Anda di halaman 1dari 9

GANGGUAN SOMATOFORM

No ICD-10 :
No IPCP-2 :
Tingkat Kompetensi :

PENDAHULUAN
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani, soma yang berarti tubuh. Gangguan ini
merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen utama dan gejala
utamanya adalah tubuh. Gangguan ini mencakup interaksi tubuh-pikiran (body-mind).
Pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan adanya kaitan dengan keluhan
pasien.
Gangguan Somatoform adalah gangguan yang bersifat psikologis, tetapi tampil dalam
bentuk gangguan fisik yang melibatkan pola neurotik yang didasari anxiety. Individu
mengeluh simtom simtom jasmaniah yang memberikan tanda seolah olah ada masalah
fisik, tapi pada kenyataannya tidak ada landasan organis yang ditemukan.
Berbagai simptom dan keluhan somatik tersebut cukup serius sehingga menyebabkan stres
emosional dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam kehidupan
sosial dan pekerjaan. Diagnosis ini diberikan apabila diketahui bahwa faktor psikologis
memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta
lamanya gangguan dialami.
Prevalensi gangguan somatoform ini sendiri masih cukup variatif. Sebuah meta-analisis
dari 32 studi yang dilakukan di layanan primer dengan menggunakan 2 instrument yan
berbeda yaitu, ICD-10 dan DSM 5 menunjukkan adanya perbedaan angka. Dengan
prevalensi masing-masing 40% dan 49%. Sebagian besar gangguan somatoform dimulai
pada usia 20 tahun dan terutama terjadi pada wanita, sebanyak 1% dari seluruh wanita.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)


Setelah menyelesaikan modul ini, maka mahasiswa diharapkan mampu menguatkan
kompetensinya pada gangguan Somatoform
TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)
Setelah menyelesaikan modul ini, maka mahasiswa mampu:
1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, patogenesis dan
patofisiologi, akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, epidemiologis, farmakologis, diet, olah
raga atau perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
Mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan penyakit dengan melibatkan pasien,
anggota keluarga dan masyarakat untuk mencegah kekambuhan.

DEFINISI
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform
adalah gangguan yang tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan
disebut gangguan buatan.
Ada lima gangguan somatoform yang spesifik adalah:
1. Gangguan somatisasi, ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem
organ.
2. Gangguan konversi, ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
3. Hipokondriasis, ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
4. Gangguan dismorfik tubuh, ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang
berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
5. Gangguan nyeri, ditandai oleh gejala nyeri yang sematamata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.

ETIOLOGI
Penyebab dari somatoform tidak diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa kondisi
yang mendasari gangguan somatoform dan cukup bervariasi, tergantung pada kondisi
klinis dari masing-masing klasifikasi dari gangguan somatoform ini. Adapun etiologi
tersebut, yaitu:
1. Faktor psikososial
Gejala-gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk
menghindari kewajiban, mengeskspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan, Aspek
pembelajaran (learning behavior) menekankan bahwa pengajaran dari orangtua, contoh
orangtua, dan budaya mengajarkan pada anak untuk menggunakan somatisasi. Faktor
social, kultur dan etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan gejala-gejala somatisasi.
2. Faktor biologis
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi.
Terjadi pada 10-20% wanita turunan pertama, sedangkan pada saudara laki-lakinya
cenderung menjadi penyalahguna zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada
kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot 10%.
3. Faktor psikoanalitik
Gangguan konversi seringkali didasari oleh represi konflik-konflik intrapsikis yang
tidak disadari dan konversi dari kecemasan ke dalam gejala fisik. Konflik terjadi antara
dorongan insting (agresi ataupun seksual) melawan larangan untuk mengekspresikan
hal tersebut. Misalnya, seorang wanita remaja mengalami kehilangan kesadaran
(pingsan) sebagai respon dari kekecewaanya setelah mengalami konflik dengan
pacarnya. Ia menggunakan reaksi ini sebagai bentuk penghindaran terhadap kondisi
realita yang terjadi pada dirinya saat ini. Melalui gejala konversi ini pasien berusaha
menyampaikan bahwa dirinya membutuhkan perhatian dan penanganan khusus.
4. Teori pembelajaran
Menurut conditional learning theory, gejala konversi dapat dilihat sebagai perilaku
yang dipelajari secara klasik conditioning. Gejala-gejala penyakit yang dipelajari sejak
masa kanak, akan digunakan sebagai coping dalam situasi yang tidak disukainya.
5. Teori distorsi kognitif
Pasien dengan hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah. Mereka cenderung
sering sekali salah mengintepretasikan sensasi fisik. Sebagai contoh, seseorang yang
secara normal mempersepsikan sebagai rasa kembung, oleh pasien hipokondriasis
dirasakan sebagai sakit perut. Pasien hipokondriasis cenderung menambah dan
memperbesar sendiri keluhan somatik yang dialaminya.
6. Teori psikodinamik
Berdasarkan teori ini, dorongan agresivitas dan permusuhan yang ditujukan kepada
orang lain dipindahkan (melalui mekanisme represi dan displacement) ke dalam
keluhan-keluhan somatik. Kemarahan pasien hipokondriasis berasal dari ketidakpuasan,
penolakan dan kehilangan di masa lalu. Namun, hipokondriasis juga dipandang sebagai
pertahanan terhadap rasa bersalah, dan sebagai tanda dari kepedulian berlebihan
terhadap diri sendiri.
7. Faktor interpersonal
Beberapa kondisi dari gangguan somatoform ini didasari oleh suatu hal yang bertujuan
untuk memanipulasi dan memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal,
misalnya untuk memastikan kesetiaan anggota keluarga atau menjaga stabilitas suatu
hubungan. Dimana hal ini dilakukan diluar kendali atau kesadarannya.

