Anda di halaman 1dari 17

Gangguan Somatoform

1. Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani “soma” yang berarti tubuh.1
2. Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan dimana2 :
a. Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun tidak
dapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung penyakit fisik
sebagai penyebab gejala
b. Adanya dugaan kuat bahwa gejala- gejala tersebut berkaitan dengan faktor
psikologis
3. Gangguan ini mencakup interaksi antara tubuh dengan pikiran (body-mind
interaction).
4. Gangguan-gangguan yang termasuk di dalam kategori “gangguan somatoform”
memiliki beberapa ciri umum yang sama2 :
a. Manifestasi stres psikologik menjadi gejala somatik
b. Perilaku sakit yang abnormal (abnormal illness behavior) yaitu disebabkan
adanya ketidaksesuaian antara pengertian yang ditangkap pasien tentang
kondisi sakitnya (perceived illness) dengan penyakit yang dialaminya
(documented disease)
c. Adanya amplifikasi, yaitu dimana sensasi dari gejala fisik mengakibatkan rasa
cemas (anxiety), kemudian rasa cemas dan aktivasi autonomik yang
diasosiasikan dengan rasa cemas tersebut mengakibatkan eksaserbasi gejala
fisik.
d. Penderitaan (distress) yang bermakna dan seringnya angka kunjungan untuk
pelayanan medis

I. Klasifikasi Gangguan Somatoform


Terdapat beberapa versi penggolongan gangguan somatoform.4
1. Menurut ICD-10/PPDGJ-III
a. Gangguan somatisasi (F.45.0)
b. Gangguan somatoform tidak terinci (F.45.1)
c. Gangguan hipokondrik (F 45.2)
d. Disfungsi otonomik somatoform (F 45.3)
e. Gangguan nyeri somatoform menetap (F 45.4)
f. Gangguan somatoform lainnya (F. 45.8)

II. Gangguan Somatisasi


1. Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari gangguan
somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan berbagai sistem organ tidak
dapat dijelaskan secara medis. 2
Beberapa bentuk kronis dari proses somatisasi tidak dapat memenuhi kriteria
gangguan somatisasi, sehingga dimasukkan dalam kategori gangguan
somatoform tidak terinci (lihat bab selanjutnya).
2. Prevalensi gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :
a. Prevalensi sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Rasio
wanita : pria adalah 5:1. Onset biasanya dimulai saat remaja
b. Adanya asosiasi antara sexual abuse dengan gangguan somatisasi. Pada
pasien-pasien semacam ini gejala umumnya berupa nyeri pelvik kronik dan
gangguan gastrointestinal fungsional
3. Etiologi gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :
a. Faktor Psikososial
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial gejala
gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk
menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimpulkan
perasaan. Pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan budaya dapat
mengakibatkan pasien terbiasa menggunakan somatisasi.1
b. Faktor Biologis
Transmisi genetik yang berperan dalam gangguan somatisasi terjadi pada 10-
20% wanita turunan pertama sedangkan saudara laki-lakinya cenderung
menjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada
kembar monozigot transmisi terjadi 29% sedangkan dizigot 10%.1
4. Presentasi Klinis
Pasien yang memiliki gangguan somatisasi datang dengan keluhan somatik yang
banyak serta riwayat yang rumit. Bahkan terkadang pasien sudah melakukan
pemeriksaan dengan alat-alat canggih. Gejala umum yang dikeluhkan adalah
mual, muntah, sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek,
amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi. Pasien beranggapan ia sakit
sepanjang hidupnya. Sering terdapat gejala neurologik seperti gangguan
keseimbangan, merasa ada gumpalan di tenggorokan, afonia, retensi urin, hilang
modalitas sensorik raba dan nyeri, buta, bangkitan, hilang kesadaran bukan
karena pingsan. 1
Pasien merasa menderita dan sering mengalami depresi serta kecemasan.
Ancaman bunuh diri sering dilaporkan namun angka bunuh diri aktual sangat
jarang. Pasien gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri, terpusat pada diri,
haus penghargaan, serta manipulatif.
5. Menurut DSM-IV-TR, gangguan somatisasi memiliki kriteria diagnosis sebagai
berikut1,2,3,4:
a. Riwayat gejala fisik yang banyak (atau suatu keyakinan bahwa dirinya sakit)
yang mulai sebelum usia 30 tahun, berlangsung selama beberapa tahun, dan
mengakibatkan perilaku mencari pertolongan medis (”medical seeking
behavior”) atau hendaya yang bermakna.
b. Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi kapanpun
selama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus dipenuhi. Gejala-
gejala yang dimaksud antara lain:
i. 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau fungsi yang berbeda
meliputi kepala dan leher, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada,
rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, dan saat
berkemih)
ii. 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual, kembung, muntah,
diare, dan intoleransi makanan)
iii.Satu gejala seksual (kehilangan keinginan seksual, disfungsi seksual,
mens ireguler, perdarahan mens yang berlebihan, muntah-muntah selama
hamil)
iv. Satu gejala pseudoneurologik yang bukan nyeri (meliputi gangguan
keseimbangan, kelemahan, kesulitan menelan, afonia, retensi urin,
halusinasi, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, disosiasi, dan
kehilangan kesadaran)
c. Gejala-gejala tersebut bukanlah akibat gangguan kondisi medis, ataupun kalau
terdapat gangguan kondisi medis, gejala dan efeknya pada pasien melebihi dari
apa yang biasanya dapat disebabkan gangguan kondisi medis tersebut.
d. Gejala-gejala tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat secara sengaja atau
berpura-pura
6. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis biasanya
ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai saat remaja.
Masalah menstruasi merupakan gejala paling dini yang muncul pada wanita.
Keluhan seksual sering berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode
keluhan yang ringan 6-9 bulan, sedangkan yang berat 9-12 bulan. Biasanya
pasien sudah memulai mencari pertolongan medis sebelum 1 tahun.
7. Tatalaksana
a. Pendekatan untuk tatalaksana gangguan somatisasi harus bersifat realistis dan
berfokus pada care dan bukan cure.
b. Beberapa poin klinis yang bermanfaat, berdasarkan asumsi bahwa adanya
kebutuhan psikologis yang merupakan penyebab mendasar dari gangguan
somatisasi:
i. Pasien tidak selalu mencari kesembuhan tetapi mungkin menginginkan
adanya relasi dengan praktisi
ii. Pasien ingin dokter mengakui bahwa dirinya sakit
iii. Berikan reassurance (dukungan) secara lambat dan berhati-hati. Pasien
seringkali tidak suka dan menolak (resisten) dengan pernyataan-
pernyataan bahwa dirinya tidak sakit, bahwa gejalanya bersumber dari
emosi/psikis.
iv. Hindari dikotomi tubuh-pikiran dalam menginterpretasikan gejala
v. Tunjukkan kepedulian pada distress pasien dan tunjukkan keinginan
untuk menolong
vi. Hindari penjelasan prematur mengenai hubungan antara gejala fisik dan
fenomena psikologis. Lakukan penjelasan secara bertahap yang
membuat pasien mengerti dan menganggapnya serius. Hindari saran-
saran yang menyatakan bahwa segala masalah terletak dalam “kepala”
pasien
vii. Targetkan optimalisasi fungsi

