Anda di halaman 1dari 19

Hubungan antara Faktor Sosial dengan Gangguan

Somatisasi di Asia
Yogie Rinaldi, Eirene Megahwati Paembonan, Vionna Nadya V Mongan, Kevin
Anggana Chandra, Vindi Nazhifa
Mahasiswa Kepaniteraan Dasar
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Abstrak: Gangguan somatisasi merupakan salah satu gangguan somatoform. Gangguan


somatisasi ditandai dengan banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan dengan
adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan ini biasanya dimulai
sebelum usia 30 tahun, bersifat kronis sehingga bisa berlanjut hingga bertahun-tahun.
Diagnosis gangguan somatisasi sesuai dengan kriteria menurut Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR). Terapi untuk gangguan somatisasi dengan terapi
psikofarmakologi dan psikoterapeutik.
Kata kunci: gangguan somatisasi, gangguan somatoform, psikosomatik, stress
Abstract: Somatization disorder is one of the somatoform disorders. Somatization disorder
characterized by many somatic symptoms that can not be explained adequately by physical
examination and laboratory. The disorder usually begins before the age of 30 years, chronic
so it could continue for years. The diagnosis of somatization disorder in accordance with the
criteria according to Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR).
Therapy for somatization disorder with therapy and psychotherapeutic psychopharmacology.
Keyword: somatization disorder, somatoform disorder, psychosomatic, stress

BAB 1. PENDAHULUAN
Gangguan somatisasi termasuk dalam gangguan somatoform. Gangguan somatoform
adalah kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda serta gejala yang berkaitan dengan
tubuh sebagai komponen utama. Gangguan somatisasi telah dikenal sejak zaman Mesir kuno.
Nama awal gangguan somatisasi adalah histeria. Pada tahun 1859, Paul Briquet mengamati
keragaman gejala dan sistem organ yang terkena serta menguraikan perjalanan gangguan
yang biasanya kronis. Karena pengamatan klinis yang tajam, Gangguan ini disebut briquet
syndorme. Perempuan dengan gangguan somatisasi jumlahnya melebihi laki-laki 5 hingga 20
kali. Gangguan somatisasi bisa disebabkan oleh faktor psikososial, faktor biologis dan
genetik. Diagnosis untuk menegakkan seseorang mengalami gangguan somatisasi adalah
sesuai dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) yaitu
harus memiliki keluhan sedikitnya, empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala
seksual, dan satu gejala pesudoneurologis, yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan
pemeriksaan fisik dan laboratorium.1

BAB 2. KAJIAN PUSTAKA


Gangguan somatisasi merupakan salah satu bentuk gangguan somatoform, yang sumber
gangguannya adalah kecemasan yang dimanifestasikan dalam keluhan fisik, sehingga orang
lain tidak akan mengerti jika individu tidak mengeluh. Somatisasi juga merupakan suatu
bentuk gangguan yang ditunjukkan dengan satu atau beberapa macam keluhan fisik akan
tetapi secara medis tidak mempunyai dasar yang jelas.1
Dijelaskan lebih lanjut bahwa gangguan somatisasi adalah suatu gangguan fisik kronis
yang tidak dapat diterangkan secara medis dan berhubungan dengan masalah ketegangan
psikologis. Individu yang mengalami gangguan somatisasi tidak hanya mengeluh adanya
gangguan fisik akan tetapi individu tersebut ingin mendapatkan bantuan dan penanganan
secara medis.1
Selain itu, somatisasi merupakan bentuk gejala-gejala fisik akan tetapi secara organis tidak
ada bukti patologis, baik dengan evaluasi laboratorium maupun medis. Dalam kajian
psikodinamik, somatisasi merupakan salah satu gangguan yang sering digunakan individu
untuk menghindari diri dari permasalahan karena enggan menerima tanggungjawab, teguran
ataupun hukuman. Hal ini dilakukan karena efek somatisasi hanya berpengaruh pada diri
sendiri dan tidak berpengaruh pada orang lain.1
Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun, dimulai
sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, seperti
gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.1
Etiologi
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui tetapi diduga terdapat faktor-faktor yang
berperan terhadap timbulnya ganguan somatisasi yakni:1,2
1. Faktor Psikososial.
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikis dibawah sadar yang mempunyai tujuan
tertentu. Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan melibatkan interpretasi gejala
sebagai suatu tipe komunikasi sosial, hasilnya adalah menghindari kewajiban (sebagai
contoh : tidak mengerjakan pekerjaan yang tidak disukai) mengekspresikan emosi (sebagai
contoh : kemarahan pada pasangan) atau untuk mensimbolisasikan suatu perasaan atau
keyakinan (sebagai contoh : nyeri pada usus seseorang) beberapa pasien dengan gangguan
somatisasi berasal dari rumah yang tidak stabil dan telah mengalami penyiksaan fisik.
Faktor sosial, kultural dan juga etnik mungkin juga terlibat dalam perkembangan gangguan
somatisasi.1
3