PETA KONSEP

Faktor Genetik

Faktor Psikososial

Teori Psikodinamik

Gangguan Somatoform
Teori Psikoanalitik

Faktor Interpersonal
Pemeriksaan Status Mental Anamnesis

Teori Distorsi
Kognitif

Gangguan Nyeri Gangguan Dismorfik Tubuh Gangguan Hipokondriasis


Gangguan Somatisasi
FAKTOR RESIKO
1. Genetik
2. Riwayat keluarga yang sering mengalami penyakit
3. Kecenderungan berpikir negatif
4. Lebih mudah merasakan nyeri secara fisik ataupun merasa terganggu secara emosi
karena nyeri
5. Penyalahgunaan NAPZA
6. Pernah menjadi korban kekerasan fisik atau pelecehan seksual
7. Kepribadian histrionik dan cemas menghindar
8. Wanita
9. Usia muda

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS
Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang terjadi berulang-
ulang dan disertai permintaan pemeriksaan medis meskipun sudah berkali-kali terbukti
hasilnya negatif dan sudah dijelaskan bahwa tidak ditemukan kelainan medis yang
mendasari keluha-keluhan yang terjadi. Pasien biasanya juga menyangkal atau menolak
untuk membahas tentang permasalahan atau konflik yang dialaminya, bahkan meskipun
telah didapatkan tanda-tanda depresi dan anxietas.
PEMERIKSAAN FISIK DAN STATUS MENTAL
Pemeriksaan fisik pada pasien gangguan somatoform tidak ditemukan kelainan yang
berarti yang dapat mendasari keluhan-keluhan fisiknya.
Pada pemeriksaan status mental, simptom yang mencolok adalah tilikan/insight yang
buruk. Pasien umumnya tidak menyadari bahwa kekhawatiran terhadap keluhan fisiknya
adalah berlebihan dan tidak mendasar. Pada kasus ini juga harus dipastikan bahwa tidak
ada keyakinan yang mengarah kepada waham, karena jika terdapat waham maka gangguan
ini dapat lebih tepat disebut sebagai gangguan waham.
DIAGNOSIS KLINIS
A. Gangguan Somatisasi
Adapun kriteria diagnosis gangguan somatisasi adalah sebagai berikut:
1. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan
gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
2. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada
sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
a. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat
tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi,
anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau
selama miksi)
b. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain
nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau
intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)
c. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif
selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi,
menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
kehamilan).
d. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang
mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala
konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau
kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia, retensi
urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan,
ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain
pingsan).
3. Salah satu (1) atau (2):
a. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek
langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
b. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium. Gejala tidak
ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau pura-
pura).

B. Gangguan Konversi
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi:
1. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau
sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.
2. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena
awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor
lain.
3. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpurapura).
4. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan
sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau
sebagai perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural.
5. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan
pemeriksaan medis.
6. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan
dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.

Tipe gejala atau defisi :


1. Dengan gejala atau defisit motorik
2. Dengan gejala atau defisit sensorik
3. Dengan kejang atau konvulsi
4. Dengan gambaran campuran

C. Gangguan Hipokondriasis
Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis, yaitu:
1. Pereokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita suatu
penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala
gejala tubuh.
2. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan
penentraman.
3. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan
delusional, tipe somatik) dan tidak terbatas pada kekhawatiran tentang penampilan
(seperti pada gangguan dismorfik tubuh).
4. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara kilnis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
5. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.
6. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum,
gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, gangguan depresif berat, cemas
perpisahan, atau

