Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

“GANGGUAN SOMATOFORM”





Penguji:
dr. Rusdi Effendy, Sp.KJ

Disusun Oleh:
Anggi Indra Kusuma
1102016234






KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN JIWA
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT JIWA ISLAM KLENDER
PERIODE 25 APRIL – 15 MEI 2021

1
I. PENDAHULUAN

Gangguan somatoform merupakan suatu kelompok kelainan psikiatrik yang


manifestasinya dapat berupa berbagai gejala sik yang dirasakan signi kan oleh pasien
namun tidak ditemukan penyebabnya secara medis. Tidak ada data yang pasti mengenai
prevalensi gangguan ini di Indonesia. Satu penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi
gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis
gangguan yang tersering adalah neurosis, yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya termasuk
psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi medis yang serius, gejala- gejala yang
dirasakan oleh pasien dengan gangguan somatoform sangat mengganggu dan berpotensi
menimbulkan distres emosional. Peran dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama pada kasus gangguan somatoform sangat penting. Keberhasilan dokter dalam
mengeksklusi kelainan medis, mendiagnosis gangguan somatoform dengan tepat, dan
menatalaksana akan sangat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangi
rujukan yang tidak perlu, dan menghindarkan pasien dari pemeriksaan medis yang
berlebihan atau merugikan.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Somatoform


Istilah somatoform berasal dari bahasa yunani soma yang artinya tubuh. Gangguan ini
merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen utama dari tanda dan
gejalanya adalah tubuh. Gangguan ini mencakup interaksi tubuh-pikiran (body-mind).
Pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan adanya kaitan dengan keluhan
pasien. Gangguan ini meliputi
1. Gangguan somatisasi,
2. Gangguan Konversi,
3. Hipokondriasis,
4. Body Dysmorphic Disorder,
5. Gangguan Nyeri.

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk
menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada
kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu
diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis
adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan
somatoform adalah gangguan yang tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau
gangguan buatan.

Ada lima gangguan somatoform yang spesisik adalah:

1. Gangguan somatisasi, ditandai oleh banyak keluhan fisik 
yang mengenai


banyak sistem organ.
2. Gangguan konversi, ditandai oleh satu atau dua keluhan 
neurologis. 

3. Hipokondriasis, ditandai oleh fokus gejala yang lebih 
ringan dan pada
kepercayaan pasien bahwa ia menderita 
penyakit tertentu. 

4. Gangguan dismorfik tubuh, ditandai oleh kepercayaan 
palsu atau persepsi yang

3
berlebih-lebihan bahwa suatu 
bagian tubuh mengalami cacat. 

5. Gangguan nyeri, ditandai oleh gejala nyeri yang semata- 
mata berhubungan
dengan faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor
psikologis

Menurut PPDGJ- III, gangguan somatoform terdiri atas:

• F45.0. Gangguan somatisasi


• F45.1. Gangguan somatoform tak terinci
• F45.2. Gangguan hipokondrik
• F45.3. Disfungsi otonomik somatoform
• F45.4. Gangguan nyeri somatoform menetap
• F45.5. Gangguan somatoform lainnya
• F45.6. Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (YTT)

2.2 Gangguan Somatisasi

Definisi

Gangguan somatisasi dicirikan dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang


tidak dapat dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Keluhan
yang diutarakan pasien sangat melimpah dan meliputi berbagai system organ seperti
gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur, dengan keluhan nyeri. Gangguan ini
bersifat kronis, berkaitan dengan stressor psikologis yang bermakna, menimbulkan
hendaya di bidang sosial dan okupasi, serta adanya perilaku mencari pertolongan
medis yang berlebihan. Dikenal juga sebagai Briquet’s syndrome.

Prevalensi sepanjang hidup 0,2-2% pada perempuan dan 0,2% pada laki-laki.
Wanita leih banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan pria dengan rasio 5
berbanding 1. Awitan gangguan ini sebelum usia 30 tahun dan biasdanya dimulai
ketika usia remaja.

4
Etiologi
Faktor Psikososial
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial, gejala-gejala
gangguan ini merupakan bentuk komunikasi social yang bertujuan untuk menghindari
kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan. Aspek
pembelajaran (learning behavior) menekankan bahwa pengajaran dari orang tusa
contoh orangtua, dan budaya mengajarkan pada anak untuk menggunakan somatisasi.
Faktor social, luhur, da etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan gejala-gejala
somatisasi.

Faktor Biologis
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetic pada gangguan
somatisasi. Terjadi pada 10-20% perempua turunan pertama, sedangkan pada saudara
laki-lakinya cenderung menjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian
antisosial. Pada kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot 10%.

Gambaran Klinis
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatic dan
riwayat medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang serung dikeluhkan
adalah mual, muntah (bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan
tungka, nafas pendek (bukan karena olahraga), amnesia, komplikasi kehamilan dan
menstruasi. Sering kali pasien beranggapan dirinya menderita sakit sepanjang
hidupnya.
Gejala pseudoneurologik sering dianggap gangguan neurologic namun tidak
patognomonik. Misalnya gangguan koordinasi atau kesimbangan,paralisis atau
kelemahan local, sulit menelan atau merasa ada gumpalan di tenggorokan, afonia,
retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau sakit, penglihatan kabut, buta,
tuli, bangkitan, atau hilang kesadaran bukan karena pingssan.
Penderita psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas dan
depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering muncul. Ancaman akan bunuh

5
diri sering dilakukan, namun bunuh diri actual sangat jarang. Biasanya pasien
mengungkapkan keluhannya secara dramatic, dengan muatan emosi dan berlebihan.
Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan
dan pujian, dan manipulatif.

Diagnosis
Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat awitan
gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus
memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1
gejala pseudoneurologik, serta tak satu pun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan
fisik dan laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-
IV-TR.
a. Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama periode lebih beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan
atau hendaya dalam fungsi social, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
b. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan
pun selama perjalanan dari gangguan:
i. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat
atau fungsi yang berbeda (missal: kepala, abdomen, punggung, sendiri,
ekstremitas, dada, rectum, selama menstruasi, selama berhubungan
seksual, atau selama buang air kecil),
ii. Dua gejala gastrointestinal: sedikitnya 2 riawayat gejala gastrointestinal
selain nyeri (misal: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan,
diare atau intoleransi beberapa makanan berbeda).
iii. Satu gejala seksual: sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduksi
selain nyeri (misal: indeferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi,
haid tidak teratur, perdarahan haid berlebihan, muntah sepanjang hamil)
iv. Satu gejala pseudoneurologik: sekurangnya 1 riwayat gejala atau deficit
pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologic tak
terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau
keeimbangan, paralisis atau kelemahan local, sulit menelan atau merasa

6
ada gumpalan tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, kehilangan
sensasi, rasa sakit dan raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkita; gejala
disosiatif seperti amnesia hilang kesadaran bukan karena pingsan)
c. Salah satu dari i) atau ii):
i. Setelah penlurusan yang sesuai, tiap gejala pada kriteria B tak dapat
sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau
merupakan efek langsung dari zat (misal: penyalahgunaan zat, karena
medikasi)
ii. Apabila terdapat kondisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau
hendaya social atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada
yang diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik, dan laboratorium.
d. Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).

Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:

(a) adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun;
(b) tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya;
(c) terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis biasanya


ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai saat remaja.
Masalah menstruasi biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada wanita.
Keluhan seksual sering kali berkaitan dengan peselisihan dalam perkawinan. Periode
keluhan yang ringan berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang berat dan
pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan. Sebelum

7
setahun biasanya pasien sudah mencari pertolongan medis. Adanya peningkatan tekanan
kehidupan mengakibatkan eksaserbasi gejala-gejala somatik.

