Anda di halaman 1dari 26

BLOK NEUROPSIKIATRI Makassar, 24 Juli 2019

MODUL 3

GANGGUAN SOMATOFORM

Tutor : dr. Sri wahyu M.Kes

1. Nur Azizah 110 2017 0154


2. Irsanti Sasmita Tauhid 110 2017 0141
3. Dyah Elisa 110 2012 0159
4. Nurul Aziza Andi Mattoreang 110 2017 0161
5. Rahmi Hidayanti Pelu 110 2017 0014
6. Melly Syafrida Putri 110 2017 0163
7. Utari Zainal Abidin 110 2017 0038
8. Musdalifah 110 2017 0112
9. Rezki Handayani 110 2017 0061

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
SKENARIO C
Seorang perempuan berusia berusia 26 tahun datang ke poliklinik RS ibnu
sina dengan keluhan selama 3 minggu terakhir dia mengalami kejang hampir
setiap hari .Dia menceritakan bahwa ia sering tiba-tiba jatuh dan diikuti dengan
gerakan lengan dan kakinya yang tak terkendali peristiwa ini berlangsung kurang
lebih 10 menit . meskipun dia menyangkal adanya kehilangan fungsi ksadaran ,
sebagai akibatnya dia tidak melanjutkan pekerjaanya .Dia merasa agak terganggu
saat menerima promosi kenaikan jabatan 1 bulan yang lalu.

A. KATA SULIT
Tidak ada

B. KATA KUNCI
1. Perempuan 26 tahun
2. Keluhan selama 3 minggu terakhir mengalami kejang hamper setiap hari
3. Tiba – tiba jatuh diikuti gerakan kaki dan lengan tidak terkendali selama
kurang lebih 10 menit
4. Menyangkal adanya kehilangan fungsi kesadaran
5. Akibatnya dia tidak dapat melanjutkan pekerjaannya
6. Dia merasa agak terganggu saat menerima promosi kenaikkan jabatan 1
bulan yang lalu .

C. PERTAYAAN
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi gangguan somatoform ?
2. Bagaimana patofisiologi timbulnya gangguan somatoform ?
3. Jelaskan faktor-faktor resiko yang menyebabkan keluhan ?
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis
5. Jelaskan penatalaksanaan awal berdasarkan skenario ?
6. Jelaskan diagnosis banding pada skenario ?
7. Perspektif islam

1. Jelaskan definisi dan klasifikasi gangguan somatoform ?

Gangguan Somatoform
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani “soma” yang berarti tubuh
Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan dimana:
a) Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun
tidakdapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung
penyakit fisiksebagai penyebab gejala
b) Adanya dugaan kuat bahwa gejala- gejala tersebut berkaitan dengan
faktor psikologis

Gangguan ini mencakup interaksi antara tubuh dengan pikiran (body-


mindinteraction). Gangguan-gangguan yang termasuk di dalam kategori
“gangguan somatoform”memiliki beberapa ciri umum yang sama
a) Manifestasi stres psikologik menjadi gejala somatik
b) Perilaku sakit yang abnormal (abnormal illness behavior) yaitu
disebabkanadanya ketidaksesuaian antara pengertian yang ditangkap pasien
tentangkondisi sakitnya (perceived illness) dengan penyakit yang
dialaminya(documented disease)
c) Adanya amplifikasi, yaitu dimana sensasi dari gejala fisik mengakibatkan
rasacemas (anxiety), kemudian rasa cemas dan aktivasi autonomik
yangdiasosiasikan dengan rasa cemas tersebut mengakibatkan eksaserbasi
gejala fisik.
d) Penderitaan (distress) yang bermakna dan seringnya angka kunjungan
untuk pelayanan medis.

Klasifikasi Gangguan Somatoform


1. Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi dicirikan dengan gejala-gejala somatik yang banyak
yang tidak dapat dicelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun
laboratorium. Keluhan yang diutamakan pasien sangat melimpah dan meliputi
berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual,saraf dan bercampur
dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis, berkaitan dengan stresor
psikologis yang bermakna,menimbulkan hendaya di bidang sosial dan
okupasi, serta adanya perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan.
Dikenal juga sebagai Briquet’s syndrome
2. Gangguan Konversi
Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai
dengan konsep anatomi dan fisiologi dasi sistem saraf pusat dan tepi. Hal
inisecara khas terjadi dengan adanya stress dan memunculkan disfungsi berat.
Kumpulan gejala yang saat ini disebut dengan ganguan konversi dengan
gangguan somatisasi,dikeanal dengan sebutan histeria,reaksi konversi atau
reaksi disosiatif.
3. Gangguan Hipokondriasis
Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi
denganketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius dan tidak
maumenerima penjelasan medis yang menunjukkan bahwa dirinya tidak
menderitasakit.
4. Gangguan Nyeri
Menurut DSM-IV-TR adalah nyeri yang merupakan keluhan utama dan
menjadi fous perhatian klnis. Faktor psikologis sangat berperan pada
gangguan ini. Gejala utama adalah nyeri pada satu tempat atau lebih, yang
tidak dapat dimasukkan secara penuh sebagai kondisi medik nonpsikiatri
maupu neurologik. Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan emosional dan
hendaya dalam fungsi kehidupan.
5. Body Dysmorphic Disorder
Memiliki perasaan subyektif yang pervasif bahwa beberapa aspek
penampilannya buruk padahal penampilannya normal atau nyaris baik.