 Usahakan untuk mengerti sumber stres dan sarana coping, serta


tetapkan target untuk perilaku adaptasi yang lebih baik
 Tanamkan agar pola perilaku dan komunikasi pasien jangan seperti
orang sakit terus menerus. Kapan saja bila memungkinkan,
bicarakan hal-hal lain dan diskusikanlah selain daripada gejala
fisik
 Ajarkan bahwa adanya relasi erat antara tubuh, otak, dan pikiran
dengan menggunakan contoh-contoh sederhana yang bisa diterima
pasien (muka memerah bila merasa malu, mulut kering bila
berbicara di depan umum, sesak dan jantung berdegup cepat bila
cemas, sakit kepala bila tegang)
c. Buat jadwal pertemuan terencana, misalnya 1 bulan sekali
d. Batasi penggunaan alat diagnostik dan obat-obatan. Beberapa pemeriksaan
fisik yang terfokus dan pemeriksaan lab yang kadang-kadang saja sifatnya.
Tanda (sign) harus lebih diandalkan daripada gejala (symptoms)
e. Terapi kelompok dan terapi kognitif-perilaku dapat bermanfaat
f. Belum terdapat psikofarmaka yang efektif untuk mengatasi gejala gangguan
somatisasi, dan hanya dianjurkam bila terbukti ada komorbid gangguan
psikiatris lainnya.
8. Prognosis
Gangguan somatisasi cenderung bersifat kronis dan berfluktuasi. Remisi total
jarang tercapai. Dengan tatalaksana yang tepat maka distress dapat dikurangi
namun tidak dapat sama sekali dihilangkan.