2. Faktor Biologis.
Persepsi dan penilaian yang salah terhadap masukan (input) somatosensorik. Sitokin
(messenger moleculer) digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk berkomunikasi dalam
dirinya sendiri dan berkomunikasi dengan system saraf termasuk otak. Adanya regulasi
abnormal dari sitokin dapat menyebabkan suatu gejala nonspesifik dari penyakit.1
Terdapat tiga teori yang menggambarkan alasan kelainan ini.1
a. Teori pertahanan melawan psikologikal stres
Pikiran kita dapat mengatasi berbagai stress dan desakan. Oleh karena itu otak
mencapai titik dimana stress terlal berlebihan, akan divisualisasikan otak sebagai nyeri dan
stres dialami seluruh tubuh tetapi biasanya pada digestif, sistem saraf dan sistem
reproduksi. Penelitian selama beberapa tahun ini, menemukan hubungan antara otak,
sistem imun dan sistem digesti dimana mungkin sebagai alas an mengapa akibat
somatisasi pada sistem tersebut seseorang dengan irritable bowl syndrome lebih
menyerupai gangguan somatisasi. Teori ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa
depresi juga berhubungan dengan somatisasi.1
b. Kelainan yang mengarah peningkatan sensitifitas sensasi fisik internal.
Beberpa orang memiliki kemampuan untuk mengesampingkan beberapa rasa
ketidaknyamanan atau nyeri pada tubuhnya. Dengan hipersensitifitas ini pasien akan
mungkin merasakan sedikit nyeri dimana secara normal otak tidak akan merekamnya pada
rata-rata orang misalnya perubahan minor denyut jantung. Gangguan somatisasi akan
menjadi seperti gangguan panik berdasarkan teori ini. Meskipun begitu, tidak banyak yang
tahu mengenai hipersensitivitas ini dan hal tersebut relevan dengan gangguan somatisasi.
Psikologikal dari hipersensitifitas belum dilakukan penelitian lebih lanjut.1
c. Salah satu isi pikir negatif dan tekanan berlebih dari ketakutan.
Pemikiran katastropik mengenai suatu penyakit seperti kram pada lengan adalah suatu
tumor atau nafas yang pendek pasti asma dapat mengarah pada gangguan somatisasi yang
akan memperburuk gejala. Hal ini akan menyebabkan perasaan yang lebih sakit dari pada
memikirkan hal sederhana seperti suatu sakit kepala. Biasanya pasien merasa memiliki
penyakit yang jarang terjadi. Hal ini menjadikan pemikiran bahwa dokter tidak dapat
memberikan penjelasan medis untuk alas an nyeri yang dialami.pemikiran bahwa gejala
ini adalah katastropik juga biasanya menurunkan aktivitas pasien secara normal. Mereka
4

takut melakukan suatu aktifitas karena menurutnya akan memperburuk gejala. Karena
tidak melakukan aktifitas apapun, pasien akan terus memikirkan penyakit yang
menurutnya jarang dan sebagai konsekuensi akhir dalam ketidakmampuan dan stres yang
lebih besar.1

Epidemiologi
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umu diperkirakan 0,1-0,2%, walaupun
beberapa kelompok penilitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5%.
Prevalensi gangguan somatisasi pada wanita di populasi umum adalah 1-2%. Rasio penderita
wanita dibanding laki-laki adalah 5:1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda
(< 30 tahun).1
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan somatisasi seringkali bersama-sama
dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan kepribadian yang
seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri penghindaran, paranoid, mengalahkan diri
sendiri dan obsesif kompulsif.1

Gejala Klinis
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat medik
yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan adalah mual, muntah
(bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek (bukan
karena olahraga), amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi. Sering kali pasien
beranggapan dirinya menderita sakit sepanjang hidupnya. Gejala pseudoneurologik sering
dianggap gangguan neurologik.2
Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas dan depresi
merupakan gejala psikiatri yang sering muncul. Ancaman akan bunuh diri sering dilakukan,
namun bunuh diri aktual sangat jarang. Biasanya pasien mengungkapkan keluhan secara
dinamik, dengan muatan emosi dan berlebihan. Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri,
terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian, dan munipulatif.2
Gangguan somatisasi sering sekali disertai oleh gangguan mental lainnya, termasuk
depresif berat, gangguan kepribadian, gangguan berhubungan zat, gangguan kecemasan
umum, dan fobia. Kombinasi gangguan-gangguan tersebut dan gejala kronis menyebabkan
peningkatan insiden masalah perkawinan, pekerjaan, dan sosial.2
5

Klasifikasi
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Somatisasi:2
A.

Banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama sutau periode
beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fngsi sosial, pekerjaa
atau area fungsi penting lain yang signifikan.2
B. Masing-masing kriteria berikut ini harus dipenuhi dengan setiap gejala terjadi pada
waktu kapanpun dan selama perjalanan gangguan:2
(1) Empat gejala nyeri: riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya empat tempat dan
fungsi yang berbeda (contoh: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstreitas, dada,
rektum, selama mentruasi, selama hubungan seksual, atau selama berkemih.
(2) Dua gejala gastrointestinal: riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain
nyeri (contoh: mual, kembung, seksual muntah, selain selama hamil, diae atau
intoleransi terhadap beberapa makanan berbeda).
(3) Satu gejala seksual: riwayat sedikitnya satu gejala atau reproduksi selain nyeri
(contoh: ketidakpedulain terhadap seks, disfungsi ereksi atau ejakulasi, menstruasi
tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang hamil.
(4) Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sedikitnya satu gejala atau defisit yang
mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti
gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, kesulitan
menelan atau benjolan di tonggorok, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya
sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, gejala disasosiatif
seperti amnesia, atau hilangnya kesadara selain pingsan).
C. Baik (1) atau (2) :2
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala kriteria B tidak dapat dijelaskan secara
utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui atau efek langsung suatu zat
(contoh: penyalahgunaan obat, pengobatan).
6

(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau
pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang diperkirakan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau
malingering)2
Gambaran klinis pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik
dan riwayat medis yang rumit dan panjang. Mual dan muntah, kesulitan menelan, nyeri di
lengan dan tungkai, napas pendek tidak berkaitan dengan olahraga, amnesia, dan komplikasi
selama kehamilan serta menstruasi adalah gejala yang paling lazik ditemui. Diagnosis
gangguan somatisais digunakan untuk individu-individu yang bbanyak mengalami keluhan
somatik, berulang-ulang dan berlangsung lama, yang jelas bukan karena sifat fisik yang
aktual. Individu-individu dengan gangguan ini menolak pandangan bahwa penyebab dari
keluhan-keluhan mereka adalah faktor psikologis dan mereka tetap mencari pengobatan
medis. 5 Gejala pseudoneurologis mengesankan, tetapi tidak patognomonik, untuk adanya
gangguan neurologis. Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal menonjol pada
gangguan ini: ansietas dan depresi adalah keadaan psikiatri yang paling sering. Ancaman
bunuh diri lazim ada tetapi bunuh diri yang sesungguhnya jarang terjadi. Jika bunuh diri
biasanya sering terkait dengan penyalahgunaan zat. Pasien secara klasik, tapi tidak, selalu,
menggambarkan keluhan dengan cara yang dramatik, emosional, dan berlebihan dengan
bahasa yang jelas dan berwarna; mereka dapat bingung dengan urutan waktu dan tidak
dapat membedakan secara jelas gejala saat ini dan yang lalu. Pasien perempuan dengan
gangguan somatisasi dapat berpakaian dengan cara ekshibisionistik. Pasien dianggap
sebagai seseorang yang tidak mandiri, terpusat pada diri sendiri, haus pemujaan dan
manipulatif.2

Hubungan antara Faktor Sosial dengan Gangguan Somatisasi


a. Hubungan antara Pendidikan dengan Gangguan Somatisasi
Sekolah melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan sistem paket, yang berarti
bahwa semua peserta didik wajib mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban
belajar yang sudah ditetapkan dengan struktur kurikulum yang berlaku. Kegiatan tatap
7

