Anda di halaman 1dari 15

GANGGUAN GANGGUAN PSIKOLOGI

Tugas Gangguan Somatoform dan Gangguan disosiatif

Dosen Pengampun :

Arya Sentana Krisnadiharja, M.Psi., CH., CHt

Di Buat Oleh :

Verah Oktaviani - 46115110014

Putri A. S. Kansil - 46117120058

Universitas Mercu Buana

Fakultas Psikologi

2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penyusun panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penyusun sehingga dapat
menyelesaikan makalah Gangguan Somatoform dan Gangguan Disosiatif Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah ‘’ Psikologi Gangguan Gangguan
Psikologi ”.

Banyak sekali hambatan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu, selesainya
makalah ini bukan semata karena kemampuan penyusun, banyak pihak yang
mendukung dan membantu. Dalam kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima
kasih banyak kepada pihak-pihak yang telah membantu.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak


kesalahan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan
agar kedepannya kami mampu lebih baik lagi.

Tangerang, 10 April 2020


GANGGUAN SOMATOFORM

Soma berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatorform masalah-masalah psikologis


muncul dalam bentuk gangguan fisik. Simtom-simtom fisik gangguan somatoform
yang tidak dapat dijelaskan secara fisiologis dan tidak berada dalam kesadaran,
diduga terkait dengan factor-faktor psikologis.

A. GANGGUAN NYERI, GANGGUAN DISMORFIK TUBUH, DAN


HIPOKONDRIASIS

Pada gangguan nyeri, faktor-faktor psikologis yang berperan secara signifikan


dalam muncul dan menetapnya rasa nyeri. Pasien dapat tidak mampu bekerja dan
tergantung pada obat-obat pembunuh rasa sakit dan penenang. Rasa nyeri dapat
terkait dengan konflik atau stress, atau memungkinkan individu untuk menghindari
aktivitas yang tidak menyenangkan dan mendapatkan perhatian serta simpati yang
tidak diperoleh jika individu dalam keadaan sehat. Beberapa perbedaan pasien
gangguan somatoform dengan pasien yang rasa sakitnya jelas terkait dengan
masalah fisik, yaitu pasien yang rasa sakitnya dilandasi gangguan fisik dapat
menunjukan bagian yang sakit secara lebih spesifik dan rinci.
Pada gangguan dismorfik tubuh seseorang dipenuhi kekhawatiran dengan
kerusakan dalam penampilan fisik yang hanya dibayangkan atau dilebih-lebihkan.
Seringkali pada wajah, contohnya, kerutan wajah, bulu di wajah yang lebat, bentuk
atau ukuran hidung. Seperti pada gangguan rasa nyeri, faktor-faktor subjektif dan
masalah rasa memainkan suatu peranan. Faktor-faktor sosial dan budaya jelas
berperan dalam membuat seseorang memutuskan dirinya menarik atau tidak.
Walaupun banyak studi sistematik mengenai gangguan dismorfik tubuh namun tidak
jelas statusnya sebagai suatu diagnosis spesifik, karena dapat didiagnosis sebagai
gangguan obsesif kompulsif atau gangguan makan dan gangguan delusional.
Hipokondriasis merupakan suatu gangguan somatoform dimana individu
terpreokupasi dengan ketakutan menderita penyakit serius. Gangguan ini umumnya
muncul pada masa dewasa awal, dan cenderung memiliki perjalanan yang kronis.
Hipokondriosis sering muncul dengan bersama gangguan anxietas dan mood.
B. GANGGUAN KONVERSI
Simtom-simtom sensorik atau motorik seperti kehilangan penglihatan secara
mendadak atau kelumpuhan, mengindikasikan suatu penyakit yang terkait dengan
kerusakan neurologis atau sejenisnya, walaupun organ-organ tubuh dan sistem
syaraf dalam kondisi baik.
Sifat psikologis dari simtom-simtom konversi juga tercermin dalam fakta
munculnya simtom-simtom tersebut secara mendadak dalam situasi penuh stress,
yang seringkali memungkinkan individu menghindari aktivitas dan tanggung jawab
atau mendapatkan perhatian yang diinginkan.
Simtom-simtom konversi biasanya berkembang pada masa remaja atau dewasa
awal, umumnya setelah terjadinya suatu stress kehidupan. Dapat berakhir secara
mendadak,namun cepat atau lambat dapat kembali, baik dalam bentuk awalnya atau
dalam suatu simtom yang memiliki tempat yang berbeda. Gangguan konversi juga
seringkali komorbid dengan berbagai diagnosis lain pada Aksis I.
Penting untuk membedakan kelumpuhan konversi dengan kelumpuhan
neurologis. Tugas ini sebenarnya mudah dikenali, seperti bila kelumpuhan tidak
masuk akal secara anatomis. Namun kadangkala masalah neurologis seeringkali
salah diagnosis dengan gangguan konversi. Saat ini masalah itu dapat dideteksi
dengan menggunakan MRI.