III. Gangguan Somatoform Tidak Terinci


Pasien yang memiliki riwayat gangguan somatisasi dan pada kunjungan tidak
memenuhi kriteria lengkap (jumlah dan lokasi spesifik) dari gangguan somatisasi
dimasukkan sebagai gangguan somatoform tidak terinci (undifferentiated somatoform
disorder), yang cirinya adalah4 :
a. Satu atau lebih gejala fisik selain nyeri (lelah, hilang nafsu makan, gejala
gastrointestinal atau berkemih)
b. Gejala bukan akibat kondisi medis umum, yang kalaupun ada, tidak diperkirakan
memiliki dampak yang sedemikian berlebihan pada pasien
c. Gejala bukan dibuat-buat dan disengaja
d. Durasi 6 bulan atau lebih
e. Bukan diakibatkan gangguan mental lain seperti depresi
IV. Gangguan Konversi
1. Gangguan konversi didefinisikan sebagai kehilangan fungsi tubuh yang tidak
sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi.
DSM-IV membatasi gangguan konversi hanya pada gejala neurologik.
2. Epidemiologi
Data statistik yang dimiliki saat ini terbatas, dan angka prevalensi diperkirakan 1-
3% dari jumlah kunjungan rawat jalan. Angka berbeda untuk setiap jenis
populasi. 5-15% kasus gangguan konversi pada pasien yang memerlukan
konsultasi di sebuah rumah sakit umum dilaporkan oleh beberapa peneliti. Di
Amerika Serikat, terdapat rumah sakit veteran dimana 25-30% pasiennya
mengalami gangguan konversi. Gangguan konversi jauh lebih umum pada
wanita, populasi pedesaan, penduduk negara berkembang, orang-orang status
sosioekonomi rendah, anggota militer yang pernah terpapar medan perang, dan
pengetahuan medis yang rendah.
3. Etiologi
a. Faktor Psikoanalitik
Sesuai nama gangguan ini yaitu “konversi”, menurut teori psikoanalitik
pasien-pasien tersebut memiliki konflik alam bawah sadar yang tidak
terselesaikan. Konflik terjadi ketika muncul hasrat tetapi oleh alam bawah
sadar dikenali sebagai sesuatu yang terlarang. Konflik ini menimbulkan suatu
kecemasan yang kemudian demi mengurangi rasa cemas itu maka
dikonversikan menjadi gejala fisik yang sebetulnya adalah ekspresi samar dari
hasrat terlarang tersebut. Misalnya pasien gangguan konversi dengan gejala
vaginismus mengeluarkan gejala tersebut untuk melindungi pasien dari konflik
akibat hasrat seksual yang terlarang. Jadi dapat disimpulkan pada gangguan
somatoform gejala-gejalanya bersifat simbolik.
b. Faktor Pembelajaran
Ada teori yang menyebutkan gejala konversi dapat dilihat sebagai perilaku
yang dapat dipelajari secara classic conditioning.
c. Faktor Biologis
Terjadi hipometabolisme pada area hemisfer serebri yang dominan dan
hipermetabolisme pada area yang non-dominan
4. Gejala Klinis
Dapat terjadi berbagai macam gejala neurologis pada gangguan konversi.
Presentasi klinis yang dianggap paling umum adalah psychogenic non-epileptic
seizure (pseudoseizure). Gejala pseudoneurologik berupa kelemahan ekstremitas
lebih jarang. Gejala konversi yang ringan kadang-kadang terjadi, misalnya nyeri
dada pada saat kehilangan orang yang dicintai.
5. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis menurut DSM-IV adalah1,2,3,4 :
a. Satu atau lebih gejala atau defisit motorik volunter atau sensorik yang
diperkirakan sebagai suatu kondisi neurologis atau kondisi medik umum
lainnya
b. Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala dan defisit karena permulaan
atau eksaserbasi gejala dan defisit didahului stressor psikologis
c. Gejala atau defisit tidak dengan sengaja dibuat atau berpura-pura
d. Gejala atau defisit setelah cukup penelusuran tidak dapat dijelaskan secara
penuh sebagai kondisi medik umum atau sebagai akibat langsung dari zat, atau
secara kultural sebagai perilaku atau pengalaman penebusan.
e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan atau hendaya yang bermakna
secara klinis di bidang sosial, pekerjaan atau fungsi lain atau menuntut
evaluasi medis
f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan bukan karena
gangguan mental lainnya.
6. Perjalanan Penyakit
Hampir semua gejala awal (90-100%) dari pasien dengan gangguan konversi
membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari sebulan. Sebanyak 75%
pasien tidak pernah mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami
episode tambahan saat stresor psikis muncul kembali. 1,2
7. Tatalaksana
Sebelum memulai tatalaksana kita perlu kembali pada pemahaman teori
gangguan konversi bahwa gejala merupakan suatu bentuk perlindungan pasien
terhadap kecemasan akibat konflik intrapsikik. Menghilangkan mekanisme
defense ini (misal melalui hypnosis) akan membuat pasien merasa rentan dan tak
berdaya, sehingga penanganan haruslah memperhatikan stresor psikologis yang
mendasari munculnya gejala konversi.2
a. Terapi non farmakologis
Sugesti yang kuat serta pendidikan yang empatik sangat penting. Mirip dengan
gangguan somatisasi pasien perlu diajarkan hubungan erat antara pikiran, otak,
dan tubuh. Dokter perlu berbicara secara apa adanya tentang definsi dan
pemahaman medis terkini mengenai gangguan konversi serta berbicara dengan
yakin bahwa gejala ini akan sembuh dengan cepat
b. Wawancara pasien dibawah pengaruh amobarbital atau hypnosis2
Ketika sugesti dan edukasi tidak berhasil dilakukan, maka teknik amobarbital
dan hypnosis dapat dicoba. Penggunaan teknik ini membutuhkan pelatihan dan
pengalaman, dapat membantu praktisi untuk memasuki wilayah konflik
intrapsikis yang sebelumnya ditutup oleh pasien. Selama masa “altered-state”
pasien dapat mengalami penurunan gejala karena efek relaksasi. Amobarbital
sendiri perlu diingat adalah obat anti kejang sehingga ia dapat mengurangi
gejala kejang akibat real-seizure.
i. Indikasi terapi ini :

