Disusun Oleh :
Muhammad Imam Nur, S.Ked (H1AP4040)
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan referat ini.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. M.
Yunus, Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
dr. Sabrina Yufica Sani Tampubolon sebagai pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta
bantuan dalam penyusunan tugas ini, serta teman–teman yang telah memberikan
bantuan baik material maupun spiritual kepada kami dalam menyusun referat ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, maka
kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Saya sangat
berharap agar referat ini dapat bermanfaat bagi semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
2.1. Definisi...................................................................................................... 3
2.3. Etiologi...................................................................................................... 4
2.8 Diagnosis.................................................................................................... 9
2.11 Pencegahan............................................................................................. 15
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
Prinsip penatalaksanaan SSSS adalah memperbaiki keadaan umum,
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, memberikan antibiotik sistemik dan
topikal, serta melakukan kompres.4,6,8,9
Tujuan penulisan referta ini untuk membahas kasus SSSS yang sangat
jarang dan untuk lebih mengerti serta memahami penatalaksanaannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) termasuk salah satu
penyakit infeksi kulit yang utama. Pada infeksi ini, permukaan kulit sebagian
besar terkelupas dan terlihat seperti kulit terbakar dengan cairan panas. SSSS
pertama kali dilaporkan oleh Ritter von Rittershain pada tahun 1956 dan juga
disebut sebagai penyakit Ritter von Ritterschein, penyakit Ritter, dermatitis
eksfoliativa neonatorum, pemfigus neonatorum, penyakit Lyell maupun necrolysis
staphylococcal epidermis. Pada waktu itu belum dikenal istilah SSSS, kemudian
Lyell pada tahun 1956 memasukkannya ke dalam Nekrolisis Epidermal Toksis
(NET), barulah kemudian berkat berbagai penyelidikan klinis dan histopatologik
sindrom ini menjadi jelas dan ternyata berbeda dengan NET.4 Penyakit ini
umumnya terjadi pada bayi baru lahir karena memiliki tampakan kulit seperti
melepuh yang luar biasa pada permukaan kulit yang dangkal yang disebabkan
oleh racun eksfoliatif yang dilepaskan dari Staphylococcus aureus.10 S.S.S.S.
merupakan suatu bentuk penyakit kulit yang berat dan disebabkan oleh eksotoksin
eksfoliatif yang dihasilkan S. aureus fage grup II dan ditandai oleh pembentukan
bula dan eksfoliasi yang generalisata.11
2.2. Epidemiologi
Penyakit ini terutama menyerang pada anak di bawah usia 5 tahun dan
jarang ditemukan pada dewasa kecuali dengan gangguan ginjal, defisiensi imun
dan penyakit kronik. Diantara kasus yang pernah dilaporkan, lelaki cenderung
lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 2:1. Prevalensi pada anak kurang
dari 2 tahun sebesar 62% dan hampir seluruh kasus terjadi pada anak kurang dari
6 tahun (98%), serta sisanya terjadi sebelum usia 50 tahun.12 Manusia merupakan
reservoir utama dan orang dewasa umumnya merupakan karier (15-40%).
Nasofaring anterior, aksila, perineum, dan vagina merupakan lokasi karier yang
3
umum. Epidemi sering disebabkan oleh strain spesifik, beberapa lebih virulen
daripada lainnya.13
2.3. Etiologi
Etiologinya ialah di antaranya Staphylococcus aureus grup II faga 3A,
3B,3C,52,55 dan atau 71.1-8 Strain Staphylococcus penyebab penyakit umumnya
adalah Staphylococcus aureus dengan koagulase positif (kokus Gram-positif),
yang menghasilkan eksfoliatin toksin A (ETA) dan eksfoliatin toksin B (ETB).