muka berupa proses interaksi peserta didik dengan pendidik, dan tugas terstruktur meliputi
kegiatan pendalaman materi pembelajaran yang dirancang oleh pendidik, sedangkan
kegiatan mandiri tidak terstruktur meliputi pendalam materi pembelajaran oleh peserta didik
untuk mencapai standar kompetensi dan waktu penyelesaian diatur oleh peserta didik.
Tuntutan-tuntutan akaademik tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut
dapat memicu terjadinya stress. Stress merupakan bentuk interaksi antara individu sebagai
sesuatu yang membebani atau melampaui kemampuan yang dimiliki, serta mengancam
kesejahteraan karena individu menilai kemampuannya tidak cukup untuk memenuhi
tuntutan situasi lingkungan.3
Stres yang berasal dari stressor kehidupan (stres pribadi, stres keluarga, maupun stres
lingkungan/sosial) akan menjadi faktor pemicu munculnya kecenderungan somatisasi.
Somatisasi merupakan gangguan yang tidak dapat dijelaskan secara medis serta
berhubungan dengan stres, dan bisa dimulai sebelum usia 30 tahun, tetapi sering kali mulai
selama usia belasan tahun. Setiap keluhan fisik yang dimunculkan kemungkinan
mempunyai latar belakangpenyebab seperti konflik intramental, intrapersonal dan masalah
sosial maupun lingkungan. Kondisi psikis yaitu individu yang mengalami somatisasi
cenderung merasakan kecemasan dan ketegangan yang berlebihan, serta memiliki dorongan
atau keinginan yang keras.3
Ada hubungan negatif yang signifikan antara penyesuaian diri terhadap tuntutan
akademik dengan kecenderungan somatisasi. Apabila siswa memiliki penyesuaian diri yang
baik, maka siswa dapat bereaksi secara efektif terhadap situasi yang berbeda, dapat
memecahkan konflik frustasi dan masalah tanpa menggunakan tingkah laku simtomatik
begitu juga sebaliknya. Setiap siswa memiliki tingkat penyesuaian dirinya sendiri, yang
ditentukan oleh kapasitas-kapasiatas bawaan kecenderungan yang diperoleh dan
pengalaman. Kegagalan siswa dalam menyesuaikan diri sering kali ditentukan oleh
hubungan antara kapasitas siswa itu sendiri dalam menyesuaikan diri dan kualitas dari
tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepadanya.3

b. Hubungan antara Ekonomi dengan Gangguan Somatisasi

Masalah ekonomi merupakan masalah yang sangat banyak dihadapi Negara- negara yang
berkembang, salah satunya adalah Negara Indonesia. Manusia selalu dituntut untuk kreatif
memecahkan atau meminimalisasi segala kekurangan yang sering dilakukan. Dalam hal ini
kemiskinan kemungkinan basar dapat merusak ibadah, akhlak dan tingkah laku atau
perbuatan, kehidupan rumah tangga serta kestabilan dan ketentraman masyarakat.
Kemiskinan ini dapat terjadi disebabkan karena beberapa faktor yakni faktor intern yaitu
yang berasal dari diri sendiri, seperti etos kerja yang lemah, kurangnya kedisiplinan
terhadap waktu dan pola kerja yang kurang professional, serta pemahaman yang keliru
terhadap kehidupan duniawi yang dianggap hanya semetara saja, dan sebagainya. Faktorfaktor tersebut melemahkan produktivitas seseorang yang juga membuat rendahnya satatus
social ekonominya di tengah masyarakat. Jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan
keluarga, maka seseorang akan mengalami stress yang hebat untuk menemukan cara
bagaimana untuk dapat menghasilkan uang yang banyak. stress itu sendiri adalah suatu
bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu perubahan di
lingkungan yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Stress dapat
mendatangkan penyakit karena membuat orang mengambil tindakan yang dapat
mengakibatkan sakit atau mudah menjadi pelaku perbuatan yang dapat membahayakan
dirinya. stress menimbulkan tanggapan pada tubuh dan mempengaruhi kerja pikiran, emosi
dan perilaku. Jadi secara langsung dan tidak langsung stress mempengaruhi kesehatan.4

c. Hubungan antara Pekerjaan dengan Gangguan Somatisasi


1. Definisi Stress Kerja
Definisi dari stress itu sendiri adalah suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara
fisik maupun mental, terhadap suatu perubahan di lingkungan yang dirasakan
mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Seorang ahli menyebut tanggapan
tersebut dengan istilah fight or flight response. Jadi sebenarnya stres adalah sesuatu
yang amat ilmiah.5
Soewondo (1993) dikatakan bahwa secara awam stres sering diartikan sebagai suatu
kondisi tegang yang tidak menyenangkan. Menurut pendapat ahli, stress terjadi akibat
adanya interaksi antara individu dengan lingkungan, yang menghasilkan pola transaksi
9