C. GANGGUAN SOMATISASI
Keluhan fisik yang berulang dan banyak yang tidak memiliki dasar biologis. Untuk
memenuhi kriteria diagnostik, yang bersangkutan harus mengalami keempat hal
dibawah ini:
a) 4 simtom rasa sakit di bagian yang berbeda (kepala, punggung, sendi)
b) 2 simtom gastrointestinal (diare, mual)
c) 1 simtom seksual selain rasa sakit (tidak berminat pada hubungan seksual,
disfungsi erektil)
d) 1 simtom pseudoneurologis (seperti yang terjadi dalam gangguan konversi)

Simtom-simtom tersebut lebih pervasive disbanding keluhan hipokondriasis,


biasanya menyebabkan hendaya terutama dalam pekerjaan. Simtom-simtom
gangguan dapat bervariasi antar budaya. Terlebih lagi sering terjadi pada budaya
yang tidak mendorong ekspresi emosi secara terbuka.
Gangguan somatisasi dan gangguan konversi memiliki banyak persamaan
simtom dan keduanya dapat ditegakkan pada pasien yang sama. Para pasien
umumnya menyampaikan keluhan mereka secara histrionic dan berlebihan atau
sebagai bagian riwayat kesehatan Panjang yang penuh dengan komplikasi.

Gangguan somatisasi umumnya bermula pada masa dewasa awal. Kecemasan


dan depresi seringkali dilaporkan dan juga sejumlah maslah perilaku interpersonal,
seperti membolos kerja, catatan kerja jelek dan masalah perkawinan.

D. ETIOLOGI GANGGUAN SOMATOFORM


 Etiologi Gangguan Somatisasi
Pasien penderita gangguan somatisasi lebih sensitif terhadap sensasi fisik,
memberikan perhatian berlebihan pada sensasi tersebut atau
menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang membahayakan. Kemungkinanlain
adalah mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dibandingkan orang lain.
Manifestasi kecemasan yang tidak realistis dalam sistem-sistem tubuh. Dengan
faktor kecemasan yang tinggi,pasien penderita gangguan somatisasi memiliki level
kortisol yang tinggi , indikasi bahwa mereka dalam tekanan. Mungkin ketegangan
ekstrem yang dialami individu terpusat pada otot perut, mengakibatkan rasa mual
atau muntah. Bila keberfungsian normal terganggu, pola maladaptif akan menguat
karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk menghindari sesuatu.

 Teori Psikoanalisis Mengenai Gangguan Konversi


Gangguan konversi menempati posisi utama dalam teori psikoanalisis karena
ketika menangani kasus-kasus inilah Freud mengembangkan sebagian besar
konsep utama psikoanalisis. Dalam Studies in Hysteria (1895/1982) Breuer dan
Freud berpendapat bahwa gangguan konversi terjadi ketika seseorang mengalami
suatu kejadian yang menciptakan ketegangan emosi yang sangat besar, namun
efeknya tidak diekspresikan dan ingatan tentang kejadian tersebut dipisahkan dari
pengalaman kesadaran. Simtom-simtom konversi spesifik dianggap berkaitan
secara kausal dengan kejadian traumatik yang mengawalinya.
 Teori Perilaku Mengenai Gangguan Konversi
Ullman dan Krasner (1975) menganggap gangguan konversi sebagai
malingering. Orang yang bersangkutan menunjukan simtom-simtom untuk mencapai
suatu tujuan. Orang yang mengalami gangguan konversi berusaha berperilaku
sesuai dengan konsepsinya mengenai perilaku seorang penderita suatu penyakit
yang mempengaruhi kemampuan motorik dan sensori.
Ada dua kondisi yang meningkatkan kemungkinan ketidakmampuan motorik dan
sensori dapat ditiru: Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran
yang akan dimainkan, dia dapat pernah memiliki masalah fisik yang sama atau
mengamatinya pada orang lain. Kedua, Pelaksanaan peran tersebut harus
mendapatkan hadiah. Individu tersebut memerankan ketidakmampuannya jika hal itu
diharapkan dapat mengurangi stres atau untuk mendapatkan keuntungan lain.

