Anda di halaman 1dari 25

1

REFERAT
GANGGUAN SOMATOFORM

DISUSUN OLEH:
ULFA MUNIRATUL FAUZIAH
H1AP14020

PEMBIMBING:
dr. Andri Sudjatmoko, Sp. KJ

SMF BAGIAN ILMU PSIKIATRI

RSKJ DR. SOEPRAPTO KOTA BENGKULU

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2019
2

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Ulfa Muniratul Fauziah

NPM : H1AP14020

Stase : SMF Psikiatri

Judul Referat : Gangguan Somatoform

Nama Pembimbing : dr. Andri Sudjatmoko, Sp. KJ

Referat dengan judul “Gangguan Somatoform” ini telah disetujui untuk


dipresentasikan, pada, April 2019.

Bengkulu, November 2019


Pembimbing,

dr. Andri Sudjatmoko, Sp. KJ


3

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya
saya dapat menyelesaikan tugas refrat ini tepat pada waktunya dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Jiwa di Rumah Sakit
Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu, yang berjudul ‘Gangguan
Somatoform’.

Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar –


besarnya kepada: dr. Andri Sudjatmoko, Sp. KJ selaku pembimbing serta
dukungan dari teman – teman di bagian psikiatri yang telah banyak membantu
dalam penyelesaian tugas ini.

Akhir kata, disadari bahwa penyajian refrat ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
Semoga refrat ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun pembaca
pada umumnya.

Bengkulu, November 2019

Penyusun
4

BAB I PENDAHULUAN

Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani yaitu “soma” yang berarti

tubuh.11 Gangguan somatoform merupakan suatu kelompok gangguan yang


memiliki gejala fisik (nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak adanya penjelasan

medis yang adekuat.11 Gejala dan keluhan somatik yang terjadi cukup serius
untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau
gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial

ataupun pekerjaannya.1 Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan


penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk
onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform tidak disebabkan

oleh pura- pura yang disadari atau gangguan buatan.11,12


Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala
fisik, dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Untuk hal
tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut

terkait dengan adanya faktor psikologis atau konflik.1 Karena gejala tak spesifik
dari beberapa sistem organ dapat terjadi pada penderita anxietas maupun
penderita somatoform disorder.1
Penelitian menemukan bahwa sekitar 20% pasien yang datang ke klinik
dokter mengeluhkan keluhan fisik yang tidak dapat dibuktikan secara medis, dan
80% diantaranya merupakan gangguan somatoform. Somatoform, dengan
prevalensi sebesar 16,1% di seluruh dunia, adalah kumpulan gejala fisik yang
mengacu pada kondisi medis tertentu dan tidak dapat diterangkan secara jelas
dalam kondisi medis umum atau dengan gangguan mental yang lain.1
5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak gejala somatik yang tidak dapat

dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laoratorium.

Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 30 tahun, dapat berlanjut hingga

tahunan, dan dikenali menurut DSM-IV-TR sebagai “kombinasigejala nyeri,

gastrointestinal, seksual, serta pseudoneurologis”. Gangguan somatisasi berbeda

dengan gangguan somatoform lainnya karena banyak keluhan dan banyaknya

sistem organ yang terlibat (contohnya gastrointestinal dan neurologis).1

2.2 Epidemiologi
Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi seumur
hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum lebih banyak ditemukan pada
wanita daripada pria, yaitu diperkirakan sebanyak 0,2 sampai 2 persen pada
wanita, dan < 0,2 persen pada pria, dengan perbandingan 5:1.Prevalensi

somatisasi subklinis mencapai 100 kali lebih besar.2

2.3 Etiologi
Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Tidak
terdapat penyebab tunggal dari gangguan somatisasi, sebagaimana sebagian besar
kasus psikiatri lainnya, gangguan ini merupakan hasil akhir dari interaksi faktor
genetik dengan berbagai peristiwa di kehidupan individu. Teori terkini mengenai

etiologi gangguan somatisasi dibagi 3, yaitu psikososial, organic, dan genetik.3


a. Faktor Psikososial
Gejala somatik merupakan bentuk pertahanan psikologi terhadap

instabilitas mental. Pada somatisasi, serangan terhadap mental seseorang

menghasilkan kecemasan yang memobilisasi pertahanan somatik, di mana


6

terdapat perubahan dari “sakit psikologis” menjadi “sakit fisik”.4 Gejala somatik

yang timbul merupakan komunikasi sosial seseorang untuk menghindari


kewajiban (cnt : melakukan pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan
emosi (cnt: kemarahan terhadap saudara), atau untuk simbolisasi perasaan atau

kepercayaan (cnt : nyeri perut).1


Pengalaman “sakit” merupakan faktor penting dari somatisasi. Anak yang

menjumpai orang tua atau saudara yang sakit (terutama penyakit kronis atau berat)
dapat mengalami gangguan somatoform ketika dewasa. Etnik, pendidikan, dan
gender juga merupakan faktor sosial yang relevan terhadap somatisasi. Terdapat
korelasi tinggi antara somatisasi dan etnik, kelas sosial rendah dengan tingkat
edukasi minimal, dan jenis kelamin wanita.Selain itu, jenis kepribadian juga
diduga mempengaruhi gangguan somatisasi. Pasien gangguan somatisasi yang
memiliki ciri kepribadian kelompok B (dependen, histrionic, agresif-sensitif)

tampak sejumlah 2 kali lipat dari pasien dengan anxietas atau depresi.3
b. Faktor Organik