yang khas dan problematik antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan keluarga,
lingkungan masyarakat, dan lingkungan kerja yang kita temui sehari hari, memiliki
tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi oleh individu. Untuk menghadapi tuntutantuntutan tersebut, individu melakukan penilaian-penilaian. Apabila individu menilai
adanya kesenjangan (discrepancy) antara tuntutan dengan kemampuannya untuk
memenuhi tuntutannya itu, atau dengan kata lain bila ia mempertanyakan apakah ia akan
dapat mengatasi atau beradaptasi terhadap tuntutan tersebut, maka munculah stress. Pada
dasarnya individu akan melakukan penilaian dengan memperhatikan apakah peristiwa
atau kondisi yang dialaminya mengancam kesejahteraannya atau tidak. Bila jawabannya,
individu akan merasakan adanya tuntutan dan berusaha untuk menghadapi atau
mengatasi tuntutan tersebut.5
Stress kerja merupakan kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul
karena karyawan merasa terancam dalam bekerja. Perasaan terancam ini disebabkan
hasil persepsi dan penilaian karyawan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara
karakteristik tuntutan pekerjaan dengan kemampuan dan sistem kepribadian orang
tersebut.5
Cirillo (1983), mengemukakan bahwa pekerjaan yang paling membuat stress adalah
yang mempunyai tuntutan kerja yang tinggi.5

2. Pengaruh Stress pada Pikiran, Emosi, dan Perilaku


Stress yang dsebabkan oleh faktor suhu udara yang terlalu panas atau dingin, suara
bising atau tugas yang menentukan nasib hidup seperti ujian, dapat mengganggu kerja
pikiran dan menyulitkan konsentrasinya. Ruangan kerja yang buruk, misalnya, kotor dan
panas, menghambat kerja pikiran dan produktifitas kerja.5
Pengalaman stress cenderung disertai emosi, dan orang yang mengalami stress
menggunakan emosi tersebut dalam menilai stress. Jadi emosi cenderung menyertai
stress. Emosi yang biasa menyertai stress adalah takut, sedih atau depresi, dan amarah.
Takut adalah emosi yang biasa muncul pada waktu kita merasa, entah nyata atau
situasi yang bahaya. Dalam rasa takut tersangkut rasa tidak enak batin seklaigus sikap
10

siap-siap terhadap bahaya yang kita anggap akan menimpa kita. Rasa takut mampu
menjadi fobia (phobia), atau sekedar menjadi kecemasan (anxiety).5
Stress juga mendatangkan rasa sedih (depression). Namun rasa sedih menjadi
kekacauan atau penyakit (disorder) psikologis bila berat, kerap berlangsung terus
menerus. Rasa amarah timbul terutama bila orang berhadapan dengan keadaan dan orang
yang menurunkan nama baik atau merugikan dan mengecewakan. Karena tanggapan
tubuh yang menyeluruh, stress juga mempengaruhi perilaku orang yang mengalaminya.
Perilaku dapat konstruktif, membangun dan baik, dapat juga asosial dan destruktif.5
Stress dapat mendatangkan penyakit, baik secara langsung (direct) maupun tidak
langsung (indirect). Stress dapat mengakibatkan penyakit secara langsung, karena stress
mendatangkan banyak perubahan pada sistem tubuh manusia. Contohnya, stress dan
detak jantung yang irreguler yang mengakibatkan kematian atau serangan jantung. Tetapi
secara tidak langsung stress juga dapat menyebabkan penyakit. Contohnya, orang terkena
stress berat dan kronis. Untuk menghilangkan stress, manusia menjadi korban rokok,
kopi, dan minuman keras. Orang yang telah kecanduan akan ketiga hal tersebut, bisa
terganggu dalam menjalankan tugas dan mudah terkena kecelakaan. Misalnya dalam
menjalankan mesin di tempat kerja dan mengendarai mobil di jalan.5
Jadi secara tidak langsung stress dapat mendatangkan penyakit karena membuat
orang mengambil tindakan yang dapat mengakibatkan sakit atau mudah menjadi pelaku
perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.5
Penyakit lain yang dapat diakaibatkan oleh stress adalah penyakit psikosomatis
(psychosomatic illnesses) atau gangguan psikoviologis (psychophysiological disorder)
Penyakit ini adalah penyakit atau gejala penyakit yang disebabkan oleh unsur atau faktor
psikologis, terutama stress emosional. Penyakit ini antara lain adalah radang perut,
asma/sesak napas, kepala pusing yang kronis, eksim, penyakit kulit, tekanan darah tinggi,
penyakit jantung dan kanker. Jadi, stress menimbulkan tanggapan pada tubuh dan
mempengaruhi kerja pikiran, emosi dan perilaku. Oleh karena itu secara langsung dan
tidak langsung stress mempengaruhi kesehatan.5

