Anda di halaman 1dari 12

Dermatitis Atopik : Perjalanan Penyakit, Diagnosis, dan Terapi

Simon Francis Thomsen

Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi kulit yang terjadi pada awal onset dan dengan
prevalensi sekitar 20% kehidupan. Penyebab dermatitis atopik masih belum diketahui, namun
penemuan mengenai adanya mutasi pada filagrin diketahui memegang peranan dalam
progresifitas penyakit ini hingga penyakit asma pada anak-anak dikemudian hari. Dermatitis
atopik tidak selalu mudah diatasi dan setiap dokter harus mengetahui tentang aspek dasar
dalam pengobatan. Jurnal ini memberikan penjelasan mengenai perjalanan penyakit,
manifestasi klinis, dan terapi untuk dermatitis atopik.

1. Definisi
Dermatitis atopic (DA) adalah penyakit yang umum, kronik, kambuhan, iritasi kulit
yang utamanya mengenai anak-anak. Atopic didefinisikan mewaris kecenderungan
memproduksi antibodi imunoglobulin E (IgE) dalam responya terhadap protein
lingkungan (alergen) seperti serbuk sari, tungau debu, makanan. Dermatitis berasal dari
bahasa yunani “derma” yang berarti kulit dan “itis” yang berarti inflamasi. Dermatitits dan
eksim merupakan sinonim, meskipun kata eksim lebih sering mengarah pada manifestasi
yang akut (dari bahasa yunani, eksim, to boil over); namun, tidak ada perbedaanya dalam
penulisan jurnal ini, seiring berjalanya waktu, banyak nama lain yang diajukan untuk
penyakit ini, misalnya prurigo Besnier, yang dinamain setelah ahli kulit dari Prancis yaitu
Ernest Besnier (1831)1909) menemukan penyakit ini. Sensitasi alergi dalam peningkatan
IgE terjadi hanya pada beberapa pasien DA, oleh karena itu DA bukan suatu terminologi
yang definitif.
2. Epidemiologi
DA mempengaruhi sekitar 1/5 dari individu selama masa kehidupannya, namun
prevalensi dari penyakit ini beragam diseluruh dunia. Negara industri biasanya terjadi
oeningkatan prevalensi pada tahun 1950 sampai tahun 2000 yang disebut sebagai
epidemik alergi. Namun, indikasi utama untuk gejala eksim telah mengalami penurunan di
beberapa negara yang sebelumnya termasuk kedalam negara dengan prevalensi tertinggi,
yakni United Kingdom dan Selandia Baru. Hal ini mengindikasikan bahwa penyakit alergi
yang epidemik ini tidak lagi meningkat di dunia. Namun, DA masih merupakan hal yang
serius, dan di beberapa negara terutama negara berkembang, penyakit ini masih
meningkat.
a. Perjalanan Penyakit
Sekitar 50% dari DA terjadi pada awal masa kehidupan, dan sekitar 95% terjadi
pada anak-anak dibawah usia 5 tahun. Sekitar 75% onset pada anak-anak mengalami
remisi spontan sebelum remaja, meskipun sekitar 25% berlanjut menjadi eksim
hingga usia remaja atau mengalami kekambuhan setelah tahun-tahun bebas gejala.
DA yang menyerang pada onset-remaja ataupun kambuh pada usia remaja biasanya
memiliki predileksi eksim di tangan sebagai manifestasi utama. Pada beberapa pasien,
hal ini menjadi serius karena dapat berefek pada karir mereka.
Sekitar 50-75% dari seluruh anak yang memiliki DA onset-dini tersensitisasi oleh
1 atau lebih alergen, seperti makanan, tungau debu, atau binatang peliharaan.
Sedangkan, makanan ataupun paparan dari alergen yang berada di udara sangat jarang
menjadi penyebab eksaserbasi pada DA. Pada beberapa pasien yang menderita
penyakit ini karena tersenitasi oleh makanan bisa tanpa tanda tanda dari eksim.
Penyakit ini merupakan penyakit yang berat. Anak-anak yang memiliki riwayat
penyakit atopik memiliki risiko sekitar 50% untuk mengalami asma dan 75% berisiko
mengalami demam (hay fever)

b. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya DA lebih tinggi terjadi pada anggota keluarga yang
memiliki riwayat terjangkit DA. Misalnya saja, angka kejadian DA pada anak kembar
monozigot sekitar 75%, hal ini menandakan bahwa risiko kejadian DA diantara anak
kembar meningkat sekitar 75% jika salah satu anak terjangkit DA. Namun sebaliknya,
faktor risiko terjadinya DA pada anak kembar dizigotik hanya sekitar 30%. Hal ini
menjelaskan bahwa faktor genetik memiliki peran yang sangat penting dalam
perjalanan penyakit DA. Meskipun faktor genetik memiliki peranan yang penting,
faktor lingkungan pun tidak kalah penting dalam mempengaruhi perjalanan penyakit
DA. Misalnya, DA adalah penyakit genetik yang kompleks yang muncul akibat
interaksi antara gen-gen dan gen-lingkungan.

c. Genetik
Terdapat banyak gen yang memiliki hubungan dengan penyakit DA, salah
satunya adalah gen pengkode protein pembentuk struktur epidermis dan gen pengkode
elemen sistem imun. Penemuan terbaru menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
kuat antara DA dengan mutasi gen fillagrin, yang berada di kromosom 1. Gen ini
diketahui merupakan salah satu faktor risiko terbesar terjadinya DA. Sekitar 10% dari
populasi di negara barat memiliki gen pembawa (mutasi pada gen fillagrin), meskipun
sekitar 50% dari seluruh pasien penderita DA terdapat mutasi pada gen ini. Mutasi
pada gen ini akan menyebabkan kelemahan dari protein fillagrin dan akan
menyebabkan kerusakan dari pelindung kulit (Skin barrier). Manifestasi dari
kelemahan protein fillagrin adalah kulit kering dengan fisura dan memiliki risiko
tinggi terjadinya eksim kulit. Tidak semua pasien DA memiliki mutasi pada gen ini
dan ada beberapa variasi genetik lainnya yang terjadi pada penyakit ini. Penyakit ini
merupakan kombinasi aksi dari beberapa variasi genetik dengan lingkungan dan
faktor risiko lainnya yang menyebabkan terjadinya DA.

d. Lingkungan
Meskipun banyak hipotesis faktor risiko lingkungan yang berbeda-beda, namun
hanya sedikit yang dapat diterima. Sebagai contoh, bahwa gaya hidup masyarakat
barat dilaporkan meningkatkan kejadian eksim kulit dalam beberapa tahun yang lalu
meskipun masih belum spesifik faktor risiko lingkungan apa yang mempengaruhinya.
Bebarapa ahli mengemukakan bahwa teori higienitas meningkatkan prevalensi
terjadinya eksim. Teori ini menyatakan bahwa penurunan paparan pada anak usia dini
terhadap penyakit infeksi topikal seperti hepatitis A dan tuberculosis, telah
meningkatkan kerentanan terhadap penyakit atopik. Teori ini didukung melalui
penelitian yang melibatkan kelompok anak-anak dengan faktor risiko yang rendah dan
kelompok anak-anak yang tumbuh dan berkembang di lingkungan peternakan dimana
mereka lebih sering terpapar oleh mikroflora, ternak, dilindungi sampai batas tertentu
terhadap pengembangan penyakit dan melawan penyakit alergi pada umumnya.
Misalnya dari susu sapi yang tidak terpasterisasi dan peternakan. Sebaliknya,
terbentuknya penyakit ini memiliki hubungan yang kuat dengan durasi menyusui.
Sedangkan beberapa penelitian telah menguhubungkan posisi sosial yang tinggi dari
orang tua dalam peningkatan resiko DA. Meskipun pengamatan tersebut tidak mudah
untuk di interpretasikan, mereka juga dapat memberikan dukungan pada teori
kebersihan atau setidaknya teori yang umumnya diterima bahwa eksim terjadi pada
individu yang rentan secara genetik yang terpapar lingkungan tertentu yang
merugikan.
3. Patofisiologi
Terdapat dua hipotesis utama yang diajukan untuk menjelaska terjadinya lesi inflamasi
pada penyakit DA. Hipotesis pertama adalah terjadinya ketidakseimbangan sistem imun
yang adaptif, hipotesis yang kedua menyangkut barier kulit yang rusak. Meskipun hanya
hipotesis sementara namun hipotesis ini memiliki peranan yang saling melengkapi satu
sama lain dalam menjelaskan patofisiologi DA.
a. Hipotesis Imunologis
Teori imunologikal ini mengungkapkan adanya ketidakseimbangan sel T, terutama
sel Thelper 1, 2, 17, dan 22 dan juga sel T regulator. Pada fase DA, terutama saat
eksim akut terjadi, terjadi dominasi perubahan dari sel Th2 dan sel T CD4+ naive.
Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan produksi dari interleukin, terutama
IL-4, IL-5, dan IL-13, yang menyebabkan peningkatan IgE selanjutnya dan terjadi
hambatan diferensiasi dari sel Th1.