Eksfoliatin toksin ini bersifat epidermolitik sehingga menimbulkan kelepuhan
pada stratum granulosum epidermis.1,2 Penularannya melalui kontak dengan
pasien atau karier, sering melalui tangan yang terkontaminasi, sedangkan
penularan jalur indirek jarang terjadi.13
2.4 Patogenesis
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan
telinga. Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin,
eksfoliatin) yang beredar di seluruh tubuh, sampai pada epidermis dan
menyebabkan kerusakan, karena epidermis merupakan jaringan yang rentan
terhadap toksin ini. Pada kulit tidak selalu ditemukan kuman penyebab.4
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan eksfoliatin.
Pada anak-anak dan bayi diduga fungsi ekskresi ginjal belum sempurna, karena
itu umumnya penyakit ini terdapat golongan usia tersebut. Jika penyakit ini
menyerang orang dewasa diduga karena terdapat kegagalan fungsi ginjal, atau
terdapat gangguan imunologik, termasuk yang mendapat obat imunosupresif.4
Masuknya kuman ke dalam kulit biasanya terjadi setelah robekan atau
sumbatan folikel rambut. Multiplikasi menyebabkan inflamasi dan pembentukan
pus. Banyak toksin dan faktor seluler yang membantu terjadinya infeksi seperti
koagulase, hialuronidase, lipase.13
Kulit memiliki lima lapisan epidermis yaitu: Stratum korneum, Stratum
lucidum, Stratum granulosum, Stratum spinosum, Stratum germinativum (Gambar
2.1). Desmosom merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab
4
sebagai perekat kepada sel-sel kulit. Desmosom adalah struktur lokal yang
disusun secara sistemik pada ujung lateral membran sel. Toksin eksfoliatif
memiliki target kerja pada desmoglein 1 merupakan desmosom glikoprotein
transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel pada epidermis. Tindakan
utama desmosom adalah untuk melawan kekuatan geser dan ditemukan epitel
skuamosa simpleks dan stratified. Sehubungan dengan S.S.S.S., desmosom
ditemukan di jaringan otot untuk bertindak mengikat sel otot satu sama lain.4
5
diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya yang banyak terdapat pada
jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal,
jantung, dan kandung kemih.15 Desmoglein (Dsg) merupakan komponen
transmembran mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi
antar sel epitel tetapi juga pada morfogenesis sel epitel.17 Terdapat 3 isoform
desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua jaringan
yang memiliki desmosom termasuk epitel dan miokard, sedangkan Dsg1 dan
Dsg3 terbatas pada epitel skuamosa bertingkat.17,18
ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara
menghambat desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi
pemisahan intradesmosomal. Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin tersebut
6
terikat secara langsung pada cadherin desmosomal, yaitu desmosglein1 (Dsg1).
Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan oleh toksin eksfoliatif (ETs),
gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin tersebut. ETs juga bisa
bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang pada
gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik.17
7
mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari
tanpa disertai sikatriks.10
A. B.
Gambar 2.3 (A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan,
muka dan badan bayi penderita SSSS, (B) bula berdinding tipis
yang pecah dan meninggalkan kesan terbakar.