3. Penyebab Timbulnya Stress Kerja


11

Dua sumber utama dari stress pekerjaan adalah lingkungan dan personal. Pertama,
sebuah varietas eksternal, faktor-faktor lingkungan dapat menyebabkan stress pekerjaan.
Semua ini mencakup jadwal kerja, irama kerja, jaminan pekerjaan, rute berangkat dan
pulang kerja, jumlah dan sifat pelanggan/pelayan. Bahkan kebisingan, termasuk orang
yang berbicara dan telepon yang berdering , membantu membuat stress bagi 54%
pegawai kantor. Dalam sebuah survey terbaru yang melaporkan bahwa mereka sering
muak dengan kebisingan tersebut. Stress pekerjaan mempunyai konsekuensi yang serius
baik bagi karyawan maupun organisasi.5

d. Hubugan antara Usia dengan Gangguan Somatisasi


Perempuan dengan gangguan somatisasi berumur lebih dari 20 tahun jumlahnya melebihi
laki-laki 5 hingga 20 kali tetapi perkiraan tertinggi mungkin karena kecenderungan awal
yang tidak mendiagnosis gangguan somatisasi pada laki-laki. Di antara pasien yang datang
ke tempat praktik dokter umum dan dokter keluarga, sebanyak 5 sampai 10 persen pasien
mungkin memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan somatisasi.6
Gangguan ini berbanding terbalik dengan posisi sosial dan terjadi paling sering pada
pasien yang memiliki sedikit edukasi dan tingkat pendapatan yang rendah. Gangguan
somatisasi lebih sering terjadi atau ditemukan di budaya non-Barat, terutama sering terjadi
pada orang-orang Asia dan Afrika. Biasanya gangguan dimulai pada usia dewasa muda
(sebelum usia 30 tahun).6
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa gangguan somatisasi sering kali bersamasama dengan gangguan mental lainnya. Diperkirakan, dua pertiga dari semua pasien dengan
gangguan somatisasi memiliki gejala psikiatri yang dapat diidentifikasi, dan sebanyak
separuh pasien dengan gangguan somatisasi memiliki gangguan mental lainnya. Sifat
kepribadian atau gangguan kepribadian yang sering kali menyertai adalah yang ditandai
oleh ciri penghindaran, paranoid, dan obsesif-kompulsif..6

e. Hubungan antara Adat Budaya dengan Gangguan Somatisasi

12

Adat budaya memiliki pengaruh besar untuk seseorang atau individu terhadap cara
berpikir, emosi, tingkat kecemasan dan harga diri. Dimana aktivitas mental adalah hasil dari
kegiatan somatik dan kesehatan mental tergantung pada kesehatan fisik. Baik kesehatan
fisik dan mental dikaitkan dengan keadaan emosi dalam diri seseorang. Setiap agama
mengajarkan mengabaikan nilai-nilai agama dan penyimpangan dari ajaran agama juga
dapat mengakibatkan gangguan psikologis. Identitas budaya adalah seperangkat
multidimensi identitas yang berkontribusi terhadap diri klien sendiri. Semakin besar jumlah
detail yang didapatkan dari seseorang, maka seorang dokter bisa mendapatkan latar
belakang klien, semakin baik pemahaman tentang perspektif klien pada kesehatan, penyakit,
dan preferensi untuk pengobatan. Aspek identitas yang perlu diperhatikan adalah latar
belakang etnis, ras, negara asal, bahasa, jenis kelamin, usia, status perkawinan, keyakinan
agama / spiritual, pendidikan, dan sejarah migrasi. Disini dokter harus mendorong klien
untuk menggambarkan identitas lengkap mereka dan keluhan yang mereka rasakan karena
dapat sangat dalam perawatan klinis.7

f. Hubungan antara Pola Asuh dengan Gangguan Somatisasi


Pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua meliputi pemenuhan
kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti
rasa aman, kasih sayang, perlindungan, dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang
berlaku dimasyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata
lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam pendidikan
karakter anak.7
Pola asuh disini juga dapat berhubungan dengan gangguan somatisasi. Dikarenakan pola
asuh yang salah. Disini orang tua selalu memanjakan anaknya, dengan memberikan semua
yang dia inginkan dan juga setiap kesalahan yang dia lakukan tidak mendapat teguran dan
nasehat. Bisa juga dikarenakan pola asuh dari orang tua yang mengutamakan kekerasan.
Disini anak akan mengalami trauma dikarenakan kekerasan yang dilakukan oramg tua
terhadap anaknya.7
Pola asuh sama halnya dengan adat istiadat dan agama, memiliki pengaruh besar untuk
seseorang atau individu terhadap cara berpikir, emosi, tingkat kecemasan dan harga diri.7
13