Beberapa penelitian menunjukkan dasar neuropsikologi pada gangguan

somatisasi. Beberapa studi mengaitkan antara gangguan somatisasi dengan

patologi otak, seperti epilepsy dan multiple sclerosis, namun asosiasi ini

ditemukan hanya pada 3% pasien.6 Diduga juga bahwa disfungsi atensi dan

kognitif yang berhubungan dengan inhibisi stimulasi aferen terdapat pada pasien
(terutama pada lobus frontalis dan hemisphere yang tidak dominan),
menghasilkan persepsi yang tidak tepat dan kesalahan penilaian input

somatosensoris .1 Ditemukan hubungan antara somatisasi dan peningkatan level


kortisol 24 jam (rangsangan psikologis),sebagaimana juga ditemukan terdapat

asosiasi antara tekanan darah sistolik dengan somatisasi.3


c. Faktor Genetik
7

Terdapat pola keturunan yaitu sebesar 10-20% insidens terjadi pada

saudara perempuan derajat pertama dari penderita gangguan somatisasi. 2


Ditemukan bahwa saudara lelaki pasien gangguan somatisai memiliki peningkatan

prevalensi alkoholisme dan kepribadian antisosial.7 Beberapa penelitian pada


populasi kembar menemukan bukti komponen genetik, namun lainnya
menghasilkan kesimpulan sebaliknya. Mai (2004) menyimpulkan bahwa terdapat

peran faktor genetik dalam gangguan somatisasi, namun efeknya terbatas.3


2.4 Diagnosis dan Gejala Klinis
Untuk diagnosis gangguan somatisasi, DSM-IV-TR mengharuskan
permulaan gejala terjadi sebelum usia pasien 30 tahun, dan berlangsung selama
beberapa tahun. Selama perjalanan gangguan, pasien harus memiliki keluhan
sedikitnya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, dan
satu gejala pseudoneurologis, yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan
pemeriksaan fisik.

Kriteria Diagnostik DSM IV-TR - GANGGUAN SOMATISASI


A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang
terjadi selama suatu periode beberapa tahun dan menyebabkan
pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area
fungsi penting lain yang signifikan.
B. Masing-masing kriteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap
gejala terjadi pada waktu kapanpun selama perjalanan gangguan :
(1) empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan
sedikitnya empat tempat atau fungsi yag berbeda (cnt : kepala,
abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rectum, selama
menstruasi, selama hubungan sekdual, atau
selama berkemih)
(2) dua gejala gastrointestinal : riwayat sedikitnya dua gejala
gastrointestinal selain nyeri (cnt: mual, kembung, muntah selain
selama hamil, diare, atau intoleransi
terhadap beberapa makanan yang berbeda)
8

(3) satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau
reproduksi selain nyeri(cnt: ketidakpedulian terhadap seks,
disfungsiereksi atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan
menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
hamil)
(4) satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau
deficit yang mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada
nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis, atau kelemahan lokal, kesulitan menela,
atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin, halusinasi,
hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli,
kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang kesadaran
selain pingsan)
C. Baik (1) atau (2) :
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala Kriteria B tidak dapat
dijelaskan secara utuh dengan keadaan medis umum yang
diketahui atau efek langsung suatu zat (cnt : penyalahgunaan obat,
pengobatan)
(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya
sosial atau pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang
diperkirakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat seperti pada
gangguan buatan atau malingering

Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya telah mengunjungi


banyak praktik dokter, mlakukan banyak tes imaging dan laboratorium, yang
seluruhnya tidak memberikan hasil yang bermakna mengenai penyakit yang
ia rasakan. Sebagai contoh, seorang pasien mungkin memiliki keluhan
abdominal kronis (nyeri perut, diare) yang telah dievaluasi secara tuntas
namun tidak ditemukan penyebabnya. Hal ini biasanya didahului dengan
riwayat gejala lain yang tidak dapat dijelaskan, seperti anorgasmia, tinnitus
9