2. Bagaimana patofisiologi timbulnya gangguan somatoform ?

Patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum diketahui. Primer

gangguan somatoform dapat dikaitkan dengan kesadaran dari sensasi tubuh yang

normal. Kesadaran ini dapat dihubungkan dengan bias kognitif untuk menafsirkan

setiap gejala fisik sebagai indikasi penyakit medis. Peningkatan fungsi otonom

mungkin tinggi pada beberapa pasien dengan somatisasi. Peningkatan otonom

mungkin berhubungan dengan efek fisiologis dari senyawa noradrenergik

endogen seperti takikardi atau hipermotalitas lambung. Semakin tingginya

peningkatan tersebut juga dapat menyebabkan ketegangan otot dan rasa sakit yang

terkait dengan hiperaktivitas otot, seperti yang terlihat dengan sakit kepala dan

ketegangan otot .

3. Faktor resiko gangguan somatoform ?

a. Gangguan nyeri (pain disorder)


Simtom ini menimbulkan strees emosional ataupun gangguan fungsional,
dan gangguan ini dianggap memiliki hubungan sebab akibat dengan factor
psikologis. Keluhan yang dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan
sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi, dan situasi. Dengan
kata lain, factor psikologis mempengaruhi kemunculan, bartahannya, dan
tingkat keparahan gangguan.
b. Body dismorphic disorder
Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan
mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian
wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau
bentuk dan ukuran hidung. Factor social dan budaya memainkan peranan
penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak
c. Hipokondriasis
Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus
berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen
yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan, bahkan terkadang
mereka menganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian.
Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi
fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak
teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut,
sebagai bukti dari kepercayaan mereka.

d. Gangguan konversi
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa
dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak
menyenangkan dalam hidup. Conversion disorder biasanya berkaitan
dengan diagnosis Axis 1 lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat
terlarang, dan dengan gangguan kepribadian.
e. Gangguan somatisasi
Tekanan psikososial dan lingkungan yang membuat stres sehingga tubuh
merasa sakit. Sakit yang biasanya dirasakan berpusat pada jantung,
pencernaan,pernapasan, kulit, dan sistem organ lainnya.Gangguan
somatisasi merupakan hasil dari keyakinan irasional dan kesalahan dalam
proses berpikir (distortion cognitive) serta adanya ketakutan yang
berlebihan tentang pentingnya sensasi fisik atau salah dalam menafsirkan
sensasi somatik. Sebagai contoh, individu percaya bahwa rasa sakit,
kelelahan, atau ketidaknyamanan dalam bentuk apapun merupakan tanda-
tanda penyakit yang terjadi pada dirinya.
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis ?

 Anamnesis
Identitas

 Nama
 Jenis Kelamin
 Usia
 Alamat
 Nomor telepon
 Agama
 Status Perkawinan
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Nama dan nomor keluarga yang dapat dihubungi
 Keluhan Utama
Kita dapat menanyakan keluhan utama pasien untuk berobat, kita juga dapat
menyakan alasan dia berobat kalau perlu dapat kita tanyakan siapa yang
merujuknya untuk berobat. Kita dapat tanyakan kejadiannya urutan
kronologisnya dari awal penyakit dimana berbagai perubahan mulai timbul
sampai keadaannya sekarang ini . catat juga kejadian pencetus dan berbagai
gejala yang muncul kemudian diurutkan seakurat mungkin berdasarkan waktu
kejadian.
Kita juga dapat menanyakan riwayat perkembangan kejiwaan anaknya dari
kecil sampai saat pasien datang kekita . apakah ada kesulitan dalam berteman
dengan teman sepermainnanya, apakah pasien mengalami keterbelakangan dan
kesulitan belajar sewaktu sekolah, bila pasien sudah menikah dapat kita tanyakan
bagaimana riwayat selama puber, hubungan dengan istri dan anak-anaknya.
Bagaimana dengan kebiasaan sehari-hari pasien apakah pasien suka minum-
minuman beralkohol menggunakan obat-obat hipnotik dan lain sebagainya.

 Riwayat Penyakit Sekarang


Dapat kita tanyakan apakah dahulu pasien pernah menderita sakit seperti ini ,
apakah pernah menjalani pengobatan sebelumnya, apakah pasien mendapatkan
hasil dari pengobatannya, dan lain sebagainya.