Penatalaksanaan
Penanganan sebaiknya dengan satu orang dokter, sebab apabila dengan beberapa dokter
pasien akan mendapat kesempatan lebih banyak mengungkapkan keluhan somatiknya.
Interval pertemuan sebulan sekali. Meskipun pemeriksaan fisik tetap harus dilakukan untuk
setiap keluhan somatik yang baru, dokter atau terapis harus mendengarkan keluhan somatik
sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medik. 1 Meskipun demikian, pasien
dengan gangguan somatisasi juga dapat memiliki penyakit fisik yang sesungguhnya, oleh
sebab itu, dokter harus selalu menilai gejala mana yang harus diperiksa dan sampai seberapa
jauh. Strategi jangka panjang yang yang beralasan untuk dokter di tempat pelayanan primer
yang merawat pasien dengan gangguan somatisasi adalah meningkatnya kesadaran pasien
akan kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala sampai pasien mampu
menemui klinisi kesehatan jiwa. Pada kasus yang rumit dengan banyak tampilan medism
psikiater lebih mampu menilai apakah harus mencari konsultasi medis atau eperasi
berdasarkan kemampuan medisnya; meskipun demikian profesional kesehatan jiwa nonmedis
juga dapat menggali hal psikologis sebelumnya dengan dokter.1,2
Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan pengeluaran dana
perawatan kesehatannya terutama untuk rawat inap di rumah sakit. Psikoterapi membantu
pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengeskpresikan emosi yang mendasari dan
mengembangkan sretegi alternatif untuk mengungkapkan perasaannya.1,2
Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain (komorbid).
Pengawasan ketat terhadap pemberian obat harus dilakukan karena pasien dengan gangguan
somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan berganti-ganti dan tidak rasional.1,2
Berikut adalah penanganan pada gangguan somatisasi.1,2
1. Farmakoterapi
Tidak ada percobaan klinis terapi obat yang adekuat untuk somatisasi primer. Obatobat yang yang efektif dalam situasi-situasi sebagai berikut :1,2
a. Gejala-gejala spesifik yang sulit disembuhkan seperti nyeri kepala, mialgia, dan
bentuk-bentuk penyakit kronik lainnya dapat hilang dengan antidepresan trisiklik.
Demikian pula pasien-pasien cemas dengan terapi aprazolam, benzodiazepin, atau
beta-bloker. Walaupun pasien-pasien tersebut tidak memnuhi kriteria gangguan panik
atau kecemasan.
14

b. Obat-obat simtomatik murni (misal: analgetik, antasida) Konsultasi psikiatrik


2. Konsultasi psikiatrik
Kita harus merujuk pasien pada suatu pelayanan hubungan konsultasi atau kepada
seorang dokter ahli jiwa. Konsultasi mengakibatkan intervensi psikiatrik jangka
pendek selain strategi-strategi penatalaksanaan yang dianjurkan oleh dokter di
perawatan primer. Pasien dengan somatisasi kronik berat mungkin mendapatkan
perbaikan dengan program-program terapi rawat inap.
3. Strategi penatalaksanaan
Terapi perilaku kognitif (CBT, cognitive behavior therapy) akan bermanfaat jika
diadaptasi untuk keluhan somatisasi utama. Pasien mungkin perlu dibantu untuk
mengenali dan mengatasi stresor sosial yang dialami.4 Terapi kognitif-behavioral,
untuk mengurangi pemikiran atau sifat pesimis pada pasien. Teknik behavioral,
terapis bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform,
membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan cara
yang lebih adaptif. Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi
mengenai

penampilan

fisiknya

dengan

cara

menyemangati

mereka

untuk

mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas. Terapi ini dapat berfokus
pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder (keuntungan sekunder),
memperbaiki perkembangan keterampilan untuk menangani stress, dan memperbaiki
keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau penampilan
seseorang. Terapi ini berusaha untuk membantu individu melakukan perubahanperubahan, tidak hanya pada perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan
dan sikap yang mendasarinya.
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik :
1

Diberikan hanya bila indikasinya jelas

Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi

Anti anxietas dan antidepresan

Obat harus diawasi karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung


menggunakan obatnya dengan tidak teratur dan tidak dipercaya. Pada pasien tanpa
gangguan jiwa lain, sedikit data yang tersedia menunjukan bahwa terapi farmakologis
efektif bagi mereka.1,2
15

BAB 3. METODE PENELITIAN


Metode penelitian yang digunakan pada karya ilmiah ini berpola pada cara pengumpulan
data dengan penelitian sekunder. Penelitian sekunder adalah pendekatan penelitian yang
menggunakan data yang sudah ada untuk dianalisis dan diinterpretasi sesuai tujuan peneliti.
Data yang sudah ada berupa hasil kajian sejarah atau data kepustakaan yang sudah ada.
Penelitian dilakukan menggunakan metode analitik korelasional dengan pendekatan
cross-sectional. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner, kemudian data dianalisa
menggunakan uji statistik Chi Square. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah semua
penderita depresi yang bersedia menjadi responden, mampu berkomunikasi dengan baik, dan
sedang di rawat inap.
Penelitian ditempat lain dilakukan menggunakan penelitian observasi analitik dengan
rancangan Cross Sectional Study. Dimana pengambilan data menggunakan kuesioner dan
data sekunder pasien gangguan somatisasi dalam beberapa tahun di berbagai negara..

BAB 4. HASIL PENELITIAN


Deskripsi Data

Gambar 1. Hubungan Gangguan Somatisasi dengan Faktor Sosial.7

16

Gambar 2. Hubungan Gangguan Somatisasi dengan Faktor Sosial.7

a. Hubungan antara Adat Budaya dengan Gangguan Somatisasi


Tingkat prevalensi waktu selama 12 bulan ini berkorelasi pada gangguan somatisasi adalah
5.8 % dan 2,2 %, secara berturut-turut. Tingkat prevalensi waktu dan 12 bulan masingmasing gangguan somatisasi yang berbeda di seluruh etnis secara signifikan. Prevalensi
gangguan somatisasi seumur hidup adalah signifikan lebih tinggi di antara orang indian ( 8,1
% ) dari di kalangan orang cina ( 5.5 % ) dan melayu ( 4,5 % ) ( x2 = 38,3, p valueb0.0001 ).
Di antara 12 bulan mdd rate indian adalah 4.0 % versus 2.0 % di kalangan orang cina dan
melayu ( x2 = 20,4, p nilai = 0,0001 ). Prevalensi perkiraan dari seumur hidup dan 12 bulan
juga jauh berbeda berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin. Prevalensi selama 12 bulan
ini, gangguan somatisasi yang antara 18 dan 34 tahun dan terendah di peringkat tertinggi
orang-orang berusia 65 dan di atas. Secara signifikan lebih tinggi daripada perempuan
menunjukkan daripada laki-laki untuk gangguan somatisasi seumur hidup. Orang-orang yang
telah bercerai atau dipisahkan, atau janda telah secara signifikan lebih tinggi daripada
gangguan somatisasi dari seumur hidup. Tingkat gangguan somatisasi secara signifikan lebih
rendah di kedua jenis kelamin yang menikah dibandingkan kepada orang-orang yang
dianggap.
17

b. Hubugan antara Usia dengan Gangguan Somatisasi


Usia rata-rata atau usia tengah yang terdapat gangguan somatisasi adalah usia 26 tahun
dengan sebuah jangkauan, mulai dari 18 sampai 35 tahun. Kurva dari Kaplan Meier untuk
usia dari gangguan somatisasi yang diahasilkan secara terpisah untuk perbedaan kelahiran
seperti yang didefinisikan oleh kelompok umur (18-34, 35-49, 50-64 dan diatas 65 tahun).
Kurva ini menunjukkaan bahwa resiko tertinggi ditemukan diantara yang terakhir dari kohort
(usia 18-34 tahun) dan hasil dari cohort yang berusia kelompok 65 tahun ke atas memiliki
resiko yang paling rendah terkena gangguan somatisasi.

BAB 5. PENUTUP
Kesimpulan
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang dicirikan
dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan
pemeriksaan fisik maupun laboraturium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat melimpah
berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan
nyeri.
Ciri utama gangguan somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacammacam (multiple), berulang dan sering berubah-ubah, biasanya sudah berlangsung sedikitnya
2 tahun, dan menyebabkan disabilitas individu tersebut di masyarahat dan keluarga.
Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang bersifat kronik dan progresif umumnya
sedang sampai buruk.
Daftar Pustaka
1. G.R Hans, W.K Jeroen, J.K Rolf, 2014. Somatization in refugees: a review. Netherlands:
Foundation Centrum; Jilid 1.
2. H.I Kaplan, B.J Saddock, J.A Grebb, 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jakarta: Binanupa Aksara; Jilid 2.
3. I.M Nicky, 2013. Pengaruh penyesuaian diri akademik terhadap kecenderungan somatisasi
di sma. Surakarta: Universitas surakarta; Jilid 1.
4. Lecturer of Dawah and Communication Sciences at IAIN. Gangguan gangguan dalam
psikologi sosial dan keagamaan. Padang.
18

5. S.B Agustinus. 2007. Hubungan Stress Kerja Dilihat Dari Sumber Stress dengan
Somatisasi. Yogyakarta: Sanata Dharma.
6. A.C Siow, V Janhavi, A Edimansyah, S Mythily. 2011. Research report The prevalence
and impact of major depressive disorder among Chinese, Malays and Indians in an Asian
multi-racial population. Singapore: Institute of Mental Health.

19

Anda mungkin juga menyukai