PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Gangguan waham menetap merupakan bagian kelompok gangguan
psikotik non organik, ciri khas gangguan jiwa yang tergolong dalam kelompok
gangguan ini adalah terdapatnya gejala psikotik yang cukup bermakna dan yang
tidak disebabkan oleh gangguan mental organik dan gangguan mental dan
perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (Dharmono, 2014)
Gejala psikotik adalah halusinasi, perilaku gaduh gelisah, kacau, aktivitas
berlebihan atau retardasi psikomotor berat, perilaku katatonik, pembicaraan yang
kacau atau waham tanpa tilikan yang baik (akan tetapi dalam keadaan remisi
tilikannya dapat bertambah baik) (Dharmono, 2014)
Gangguan waham menetap memiliki ciri khas yaitu hanya terdapat waham
yanh tidak aneh (non bizzare) dan berlangsung paling sedikit tiga bulan
(Dharmono, 2014). Prevalensi gangguan waham menetap di dunia sangat
bervariasi, berdasarkan beberapa literatur prevalensi pasien yang dirawat inap
dilaporkan sebesar 0,5-0,9 % dan pada pasien yang dirawat jalan, berkisar antara
0,83-1,2 %. Sementara pada populasi dunia, angka prevalensi dari gangguan ini
mencapai 24-30 kasus dari 100.000 orang. Onset umur paling banyak ditemukan
pada umur 40 tahun dengan wanita lebih banyak dibandingkan pria berkisar antara
1,18-3 : 1 (Ariawan, 2014)
Di Indonesia gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan
salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia, gangguan waham menetap, maupun
skizoafektif . