Anda di halaman 1dari 29

SMALL GROUP DISCUSSION LBM IV

BLOK SISTEM INTEGUMEN

DISUSUN OLEH :

Nama : Putu Cintia Nanda Artasih

Kelas/Kelompok : B/SGD 9

NIM : 019.06.0078

Tutor : dr. Shinta Wulandhari, S.Ked.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2021/2022

i|LBM4
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM IV yang berjudul “Kepalaku Gatal” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini membahas mengenai hasil SGD Lembar Belajar Mahasiswa


(LBM) IV yang berjudul “Kepalaku Gatal” meliputi seven jumps step yang dibagi
menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan lancar tanpa
bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan
terimakasih kepada:

1. dr.Shinta Wulandhari, S.Ked. sebagai dosen fasilitator SGD 9 yang senantiasa


memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami dalam
berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk menyusun
makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 1 Desember 2021

Penyusun

ii | L B M 4
DAFTAR ISI

Halaman
COVER…………………………………………………………………………….i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I .......................................................................................................................1

PENDAHULUAN…………. ……………………………………………………..1
1.1 Skenario LBM IV…...................................................................................1

1.2 Deskripsi Masalah………………………………………………………..1


BAB II ......................................................................................................................4

PEMBAHASAN ......................................................................................................4

2.1 Data Tutorial .............................................................................................4

2.2 Pembahasan LBM IV ................................................................................4

2.2.1 Learning Issue ....................................................................................4

2.2.2 Pembahasan Learning Issue ...............................................................4

PENUTUP..............................................................................................................20

3.1 Kesimpulan..............................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................22

iii | L B M 4
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO

Kepalaku Gatal

Seorang wanita usia 37 tahun, datang ke Poliklinik FK Unizar degan keluhan


kulit kepala bersisik disertai gatal. Keluhan tersebut sudah dirasakan semenjak satu
bulan sebelumnya. Keluhan gatal biasanya memburuk ketika pasien sedang
berkeringat dan sering menggunakan topi. Keluhan ini dirasakan memberat jika
pasien merasakan stress. Selain di kepala pasien mengeluhkan sisik putih halus di
belakang telinga.

Dari skenario tersebut, kami mengajukan beberapa permasalahan:

1. Mengapa pasien pada skenario mengalami keluhan kulit kepala bersisik


disertai gatal?
2. Mengapa keluhan memberat pada saat berkeringat dan menggunakan
topi?
3. Adakah hubungan antara stress dengan keluhan yang dirasakan?
4. Apa diagnosis sementara pada pasien di skenario?

1|LBM 4
Penyebab pasien pada skenario mengalami keluhan kulit kepala bersisik
disertai gatal

Keluhan yang dialami pasien kemungkinan disebabkan oleh adanya


peristiwa turn over yakni pemendekan fase pematangan keratinosit. Akibatnya, akan
menyebabkan terjadinya penumpukan keratinosit yang mati diatas permukaan kulit
sehingga tampak seperti sisik/skuama. Peristiwa turn over ini disebabkan oleh
beberapa faktor yakni stress dan tingkat higienitas kulit kepala yang rendah.
Keluhan gatal kemungkinan disebabkan oleh adanya inflamasi. Pada proses
inflamasi berbagai mediator seperti Interleukin (IL), Prostaglandin, Histamin, dll.
akan dikeluarkan. Senyawa histamin tersebut akan merasang pengaktifan reseptor
saraf lokal yang nantinya akan mengirimkan sinyal ke SSP yang kemudian akan
menimbulkan sensasi berupa pruritas.

Selain itu , hal tersebut juga dapat disebabkan oleh adanya suatu infeksi
akibat mikroorganisme. Yang dimana akan menghasilkan lipase dan fosfolipase.
Kedua enzim tersebut dapat memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas.
Mikroorganisme mengonsumsi asam lemak jenuh yang diperlukan untuk proliferasi
dan meninggalkan peningkatan jumlah asam lemak bebas tak jenuh yang
menyebabkan iritasi. Yang dimana pada individu yang rentan , asam lemak tak
jenuh menyebabkan kerusakan fungsi sawar kulit, menyebabkan iritasi baik secara
langsung atau tidak langsung, hiperproliferasi dan pengelupasan yang lebih lanju
Serta mikroorganisme juga dapat menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi
sehingga akan menimbulkan keluhan berupa gatal.

Penyebab keluhan memberat pada saat berkeringat dan menggunakan topi

Penggunaan topi akan meningkatkan suhu pada kulit kepala sehingga sebagai
mekanisme kompensasi tubuh akan mendinginkan permukaan dengan cara
berkeringat. Proses berkeringat ini dapat beresiko dalam meningkatkan kelembapan
kulit kepala sehingga menjadi tempat yang optimal bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Akibatnya akan terjadi proses overgrowth flora normal pada kulit
kepala yang dapat menjadi patogen opportunistik. Kemudian mikroorganisme ini
akan menyebabkan terjadinya inflamasi yang dapat memperberat keluhan pasien

2|LBM 4
Hubungan antara stress dengan keluhan yang dirasakan

Pada saat seseorang mengalami stress akan terjadi penurunan imun tubuh
sehingga tubuh akan menjadi rentan untuk melawan patogen dari dunia luar
sehingga rentan untuk mengalami inflamasi. Kulit kepala memiliki banyak flora
normal yang dapat menjadi patogen opportunistik apabila mengalami overgrowth.
Selain itu stress ataupun depresi menyebabkan adanya perubahan neuroendokrin
sehingga kekebalan tubuh akan mengganggu kemampuan kulit untuk merespons
tantangan dari lingkungan luar. Selain itu juga , sel mast memainkan peran kunci
dalam respon imunologis yang berlebebihan terhadap stress dengan memicu
peradangan neurogenic.

Secara fisiologis kondisi stres akan mengaktifkan Hypothalamic Pituitary


Axis (HPA) sehingga dapat meningkatan konsentrasi Adrenocorticotropic Hormone
(ACTH) dan glukokortikoid yang berkepanjangan. Peningkatan ACTH akan
memicu peningkatan hormon androgen yang akan merangsang peningkatan produksi
sebum (Latifah dan Kurniawaty, 2015). Androgen yang terpenting dalam stimulasi
produksi sebum adalah testosteron dan akan dirubah menjadi bentuk aktif yaitu 5α-
Dihidrotestosterone (DHT) oleh enzim 3E-hydroxysteroid dehydrogenase dan 5D-
reductase. Beberapa mikroorganisme yang bersifat patogen memanfaatkan lipid
pada sebum sebagai sumber nutrisi, dan diperkirakan sebum diperlukan untuk
mendukung pertumbuhan suatu mikroorganisme yang memicu terjadinya ketombe

Diagnosis sementara pada pasien di skenario

Berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien, kami mengajukan beberapa


diagnosis sementara yang berhubungan dengan gejala yang dirasakan pada pasien di
skenario , diantaranya yaitu Dermatitis seboroik, Psoriasis vulgaris, Tinea capitis,
Ptyriasis rosea, dan Sistemic Lupus Eritematous (SLE).

3|LBM 4
BAB II
PEMBAHASAN

DATA TUTORIAL

Hari/tanggal Sesi I : Senin, 29 November 2021

Hari/tanggal Sesi II : Rabu, 1 Desember 2021

Tutor : dr.Shinta Wulandhari, S.Ked.

Ketua : Putu Pani Damayanthi

Sekretaris : Putu Cintia Nanda Artasih

PEMBAHASAN

Jenis-Jenis Skuama

Jenis
No Keterangan Gambar
Skuama

1. Crack- Deskuamasi yang dimana


like/craquelé menyebabkan kulit pecah-
pecah dan retak

Eczema craquelé

4|LBM 4
2. Exfoliativa Skuama seperti lekukan pada
epidermis

Reaksi obat

3. Berpasir Skuama tebal melekat


dengan tekstur seperti kertas
pasir

Actinic keratosis

4. Follicular Skuama tampak seperti


sumbatan keratotik, duri atau
filamen

Keratosis pilaris

5|LBM 4
5. Ichtyosiform Skuama berbentuk lempeng
poligonal yang teratur yang
disusun pada baris-baris
paralel atau pola berlian
(seperti ikan)

Ichthyosis vulgaris

6. Keratotik Skuama terlihat menumpuk

Cutaneous horn

7. Lamellar Skuama yang merupakan


piringan besar yang tipis atau
seperti perisai

Lamellar ichthyosis

6|LBM 4
8. Pityriosiform Skuama kecil dan seperti
kulit padi

Pityriasis rosea

9. Psoriasiform Skuama keperakan dan rapuh


(micaceous dan seperti piringan yang
dan tipis, seperti mika
ostraceous) (micaceous scale).Skuama
yang besar
dapatdiakumulasi/bertumpuk,
memberi gambaran seperti
cangkang kerang (ostraceous Psoriasis vulgaris
scale