 Pemulihan fungsi pseudoneurologik


 Membedakan gangguan konversi dengan malingering
 Abreaksi gangguan strest pasca trauma
 Pemulihan memory akibat fugue psikogenik dan amnesia
ii. Kontraindikasi terapi ini

 Kontraindikasi absolut berupa riwayat alergi dan porfiria


 Infeksi atau sumbatan saluran pernapasan
 Gangguan fungsi jantung, liver dan renal yang berat
 Kecanduan barbiturate
 Hipotensi atau hipertensi yang significant
 Minimal 12 jam sesudah minum alkohol terakhir bila ada
kecurigaan keracunan alkohol
 Pasien paranoid
 Pasien menolak prosedur
iii.Risiko dari terapi ini

 Risiko utama adalah gangguan pernapasan yang dapat mengarah


kepada apneu, khususnya jika pemberian terlalu cepat
(>50mg/min) atau dosis terlalu besar (>500 mg)
 Kolaps vasomotor dan laryngospasma, lebih jarang ditemukan
 Regresi psikotik
c. Psikoterapi Psikodinamik
Dapat membantu pasien memahami konflik intrapsikis dan simbolisasi
8. Prognosis
Faktor-faktor yang membuat prognosis lebih baik antara lain onset yang akut,
stresor yang teridentifikasi, durasi gejala singkat, level kecerdasan pasien, gejala
kelumpuhan, gejala kebutaan. Pasien dengan gejala kejang atau tremor biasanya
memiliki prognosis lebih buruk. 1

V. Hipokondriasis
1. Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi dengan
ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius dan tidak mau
menerima penjelasan medis yang menunjukkan bahwa dirinya tidak menderita
sakit.1,2
2. Epidemiologi
Prevalensi hipokondriasis pada rawat jalan adalah 4-9%
3. Etiologi
Hipokondriasis disebabkan pasien memiliki skema kognitif yang salah. Pasien
menginterpretasikan sensasi fisik yang mereka rasakan secara berlebihan.
Menurut teori psikodinamik hipokondriasis terjadi karena permusuhan dan agresi
dipindahkan ke dalam bentuk somatik melalui mekanisme repression dan
displacement. Kemarahan yang dimaksud berasal dari kejadian penolakan dan
ketidakpuasan di masa lalu. Selain kemarahan, dapat juga penyebabnya adlaah
rasa bersalah dan gejala timbul karena pasien ingin menebus kesalahannya
melalui penderitaan somatik.
4. Gambaran Klinik
Pasien terus merasa dirinya menderita penyakit serius yang belum bisa dideteksi
walaupun hasil laboratorium sudah menyatakan negatif dan dokter sudah
meyakinkan bahwa pasien tidak mengidap sakityang serius.
5. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan DSM-IV, kriteria diagnosis hipokondriasis adalah sebagai
berikut1,2,3,4 :
a. Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai penyakit
serius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejala-gejala tubuh
b. Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medik dan
penentraman
c. Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas seperti waham
d. Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
hendaya dlaam bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya
e. Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan
f. Preokupasi bukan disebabkan gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif
kompulsif, gangguan panik
6. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodik, yang durasinya setiap
episode berkisar antara bulan-tahun. Dapat terjadi periode tenang di antara
episode-episode.
7. Tatalaksana
a. Kesabaran dan reassurance adalah kunci sebab pasien hipokondriasis sering
menggunakan sumber daya medis dan menguras waktu dokter
b. Psikoterapi
i. Psikoterapi psikoanalitik umumnya tidak bermanfaat
ii. Terapi Suportif bermanfaat bila didukung hal-hal berikut :

 Ada informasi akurat mengenai gejala


 Edukasi mengenai mispersepsi dan misinterpretasi gejala dan
sensasi somatik
 Kunjungan dan pemeriksaan fisik secara berkala
 Reassurance
 Penggunaan anxiolytic singkat selama periode stress tinggi
iii. Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) merupakan bentuk psikoterapi pilihan
c. Farmakoterapi
`Obat golongan SSRI bermanfaat pada pasien dengan hipokondriasis terisolasi
(tanpa ko-morbid psikiatris seperti gangguan cemas atau panik). Fluoxetine
atau paroxetine dengan dosis max 60 mg/h dan dapat juga sertraline dosis
minimal 150 mg/h.
8. Prognosis
Hipokondriasis cenderung menjadi kronis dengan periode remisi dan eksaserbasi
yang dipicu stres. Prognosis yang baik berkaitan dengan status sosial ekonomi
yang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan depresi yang responsif, onset gejala
mendadak, tidak ada gangguan kepribadian, dan tidak ada gangguan medis non-
psikiatrik yang terkait. Bila yang menderita hipokondriasis adalah anak-anak
maka akan membaik saat remaja atau dewasa awal.1

VI. Gangguan Nyeri


1. Menurut DSM-IV gangguan nyeri adalah nyeri yang merupakan keluhan utama
dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor psikologislah yang berperan dalam
pengalaman nyeri pasien dan perilaku mencari pertolongan medis.1
2. Epidemiologi
Sekitar 7 juta orang di Amerika mengeluhkan hendaya akibat nyeri pinggang
bawah. Gejala nyeri sendiri merupakan gejala paling umum yang akan dijumpai
dalam praktek kedokteran. Waspadai keluhan nyeri akibat ketergantungan opioid
dan benzodiazepine iatrogenik. Nyeri kronik biasanya dikaitkan dengan gejala
depresi berat (25-50%), atau dystimia (60-100%) .
3. Etiologi
a. Faktor Psikodinamik
i. Bentuk ekspresi konflik intrapsikis secara simbolik melalui tubuh.
ii. Pasien dengan aleksitimia tidak mampu perasaannya secara verbal
sehingga menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri
iii. Beberapa orang menganggap luka emosional sebagai kelemahan
sehingga memindahkan (displacing) masalah pada tubuh
iv. Bisa juga sebagai bentuk penebusan terhadap rasa berdosa atau bersalah
v. Cara untuk mencari cinta
b. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat ketika pasien dihargai atau dicemaskan dan dihambat
ketika pasien diabaikan
c. Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati dapat menjadi sarana untuk memanipulasi hubungan
interpersonal, misalnya memastikan kesetiaan pasangan untuk
mempertahankan perkawinan yang rapuh
d. Faktor Biologis
Defisiensi endorfin dapat menjadi penyebab. Demikian juga pada pasien
dengan kelainan struktur limbik dan sensorik, abnormalitas tersebut dapat
menjadi faktor predisposisi.
4. Gambaran klinis
Pasien dengan gangguan nyeri akan datang dengan keluhan utama nyeri di
berbagai lokasi biasanya nyeri pinggang bawah, nyeri kepala, nyeri fasial
atipikial. Pasien umumnya punya riwayat panjang perawatan medis dan
pembedahan. Banyak yang mengunjungi beberapa dokter, meminta obat dalam
jumlah besar, bahkan mendesak pembedahan.
5. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV1,2,3,4
a. Nyeri pada satu tempat atau lebih yang menjadi fokus utama dan cukup berat
untuk menjadi perhatian klinis
b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya dalam bidang
sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya
c. Faktor psikologis berperan penting dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau
bertahannya nyeri
d. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-pura
e. Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan mood, cemas, atau
psikotik, dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
Beri kode sebagai berikut :
- Gangguan nyeri berasosisasi dengan faktor psikologis : dimana faktor
psikologis dinilai mempunya peranan dalam awitan, keparahan, eksaserbasi,
atau bertahannya nyeri. Bilamana ada gangguan medis umum hal tersebut
dinilai tidak berperan dalam gejala nyeri yang ditimbulkan
- Gangguan nyeri berasosiasi baik dengan faktor psikologis maupun kondisi
medik umum. Gangguan medis umum yang dimaksud perlu dicantumkan pada
Axis III pada bagan diagnosis multiaksial
Selanjutnya juga perlu digolongkan apakah berdasarkan perjalanannya
gangguan nyeri ini bersifat akut atau kronik, dengan kriteria akut < 6 bulan
dan kronik 6 bulan atau lebih.
6. Perjalanan Klinis
Nyeri muncul secara tiba-tiba dan derajat keparahan meningkat dalam beberapa
minggu atau bulan
7. Tatalaksana
a. Kenali dan tangani semua gangguan medis umum yang mungkin berkontribusi
terhadap gejala nyeri
b. Seperti pada gangguan somatisasi dan hipokondriasis, target tatalaksana
bukanlah kesembuhan melainkan perawatan, sebab tidak mungkin
menghilangkan nyeri
c. Terapis perlu mendiskusikan sejak awal bahwa sumber nyeri pasien adalah
psikogenik, menjelaskan berbagai sirkuit dalam otak yang terlibat dengan
emosi seperti sistem limbik akan mempengaruhi sensorik. Namun terapis
harus memahami bahwa nyeri yang dialami pasien sebagai sesuatu yang nyata
d. Klinik nyeri (pain clinic) dengan pendekatan multidisipliner sering
bermanfaat, sekaligus menunjukkan pada pasien bahwa penderitaan mereka
ditangani secara serius
e. Terapi perilaku yang membimbing pasien untuk menerima rasa nyeri dan
mengoptimalisasi fungsi mereka walaupun tetap ada rasa nyeri
f. Farmakoterapi yang dapat menolong adalah golongan antidepresan trisiklik
dan SSRI. Golongan analgetik, sedatif, dan anticemas tidak bermanfaat bahkan
dapat menimbulkan ketergantungan dan memperparah gejala.
8. Prognosis
Prognosis umumnya kronik dan pada akhirnya menimbulkan penderitaan dan
ketidakberdayaan.
Kelebihan PHQ-9 antara lain didasarkan langsung pada kriteria
diagnostik gangguan depresi dalam Diagnostic and Statistic Manual
Fourth Edition (DSM-IV)
Stress akan merangsang hipotalamus untuk menghasilkan
corticotropic-releasing hormone (CRH) yang menyebabkan
pelepasan adreno corticotroprin hormone (ACTH) di hipofisis.
Pelepasan ACTH akan menimbulkan perangsangan korteks
adrenal dan pada akhirnya dilepaskan kortisol.