Terapi
Penanganan sebaiknya dengan satu orang dokter, sebab apabila dengan bebrapa
dokter pasien akan mendapat kesempatan lebih banyak mengungkapkan keluhan
somatiknya. Interval pertemuan sebulan sekali. Meskipun pemeriksaan fisik tetap harus
dilakukan untuk setiap keluhan somatik yang baru, dokter atau terapis harus
mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan
medik.
Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan
pengeluaran dana perawatan kesehatannya terutama untuk rawat inap di rumah sakit.
Psikoterapi membantu pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengekspresikan emosi
yang mendasari dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengungkapkan
perasaannya. Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain
(komorbid). Pengawasan ketat terhadap pemberian obat harus dilakukan karena pasien
dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan berganti-ganti dan
tidak rasional.

2.3 Gangguan somatoform tak terinci


Definisi
Gangguan somatoform tak terinci adalah diagnosis psikiatrik yang digunakan
pada kondisi pasien yang tidak memenuhi kriteria diagnostik dari gangguan somatisasi,
namun memiliki gejala fisik selama 6 bulan, yang diinterpretasikan secara salah sehingga
berakhir dengan disabilitas.
Manifestasi klinis
Terdapat 2 pola gejala yang dapat ditemukan pada pasien ini yaitu yang
berhubungan dengan sistem saraf otonom dan sensasi rasa lemah pada seluruh tubuh.
Gangguan nyeri muncul secara mendadak dan derajat keparahannya meningkat dalam
beberapa minggu atau bulan.

8
Pedoman diagnostik
a) Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan tetapi
gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak terpenuhi.

b) Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas, akan
tetapi tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-keluhannya.

2.4 Gangguan Konversi


Definisi
Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan
konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Hal ini secara khas terjadi
dengan adanya stress dan memunculkan disfungsi berat.
Kumpulan gejala yang saat ini disebut dengan gangguan konversi dengan
gangguan somatisasi, dikenal dengan sebutan hysteria, reaksi konversi atau reaksi
disosiatif.

Epidemiologi
Beberapa gejala-gejala konversi yang tidak cukup parah untuk dapat didiagnosis
sebagai gangguan konversi dapat terjadi pada 1/3 populasi umum pada suatu hari dalam
hidupnya. Satu komunitas melaporkan insidens tahunan sebesar 22 per 100.000 orang.
Beberapa penelitian melaporkan terdapat 5-15% kasus gangguan konversi pada
konsultasi psikiatrik di rumah sakit umum, dan 25-30% dari pasien yang dirawat di
sebuah rumah sakit veteran (Amerika). DSM-IV-TR memberikan kisaran dari yang
paking rendah 11 kasus sampai yang tertinggi 500 kasus gangguan konversi per 100.000
populasi.
Rasio perempuan dibanding laki-laki 2:1 sampai 10:1. Pada anak-anak, anak
perempuan juga lebih tinggi angka kejadiannya dibandingkan anak laki-laki. Laki-laki
dengan gangguan ini sering kali mengalami kecelakaan kerja atau kecelakaan militer.
Awitan gangguan konversi dapat terjadi kapan pun, dari usia kanak-kanak sampai usia
tua, namun yang tersering pada remaja dan dewasa muda. Gangguan ini juga banyak
terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan strata pendidikan yang rendah, tingkat

9
kecerdasan rendah, kelompok sosioekonomi rendah, dan anggota militer yang pernah
terpapar dengan situasi peperangan. Gangguan ini sering berkomorbiditas dengan
gangguan depresi, gangguan cemas, skizofrenia, dan frekuensinya meningkat pada
keluarga yang anggotanya menderita gangguan konversi.