10. Seborrheic Skuama tebal, seperti


lilin/berminyak,kuningcoklat,
mengelupas

Dermatitis seboroik

11. Wickham Skuama terlihat seperti renda


striae putih yang diatasnya terdapat
papul-papul violaseous yang
datar

Lichen planus

7|LBM 4
Definisi , Etiologi , Manifestasi Klinis Diagnosis Sementara

a) Dermatitis seboroik
- Definisi : Merupakan istilah yang digunakan untuk segolongan kelainan kulit
yang didasari oleh faktor konstitusi, dengan predileksi di daerah kaya kelenjar
sebasea (Panduan Praktis Klinis,2017)
- Etiologi : Idiopatik , stress, adanya penyakit parah seperti HIV/AIDS,
Pityrosporum ovale (jamur lipofilik dari genus Malassezia yang dianggap
sebagai flora normal kulit yang terdapat di lapisan atas stratum korneum dan
merupakan flora normal kulit manusia yang dapat berasosiasi pada keadaan
ketombe dan dermatitis seboroik), serta adanya penyakit neurologis (Panduan
Praktis Klinis,2017)
- Manifestasi Klinis : Munculnya bercak merah dan kulit kasar. Kelainan awal
hanya berupa ketombe ringan pada kulit kepala (pityriasis sika) sampai
keluhan lanjut berupa keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa gatal
(Panduan Praktis Klinis,2017).
- Tempat Predileksi : Kulit kepala, glabella, belakang telinga, belakang leher,
alis mata, kelopak mata, liang telinga luar, lipatan nasolabial , sternal, areola
mammae, lipatan bawah mammae pada wanita, interskapular, umbilicus, lipat
paha, dan daerah angogenital (Panduan Praktis Klinis,2017).
- Faktor Resiko : Genetik , faktor kelelahan , stress emosional, infeksi,
defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih sering daripada wanita, usia bayi
bulan 1 dan usia 18-40 tahu , serta kurang tidur (Panduan Praktis
Klinis,2017).
b) Tinea Kapitis
- Definisi : Kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh
spesies dermatofita (Panduan Praktis Klinis,2017).
- Etiologi : Jamur Tricophyton dan Microsporum, terutama T. rubrum, T.
mentagrophytes dan M. gypseum(Panduan Praktis Klinis,2017).
- Manifestasi Klinis : Adanya bercak di kepala, gatal dan sering disertai
rontoknya rambut di tempat lesi tersebut (Panduan Praktis Klinis,2017).

8|LBM 4
- Tempat Predileksi: Daerah kulit kepala dan rambut (Panduan Praktis
Klinis,2017).
- Faktor resiko: Hygiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang buruk, kontak
langsung dengan penderita ,bergantian handuk dengan penderita , kontak
dengan binatang peliharaan seperti anjing dan kucing, lingkungan yang kotor
dan panas, serta udara yang lembab(Panduan Praktis Klinis,2017).
- Klasifikasi :
 Gray Patch (Ringworm) : Biasanya disebabkan oleh genus Microsporum
dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit ini dimulai dengan papul
merah kecil di sekitar rambut , melebar, dan membentuk bercak yang
menjadi pucat dan bersisik. Manisfestasi klinis pada pasien biasanya rasa
gatal, warna rambut menjadi abu-abu, serta rambut mudah patah
(Widaty,2017)
 Kerion : Reaksi peradangan yang berat , berupa pembengkakan yang
menyerupai sarang lebah dengan sel radang yang padat disekitarnya
(Widaty,2017)
 Black dots: Paling sering disebabkan oleh Tricophyton tonsurans dan
Tricophyton violaceum. Rambut yang terkena infeksi patah, tepat pada
muara folikel, dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora.
Ujung rambut yang hitam di dalam folikel rambut ini memberi gambaran
khas , yaitu black dot. Ujung rambut yang patah terkadang masuk ke
bawah permukaan kulit (Panduan Praktis Klinis,2017).
c) Psoriasis vulgaris
- Definisi : Penyakit peradangan kulit kronik dengan dasar genetic yang kuat
denga karakteristik perubahan pertumbuhan dan diferensiasi sel epidermis
disertai manifestasi vaskuler , juga diduga adanya pengaruh sistem saraf
(Jacoeb,2017).
- Etiologi : Idiopatik , namun dikaitkan dengan adanya pemendekan turn over
epidermis , predisposisi genetic, infeksi, stress, trauma, obat-obatan tertentu,
serta perubahan iklim (Jacoeb,2017).

9|LBM 4
- Manifestasi Klinis : Plak eritematosa diikuti skuama putih disertai titik-titik
perdarahan bila skuama dilepas,berukuran dari seujung jarum sampai dengan
plakat menutupi sebagian besar area tubuh , umumnya simetris (Jacoeb,2017).
- Tempat Predileksi: Tempat yang mudah mengalami trauma , seperti siku,
lutut, kulit kepala, telinga, lumbosakral, pantat, genital dan luas tubuh)
(Jacoeb,2017).
- Faktor Resiko : Faktor pencetus, berupa infeksi, stress, trauma, obat-obatan
tertentu, serta perubahan iklim (Jacoeb,2017).
d) SLE ( Systemic Lupus Erythematous)
- Definisi : Penyakit autoimun multisystem yang merupakan penyakit autoimun
yang menyebabkan inflamasi sistemik di mana organ, jaringan, dan sel
mengalami kerusakan yang dimediasi oleh autoantibodi pengikat jaringan dan
kompleks imun (Panduan Praktis Klinis,2017).
- Etiologi : Interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA- DRB1,IRF5,
STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan.
Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imunyang
abnormal (Panduan Praktis Klinis,2017).
- Manifestasi Klinis : Ruam malar (butterfly rash) yaitu suatu eritema datar
atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan
nasolabial, bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling
dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi (bercak
discoid), bercak di kulit yang timbul bertambah akibat paparan sinar matahari,
pada anamnesis atau pemeriksaan fisik (Fotosensitif), ulkus mulut (Ulkus
mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri), gangguan ginjal (proteinuria),
gangguan saraf (kejang, psikosis), gangguan darah (anemia hemolitik,
leukopenia, limfopenia, trombositopenia), gangguan imunologi (Anti-dsDNA
diatas titer normal, Anti-Sm(Smith) (+), dan Antibodi fosfolipid (+)) (Petty
dan Laxer,2015).
- Tempat Predileksi : Sendi, kulit, ginjal, otak, hati dan lesi dasar pada organ
tersebut adalah suatu vaskulitis yang terjadi oleh karena pembentukan dan
pengendapan kompleks antigen-antibodi

10 | L B M 4
- Faktor Resiko : Usia yang semakin tua, jenis kelamin perempuan, serta
Interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan
dianggap berperan penting dalam disregulasi sistem imun(Petty dan
Laxer,2015).
e) Pityriasis rocea
- Definisi : Erupsi kulit akut yang sembuh sendiri , dimulai dengan sebuah lesi
inisial berbentuk eritema dan skuama halus, kemudian disusul oleh lesi-lesi
yang lebih kecil di badan , lengan, dan tungkai atas yang tersusun sesuai
dengan lipatan kulit (Panduan Praktis Klinis,2017).
- Etiologi : Belum diketahui secara pasti, namun beberapa penelitian
mengatakan berhubungan dengan reaktivasi Human Herpes Virus (HHV)-7
dan HHV-6 (Panduan Praktis Klinis,2017).
- Manifestasi Klinis : Lesi kemerahan (mother patch)yang awalnya satu
kemudian diikuti dengan lesi yang lebih kecil yang menyerupai pohon cemara
terbalik. Lesi ini kadang dikeluhkan terasa gatal ringan (Panduan Praktis
Klinis,2017).
- Tempat Predileksi : Badan , lengan atas bagian proksimal dan paha atas
(Panduan Praktis Klinis,2017).
- Faktor Resiko : Usia (remaja, dan meningkat pada dewasa muda) (Panduan
Praktis Klinis,2017).

Dermatitis seboroik

11 | L B M 4
Tinea Kapitis

(Kerion)

(Gray Patch)

(Black dots)

12 | L B M 4
Psoriasis vulgaris

SLE (Systemic Lupus


Erythematous)

Pityriasis rocea

13 | L B M 4
Pemeriksaan Penunjang masing-masing Diagnosis Sementara

a) Dermatitis seboroik
- Pemeriksaan KOH : Dapat ditemukan spora berbentuk bulat atau oval akibat
keterlibatan Malassezia spp., namun hasil KOH positif tidak menjadi kriteria
diagnosis DS karena DS tidak disebabkan semata-mata oleh pertumbuhan
Malassezia spp. yang berlebih, melainkan merupakan respons abnormal
pejamu terhadap Malassezia spp. di kulit (Kemenkes,2019).
- Pemeriksaan Histopatologi : Didapatkan adanya akantosis (penebalan
epidermis biasanya dihasilkan oleh pembentukan papula dan plak) dengan
spongiosis ringan (kelainan dengan adanya pengumpulan cairan di ruang
antar sel yang satu dengan sel yang lain sehingga menjadi renggang)
(Kemenkes,2019)

Akantosis

Spongiosis

14 | L B M 4
b) Tinea Kapitis
- Pemeriksaan KOH : Pemeriksaan mikrospkopis dengan KOH 10% dapat
membuktikan adanya infeksi jamur dengan cepat, namun tidak dapat
menunjukkan spesies. Pada ektotriks terlihat artrokonidia yang kecil di sekitar
batang rambut dan pada infeksi endotriks terlihat rantai artrokonidia di dalam
batang rambut (Kemenkes,2019)
- Pemeriksaan Biakan Jamur: Spesimen bahan diinokulasikan di media agar
Sabouroud atau media kultur yang mengandung antibiotik untuk pemeriksaan
kultur jamur. Pertumbuhan koloni jamur diobservasi dalam waktu 1 sampai 6
minggu, dan memberikan gambaran morfologi yang berbeda-beda. Pada
Trichopyton violaceum pada agar Saboraud’s dextrose adanya koloni yang
timbul berwarna krem, bentuk radier, bagian tengah menonjol cone-shaped
(verucosa), konsistensi waxy berwarna ungu, permukaan menjadi velvety
dengan aeril miselium(Kemenkes,2019)

- Pemeriksaan Wood Lamp : Microsporum sp. dapat memberikan fluoresensi


warna biru kehijauan, sedangkan Trichophyton sp. tidak memberikan
fluoresensi. Pada tinea capitis tipe gray patch didapatkan pemeriksaan akan
berwarna hijau

15 | L B M 4
c) Psoriasis Vulgaris
- Uji Karvleks : Didapatkan hasil yang positif yang dimana apabila lesi yang
berskuama tebal digores akan terlihat bentukan seperti bercak lilin dan
berwarna keabuan (Jacoeb,2017).

- Uji Auspitz : Didapatkan hasil yang positif apabila lesi yang berskuama tebal
digores terus menerus akan terlihat bentuka bintik-bintik merah akibat
perdarahan karena papilla dermis yang memanjang (Jacoeb,2017).

- Uji Khoebner : Apabila jila lesi digaruk akan muncul lesi baru di tempat lain
dan mempunyai gambaran yang sama dengan lesi yang lama(Jacoeb,2017).

16 | L B M 4
- Pemeriksaan Dermoskopi: Adanya gambaran cincin yang menunjukkan
bentukan rete ridge yang memanjang dengan bentukan klinis auspitz
sign(Jacoeb,2017)
- Pemeriksaan Histopatologi: Tampak akantosis dengan pemanjangan rete
ridges yang teratur, mikroabses Munro yang merupakan kumpulan sel
neutrofil pada lapisan stratum korneum di epidermis(Jacoeb,2017)

d) Systemic Lupus Erythematous


- Pemeriksaan Laboratorium : Pemeriksaan DPL (darah perifer lengkap)
dengan hitung differensial dapat menunjukkan leukopeni, trombositopeni dan
anemia, pemeriksaan serum kreatinin , urinalisis (menunjukkan adanya efusi
pleura) (Panduan Praktis Klinis,2017).
- Pemeriksaan Radiologi (X-Ray Thorax) : Adanya efusi pleura(Panduan
Praktis Klinis,2017).

17 | L B M 4
e) Pityriasis rocea
- Pemeriksaan Histopatologi : Adanya akantosis ringan dan parakeratosis
fokal
- Pemeriksaan Dermoskopi : Adanya gambaran perifer yang menunjukan
gambaran titik pembuluh darah,

Status Dermatologis pada pasien di Skenario

Berdasarkan hasil dari UKK yang diberikan pada sesi 2, kelompok kami
menetapkan status dermatologis pada pasien di skenario, yaitu :

- Lokasi : Kepada dan Post Auricula Sinistra


- Effloresensi : Makula eritematus dengan papula multiple diatasnya,
sebagian lesi ditutupi skuama halus berwarna putih dengan batas yang tidak
tegas

Penentuan Diagnosis Kerja

Berdasarkan pembahasan dari masing-masing diagnosis sementara yang


sudah diajukan serta adanya hasil dari UKK pada pasien, kelompok kami
menyimpulkan bahwa wanita usia 37 tahun tersebut mengalami kelainan kulit yang
disebut dengan Dermatitis Seboroik. Penegakkan ini didasarkan oleh temuan pada
hasil UKK yaitu tampak adanya macula eritematosa yang dimana sebagian lesi
ditutupi oleh skuama halus berwarna putih agak kekuningan dengan batas yang tidak
tegas. Selain itu , tidak terdapat adanya lesi berupa plak eritematosa yang diikuti
oleh skuama putih yang disertai dengan titik-titik perdarahan bila skuama di lepas,
yang merupakan tanda khas dari Psoriasis vulgaris, sehingga diagnosis sementara

18 | L B M 4
Psoriasis vulgaris dapat dihindarkan. Kemudian , pada Tinea capitis juga terdapat
lesi yang hampir mirip , terutama pada tinea capitis jenis gray patch. Namun, pada
gray patch , terjadi adanya kerusakan pada batang rambut sehingga rambut mudah
patah dan rontok serta disertai dengan perubahan warna rambut menjadi abu-abu.
Namun, pada skenario pasien tidak mengeluhkan adanya rambut rontok. Sedangkan
pada Pityriasis versicolor , biasanya ditandai dengan lesi khasnya berupa adanya lesi
kemerahan (mother pacth) yang awalnya satu kemudian disusun oleh lesi-lesi yang
lebih kecil , dan biasanya tersusun sesuai dengan lipatan kulit atau yang sering
disebut dengan christmast tree atau pohon cemara terbalik, akan tetapi pada pasien
di skenario tidak terdapat adanya gambaran UKK yag menunjukkan kriteria tersebut.
Serta yang terakhir yaitu Sistemic Lupus Eritematous (SLE) yang dimana penyakit
ini merupakan suatu penyakit autoimun yang dapat melibatkan banyak organ dengan
manifestasi klinis yang beragam. Pada SLE lesi khasnya berupa adanya ruam yang
eritema datar atau menimbul pada daerah pipi dan cenderung menyebar ke lipatan
nasolabial. Akan tetapi, pada pasien di skenario juga tidak menunjukkan adanya
manifestasi klinis tersebut. Sehingga kami menetapkan bahwa pasien pada skenario
mengalami Dermatitis Seboroik. Selain dari pemeriksaan fisik , diagnosis ini juga
ditunjang dari keluhan pasien yang dirasakan memberat jika pasien merasakan
stress. Yang dimana stress merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
Dermatitis seboroik, yang kita ketahui pada orang dewasa penyakit ini bersifat
kronis dan dapat relaps (kambuh-kambuhan). Selain itu, berdasarkan data
epidemiologi , DS biasanya lebih sering terjadi pada pria , karena berhubungan
dengan adanya peningkatan kadar hormone androgen. Namun, untuk menegakkan
diagnosis Dermatitis seboroik, umumnya dapat berdasarkan gambaran lesi kulit
yang terlihat, karena pada dasarnya setiap penyakit kulit memiliki gambaran
khasnya masing-masing.