ACTH mungkin berperan dalam mengatasi stress, karena


ACTH adalah salah satu dari peptide yang mempermudah
proses belajar dan perilaku, masuk akal jika peningkatan ACTH
selama stress psikososial membantu tubuh agar lebih siap
menghadapi stressor serupa dimasa mendatang dengan
perilaku yang sesuai.

Peran kortisol dalam membantu tubuh mengatasi stress,


diperkirakan berkaitan dengan efek metaboliknya. Kortisol
mempunyai efek metabolic yaitu meningkatkan konsentrasi
glukosa darah dengan menggunakan simpanan protein dan
lemak. Suatu anggapan yang logis adalah bahwa peningkatan
simpanan glukosa, asam amino dan asam lemak tersedia
untuk digunakan bila diperlukan, misalnya dalam keadaan
stress.
Efek dari kortisol adalah sebagai berikut :
1 Kalorigenik, kortisol meningkatkan pembentukan energy dari
pemecahan cadangan karbohidrat, lemak dan protein, ini
akan menyebabkan penurunan berat badan yang cukup
bermakna.
2 Meningkatkan respon simpatis, respon ini akan meningkatkan
curah jantung yang akan memberikan keluhan berupa
dada berdebar-debar.
3 Menurunkan akumulasi sel darah putih dan reaksi
peradangan pada tempat cedera. Hal ini akan
menyebabkan kerentanan terjadinya infeksi dan
memperlama penyembuhan luka.
4 Merangsang sekresi lambung, hal ini menyebabkan rusaknya
mukosa lambung, biasanya terbentuk ulkus peptikum.
5 Menurunkan hormone gonadotropin releasing factor, pada
wanita akan menghambat ovulasi, libido sedangkan pada
laki-laki menghambat spermatogenesis dan libido.
6 Merangsang somatostatin, hal ini menyebabkan gangguan
pertumbuhan.
Selain itu stress yang berkepanjangan akan menurunkan
cadangan endofrin yaitu peptide kecil yang dilepaskan oleh
hipotalamus atau hipofisis anterior serta jaringan lain sebagai
respon stress fisik dan mental. Endofrin merupakan opiate
endogen  yang berfungsi untuk mengurangi persepsi nyeri,
memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan perasaan
sejahtera. Stress yang berkepanjangan akan meningkatkan
persepsi nyeri yang membuat orang mengeluh nyeri dan rasa
putus asa.
Stress akan meningkatkan pembentukan katekolamin di 
medulla adrenal. Pelepasan katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin) akan menyebabkan :
1 Peningkatan aliran darah ke otak, jantung dan otot rangka
yang meningkatkan resiko stroke dan gangguan jantung.
2 Relaksasi otot polos usus yang menyebabkan konstipasi.
3 Glukoneogenesis yang meningkatkan pemecahan cadangan
energy sehingga membuat lebih kurus.
4 Peningkatan denyut dan kontraktilitas jantung yang
memberikan keluhan dada berdebar-debar.
Epinephrine mempengaruhi metabolisme glukosa,
menyebabkan cadangan makanan di otot diubah menjadi
energi untuk aktivasi yang cepat. Aktivasi hormone juga
menyebabkan aliran darah ke otot menjadi lebih cepat, dan
tekanan darah menjadi lebih tinggi yang bila terjadi dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit
kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit
jantung dan pembuluh darah. Penyakit ini dapat menyebabkan
serangan jantung dan stroke. Serangan jantung terjadi bila
pembuluh darah yang melayani jantung buntu, sedangkan
penyakit stroke melibatkan pembuluh darah ke otak. Faktor
resiko penyakit kardiovaskuler yang penting adalah tekanan
darah tinggi dan konsentrasi kolesterol yang tinggi di dalam
darah.
Selain bertindak sebagai hormone stress, norepinefrin
disekresikan di otak dan bertindak sebagai neurotransmitter.
Dengan tekhnik mikrodialisa, didapatkan bahwa situasi stress
meningkatkan pelepasan morepinefrin di hipotalamus, korteks
frontal dan lateral basal forebrain. Pelepasan norepinefrin di
otak, meungkin dihasilkan oleh jalur dari central nucleus of
amygdale ke daerah yang memproduksi norepinefrin di batang
otak.
Hormone stress lainnya adalah kortisol, yaitu steroid yang
diproduksi oleh korteks adrenal. Kortisol disebut juga dengan
hormone glukokortikoid, karena mempunyai pengaruh besar
terhadap metabolisme glukosa, sedangkan sldosteron adalah
steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal dan disebut
dengan mineralokortikoid karena pengaruhnya terhadap
metabolisme sodium.
Pengaruh buruk stress disebabkan oleh sekresi glukokortikoid
yang terus menerus. Walaupun pengaruh glukokortikoid dalam
jangka pendek adalah bermanfaat, pengaruhnya jangka
panjang ternyata merugikan. Pengaruh jangka panjang berupa
antara lain peningkatan tekanan darah, kerusakan jaringan
otot, tidak subur, menghambat pertumbuhan, menghambat
reaksi peradangan dan menekan system kekebalan tubuh.
Tekanan darah tinggi bisa mengakibatkan serangan jantung
dan stroke. Hambatan pertumbuhan pada anak yang
mengalami stress dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan. Hambatan reaksi
peradangan akan menyebabkan tubuh sulit sembuh setelah
cedera. System kekebalan tubuh yang tertekan menyebabkan
seseorang rentan terhadap infeksi bakteri maupun virus.
DR. dr. Nurmiati Amir, SpKJ(K), Ketua Majelis Pengembangan
Pelayanan Keprofesian Psikiatri menjelaskan tentang stressor
psikososial yang artinya, kondisi di mana terjadi suatu
keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam
kehidupan seseorang, sehingga orang tersebut terpakasa
beradaptasi kembali untuk menyeimbangkan hidupnya.