Etiologi
Faktor Psikodinamik
Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik-
konflik intrapsikik yang tak disadari dan konversi dari kecemasan ke dalam gejala fisik.
Konflik terjadi antara dorongan instink (agresi atau seksual) melawan larangan untuk
mengekspresikan hal tersebut. Pasien mendapat kesempatan mengekspresikan sebagian
dorongan atau hasrat terlarang tersebut lewat gejala-gejala yang muncul namun tersamar,
sehingga secara sadar pasien dapat menghindar dari konfrontasi terhadap impulse
terlarangnya. Jadi, gejala pada konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik
yang tak disadari. Misalnya vagisnismus melindungi pasien untuk tidak mengekspresikan
hasrat seksual yang terlarang. Gejala gangguan konversi juga memberi peluang bagi
pasien untuk mengatakan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan penganangan
khusus. Gejala semacam itu berfungsi sebagai pemberitahuan secara nonverbal bahwa
pasien memiliki kontrol dan manipulasi terhadap orang lain.

Teori Pembelajaran

Menurut conditional learning teori, gejala konversi dapat dilihat sebagi perilaku
yang dipelajari secara klasik conditioning. Gejala-gejala penyakit yang dipelajari sejak
masa kanak, akan digunakan sebagai coping dalam situasi yang tak disukainya.

Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme di daerah
hemisfer dominan dan hipermetabolisme di hemisfer nondominan, yang berdampak pada
terganggunya komunikasi antar hemisfer sehingga menimbulkan gejala konversi.

10
Gejala dapat disebabkan karena are kortikal terangsang berlebihan sehingga
menimbulkan umpan balik negative antara korteks serebral dan formasi retikuler batang
otak. Sebaliknya output kortikofugal yang meningkat akan menghambat kesadaran pasien
akan sensasi tubuh, yang menjelaskan mengapa pada pasien konversi terdapat deficit
sensorik. Tes neuropsikologis kadang-kadang menunjukkan gangguan serebral ringan
dalam komunikasi, daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi pada pasien gangguan
konversi.

Gambaran Klinis
Gejala gangguan konversi yang paling sering muncul adalah paralisis, buta, dan mutisme.
Gangguan konversi seringkali berkaitan dengan gangguan kepribadian pasif-agresif,
dependen, antisosial, dan histrionik. Gejala depresi dan cemas sering menyertai gejala
gangguan konversi, dan pasien-pasien ini berisiko tinggi mengalami bunuh diri.

Gejala Sensorik
Pada gangguan konversi gejala yang sering timbul adalah anestesi dan parestesi, terutama
pada ekstremitas. Semua modalitas sensorik dapat erkena, dan distribusinya tidak sesuai
dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang khas misalnya anestesi kaus kaki,
anestesi sarung tangan, atau hemianestesia dari tubuh yang bermula tepat di garis tengah
tubuh.
Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ sensorik khusus dan menimbulkan
ketulian, kebutaan, dan penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejalanya dapat
unilateral maupun bilateral, namun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang
intak. Pada gangguan konversi dengan kebutaan, pasien berjalan tanpa menabrak atau
mencederai diri, pupil bereaksi terhadap cahaya, dan bangkitan potensial kortikal juga
normal.

Gejala Motorik
Gejala motorik terdiri atas gerak abnormal, gangguan gaya berjalan, kelemahan
dan paralisis. Mungkin terdapat tremor ritmik kasar, gerak koreoform, tik, dan
menghentak-hentak. Gerakan tersebut memburuk bila pasien mendapat perhatia.

11
Gangguan gaya berjalan yang tampak pada gangguan konversi adalah astasia-abasia,
yaitu gerak batang tubuh berupa ataksia hebat, terhuyung-huyung kasar, tak beraturan
dengan sentakan-sentakan, disertai gerak lengan seperti membanting dan melambai.
Pasien dengan gejala ini jarang jatuh, dan kalaupun jatuh tidak terluka.
Gangguan motorik yang tersering adalah paralisis dan paresis yang mengenai
satu, dua atau seluruh anggota tubuh, meskipun demikian distribusi dari otot yang terlibat
tak sesuai dengan jaras persarafan. Refleks-refleks tetap normal. Tidak terdapat fasikulasi
maupun atrofi otot, kecuali setelah paralisis konversinya terjadi sudah lama.
Elektromiografi normal.