 Faktor-faktor Sosial dan Budaya dalam Gangguan Konversi


Kemungkina berperannya faktor-faktor sosial budaya ditunjukan dalam
penurunan tajam insiden gangguan konversi selama abad terakhir. Walaupun
Charcot dan Freud tampaknya memiliki banyak pasien perempuan yang menderita
gangguan ini, para ahli klinis kontemporer jarang bertemu seseorang yang memiliki
gangguan semacam itu. Pnurunan insiden ini kemudian dapat diatribusikan pada
tata krama seksual yang secara umum lebih longgar dan meningkatnya kecanggihan
psikologis dan medis dalam budaya abad ke-20, yang lebih toleran terhadap
kecemasan dibanding pada disfungsi yang secara fisiologis tidak masuk akal.
Dukungan terhadap peran faktor-faktor sosial budaya juga diberikan oleh
berbagai studi yang menunjukan bahwa gangguan konversi lebih umum terjadi pada
masyarakat pedesaan dan masyarakat dengan status sosioekonomi rendah. Orang-
orang dalam masyarakat tersebut mungkin memilikipengetahuan yang kurang
tentang konsep medis dan psikologis. Data ini dapat berarti bahwa meningkatnya
kecanggihan medis memicu penurunan prevalensi gangguan konversi.

 Faktor-faktor Biologis dalam Gangguan Konversi


Dalam berbagai studi yang telah dilakukan faktor genetik tampaknya tidak
memiliki peranan penting. Dalam gangguan konversi terdapat kemampuan untuk
menggunakan informasi indra untuk mengarahkan perilaku. Berbagai penemuan
mengindikasikan faktor-faktor biologis dalam gangguan konversi harus diteliti lebih
dalam.

E. TERAPI UNTUK GANGGUAN SOMATOFORM


Gangguan somatoform lebih jarang terjadi dibanding masalah-masalah lain
dalam kesehatan mental. Kebijakan klinis menyarankan pendekatan halus dan
suportif seraya memberikan penghargaan kepada pasien atas tiap perbaikan kondisi
sekecil apapun yang berhasil dicapainya.

 Terapi untuk Gangguan Somatisasi


Mengarahkan perhatian pasien pada sumber-sumber kecemasan dan depresi
yang mengkin mendasari simtom-simtom somatic yang tidak dapat dijelaskan dan
tidak membiarkan mereka terlalu focus pada pada rasa sakit dan nyeri yang ringan
dan tidak berbahaya. Teknik-teknik seperti training relaksasi dan berbagai bentuk
terapi kognitif juga terbukti bermanfaat.
Biofeedback yang mencakup pengendalian terhadap proses-proses fisiologis
telah terbukti efektif dalam mengurangi berbagai pikiran yang merusak pada para
pasien yang menderita gangguan somatoform, bahkan lebih efektif dibandingkan
pelatihan relaksasi.

 Terapi untuk Hipokondriasis


Pendekatan kognitif-behavioral telah terbukti efektif untuk mengurangi berbagai
masalah hipokondrial. Terapi kognitif-behavioral ditujukan untuk merestrukturisasi
pemikiran pesimistik.