b. Hipotesis sawar kulit (Skin Barrier)


Teori defek sawar kulit yang terbaru dan berdasarkan pengamatan bahwa individu
dengan mutasi gen filaggrin meningkatkan kejadian DA. Gen filaggrin ini
menginduksi protein struktural pada stratum korneum dan stratum granulosum yang
membantu mengikat keratinosit bersama-sama. Hal ini menjaga keutuhan dari
sawar kulit dan hidrasi dari stratum korneum. Adanya defek pada gen ini
menyebabkan produksi protein filaggrin sedikit diproduksi sehingga menyebabkan
disfungsi dari sawar kulit dan menyebabkan kehilangan hidrasi transepidermal yang
selanjutnya menjadi penyebab terjadinya eksim. Terdapat bukti bahwa kelemahan
pelindung kulit yang menyebabkan kulit kering menjadi pencetus terjadinya
penetrasi alergen kedalam kulit. Hal ini menyebabkan sensitisasi alergik, asma, dan
hay fever. Pencegahan kulit kering dan eksim yang aktif sedini mungkin
menggunakan emolients memiliki pengaruh yang signifikan sebagai pencegahan
primer dari progesifitas eksim kulit menjadi penyakit alergik jalan nafas.

4. Histopatologi
Biposi kulit diambil dari lokasi eksim yang akut dan memiliki karakteristik edem
interseluler, infiltrasi perivaskuler dari limfosit, dan retensi nukleus dari keratinosit yang
terus berlanjut hingga lapisan stratum korneum (parakeratosis). Sedangkan pada eksim
yang kronik didapatkan karakteristik berupa penebalan stratum korneum (hiperkeratosis),
penebalan stratum spinosum (akantosis), dan infiltasi limfosit yang sedikit.