Gejala Bangkitan
Pseudoseizures merupakan gejala yang mungkin didapat pada gangguan konversi.
Dokter yang merawat mungkin akan menemui kesulitan membandingkan pseudo-seizer
ddari bangkitan yang sebenernya bila hanya berdasarkan observasi klinis. Namun, sekitar
1/3 pasien dengan pseudo seizure juga disertai dengan gangguan epilepsi. Pada
pseudoseizure, pasien dapat tergigit lidahnya, inkontinensia urin dan cedere terjatuh,
meskipun gejala ini jarang sekali ditemui. Refleks tercekik dan pupil tetap bertahan
setelah pseudo-seizure dan tak terjadi peningkatan konsentrasi prolactin pasca-bangkitan.

Gambaran klinis lainnya


Beberapa gejala psikologis yang berkaitan dengan gangguan konversi:

Diagnosis
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau
sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain. 

B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau de sit karena
awal atau eksaserbasi gejala atau de sit adalah didahului oleh kon ik atau stresor
lain. 

C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura- pura). 

D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan

12
sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau
sebagai perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural. 

E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau
memerlukan pemeriksaan medis. 

F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan
dengan lebih baik oleh gangguan mental lain. 
Sebutkan tipe gejala atau defisit :

- Dengan gejala atau defisit motorik 

- Dengan gejala atau defisit sensorik
- Dengan kejang atau konvulsi
- Dengan gambaran campuran 


Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Hampir semua gejala awal (90-100%) dari pasien dengan gangguan konversi membaik
dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan. Sebanyak 75% pasien tidak
pernah mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan pada saat
mengalami tekanan. Prognosis yang baik berkaitan dengan awitan yang mendadak,
adanya stressor yang bermakna, riwayat premorbid baik, tak terdapat komorbid dengan
gangguan psikaitrik lain atau gangguan medik, takada proses hukum yang sedang
berlangsung. Semakin lama gejala gangguan konversi berlangsung, semakin buruk
prognosisnya. Di kemudian hari sebnyak 25-50% pasien akan mempunyai gangguan
neurologis atau kondisi medik nonpsikiatrik yang mempengaruhi sistem persarafan. Oleh
karena itu pasien dengan gangguan konversi harus dilakukan evaluasi medik dan
neurologis pada saat diagnosis ditegakkan.

Terapi
Resolusi gejala gabgguan konversi biasanya spontan. Pada pasien dengan gangguan ini
dapat dilakukan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi perilaku. Bila pasien

13
menolak psikoterapi, maka dokter dapat menyarankan bahwa psikoterapi yang dilakukan
akan difokuskan pada masalah stress dan bagaimana mengatasinya.
Hipnosis, anticemas dan terapi relaksasi sanat efektif dalam beberapa kasus.
Pemberian amobarbital atau lorazepam parenteral dapat memperoleh riwayat penyakit,
terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa traumatic. Pendekatan
psikodinamik misalnya psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan, menuntun
pasien memahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala pada gangguan konversi.
Psikoterapi jangka pendek juga dapat digunakan. Semakin lama pasien menghayati peran
sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga pengobatan akan semakin sulit.

2.5 Gangguan Hipokondriasis


Definisi
Gangguan hipokondrik adalah seseorang yang berpreokupasi dengan ketakutan
atau keyakinan menderita penyakit yang serius dan berlangsung selama 6 bulan atau
lebih. Interpretasi gejala atau sensasi fisiknya biasanya tidak realistis ataupun akurat,
meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Preokupasi tersebut menyebabkan
penderitaan bagi dirinya dan mengganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik di
bidang sosial, interpersonal, dan pekerjaan.

Epidemiologi
Prevelensi hipokondriasis 4-6% dari populasi pasien medik umum dan
kemungkinan tertinggi adalah 15% . awitan dari gejala dapat terjadi drai segala usia
namun yang tersering dari usia 20-30 tahun.
Angka kejjadian tak dipengaruhi oleh strata social, Pendidikan maupun
perkawinan. Keluhan hipokondriasis terjadi pada 3% mahasiswa kedkteran yang
umumnya terjadi pada 2tahun pertama Pendidikan, namun bersifat sesaat saja.

