Somatisasi di Asia
Yogie Rinaldi, Eirene Megahwati Paembonan, Vionna Nadya V Mongan, Kevin
Anggana Chandra, Vindi Nazhifa
Mahasiswa Kepaniteraan Dasar
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
BAB 1. PENDAHULUAN
Gangguan somatisasi termasuk dalam gangguan somatoform. Gangguan somatoform
adalah kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda serta gejala yang berkaitan dengan
tubuh sebagai komponen utama. Gangguan somatisasi telah dikenal sejak zaman Mesir kuno.
Nama awal gangguan somatisasi adalah histeria. Pada tahun 1859, Paul Briquet mengamati
keragaman gejala dan sistem organ yang terkena serta menguraikan perjalanan gangguan
yang biasanya kronis. Karena pengamatan klinis yang tajam, Gangguan ini disebut briquet
syndorme. Perempuan dengan gangguan somatisasi jumlahnya melebihi laki-laki 5 hingga 20
kali. Gangguan somatisasi bisa disebabkan oleh faktor psikososial, faktor biologis dan
genetik. Diagnosis untuk menegakkan seseorang mengalami gangguan somatisasi adalah
sesuai dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) yaitu
harus memiliki keluhan sedikitnya, empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala
seksual, dan satu gejala pesudoneurologis, yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan
pemeriksaan fisik dan laboratorium.1
2. Faktor Biologis.
Persepsi dan penilaian yang salah terhadap masukan (input) somatosensorik. Sitokin
(messenger moleculer) digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk berkomunikasi dalam
dirinya sendiri dan berkomunikasi dengan system saraf termasuk otak. Adanya regulasi
abnormal dari sitokin dapat menyebabkan suatu gejala nonspesifik dari penyakit.1
Terdapat tiga teori yang menggambarkan alasan kelainan ini.1
a. Teori pertahanan melawan psikologikal stres
Pikiran kita dapat mengatasi berbagai stress dan desakan. Oleh karena itu otak
mencapai titik dimana stress terlal berlebihan, akan divisualisasikan otak sebagai nyeri dan
stres dialami seluruh tubuh tetapi biasanya pada digestif, sistem saraf dan sistem
reproduksi. Penelitian selama beberapa tahun ini, menemukan hubungan antara otak,
sistem imun dan sistem digesti dimana mungkin sebagai alas an mengapa akibat
somatisasi pada sistem tersebut seseorang dengan irritable bowl syndrome lebih
menyerupai gangguan somatisasi. Teori ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa
depresi juga berhubungan dengan somatisasi.1
b. Kelainan yang mengarah peningkatan sensitifitas sensasi fisik internal.
Beberpa orang memiliki kemampuan untuk mengesampingkan beberapa rasa
ketidaknyamanan atau nyeri pada tubuhnya. Dengan hipersensitifitas ini pasien akan
mungkin merasakan sedikit nyeri dimana secara normal otak tidak akan merekamnya pada
rata-rata orang misalnya perubahan minor denyut jantung. Gangguan somatisasi akan
menjadi seperti gangguan panik berdasarkan teori ini. Meskipun begitu, tidak banyak yang
tahu mengenai hipersensitivitas ini dan hal tersebut relevan dengan gangguan somatisasi.
Psikologikal dari hipersensitifitas belum dilakukan penelitian lebih lanjut.1
c. Salah satu isi pikir negatif dan tekanan berlebih dari ketakutan.
Pemikiran katastropik mengenai suatu penyakit seperti kram pada lengan adalah suatu
tumor atau nafas yang pendek pasti asma dapat mengarah pada gangguan somatisasi yang
akan memperburuk gejala. Hal ini akan menyebabkan perasaan yang lebih sakit dari pada
memikirkan hal sederhana seperti suatu sakit kepala. Biasanya pasien merasa memiliki
penyakit yang jarang terjadi. Hal ini menjadikan pemikiran bahwa dokter tidak dapat
memberikan penjelasan medis untuk alas an nyeri yang dialami.pemikiran bahwa gejala
ini adalah katastropik juga biasanya menurunkan aktivitas pasien secara normal. Mereka
4
takut melakukan suatu aktifitas karena menurutnya akan memperburuk gejala. Karena
tidak melakukan aktifitas apapun, pasien akan terus memikirkan penyakit yang
menurutnya jarang dan sebagai konsekuensi akhir dalam ketidakmampuan dan stres yang
lebih besar.1
Epidemiologi
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umu diperkirakan 0,1-0,2%, walaupun
beberapa kelompok penilitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5%.
Prevalensi gangguan somatisasi pada wanita di populasi umum adalah 1-2%. Rasio penderita
wanita dibanding laki-laki adalah 5:1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda
(< 30 tahun).1
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan somatisasi seringkali bersama-sama
dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan kepribadian yang
seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri penghindaran, paranoid, mengalahkan diri
sendiri dan obsesif kompulsif.1
Gejala Klinis
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat medik
yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan adalah mual, muntah
(bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek (bukan
karena olahraga), amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi. Sering kali pasien
beranggapan dirinya menderita sakit sepanjang hidupnya. Gejala pseudoneurologik sering
dianggap gangguan neurologik.2
Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas dan depresi
merupakan gejala psikiatri yang sering muncul. Ancaman akan bunuh diri sering dilakukan,
namun bunuh diri aktual sangat jarang. Biasanya pasien mengungkapkan keluhan secara
dinamik, dengan muatan emosi dan berlebihan. Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri,
terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian, dan munipulatif.2
Gangguan somatisasi sering sekali disertai oleh gangguan mental lainnya, termasuk
depresif berat, gangguan kepribadian, gangguan berhubungan zat, gangguan kecemasan
umum, dan fobia. Kombinasi gangguan-gangguan tersebut dan gejala kronis menyebabkan
peningkatan insiden masalah perkawinan, pekerjaan, dan sosial.2
5
Klasifikasi
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Somatisasi:2
A.
Banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama sutau periode
beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fngsi sosial, pekerjaa
atau area fungsi penting lain yang signifikan.2
B. Masing-masing kriteria berikut ini harus dipenuhi dengan setiap gejala terjadi pada
waktu kapanpun dan selama perjalanan gangguan:2
(1) Empat gejala nyeri: riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya empat tempat dan
fungsi yang berbeda (contoh: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstreitas, dada,
rektum, selama mentruasi, selama hubungan seksual, atau selama berkemih.
(2) Dua gejala gastrointestinal: riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain
nyeri (contoh: mual, kembung, seksual muntah, selain selama hamil, diae atau
intoleransi terhadap beberapa makanan berbeda).
(3) Satu gejala seksual: riwayat sedikitnya satu gejala atau reproduksi selain nyeri
(contoh: ketidakpedulain terhadap seks, disfungsi ereksi atau ejakulasi, menstruasi
tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang hamil.
(4) Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sedikitnya satu gejala atau defisit yang
mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti
gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, kesulitan
menelan atau benjolan di tonggorok, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya
sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, gejala disasosiatif
seperti amnesia, atau hilangnya kesadara selain pingsan).
C. Baik (1) atau (2) :2
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala kriteria B tidak dapat dijelaskan secara
utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui atau efek langsung suatu zat
(contoh: penyalahgunaan obat, pengobatan).
