normal. Kasus sirosis pascanekrotik berjumlah sekitar 10% dari seluruh

kasus sirosis. Sekitar 25-75% kasus memiliki riwayat hepatitis virus sebelumnya dan

kebanyakan pasien memiliki hasil uji HBsAg positif. Sirosis pascanekrotik merupakan faktor

predisposisi terjadinya neoplasma hati (karsinoma hepatoseluler).1

3. Sirosis Biliaris

Pola sirosis biliaris dimulai dengan adanya kerusakan sel hati di sekitar ductus biliaris.

Penyebab terseringnya adalah obstruksi biliaris pascahepatik. Tertahannya empedu di dalam

hati menyebabkan terjadinya penumpukan empedu dan kerusakan sel-sel hati dan pada

akhirnya akan terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobules. Cirinya hati membesar, keras,

bergranula halus, dan berwarna kehijauan. Ikterus, pruritus, malabsorbsi, dan steatorea

merupakan gambaran awal dari sirosis biliaris. 1

Manifestasi Klinik

Gejala awal dari sirosis hati sering tidak diketahui dan tidak spesifik, seperti kelelahan,

anoreksia, dyspepsia, faltulen, perubahan kebiasaan defekasi (diare atau konstipasi), dan berat

badan sedikit berkurang. Mual dan muntah juga sering terjadi terutama pada pagi hari. Nyeri
tumpul atau perasaan berat pada epigastrium atau kuadran kanan atas terdapat pada sekitar

separuh penderita. Gejala utama dan lanjutan sirosis hati terjadi akibat dua tipe gangguan

fisiologis, yaitu gagal sel hati dan heipertensi portal. 1

Gambar 1 Manifestasi klinis sirosis hati

Gejala Gagal Hepatoselulear


Gambar 2 Manifestasi klinis kegagalan fungsi hati9

 Ikterus

Sekitar 60% pendeita sirosis mengalami icterus selama perjalanan penyakitnya, walaupun

pada keadaan minimal. Hyperbilirubinemia tanpa ikterus lebih sering ditemukan.

Penderita dapat menjadi ikterus selama fase dekompensata yang disertai adanya gangguan

fungsi hati. Ikterus intermiten merupakan gambaran khas pada sirosis biliaris dan terjadi

bila timbul peradangan aktif hati dan saluran empedu. Pada keadaan hipoalbuminemia

ditemukan perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal yang dipisahkan

dengan warna normal kuku. Akan tetapi tanda ini juga ditemukan pada keadaan album

rendah lain seperti pada sindroma nefrotik. 1

 Gangguan endokrin

Gangguan endokrin sering terjadi pada keadaan sirosis akibat terganggunya metabolism

hormone korteks adrenal, testis, dan ovarium. Kelebihan hormone estrogen di dalam darah

dapat menimbulkan terjadinya angioma laba-laba, atrofi testis dan ginekomastia (pada
laki-laki), alopesia pada dada dan aksila, serta palmar eritem. Angioma laba-laba

merupakan suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena kecil, sering fitemukan di

bahu, muka, dan lengan atas. Palmar eritem dijumpai dalam bentuk warna merah saga pada

thenar dan hypothenar telapak tangan. 1

 Ganguan hematologik

Gangguan hematologi yang sering terjadi adalah kecenderungan perdarahan ,anemia,

leukopenia, dan trombositopenia. Penderita sering mengalami perdarahan hidung, gusi,

menstruasi berat, dan mudah memar. Hal ini dapat terjadi akibat berkurangnya

pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Anemia, leukopenia, dan trombositopenia

terjadi akibat hipersplenisme, dimana limpa tidak hanya membesar,tetapi juga lebih aktif

menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi.1

 Edema perifer

Edema perifer biasanya terjadi setelah munculnya gejala asites. Keadaan ini disebabkan

oleh keadaan hipoalbuminemia dan retensi garam dan air. Retensi garam dan air terjadi

akibat kegagalan sel hati mengkatifkan aldosterone dan hormone antidiuretik.1

 Gangguan neurologis

Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut adalah koma hepatikum yang

terjadi akibat kelainan metabolism ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap

toksin.1

Gejala lain yang ditemukan adalah kontraktur dupuytren yang terjadi akibat fibrosis fasia

palmaris yan menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari. Selain itu, juga ditemukan gejala

fetor hepatikum yang merupakan bau nafas khas pada pasien sirosis akibat meningkatnya

konsentrasi dimetil sulfid.1


2.6.1 Gejala Hipertensi Portal

Gambar 3 Manifestasi klinis hipertensi portal9

Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan vena porta yang menetap, dengan nilai

normal 6-12 cmH2O. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi aliran darah

yang melalui hati. Selain itu, juga terjadi peningkatan aliran pada arteri splangnikus. Kombinasi

kedua faktor tersebut akan menurunkan aliran keluar melalui vena hepayika dan meningkatkan

aliran masuk bersamaan dengan peningkatan beban yang berlebihan pada sistem portal.

Pembebanan berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral untuk

menghindari obstruksi hepatic (varises).1

Peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus akibat hipertensi porta dan

penurunan tekanan osmotic koloid akibat hypoalbuminemia menyebabkan terjadinya asites.

Faktor lain yang berperan adalah adalah retensi natrium dan air serta peningkatan sintesis dan

aliran limfe hati. Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal

terdapat pada esophagus bagian bawah. Aliran darah balik melalui saluran ini ke vena kava
menyebabkan dilatasi vena tersebut (varises esophagus). Varises esophagus terjadi pada sekitar

70% penderita sirosis lanjut. Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superfisial dinding

abdomen dan timbulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilicus

(kaput medusa)1

 Asites

 Saluran kolateral

 Sirkulasi kolateral

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hepatis terdiri atas pemeriksaan fisik,

laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsy hati atau

peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati

dini. Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan sirosis

hepatis. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis

dengan dengan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia / serologi, dan

pemeriksaan penunjang lainnya.1

Pada stadium dekompensata diagnosis kadang tidak sulit karena gejala dan tanda-tanda

klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.1

Baku emas untuk diagnosis sirosis hati adalah biopsi hati melalui perkutan,

transjugular, laparoskopi, atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi tidak diperlukan bila secara

klinis, pemeriksaan laboratorium, dan radiologi menunjukkan kecenderungan sirosis hati.

Walaupun biopsi hati risikonya kecil tapi dapat berakibat fatal misalnya perdarahan dan

kematian.10
 Laboratorium

Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu

seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi keluhan spesifik.

Tes fungsi hati meliputi amino transferase, alkali fosfatase, gamma glutamil peptidase,

bilirubin, albumin dan waktu protrombin.1

Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glumatil oksaloasetattransaminase

(SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT)

meningkat tapi tidak terlalu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT, namun bila

transaminase normal tidak mengeyampingkan adanya sirosis.1

Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.Konsentrasi

yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis billier primer.

Gama-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada

penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkohol kronik, karena alkohol selain

menginduksi GGT mikrosomal hepatic, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.1

Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa meningkat

pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun

sesuai dengan perburukan sirosis.1

Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan, antigen

bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi

immunoglobulin. Prothrombin time mencerminkan derajat/ tingkatan disfungsi sintesis hati,

sehingga pada sirosis memanjang. Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites,

dikaitkan dengan ketidakmampuan eksresi air bebas.1


Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia normokrom,

normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia dengan trombositopenia,

leukopenia, dan neutropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta

sehingga terjadi hipersplenisme.1

 Pemeriksaan Pencitraan

Untuk mendeteksi sirosis hati penggunaan ultrasonografi kurang begitu sensitif namun

cukup spesifik bila penyebabnya jelas. Gambarannya memperlihatkan ekodensitas hati

meningkat dengan ekostruktur kasar homogen atau heterogen pada sisi superficial, sedangkan

pada sisi profunda ekodensitas menurun. Dapat dijumpai pula pembesaran lobus caudatus,

splenomegali, dan vena hepatika gambaran terputus-putus. Hati mengecil dan splenomegali,

asites tampak sebagai area bebas gema (ekolusen) antara organ intra abdominal dengan dinding

abdomen.1

Pemeriksaan MRI dan CT kovensional bisa digunakan untuk menentukan derajat

beratnya sirosis hati, misal dengan menilai ukuran lien, asites, dan kolateral vaskular. Ketiga

alat ini juga dapat untuk mendeteksi adanya karsinoma hepatoselular.1

Endoskopi (gastroskopi) dapat dilakukan untuk memeriksa adanya varises di esofagus

dan gaster pada penderita sirosis hati. Selain digunakan untuk diagnosis juga dapat digunakan

untuk pencegahan dan terapi perdarahan varises.1

Penatalaksanaan

Usaha-usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan untuk mencegah timbulnya penyulit-

penyulit. Membatasi kerja fisik, tidak minum alkohol, dan menghindari obat-obat dan bahan-

bahan hepatotoksik merupakan suatu keharusan. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan

diet yang mengandung protein 1g/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.11
1. Penatalaksanaan sirosis kompensata

Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi

kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya: alkohol

dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya.