 Pemeriksaan Psikiatri ( Keadaan Mental )


1. Perilaku umum : penampilan , perilaku di bangsal sejak awal masuk rumah
sakit, sikap terhadap rumah sakit, dokter, perawat, pasien lain, kegiatan
makan, tidur, dsb.
2. Berbicara : uraikan cara pasien bicara, bukan apa yang dibicarakan. Banyak
atau sedikit, berbicara spontan atau hanya menjawab pertanyaan. Kecepatan
dan koherensi.
3. Afek: tidak hanya kegembiraan atau kesedihan, tetapi iritabilitas,
kebingungan , ketakutan, ansietas, . datar atau berubah-ubah, penyebab
perubahan, sesuai atau tidak sesuai. Ikap terhadap masa depan, masa lalu,
dan masa sekarang. Pikiran untuk bunuh diri.
4. Pola Pikir : mampu berpikir dalam bentuk abstrak (ujilah dengan berbagai
pepatah dan catat jawabannya ) secara konstan dengan alur bicara yang tidak
terputus-putus. Apakah pasien mengalami bloking, tekanan atau kekosongan
pikiran.
5. Isi Pikir : uraikan dengan lengkap isi piker , problem dan preokupasi.
Daftarkan kekuatiran utama pasien.
6. Waham dan salah interpetasi : keraguan terhadap lingkungan , ideas of
reference, persecution. Apakah ada wahan nihilistic , kebesaran , bersalah,
hipokondriasis dsb.
7. Halusinasi dan kelainan persepsi lainnya : apakah ada gangguan dalam
penglihatan, pendengaran , taktil yang pasien terima berdasarkan sumber dan
sifatnya, atau khayalan yang timbul pada diri sendiri .
8. Fenomena obsesi : isi obsesi dan seberapa kuat dia mempertahankannya .
kesadaran terhadap keanehan yang dia lakukan. Hubungannya dengan
keadaan emosi . hubungannya dengan tindakan konfulsif dan keagamaan.
9. Orientasi : mengetahui nama, identitas, tempat waktu, tanggal , orang lain ,
lingkungan rumah sakit.
10. Daya ingat ; dapat dinilai dari kemampuan pasien menjelaskan riwayatnya.
Tes daya ingat pasien terhadap kejadian yang baru terjadi dan kejadian masa
lalu , daya ingat terhadap daftar angka, nama dan alamat.
11. Perhatian dan kosentrasi : mudah dialihkan, preokupasi. Ujilah kemampuan
pasien untuk menyebutkan tanggal , dan bulan berurutan dari belakang
secara berurutan. Ujilah kemampuan pasien untuk menyebutkan angka
pengurangan 7 dari 100, missal 100, 93, 86, dan seterusnya.
12. Pengetahuan umum : ujilah berdasarkan pengalaman dan pendidikan pasien ,
gunakan peristiwa yang baru terjadi nama , nama mentri , presiden, ibu kota,
dan lain sebagainya.
13. Insight dan Judgement : sikap terhadap keadaan saat ini. Merasa sakit? Perlu
pengobatan? Rencana masa depan ? sikap terhadap keuangan, keluarga
ataupun etika.
 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji darah, urin, dan pemeriksaan
penunjang lain sesuai keluhan pasien. Alasan penting untuk melakukan uji
darah adalah memeriksan adanya gangguan organik, memeriksan komplikasi
fisik akibat gangguan psikiatri, dan menemukan gangguan metabolik. Uji darah
yang harus dilakukan yaitu, pemeriksaan darah lengkap, urea dan elektrolit, uji
fungsi tiroid, uji fungsi hati, kadar vitamin B 12 dan asam folat, serta serologi
sifilis. Untuk pemeriksaan darah lini kedua dapat dilakukan pemeriksaan kadar
kalsium, assay kortisol dan serologi HIV.
Pada uji urin kita melakukan skrining obat terlarang dalam urin untuk
memeriksa penyalahgunaan zat psikoaktif. Selain itu kita juga melakukan uji
urin lengkap seperti pada uji darah. Untuk pemeriksaan lain kita dapat
melakukan elektroensefalografi(EEG), elektrokardiografi(EKG), radiografi
seperti x-ray dan ct scan.

5. Jelaskan penatalaksanaan awal berdasarkan skenario ?


Non Farmakologi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya spontan. Pada pasien dengan
gangguan ini dapat dilakukan terapi suportif berorientasi tilikan atau terapi
perilaku. Bila pasien menolak psikoterapi, maka dokter dapat menyarankan
bahwa psikoterapi yang dilakukan akan difokuskan pada masalah stress dan
bagaimana mengatasinya. Hypnosis, anticemas dan terapi relaksasi sangat
efektif dalam beberapa kasus.
Farmakologi
Pemberian amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu
memperoleh riwayat penyakit, terutama ketika pasien baru saja mengalami
peristiwa traumatik. Pendekatan psikodinamik misalnya psikoanalisis dan
psikoterapi berorientasi tilikan, menuntun pasien memahami konflik
intrapsikis dan symbol dari gejala pada gangguan konversi. Psikoterapi
jangka pendek juga dapat digunakan. Semakin lama pasien menghayati peran
sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga pengobatan semakin sulit.

6. Jelaskan diagnosis banding pada skenario ?

GANGGUAN KONVERSI

a. Definisi

Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai
dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Hal
ini secara khas terjadi dengan adanya stress dan memunculkan disfungsi
berat.

b. Epidemiologi

Beberapa gejala-gejala konversi yang tidak cukup parah untuk dapat


didiagnosis sebagai gangguan konversi dapat terjadi pada 1/3 populasi
umum pada suatu hari dalam hidupnya. Satu komunitas melaporkan
insidens tahunan sebesar 22 per 100.000 orang. Beberapa penelitian
melaporkan terdapat 5% - 15% kasus gangguan konversi pada konsultasi
psikiatrik di rumah sakit umum, dan 25% - 30% dari pasien yang dirawat
di sebuah rumah sakit veteran (Amerika), DSM-IV-TR memberikan
kisaran dari yang paling rendah 11 kasus sampai yang tertinggi 500 kasus
gangguan konversi per 100.000 populasi.
Rasio wanita dibanding pria 2:1 sampai 10:1. Pada anak-anak, anak
perempuan juga lebih tinggi angka kejadiannya dibandingkan anak laki-
laki. Pria dengan gangguan ini sering kali mengalami kecelakaan kerja
atau kecelakaan militer. Awitan gangguan konversi dapat terjadi kapan
pun, dari usia anak-anak sampai usia tua, namun yang tersering pada
remaja dan dewasa muda. Gangguan ini jiga banyak terjadi pada populasi
perdesaan, individu dengan strata pendidikan yang rendah, tingkat
kecerdasan rendah, kelompok sosioekonomi rendah, dan anggota militer
yang pernah terpapar dengan situasi peperangan gangguan ini sering
berkomordibitas dengan gangguan depresi, gangguan cemas, skizofrenia
dan frekuensinya menigkat pada keluarga yang anggotanya menderita
gangguan konversi.

c. Etiologi

Faktor psikodinamik
Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan oleh
represi konflik-konflik intrapsikik yang tak disadari dan konversi dari
kecemasan ke dalam gejala fisik. Konflik terjadi antara dorongan instink
(agresi atau seksual) melawan larangan untuk mengekspresikan hal
tersebut. Pasien mendapat kesempatan mengekspresikan sebagian
dorongan atau hasrat terlarang tsb lewat gejala-gegala yang muncul
namun tersamar, sehingga secara sadar pasien dapat menghindar dari
konfrontasi terhadap impuls larangannya. Jadi, gejala pada konversi
memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tak disadari. Misalnya
vaginismus melindungi pasien untuk tidak mengekspresikan hasrat seksual
yang terlarang. Gejala gangguan konversi juga memberi peluang bagi
pasien untuk mrngatakan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan
penanganan khusus. Gejala semacam itu berfungsi sebagai pemberitahuan
secara nonverbal bahwa pasien memiliki kontrol dan manipulasi terhadap
orang lain.
Teori pembelajaran
Menurut conditioned learning theory, gejala konversi dapat dilihat
sebagai perilaku yang dipelajari secara klasik conditioning. Gejala-gejala
penyakit yang dipelajari sejak masa kanak, akan digunakan sebagai coping
dalam situasi yang tak disukainya.
Faktor biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme
di daerah hemisfer nondominan , yang berdampak pada terganggunya
komunikasi antar hemisfer sehingga menimbulkan gejala konversi.
Gejala dapat disebabkan karena area kortikal terangsang berlebihan
sehingga menimbulkan umpan balik negatif antara korteks serebral dan
formatio retikuler batang otak. Sebaliknya output kortikofugal yang
meningkat akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi tubuh, yang
menjelaskan mengapa pada pasien konversi terdapat defisit sensorik. Tes
neuropsikologis kadang-kadang menunjukkan gangguan serebral ringan
dalam komunikasi, daya ingat, kewaspadaan, afek dan atensi pada pasien
gangguan konversi.

d. Gambaran klinis

Gejala gangguan konversi yang paling sering muncul adalah paralisis,


buta, dan mutisme. Gangguan konversi sering kali berkaitan dengan
gangguan kepribadian pasif-agresif, dependen, antisosial, dan histrionik.
Gejala depresi dan cemas sering menyertai gejala gangguan konversi dan
pasien-pasien ini berisiko tinggi mengalami bunuh diri
Gejala sensorik
Pada gangguan konversi gejala yang sering timbul adalah anestesi dan
parestesi, terutama pada ekstremitas . semua modalitas sensorik dapat
terkena, dan distribusinya tidak sesuai dengan penyakit saraf pusat
maupun tepi. Gejala khas misalnya anestesi kaus kaki pada, anestesi
sarung tangun , atau hermianestesi dari tubuh yang bermula tepat di garis
tengah tubuh.
Gejala gangguan konversi dapat melibatkan organ sensorik khusus dan
menimbulkan ketulian, kebutaan, dan penglihatan terowongan (tunnel
vision).
Gejala motorik
Gejala motorik terdiri atas gerak abnormal, gangguan gaya berjalan,
kelemahan dan paralisis. Mungkin terdapat tremor ritmik kasar, gerak
koreoform, tik dan menghentak-hentak. Gerakan tersebut memburuk bila
pasien mendapat perhatian. Gangguan gaya berjalan yang tampak pada
gangguan konversi adalah astasia-abasia, yaitu gerak batang tubuh berupa
ataksia hebat, terhuyung-huyung, kasar, tak beraturan dengan sentakan-
sentakan, disertai gerak lengan seperti membanting dan melambai. Pasien
dengan gejala ini jarang jatuh, dan kalaupun jatuh tidak terluka.
Gangguan motor yang sering adalah paralisis dan paresis yang mengenai
satu, dua atau seluruh anggota tubuh, meskipun demikian distribusi dari
otot yang terlibat tak sesuai dengan jaras persarafan. Refleks-refleks tetap
normal. Tidak terdapat fasikulasi maupun atrofi otot, kecuali setelah
paralisis konversinya terjadi sudah lama. Elektromiografi normal.

Gejala bangkitan
Pseudo-seizures merupakan gejala yang mungkin didapat pada
gangguan konversi. Dokter yang merawat mengkin akan menemui
kesulitan membandingkan pseudo-seizures dari bangkitan yang sebenarnya
bila hanya berdasarkan observasi klinis. Namun sekitar 1/3 pasien dengan
pseudo-seizure juga disertai dengan gangguan epilepsi. Pada
pseudoseizure, pasien dapat tergigit lidahnya, inkontinensia urin dan
cedera karena terjatuh, meskipun gejala ini jarang sekali ditemui. Refleks
tercekik dan pupil tetap bertahan setelah setelah pseudoseizure dan tak
terjadi peningkatan konsentrasi prolaktin pasca-bangkitan.
Gambaran klinis lainnya
Beberapa gajala psikologis yang berkaitan dengan gangguan konversi :
Keuntungan primer (primary gain)
Pasien memperoleh keuntungan primer dengan mempertahankan
konflik internal di luar kesadarannya. Gejala memiliki nilai simbolik
psikologis di bawah sadar.
Keuntungan sekunder (secondary gain)
Pasien akan memperoleh keuntungan nyata dengan menjadi sakit,
misalnya: dibebaskan dari kewajiban dalam situasi kehidupan yang sulit,
mendapat dukungan dan bimbingan yang dalam situasi normal tak akan
didapatkannya, dapat mengontrol perilaku orang lain.
La belle indifference
La belle indifference adalah sikap angkuh yang tak sesuai terhadap
gejala serius yang dialaminya. Pasien tampaknya tak peduli dengan
hendaya berat yang dialaminya. Pada beberapa pasien sikap tak acuh
mungkin kurang tampak. Sikap seperti ini juga bisa didapat pada pasien
yang menderita penyakit medis yang serius yang menunjukkan sikap
tabah. Adanya atau tak adanya la belle indifference bukan dasar penilaian
yang akurat untuk menegakkan gangguan koversi.
Identifikasi
Pasien dengan gangguan konversi secara tak disadari meniru
gejalanya dari seseorang yang bermakna bagi dirinya. Misalnya, orang tua
atau seseorang yang baru saja meninggal menjadi model bagi pasien untuk
mengembangkan gejala koversi terutama selama reaksi berkabung yang
patologis.

e. Diagnosis

DSM-IV-TR membatasi diagnosis gangguan konversi untuk gejala-gejala


yang mengenai fungsi motorik dan sensorik, yaitu gejala neurologis.
Kriteria diagnosis gangguan konversi menurut DSM-IV-TR:
a. Satu atau lebih gejala atau defisit yang melibatkan fungsi motorik
volunter atau sensorik yang diperkirakan suatu kondisi neurologis
atau kondisi medik umum lainnya.

b. Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala atau defisit


didahului oleh konflik atau stresor lainnya.
c. Gejala atau defisit tidak dengan sengaja dibuat atau berpura-pura
(seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura)

d. Gejala atau defisit, setelah cukup penelusuran, tidak dapat secara


penuh dijelaskan sebagai kondisi medik umum, atau sebagai akibat
langsung dari zat, atau secara kultural sebagai perilaku atau
pengalaman penebusan.

e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan atau hendaya yang


bermakna secara klinis di bidang sosial, pekerjaan atau fungsi lain
atau menuntut evaluasi medis.

f. Gejala atau defisit tak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual,
tidak terjadi seata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi,
dan bukan karena gangguan mental lainnya.

f. Perjalanan Gangguan dan Prognosis

Gejala awal pada sebagian besar pasien dengan gangguan konversi,


mungkin 90 hingga 100 persen, membaik dalam beberapa hari atau kurang
dari satu bulan. Sebanyak 75 persen pasien dilaporkan dapat tidak
mengalami episode lain, tetapi 25 persen pasien lainnya memiliki episode
tambahan selama periode stres. Terkait dengan prognosis yang baik adalah
awitan mendadak, stresor mudah diidentifikasi, penyesuaian pramorbid
baik, tidak ada gangguan medis atau psikiatri komorbid, dan tidak sedang
menjalani proses hukum. Semakin lama gangguan konversi ada,
prognosisnya lebih buruk. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, 25
hingga 50 persen pasien di kemudian hari dapat memiliki gangguan
neurologis atau keadaan medis nonpsikiatri
yang mengenai sistem saraf. Dengan demikian, pasien dengan gangguan
konversi harus telah menjalani evaluasi lengkap neurogis dan medis pada
saat diagnosis.

g. Terapi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya spontan. Pada pasien
dengan gangguan ini dapat dilakukan dengan psikoterapi suportif
berorientasi tilikan atau terapi perilaku. Bila pasien menolak psikoterapi,
maka dokter dapat menyarankan bahwa psikoterapi yang dilakukan akan
difokuskan pada masalah stres dan bagaimana mengatasinya.
Hipnosis, anticemas dan terapi relaksasi sangat efektif dalam beberapa
kasus. Pemberian amobarbitat atau lorazepam parenteral dapat membantu
memperoleh riwayat penyakit, terutama ketiksa pasien baru saja
mengalami peristiwa traumatik. Pendekatan psikodinamik misalnya
psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan, menuntun pasien
memahami konflik intrapsikik dan simbol dari gejala pada gangguan
konversi. Psikoterapi jangka pendek juga dapat digunakan. Semakin lama
pasien menghayati peran sakit, sehingga pengobatan semakin sulit.

EPILEPSI

Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang


yang dapat disertai hilang- nya kesadaran penderita. Meskipun biasanya
diser- tai hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya
kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada
otak yang selanjutnya meng- ganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada
kekakuan otot atau pun hentakan repetitif pada otot. Dokter di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) harus mampu menegakkan diagnosis
epilepsi berdasarkan anamnesis dan pemerik- saan fisik yang cermat.
Autoanamnesis dan allo- anamnesis terhadap pasien, orang tua atau orang
yang merawat dan saksi mata yang mengetahui
Gambar 1 Klasifikasi berdasarkan ILAE 2016 (Basic scheme)

Gambar 2 Klasifikasi berdasarkan ILAE 2016 (Expanded scheme)

kejadian diperlukan untuk menggambarkan gejala dan tanda sebelum, selama dan
sesudah bangkitan dan untuk menentukan apakah bangkitan yang terjadi adalah
suatu bangkitan epileptik atau bukan. Apabila diagnosis epilepsi sudah
ditegakkan, secara klinis maka dokter di tingkat layanan primer harus segera
merujuk pasien ke fasilitas kesehatan ting- kat lanjut yang memiliki dokter
spesialis neurologi untuk mendapatkan penanganan lanjutan guna menentukan
terapi terbaik bagi pasien. Terapi Obat Anti Epilepsi (AOE) dapat diberikan oleh
dokter di layanan primer berdasarkan hasil konsultasi (ruju- kan balik) dari
spesialis neurologi kecuali pada daerah yang tidak ada dokter spesialis neurologi
dokter FKTP boleh memberi pertolongan sebelum merujuk.
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupay-
akan kondisi bebas bangkitan dengan efek samping seminimal mungkin sehingga
penyandang epilepsi dapat hidup secara normal dan mencapai kualitas hidup yang
optimal. Terapi penyandang epilepsi dibagi menjadi terapi farmakologis dan non
farma- kologis (edukasi dan konseling).
Keberhasilan terapi penyandang epilepsi sangat tergantung pada kepatuhan
pasien dalam menjal- ani terapi yang diberikan. Oleh karena itu, dokter di layanan
primer berperan penting dalam memantau perkembangan terapi serta memberikan
edukasi kepada penyandang epilepsi atau keluarganya tentang penyakit yang
dideritanya. Hasil penatalak- sanaan epilepsi hendaknya dipantau secara teren-
cana dan berkesinambungan serta dicatat pada rekam medis di lembar
pemantauan.

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2005, secara


konseptual, epilepsi didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya
kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus
dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.
Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat demam
tinggi, riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar
belakang susah melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca trauma
kelahiran, riwayat ibu yang menggunakan obat anti konvulsan selama kehamilan,
riwayat intoksikasi obat-obatan maupun alkohol, adanya riwayat penyakit pada
masa anak-anak (campak, mumps), riwayat gang- guan metabolisme nutrisi dan
gizi, riwayat keturunan epilepsi.

Penyebab timbulnya kejang pada penderita antara lain ketidakpatuhan


meminum obat sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter dan dosis yang telah
ditetapkan, meminum minuman keras seperti alkohol, memakai narkoba seperti
kokain atau pil lain seperti ekstasi, kurangnya tidur pada pender- ita,
mengkonsumsi obat lain sehingga mengganggu efek obat epilepsi.

Klasifikasi bangkitan Epileptik menurut ILAE 1981:2

1. Bangkitan Umum
1. Tonik – klonik
2. Absans
3. Klonik
4. Tonik
5. Atonik
6. Mioklonik
2. Bangkitan Parsial / Fokal
1. Parsial sederhana
2. Parsial kompleks
3. Kejang umum sekunder

3. Tidak terklasifikasi
Gejala-gejala kejang epilepsi antara lain:

1. Bangkitan Umum

Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal
kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial
simpleks atau kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan kejang umum
tonik-klonik sekunder.

1.1. Tonik – Klonik (Grand Mal)

Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan
sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh menegang
(tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewak- tu-waktu
terputus menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat
terakumu- lasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat
terjadi kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar
dua menit atau kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi
dan tidur. Sakit kepala dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.

1.2. Absens (Petit Mal)

Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi pada
orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak perhatian. Sering
ada riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali mendadak ditandai dengan
menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon, menghenti- kan aktifitas yang
dilakukan. Terkadang dengan kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas. Durasi
kurang lebih 10 detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali
sadar dan melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan
tentang kejang yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang normal.
Kejang pada anak-anak biasanya teratasi seiring dengan pubertas.

1.3. Mioklonik

Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens terjadi


pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan menjatuh- kan
dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak terganggu, penderita dapat
merasa kebingun- gan dan mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam periode
singkat. Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik.

1.4. Tonik

Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh,


menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan. Kejang tonik
dapat terjadi pula saat tertidur.

1.5. Atonik

Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menye- babkan penderita lemas dan
terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala. Tidak ada
tanda kehilangan kesadaran dan cepat pemulihan kecuali terjadi cedera.

2. Bangkitan Parsial / Fokal

Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan dengan kejadian


lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area lain. Jika menyebar,
akan menjadi kejang umum (sekunder), paling sering terjadi kejang tonik klonik. 60 %
penderita epilepsi merupakan kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap
terapi antiepileptik.

2.1. Parsial Sederhana


Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warn- ing” dan terjadi sebelum
kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan kesadaran,
dengan durasi kurang dari satu menit.

2.2. Parsial Kompleks

Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan
penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan tatapan kosong,
kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan bingung. Kesadaran terganggu dan
orang mungkin tidak merespon. Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak
biasa. Perilaku umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau bergumam.
Kejang parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang,
penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang.

Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu:

1. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam

2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang selanjutnya
sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam
10 tahun mendatang, serta,

3. Sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).

Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang tanpa efek samping. Obat-obat lini pertama
untuk epilepsi antara lain:

1. Karbamazepine, untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal. Tidak efektif untuk
kejang absens. Dapat memperburuk kejang myok- lonik. Dosis total 600-1200

mg dibagi menjadi 3-4 dosis per hari.

2. Lamotrigine, efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik-klonik. Dosis 100-200
mg sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis 200-400 mg bila
digunakan bersama dengan fenitoin, fenobarbital, atau karbamazepine.
3. Asam valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik-klonik, dan kejang
absens. Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari.

4. Obat-obat yang tersedia di puskesmas

a. Fenobarbital, dapat dimulai dengan dosis 60mg/hari per oral


dinaikkan 30 mg setiap 2-4 minggu hingga tercapai target 90-120
mg/hari.

b. Fenitoin (300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau dua
dosis)

c. Karbamazepine (800-1200 mg/ hari per oral dibagi menjadi tiga


hingga empat dosis). Obat ini merupakan obat pilihan untuk pasien
epilepsi pada kehamilan.

Terapi lain berupa terapi non-farmakologi dan terapi bedah (lobektomi dan
lesionektomi).

HIPOKONDRIASIS

Definisi

Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi dengan


ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien dengan
hipokondriasis memiliki interpretasi yang tidak realistis maupun akurat terhadap
gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Preokupasi
pasien menimbulkan penderitaan bagi dirinya dan mengganggu kemampuannya
untuk berfungsi secara baik di bidnag sosial, interpersonal dan pekerjaan.

Epidemiologi

Prevalensi hipokondriasis 4 – 6% dari populasi pasien medic umum, dan


kemungkinan tertinggi adalah 15%. Awitan dari Gejala dapat terjadi pada segala
usia, namun yang tersering pada usia 20 – 30 tahun. Angka kejadian tak
dipengaruhi oleh strata sosial, pendidikan maupun perkawinan. Keluhan
hipokondriasis terjadi pada 3% mahasiswa kedokteran yang umumnya terjadi
pada 2 tahun pertama pendidikan, namun bersifat sesaat saja.

Etiologi

Pasien dengan hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah. Mereka salah
menginterpretasikan sensasi fisik. Sebagai contoh, seseorang yang secara normal
mempersepsikan sebagai rasa kembung, oleh pasien hipokondriasis dirasakan
sebagai sakit perut. Pasien hipokondriasis menambah dan memperbesar sensasi
somatik yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik mempunyai
ambang dan toleransi yang rendah. Hipokondriasis juga bisa dipandang dari sudut
model pembelajaran social. Gejala – gejala hipokondriasis dapat dilihat sebagai
permintaan untuk mendapatkan peran sakit pada seseorang yang menghadapi
masalah berat yang tak dapat diselesaikannya. Peran sakit memberikan peluang
bagi seseorang untuk menghindari kewajiban berat, menunda tantangan yang tak
dikehendaki dan mendapatkan permakluman untuk tidak memenuhi tugas dan
tanggung jawabnya. Teori lain memandang hipokondriasis sebagai bentuk varian
gangguan mental lainnya yang tersering adalah depresi dan cemas. Diperkirakan
80% pasien hipokondriasis juga mengalami gangguan depresi atau cemas
bersamaan. Menurut teori psikodinamik, dorongan agresivitas dan permusuhan
yang ditunjukan kepada orang lain dipindahkan (lewat mekanisme represi dan
displacement) ke dalam keluhan – keluhan somatik. Kemarahan pasien
hipokondriasis berasal dari ketidakpuasan, penolakan dan kehilangan di masa lalu.
Namun, pasien mengekspresikan kemarahannya di masa sekarang dengan mencari
bantuan dan kepedulian dari orang lain yang kemudian dicampakkannya dengan
alasan bahwa orang tersebut tidak efektif. Hipokondriasis juga dipandang sebagai
pertahanan terhadap rasa bersalah, dan sebagai tanda dari kepedulian berlebihan
terhadpa diri sendiri. Rasa sakit dan penderitaan somatik menjadi penebusan dan
peniadaan (undoing) yang dihayati sebagai hukuman terhadap kesalahan di masa
lalu (nyata maupun imajinasi) dan perasaan bahwa dirinya jahat serta berdosa.
Gambaran Klinis