 Terapi untuk Rasa Nyeri


Penanganan yang efektif cenderung terdiri dari hal-hal berikut ini:
i) Melakukan validasi bahwa rasa nyeri memang nyata dan tidak hanya dalam
pikiran pasien.
ii) Pelatihan relaksasi
iii) Menghadiahi pasien karena berperilaku yang tidak sejalan dengan rasa nyeri
(menahan rasa nyeri)
Dosis rendah beberapa obat-obatan antidepresan, terutama imipramine dan
distress kronis. Namun obat-obatan tersebut tidak menghilangkan depresi yang
terkait. Perbaikan kondisi sebagian besar disebabkan oleh pemantauan diri dan
perhatian serta pendidikan yang diterima pasien dari klinisi.

Secara umum, mengalihkan fokus dari hal-hal yang tidak dapat dilakukan pasien
karena penyakitnya dan mengajarkan pasien bagaimana cara mengatasi stress,
mendorong aktivitas yang lebih banyak dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari
keterbatasan fisik atau rasa tidak nyaman yang dialami pasien.

GANGGUAN DISOSIATIF (DISSOCIATIVE DISORDERS)

Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi


memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak
mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat
lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.

Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan sebagai


adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (di bawah kendali
sadar) yang meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan peng-nderaanan
segera (awareness of identity and immediate sensations), serta control terhadap
gerak tubuh.

Dalam penegakan diagnosis Gangguan Disosiatif harus ada gangguan yang


menyebabkan kegagalan mengoordinasikan identitas, memori persepsi ataupun
kesadaran, dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial,
pekerjaan dan memanfaatkan waktu senggang.

Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari
integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:

 ingatan masa lalu


 kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity and immediate
sensations)
 kontrol terhadap gerakan tubuh
PENGERTIAN DAN GEJALA

1. Amnesia Disosiatif

Amnesia disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres.
Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi
yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stres.

Pada amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan teman-temannya, tetapi
tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran, juga tetap memiliki
bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh sebelumnya.

Perkembangan Klinis amnesia disosiatif:

 Hilangnya daya ingat (sebagian / seluruh), biasanya mengenai kejadian-


kejadian penting (stressful, traumatik) yang baru terjadi, tidak disebabkan
gangguan mental organic, kelupaan, kelelahan, intoksikasi.
 Individu tiba-tiba menjadi tidak dapat mengingat kembali informasi personal
yang penting (biasanya setelah mengalami beberapa peristiwa stressful).
 Selama periode amnesia, perilaku atau kemampuan individu mungkin tidak
berubah, kecuali bahwa hilangnya memori menyebabkan beberapa
disorientasi, tidak mengenali identitas (asal, teman, keluarga, dll)
 Hilangnya memori
 Bisa hanya untuk peristiwa tertentu atau seluruh peristiwa kehidupan
 Biasanya berlangsung dalam periode waktu tertentu, bisa beberapa jam
sampai dengan beberapa tahun
 Memori biasanya kembali muncul secara tiba-tiba juga, lengkap seperti
sebelumnya (hanya sedikit kemungkinan untuk kambuh)
 Hilangnya memori tidak sama dengan yang disebabkan oleh kerusakan otak
atau karena ketergantungan obat.

2. Fugue Disosiatif

Fugue disosiatif adalah hilangnya memori yang disertai dengan meninggalkan


rumah dan menciptakan identitas baru. Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori
lebih besar dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue
disosiatif tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan
rumah dan beraktivitas dengan menggunakan identitas baru.

Perkembangan klinis Fugue Disosiatif:

 Gangguan di mana individu melupakan informasi personal yang penting dan


membentuk identitas baru, juga pindah ke tempat baru.
 Individu tidak hanya mengalami amnesia secara total, namun juga tiba-tiba
pindah (melarikan diri) dari rumah dan pekerjaan, serta membentuk identitas
baru.
 Biasanya terjadi setelah seseorang mengalami beberapa stress yang berat
(konflik dengan pasangan, kehilangan pekerjaan, penderitaan karena
bencana alam).
 Identitas baru sering berkaitan dengan nama, rumah, pekerjaan bahkan
karakteristik personality yang baru. Di kehidupan yang baru, individu bisa
sukses walaupun tidak mampu untuk mengingat masa lalu.
 Recovery biasanya lengkap dan individu biasanya tidak ingat apa yang terjadi
selama fugue.