5. Manifestasi Klinis dan Diagnosa


a. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DA hampir mirip dengan eksim yang terjadi pada dermatitis kontak.
Pada bentuk akut, eksim ditandai dengan infiltrat kemerahan disertai edem, vesikel,
perembesan, dan krusta. Sedangkan pada keadaan subakut dan kronik didapatkan
efloresensi berupa: likenifikasi, ekskoriasi, papul, dan nodul. Sesuai dengan pendekatan
diagnostik dibangun berdasarkan karakteristik yang lain dan distribusi eksim pada pasien.
Pasien yang khas dengan DA ialah :
Onset awal pada eksim adalah gatal pada lokasi tertentu seperti lipatan siku dan lutut
pada pasien atopik atau seseorang dengan riwayat penyakit atopik pada keluarga.
Kriteria diagnostik yang paling banyak digunakan adalah yang dikembangkan oleh
Hanifin dan Rajka pada tahun 1980 dan telah direvisi oleh the American Academy of
Dermatology (table 1)
Kriteria ini sangat berguna dalam klinikal praktik; pertanyaan lain yang sering
digunakan dalam diagnosis diteliti oleh UK Working Party in 1994 (table 2)
Tingkat keparahan eksim dapat dapat dituliskan kedalam grade bedasarkan sistem
skorsing seperti SCORAD dan EASI.
Manifestasi tipikal. Meskipun deskripsi ini cocok dengan penyakit lain, gambaran
klinis dari DA lebih dikaitkan dengan besarnya variasi pada morfologi dan distribusi
eksim yang bercampur dengan fitur lain. Bagaimanapun banyak pasien dengan DA
memperlihatkan gambaran kulit kering (xerosis) kerena rendahnya kadar air akibat terjadi
excessive water loss pada epidermis, pucat karena peningkatan tekanan di kapiler dermis
karena kemampuan untuk mengeluarkan keringat berkurang, peningkatan respon
kolinergik untuk menggaruk, maka disebut white dermographism or skin writing,
mengakibatkan gatal pada daerah tertentu. Pada telapak tangan dan kaki dapat
menunjukan hyperlinearisasi, dan rambut menjadi kering dan rapuh, adanya warna
kehitaman/hiperpigmentasi pada kantung mata (Dennie-Morgan Fold) dan dapat
meningkat pada aktivitas yang berlebihan. Kantung mata dapat lebih gelap karena
hiperpigmentasi postinflamasi.
Gejala klinis dapat dibagi berdasarkan usia :
 DA pada bayi
Pada bayi eksim biasanya terjadi pada lokasi tertentu yaitul; wajah, kulit kepala, dan
extensor lengan dan kaki, tetapi dapat juga meluas. Lesi ditandai dengan eritema,
papil, vesikel, eksoriasi, dan pembentukan krusta.

 DA pada anak
Pada balita dan anak-anak, lesi eksim cenderung berdileksi pada lipatan siku dan
lutut serta pergelangan kaki dan pergelangan tangan, meskipun dapat terjadi pada
banyak lokasi. Secara umum lesi eksim pada anak menjadi lebih kering dan terdapat
likenifikasi dengan eksoriasi, papul, dan nodul.

 DA pada remaja dan dewasa


Pada pasien dewasa, lesi eksim sering berlokasi pada wajah dan leher (head-and-
neck dermatitis), dan sekitar 30% lesi eksim berlokasi pada tangan yang mungkin
dapat mengganggu aktivitas ditempat kerja.
 Manifestasi khusus
Beberapa pasien mungkin menunjukan beberapa gejala umum, kondisi jinak
umum lainya, seperti pityriasis alba, yang merupakan kondisi yang
berkarakteristik dengan kering, bercak pucat pada wajah dan lengan atas, dan
keratosis pilaris, yang bermanifestasi sebagai papula keratotic yang kecil dan
kasar terutama pada lengan dan paha atas. Atopic winter feet (kaki musim dingin
atopik) – plantaris dermatitis sicca - kondisi yang biasanya ada pada anak-anak
usia sekolah ditandai dengan eksim yang simetris pada area penopang berat badan
seperti pada telapak kaki. Eksim daun telinga, eksim puting, dan eksim di sekitar
margin mulut (cheilitis) dapat sangat menggaggu dan sering melibatkan infeksi
stafilokokus, keratoconus dan katarak terkadang menjadi penyulit dermatitis
atopik.
 Faktor pemberat
Pada banyak pasien, dermatitis atopik bersifat kronis dan residif jika sulit
memprediksi periode aktivitas atau menentukan faktor pemberatnya. Namun, ada
beberapa paparan yang umumnya membuat parah eksim dan harus dihindari.
Sejumlah besar pasien sensitif terhadap pakaian wol, yang memperburuk gatal
dan ketidaknyamanan. Air llot juga dapat memperburuk gatal dan mandi yang
lama harus dihindari. Beberapa infeksi, terutama staphylococcus, sering menjadi
penyebab eksaserbasi sebagaumana berbagai makanan juga menjadi penyebab
eksaserbasi, terutama pada kasus dimana pasien sensitif terhadap makanan
tersebut. Menghindari makanan harus dianjurkan hanya bila pasien telah memiliki
riwayat alergi terhadap makanan yang dicurigai dan bukan hanya atas dasar
sensitisasi asimtomatik saja. Fenomena lain yang dapat menyebabkan eksim
memburuk adalah urtikaria kontak, yang merupakan reaksi kulit yang terpapar
makanan, seperti, buah jeruk atau tomat. Kulit disekitar mulu sering menjadi
tempat reaksi seperti itu. Banyak pasien melaporkan bahwa stres memperburuk
eksim mereka.