Pemberian asetaminofen, kolkisin dan obat herbal bisa menghambat kolagenik. Hepatitis

autoimun; bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan

berat badan akan mencegah terjadinya sirosis.1

Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi

utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama

satu bulan. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD

sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga

kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.1

Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar.

Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan

dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6 bulan.1

Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah

kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan stelata sebagai

target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk

mengurangi aktifasi sel stellata bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas

antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek

anti peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam penelitian

sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai antifibrosis.

Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam penlitian.1


2. Penatalaksanaan sirosis dekompensata

Asites, Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram

atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya

dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sehari. Respon diuretic bisa

dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari

dengan edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan

dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya

bila tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat

besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.1

Ensefalopati hepatik, laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia.

Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet protein

dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino

rantai cabang.1

Varises esophagus, sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat β-

blocker. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreotid, diteruskan

dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. Peritonitis bakterial spontan, diberikan

antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.1

Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah hati, mengatur keseimbangan

garam dan air. Transplantasi hati, terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata. Namun

sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.1

Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis

diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.11

Komplikasi sirosis hati yang utama adalah hipertensi portal, asites, peritonitis bakterial

spontan, perdarahan varises esofagus, sindroma hepatorena, enselopati hepatikum, dan kanker

hati.1

Prognosis

Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi,

beratnya kerusakan hati,, komplikasi dan penyakit yang menyertai. Klasifikasi Cilhd Turcotte

Pugh (CTP) bisa digunakan utntuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani

operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin ada tidaknya asites dan

ensefalopati juga status nutrisi. Angka kelangsungan hidup untuk pasien dengan Child A, B, C

berturut- turut 100, 80 dan 45 %. Penilaian prognosis terbaru adalah Model for End Stage Liver

Disease (MELD) digunakan untuk pasien yang akan menjalani transplantasi hati.
Tabel 2.3 Klasifikasi Child- Turcotte- Pugh (Garcia-Tsao G & Bosch J, 2010).1

Nilai

Parameter 1 2 3

Ensefalopati Tidak ada Terkontrol dengan terapi Kurang terkontrol

Asites Tidak ada Terkontrol dengan terapi Kurang terkontrol

Bilirubin(mg/dl) <2 2-3 >3

Albumin (gr/dl) > 3.5 1.8-3.5 < 2.8

INR < 1,7 1.7 – 2.2 > 2.2

Penderita sirosis hepatis dikelompokkan menjadi CTP- A (5-6 poin), CTP –B (7-9 poin)

dan CTP –C (10-15 poin). Penderita sirosis hepatis dengan CTP kelas A menunjukkan penyakit

hatinya terkompensasi dengan baik. Sementara angka kelangsungan hidup 2 tahun masing-

masing sekitar 85%, 60%, dan 35%.1


DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdjanah, S. 2014. Sirosis Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 6,
jilid 2. Siti Setiati (Eds.). Jakarta: Internal publishing, hal 1978-1983.
2. Chung Raymond T, Padolsky Daniel K. Cirrhosis and Its Complications.
Dalam:Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi XVI. 2005. Newyork:

McGraw-Hill Companies. 1844-1855. 


3. Sutadi Sri M. Sirosis Hepatis. 2003; http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam


srimaryani5.pdf [diakses 19 Juni 2011].
4. Lovena A. 2017. Karakteristik Pasien Sirosis Hepatis di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Skripsi. Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang.
5. Shackel, N.A., Patel, K., dan McHutchison, J. Cirrhosis. In Genomic and Personalized
Medicine. Geoffrey S. Ginsburg USA: Academic Press, 935954.
6. Pinzani, M, Roselli, M, Zuckermann, M. 2011. Liver Cirrhosis. Best Practise &
Research Clinical Gastroenterology, 25: 281-90.
7. Amirudin, Rifai. 2012. Fibrosis Hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta:
CV Sagung Seto, 341-45.
8. Lindseth, G.N. 2013. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 6, Volume 1. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 472-515.
9. Starr SP dan Raines D. Cirrhosis: diagnosis, management, and prevention. 2011.
American Family Physician; 84(12): 1353-9.
10. Tsao GG, Lim J, 2009. Management and treatment of patients with cirrhosis and
portal hypertension: recommendations from the department of veterans affairs
hepatitis C resource center program and the national hepatitis C program. American
Journal of Gastroenterology; 104: 1802-92.
11. Nurdjanah, S. 2009. Sirosis hati. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Vol I Edisi
5. Jakarta: Internal Publishing, 668-73.

Anda mungkin juga menyukai