3. Gangguan Depersonalisasi

Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman


seseorang terhadap diri sendiri berubah. Dalam episode depersonalisasi, yang
umumnya dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka.
Para penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa,
misalnya ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka
terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh
mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa
seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.

Perkembangan klinis gangguan Dipersonalisasi:

 Gangguan di mana adanya perubahan dalam persepsi atau pengalaman


individu mengenai dirinya.
 Individu merasa “tidak riil” dan merasa asing terhadap diri dan sekelilingnya,
cukup mengganggu fungsi dirinya.
 Memori tidak berubah, tapi individu kehilangan sense of self.
 Gangguan ini menyebabkan stress dan menimbulkan hambatan dalam
berbagai fungsi kehidupan.
 Biasanya terjadi setelah mengalami stress berat, seperti kecelakaan atau
situasi yang berbahaya.
 Biasanya berawal pada masa remaja dan perjalanannya bersifat kronis
(dalam waktu yang lama).

4. Gangguan Identitas Disosiatif

Gangguan identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang memiliki minimal dua
atau lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama lain bertindak bebas.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila
seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau
berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan, perasaan dan tindakan
yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang
kendali pada waktu yang berbeda.

Perkembangan Gangguan Indentitas Disosiatif:

 Individu memiliki setidaknya dua kepribadian yang berbeda (adanya


perbedaan dalam keberadaan, feeling, perilaku), bahkan ada yang bertolak
belakang.
 Adanya dua atau lebih kepribadian yang terpisah dan berbeda pada
seseorang. Setiap kepribadian memiliki pola perilaku, hubungan dan memori
masing-masing.
 Kepribadian yang asli dan pecahannya kadang dapat menyadari adanya
periode waktu yang hilang, adanya kepribadian yang lain. Suara dari
kepribadian yang lain sering bergema, masuk ke kesadaran mereka tapi tidak
diketahui milik siapa.
 Gap dalam memori mungkin terjadi jika suatu kepribadian tidak berkaitan
dengan kepribadian yang lain.
 Keberadaan pribadi-pribadiyang berbeda menyebabkan gangguan dalam
kehidupan seseorang dan tidak dapat disembuhkan seketika oleh obat-
obatan.
 Biasanya muncul di awal masa kanak-kanak (adanya trauma berat di masa
kanak-kanak), namun jarang didiagnosis sampai masa remaja. Lebih berat
dari bentuk gangguan disosiatif lainnya
 Wanita > pria

Secara singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif ialah:

a. Keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas

b. Sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang

c. Ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.

ETIOLOGI

Istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme, dissosiasi, yang diduga


menjadi penyebabnya. Pemikiran dasarnya adalah kesadaran biasanya merupakan
kesatuan pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi. Namun dalam kondisi
stres, memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari
tidak dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang
yang bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue.

Pandangan behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai


spekulasi awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap
dissosiasi sebagai respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut.

Etiologi GID. Terdapat dua teori besar mengenai GID. Salah satu teori berasumsi
bahwa GID berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan oleh penyiksaan
secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan dissosiasi dan
terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma
(Gleaves, 1996).

Teori lain beranggapan bahwa GID merupakan pelaksanaan peran sosial yang
dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa umumnya karena
berbagai sugesti yang diberikan terapis (Lilienfel dkk, 1999; Spanos, 1994). Dalam
teori ini GID tidak dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak
terletak pada apakah GID benar-benar dialami atau tidak, namun bagaimana GID
terjadi dan menetap.

SINDROM DISOSIATIF YANG TERKAIT DENGAN BUDAYA

Ada kesamaan antara konsep barat akan gangguan disosiatif dengn sindrom –
sindrom tertentu yang terkait dengan budaya yang di temukan di lain dunia.
Contohnya, zar-Istilah yang di gunakan negara – Negara Afrika Utara dan Timur
Tengah menggambarkan penguasaan roh – roh dalam diri orang yang mengalami
tahap disosiatif. Saat tahap ini terjadi individu terlibat dalam perilaku yang tidak
biasa, mulai dari berteriak – teriak hingga membenturkan kepalanya ke dinding.
Perilaku ini di sebut abnormal. Karena di percaya bahwa hal tersebut di control oleh
roh – roh.