telinga, dan nyeri kronis pada bahu, leher, punggung, dan kaki.5

2.5 Diagnosis Banding


Diagnosis banding somatisasi antara lain adalah gangguan somatoform

lain,yaitu reaksi konversi, hipokondriasis, dan nyeri dismorfik. Gangguan

somatoform sendiri juga harus dibedakan dengan gangguan psikiatri lain, seperti

facticious disorders dan malingering, sebagaimana ditunjukkan oleh tabel

berikut.4

2.6 Tatalaksana

Secara umum, penatalaksanaan pasien dengan gangguan somatisasi


meliputi 2 hal, yaitu Cognitive and Behavioral Therapy (CBT) dan Farmakoterapi.
Langkah pertama terapi adalah untuk memberi feedback diagnostik pada pasien.
Penjelasan dikategorikan menjadi 3 bagian : rejection, conclusion, dan
empowerment. Dengan rejection, dokter menyangkal kenyataan terdapat gejala
atau mengimplikasikan bahwa pasien memiliki sumber rasa sakit yang imajiner.
Pendekatan ini dapat diawali dengan kalimat “Tenang, tidak ada yang salah
dengan Anda.” Conclusion terjadi ketika dokter secara eksplisit atau implicit
menyetujui penjelasan pasien. Pada akhirnya, dengan empowerment, dokter
10

memberikan penjelasan yang nyatadan rasional untuk gejala somatik, bersamaan


dengan peluang untuk memanajemen diri. Dokter mengetahui penderitaan pasien,
tanpa rasa menuduh, dan membuat kesepakatan terapeutik. Dengan demikian
gejala dan emosi dapat dihubungkan dengan baik. Manajemen gangguan

somatoform dapat diringkas pada gambar berikut.3

2.7 Klasifikasi

2.7.1 Hipokondriasis

2.7.1.1 Definisi

Hipokondriasis adalah gangguan mental dimana pasien meyakini bahwa

dirinya sedang mengalami penyakit yang serius, mungkin suatu penyakit yang

mengancam jiwanya. Kriteria diagnosisnya ialah sekurang-kurangnya 6 bulan

pasien mengalami preokupasi pikiran berupa ketakutan akan memiliki penyakit

akibat dari interpretasi yang salah terhadap gejala penyakit yang dialaminya.

Istilah hipokondriasis mengacu pada hipokondrium, dimana kebanyakan pasien

mengeluh nyeri pada daerah hipokondrium.7

2.7.1.2 Etiologi

Menurut Klein, perkembangan di masa-masa awal kehidupan diyakini


merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya hipokondriasis atau jenis
somatoform lain di kemudian hari. Kegagalan proses splitting atau kemampuan
untuk membedakan objek baik dan buruk menyebabkan ketidakmampuan otak
untuk merepresi kecemasan yang dirasakan, sehingga kelak timbul abnormal

splitting mechanism yang membantu anak untuk mengatasi confusional anxiety.7


Menurut Schilder, terjadi fiksasi hypochondriacal state pada fase narsistik pada
perkembangan anak, dimana pada masa itu terjadi perkembangan awal pemikiran
tentang tubuh. Fase oral, sadistic, dan sadomasokistik juga turut mempengaruhi
terjadinya hipokondriasis di kemudian hari karena seluruh proses ini melibatkan
11

sensasi nyeri dalam perkembangannya.10


Proteksi yang berlebihan dari orang tua pada masa anak-anak juga menjadi

pencetus hipokondriasis. Di samping itu, penyakit yang pernah diderita juga

memunculkan kecemasan yang berlebihan terhadap kekambuhan sehingga

memunculkan gejala hipokondriasis.8

2.7.1.3 Gejala Klinis

Pasien hipokondriasis meyakini bahwa mereka memiliki penyakit serius

yang masih belum terdeteksi meskipun telah dilakukan hasil lab dengan hasil
yang negatif. Pada permulaan mungkin diawali dengan satu penyakit, namun
seiring berjalannya waktu, kayakinan ini dapat ditransfer ke penyakit yang lain.
Namun demikian, keyakinan mereka tidak seperti pada waham. Pada umumnya
ditemukan pula gangguan kecemasan dan depresi.9
Meskipun kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah

sekurang- kurangnya 6 bulan, namun “hypochondriacal-states” juga dapat terjadi

setelah terjadi stress mayor, misalnya kematian orang terdekat pasien akibat
penyakit tertentu. Pada umumnya kondisi ini akan sembuh dengan sendirinya,

namun dapat pula menjadi kronis.8


2.7.1.4 Diagnosis

Kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sebagai berikut:


A. Preokupasi pikiran ketakutan akan memiliki, atau munculnya ide bahwa
dirinya memiliki penyakit yang serius akibat dari kesalahan interpretasi gejala
tubuhnya.
B. Keluhan tidak kunjung membaik meskipun sudah mendapatkan pertolongan
medis.
C. Keyakinan pada kriteria A adalah bukan merupakan suatu waham seperti yang
ditemukan pada gangguan waham, atau masalah dengan penampilan seperti
yang ditemukan pada BDD/ Body Dysmorphic Disorder.
D. Preokupasi pikiran akan penyakitnya membuat pasien mengalami gangguan
12

dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan perilaku bermasyarakat.