19 | L B M 4
Epidemiologi Dermatitis Seboroik

Berdasarkan data epidemiologi prevalensi dermatitis seboroik secara umum


berkisar 3-5% pada populasi umum. Pada bayi biasanya penyakit ini paling sering
mengenai usia ≤ 1 bulan. Dermatitis seboroik umumnya diawali sejak usia pubertas,
dan memuncak pada umur 40 tahun. Dalam usia lanjut dapat dijumpai bentuk yang
ringan , sedangkan pada bayi dapat terlihat lesi berupa kerak kulit kepala (cradle
cap). Pada seseorang dengan jenis kelamin laki-laki biasanya lebih sering terjadi
dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut berhubungan dengan stimulasi
hormon androgen. Pada remaja biasanya lesi ditemukan dengan ketombe sebagai
bentuk yang lebih sering dijumpai. Pada kelompok pasien HIV/AID, angka kejadian
dermatitis seboroik lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak
36% pasien HIV mengalami dermatitis seboroik. Pada pasien HIV/AIDS,
munculnya gejala DS seringkali merupakan tanda awal supresi sel CD4 limfosit T.
Gangguan fungsi sel T dan peningkatan sel Natural Killer (NK) dijumpai pada
pemeriksaan darah pasien DS(Jacoeb,2017).Terdapat adanya beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap peningkatan terjadinya dermatitis seboroik, diantaranya yaitu
genetic, faktor kelelahan, stress emosional, infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin
pria , usia bayi ≤1 bulan dan usia 18-40 tahun , serta aktivitas kurang tidur. Yang
dimana kelenjar sebasea aktif pada saat bayi dilahirkan, namun dengan menurunnya
kadar androgen ibu, kelenjar ini menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun. Lokasi yang
paling sering terkena di daerah kulit kepala berambut, wajah , alis, lipat nasolabial,
telinga dan liang telinga, bagian atas tengah dada dan punggung , lipatan gluteus,
inguinal, ketiak, serta sangat jarang menjadi luas. (Jacoeb,2017).

Patofisiologi Dermatitis Seboroik

Patofisiologi Dermatitis Seboroik masih belum diketahui dengan pasti,


namun berhubungan erat dengan faktor genetik, sebum, jamur (Malassezia spp.),
hormonal, imunitas, faktor neurogenik, aktivitas kelenjar sebasea dan faktor
eksternal (iklim, stress, gangguan nutrisi, obat). Faktor genetik diduga kuat
berpengaruh pada kejadian DS. Gangguan genetik yang dapat menyebabkan
terjadinya DS berhubungan dengan gangguan genetik yang dapat memengaruhi

20 | L B M 4
imunitas, yaitu mutasi genetik reseptor sel T dan protein yang penting dalam
diferensiasi epidermis Peranan kelenjar sebasea dalam pathogenesis dermatitis
seboroik masih diperdebatkan , sebab pada remaja dengan kulit berminyak yang
mengalami dermatitis seboroik , menunjukkan sekresi sebum yang normal pada laki-
laki dan menurun pada perempuan. Selain itu , jumlah sebum yang diproduksi bukan
faktor utama pada kejadian Dermatitis seboroik. Permukaan kulit pasien Dermatitis
seboroik kaya akan lipid trigliserida dan kolesterol, namun rendah asam lemak dan
skualen. Malassezia spp., merupakan ragi lipofilik dan flora normal kulit,
memproduksi lipase dan menginisiasi respons inflamasi melalui pelepasan asam
oleat dan asam arakidonat dari sebum. Kandungan lemak sebum penting untuk
proliferasi Malassezia spp. dan pembentukan faktor proinflamasi. Semakin banyak
sebum, populasi Malassezia spp. meningkat dan faktor proinflamasi semakin banyak
diproduksi sehingga menyebabkan peradangan. Malassezia sp dan
Propionibacterium acnes, memiliki enzim lipase yang aktif , enzim ini yang dapat
mentransformasi trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas bersama
dengan reactive oxygen species (ROS) bersifat antibakteri yang akan mengubah
flora normal kulit. Malasezzia merupakan mikroorganisme komensal pada kulit,
yang pada kondisi normal tidak dapat menginduksi terjadinya reaksi imun. Pada
pasien DS terjadi reaksi imun yang abnormal terhadap toksin yeast dan aktivitas
lipase, ditandai dengan adanya peningkatan immunoglobulin (IgA dan IgG). Yang
dimana koloni jamur mempunyai kemampuan untuk berproliferasi di permukaan
kulit hingga menimbulkan reaksi inflamasi dan secara klinis nampak berupa skuama
(Widaty,2016)

Faktor hormon androgen juga dikatakan berperan dalam mekanisme


produksi sebum. Fluktuasi aktivitas androgen dan sebum ini mengalami fluktuasi
sesuai usia, aktivitas tertinggi saat neonatus hingga 3 bulan dan pubertas.
Penggunaan terapi yang berpengaruh pada diferensiasi epidermis seperti psoralen,
methoxsalen, trioxsalen dan isotretinoin dapat menyebabkan efek toksik sehingga
menginduksi inflamasi dan pertumbuhan yang berlebihan dari mikroorganisme
komensal pada individu yang rentan (Widaty,2016)

21 | L B M 4
Peran jamur Malassezia pada dermatitis seboroik di kulit kepala

Tatalaksana Farmakologi dan Non Farmakologi Dermatitis Seboroik

Pengobatan pada Dermatitis seboroik dapat dilakukan dengan pengobatan


farmakologis dan non farmakologis. Pengobatan tidak menyembuhkan secara
permanen, sehingga terapi dilakukan berulang saat gejala timbul. Penatalaksanaan
farmakologi pada bayi dapat dillakukan dengan memberikan asam salisilat 3%
dalam minyak kelapa atau vehikulum yang larut air atau kompres minyak kelapa
hangat 1 kali sehari selama beberapa hari pada lesi kulit kepala bayi. Kemudian
dilanjutkan dengan krim hidrokortison 1% atau lotion selama beberapa hari. Selama
pengobatan, rambut tetap dicuci. Pada orang dewasa , pada lesi di kulit kepala
diberikan shampoo selenium sulfida 1,8% atau shampoo ketokonazol 2%, zink
pirition (shampoo anti ketombe) , atau pemakaian preparat ter (liquor carbonis
detergent) 2-5% dalam bentuk salep dengan frekuensi 2-3 kali seminggu selama 5-
15 menit per hari. Pada lesi yang terdapat di badan diberikan kortikosteroid topical ,
seperti Desonid krim 0,05% (catatan : bila tidak tersedia dapat digunakan
fluosinolon asetonid krim 0,025%) selama maksimal 2 minggu. Pada kasus dengan
manifestasi dengan inflamasi yang lebih berat , diberikan kortikosteroid kuat
misalnya betametason valerat krim 0,1%. Sedangkan pada kasus dengan infeksi

22 | L B M 4
jamur , perlu dipertimbangkan pemberian ketokonazol krim 2% (Panduan Praktis
klinis,2017).

Selain obat topical, pasien juga dapat diberikan obat oral sistemik, contohnya
Antihistamin sedative yaitu klorfeniramin meleat 3x4 mg per hari selama 2 minggu ,
setirizin 1x10 mg per hari selama 2 minggu. Selain itu, dapat pula diberikan
Antihistamin non sedatif yaitu Loratadin 1x10 mg selama maksimal 2 minggu
(Panduan Praktis Klinis,2017). Selain pengobatan farmakologis , dapat pula
dilakukan pengobatan secara non farmakologis , dengan meminta pasien untuk
memperhatikan faktor predisposisi terjadinya keluhan seperti , stress emosional dan
kurang tidur. Selain itu , pasien juga diminta untuk menhindari garukan yang dapat
menyebabkan lesi iritasi, menghindari bahan-bahan yang dapat menimbulkan iritasi
dan hindari menggunakan pendingin ruangan (air conditioner) atau udara dengan
kelembapan rendah di lingkungan kerja. Diet juga disarankan untuk mengkonsumsi
makanan rendah lemak (Panduan Praktis Klinis , 2017).

Selain pengobatan, sebagai tenaga medis kita juga dapat memberikan


konseling serta edukasi kepada pasien dan keluarganya. Kita dapat memberitahukan
kepada orang tua bayi utuk menjaga kebersihan bayi dan rajin merawat kulit kepala
bayi. Selain itu , dapat pula memberitahukan kepada orang tua pasien bahwa
kelainan ini umumya muncul pada bulan-bulan pertama kehidupan dan membaik
seiring dengan pertambahan usia. Serta tidak lupa untuk memberikan informasi
bahwa penyakit tersebut sukar untuk disembuhkan tetapi dapat terkontrol dengan
mengontrol emosi dan psikisnya (Panduan Praktis Klinis , 2015).