Etiologi
Pasien dengan hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah. Pasien
hipokondriasis menambah dan memperbesar sensasi somatic yang dialaminyya, karena
rasa tidka nyaman secara fisik mempunyai ambang dan toleransi yang rendah.

14
Gejala-gejala hipokondriasis dapat dilihat sebagai permintaan untuk mendapatkan
peran sakit pada seseorang yang menghadapi masalah berat sehingga memberikan
peluang bagi seseorang untuk menghindari kewajjiban berat.
Diperkirakan 80% pasien hipokondriasis juga mengalami gangguan depresi atau
cemas bersamaan. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahana terhadap rasa
bersalah, dan sebagai tanda dari kepedulian berlebbihan terhadap diri sendiri. Rasa sakit
dan penderitaan somatic menjadi penebusan atau hukuman terhadap kesalahan di masa
lalu dan perasaan bahwa dirinya jahat serta berdosa.
Menurut teori psikodinamik, dorongan agresitivitas dan permusuhan yang
ditujukan kepada ornag lain dipindahkan kedalam keluhan-keluhan somatik.

Gambaran klinis
Pasien dengan gangguan ini memiliki keyakinan bahwa mereka menderita suatu
penyakit yang tidak dapat dipatahkan dan keyakinannya bertahan meskipun hasil
laboratorium normal. Seiring dengan perjalanan penyakit, keyakinan mereka akan
berpindah ke penyakit lain. Tetapi keyakinan ini tidak sampai ke tahap waham.
Gangguan hipokondrik sering disertai dengan gejala depresi atau berkomorbid dengan
gangguan depresi dan gangguan cemas.

Pedoman diagnostik
Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:
a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang
serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang
berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun
adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk
penampakan fisiknya (tidak sampai waham).

b) Tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-
keluhannya.

15
Terapi
Psikoterapi kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena
membberikan dukungan soial dan interaksi social sehingga menurunkan kecemasan.
Psikoterapi lain yeng bermanfaat adalah psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi
prilaku, terapi kognitif dan hypnosis.
Farmakoterapi diberikan pada pasien yang berkomorbiditas dengan gangguan lain
seperti gangguan cemas dan gangguan depresi. Atau apabila hipokondriasis merupakan
kondisi sekunder terhadap gangguan mental primer lainnya, maka gangguan primer harus
diatasi.

Prognosis
Kira kira sepertiga sampai setengah dari pasien hipokondriasis mengalami perbaikan
yang bermakna. Prognosis yang baik berkaitan dengan status social ekonomi yang tinggi,
pengobatan terhadap cemas dan depresi yang responsive , awitan dari gejala yang
mendadak, tidak ada gangguan kepribadian dan tidak ada kondisi medik nonpsikiatrik
yang terkait. Pada anak-anak akan membaik pada remaja akhir atau dewasa awal.

2.6 Gangguan Dismorfik Tubuh

Definisi
Pasien dengan bbody dysmorphic disordercmempunyai perasaan subyektif yang
pervasive bahwa bebebrapa aspek penampilannya buruk padahal penampilannya normal
atau nyaris baik. Inti dari gangguan ini bahwa pasien bberkeyakinan kuat atau takut jika
dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikkan. Ketakuatan ini sulit diredakan dengan
penentraman ataupun ujian.
Epidemiologi
Awitan biasanya terjadi pada usia 15 dan 30 tahun. Dan perempuan lebih banyak
dari laki-laki. Gangguan ini biasanya terjadi bersama gangguan mental lainnya. Suatu
penelitian menyebutkan 90% pasien dengan gangguan ini pernah mengalami suatu
episode depresi berat dalam hidupnya, 70% mengalami gangguan cemas dan 30%
mengalami gangguan psikotik.