E. Gangguan berdurasi sekurang-kurangnya selama 6 bulan.
F. Preokupasi pikiran ini tidak ditemukan pada gangguan kecemasan, kelainan
obsesif-kompulsif, gangguan panic, episode depresif mayor, kecemasan akibat
perpisahan, atau kelainan somatoform yang lain.
Spesifik bila:
Dengan daya tilik buruk: apabila dalam tiap episodenya, pasien
tidak menyadari bahwa penyakit serius yang diyakini dia miliki adalah suatu
ketakutan yang tidak beralasan.2
2.7.1.5 Diagnosis Banding

1. Penyakit-penyakit non-psikiatri yang menunjukkan gejala yang tidak spesifik


sehingga sulit terdiagnosis (misalnya pada penyakit AIDS, endokrinopathy,
myasthenia gravis, sklerosis multiple, penyakit saraf degenerative, SLE, dan
lain-lain).
2. Somatization disorder (somatization disorder lebih menekankan pada
banyaknya gejala yang dikeluhkan pasien jika dibandingkan dengan
hipokondriasis, somatization terjadi mayoritas pada wanita sedangkan
hipokondriasis seimbang antara pria dan wanita, onset hipokondriasis
umumnya <30 tahun).
3. Reaksi konversi (akut, sementara, lebih menekankan pada gejala daripada
penyakitnya).
4. Pain disorder (gejala terbatas pada keluhan nyeri).
5. Body Dismorphic Disorder/BDD (pasien ingin terlihat normal namun merasa
orang di sekitarnya berpikir buruk).
6. Episode depresi dan gangguan kecemasan (pada depresi dengan gejala
hypochondriacal umumnya tidak dapat diredam perasaannya meskipun sudah
dibantu untuk menenangkan).
7. Skizofrenia (pada waham somatik lebih kacau, idiosinkratik jika dibandingkan
dengan hipokondriasis).
8. Factitious illness dan malingering (perlu dilakukan tes untuk membedakan
pasien sebenarnya, malingering, dan hipokondriasis, umumnya penawaran
untuk dilakukan intervensi medis dihadapi oleh pasien hipokondriasis dengan
13

kecemasan, sedangkan pada pasien yang benar-benar sakit akan


menghadapinya dengan perhatian terhadap kondisinya. Malingering umumnya
dilakukan untuk kepentingan financial atau meninggalkan tanggung jawab
tertentu).
2.7.1.6 Tatalaksana

1. Pemeriksaan fisik secara komprehensif


Perlu dilakukan pemeriksaan fisik berkala untuk mengetahui diagnosis lain

yang menjadi perancu hipokondriasis. Informasi kesehatan yang normal dapat

digunakan untuk konfirmasi diagnosis hipokondriasis.9

2. Pendekatan fungsional

Bertujuan untuk mengumpulkan data-data tentang penyakit yang menjadi

sumber kecemasan dan untuk mengetahui respon pasien terhadap penyakitnya.

Melalui cara ini, dokter dapat mengetahui apa yang membuat pasien menganggap

penyakitnya sangat serius. Karena belum adanya skala khusus untuk pengukuran

derajat keparahan penyakit yang dirasakan, pasien dapat menggunakan skala 0

(rendah) sampai 10 (ekstrim) untuk menggambarkannya.8


3. Terapi farmakologis

a. Anti-depresan (trisiklik, SSRI): dapat menstabilkan mood, mengatasi


kecemasan pada hipokondriasis
b. Plasebo: beberapa penelitian membandingkan efek placebo dan pemberian

obat-obatan anti-depresan dimana perbedaan respon pasien terhadap kedua


obat tidak signifikan. Hal ini menunjukkan keberhasilan penggunaan

placebo.8
4. Psikoterapi

a. Cognitive-Behavioral Therapy/CBT  menggunakan model terapi tertentu


untuk membantu pasien mengenali dan merubah kepercayaan yang salah pada
kesehatan dirinya.
14

b. Formulation of an Idiosyncratic Model  patient-spesific “blue-print” ialah


suatu bentuk diagram yang dikerjakan bersama-sama dengan pasien berkaitan
dengan mekanisme penyakit dan kecemasan yang timbul. Dengan metode ini,
pasien merasa dokter memahami perasaan sehingga meningkatkan penerimaan
pasien terhadap pengobatan.
c. Psikoedukasi  memberikan pemahaman pasien terhadap mekanisme fisiologis
tubuh manusia yaitu fight or flight dan ansietas. Pasien juga diberikan
pemahaman tentang sensasi tubuh sekaligus dengan mekanisme fisiologisnya
jika memungkinkan.
d. Modifying erroneous belief  membantu pasien untuk mengadopsi

kepercayaan yang rasional berdasarkan mekanisme fisiologis tubuh.8


2.7.1.7 Prognosis

Hipokondriasis cenderung menjadi suatu penyakit kronis yang

berlangsung mungkin sepanjang hidup dengan gejala yang hilang timbul selama

berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Pasien mungkin akan mengalami remisi

parsial namun demikian masih membuat pasien mencari bantuan dokter. Remisi

total sangat jarang terjadi. Faktor sosial-ekonomi, tidak adanya kelainan perilaku

lain, dan tidak adanya kondisi medis lain yang menyertai dapat memungkinkan

hipokondriasis remisi total.7


2.7.1.8 Komplikasi

Hipokondriasis seringkali menyebabkan pasien enggan melakukan aktivitas atau

bepergian jauh. Dokter yang tidak mengenali gejala hipokondriasis sejak awal

akan menyarankan pasien untuk melakukan berbagai macam tes laboratorium

untuk membantu penegakan diagnosis.10

2.7.2 Reaksi Konversi


2.7.2.1 Definisi
15

Gangguan konversi ditandai dengan perubahan bermakna atau hilangnya


fungsi fisiologis, meskipun tidak ada temuan secara medis yang menyebabkan
gejala atau defisit.1
2.7.2.2 Epidemiologi
Insiden gangguan konversi mencapai 11-48 setiap 100.000 jiwa. Gangguan
konversi tidak berkaitan denga usia, ras, etnis, atau latar belakang sosial. Akan
tetapi, beberapa penelitian melaporkan adanya angka kejadian yang lebih tinggi
pada wanita dibandingkan dengan laki-laki. Ada kecenderungan insiden yang
lebih tinggi pada pasien yang memiliki first-degree relative dengan gangguan
psikiatri. Telah ditemukan juga asosiasi antara gangguan konversi dengan riwayat
sexual abuse dan physical abuse.4
2.7.2.3 Etiologi4
 Faktor Psikoanalitik
Gangguan konversi disebabkann oleh represi konflik intrapsikik yang tidak
disadari dan konversi kecemasan menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut
adalah antara impuls berdasarkan insting dan larangan pengungkapan ekspresi.
Gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tidak
disadari. Gejala konversi juga memungkinkan pasien menyampaikan bahwa
mereka membutuhkan perhaian dan perlakuan khusus. Gejala tersebut dapat
berfungsi sebagai cara nonverbal untuk mengendalikan atau memanipulasi orang
lain.
 Teori Pembelajaran
Gejala konversi dapat dilihat sebagai bagian dari perilaku yang dipelajari
secara klasik, gejala penyakit, yang dipelajari saat masa kanan-kanan,
dikedepankan sebagai cara beradaptasi dengan situasi yang tidak mungkin.
 Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipermetabolisme pada
daerah hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah hemisfer
yang non dominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi antara kedua hemisfer
orak dan berujung pada gejala konversi. Rangsangan kortikal yang berlebih dapat
mengakibatkan timbulnya umpan balik negatif antara korteks dan formasi
retikuler batang otak sehingga menimbulkan gejala konversi. Sebaliknya, output
16

kortikofugal yang meningkat justru akan menghambat kesadaran pasien akan


sensasi-sensasi yang terjadi di tubuhnya. Tes neuropsikologis terkadang
menunjukkan gangguan serebral ringan pada daya ingat, kewaspadaan, afek, dan
atensi di pasien dengan gangguan konversi.
2.7.2.4 Gejala Klinis4
Paralilis, buta, dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling
lazim ditemukan. Gangguan konversi mungkin paling sering disertai dengan
gangguan kepribadian pasif-agresif, dependen, ansisosial, dan histrionik. Gejala
gangguan depresif dan ansietas sering dapat menyertai gejala gangguan konversi,
dan pasien ini memiliki risiko bunuh diri. Adapun gejala gangguan konversi
adalah sebagai berikut:
 Gejala Sensorik
Pada gangguan konversi, anestesia dan parastesia adalah gejala yang lazim
diemukan, terutama pada ekstremitas. Gejala ganguan konversi dapat melibatkan
organ indera khusus dan dapat menimbulkan tuli dan buta. Gejala ini dapat
unilateral dan bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik
yang intak. Pada kebutaan gangguan konversi contohnya pasien berjalan keliling
tanpa menubruk atau mencederai diri sendiri, pupilnya bereaksi terhadap cahaya,
dan evoked potential korteks normal.
 Gejala Motorik
Gejala motorik meliputi gerakan abnormal gangguan berjalan, kelemahan,
dan paralisis. Tremor ritmis yang kasar, gerakan koreiform, “tic”, dan sentakan
dapat ada. Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang memperhatikan
mereka
Satu gangguan motorik yang lazim ditemukan lainnya adalah paralisis dan
paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas, walaupun distribusi
otot yang terkena tidak sesuai dengan jaras saraf. Refleks tetap normal, pasien
tidak mengalami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah paralisis konversi yang
berlangsung lama), teuan elektromiografi normal.
 Gejala Bangkitan
Kejang semu adalah gejala lain gangguan konversi, kejang konversi sulit
untuk dibedakan dengan kejang yang sesungguhnya, bahkan para klinisi dapat
17

merasa sulit dalam membedakannya. Sepetiga kejang semu pada pasien gangguan
konversi juga memiliki gangguan epileptik. Menggigit lidah, inkontinensia urin
dan cedera setelah jatuh dapat terjadi pada kejang semu walaupun gejala ini
umumnya tidak ada. Refleks pupil dan muntah tetap ada setelah kejang semu dan
konsentrasi prolaktin pasien tidak mengalami peningkatan setelah kejang.
Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang
yang bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang menjadi model
bagi pasien.

