Anda di halaman 1dari 10

Penyakit Hemolitik pada Neonatus akibat Inkompatibilitas ABO

Kelompok E9

Pendahuluan
Seorang bayi perempuan berusia 5 hari dibawa ke puskesmas dengan keluhan utama
kuning sejak 10 jam dilahirkan. Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada orang tua
pasien. Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh, dilihat bagaimana ikterusnya, dan juga
dilakukan pemeriksaan fisik abdomen. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu
dalam penegakkan diagnosis kerja pasien. Setelah anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang dilakukan dengan cermat, maka dapat diketahui kelainan yang diderita
oleh pasien. Jika penyakit yang diderita sudah diketahui, maka dapat diketahui juga etiologi,
patofisiologi, epidemiologi dan penatalaksanaannya. Dengan penatalaksanaan yang tepat, maka
diharapkan prognosis dapat menjadi baik.
Anamnesis
Seorang bayi perempuan berusia 5 hari dibawa ke puskesmas oleh orang tuanya.
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada orang tua pasien. Anamnesis diawali dengan
identitas pasien, yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, anak ke-berapa. Lalu ditanyakan
keluhan utama dan sejak kapan. Setelah itu ditanyakan bagaimana riwayat penyakit sekarang.
Kemudian ditanyakan apakah ada keluhan penyerta, seperti demam, bayi menjadi rewel,
muntaber, lemas, dan bagaimana proses makannya, apakah makanannya, apakah menjadi malas
makan. Selanjutnya ditanyakan bagaimana riwayat penyakit dahulunya, yang mencakup usia
kehamilan, bagaimana proses persalinannya, apakah anak tersebut cukup bulan atau prematur,
pasien adalah anak ke-berapa, apakah selama atau sebelum masa kehamilan ibu sedang
menderita penyakit infeksi tertentu, seperti hepatitis, malaria, apakah selama atau sebelum
kehamilan ibu sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu, apakah golongan darah ibu dan ayah,
apakah rhesus ibu dan ayah, adakah riwayat penyakit kronis, seperti diabetes mellitus, hipertensi,
apakah pasien memiliki riwayat alergi. Dapat pula ditanyakan bagaimana riwayat keluarga
pasien, apakah di keluarga juga ada yang sedang atau pernah menderita penyakit yang sama, jika
1

pasien bukan merupakan anak pertama, apakah kakaknya mengalami penyakit serupa, aakah ada
riwayat penyakit yang diturunkan.
Pada anamnesis didapatkan bahwa ibu mengatakan bayi mulai kuning sejak 10 jam
dilahirkan, bayi dilahirkan secara normal per vaginam, aktif, dan kuat menangis. Sampai saat ini,
bayi hanya menerima ASI eksklusif, dan kuat menyusu.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah pemeriksaan kesadaran, pemeriksaan TTV,
pemeriksaan antropometri, dan pemeriksaan abdomen. Pada pemeriksaan TTV diperiksa suhu
tubuh, denyut nadi, respiratory rate, dan tekanan darahnya. Pada pemeriksaan antropometri
dilakukan pengukuran berat badan, panjang badan, besar lingkar kepala, dan besar lingkar lengan
atas. Pada pemeriksaan abdomen dilakukan inspeksi apakah ada perubahan warna kulit, apakah
ada lesi atau bekas trauma, bagaimana bentuk abdomen, serta dilakukan palpasi untuk
mengetahui apakah ada pembesaran organ (hepar dan spleen). Selain itu, dilakukan pula inspeksi
pada sklera, untuk memastikan ikterus.
Pada hasil pemeriksaan didapatkan suhu 36,8 oC, denyut nadi 130 kali/menit, respiratory
rate 40 kali/menit, sklera dan kulit ikterik (+) hingga daerah abdomen, dan tidak terdapat
hepatosplenomegali.
Pemeriksaan Penunjang
Kasus hemolitik pada janin baru lahir dicirikan dengan 1 atau lebih temuan klinis berikut,
hiperbilirubinemia yang berat dan berlangsung secara progresif atau hiperbilirubinemia yang
berlangsung lama, temuan antibodi maternal antenatal positif dan/atau ditemukan anemia atau
hidrops fetal, uji Coombs direk neonatal positif, serta temuan hemolisis pada darah. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, uji Coombs, dan
amniosentesis.1
Pengukuran status anemia akan lebih akurat menggunakan darah vena sentral atau arteri
dibandingkan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan darah akan memberikan
gambaran sel darah merah yang ternukleasi, retikulositosis, polikromasia, anisositosis, sferosit,
dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat mencapai 40% pada pasien tanpa intervensi
intrauterine. Hitung sel darah merah yang ternukleasi meningkat disertai peningkatan palsu
leukosit, menunjukkan keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih umum ditemukan pada kasus
2

