Ketika emosi tidak dikeluarkan, energi negatif hasil dari emosi tidak pergi dari tubuh dan
akan tertahan dalam tubuh. Energi negatif yang seharusnya dikeluarkan menjadi tersimpan
dalam tubuh dan dapat mengganggu fungsi organ tubuh, termasuk otak. Berikut ini
beberapa bahaya memendam emosi bagi kesehatan:
Energi akibat dari emosi merupakan energi yang tidak sehat bagi tubuh. Energi dari emosi
yang ditekan bisa menjadi penyebab dari tumor, pengerasan arteri, kaku sendi, serta
melemahkan tulang, sehingga hal ini dapat berkembang menjadi kanker, melemahkan
sistem kekebalan tubuh, dan membuat tubuh rentan terhadap penyakit.
Memendam emosi juga membawa pengaruh buruk bagi kesehatan fisik dan mental.
Penelitian yang diikuti selama 12 tahun menunjukkan bahwa orang yang sering memendam
perasaannya memiliki kemungkinan mati muda setidaknya 3 kali lebih besar dibandingkan
dengan orang yang terbiasa mengekspresikan perasaannya. Penelitian yang diterbitkan
dalam Journal of Psychosomatic Research ini menemukan bahwa memendam emosi dapat
meningkatkan risiko kematian karena penyakit jantung dan juga kanker (Chapman, et
al., 2013). Penelitian ini juga turut membuktikan penelitian sebelumnya yang
menghubungkan antara emosi negatif, seperti marah, cemas, dan depresi, dengan
pengembangan dari penyakit jantung (Kubzansky dan Kawachi, 2000).
Orang yang terbiasa memendam emosinya akan membawa pikiran negatif dalam tubuh
yang dapat mengganggu keseimbangan hormon. Hal ini meningkatkan risiko penyakit yang
berhubungan dengan kerusakan sel, seperti kanker.
Studi lainnya yang dilakukan oleh Middendorp, et al. (2009) pada penderita rheumatoid
arthritis menemukan bahwa orang-orang yang didorong untuk bertukar perasaan dan
mengekspresikan emosi akan memiliki kadar penanda inflamasi dalam darah yang lebih
rendah dibandingkan mereka yang memendam perasaan mereka untuk diri mereka sendiri.
Pada tahun 2010 sebuah studi yang dilakukan pada 124 siswa menemukan bahwa situasi
sosial di mana orang merasa dihakimi atau ditolak meningkatkan kadar dua bahan kimia
pro-inflamasi, yaitu interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-alpha) yang
sering ditemukan pada penyakit autoimun.
Hasil sebaliknya ditemukan pada penelitian yang menunjukkan bahwa orang-orang yang
bahagia memiliki kadar zat kimia inflamasi yang lebih rendah. Sebuah studi tahun 2010 yang
diterbitkan dalam Journal of Association for Psychological Science, menemukan bahwa
pendekatan kehidupan dengan sikap positif adalah penawar yang kuat terhadap stres, nyeri,
dan penyakit.
Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa memendam emosi dapat memicu penyakit dalam
tubuh. Zat penanda inflamasi ditemukan lebih tinggi pada orang-orang yang tidak bisa
mengekspresikan emosi mereka. Inflamasi sendiri dapat terjadi di beragam penyakit, seperti
penyakit jantung, artritis, asma, dementia, osteoporosis, irritable bowel syndrome (IBS), dan
beberapa jenis kanker. Oleh karena itu, orang yang tidak bisa menyalurkan pikiran dan
perasaannya dapat terserang berbagai macam penyakit.
Jujur pada diri sendiri. Bukan berarti Anda harus mengekspresikan semua perasaan Anda
setiap waktu, tetapi dalam berbagai situasi Anda dapat mengatakan kepada diri sendiri apa
yang sebenarnya Anda rasakan. Jangan menyembunyikan dan mengelakkan perasaan
Anda sendiri.
Ketahui apa yang sedang Anda rasakan. Terkadang Anda tidak mengetahui apa yang
sedang Anda rasakan. Kenali perasaan yang Anda rasakan pada diri Anda dan renungkan
apa yang menyebabkan mereka.
Bicarakan perasaan Anda dengan orang lain. Jika Anda sedang emosional, bicarakan
apa yang Anda rasakan dan pikirkan dengan orang lain. Hal ini dapat membantu membuat
Anda lebih tenang.
Jadilah seorang pengamat. Anda harus mengetahui kapan sebaiknya Anda dapat
mengeluarkan emosi Anda. Tidak di setiap waktu dan di sembarang tempat Anda bisa
mengekspresikan emosi Anda. Terkadang Anda harus menahannya sebentar dan
mengeluarkannya di waktu yang tepat. Jika Anda tidak mampu menahannya, tarik napas
dalam-dalam dan ubah posisi tubuh Anda. Hal ini dapat membantu menenangkan Anda.
Anda juga sebaiknya mengontrol tingkat stress yang dapat memicu gejala tersebut datang
menghampiri. Caranya dengan banyak melakukan aktivitas fisik, hobi, olahraga, ataupun
rekreasi bersama keluarga. Selain itu, olahraga yang memadukan olah fisik dan pikiran
seperti yoga, dapat dicoba sebagai pengalaman baru. Relaksasi dan olah napas juga dapat
membantu meredakan gejala yang dialami.
Keluhan yang dialami berasal dari pikiran, sehingga Anda harus mampu mengendalikan jika
keluhan tersebut mulai datang. Perbanyak komunikasi dengan keluarga dan sahabat tanpa
membantu melupakan gejala tersebut. Bergabung dengan komunitas baru juga mampu
mengusir gejala yang selama ini Anda alami secara bertahap. Jika memungkinkan, Anda
bisa meminta dokter kepercayaan untuk mengikuti program tertentu. Salah satu program
untuk penderita gangguan ini adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT). Terapi ini
merupakan salah satu tatalaksana yang efektif untuk mengelola gangguan somatoform
dalam jangka panjang.