Pasien hipokondriasis yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang belum
bisa diseteksi dan mereka sulit dijelaskan yang sebaliknya. Mereka
mempertahankan keyakinan bahwa dirinya mengidap suatu penyakit dan dengan
berjalannya waktu keyakinannya beralih ke penyakit lain. Keyakinannya bertahan
meskipun hasil laboratorium negatif, jinaknya perjalanan penyakit yang dicurigai,
dan penentraman dari dokter. Meskipun demikian keyakinan tersebut tidak sampai
bertaraf waham. Hipokondriasis sering kali disertai dengan gejala depresi, atau
berkomorbid dengan gangguan depresi dan gangguan cemas. Meskipun DSM IV
– TR menyebutkan bahwa gangguan ini harus sudah berlangsung sekurangnya 6
bulan, keadaan hipokondriasis sesaat dapat saja terjadi setelah adanya tekanan
yang berat misalnya kematian atau penyakit serius yang diderita seorang yang
bermakna bagi pasien. Keadaan ini yang berlangsung kurang dari 6 bulan harus
didiagnosis sebagai gangguan somatoform yang tak tergolongkan. Kondisi
hipokondriasis sesaat sebagai respons terhadap tekanan biasanya hilang bila
tekanan tak ada lagi, tetapi bisa menjadi kronik bila diperkuat oleh orang – orang
dalam sistem sosial pasien atau oleh profesi kesehatan.

Diagnosis

Diagnosis berdasarkan DSM IV –TR kriteria hipokondriasis adalah sebagai


berikut:

a. Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai


penyakit serius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejala – gejala
tubuh

b. Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medic dan


penentraman
c. Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas waham (seperti
gangguan waham, jenis somatik) dan terbatas pada kepedulian tentang
penampilan (seperti pada body dysmorphic disorder)

d. Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau


hendaya dalam bidang social, pekerjaan dan fungsi penting lainnya

e. Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan

f. Preokupasi bukan disebabkan karena gangguan cemas menyeluruh,


gangguan obsesif kompulsif, gangguan panik, episode depresif, cemas
perpisahan, atau gangguan somatoform lainnya.

Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodic. Setiap episode berlangsung


berbulan – bulan sampai tahunan dan dipisahkan oleh periode tenang yang sama
lamanya. Terdapat asosiasi yang kuat antara kekambuhan hipokondriasis dengan
stressor psikososial. Kira – kira sepertiga sampai setengah dari pasien
hipokondtiasis mengalami perbaikan yang bermakna. Prognosis yang baik
berkaitan dengan status sosial – ekonomi yang tinggi, pengobatan terhadap cemas
dan depresi yang responsive, awitan dari gejala yang mendadak, tidak ada
gangguan kepribadian, dan tidak ada kondisi medic nonpsikiatrik yang terkait.
Pada anak – anak yang menderita hipokondriasis akan membaik saat remaja akhir
atau dewasa awal.

Terapi

Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Beberapa bersedia


menerima terapi psikiatrik apabila dilakukan pada setting medis dan dengan fokus
menurunkan stress dan edukasi untuk menghadapi penyakit kronik. Psikoterapi
kelompok bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena memberikan dukungan
sosial dan interaksi sosial sehingga menurunkan kecemasan. Bentuk psikoterapi
lain yang dapat bermanfaat adalah psikoterapi individual berorientasi tilikan,
terapi perilaku, terapi kognitif dan hipnosis. Pemeriksaan fisik terjadwal yang
teratur membantu menenangkan pasien, bahwa dokternya tak meninggalkannya
dan keluhannya ditangani secara serius. Namun prosedur diagnostik dan terapi
invasif dilakukan hanya bila ada bukti objektif untuk dilakukan tindakan tersebut.
Farmakoterapi diberikan pada pasien hipokondriasis yang berkomorbiditas
dengan gangguan lain seperti gangguan cemas dan gangguan depresi. Atau apabila
hipokondriasis merupakan kondisi sekunder terhadap gangguan mental primer
lainnya, maka gangguan primer harus diatasi. Apabila hipokondriasis merupakan
reaksi situsional sesaat, maka pasien harus dibantu untuk mengatasi stress tanpa
mempekuat perilaku sakitnya dan pemanfaatan peran sakitnya sebagai solusi
terhadap masalahnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dr.dr.Rusdi Maslim SpKJ,M.kes. Buku Saku Diagnosis Ganguan Jiwa. PPDGJ-


III & DSM -5. FK Unika Atmajaya.2013.
2. Yates, William. Somatoform Disorders. 2012 [dikutip 2012, Desember, 4]. Dapat
diunduh di: URL: http://emedicine.medscape.com/article/294908.
3.RAK Sampurno, Kajian Teori, UIN Malang, 2012 NR Selvera, Latar Belakang
Gangguan Somatoform, UMM, 2013. https://epirints.umm.ac.id

4. Buku ajar psikiatri. Fakultas kedokteran universitas Indonesia. Hal. 294.


5. Prasetyo, Jan. 2017. Buku Ajar Psikiatri Edisi 3. Jakarta : FKUI

6. Kristanto A. Epilepsi Bangkitan Umum Tonik-Klonik Di UGD RSUP Sanglah


Denpasar-Bali. 2017;8(1):69–73.

7. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Jakarta. 2013.

8.Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Catatan kuliah psikiatrik, Ed 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995. H: 1-6

Anda mungkin juga menyukai