inkompatibilitas ABO. Hitung retikulosit yang rendah dapat diamati pada bayi yang sudah
melakukan transfusi intravaskuler, disertai dengan konsentrasi hemoglobin normal, hasil tes
Coombs direk yang negatif, dan temuan apus darah yang normal. Hasil uji Coombs tidak
langsung lebih sering positif pada kasus inkompatibilitas ABO, meskipun begitu hasil ini
memiliki nilai prediktif yang buruk untuk hemolisis.1
Pemeriksaan Coombs ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jenis langsung dan tidak langsung.
Pemeriksan Coombs, terutama yang langsung berguna untuk mengetahui apakah terdapat
antibodi maternal pada sirkulasi darah korda fetus. Fetus kemudian dievaluasi dengan uji
Coombs langsung, karena antibodi anti-sel darah merah yang dihasilkan oleh ibu Rh-negatif
umumnya diserap oleh eritrosit janin D-positif. Neonatus juga dievaluasi dengan uji Coombs
direk. Antibodi ibu yang terdeteksi pada janin saat lahir, secara bertahap lenyap dalam periode 1
hingga 4 bulan. Jika ditemukan antibodi sel darah merah ibu, antibodi itu perlu diidentifikasi dan
ditentukan apakah IgG atau IgM. Hanya antibodi IgG yang menimbulkan kekhawatiran karena
antibodi IgM biasanya tidak melewati plasenta dan menyebabkan hemolisis.1
Uji Coombs tidak langsung dan langsung biasanya akan positif pada ibu dan bayi baru
lahir yang terkena pada inkompatibilitas Rh. Tidak seperti allo-imunisasi Rh, test antibodi
langsung akan positif hanya pada 20-40% bayi dengan inkompatibilitas ABO.1
Pemeriksaan amniosentesis, dilakukan untuk mengetahui hemolisis pada fetus. Biasanya
pemeriksaan ini digunakan untuk menarik cairan amnion dari uterus untuk mendeteksi dan
mengevaluasi jumlah bilirubin. Hemolisis dari sel darah merah fetus akan menyebabkan
hiperbilirubinemia sebelum dimulainya anemia hebat. Pemeriksaan ini terutama untuk
mengetahui derajat anemia fetus. Walau begitu pemeriksaan ini bersifat invasif dan berisiko bagi
ibu dan janin, sehingga dikembangkan pemeriksaan yang lebih non-invasif saat ini.2
Working Diagnosis
Working diagnosis yang dipilih adalah penyakit hemolitik pada neonatus akibat
inkompatibilitas ABO. Isoimunisasi pada ibu merupakan penyebab utama kasus penyakit
hemolitik pada neonatus. Hal ini terjadi jika ibu yang tidak memiliki antigen sel darah merah
tertentu terpajan ke antigen tersebut melalui transfusi darah atau ke janin selama kehamilan.3
Differential Diagnosis

Differential diagnosis yang dipilih adalah penyakit hemolitik akibat inkompatibilitas


Rhesus. Penyakit hemolitik pada fetus atau neonatus adalah anemia normositik-normokromik
yang terlihat pada fetus atau neonatus dengan Rh-positif yang lahir dari ibu Rh-negatif yang
sebelumnya telah terpajan darah Rh-positif dan membentuk antibodi terhadap antigen Rh.
Pembentukan antibodi hanya terjadi setelah ibu beberapa kali terpajan antigen, dapat terjadi
selama kehamilan sebelumnya, abortus, atau keguguran sebelumnya, atau selama amniosentesis.
Antibodi maternal, biasanya IgG, dipindahkan ke fetus melalui plasenta dan menyerang sel darah
merah fetus, mengakibatkan lisis sel darah merah yang berlebihan dan anemia.1,4
Setelah kelahiran, tanda klinis anemia dapat terjadi. Selama periode neonatus, yang lebih
bermakna adalah terjadinya ikterus yang parah, akibat perusakan produk hemoglobin yang tidak
efektif oleh hepar bayi yang belum matur. Peningkatan bilirubin yang signifikan dapat
mengakibatkan gangguan neurologis, yang disebut dengan kernikterus, karena bilirubin yang
tidak terkonjugasi dilepaskan ke dalam aliran darah bayi, menyebabkan kerusakan otak.4
Tabel 1. Perbedaan Penyakit Hemolitik Akibat Inkompatibilitas ABO dan Rhesus1

