REFERAT
GANGGUAN SOMATOFORM
DISUSUN OLEH:
ULFA MUNIRATUL FAUZIAH
H1AP14020
PEMBIMBING:
dr. Andri Sudjatmoko, Sp. KJ
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
2
LEMBAR PENGESAHAN
NPM : H1AP14020
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya
saya dapat menyelesaikan tugas refrat ini tepat pada waktunya dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Jiwa di Rumah Sakit
Khusus Jiwa Soeprapto Provinsi Bengkulu, yang berjudul ‘Gangguan
Somatoform’.
Akhir kata, disadari bahwa penyajian refrat ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
Semoga refrat ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun pembaca
pada umumnya.
Penyusun
4
BAB I PENDAHULUAN
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani yaitu “soma” yang berarti
medis yang adekuat.11 Gejala dan keluhan somatik yang terjadi cukup serius
untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau
gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial
terkait dengan adanya faktor psikologis atau konflik.1 Karena gejala tak spesifik
dari beberapa sistem organ dapat terjadi pada penderita anxietas maupun
penderita somatoform disorder.1
Penelitian menemukan bahwa sekitar 20% pasien yang datang ke klinik
dokter mengeluhkan keluhan fisik yang tidak dapat dibuktikan secara medis, dan
80% diantaranya merupakan gangguan somatoform. Somatoform, dengan
prevalensi sebesar 16,1% di seluruh dunia, adalah kumpulan gejala fisik yang
mengacu pada kondisi medis tertentu dan tidak dapat diterangkan secara jelas
dalam kondisi medis umum atau dengan gangguan mental yang lain.1
5
2.1 Definisi
Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak gejala somatik yang tidak dapat
Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 30 tahun, dapat berlanjut hingga
2.2 Epidemiologi
Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi seumur
hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum lebih banyak ditemukan pada
wanita daripada pria, yaitu diperkirakan sebanyak 0,2 sampai 2 persen pada
wanita, dan < 0,2 persen pada pria, dengan perbandingan 5:1.Prevalensi
2.3 Etiologi
Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Tidak
terdapat penyebab tunggal dari gangguan somatisasi, sebagaimana sebagian besar
kasus psikiatri lainnya, gangguan ini merupakan hasil akhir dari interaksi faktor
genetik dengan berbagai peristiwa di kehidupan individu. Teori terkini mengenai
terdapat perubahan dari “sakit psikologis” menjadi “sakit fisik”.4 Gejala somatik
menjumpai orang tua atau saudara yang sakit (terutama penyakit kronis atau berat)
dapat mengalami gangguan somatoform ketika dewasa. Etnik, pendidikan, dan
gender juga merupakan faktor sosial yang relevan terhadap somatisasi. Terdapat
korelasi tinggi antara somatisasi dan etnik, kelas sosial rendah dengan tingkat
edukasi minimal, dan jenis kelamin wanita.Selain itu, jenis kepribadian juga
diduga mempengaruhi gangguan somatisasi. Pasien gangguan somatisasi yang
memiliki ciri kepribadian kelompok B (dependen, histrionic, agresif-sensitif)
tampak sejumlah 2 kali lipat dari pasien dengan anxietas atau depresi.3
b. Faktor Organik
patologi otak, seperti epilepsy dan multiple sclerosis, namun asosiasi ini
ditemukan hanya pada 3% pasien.6 Diduga juga bahwa disfungsi atensi dan
kognitif yang berhubungan dengan inhibisi stimulasi aferen terdapat pada pasien
(terutama pada lobus frontalis dan hemisphere yang tidak dominan),
menghasilkan persepsi yang tidak tepat dan kesalahan penilaian input
(3) satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau
reproduksi selain nyeri(cnt: ketidakpedulian terhadap seks,
disfungsiereksi atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan
menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
hamil)
(4) satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau
deficit yang mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada
nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis, atau kelemahan lokal, kesulitan menela,
atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin, halusinasi,
hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli,
kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang kesadaran
selain pingsan)
C. Baik (1) atau (2) :
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala Kriteria B tidak dapat
dijelaskan secara utuh dengan keadaan medis umum yang
diketahui atau efek langsung suatu zat (cnt : penyalahgunaan obat,
pengobatan)
(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya
sosial atau pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang
diperkirakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat seperti pada
gangguan buatan atau malingering
telinga, dan nyeri kronis pada bahu, leher, punggung, dan kaki.5
somatoform sendiri juga harus dibedakan dengan gangguan psikiatri lain, seperti
berikut.4
2.6 Tatalaksana
2.7 Klasifikasi
2.7.1 Hipokondriasis
2.7.1.1 Definisi
dirinya sedang mengalami penyakit yang serius, mungkin suatu penyakit yang
akibat dari interpretasi yang salah terhadap gejala penyakit yang dialaminya.