6
(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau
pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang diperkirakan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau
malingering)2
Gambaran klinis pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik
dan riwayat medis yang rumit dan panjang. Mual dan muntah, kesulitan menelan, nyeri di
lengan dan tungkai, napas pendek tidak berkaitan dengan olahraga, amnesia, dan komplikasi
selama kehamilan serta menstruasi adalah gejala yang paling lazik ditemui. Diagnosis
gangguan somatisais digunakan untuk individu-individu yang bbanyak mengalami keluhan
somatik, berulang-ulang dan berlangsung lama, yang jelas bukan karena sifat fisik yang
aktual. Individu-individu dengan gangguan ini menolak pandangan bahwa penyebab dari
keluhan-keluhan mereka adalah faktor psikologis dan mereka tetap mencari pengobatan
medis. 5 Gejala pseudoneurologis mengesankan, tetapi tidak patognomonik, untuk adanya
gangguan neurologis. Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal menonjol pada
gangguan ini: ansietas dan depresi adalah keadaan psikiatri yang paling sering. Ancaman
bunuh diri lazim ada tetapi bunuh diri yang sesungguhnya jarang terjadi. Jika bunuh diri
biasanya sering terkait dengan penyalahgunaan zat. Pasien secara klasik, tapi tidak, selalu,
menggambarkan keluhan dengan cara yang dramatik, emosional, dan berlebihan dengan
bahasa yang jelas dan berwarna; mereka dapat bingung dengan urutan waktu dan tidak
dapat membedakan secara jelas gejala saat ini dan yang lalu. Pasien perempuan dengan
gangguan somatisasi dapat berpakaian dengan cara ekshibisionistik. Pasien dianggap
sebagai seseorang yang tidak mandiri, terpusat pada diri sendiri, haus pemujaan dan
manipulatif.2
muka berupa proses interaksi peserta didik dengan pendidik, dan tugas terstruktur meliputi
kegiatan pendalaman materi pembelajaran yang dirancang oleh pendidik, sedangkan
kegiatan mandiri tidak terstruktur meliputi pendalam materi pembelajaran oleh peserta didik
untuk mencapai standar kompetensi dan waktu penyelesaian diatur oleh peserta didik.
Tuntutan-tuntutan akaademik tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut
dapat memicu terjadinya stress. Stress merupakan bentuk interaksi antara individu sebagai
sesuatu yang membebani atau melampaui kemampuan yang dimiliki, serta mengancam
kesejahteraan karena individu menilai kemampuannya tidak cukup untuk memenuhi
tuntutan situasi lingkungan.3
Stres yang berasal dari stressor kehidupan (stres pribadi, stres keluarga, maupun stres
lingkungan/sosial) akan menjadi faktor pemicu munculnya kecenderungan somatisasi.
Somatisasi merupakan gangguan yang tidak dapat dijelaskan secara medis serta
berhubungan dengan stres, dan bisa dimulai sebelum usia 30 tahun, tetapi sering kali mulai
selama usia belasan tahun. Setiap keluhan fisik yang dimunculkan kemungkinan
mempunyai latar belakangpenyebab seperti konflik intramental, intrapersonal dan masalah
sosial maupun lingkungan. Kondisi psikis yaitu individu yang mengalami somatisasi
cenderung merasakan kecemasan dan ketegangan yang berlebihan, serta memiliki dorongan
atau keinginan yang keras.3
Ada hubungan negatif yang signifikan antara penyesuaian diri terhadap tuntutan
akademik dengan kecenderungan somatisasi. Apabila siswa memiliki penyesuaian diri yang
baik, maka siswa dapat bereaksi secara efektif terhadap situasi yang berbeda, dapat
memecahkan konflik frustasi dan masalah tanpa menggunakan tingkah laku simtomatik
begitu juga sebaliknya. Setiap siswa memiliki tingkat penyesuaian dirinya sendiri, yang
ditentukan oleh kapasitas-kapasiatas bawaan kecenderungan yang diperoleh dan
pengalaman. Kegagalan siswa dalam menyesuaikan diri sering kali ditentukan oleh
hubungan antara kapasitas siswa itu sendiri dalam menyesuaikan diri dan kualitas dari
tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepadanya.3
Masalah ekonomi merupakan masalah yang sangat banyak dihadapi Negara- negara yang
berkembang, salah satunya adalah Negara Indonesia. Manusia selalu dituntut untuk kreatif
memecahkan atau meminimalisasi segala kekurangan yang sering dilakukan. Dalam hal ini
kemiskinan kemungkinan basar dapat merusak ibadah, akhlak dan tingkah laku atau
perbuatan, kehidupan rumah tangga serta kestabilan dan ketentraman masyarakat.
Kemiskinan ini dapat terjadi disebabkan karena beberapa faktor yakni faktor intern yaitu
yang berasal dari diri sendiri, seperti etos kerja yang lemah, kurangnya kedisiplinan
terhadap waktu dan pola kerja yang kurang professional, serta pemahaman yang keliru
terhadap kehidupan duniawi yang dianggap hanya semetara saja, dan sebagainya. Faktorfaktor tersebut melemahkan produktivitas seseorang yang juga membuat rendahnya satatus
social ekonominya di tengah masyarakat. Jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan
keluarga, maka seseorang akan mengalami stress yang hebat untuk menemukan cara
bagaimana untuk dapat menghasilkan uang yang banyak. stress itu sendiri adalah suatu
bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu perubahan di
lingkungan yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Stress dapat
mendatangkan penyakit karena membuat orang mengambil tindakan yang dapat
mengakibatkan sakit atau mudah menjadi pelaku perbuatan yang dapat membahayakan
dirinya. stress menimbulkan tanggapan pada tubuh dan mempengaruhi kerja pikiran, emosi
dan perilaku. Jadi secara langsung dan tidak langsung stress mempengaruhi kesehatan.4
yang khas dan problematik antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan keluarga,
lingkungan masyarakat, dan lingkungan kerja yang kita temui sehari hari, memiliki
tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi oleh individu. Untuk menghadapi tuntutantuntutan tersebut, individu melakukan penilaian-penilaian. Apabila individu menilai
adanya kesenjangan (discrepancy) antara tuntutan dengan kemampuannya untuk
memenuhi tuntutannya itu, atau dengan kata lain bila ia mempertanyakan apakah ia akan
dapat mengatasi atau beradaptasi terhadap tuntutan tersebut, maka munculah stress. Pada
dasarnya individu akan melakukan penilaian dengan memperhatikan apakah peristiwa
atau kondisi yang dialaminya mengancam kesejahteraannya atau tidak. Bila jawabannya,
individu akan merasakan adanya tuntutan dan berusaha untuk menghadapi atau
mengatasi tuntutan tersebut.5
Stress kerja merupakan kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul
karena karyawan merasa terancam dalam bekerja. Perasaan terancam ini disebabkan
hasil persepsi dan penilaian karyawan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara
karakteristik tuntutan pekerjaan dengan kemampuan dan sistem kepribadian orang
tersebut.5
Cirillo (1983), mengemukakan bahwa pekerjaan yang paling membuat stress adalah
yang mempunyai tuntutan kerja yang tinggi.5
siap-siap terhadap bahaya yang kita anggap akan menimpa kita. Rasa takut mampu
menjadi fobia (phobia), atau sekedar menjadi kecemasan (anxiety).5
Stress juga mendatangkan rasa sedih (depression). Namun rasa sedih menjadi
kekacauan atau penyakit (disorder) psikologis bila berat, kerap berlangsung terus
menerus. Rasa amarah timbul terutama bila orang berhadapan dengan keadaan dan orang
yang menurunkan nama baik atau merugikan dan mengecewakan. Karena tanggapan
tubuh yang menyeluruh, stress juga mempengaruhi perilaku orang yang mengalaminya.