16
Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui akan tetapi gangguan ini banyak berkomorbiditas dengan
depresi. Konsep stereotipik tentang kencantikan atau keindahan yang dianut dalam
keluarga tau kultur tertentu akan berpengaruh besar pada pasien.
Gambaran klinis
Bagian tubbuh yang menjadi keprihatinan umumnya adalah cacat/kekurangan
pada wajah, khususnya bagian tertentu misalnya hidung. Bagian tubuh lain yang sering
menjadi perhatian adalah rambbut, buah dada dan genitalia. Varian lain pada pria adalah
hasrat untuk membesarkan otot-otot tubuhnya yang usaha tersebut sampai mengganggu
kehidupan sehari-hari, pekerjaan atau kesehatannya.
Gejala lain yang terkait adalah :
- Ide/waham rujukan tentang orang-orang yang memperhatikan cacat tubuhnya
- Sering bercermin
- Adanya usaha untuk menyembunyikan bagian tubuh yang dianggap mempunyai
deformitas dengan pakaian atau riasan.
- Tidak keluar rumah hingga seperlimanya berusaha untuk bunuh diri

Selain itu biasanya pasien juga memiliki ciri kepribadian obsesis-kompulsif, schizoid,
dan narsistik.
Pedoman diagnosis
Diagnosis menurut DSM-IV-TR.
a) Preokupasi dengan cacat yang dikhayalkan. Bila terdapat anomaly fisik ringan,
keprihatinan sangat berlebihan.
b) Preokupasinya mengakibatkan penderitaan dan hendaya yang secara klinis
bermakna dibidang social, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
c) Preokupasinya bbukan karena gangguan mental lainnnya (mis: ketidakpuasan
dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anoreksia nervosa)

Terapi
Obat-obatan yang bekerja pada serotonin misalnya klomipramin dan fluoksetin dapat
mengurangi gejala yang dikeluhkan pasien minimal 50%. Pemberian antidepresan

17
trisiklik, penghambat monoamine oksidase dan pimozide bbermanfaat pada kasusu-kasus
individual.
Apabila terdapat gangguan mental lain yang menyertai, seperti gangguan depresi atau
cemas, maka

2.7 Gangguan nyeri somatoform menetap


Definisi
Gangguan nyeri somatoform adalah adanya nyeri yang merupakan keluhan utama
dan menjadi fokus perhatian klinis pada satu atau lebih bagian tubuh.
Epidemiologi
Gangguan nyeri lebih banyak didiagnosis pada wanita dibandingkan pria. Puncak
awitan usia 40-50 tahu. Sering terjadi pada pekerja-pekerja kasar. Keturunan pertama
dari pasien gangguan nyeri mempunyai kesempatan yang lebih tinggi untuk menderita
gangguan yang sama.
Etiologi
a. Factor psikodinamik

Pasien mungkin mengekspresikan konflik intrapsikik secara simbolik melalui tubuh.


Pasien yang tidak mampu mengartikulasikan perasaannya secara verbal akan
mengekspresikan diri lewat tubuh. Pasien lain secara tidak disadari menganggap luka
emosional sebagai suatu kelemahan dan tidak diperbolehkan secara social sehingga
memindahkan masalah pada tubuhnya. Makna dari simbolikdari gangguan tubuh juga
berkaitan dengan penebusan terhadap rasa dosa atau bersalah untuk merepresi agresi.
b. Factor prilaku

Prilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan atau diberi
hukuman. Misalnya keluhan nyeri sedang menjadi berat Ketika orang lain mencemaskan
dan memberi perhatian, mendapatkan keuntungan financial, atau bila keluhan nyeri
berhasil dipakai untuk menghindari aktivitas yang tak menyenangkan.
c. Factor interpersonal

18
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi dan
memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal. Keuntungan sekunder
merupakan hal terpenting dari pasien dengan gangguan nyeri.
d. Factor biologis.

Korteks serebral dapat menghambat tersulutnya serabbut aferen nyeri. Serotonin mungkin
merupakan neurotransmitter utama dalam jaras penghambatan dan endorphin berperan
dalam memodulasi susunan saraf pusat untuk nyeri. Beberapa pasien yang menderita
gangguan nyeri dan tidak gangguan mental lainny, karena abnormalitas struktur limbik
dan sensorik atau kimiawi yang menjadi factor predisposisi untuk mengalami nyeri.
Klasifikasi
1. Gangguan nyeri berasosiasi dengan factor psikologis

Factor psikologis diniali mempunyai peran dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau
bertahannya nyeri. Jenis gangguan nyeri ini tidak tidak didiagnosis bila kriterianya juga
memenuhi untuk gangguan somatisasi.
Akut : > 6 bulan dan kronik : < 6 bulan.

2. Gangguan nyeri berasosiasi baik dengan factor psikologis maupun kondisi medik
umum.

Baik faktor psikologik maupun kondisi medik umum dinilai bberperan dalam awita,
keparahan, aksaserbasi atau bertahannya nyeri. Kondsi medik umum yang terkait atau
letak anatomis dari nyeri dikodekan pada aksis III.
Akut : > 6 bulan dan kronik : < 6 bulan.
3. Gangguan nyeri berasosiasi dengan gangguan medik umum.

Kondisi medik umum mempunyai peran dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau
bertahannya nyeri.
Gambaran klinis
Nyeri yang paling sering dikeluhkan yaitu di pinggang bawah, kepala, wajah, dll.
Nyeri mungkin dapat terjadi setelah trauma, neuropatik, neurologik, iatrogenik, atau
muskuloskeletal. Pasien terkadang sudah berobat ke berbagai dokter dan selalu

19
menyatakan bahwa sakitnya adalah sumber kesengsaraannya dan seringkali menyangkal
sumber lain sebagai penyebabnya.
Pedoman diagnostik
a) Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan
fisik.

b) Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau masalah
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi
terjadinya gangguan tersebut.

c) Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal maupun


medis, untuk yang bersangkutan.

Terapi
Pendekatan terapi harus menyertakan rehabilitasi karena tidak mungkin
menghilangkan nyerinya dan terapis harus memahami bahwa nyeri yang dialami pasien
adalah sesuatu yang nyata.
Obat-obatan analgetic tidak membantu pasien. Antidepresan trisiklik dan
penghambat ambilan serotonin spesifik (SSRI) paling efektif untuk gangguan nyeri.
Psikoterapi sangat bermanfaat bagi pasien. Langkah awal psikoterapi adalah
membangun aliensi terapeutik dengan pasien empati. Terapi kognitif berguna untuk
mengubbah pikiran negative dan mengembakan sikap positif.
Prognosis
Prognosis bervariasi, namun biasanya menjadi kronik menimbulkan penderitaan dan
ketidakberdayaan yang parah.
harus diatasi dengan pemberian farmakoterapi dan psikoterapi yang memadai.

2.8 Gangguan somatoform lainnya


Pedoman diagnostik
a) Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom, dan
terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem tertentu. Ini sangat berbeda

20
dengan gangguan somatisasi dan gangguan somatoform tak terinci yang
menunjukkan keluhan yang banyak dan berganti-ganti.

b) Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.

c) Gangguan-gangguan berikut juga dimasukkan dalam kelompok ini:

• Globus hystericus (perasaan ada benjolan di kerongkongan yang


menyebabkan disfagia) dan bentuk disfagia lainnya.

• Tortikolis psikogenik dan gangguan gerakan spasmodik lainnya.

• Pruritus psikogenik

• Dismenore psikogenik

• Teeth grinding

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: FKUI. 2010.


2. RS Islam Sultan Agung. 2019. Panduan Praktik Klinis (PPK) Psikiatri RS Islam
Sultan Agung.
3. Lesmana CB. 2017. Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Kedokteran Jiwa. Penerbit:
Udaya University Press.

4. Kaplan, B. J., Sadock V. A. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry:


Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry 10th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.

5. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.


Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2001.

6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikiatri cetakan pertama.


Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.

22

Anda mungkin juga menyukai