Komplikasi dan Prognosis Dermatitis Seboroik

Dermatitis seboroik pada bayi bersifat swasirna (sembuh sendiri). Namun,


pada orang dewasa cenderung sering kambuh kembali dan menjadi kronis. Untuk itu
pengobatan dan pencegahan harus dilakukan dengan tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Komplikasi yang dapat disebabkan oleh Dermatitis seboroik
yaitu lesi yang bisa meluas menjadi penyakit Leiner atau eritroderma pada anak-
anak. Bila menjadi eritroderma atau bagian dari penyakit Leiner, perlu dirawat untuk
pemantauan penggunaan antibiotik dan kortikosteroid sistemik jangka panjang.

23 | L B M 4
Perjalanan penyakit yang kronik dan berulang berdampak pada kehidupan
psikososial, sehingga menimbulkan gangguan kualitas hidup yang meliputi rasa
tidak nyaman, stigmatisasi, kehilangan rasa percaya diri, dan keterbatasan dalam
aktivitas sosial. Oleh karena itu, tata laksana secara keseluruhan harus ditujukan
selain untuk memperbaiki gejala klinis serta meningkatkan kualitas hidup. Edukasi
mengenai penyakit perlu diberikan pada pasien karena stres psikologis merupakan
salah satu faktor yang dapat memicu timbulnya kembali dermatitis seboroik
sehingga menjadi saling terkait satu sama lain (Kemenkes,2019).

Prognosis pada penyakit ini umumnya Dubia ad Bonam. Hal tersebut


disebabkan oleh karena pada bayi penyakit ini bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya. Sedangkan pada orang dewasa penyakit ini bersifat
kronis dan dapat relaps (Kemenkes,2019).

24 | L B M 4
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang kelompok SGD kami lakukan , kami


menetapkan bahwa diagnosis kerja pada pasien wanita dengan usia 37 tahun pada
skenario tersebut mengalami penyakit kulit yang disebut dengan Dermatitis
seboroik. Dermatitis seboroik merupakan istilah yang digunakan untuk segolongan
kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi, dengan predileksi di daerah kaya
kelenjar sebasea, seperti kulit kepala, glabelar, belakang telinga, belakang leher, alis
mata, kelopak mata dan lainnya. Penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara
pasti. Namun penyakit ini berhubungan erat dengan adanya keaktifan glandula
sebasea. Dermatitis seboroik biasanya terjadi pada bayi dengan usia ≤1 bulan serta
jenis kelamin laki-laki biasanya lebih sering terjadi dibandingkan dengan
perempuan. Hal tersebut berhubungan dengan stimulasi hormon androgen.
Diagnosis penyakit ini umumnya dapat ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik , biasanya ditemukan gambaran khas
berupa papul sampai plak eritema, skuama berminyak agak kekuningan, serta
berbatas tidak tegas. Pengobatan penyakit ini tidak menyembuhkan secara
permanen, sehingga terapi dilakukan berulang saat gejala timbul. Prognosis pada
penyakit ini yaitu Dubia ad Bonam. Hal tersebut disebabkan oleh karena pada bayi
penyakit ini bersifat sementara dan akan menghilang dengan sendirinya. Sedangkan
pada orang dewasa penyakit ini bersifat kronis dan dapat relaps. Untuk itu ,
tatalaksana dan pencegahan harus dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi
berupa penyakit Leiner atau eritroderma. Untuk itu,sebagai mahasiswa kedokteran
materi ini sangat penting untuk dipahami lebih lanjut, agar nantinya dapat
memberikan tatalaksana yang tepat pada pasien dengan Dermatitis seboroik.

25 | L B M 4
DAFTAR PUSTAKA

Handoko, Ronny P, dkk. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Ikatan Dokter Indonesia. 2015. Panduan Praktis Klinik Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta, Indonesia.

Jacoeb, Tjut Nurul Alam. 2017. Dermatitis Seboroik. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Dermatitis Seboroik. Jakarta, Indonesia.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). 2017.


Panduan Praktis Klinis. Sekretariat PP PERDOSKI, Jakarta Pusat , Indonesia.

Soetomo,dr. 2019. Panduan Praktik Klinis. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Surabaya, Indonesia.

Tanto, Christ, dkk. 2016. Kapita Selekta Kedokteran, Ed:5 , Jilid II. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Widaty , Sandra , Aninda Marina. 2016. Pilihan Pengobatan Jangka Panjang Pada
Dermatitis Seboroik. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

26 | L B M 4

Anda mungkin juga menyukai