PANDANGAN-PANDANGAN TEORITIS

Gangguan disosiatif merupakan fenomena yang sangat mengagumkan dan menarik.


Bagaimana perasaan seseorang akan identitas dirinya bias menjadi sangat
terdistorsi hingga orang tersebut membangun kepribadian ganda, kehilangan banyak
potongan dari ingatan pribadi, atau membentuk sebuah identitas baru.

Pandangan Psikodinamika

Amnesia disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan cara memutus atau
mendisosiasi alam sadar seseorang dari kesadAran akan pengalaman yang
traumatis. Gangguan disosiatif melibatkan pengguna represi srcara besar – besaran
yang menghasilkan terpisahnya impuls yang tidak dapat diterima dan ingatan yang
menyakitkan dari ingatan seseorang. Dalam amnesia dan fugue disosiatif, ego
melindungi dirinya sendiri dari kebanjiran kecemasan dengan mengeluarkan ingatan
yang menggangu atau dengan mendisosiasi impuls menakutkan yang bersifat
bIseksual atau agresif. Pada kepribadian ganda, orang mungkin mengekspresikan
impuls – impuls yang tidak dapt di terima ini melalui pengembangan kepribadian
pengganti. Pada depersonalisasi orang berada di luar dirinya sendiri aman dengan
cara menjauhi dari pertarungan emosional di dalam dirinya.

Pandangan Kognitif & Budaya

Teoritikus belajar dan kognitif memandang disosiasi sebagai suatu respons yang
dipelajari, meliputi proses tidak berpikir tentang tindakan atau pikiran yang
menggangu dalam rangka menghindari rasa bersalah dan malu yang di timbulkan
pleh pengalaman. Kebiasaan tidak berpikir tentang masalah– masalah tersebut
secara negative dikuatkan dengan adanya perasaan terbebas dari kecemasan atau
dengan memindahkan perasaan bersalah atau malu.

Disfungsi Otak

TERAPI

Gangguan disosiatif menunjukkan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan


lain, kemungkinan relevansi teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif,
amnesia, fugue dan GID, para penderita menunjukkan perilaku yang secara sangat
meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian
kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis
bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres.

Terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif dibanding


masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hukum
sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.

Terapi GID. Hipnotis umum digunakan dalam penanganan GID. Secara umum,
pemikirannya adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan
difasilitasi dengan menciptakan kembali situasi penyiksaan yang diasumsikan
dialami oleh pasien. Umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar
mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa kecil. Harapannya adalah
dengan mengakses kenangan traumatik tersebut akan memungkinkan orang yang
bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari masa kecilnya saat ini sudah tidak ada
dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian
masa lalu tersebut.
Terdapat beberapa prinsip yang disepakati secara luas dalam penganganan GID,
terlepas dari orientasi klinis (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross,
1989). Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian. Setiap kepribadian harus
dibantu untuk memahami bahwa ia adalah bagian dari satu orang dan kepribadian-
kepribadian tersebut dimunculkan oleh diri sendiri.

Terapis harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya untuk kenyaman,


bukan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yang terpisah dan
otonom. Seluruh kepribadian harus diperlakukan secara adil. Terapis harus
mendorong empati dan kerjasama diantara berbagai kepribadian. Diperlukan
kelembutan dan dukungan berkaitan dengan trauma masa kanak-kanak yang
mungkin telah memicu munculnya berbagai kepribadian.

Tujuan setiap pendekatan terhadap GID haruslah untuk meyakinkan penderita


bahwa memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang berbeda tidak lagi
diperlukan untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di masa lalu yang
memicu disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di masa yang akan
datang.

DAFTAR PUSTAKA

V. Mark Durank & Dvid H.Barlow.2006.Psikologi Abnormal. Jilid 1 dan


2.Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Nevid S.Jeffrey dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT.Gelora Aksara

Davidson, Gerald, dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo


Persada Press

Tomb, David. A. 2000. Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai