Anda di halaman 1dari 9

GANGGUAN SOMATISASI

I. DEFINISI
Gangguan somatisasi merupakan salah satu bentuk gangguan somatoform,
yang sumber gangguannya adalah kecemasan yang dimanifestasikan dalam
keluhan fisik, sehingga orang lain tidak akan mengerti jika individu tidak
mengeluh. Somatisasi juga merupakan suatu bentuk gangguan yang ditunjukkan
dengan satu atau beberapa macam keluhan fisik akan tetapi secara medis tidak
mempunyai dasar yang jelas.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa gangguan somatisasi adalah suatu gangguan
fisik kronis yang tidak dapat diterangkan secara medis dan berhubungan dengan
masalah ketegangan psikologis. Individu yang mengalami gangguan somatisasi
tidak hanya mengeluh adanya gangguan fisik akan tetapi individu tersebut ingin
mendapatkan bantuan dan penanganan secara medis.
Selain itu, somatisasi merupakan bentuk gejala-gejala fisik akan tetapi
secara organis tidak ada bukti patologis, baik dengan evaluasi laboratorium
maupun medis. Dalam kajian psikodinamik, somatisasi merupakan salah satu
gangguan yang sering digunakan individu untuk menghindari diri dari
permasalahan karena enggan menerima tanggungjawab, teguran ataupun
hukuman. Hal ini dilakukan karena efek somatisasi hanya berpengaruh pada diri
sendiri dan tidak berpengaruh pada orang lain.
Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa
tahun, dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis
yang bermakna, seperti gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan perilaku mencari
bantuan medis yang berlebihan.

II. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum
diperkirakan 0,1 hingga 0,5 persen. Di Mesir Kuno juga menyebutkan bahwa
gangguan somatisasi lebih sering terjadi pada perempuan. Perempuan dengan
gangguan somatisasi jumlahnya melebihi laki-laki 5 hingga 20 kali tetapi
perkiraan tertinggi mungkin karena kecenderungan awal yang tidak mendiagnosis

1
gangguan somatisasi pada laki-laki. Di antara pasien yang datang ke tempat
praktik dokter umum dan dokter keluarga, sebanyak 5 sampai 10 persen pasien
mungkin memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan somatisasi.
Gangguan ini berbanding terbalik dengan posisi sosial dan terjadi paling
sering pada pasien yang memiliki sedikit edukasi dan tingkat pendapatan yang
rendah. Gangguan somatisasi lebih sering terjadi atau ditemukan di budaya non-
Barat, terutama sering terjadi pada orang-orang Asia dan Afrika. Biasanya
gangguan dimulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun).
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa gangguan somatisasi sering
kali bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Diperkirakan, dua pertiga
dari semua pasien dengan gangguan somatisasi memiliki gejala psikiatri yang
dapat diidentifikasi, dan sebanyak separuh pasien dengan gangguan somatisasi
memiliki gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan kepribadian
yang sering kali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri penghindaran, paranoid,
dan obsesif-kompulsif.

III. ETIOLOGI
1. Faktor Psikososial
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial,
gejala-gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial
yang bertujuan untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan
emosi, atau menyimbolkan perasaan atau keyakinan.
Pandangan perilaku pada gangguan somatisasi menekankan bahwa
pengajaran dari orang tua, contoh dari orang tua, dan etika moral
mungkin mengajarkan anak-anak untuk menggunakan somatisasi
dibandingkan anak-anak lain. Di samping itu, beberapa pasien
dengan gangguan somatisasi berasal dari rumah yang tidak stabil
dan telah mengalami penyiksaan fisik. Faktor sosial, cultural, dan
etnik mungkin juga terlibat di dalam perkembangan gejala
gangguan somatisasi.
2. Faktor Biologis
Beberapa penelitian mengarah pada dasar neuropsikologis untuk
gangguan somatisasi. Penelitian tersebut mengajukan bahwa pasien
memiliki gangguan perhatian dan kognitif karakteristik yang dapat

2
menyebabkan persepsi dan penilaian yang salah terhadap masukan
(input) somatosensorik. Gangguan yang dilaporkan adalah
distraktibilitas yang berlebihan, ketidakmampuan untuk
membiasakan terhadap stimulasi yang berulang, pengelompokan
konstruksi kognitif atas dasar impresionistik, asosiasi parsial dan
sirkumstansial, dan tidak adanya selektivitas. Sejumlah terbatas
penelitian pencitraan otak telah melaporkan penurunan
metabolisme di lobus frontalis dan pada hemisfer nondomain.
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada
gangguan somatisasi. Terjadi pada 10-20% wanita turunan
pertama, sedangkan dengan saudara laki-lakinya cenderung
menjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial.
Pada kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot 10%.
3. Faktor Kognitif
Faktor kognitif yang menyebabkan gangguan somatisasi seperti
prediksi berlebih terhadap ketakutan, keyakinan irasional, sen-
sitivitas berlebihan mengenai sinyal-sinyal dan tanda-tanda
ancaman, harapan-harapan self efficacy (kemampuan diri) yang
terlalu rendah dan salah mengartikan sinyal-sinyal tubuh. Sehingga
somatisasi terbentuk karena cara berpikir yang terdistorsi yang
membuat seseorang tersebut salah mengartikan perubahan kecil
dalam sensasi tubuhnya sebagai tanda dari bencana/ancaman yang
akan terjadi. Selain itu distorsi kognitif tersebut akan berdampak
pada fungsi sosial, pekerjaan dan masyarakat.
Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
faktor kognitif merupakan faktor yang sangat berperan penting
dalam tubuh sebagai menyebabkan terjadinya gangguan
somatisasi. Kesalahan dalam proses kognitif atau terjadinya
penyimpangan kognitif dapat memberikan pengaruh negatif bagi
diri individu. Somatisasi merupakan salah satu gangguan yang
terjadi akibat adanya kesalahan dalam proses kognitif yang
menimbulkan keyakinan dan pemikiran yang salah. Distorsi

3
kognitif merupakan hasil dari pengolahan informasi dengan cara
yang diduga mengakibatkan kesalahan yang diidentifikasi
kedalampikiran atau berpikiran secara berlebihan dan tidak
rasional.

IV. GAMBARAN KLINIS


Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan
riwayat medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering
dikeluhkan adalah mual, muntah (bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit
pada lengan dan tungkai, nafas pendek (bukan karena olahraga), amnesia,
komplikasi kehamilan dan menstruasi. Sering kali pasien beranggapan dirinya
menderita sakit sepanjang hidupnya. Gejala pseudoneurologik sering dianggap
gangguan neurologik.
Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas
dan depresi merupakan gejala psikiatri yang sering muncul. Ancaman akan bunuh
diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang. Biasanya pasien
mengungkapkan keluhan secara dinamik, dengan muatan emosi dan berlebihan.
Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus
penghargaan dan pujian, dan munipulatif.
Gangguan somatisasi sering sekali disertai oleh gangguan mental lainnya,
termasuk depresif berat, gangguan kepribadian, gangguan berhubungan zat,
gangguan kecemasan umum, dan fobia. Kombinasi gangguan-gangguan tersebut
dan gejala kronis menyebabkan peningkatan insiden masalah perkawinan,
pekerjaan, dan social.

V. DIAGNOSIS
Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat
awitan gejala muda sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan
pasien harus memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala
seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tak satu pun dapat dijelaskan
melalui peemeriksaan fisik dan laboratorik. Berikut kriteria diagnosis dengan
gangguan somatisai menurut DSM-IV-TR :

4
a. Adanya riwayat keluhan-keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun
yang berlangsung dalam periode beberapa tahun dan mencari-cari
penyembuhannya atau terjadi hambatan bermakna dalam fungsi-fungsi
sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya.
b. Setiap kriteria berikut selama ini harus terpenuhi dimana gejala-gejala
individu terjadi pada suatu waktu dalam perjalanan gangguan:
- 4 gejala nyeri: riwayat nyeri pada minimal 4 tempat atau fungsional
(misalnya kepala, perut, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rektum,
sewaktu coitus atau miksi).
- 2 gejala-gejala gastrointestinal: riwayat sedikitnya 2 gejala
gastrointestinal selain nyeri (misalnya nausea, meteorismus, vomitus
diluar kehamilan, diare, intoleransi beberapa jenis makanan).
- 1 gejala sexual: riwayat sedikitnya ada 1 gejala sexual atau
reproduksi selain nyeri (misalnya indiferen sexual, disfungsi ereksi atau
ejakulasi, haid irregular, hipermenorrhea, vomitus sepanjang masa
kehamilan).
- 1 gejala pseudoneurologis: riwayat sedikitnya 1 gejala atau deficit yang
mengarah pada suatu kondisi neurologis yang tidak hanya nyeri (gejala-
gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan,
paralisa atau kelemahan lokal, sukar menelan atau terasa adanya massa
di tenggorok, aphonia, retensi urinae, halusinasi, kehilangan sensasi
nyeri dan raba, visus ganda, kebutaan, tuli, kejang; gejala-gejala
disosiatif seperti amnesia; kehilangan kesadaran selain pingsan).

c. Adanya 1 atau 2:
- Setelah penelitian yang sesuai; gejala-gejala pada kriteria B tidak dapat
dijelaskan berdasarkan kondisi medis umum yang dikenal atau efek
langsung dari zat (penyalahgunaan obat atau medikasi).
- Ketika ada kaitan dengan suatu kondisi medis umum, keluhan-keluhan
fisik atau hambatan sosial atau pekerjaan adalah berlebihan berdasarkan
riwayat, pemeriksaan fisik atau temuan-temuan laboratorium.
d. Gejala2 tidak (dimaksudkan) dibuat-buat atau disengaja (seperti pada
gangguan buatan atau malingering.

5
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia PPDGJ-III dan DSM 5, dikatakan Gangguan Somatisasi (F45.0)
jika memenuhi pedoman diagnostik :
- Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut :
a. Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang
tidak dapat dijelaskan atau dasar adanya kelainan fisik, yang sudah
berlangsung sedikitnya 2 tahun;
b. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-
keluhannya;
c. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak perilakunya.

VI. DIAGNOSIS BANDING


Klinis harus selalu menyingkirkan kondisi medis psikiatri yang dapat
menjelaskan gejala pasien. Sejumlah gangguan medis seringkali tampak dengan
kelainan yang non spesifik dan sementara dalam kelompok usia yang sama.
Tetapi, pada semua gangguan tersebut, gejala depresi, kecemasan atau psikosis
akhirnya menonjol diatas keluhan somatik. Walaupun pasien dengan gangguan
somatik mungkin mengeluh banyak gejala somatik yang berhubungan dengan
serangan paniknya, pasen tersebut tidak terganggu oleh gejala somatik diantara
serangan panik.
Di antara gangguan somatoform lainnya, hipokondriasis, gangguan
konversi, dan ganguan nyeri perlu dibedakan dari gangguan somatisasi.
Hipokondriasis ditandai oleh keyakinan palsu bahwa seseorang menderita
penyakit spesifik, berbeda dengan gangguan somatisasi, yang ditandai oleh
permasalahan dengan banyak gejala. Gejala gangguan konversi terbatas pada satu
atau dua gejala neurologis, bukannya berbagai gejala dan gangguan somatisasi.
Gangguan nyeri adalah terbatas pada satu atau dua keluhan gejala nyeri.
- Gangguan medis, seperti : sklerosis multiple, mistenia gravis, LES, AIDS,
porfiria intermitten akut, hiperparatiroidisme, hipertirodisme, dan infeksi
sistemik kronik.

6
- Gangguan mental, seperti : gangguan depresif berat, gangguan kecemasan
umum, dan skizofrenia.

VII. TERAPI
Tujuan dari medikasi untuk membantu pasien agar dapat mengetahui dan
memahami secara jelas mengenai gejala-gejala yang dideritanya. Pasien dengan
gangguan somatisasi paling baik jika mereka memiliki seorang dokter tunggal
sebagai perawat kesehatan utamanya. Dokter utama harus melihat pasien selama
kunjungan yang terjadwal teratur, biasanya dengan interval satu bulan. Kunjungan
ini harus relatif singkat. Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang
mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi
emosional, bukannya sebagai keluhan medis.
Strategi jangka panjang yang baik bagi dokter perawatan primer adalah
meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa factor psikologi
terlibat di dalam gejala sampai pasien mau mengunjungi psikiatri secara teratur.
Dalam lingkungan psikoterapeutik, pasien dibantu untuk mengatasi
gejalanya, untuk mengekspresikan emosi yang mendasari, dan untuk
mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka.
Memberikan medikasi psikotropik bilamana gangguan somatisasi timbul
bersamaan dengan gangguan mood atau gangguan anxietas selalu memiliki resiko,
tetapi juga diindikasikan terapi pada gangguan yang timbul bersamaan. Obat
harus diawasi karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung
menggunakan obatnya dengan tidak teratur.
VIII. PROGNOSIS
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik dan sering
menyebabkan ketidakmampuan. Menurut definisinya, gejala harus mulai ada
sebelum usia 30 tahun dan ada selama beberapa tahun. Episode peningkatan
keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru diperkirakan berlangsung
selama 6-9 bulan dan dapat dipisahkan oleh periode yang kurang simptomatik
yang berlangsung 9-12 bulan. Tetapi, seorang pasien dengan gangguan somatisasi
jarang berjalan lebih dari satu tahun tanpa mencari suatu perhatian medis. Sering
kali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress baru dan
eksaserbasi gejala somatik.

7
8
DAFTAR PUSTAKA

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition


Text Revision (DSM IV TR). Published by The American Psychiatric
Assosiation Washington, DC

Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. 2010. Gangguan Somatoform :


Gangguan Somatisasi. Dalam Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kaplan & Sadock. 2010. Gangguan Somatoform : Gangguan Somatisasi.


Dalam Sinopsis Psikiatri jilid II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Kaplan & Sadock. Gangguan Somatoform & Gangguan Nyeri. Dalam


Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

M. Noor Rochman. Dalam jurnal Peranan Kepribadian dan Stres


Kehidupan Terhadap Gangguan Somatisasi. Universitas Gadjah Mada

Maslim R. dr. Gangguan Somatoform : Gangguan Somatisasi. Dalam


Buku Saku Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ-III
dan DSM 5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Nidya Rizky Selvera. Dalam jurnal Teknik restrukturisasi kognitif untuk


menurunkan keyakinan irasional pada remaja dengan gangguan somatisasi.
Universitas Muhammadiyah Malang

Anda mungkin juga menyukai