MODUL 3
GANGGUAN SOMATOFORM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
SKENARIO C
Seorang perempuan berusia berusia 26 tahun datang ke poliklinik RS ibnu
sina dengan keluhan selama 3 minggu terakhir dia mengalami kejang hampir
setiap hari .Dia menceritakan bahwa ia sering tiba-tiba jatuh dan diikuti dengan
gerakan lengan dan kakinya yang tak terkendali peristiwa ini berlangsung kurang
lebih 10 menit . meskipun dia menyangkal adanya kehilangan fungsi ksadaran ,
sebagai akibatnya dia tidak melanjutkan pekerjaanya .Dia merasa agak terganggu
saat menerima promosi kenaikan jabatan 1 bulan yang lalu.
A. KATA SULIT
Tidak ada
B. KATA KUNCI
1. Perempuan 26 tahun
2. Keluhan selama 3 minggu terakhir mengalami kejang hamper setiap hari
3. Tiba – tiba jatuh diikuti gerakan kaki dan lengan tidak terkendali selama
kurang lebih 10 menit
4. Menyangkal adanya kehilangan fungsi kesadaran
5. Akibatnya dia tidak dapat melanjutkan pekerjaannya
6. Dia merasa agak terganggu saat menerima promosi kenaikkan jabatan 1
bulan yang lalu .
C. PERTAYAAN
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi gangguan somatoform ?
2. Bagaimana patofisiologi timbulnya gangguan somatoform ?
3. Jelaskan faktor-faktor resiko yang menyebabkan keluhan ?
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis
5. Jelaskan penatalaksanaan awal berdasarkan skenario ?
6. Jelaskan diagnosis banding pada skenario ?
7. Perspektif islam
Gangguan Somatoform
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani “soma” yang berarti tubuh
Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan dimana:
a) Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun
tidakdapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung
penyakit fisiksebagai penyebab gejala
b) Adanya dugaan kuat bahwa gejala- gejala tersebut berkaitan dengan
faktor psikologis
gangguan somatoform dapat dikaitkan dengan kesadaran dari sensasi tubuh yang
normal. Kesadaran ini dapat dihubungkan dengan bias kognitif untuk menafsirkan
setiap gejala fisik sebagai indikasi penyakit medis. Peningkatan fungsi otonom
peningkatan tersebut juga dapat menyebabkan ketegangan otot dan rasa sakit yang
terkait dengan hiperaktivitas otot, seperti yang terlihat dengan sakit kepala dan
ketegangan otot .
d. Gangguan konversi
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa
dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak
menyenangkan dalam hidup. Conversion disorder biasanya berkaitan
dengan diagnosis Axis 1 lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat
terlarang, dan dengan gangguan kepribadian.
e. Gangguan somatisasi
Tekanan psikososial dan lingkungan yang membuat stres sehingga tubuh
merasa sakit. Sakit yang biasanya dirasakan berpusat pada jantung,
pencernaan,pernapasan, kulit, dan sistem organ lainnya.Gangguan
somatisasi merupakan hasil dari keyakinan irasional dan kesalahan dalam
proses berpikir (distortion cognitive) serta adanya ketakutan yang
berlebihan tentang pentingnya sensasi fisik atau salah dalam menafsirkan
sensasi somatik. Sebagai contoh, individu percaya bahwa rasa sakit,
kelelahan, atau ketidaknyamanan dalam bentuk apapun merupakan tanda-
tanda penyakit yang terjadi pada dirinya.
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis ?
Anamnesis
Identitas
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Alamat
Nomor telepon
Agama
Status Perkawinan
Pendidikan
Pekerjaan
Nama dan nomor keluarga yang dapat dihubungi
Keluhan Utama
Kita dapat menanyakan keluhan utama pasien untuk berobat, kita juga dapat
menyakan alasan dia berobat kalau perlu dapat kita tanyakan siapa yang
merujuknya untuk berobat. Kita dapat tanyakan kejadiannya urutan
kronologisnya dari awal penyakit dimana berbagai perubahan mulai timbul
sampai keadaannya sekarang ini . catat juga kejadian pencetus dan berbagai
gejala yang muncul kemudian diurutkan seakurat mungkin berdasarkan waktu
kejadian.
Kita juga dapat menanyakan riwayat perkembangan kejiwaan anaknya dari
kecil sampai saat pasien datang kekita . apakah ada kesulitan dalam berteman
dengan teman sepermainnanya, apakah pasien mengalami keterbelakangan dan
kesulitan belajar sewaktu sekolah, bila pasien sudah menikah dapat kita tanyakan
bagaimana riwayat selama puber, hubungan dengan istri dan anak-anaknya.