2.7.2.5 Diagnosis1
DSM-IV-TR membatasi diagnosis gangguan konversi pada gejala yang
mempengaruhi fungsi sensorik dan motorik volunter yaitu gejala neurologis,
yakni:
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi fungsi sensorik atau
motorik volunter yang mengesankan adanya keadaan neurologis atau
keadaan medis umum lain.
B. Faktor psikologis dinilai terkait dengan keadaan gejala maupun defisit
karena awal atau perburukan gejala atau defisit didahului konflik atau
stresor lain.
C. Gejala atau defisit ditimbulkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti
pada gangguan buatan atau malingering)
D. Setelah pemeriksaan yang sesuai, gejala atau defisit tidak dapat benar-
benar dijelaskan oleh keadaan medis umum atau oleh efek langsung suatu
zat, maupun sebagai perilaku atau pengalaman yang disetujui budaya.
E. Gejala atau defisit menyebabkan distress yang bermakna secara klinis atau
hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lain, atau
memerlukan evaluasi medis.
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak
hanya terjadi selama perjalanan gangguan somatisasi, dan sebaiknya tidak
disebabkan gangguan jiwa lain.
Tentukan tipe gejala atau defisit:
 Dengan gejala atau defisit motorik
18

 Dengan gejala atau defisit sensorik


 Dengan bangkitan atau kejang
Dengan tampilan campuran
2.7.2.6 Perjalanan Gangguan dan Prognosis1
Gejala awal pada sebagian besar pasien dengan gangguan konversi
mungkin 90-100% membaik dalam beberapa hari atau kurang dari satu bulan.
Terkait dengan prognosis yang baik adalah awitan mendadak, stresor mudah
diidentifikasi, penyesuaian pramorbid baik, tidak ada gangguan medis atau
psikiatri komorbid, dan tidak sedang menjalani proses hukum. Semakin lama
gangguan konversi ada maka prognosisnya lebih buruk. Pada sebagian pasien
dengan gangguan konversi, yakni 25 hingga 50 persen pasien akan mengalami
gangguan neurologis atau keadaan medis nonpsikiatri yang mengenai sistem saraf,
oleh karena itu pasien dengan gangguan konversi harus telah menjalani evaluasi
lengkap neurologis dan medis pada saat diagnosis.
2.7.2.7 Terapi1
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya berlangsung spontan. Pasien
dengan gangguan ini dapat diberikan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau
terapi perilaku. Terapi hipnosis, anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam
beberapa kasus. Pemberian amobarbital atau lorazepam parenteral dapat
membantu memperoleh riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru saja
mengalami peristiwa yang traumatis.

2.7.3 Gangguan Nyeri

Gangguan nyeri merupakan keluhan utama yang menjadi fokus perhatian


klinis. Nyeri dapat terjadi pada lebih dari satu tempat dan tidak dapat dimasukkan
secara penuh sebagai kondisi medis nonpsikiatrik maupun neurologik. Gangguan
ini berkaitan dengan penderitaan emosional dan hambatan dalam fungsi
kehidupan.1
2.7.3.1 Etiologi1
1. Faktor psikodinamik
Pasien secara tak sadar menganggap luka emosional sebagai suatu
kelemahan dan tidak diperbolehkan secara sosial sehingga memindahkan masalah
19

pada tubuhnya. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta,
hukuman terhadap kesalahan, dan menebus rasa bersalah atau perasaan bahwa
dirinya jahat.
2. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan
atau diberi hukuman.
3. Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi
dan memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal
4. Faktor biologis
Defisiensi endorfin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik
yang datang
2.7.3.2 Manifestasi Klinis
Rasa nyeri pasien dapat berupa neuropatik, neurologis, iatrogenik atau
muskuloskeletal. Meskipun demikian, untuk memenuhi diagnosis gangguan nyeri,
gangguan tersebut harus memiliki faktor psikologis yang dinilai secara signifikan
terlibat dalam gejala nyeri dan percabangannya. Pasien dengan gangguan nyeri
sering memiliki riwayat perawatan medis dan pembedahan yang panjang.
Gangguan nyeri seringkali disertai dengan gangguan depresif serta gangguan
ansietas. Adapun gejala depresif yang paling menonjol adalah anergia, anhedonia,
libido berkurang, insomnia, dan iritabilitas, variasi diurnal, dan turunnya berat
badan.1
2.7.3.3 Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV-TR1
A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis adalah fokus dominan
gambaran klinis dan cukup parah sehingga memerlukan perhatian klinis
B. Nyeri menimbulkan distres yang secara klinis bermakna atau hendaya
fungsi sosial, pekerjaan, dan area fungsi penting lain
C. Faktor psikologis dinilai memiliki peranan penting dalam awitan,
keparahan, eksaserbasi, atau menetapnya nyeri
D. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau dibuat-buat
20