“Stressor psikososial terbagi atas dua kategori, usual atau common


stressor, yakni yang bersifat individual. Masing-masing orang akan
memersepsikan stresor ini sebagai stresor dengan skala ringan,
sedang atau berat. Berat ringannya skala stresor ini bergantung
pada persepsi seseorang terhadap stresor tersebut. Selain itu,
kepribadian, daya tahan psikologik, pengalaman dan kemampuan
atau keterampilan seseorang mengatasi stresor juga menentukan,”
katanya.
“Kedua, catastrophic stressor yaitu stresor yang mengancam
nyawa misalnya bencana tsunami atau stresor yang mengancam
integritas misalnya pemerkosaan. Semua orang akan
memersepsikan stresor katastrofik sebagai stresor yang sangat
berat,” lanjutnya.
Stressor belum tentu mengakibatkan stres pada semua individu, hal
ini tergantung pada kepribadian, pengalaman serta kemampuan
menghadapi masalah (coping). Hal yang perlu dicegah adalah
terjadinya gangguan stresor akut, gangguan stres pasca trauma,
atau gangguan jiwa lainnya. Sebelum individu mengalami stres,
terjadi fase akut yang berlangsung mulai dari 3 hari hingga 1 bulan
pasca trauma (gangguan stress akut).
“Di dalam otak manusia, terdapat bagian yang disebut amigdala.
Amigdala merupakan pusat rasa takut. Ketika terjadi bencana
psikososial, amigdala teraktivasi dan kemudian mengirim sinyal ke
berbagai bagian otak lainnya. Amigdala tak ubahnya seperti
‘stasiun pemancar’ yang mengirim sinyal ke berbagai penjuru.
Misalnya, amigdala mengirim sinyal ke batang otak sehingga terjadi
peningkatan denyut jantung (berdebar-debar) dan pembuluh darah
perifer menciut sehingga orang menjadi pucat,” jelasnya.
Amigdala juga mengirim sinyal ke pusat yang mengatur pernafasan
sehingga nafas orang yang mengalami trauma menjadi pendek
atau cepat. Peristiwa rasa takut yang hebat akan disimpan ke
bagian otak yang disebut hipokampus yang akan muncul kembali
(berulang kali) sebagai memori yang intrusif. Selain itu, peristiwa
yang menakutkan tersebut muncul dalam bentuk mimpi buruk.
Korban juga merasa seperti kembali berada dalam peristiwa
traumatik tersebut. Sensasi atau perasaan yang dirasakan ketika
sedang mengalami trauma tersebut muncul kembali.
“Penyimpanan memori tentang peristiwa traumatik tersebut, tidak
sama dengan penyimpanan memori biasa. Memori bencana
traumatic disimpan lebih dalam dan lama atau sulit atau tidak
mungkin hilang. Bencana traumatik dapat menghilangkan emosi
positif, misalnya rasa gembira, bahagia, puas, dan kelembutan,
tetapi meningkatkan emosi negatif, misalnya sedih, marah, cemas,
kebencian, rasa bersalah dan rasa malu),” ungkapnya.
Untuk mengatasi reaksi stresor akut tersebut, masyarakat dihimbau
untuk membawa seseorang yang terkena bencana psikososial ke
tempat yang aman, menawarkan bantuan, dan membantu
menghubungkan korban dengan layanan sosial atau rumah sakit.

Gangguan somatoform disebabkan oleh pikiran individu itu sendiri. Individu merasa
bahwa ada sesuatu yang salah dengan keadaan dirinya sehingga menyebabkan timbulnya pikiran-
pikiran yang negatif dan keyakinan irasional tentang dirinya dan lingkungan. Hal ini yang
rnenyebabkan individu merasa bahwa jika adanya tekanan, stress, terlalu banyak aktivitas yang
dilakukan, kelelahan yang menguras energi dan tenaga serta ketidak percaya diri dengan
kemampuan dirinya maka dapat memunculkan rasa sakit dan menganggap hal tersebut dapat
mengancam atau membahayakan dirinya. Suatu keadaan yang diyakini membuat individu sakit,
sehingga perlu adanya pendekatan (intervention) untuk individu gangguan somatoform yang
bertujuan mengubah pola pikir yang salah dan negatif menjadi pikiran-pikiran yang positif dan
rasional (Emair, 1998).

Tidak ada data yang pasti mengenai prevalensi gangguan somatoform ini di Indonesia.
Satu penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas
sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis gangguan yang tersering adalah neurosis, yaitu sebesar
25,8%, dan di dalamnya termasuk psikosomatik. Meskipun tidak ada kondisi medis yang serius,
gejala-gejala yang dirasakan oleh pasien dengan gangguan somatoform sangat mengganggu dan
berpotensi menimbulkan distres emosional sehingga tidak dapat dianggap remeh. Peran dokter di
pelayanan kesehatan primer pada kasus gangguan somatoform ini sangatlah penting.
Keberhasilan dokter dalam mengeksklusi kelainan medis, mendiagnosis gangguan somatoform
dengan tepat, dan menatalaksana akan sangat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien,
mengurangi rujukan yang tidak perlu, dan menghindarkan pasien dari pemeriksaan medis yang
berlebihan atau merugikan. (Panduan Praktik Klinis, 2014)

Gelder et al. (1996) melaporkan bahwa komorbiditas antara penyakit fisik dan gangguan
psikiatri ada beberapa macam, yaitu: (1) faktor psikologis sebagai penyebab penyakit fisik, (2)
gangguan psikiatri yang ditunjukkan dengan gejala fisik, (3) gangguan psikiatri akibat penyakit fisik,
(4) gangguan psikiatri dan penyakit fisik yang terjadi secara bersamaan. Gangguan psikiatri yang
mendasari terjadinya masalah somatik pada pasien yang berkunjung ke dokter adalah gangguan
cemas, depresi dan gangguan somatoform.

Tujuan dari tatalaksana gangguan somatoform adalah mengelola gejala dan bukan
menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak ada kelainan medis yang dialami oleh pasien. Berikut ini
adalah prinsip-prinsip dasar pengelolaan pasien dengan gangguan somatoform:

1. Dokter harus menerima bahwa pasien memang betul-betul merasakan gejala pada
tubuhnya dan memahami bahwa gejala-gejala tersebut mengganggu pasien. Dokter
perlu melatih diri untuk tidak terlalu prematur menganggap pasien berpura-pura
(malingering) tanpa didukung bukti yang kuat. Kunci utama tatalaksana gangguan
somatoform adalah membangun kemitraan dengan dan kepercayaan dari pasien.
2. Bila terdapat kecurigaan adanya gangguan somatoform, dokter perlu mendiskusikan
kemungkinan ini sedini mungkin dengan pasien. Bila diagnosis gangguan somatoform
sudah ditegakkan, dokter perlu mendiskusikannya dengan pasien.
3. Dokter perlu mengedukasi pasien mengenai gangguan yang dialaminya dengan
berempati dan menghindari konfrontasi. Dokter harus menunjukkan kesungguhan
untuk membantu pasien sebaik-baiknya, tanpa memaksa pasien untuk menerima
pendapat dokter.
4. Pemeriksaan medis dan rujukan ke layanan sekunder yang tidak perlu harus dihindari.
Bila ada gejala baru, dokter perlu berhati-hati dalam menganjurkan pemeriksaan atau
rujukan.
5. Dokter harus memfokuskan penatalaksanaan pada fungsi pasien sehari-hari, bukan
gejala, serta pada pengelolaan gejala, bukan penyembuhan.
6. Dokter perlu menekankan modifikasi gaya hidup dan reduksi stres. Keluarga pasien
dapat dilibatkan dalam tatalaksana bila memungkinkan dan diperlukan. Pasien
mungkin perlu dibantu untuk mengindentifikasi serta mengelola stres secara efektif,
misalnya dengan relaksasi, breathing control. Peningkatan aktifitas fisik dapat
disarankan untuk mengurangi fatigue dan nyeri muskuloskeletal.
7. Bila gangguan somatoform merupakan bagian dari kelainan psikiatrik lain, dokter
harus mengintervensi dengan tepat.
8. Dokter perlu menjadwalkan pertemuan yang reguler sebagai follow-up. Pertemuan
dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap bulan selama 5 – 10 menit, terutama untuk
memberi dukungan dan reassurance. Dokter perlu membatasi dan menghindari
konsultasi via telepon atau kunjungan-kunjungan yang bersifat mendesak.
9. Dokter perlu berkolaborasi dengan psikiater bila diperlukan, misalnya saat penegakan
diagnosis yang sulit, menentukan adanya komorbid psikiatrik lain, atau terkait
pengobatan. (Panduan Praktik Klinis, 2014)

Anda mungkin juga menyukai