Etiologi
Penyakit hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh ketidakcocokan dari
golongan darah ibu dengan golongan darah fetus, dimana umumnya ibu bergolongan darah O
dan fetusnya bergolongan darah A, B, atau AB.1

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik merupakan akibat kecepatan destruksi eritrosit dan derajat kompensasi.
Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan penyakit hemolitik pada neonatus akibat
inkompatibilitas ABO adalah ibu memiliki golongan darah O, sedangkan fetus memiliki
golongan darah A, B, atau AB, ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama, terdapat anemia,
retikulositosis, dan eritroblastosis dengan derajat bervariasi. Sebagian besar kasus bersifat
ringan, dengan ikterus menjadi manifestas klinis satu-satunya. Hati dan limpa tidak mengalami
pembesaran yang berarti.1,5
Patofisiologi
Hemolisis yang berkaitan dengan inkompatibilitas ABO terjadi pada fetus bergolongan
darah A atau B dengan ibu bergolongan darah O. Pada ibu bergolongan darah A atau B, antibodi
yang ada biasanya berasal dari kelas IgM dan tidak melintasi plasenta, sementara 1% daru ibu
bergolongan darah O memiliki titer tinggi antibodi kelas IgG terhadap A dan B. Antibodi ini
yang melintasi plasenta dan menyebabkan hemolisis pada fetus.1
Hemolisis karena anti-A lebih sering terjadi daripada hemolisis karena anti-B. Neonatus
yang terkena biasanya memiliki hasil positif pada uji Coombs langsung, akan tetapi hasil uji
Coombs yang negatif tidak menyingkirkan adanya penyakit hemolitik isoimun. Meskipun begitu,
hemolisis karena IgG anti-B dapat menjadi parah dan membutuhkan transfusi pertukaran. Karena
antigen A dan B secara luas diekspresikan di berbagai jaringan selain sel darah merah, hanya
sebagian kecil antibodi yang melintasi plasenta dan tersedia untuk diikat oleh sel darah merah
fetus. Penelitian terbaru uji Coombs langsung pada subkelas IgG pasien dengan inkompatibilitas
ABO menunjukkan IgG2 adalah antibodi utama yang ditransfer melintasi plasenta dengan buruk,
dan kurang efisien dalam menyebabkan hemolisis, sementara IgG1 dicatat terdapat pada 22%
neonatus, dan sebagai suatu grup memiliki kemiripan tingkat hemolisis dan keparahan
hiperbilirubinemia.1
Sebagai tambahan, sel darah merah fetus tampak memiliki sedikit ekspresi permukaan
antigen A atau B, dan mengakibatkan hanya terdapat sedikit situs yang reaktif. Oleh karena itu
hanya ada sedikit insidens hemolisis signifikan pada neonatus yang terkena. Hal ini
menyebabkan hiperbilirubinemia sebagai manifestasi utama yang tampak (dibandingkan dengan
anemia), dan pada pemeriksaan darah tepi sering terlihat adanya sferosit dalam jumlah yang
besar, serta sedikit eritroblas.1
Epidemiologi
5

Inkompatibilitas ABO merupakan penyebab tersering penyakit hemolitik pada neonatus.