E. Nyeri sebaiknya tidak disebabkan gangguan mood, ansietas, atau


gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria diagnostik dispareunia
Berdasarkan PPDGJ III6
A. Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun fisik
B. Nyeri timbul dalam hubungannya dengan adanya konflik emosional atau
masalah psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam
mempengaruhi adanya gangguan tersebut
C. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik personal
maupun medis untuk yang bersangkutan
2.7.3.4 Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Nyeri dimulai dengan tiba-tiba dan meningkat keparahannya untuk
beberapa minggu atau bulan. Prognosisnya bervariasi walaupun gangguan nyeri
sering dapat bersifat kronik, menimbulkan distres, dan benar-benar menimbulkan
ketidakmampuan.1
2.7.3.5 Terapi
Penggunaan obat analgesik umumnya tidak membantu, oleh karena itu
perlu diberikan antidepresan seperti trisiklik dan selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRI). Selain itu penggunaan amfetamin sebagai analgesik
menghasilkan keberhasilan pada beberapa pasien. Psikoterapi psikodinamik dapat
membantu pasien mengurangi gangguan nyeri. Langkah utama psikoterapi adalah
membangun hubungan terapeutik yang solid melalui empati terhadap penderitaan
pasien. Selain itu klinisi dapat mengubah pikiran negatif dan memupuk sikap
positif dari pelaksanaan terapi kognitif.1

2.7.4 Gangguan Dismorfik Tubuh


Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh memiliki perasaan subjektif
yang pervasif mengenai keburukan beberapa aspek penampilan walaupun
penampilan mereka normal atau hampir normal. Inti gangguan ini adalah
keyakinan atau ketakutan seseorang yang amat kuat bahwa dirinya tidak menarik
atau bahkan menjijikan. Rasa takut ini tetap ada walaupun penderita gangguan
dismorfik tubuh mendapatkan pujian atau penentraman.1
21

2.7.4 .1 Etiologi
Etiologi dari gangguan ini tidak diketahui, tapi diyakini berasosiasi dengan
gangguan depresi. Selain itu, konsep stereotipik tentang kecantikan atau
keindahan yang dianut dalam keluarga atau budaya tertentu akan berpengaruh
besar pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik.1
2.7.4 .2 Manifestasi Klinis
Kekhawatiran yang paling lazim mencakup ketidaksempurnaan wajah,
terutama yang meliputi anggota tubuh tertentu (contohnya hidung) dimana
kekhawatiran tersebut bersifat samar dan sulit dimengerti. Gejala terkait yang
lazim ditemukan mencakup gagasan atau waham rujukan (biasanya mengenai
orang yang memperhatikan ketidaksempurnaan tubuh), baik mengaca berlebihan
maupun menghindari permukaan yang dapat memantul, serta menyembunyikan
sesuatu yang dianggap deformitas dengan tata rias atau pakaian.1
2.7.4 .3 Diagnosis1
A. Preokupasi mengenai defek khayalan terhadap penampilan. Jika terdapat
sedikit anomali fisik, kepedulian orang tersebut sangat berlebihan.
B. Preokupasi ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan area fungsi penting lain.
C. Preokupasi ini tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan jiwa lain,
contohnya ketidakpuasan akan bentuk tubuh dan ukuran pada anoreksia
nervosa.
2.7.4 .4 Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Awitan gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang
mengalami gangguan ini dapat mengalami kekhawatiran yang bertambah
mengenai bagian tubuh tertentu sampai orang tersebut memperhatikan bahwa
fungsinya terganggu. Setelah itu, pasien akan berusaha mencari pertolongan medis
atau bedah untuk menyelesaikan masalah yang diduga. Tingkat kekhawatiran
mengenai masalah ini dapat memburuk dan membaik seiring waktu walaupun
cenderung memburuk bila tidak ditangani.1
2.7.4 .5 Terapi
Obat trisiklik seperti monoamne oxidase inhibitors dan pimozide dapat
berguna untuk beberapa kasus gangguan dismorfik tubuh. Pasien kerap kali
22

melakukan prosedur bedah, dermatologis. dental, ataupun prosedur medis lain


tetapi hampir selalu tidak berhasil. Pada 50% pasien menunjukkan pengurangan
gejala dengan penggunaan obat clomipramine (Anafranil) dan fluoxetin (Prozac).1

2.8 Gangguan Somatoform pada anak dan remaja


Heimann et al (2018) menyatakan bahwa gangguan gejala somatik
menyebabkan fungsional yang signifikan dan gangguan emosi, ketidakhadiran di
sekolah, Baru-baru ini, peningkatan jumlah anak dan anak remaja yang menderita
keluhan gejala somatik dengan gangguan fungsional telah dilaporkan oleh van
Geelen dan rekannya antara 1988 dan 2011. Persentase anak laki-laki dengan
masalah psikosomatis lebih besar dari persentil ke-90 meningkat dari 5,0 menjadi
9,1% dan di anak perempuan dari 16,7 hingga 24,5%. Secara khusus, faktor yang
terkait dengan hasil pengobatan yang buruk, dan ada kebutuhan untuk melangkah
lebih jauh penelitian di bidang ini.13
Gejala paling umum dilaporkan oleh anak-anak dan remaja dengan SSD
termasuk rasa sakit, kelelahan, pingsan dan mual. Secara khusus, nyeri somatik
kronis (sakit kepala, perut berulang dan muskuloskeletal) tampaknya sangat
sering, hingga 25% anak-anak dan remaja yang terpengaruh dalam populasi
umum sampel.13
Gangguan konversi jarang terjadi, dengan prevalensi bervariasi antara 1-
4% dan lebih tinggi hingga 10%, yang diukur dalam unit neurologis pediatrik.
Selain itu, data dari survei menunjukkan hingga 10,8% anak-anak dan remaja
menderita gangguan somatik kronis serta peningkatan tiga kali lipat risiko
mengembangkan komorbiditas psikiatrik dibandingkan kontrol yang sehat.
Demikian juga anak-anak dan remaja dengan SSD menunjukkan peningkatan
risiko berkembang komorbiditas kejiwaan, terutama cemas atau depresi. Apalagi
remaja dengan afektif, kecemasan dan gangguan perilaku berisiko mengalami
perkembangan gejala somatik seperti nyeri kronis; di sisi lain depresi tangan dan
gangguan kecemasan bisa menjadi konsekuensi dari nyeri kronis. Hingga 50%
anak-anak dan remaja dengan SSD menderita komorbiditas psikiatrik. Selain itu,
anak-anak dan remaja yang terkena dampak sering menghadapi gangguan
fungsional jangka panjang yang mengakibatkan prestasi akademik yang buruk,
23

peningkatan risiko untuk nanti perawatan. Beban emosional tampaknya memiliki


yang penting pengaruh pada hasil pengobatan jangka panjang.13
Hasil penelitian Heimann et al (2018) menunjukkan bahwa terjadi
perbaikan yang signifikan pada terapi multidisiplin pada masa rawat inap anak
dan remaja. Penelitian ini mengukur nyeri, kecemasan, depresi, rasa tidak nyaman
dan kehadiran sekolah pada anak dengan gangguan somatoform. Terapi yang
diberikan berupa psikoterapi, terapi sosial dan psiko edukasi yang melibatkan
peran orang tua.

Gambar 1. Hasil peningkatan kehadiran sekolah setelah terapi multidisiplin pada


masa rawat inap

Gambar 2. Hasil perbaikan pada rasa tidak nyaman, nyeri, kecemasan pada anak
dan remaja setelah terapi multidisiplin.
24

BAB III KESIMPULAN

Kesimpulan pada refrat ini, yakni:


1. Gangguan somatoform adalah gangguan dengan banyak gejala somatik yang
tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan
laoratorium. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 30 tahun.
2. Klasifikasi gangguan somatoform meliputi gangguan hipokondriasis, gangguan
konversi, gangguan nyeri dan dismorfik tubuh.
3. Gangguan somatoform juga dapat terjadi pada anak dan remaja. Dengan
prevalensi anak laki-laki lebih rendah daripada anak perempuan.
4. Terapi multidisiplin pada gangguan somatoform pada anak dan remaja mampu
mengurangi gejala kecemasan, depresi, rasa tidak nyaman serta meningkatkan
kehadiran sekolah.
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ and Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of
Clinical Psychiatry. New York, Lippincott Williams & Wilkins Inc.

2. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders. 4th ed. rev. Washington D.C, American Psychiatric
Association.

3. Mai F. 2004. Somatization Disorder : A Practical Review. Canadian Journal of


Psychiatry Vol. 49 (10) : 652 – 662.

4. Huwitz T. 2004. Somatization and Conversion Disorder. Canadian Journal of


Psychiatry Vol. 49 (3) : 172 – 178.

5. Oyama O, Paltoo C, Greengold J. 2007. American Family Physician Vol. 76


(9) : 1333 – 1338.

6. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan JiwaRujukan Ringkas PPDGJ-III dan


DSM-5. Jakarta:Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
2013

7. Abrahamowitz, J., & Braddock, A. E. (2010).


Hypochondriasis: Conceptualization, Treatment, and Relationship due to
Obsessive-Compulsive Disorder. Psychiatrics Clinics of North America.

8. Christogiorgos, S., Stzikas, D., Widershoven-Zervaki, M.-A., Dimitripoulou, P.,


Athanassiadou, E., & Giannakoupulou, G. (2013). Hypochondrial
Anxiety in Adolescence. The Open Mysiology Journal, 3-4.

9. Kupfer, D. J. (2013). Somatic Symptoms Criteria in DSM-V Improve


Diagnosis, Care. American Psychiatric Association.

10. Rosenfelt, H. (2008). Psychotic States. New York: Elsevier.

11. Elvira, S. D., & Hadisukanto, G. (2010). Gangguan Somatoform. Jakarta:


FKUI.

12. Pardamean E. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka


Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia : Gangguan Somatoform.
Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta Barat.

13. Heimann, P., et al. 2018. Somatic symptome and related disorders in children
and adolencent: evaluation of a naturalistic inpatient multidisiplinary
treatment. BMC Journal. Available at https://doi.org/10.1186/s13034-
018-0239-y .

Anda mungkin juga menyukai