2.7.1.2 Etiologi
yang masih belum terdeteksi meskipun telah dilakukan hasil lab dengan hasil
yang negatif. Pada permulaan mungkin diawali dengan satu penyakit, namun
seiring berjalannya waktu, kayakinan ini dapat ditransfer ke penyakit yang lain.
Namun demikian, keyakinan mereka tidak seperti pada waham. Pada umumnya
ditemukan pula gangguan kecemasan dan depresi.9
Meskipun kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah
setelah terjadi stress mayor, misalnya kematian orang terdekat pasien akibat
penyakit tertentu. Pada umumnya kondisi ini akan sembuh dengan sendirinya,
2. Pendekatan fungsional
Melalui cara ini, dokter dapat mengetahui apa yang membuat pasien menganggap
penyakitnya sangat serius. Karena belum adanya skala khusus untuk pengukuran
placebo.8
4. Psikoterapi
berlangsung mungkin sepanjang hidup dengan gejala yang hilang timbul selama
parsial namun demikian masih membuat pasien mencari bantuan dokter. Remisi
total sangat jarang terjadi. Faktor sosial-ekonomi, tidak adanya kelainan perilaku
lain, dan tidak adanya kondisi medis lain yang menyertai dapat memungkinkan
bepergian jauh. Dokter yang tidak mengenali gejala hipokondriasis sejak awal
merasa sulit dalam membedakannya. Sepetiga kejang semu pada pasien gangguan
konversi juga memiliki gangguan epileptik. Menggigit lidah, inkontinensia urin
dan cedera setelah jatuh dapat terjadi pada kejang semu walaupun gejala ini
umumnya tidak ada. Refleks pupil dan muntah tetap ada setelah kejang semu dan
konsentrasi prolaktin pasien tidak mengalami peningkatan setelah kejang.
Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang
yang bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang menjadi model
bagi pasien.
2.7.2.5 Diagnosis1
DSM-IV-TR membatasi diagnosis gangguan konversi pada gejala yang
mempengaruhi fungsi sensorik dan motorik volunter yaitu gejala neurologis,
yakni:
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi fungsi sensorik atau
motorik volunter yang mengesankan adanya keadaan neurologis atau
keadaan medis umum lain.
B. Faktor psikologis dinilai terkait dengan keadaan gejala maupun defisit
karena awal atau perburukan gejala atau defisit didahului konflik atau
stresor lain.
C. Gejala atau defisit ditimbulkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti
pada gangguan buatan atau malingering)
D. Setelah pemeriksaan yang sesuai, gejala atau defisit tidak dapat benar-
benar dijelaskan oleh keadaan medis umum atau oleh efek langsung suatu
zat, maupun sebagai perilaku atau pengalaman yang disetujui budaya.
E. Gejala atau defisit menyebabkan distress yang bermakna secara klinis atau
hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lain, atau
memerlukan evaluasi medis.
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak
hanya terjadi selama perjalanan gangguan somatisasi, dan sebaiknya tidak
disebabkan gangguan jiwa lain.
Tentukan tipe gejala atau defisit:
Dengan gejala atau defisit motorik
18
pada tubuhnya. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta,
hukuman terhadap kesalahan, dan menebus rasa bersalah atau perasaan bahwa
dirinya jahat.
2. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan
atau diberi hukuman.
3. Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi
dan memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal
4. Faktor biologis
Defisiensi endorfin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik
yang datang
2.7.3.2 Manifestasi Klinis
Rasa nyeri pasien dapat berupa neuropatik, neurologis, iatrogenik atau
muskuloskeletal. Meskipun demikian, untuk memenuhi diagnosis gangguan nyeri,
gangguan tersebut harus memiliki faktor psikologis yang dinilai secara signifikan
terlibat dalam gejala nyeri dan percabangannya. Pasien dengan gangguan nyeri
sering memiliki riwayat perawatan medis dan pembedahan yang panjang.
Gangguan nyeri seringkali disertai dengan gangguan depresif serta gangguan
ansietas. Adapun gejala depresif yang paling menonjol adalah anergia, anhedonia,
libido berkurang, insomnia, dan iritabilitas, variasi diurnal, dan turunnya berat
badan.1
2.7.3.3 Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV-TR1
A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis adalah fokus dominan
gambaran klinis dan cukup parah sehingga memerlukan perhatian klinis
B. Nyeri menimbulkan distres yang secara klinis bermakna atau hendaya
fungsi sosial, pekerjaan, dan area fungsi penting lain
C. Faktor psikologis dinilai memiliki peranan penting dalam awitan,
keparahan, eksaserbasi, atau menetapnya nyeri
D. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau dibuat-buat
20
2.7.4 .1 Etiologi
Etiologi dari gangguan ini tidak diketahui, tapi diyakini berasosiasi dengan
gangguan depresi. Selain itu, konsep stereotipik tentang kecantikan atau
keindahan yang dianut dalam keluarga atau budaya tertentu akan berpengaruh
besar pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik.1
2.7.4 .2 Manifestasi Klinis
Kekhawatiran yang paling lazim mencakup ketidaksempurnaan wajah,
terutama yang meliputi anggota tubuh tertentu (contohnya hidung) dimana
kekhawatiran tersebut bersifat samar dan sulit dimengerti. Gejala terkait yang
lazim ditemukan mencakup gagasan atau waham rujukan (biasanya mengenai
orang yang memperhatikan ketidaksempurnaan tubuh), baik mengaca berlebihan
maupun menghindari permukaan yang dapat memantul, serta menyembunyikan
sesuatu yang dianggap deformitas dengan tata rias atau pakaian.1
2.7.4 .3 Diagnosis1
A. Preokupasi mengenai defek khayalan terhadap penampilan. Jika terdapat
sedikit anomali fisik, kepedulian orang tersebut sangat berlebihan.
B. Preokupasi ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan area fungsi penting lain.
C. Preokupasi ini tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan jiwa lain,
contohnya ketidakpuasan akan bentuk tubuh dan ukuran pada anoreksia
nervosa.
2.7.4 .4 Perjalanan Gangguan dan Prognosis
Awitan gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang
mengalami gangguan ini dapat mengalami kekhawatiran yang bertambah
mengenai bagian tubuh tertentu sampai orang tersebut memperhatikan bahwa
fungsinya terganggu. Setelah itu, pasien akan berusaha mencari pertolongan medis
atau bedah untuk menyelesaikan masalah yang diduga. Tingkat kekhawatiran
mengenai masalah ini dapat memburuk dan membaik seiring waktu walaupun
cenderung memburuk bila tidak ditangani.1
2.7.4 .5 Terapi
Obat trisiklik seperti monoamne oxidase inhibitors dan pimozide dapat
berguna untuk beberapa kasus gangguan dismorfik tubuh. Pasien kerap kali
22
Gambar 2. Hasil perbaikan pada rasa tidak nyaman, nyeri, kecemasan pada anak
dan remaja setelah terapi multidisiplin.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ and Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of
Clinical Psychiatry. New York, Lippincott Williams & Wilkins Inc.
13. Heimann, P., et al. 2018. Somatic symptome and related disorders in children
and adolencent: evaluation of a naturalistic inpatient multidisiplinary
treatment. BMC Journal. Available at https://doi.org/10.1186/s13034-
018-0239-y .