Perilaku dapat konstruktif, membangun dan baik, dapat juga asosial dan destruktif.5
Stress dapat mendatangkan penyakit, baik secara langsung (direct) maupun tidak
langsung (indirect). Stress dapat mengakibatkan penyakit secara langsung, karena stress
mendatangkan banyak perubahan pada sistem tubuh manusia. Contohnya, stress dan
detak jantung yang irreguler yang mengakibatkan kematian atau serangan jantung. Tetapi
secara tidak langsung stress juga dapat menyebabkan penyakit. Contohnya, orang terkena
stress berat dan kronis. Untuk menghilangkan stress, manusia menjadi korban rokok,
kopi, dan minuman keras. Orang yang telah kecanduan akan ketiga hal tersebut, bisa
terganggu dalam menjalankan tugas dan mudah terkena kecelakaan. Misalnya dalam
menjalankan mesin di tempat kerja dan mengendarai mobil di jalan.5
Jadi secara tidak langsung stress dapat mendatangkan penyakit karena membuat
orang mengambil tindakan yang dapat mengakibatkan sakit atau mudah menjadi pelaku
perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.5
Penyakit lain yang dapat diakaibatkan oleh stress adalah penyakit psikosomatis
(psychosomatic illnesses) atau gangguan psikoviologis (psychophysiological disorder)
Penyakit ini adalah penyakit atau gejala penyakit yang disebabkan oleh unsur atau faktor
psikologis, terutama stress emosional. Penyakit ini antara lain adalah radang perut,
asma/sesak napas, kepala pusing yang kronis, eksim, penyakit kulit, tekanan darah tinggi,
penyakit jantung dan kanker. Jadi, stress menimbulkan tanggapan pada tubuh dan
mempengaruhi kerja pikiran, emosi dan perilaku. Oleh karena itu secara langsung dan
tidak langsung stress mempengaruhi kesehatan.5
Dua sumber utama dari stress pekerjaan adalah lingkungan dan personal. Pertama,
sebuah varietas eksternal, faktor-faktor lingkungan dapat menyebabkan stress pekerjaan.
Semua ini mencakup jadwal kerja, irama kerja, jaminan pekerjaan, rute berangkat dan
pulang kerja, jumlah dan sifat pelanggan/pelayan. Bahkan kebisingan, termasuk orang
yang berbicara dan telepon yang berdering , membantu membuat stress bagi 54%
pegawai kantor. Dalam sebuah survey terbaru yang melaporkan bahwa mereka sering
muak dengan kebisingan tersebut. Stress pekerjaan mempunyai konsekuensi yang serius
baik bagi karyawan maupun organisasi.5
12
Adat budaya memiliki pengaruh besar untuk seseorang atau individu terhadap cara
berpikir, emosi, tingkat kecemasan dan harga diri. Dimana aktivitas mental adalah hasil dari
kegiatan somatik dan kesehatan mental tergantung pada kesehatan fisik. Baik kesehatan
fisik dan mental dikaitkan dengan keadaan emosi dalam diri seseorang. Setiap agama
mengajarkan mengabaikan nilai-nilai agama dan penyimpangan dari ajaran agama juga
dapat mengakibatkan gangguan psikologis. Identitas budaya adalah seperangkat
multidimensi identitas yang berkontribusi terhadap diri klien sendiri. Semakin besar jumlah
detail yang didapatkan dari seseorang, maka seorang dokter bisa mendapatkan latar
belakang klien, semakin baik pemahaman tentang perspektif klien pada kesehatan, penyakit,
dan preferensi untuk pengobatan. Aspek identitas yang perlu diperhatikan adalah latar
belakang etnis, ras, negara asal, bahasa, jenis kelamin, usia, status perkawinan, keyakinan
agama / spiritual, pendidikan, dan sejarah migrasi. Disini dokter harus mendorong klien
untuk menggambarkan identitas lengkap mereka dan keluhan yang mereka rasakan karena
dapat sangat dalam perawatan klinis.7
Penatalaksanaan
Penanganan sebaiknya dengan satu orang dokter, sebab apabila dengan beberapa dokter
pasien akan mendapat kesempatan lebih banyak mengungkapkan keluhan somatiknya.
Interval pertemuan sebulan sekali. Meskipun pemeriksaan fisik tetap harus dilakukan untuk
setiap keluhan somatik yang baru, dokter atau terapis harus mendengarkan keluhan somatik
sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medik. 1 Meskipun demikian, pasien
dengan gangguan somatisasi juga dapat memiliki penyakit fisik yang sesungguhnya, oleh
sebab itu, dokter harus selalu menilai gejala mana yang harus diperiksa dan sampai seberapa
jauh. Strategi jangka panjang yang yang beralasan untuk dokter di tempat pelayanan primer
yang merawat pasien dengan gangguan somatisasi adalah meningkatnya kesadaran pasien
akan kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala sampai pasien mampu
menemui klinisi kesehatan jiwa. Pada kasus yang rumit dengan banyak tampilan medism
psikiater lebih mampu menilai apakah harus mencari konsultasi medis atau eperasi
berdasarkan kemampuan medisnya; meskipun demikian profesional kesehatan jiwa nonmedis
juga dapat menggali hal psikologis sebelumnya dengan dokter.1,2
Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan pengeluaran dana
perawatan kesehatannya terutama untuk rawat inap di rumah sakit. Psikoterapi membantu
pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengeskpresikan emosi yang mendasari dan
mengembangkan sretegi alternatif untuk mengungkapkan perasaannya.1,2
Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain (komorbid).
Pengawasan ketat terhadap pemberian obat harus dilakukan karena pasien dengan gangguan
somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan berganti-ganti dan tidak rasional.1,2
Berikut adalah penanganan pada gangguan somatisasi.1,2
1. Farmakoterapi
Tidak ada percobaan klinis terapi obat yang adekuat untuk somatisasi primer. Obatobat yang yang efektif dalam situasi-situasi sebagai berikut :1,2
a. Gejala-gejala spesifik yang sulit disembuhkan seperti nyeri kepala, mialgia, dan
bentuk-bentuk penyakit kronik lainnya dapat hilang dengan antidepresan trisiklik.
Demikian pula pasien-pasien cemas dengan terapi aprazolam, benzodiazepin, atau
beta-bloker. Walaupun pasien-pasien tersebut tidak memnuhi kriteria gangguan panik
atau kecemasan.
14
penampilan
fisiknya
dengan
cara
menyemangati
mereka
untuk
mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas. Terapi ini dapat berfokus
pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder (keuntungan sekunder),
memperbaiki perkembangan keterampilan untuk menangani stress, dan memperbaiki
keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau penampilan
seseorang. Terapi ini berusaha untuk membantu individu melakukan perubahanperubahan, tidak hanya pada perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan
dan sikap yang mendasarinya.
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik :
1
16
BAB 5. PENUTUP
Kesimpulan
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang dicirikan
dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan
pemeriksaan fisik maupun laboraturium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat melimpah
berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan
nyeri.
Ciri utama gangguan somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacammacam (multiple), berulang dan sering berubah-ubah, biasanya sudah berlangsung sedikitnya
2 tahun, dan menyebabkan disabilitas individu tersebut di masyarahat dan keluarga.
Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang bersifat kronik dan progresif umumnya
sedang sampai buruk.
Daftar Pustaka
1. G.R Hans, W.K Jeroen, J.K Rolf, 2014. Somatization in refugees: a review. Netherlands:
Foundation Centrum; Jilid 1.
2. H.I Kaplan, B.J Saddock, J.A Grebb, 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jakarta: Binanupa Aksara; Jilid 2.
3. I.M Nicky, 2013. Pengaruh penyesuaian diri akademik terhadap kecenderungan somatisasi
di sma. Surakarta: Universitas surakarta; Jilid 1.
4. Lecturer of Dawah and Communication Sciences at IAIN. Gangguan gangguan dalam
psikologi sosial dan keagamaan. Padang.
18
5. S.B Agustinus. 2007. Hubungan Stress Kerja Dilihat Dari Sumber Stress dengan
Somatisasi. Yogyakarta: Sanata Dharma.
6. A.C Siow, V Janhavi, A Edimansyah, S Mythily. 2011. Research report The prevalence
and impact of major depressive disorder among Chinese, Malays and Indians in an Asian
multi-racial population. Singapore: Institute of Mental Health.
19