b. Diagnosa Banding
Beberapa penyakit memiliki manifestasi yang hampir sama dengan DA. Meskipun
demikian, evaluasi yang teliti dari morfologi dan lokasi predileksi akan memeberikan
gambaran khas yang dapat mengarahkan kepada diagnosis yang tepat. Adapun diagnosa
banding untuk DA adalah skabies, dermatitis seboroik, dan dermatitis kontak.

c. Komplikasi
Beberapa mikroorganisme seperti bakteri, virus, dan jamur dapat menjadi komplikasi
pada eksim (penyebab superinfeksi). Pada umumnya kulit penderita DA memiliki lebih
banyak kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus, terutama pada eksim yang tidak
terkontrol dengan baik. Beberapa bakteri lebih menunjukan tidak memerlukan terapi
antibiotik. Meskipun demikian, pada staphilokokus menjadi invasif, pecah dan
membentuk lesi krusta maka akan membentuk penyakit impetigo yang membutuhkan
antibiotik topikal maupun oral. Beberapa ahli mengemukakan bahwa mencuci kulit
dengan menggunakan cairan antiseptik misalnya chlorhexidine, dapat menurunkan
kolonisasi bakteri pada kulit meskipun antiseptik ini dapat menjadi pencetus sensitisasi
sekunder. Namun cholrhexidine dapat menyebabkan sensitisai sekunder. karena
terjadinya defisiensi produksi protein antimicrobial peptide di kulit, pasien DA
memiliki faktor risiko lebih tinggi untuk terkena infeksi virus sekunder misalnya :
molluscum kontagiosum yang disebabkan oleh virus pox, yang berlesikan umbilikasi
kecil, membentuk kubah, papul berwarna mutiara. Infkesi virus sekunder lainya pada
pasien DA adalah herpes virus. Jika infeksi herpes menyebar dapat menyebabkan
eczema herpeticum, yang merupakan vesikular eruption yang luas, predileksinya pada
wajah, kulit kepala, dan dada bagian atas. Eksim herpetikum memerlukan terapi
antiviral sistemik.

6. Terapi
Prevention
- Mencegah kulit kering  moisturizer cream/ emolinet
- Menurunkan intensitas garukan dan infeksi
- Hindari mandi dg air hangat dalam waktu lama
Treat
- Krim kortikosteroid
- Fototerapi
- Systemic Imunosuppressant drug

a. Pencegahan
Pencegahahan pertama yakni mencegah timbulnya kulit kering. Penggunaan
pelembab kulit/emollient berguna dalam mencegah iritan spesifik ataupun nonspesifik
seperti alergen dan baju yang tidak berkatun. Ketika kondisi kulit kering dikurangi,
hasrat untuk menggaruk akan berkuranga dan risiko terjadinya infeksi akan menurun.
Pencegahan yang kedua adalah mencegah mandi dengan air panas terlalu lama. Hal
ini berguna untuk mencegah kekeringan pada kulit dan disarankan pula setelah mandi
menggunakan pelembab/emollient untuk menjaga kelembaban epidermis dan
keutuhan pelindung kulit (skin barrier).
b. Terapi
Terapi bertujuan untuk mengatasi eksaserbasi pada eksim yakni menurunkan
intensitas kemerahan ataupun kondisi inflamasi pada eksaserbasi akut. Obat yang
digunakan adalah sebagai berikut:

b.1. Topikal Kortikosteroid

Untuk terapi DA akut dan terapi maintenance


 Rekomdenasi pemakaian  1 x/hr dg lowest
potency selama 1-2 minggu
 Jika keadaan membaik  Tappering off 2-3
kali/minggu selama 1-2 minggu
 Jika kambuh  maintenance 2-3 kali/minggu di
fokus lokasi  proactive treatment
 Proactive Treatment : penggunaan
kortikosteroid secara intermiten yang
direkomendasikan untuk eksim yang aktif.
 efek samping kortikosteroid topikal :
 Penipisan kulit
 Talangiektasis
 Stretch mark

b.2. Fototerapi
 Untuk dewasa  UVB
 Eksim yang berat  UVA atau kombinasi dengan obat fotosensitisasi
(photosensitizing drug)
 DA yang sulit diobati  1-2 minggu fototerapi 3-5x/minggu + kortikosteroid topikal.
 Efek samping :
 Penuaan dini pada kulit
 Peningkatan risiko kanker kulit dalam jangka waktu lama
b.3. Imunosupresan Sistemik
 Jangka pendek:
 Kortikosteroid oral ( Tappering off)
 Untuk DA akut, DA yang luas dan biasanya dikombinasi dengan kortikosteroid
topikal
 DA berat- kronik – berulang
Setelah tappering off kortikosteroid oral  dilanjutkan dengan obat imunosupresan yang
kedua (methotrextate/siklosporin/azathioprine

b.4. Antihistamin oral


 Sedatif  Diberikan pada malam hari ( Chlorpheniramin Maleat)
 Non-sedatif  Diberikan pada siang hari (Loratadine/cetrizin)

b.5. Antibiotik oral


 Untuk superinfeksi (S.aureus )