8
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis SSSS antara lain:
1. Pemeriksaan bakteriologi
Jika terdapat infeksi di tempat lain, misalnya di saluran napas dapat
dilakukan pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaiknya diperiksa mengenai
tipe kuman, karena S.S.S.S. disebabkan oleh Staphylococcus aureus tipe
tertentu. Pada kulit, seperti telah disebutkan, tidak didapati kuman
penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin.4
2. Pemeriksaan histopatologi
Pada SSSS terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh
intraepidermal, celah terdapat di stratum granulosum. 14 Pembentukan
dataran pemisah di epidermis atas, di stratum granulosum, dan pemisahan
lapisan epidermis oleh cairan edema yang membentuk bula. Pada
epidermis dan dermis terdapat reaksi radang ringan.11
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan konfirmasi laboratorium
melalui isolasi Staphylococcus aureus dari kulit dan nasofaring.13 Serta temuan
9
klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi ET, hasil biopsi, dan dengan Nikolsky’s
sign positif (Gambar 2.6) dan nyeri tekan.16
10
Gambar 2.7 Epidemolisis di punggung pada NET
b) Impetigo Bulosa
Staphylococcal scalded skin syndrome dan impetigo bulosa
merupakan penyakit kulit melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada
impetigo bulosa, ET hanya terdapat pada area infeksi sehingga kultur
bakteri dapat diperoleh dari isi lepuh. Pada SSSS, ET tersebar secara
hematogen dan akan berpotensi menyebabkan kerusakan epidermal pada
bagian tempat terjauh.12 Pemeriksaan kultur bula yang intak pada SSSS
biasanya steril (tidak ditemukan Staphylococcus), hal ini sesuai dengan
patogenesis penyebaran toksin secara hematogen berasal dari fokus infeksi
yang jauh. Sedangkan pada impetigo bulosa pemeriksaan kultur dan
pewarnaan gram menunjukkan adanya Staphylococcus.14
11
c) Selulitis
Selulitis terjadi pada lapisan dermis dan subkutan. Etiologi paling
sering disebabkan oleh S. pyogens, S.aureus dan GAS. Selain itu, bakteri
streptokokus grup B juga bisa menyerang bayi dan bakteri basil gram
negatif bisa menyerang orang dengan tingkat imun yang rendah. Selulitis
mempunyai gejala yang sama dengan erisipelas yaitu eritema dan sakit,
tetapi dapat dibedakan dengan batas lesi yang tidak tegas, terjadi di lapisan
yang lebih dalam, permukaan lebih keras dan ada krepitasi saat dipalpasi.
Selulitis dapat berkembang menjadi bulla dan nekrosis sehingga
mengakibatkan penggelupasan dan erosi lapisan epidermal yang luas.19
A. B.
Gambar 2.9 (A) Selulitis pada ekstremitas bawah disertai bengkak,
melepuh dan berkrusta, (B) Selulitis pada ekstremitas bawah
tampak eritema dengan vesikel-vesikel yang sudah pecah.
d) Epidermolisis Bulosa
Epidermolisis Bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik
yang diturunkan secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau timbul
akibat trauma ringan. Seperti diketahui pada kulit bayi lebih mudah terjadi
bula, sehingga trauma ringan di jalan lahir sudah cukup menyebabkan
terjadinya bula. Pemeriksaan histopatologik dapat melihat letaknya bula
terhadap stratum basal. Klasifikasi bula berdasarkan jaringan parut, yaitu
EB nondistrofik (bula terletak di atas stratum basal) dan distrofik (bula
12
terletak di bawah stratum basal). Kunci utama diagnosis EB secara klinis
didasarkan lokalisasi bula yang terbentuk, yaitu ditempat yang mudah
mengalami trauma, misalnya trauma dijalan lahir. Bula yang terbentuk
biasanya jernih, kadang-kadang hemoragik, selain kulit biasanya mukosa
ikut terkena.4
Meskipun sangat jarang, kelainan ini merupakan kelompok
kelainan yang penting. Pada kelainan ini, bayi-bayi dilahirkan dengan kulit
yang rapuh yang dapat menjadi lepuhan bila terjadi kontak. Diagnosis
epidermolisis bulosa memerlukan pemeriksaan mikroskop elektron untuk
menentukan derajat lepuhan.20
e) Sindrom Stevens-Johnson
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai
kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum
bervariasi dari ringan-berat; kelainan pada kulit berupa eritema,
vesikel/bula, dapat disertai purpura. Penyebab utama ialah alergi obat yang
tersering ialah analgetik/antipiretik, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena
13
infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Penyakit ini sama dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
tipe II (sitolitik). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa
destruksi keratinosit. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala
prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan
nyeri tenggorokkan. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat
sopor sampai koma.4
2.10 Penatalaksaan
Berbeda dengan pengobatan pada NET, maka kortikosteroid tidak perlu
diberikan. Pengobatannya ialah antibiotik, jika dipilih derivat penisilin hendaknya
yang juga efektif bagi Staphylococcus aureus yang membentuk penisilinase,
misalnya kloksasilin dengan dosis 3 x 250 mg untuk orang dewasa sehari per os.