D. Gangguan Dismorfik Tubuh


Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh, yaitu:
1. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit
anomaly tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata.
2. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
3. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).
E. Gangguan Nyeri
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri, yaitu :
1. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan
cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis.
2. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
3. Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan,
eksaserbasi atau bertahannya
4. nyeri.
5. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpurapura).
6. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau
gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
DIAGNOSIS BANDING
1. Kondisi medis umum yang terkadang sulit terdiagnosis seperti AIDS, endokrinopati,
sclerosis multiple, dan sebagainya. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk menyingkirkan diagnosis ini.
2. Gangguan waham
3. Nyeri organik
4. Malingering (sakit buatan untuk mendapatkan keuntungan finansial maupun agar
terbebas dari hokum)
5. Factitious disorder
6. Psikosomatis
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Pada gangguan somatoform tidak ada terapi spesifik. Untuk penanganan yang efektif
diperlukan adanya hubungan teurapetik yang adekuat antara dokter dan pasien. Terapi
psikologis baik individual maupun kelompok dapat berpengaruh besar apabila pasien
menginginkan. Obat-obatan dapat digunakan dengan indikasi tepat misalnya terdapat
ansietas atau depresi berat. Dokter juga diharapkan dapat mengurangi stres yang dialami
oleh pasien. Pendekatan psikoterapi melalui Cognitif Behaviour Therapy (CBT) akan
sangat membantu pasien mengatasi keluhan-keluhan somatiknya. Pendekatan melalui CBT
ini dapat membantu pasien untuk merubah cara berfikir/kognitifnya sehingga akan
didapatkan perubahan dari perilakunya.
TERAPI FARMAKOLOGIS
Penggunaan psikofarmaka didasarkan pada keluhan klinis pasien. First line therapy yang
dapat diberikan adalah antidepressant golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor –
(SSRI), namun dibutuhkan pengawasan yang ketat mengingat pasien dengan gangguan
somatoform cenderung akan sering berganti-ganti obat.
Pilihan psikofarmaka, dapat berupa:
Nama dagang Dosis Keterangan
Fluoxetine Capsul 10-20 mg Dosis awal: 20 mg per hari
Dosis dapat dibagi ke dalam 2 jadwal konsumsi. Dosis
dapat ditingkatkan hingga 60 mg per hari.
Sertraline Tablet 50 mg Dosis awal: 50 mg oral sekali sehari.
Dosis pemeliharaan: Dapat meningkatkan seminggu
sekali dengan peningkatan 50 mg per minggu, untuk
penggunaan maksimal 200 mg sekali sehari.
Citalopram Tablet 20 mg Dosis awal:10 mg/hari.
Dosis dapat ditingkatkan hingga maksimal 20 mg/hari
setelah 1 minggu pemakaian.
Paroxetine Tablet 20 mg  Dosis awal: 20 mg
 Sekali minum sekali sehari dengan atau tanpa makanan,
biasanya di pagi hari.
 Dosis pemeliharaan: 20 sampai 50 mg
 Perubahan Dosis: Dosis dapat ditingkatkan sebesar 10
mg per hari kenaikan dengan interval minimal satu
minggu
Fluvoxamine Tablet 50 mg Dosis awal tablet immediate-release: 50 mg oral Sekali
sehari pada waktu tidur
Dosis pemeliharaan: 100 sampai 300 mg per hari. Dosis
dapat ditingkatkan di 50 mg bertahap setiap 4 – 7 hari,
jika dapat ditoleransi, sampai manfaat terapeutik tercapai
optimal.
KONSELING DAN EDUKASI
1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi yang dialami
2. Menjelaskan bahwa pasien membutuhkan terapi psikologis
3. Menjelaskan bahwa pasien perlu bersikap terbuka untuk kepentingan penyembuhan

KRITERIA RUJUKAN
1. Apabila pasien tidak menunjukkan perbaikan dengan pendekatan psikologis dari dokter
lini pertama
2. Apabila keluhan pasien semakin memberat misalnya terdapat depresi berat hingga
ancaman bunuh diri

KOMPLIKASI
Penangana gangguan somatoform yang tidak adekuat akan berlanjut menjadi gangguan
kejiwaan lainnya, antara lain:
1. Gangguan waha
2. Skizofrenia
3. Depresi
4. Gangguan cemas menyeluruh
5. Panik

PROGNOSIS
Gangguan somatoform bersifat fluktuatif dan kronis. Kondisi pasien dapat memburuk
apabila terdapat stress.
PENCEGAHAN
Gangguan somatoform ini didasari oleh kecemasan yang dapat bersifat genetik. Namun
faktor psikososial turut berperan. Sehingga upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah
dengan mengendalikan emosi, bersikap terbuka terhadap permasalahan psikososial, segera
mencari bantuan jika dalam kondisi stress/ tekanan dan mengenali faktor resiko terjadinya
gangguan somatoform.

DAFTAR PUSTAKA
1. Diagnostic Criteria from DSM-5. 1st ed. Washington; American Psychiatric
Association. 2013
2. Hadisukanto, G, Somatorm dalam Buku Ajar Psikiatri, FK UI, Jakarta, 2010, 265-80
3. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/ Clinical Psychiatry,
11th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2015.
4. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Edisi I. Jakarta;
Departemen Kesehatan. 1993
5. Piontek, K, Shedden, M, Gladiu, M, Kuby, A, Lowe, B, Diagnosis of somatoform
disorders in primary care: diagnostic agreement, predictors, and comaprisons with
depression and anxiety, BMC Psychiatry Piontek et al. BMC Psychiatry (2018) 18:361,
2-9

Anda mungkin juga menyukai