References
[1] M. I. Asher, S. Montefort, B. Bj¨orkst´en et al., “Worldwide time trends in the prevalence
of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and eczema in childhood: ISAAC
Phases One and Three repeat multicountry cross-sectional surveys,” The Lancet, vol.
368, no. 9537, pp. 733–743, 2006.
[2] H. C. Williams, “Atopic dermatitis,” New England Journal of Medicine, vol. 352, no. 22,
pp. 2314–2366, 2005.
[3] J. M. Spergel, “From atopic dermatitis to asthma: the atopic march,” Annals of Allergy,
Asthma and Immunology, vol. 105, no. 2, pp. 99–106, 2010.
[4] A. J. Lowe, J. B. Carlin, C. M. Bennett et al., “Do boys do the atopic march while girls
dawdle?” Journal of Allergy and Clinical Immunology, vol. 121, no. 5, pp. 1190–1195,
2008.
[5] S. F. Thomsen, C. S. Ulrik, K. O. Kyvik et al., “Importance of genetic factors in the
etiology of atopic dermatitis: a twin study,” Allergy and Asthma Proceedings, vol. 28,no.
5, pp. 535–539, 2007.
[6] C. N. A. Palmer, A. D. Irvine, A. Terron-Kwiatkowski et al.,“Common loss-of-function
variants of the epidermal barrier protein filaggrin are a major predisposing factor for
atopic dermatitis,” Nature Genetics, vol. 38, no. 4, pp. 441–446, 2006.
[7] A. D. Irvine, W. H. I. McLean, and D. Y. M. Leung, “Filaggrin mutations associated with
skin and allergic diseases,” New England Journal ofMedicine, vol. 365, no. 14, pp.
1315–1327, 2011.
[8] J. Douwes and N. Pearce, “Asthma and the westernization ‘package’,” International
Journal of Epidemiology, vol. 31, no. 6, pp. 1098–1102, 2002.[9] D. P. Strachan, “Hay
fever, hygiene, and household size,” British Medical Journal, vol. 299, no. 6710, pp.
1259–1260, 1989.
[10] J.-F. Bach, “The effect of infections on susceptibility to autoimmune and allergic
diseases,” New England Journal of Medicine, vol. 347, no. 12, pp. 911–920, 2002.
[11] E. von Mutius, “Maternal farm exposure/ingestion of unpasteurized cow’s milk and
allergic disease,” Current Opinion in Gastroenterology, vol. 28, pp. 570–576, 2012.
[12] S. Hong, W. J. Choi, H. J. Kwon, Y. H. Cho, H. Y. Yum, and D. K. Son, “Effect of
prolonged breast-feeding on risk of atopic dermatitis in early childhood,” Allergy and
Asthma Proceedings, vol. 35, pp. 66–70, 2014.
[13] L. Hammer-Helmich, A. Linneberg, S. F. Thomsen, and C. Gl¨umer, “Association
between parental socioeconomic position and prevalence of asthma, atopic eczema and
hay fever in children,” Scandinavian Journal of Public Health, vol. 42, pp.
120–127, 2014.
[14] K. Eyerich and N. Novak, “Immunology of atopic eczema: overcoming the Th1/Th2
paradigm,” Allergy, vol. 68, pp. 974–982, 2013.
[15] A. de Benedetto, A. Kubo, and L. A. Beck, “Skin barrier disruption: a requirement for
allergen sensitization,” Journal of Investigative Dermatology, vol. 132, no. 3, pp. 949–
963, 2012.
[16] J. M. Hanifin, K. D. Cooper, V. C. Ho et al., “Guidelines of care for atopic dermatitis,
developed in accordance with the American Academy of Dermatology (AAD)/American
Academy of Dermatology Association ‘Administrative Regulations for Evidence-Based
Clinical Practice Guidelines’,” Journal of the American Academy of Dermatology, vol.
50, pp. 391–404, 2004.
[17] H. C. Williams, P. G. J. Burney, R. J. Hay et al., “The U.K. Working party’s diagnostic
criteria for atopic dermatitis—I. Derivation of a minimum set of discriminators for atopic
dermatitis,” British Journal of Dermatology, vol. 131, no. 3, pp.383–396, 1994.
[18] J. F. Stalder, A. Taieb, D. J. Atherton et al., “Severity scoring of atopic dermatitis: the
SCORAD index. Consensus report of the European Task Force on Atopic Dermatitis,”
Dermatology, vol. 186, no. 1, pp. 23–31, 1993.
[19] J. M. Hanifin, M. Thurston, M. Omoto, R. Cherill, S. J. Tofte, and M. Graeber, “The
eczema area and severity index (EASI): assessment of reliability in atopic dermatitis,”
Experimental Dermatology, vol. 10, no. 1, pp. 11–18, 2001.
[20] F. J. Bath-Hextall, A. J. Birnie, J. C. Ravenscroft, and H. C. Williams, “Interventions to
reduce Staphylococcus aureus in the management of atopic eczema: an updated
Cochrane review,” British Journal of Dermatology, vol. 163, no. 1, pp. 12–26, 2010.
[21] J. Ring, A. Alomar, T. Bieber et al., “Guidelines for treatment of atopic eczema (atopic
dermatitis)—part I,” Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology, vol. 26, pp.1045–1060, 2012.
[22] E. L. Simpson, “Atopic dermatitis: a review of topical treatment options,” Current
Medical Research and Opinion, vol. 26, no. 3, pp. 633–640, 2010.
[23] G. Ricci, A. Dondi, and A. Patrizi, “Useful tools for the management of atopic
dermatitis,”American Journal of Clinical Dermatology, vol. 10, no. 5, pp. 287–300,
2009.
[24] H. C. Williams, “Established corticosteroid creams should be applied only once daily in
patients with atopic eczema,” British Medical Journal, vol. 334, no. 7606, article 1272,
2007.
[25] M. M. Y. El-Batawy, M. A.-W. Bosseila, H. M. Mashaly, and V. S. G. A. Hafez,
“Topical calcineurin inhibitors in atopic dermatitis: a systematic review and meta-
analysis,” Journal of Dermatological Science, vol. 54, no. 2, pp. 76–87, 2009.
[26] G.Ricci, A. Dondi, A. Patrizi, andM.Masi, “Systemic therapy of atopic dermatitis in
children,” Drugs, vol. 69, no. 3, pp. 297–306, 2009.

Anda mungkin juga menyukai