Inkompatibilitas ABO paling sering terjadi pada kehamilan pertama dan terjadi pada kira-kira
12% kehamilan, dengan 3% neonatus mengalami gejala klinis. Kurang dari 1% kehamilan
berkaitan dengan hemolisis signifikan.1
Penatalaksanaan
Tatalaksana dari hiperbilirubinemia adalah salah satu fokus utama pada bayi dengan
inkompatibilitas ABO. IVIG, dinyatakan sangat efektif ketika diberikan di awal terapi. Porfirin
Tin (Sn), sebuah inhibitor heme oksigenase yang poten, telah dinyatakan dapat menurunkan
produksi dari bilirubin dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan transfusi tukar. Fokus utama
ditekankan pada manajemen dari hiperbilirubinemia.1
Secara farmakologi, obat yang dapat digunakan adalah obat pengikat bilirubin, dan peblokade perubahan heme menjadi bilirubin. Pemberian oral arang aktif menurunkan secara
bermakna kadar bilirubin rata-rata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat. Modalitas
terapi blokade perubahan heme menjadi bilirubin adalah mencegah pembentukan bilirubin
dengan cara menghambat secara kompetitif heme oksigenase yang akan menghambat penguraian
heme. Dapat digunakan metaloporfirin sintetik seperti protoporfirin timah dan yang terbukti
dapat menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum dan meningkatkan
ekskresi heme yang tidak dimetabolisasi melalui empedu. Karena potensi toksisitas dari
modalitas terapi ini belum diketahui secara pasti, maka jenis obat ini belum diterapkan secara
klinis pada anak. Selain protoporfirin timah, tersedia juga protoporfirin seng atau mesoporfirin.1
Secara non farmakologi, dapat dilakukan fototerapi dan transfusi tukar. Fototerapi saat ini
masih menjadi modalitas terapeutik yang umum dilakukan pada bayi dengan ikterus dan
merupakan terapi primer pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi. Bilirubin
yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi apabila terpajan ke sinar dalam
rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang 420 nm - 470 nm) dan hal ini
akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat
polar oleh karena itu akan larut dalam air dan akan lebih mudah diekskresikan melalui urine.
Bilirubin dalam jumlah yang sangat kecil juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif
secara irreversibel yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut
diekskresikan melalui urine dan empedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan
penyakit hemolitik, tetapi mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju akumulasi pigmen
setelah melakukan transfusi tukar.1,2
6

Fototerapi terutama harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi kritis,


penurunan konsentrasi mungkin belum tampak pada 12-24 jam, dan harus terus dilanjutkan
sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 mg/dL. Beberapa efek samping yang dapat
terjadi pada bayi dengan terapi sinar, antara lain peningkatan insensible water loss pada bayi
sehingga perlu diberikan pemberian cairan yang lebih diperhatikan, frekuensi defekasi bayi
meningkat akibat peningkatan peristaltik usus, dapat terjadi diskolorasi gelap di kulit (bronze
baby) akibat penimbunan fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan dalam darah, kerusakan retina
yang dilaporkan pada hewan percobaan bersamaan dengan meningkatnya risiko retinopati pada
bay, hipokalsemia yang lebih umum nampak pada bayi prematur, kenaikan suhu bayi yang
berlebihan. Walau begitu, terapi sinar masih dianggap sebagai terapi yang sangat aman dan tidak
memiliki efek samping serius yang berkelanjutan. Efek samping akan hilang ketika terapi
dihentikan segera.2,6
Meskipun telah digunakan secara luas, terapi sinar masih belum dapat menggantikan
transfusi tukar untuk kasus hiperbilirubinemia yang memiliki risiko kernicterus. Pada umumnya,
transfusi tukar dilakukan dengan indikasi berikut, pada semua keadaan dengan kadar bilirubin
indirek < 20 mg%, kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam, anemia
yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, serta bayi dengan kadar hemoglobin
talipusat <14 mg% dan uji Coombs langsung positif.2,6
Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek toksisitas bilirubin
ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak mencukupi. Sebagai tambahan, prosedur
ini dilakukan dengan bayi yang memiliki indikasi eritroblastosis dengan anemia hebat, hidrops,
atau bahkan keduanya bahkan ketika tidak adanya kadar bilirubin serum yang tinggi.2,6
Transfusi tukar terutama direkomendasikan ketika terapi sinar tidak berhasil dan ketika
bayi mengalami ikterus akibat Rh isoimunisasi dan inkompatibilitas ABO sehingga jenis
ikterusnya dapat dikatakan sebagai ikterus hemolitik dan memiliki risiko neurotoksisitas yang
lebih tinggi dibanding ikterus non-hemolitik. Prosedur ini dilakukan dengan mengurangi kadar
bilirubin hingga hampir 50% dan juga menghilangkan sekitar 80% sel darah merah abnormal
yang telah tersensitisasi serta melawan antibodi agar proses hemolisis tidak terjadi. Prosedur ini
bersifat invasif dan bukan prosedur yang bebas risiko, karena prosedur ini memiliki risiko
mortalitas sebesar 1-5%, dapat pula berkomplikasi menjadi necrotizing enterocolitis (NEC),
infeksi, gangguan elektrolit, ataupun trombositopenia sehingga prosedur ini harus dilakukan
secara hati-hati. Sebelum dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0 g/kg untuk
7