Bagaimana dengan kebiasaan sehari-hari pasien apakah pasien suka minum-
minuman beralkohol menggunakan obat-obat hipnotik dan lain sebagainya.
GANGGUAN KONVERSI
a. Definisi
Gangguan konversi adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak sesuai
dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat dan tepi. Hal
ini secara khas terjadi dengan adanya stress dan memunculkan disfungsi
berat.
b. Epidemiologi
c. Etiologi
Faktor psikodinamik
Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan oleh
represi konflik-konflik intrapsikik yang tak disadari dan konversi dari
kecemasan ke dalam gejala fisik. Konflik terjadi antara dorongan instink
(agresi atau seksual) melawan larangan untuk mengekspresikan hal
tersebut. Pasien mendapat kesempatan mengekspresikan sebagian
dorongan atau hasrat terlarang tsb lewat gejala-gegala yang muncul
namun tersamar, sehingga secara sadar pasien dapat menghindar dari
konfrontasi terhadap impuls larangannya. Jadi, gejala pada konversi
memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tak disadari. Misalnya
vaginismus melindungi pasien untuk tidak mengekspresikan hasrat seksual
yang terlarang. Gejala gangguan konversi juga memberi peluang bagi
pasien untuk mrngatakan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan
penanganan khusus. Gejala semacam itu berfungsi sebagai pemberitahuan
secara nonverbal bahwa pasien memiliki kontrol dan manipulasi terhadap
orang lain.
Teori pembelajaran
Menurut conditioned learning theory, gejala konversi dapat dilihat
sebagai perilaku yang dipelajari secara klasik conditioning. Gejala-gejala
penyakit yang dipelajari sejak masa kanak, akan digunakan sebagai coping
dalam situasi yang tak disukainya.
Faktor biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme
di daerah hemisfer nondominan , yang berdampak pada terganggunya
komunikasi antar hemisfer sehingga menimbulkan gejala konversi.
Gejala dapat disebabkan karena area kortikal terangsang berlebihan
sehingga menimbulkan umpan balik negatif antara korteks serebral dan
formatio retikuler batang otak. Sebaliknya output kortikofugal yang
meningkat akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi tubuh, yang
menjelaskan mengapa pada pasien konversi terdapat defisit sensorik. Tes
neuropsikologis kadang-kadang menunjukkan gangguan serebral ringan
dalam komunikasi, daya ingat, kewaspadaan, afek dan atensi pada pasien
gangguan konversi.
d. Gambaran klinis
Gejala bangkitan
Pseudo-seizures merupakan gejala yang mungkin didapat pada
gangguan konversi. Dokter yang merawat mengkin akan menemui
kesulitan membandingkan pseudo-seizures dari bangkitan yang sebenarnya
bila hanya berdasarkan observasi klinis. Namun sekitar 1/3 pasien dengan
pseudo-seizure juga disertai dengan gangguan epilepsi. Pada
pseudoseizure, pasien dapat tergigit lidahnya, inkontinensia urin dan
cedera karena terjatuh, meskipun gejala ini jarang sekali ditemui. Refleks
tercekik dan pupil tetap bertahan setelah setelah pseudoseizure dan tak
terjadi peningkatan konsentrasi prolaktin pasca-bangkitan.
Gambaran klinis lainnya
Beberapa gajala psikologis yang berkaitan dengan gangguan konversi :
Keuntungan primer (primary gain)
Pasien memperoleh keuntungan primer dengan mempertahankan
konflik internal di luar kesadarannya. Gejala memiliki nilai simbolik
psikologis di bawah sadar.
Keuntungan sekunder (secondary gain)
Pasien akan memperoleh keuntungan nyata dengan menjadi sakit,
misalnya: dibebaskan dari kewajiban dalam situasi kehidupan yang sulit,
mendapat dukungan dan bimbingan yang dalam situasi normal tak akan
didapatkannya, dapat mengontrol perilaku orang lain.
La belle indifference
La belle indifference adalah sikap angkuh yang tak sesuai terhadap
gejala serius yang dialaminya. Pasien tampaknya tak peduli dengan
hendaya berat yang dialaminya. Pada beberapa pasien sikap tak acuh
mungkin kurang tampak. Sikap seperti ini juga bisa didapat pada pasien
yang menderita penyakit medis yang serius yang menunjukkan sikap
tabah. Adanya atau tak adanya la belle indifference bukan dasar penilaian
yang akurat untuk menegakkan gangguan koversi.
Identifikasi
Pasien dengan gangguan konversi secara tak disadari meniru
gejalanya dari seseorang yang bermakna bagi dirinya. Misalnya, orang tua
atau seseorang yang baru saja meninggal menjadi model bagi pasien untuk
mengembangkan gejala koversi terutama selama reaksi berkabung yang
patologis.
e. Diagnosis
f. Gejala atau defisit tak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual,
tidak terjadi seata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi,
dan bukan karena gangguan mental lainnya.
g. Terapi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya spontan. Pada pasien
dengan gangguan ini dapat dilakukan dengan psikoterapi suportif
berorientasi tilikan atau terapi perilaku. Bila pasien menolak psikoterapi,
maka dokter dapat menyarankan bahwa psikoterapi yang dilakukan akan
difokuskan pada masalah stres dan bagaimana mengatasinya.
Hipnosis, anticemas dan terapi relaksasi sangat efektif dalam beberapa
kasus. Pemberian amobarbitat atau lorazepam parenteral dapat membantu
memperoleh riwayat penyakit, terutama ketiksa pasien baru saja
mengalami peristiwa traumatik. Pendekatan psikodinamik misalnya
psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan, menuntun pasien
memahami konflik intrapsikik dan simbol dari gejala pada gangguan
konversi. Psikoterapi jangka pendek juga dapat digunakan. Semakin lama
pasien menghayati peran sakit, sehingga pengobatan semakin sulit.
EPILEPSI
kejadian diperlukan untuk menggambarkan gejala dan tanda sebelum, selama dan
sesudah bangkitan dan untuk menentukan apakah bangkitan yang terjadi adalah
suatu bangkitan epileptik atau bukan. Apabila diagnosis epilepsi sudah
ditegakkan, secara klinis maka dokter di tingkat layanan primer harus segera
merujuk pasien ke fasilitas kesehatan ting- kat lanjut yang memiliki dokter
spesialis neurologi untuk mendapatkan penanganan lanjutan guna menentukan
terapi terbaik bagi pasien. Terapi Obat Anti Epilepsi (AOE) dapat diberikan oleh
dokter di layanan primer berdasarkan hasil konsultasi (ruju- kan balik) dari
spesialis neurologi kecuali pada daerah yang tidak ada dokter spesialis neurologi
dokter FKTP boleh memberi pertolongan sebelum merujuk.
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupay-
akan kondisi bebas bangkitan dengan efek samping seminimal mungkin sehingga
penyandang epilepsi dapat hidup secara normal dan mencapai kualitas hidup yang
optimal. Terapi penyandang epilepsi dibagi menjadi terapi farmakologis dan non
farma- kologis (edukasi dan konseling).
Keberhasilan terapi penyandang epilepsi sangat tergantung pada kepatuhan
pasien dalam menjal- ani terapi yang diberikan. Oleh karena itu, dokter di layanan
primer berperan penting dalam memantau perkembangan terapi serta memberikan
edukasi kepada penyandang epilepsi atau keluarganya tentang penyakit yang
dideritanya. Hasil penatalak- sanaan epilepsi hendaknya dipantau secara teren-
cana dan berkesinambungan serta dicatat pada rekam medis di lembar
pemantauan.
1. Bangkitan Umum
1. Tonik – klonik
2. Absans
3. Klonik
4. Tonik
5. Atonik
6. Mioklonik
2. Bangkitan Parsial / Fokal
1. Parsial sederhana
2. Parsial kompleks
3. Kejang umum sekunder
3. Tidak terklasifikasi
Gejala-gejala kejang epilepsi antara lain:
1. Bangkitan Umum
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal
kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial
simpleks atau kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan kejang umum
tonik-klonik sekunder.
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan
sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh menegang
(tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewak- tu-waktu
terputus menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat
terakumu- lasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat
terjadi kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar
dua menit atau kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi
dan tidur. Sakit kepala dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi pada
orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak perhatian. Sering
ada riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali mendadak ditandai dengan
menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon, menghenti- kan aktifitas yang
dilakukan. Terkadang dengan kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas. Durasi
kurang lebih 10 detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali
sadar dan melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan
tentang kejang yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang normal.
Kejang pada anak-anak biasanya teratasi seiring dengan pubertas.
1.3. Mioklonik
1.4. Tonik
1.5. Atonik
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menye- babkan penderita lemas dan
terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala. Tidak ada
tanda kehilangan kesadaran dan cepat pemulihan kecuali terjadi cedera.
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan
penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan tatapan kosong,
kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan bingung. Kesadaran terganggu dan
orang mungkin tidak merespon. Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak
biasa. Perilaku umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau bergumam.
Kejang parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang,
penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang.
Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu:
1. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam
2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang selanjutnya
sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam
10 tahun mendatang, serta,
Tujuan tatalaksana adalah status bebas kejang tanpa efek samping. Obat-obat lini pertama
untuk epilepsi antara lain:
1. Karbamazepine, untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal. Tidak efektif untuk
kejang absens. Dapat memperburuk kejang myok- lonik. Dosis total 600-1200
2. Lamotrigine, efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik-klonik. Dosis 100-200
mg sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. Dosis 200-400 mg bila
digunakan bersama dengan fenitoin, fenobarbital, atau karbamazepine.
3. Asam valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik-klonik, dan kejang
absens. Dosis 400-2000 mg dibagi 1-2 dosis per hari.
b. Fenitoin (300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau dua
dosis)
Terapi lain berupa terapi non-farmakologi dan terapi bedah (lobektomi dan
lesionektomi).
HIPOKONDRIASIS
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Pasien dengan hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah. Mereka salah
menginterpretasikan sensasi fisik. Sebagai contoh, seseorang yang secara normal
mempersepsikan sebagai rasa kembung, oleh pasien hipokondriasis dirasakan
sebagai sakit perut. Pasien hipokondriasis menambah dan memperbesar sensasi
somatik yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik mempunyai
ambang dan toleransi yang rendah. Hipokondriasis juga bisa dipandang dari sudut
model pembelajaran social. Gejala – gejala hipokondriasis dapat dilihat sebagai
permintaan untuk mendapatkan peran sakit pada seseorang yang menghadapi
masalah berat yang tak dapat diselesaikannya. Peran sakit memberikan peluang
bagi seseorang untuk menghindari kewajiban berat, menunda tantangan yang tak
dikehendaki dan mendapatkan permakluman untuk tidak memenuhi tugas dan
tanggung jawabnya. Teori lain memandang hipokondriasis sebagai bentuk varian
gangguan mental lainnya yang tersering adalah depresi dan cemas. Diperkirakan
80% pasien hipokondriasis juga mengalami gangguan depresi atau cemas
bersamaan. Menurut teori psikodinamik, dorongan agresivitas dan permusuhan
yang ditunjukan kepada orang lain dipindahkan (lewat mekanisme represi dan
displacement) ke dalam keluhan – keluhan somatik. Kemarahan pasien
hipokondriasis berasal dari ketidakpuasan, penolakan dan kehilangan di masa lalu.
Namun, pasien mengekspresikan kemarahannya di masa sekarang dengan mencari
bantuan dan kepedulian dari orang lain yang kemudian dicampakkannya dengan
alasan bahwa orang tersebut tidak efektif. Hipokondriasis juga dipandang sebagai
pertahanan terhadap rasa bersalah, dan sebagai tanda dari kepedulian berlebihan
terhadpa diri sendiri. Rasa sakit dan penderitaan somatik menjadi penebusan dan
peniadaan (undoing) yang dihayati sebagai hukuman terhadap kesalahan di masa
lalu (nyata maupun imajinasi) dan perasaan bahwa dirinya jahat serta berdosa.
Gambaran Klinis
Pasien hipokondriasis yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang belum
bisa diseteksi dan mereka sulit dijelaskan yang sebaliknya. Mereka
mempertahankan keyakinan bahwa dirinya mengidap suatu penyakit dan dengan
berjalannya waktu keyakinannya beralih ke penyakit lain. Keyakinannya bertahan
meskipun hasil laboratorium negatif, jinaknya perjalanan penyakit yang dicurigai,
dan penentraman dari dokter. Meskipun demikian keyakinan tersebut tidak sampai
bertaraf waham. Hipokondriasis sering kali disertai dengan gejala depresi, atau
berkomorbid dengan gangguan depresi dan gangguan cemas. Meskipun DSM IV
– TR menyebutkan bahwa gangguan ini harus sudah berlangsung sekurangnya 6
bulan, keadaan hipokondriasis sesaat dapat saja terjadi setelah adanya tekanan
yang berat misalnya kematian atau penyakit serius yang diderita seorang yang
bermakna bagi pasien. Keadaan ini yang berlangsung kurang dari 6 bulan harus
didiagnosis sebagai gangguan somatoform yang tak tergolongkan. Kondisi
hipokondriasis sesaat sebagai respons terhadap tekanan biasanya hilang bila
tekanan tak ada lagi, tetapi bisa menjadi kronik bila diperkuat oleh orang – orang
dalam sistem sosial pasien atau oleh profesi kesehatan.
Diagnosis
Perjalanan Penyakit
Terapi
DAFTAR PUSTAKA
8.Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Catatan kuliah psikiatrik, Ed 6. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995. H: 1-6