Pada neonatus (penyakit Ritter) dosisnya 3 x 50 mg sehari per os. Obat lain yang
dapat diberikan ialah klindamisin dan sefalosporin generasi I. Topikal dapat
diberikan sufratulle atau krim antibiotik. Selain itu juga harus diperhatikan
keseimbangan cairan dan elektrolit.4
14
Terapi untuk SSSS harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus.
Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian antibiotik anti-
staphylococcal intravena. Untuk kasus yang tidak berat, antibiotik oral dapat
diberikan sebagai pengganti setelah beberapa hari. Kerusakan fungsi perlindungan
kulit yang luas pada lesi SSSS, menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit.
Pemantauan cairan ditunjang penggunaan antibiotik yang tepat serta perawatan
kulit, sangat berguna untuk mempercepat penyembuhan. Penggunaan baju yang
meminimalkan gesekan juga dapat membantu mengurangi terjadinya
pengelupasan kulit akibat gesekan. Kompres daerah lesi untuk membersihkan dari
jaringan-jaringan epidermis yang telah nekrosis. Salep antibiotik muporicin
diberikan beberapa kali dalam sehari pada area lesi termasuk pada sumber infeksi
sebagai tambahan terapi antibiotik sistemik.14
2.11 Pencegahan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
SSSS antara lain:10
1) Mencuci tangan dengan menggunakan sabun antibakteri/antiseptik.
2) Menggunakan handuk bersih untuk mengeringkan tangan dan pakaian
bersih huntuk mengeringkan badan.
3) Pakaian harus dicuci dengan air panas.
4) Kuku jari harus pendek untuk menghindari kontaminasi.
5) Sekolah dan tempat penitipan anak harus dihindari dari infeksi menular.
6) Barang kebersihan pribadi tidak boleh dibagi.
7) Cuci tangan sebelum menyentuh kulit yang rusak atau pecah.
8) Dalam kasus infeksi ringan, koloni bakteri dapat dicegah di dalam lubang
hidung dan di bawah kuku jari kaki dengan menggunakan krim antibiotik
seperti asam fusidat atau dengan menggunakan petroleum jelly dalam
beberapa kali sehari, selama seminggu atau bahkan setiap bulannya.
15
2.12 Prognosa
Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia di bawah setahun, yang
berkisar antara 1-10%. Penyebab utama kematian ialah tidak adanya
keseimbangan cairan/elektrolit dan sepsis. 4 Angka kematian pada dewasa lebih
besar (mencapai 50-60%) karena diikuti beberapa faktor penyebab kematian
lainnya dan peningkatan kejadian sepsis.14
2.13 Komplikasi
Meskipun SSSS dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi komplikasi,
misalnya:10
a) Selulitis
Hal ini terjadi saat penyebaran infeksi sampai ke lapisan kulit yang
lebih dalam. Menghasilkan gejala termasuk kulit kemerahan dan meradang
dengan rasa sakit. Situasinya biasanya bisa diobati dengan antibiotik dan
analgesik untuk mengurangi rasa sakit.
b) Septikemia
Septikemia adalah sejenis infeksi bakteri pada darah. Hal ini
menyebabkan diare, dingin, kulit basah, demam, muntah, hipotensi,
kebingungan, lemah, pusing dan kehilangan kesadaran.
c) Post-streptococcal glomerulonephritis (PSG)
PSG adalah infeksi yang berhubungan dengan pembuluh darah
kecil di ginjal. Gejala PSG adalah warna urine kemerahan, pembengkakan
perut dan pergelangan kaki, hematourea, berkurangnya jumlah urine.
Pasien yang menderita PSG memerlukan perawatan medis segera dan
tekanan darah mereka harus dipantau dengan hati-hati. PSG bisa berakibat
fatal pada orang dewasa, namun kasus anak sangat jarang terjadi.
Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien SSSS adalah
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi lain yang sering terjadi
berupa dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis. 14
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Kane KSM., Ryder J.B., Johnson R.A., Baden H.P., Stratigos A. 2002.
Cutaneous bacterial infektions. Dalam: Color atlas & synopsis of pediatric
dermatology. New York: Springer Verlag.
2. Kim J. 2003. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. http://www.emedicine
.com. [Diakses: 3 November 2020]
3. Resnick S.D., Elias P.M. 2003. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome.
Dalam: Freedberg I.M., Eisen A.Z., Austen K.F., Wollf K., Goldsmith L.A.,
Katz S.I. Dermatology in general medicine edisi 6. USA: Mc Graw Hill.
4. Djuanda A. 2010. Pioderma. Dalam : Djuanda A., Djuanda S., Hamzah M.,
Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: BP FKUI.
5. Lee P.K., Arnold N, Swartz M.N., Johnson R.A., Weinberg A.N. 1999.
Pyodermas: Staphylococcus aureus, Streptococcus and other gram-positive
bacteria. Dalam: Freedberg I.M., Eisen A.Z., Wollf K., Goldsmith L.A.,
Katz S.I., Fitzpatrick T.B. Dermatologi in general medicine edisi 5. USA:
Mc Graw Hill.
6. Sumaryo S. 2001. Pioderma edisi 1. Semarang: BP UNDIP.
7. Wolff K., Johnson R.A., Suurmond D. 2005. Bacterial infections involving
the skin. Dalam: Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical
dermatology edisi 5. USA: Mc Graw Hill.
8. Braun-Falco O., Plewig G., Wolff H.H., Burgdorf WHC. 2000. Bacterial
Diseases. Dalam: Dermatology. New York: Springer Verlag.
9. Hartadi. 1991. Dermatosis Bakterial edisi 2. Semarang: BP UNDIP.
10. Mishra A.K., et al. 2016. A Systemic Review on Staphylococcal Scalded
Skin Syndrome (SSSS): A Rare and Critical Disease of Neonatus. The Open
Microbiology Journal (10): 150-9.
11. Harahap M. 2015. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates.
12. Randall W.K., et al. 2017. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome in
Emergency Medicine Volw 3 No 1. New York. McGraw-Hill.
18
13. Mandal, B.K. et al. 2008. Lecture Notes: Penyakit Infeksi Edisi 6. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
14. Travers J.B., Mousdicas N. 2008. Gram-positive Infections Associated with
Toxin Production. Dalamn: Freedberg I.M., Eisen A.Z., Austen K.F.,
Goldsmith L.A., Katz S.I. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine
7th ed. New York: McGraw-Hill.
15. Morgan M.B., Smoller B.R., Somach S.C. 2015. Staphylococcal Toxin-
Mediated Scalded Skin and Toxic Shock Syndromes. Dalam: Deadly
Dermatologic Diseases Clinicopathologic Atlas and Text. Cleveland:
Springer.
16. Luk N.M. 2015. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong
Kong Dermatology & Venereology Bulletin 10(1): 25-7.
17. Amagai M., Matsuyoshi N., Wang Z.H., Andi C., Stanley J.R. 2014. Toxin
in Bullous Impetigo and Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets
Desmoglein-1. National Medicine 6: 1275-7.
18. Stanley J.R., Masayuki M. 2016. Pemphigus, Bullous Impetigo, and
Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. The New England Journal of
Medicine 355: 1800-10.
19. Saavedra A.,Weinberg A.N., Swartz M.N., Johnson R.A. 2008. Soft Tissue
Infections : Erysipelas, Cellulitis, Gangrenous Cellulitis, and Myonecrosis.
Dalam: Wolff K., Goldsmith L.A., Katz S.I. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7th Ed. New York: McGraw-Hill.
20. Brown RG., Burns T. 2008. Lecture Notes on Dermatologi Edisi8. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
19