mempercepat keluarnya bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya


akan lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg
untuk kasus hemolisis yang diperantarai oleh antibodi.2,6
Tabel 2. Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbul dan kadar bilirubin6

Komplikasi

Komplikasi yang sampai saat ini masih ditakutkan pada kondisi ikterus ialah kernicterus,
dimana terjadi hiperbilirunemia tidak terkonjugasi dan bilirubin bebas ini mengalami
perlengketan pada sel otak.1,7
Istilah kernicterus berarti yellow kern, dengan istilah kern mengindikasikan bahwa bagian
yang terutama terkena ialah regio otak. Kernicterus atau ensefalopati bilirubin itu sendiri,
didefinisikan sebagai suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah, dan
nukleus di dasar ventrikel IV. Secara patologis, kondisi ini ditandai dengan pewarnaan bilirubin
dan nekrosi neuron di ganglia basal, korteks hipokampus, dan nukleus subtalamikus di otak.
Keadaan ensefalopati bilirubin paling besar kemungkinannya pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
lahir tetapi dapat juga oleh karena sindrom Crigler-Najjar tipe 1. Kernicterus pernah dilaporkan
terjadi pada bayi dengan kadar biirubin serendah 9 mg/dL pada bayi prematur dengan asidosis,
asfiksia, sindrom distres pernapasan, hipoglikemia, sepsis, atau hipotermia.7
Gejala klinis pada awalnya tidak terlalu jelas namun umumnya didapati adanya mata
yang berputar, letargi, tidak nafsu makan, tangisan bernada tinggi, demam, kejang, tak mau
menghisap, tonus otot yang meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus. Pada umum yang
lebih lanjut bila bayi ini masih hidup dapat ditemukan terjadinya spasme otot, opistotonus,
kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Ketulian pada nada tinggi dapat ditemukan,
8

bersamaan dengan ditemukanya gangguan bicara dan retardasi mental. Pasien yang selamat
umumnya menderita serebral palsi tipe koreoatetoid, dengan gejala sisa berupa defek neurologis
lainnya dengan penurunan fungsi kognitif.7
Prognosis
Secara keseluruhan kasus penyakit hemolitik, angka survival dapat mencapai 85-90%,
namun dapat berkurang sebanyak 15% pada janin dengan hidrops fetus. Kebanyakan janin yang
bertahan hidup dari gestasi allo-imunisasi, tetap memiliki keutuhan fungsi neurologis. Walau
begitu, abnormalitas neurologis telah dilaporkan berkaitan dengan derajat beratnya anemia dan
asfiksia perinatal. Risiko tuli sensori-neural juga dapat meningkat.1
Penutup
Bayi perempuan berusia 5 hari yang mengalami ikterus sejak 10 jam dilahirkan tersebut
mengalami penyakit hemolitik akibat inkompatibilitas ABO.

Daftar Pustaka

1. Wagle S. 2 Mei 2013. Hemolytic disease of newborn. Diunduh dari:


http://emedicine.medscape.com/article/974349-overview, 13 April 2014.
2. Hansen TWR. 21 Juni 2012. Neonatal jaundice. Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/974786-overview#a0101, 13 April 2014.


3. Leveno KJ, Cunningham FG, Gant NF, et al. Obstetri Williams: panduan ringkas. Ed 21.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. h. 307-10.
4. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Ed 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2009. h. 421-3.
5. Schwartz MW (ed). Pedoman klinis pediatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2004. h. 382-3.
6. Hassan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jakarta: Indomedika; 2007. h.
1101-14.
7. Springer

SC.

Kernicterus.

26

April

2012.

Diunduh

http://emedicine.medscape.com/article/975276-overview, 13 April 2014.

10

dari:

Anda mungkin juga menyukai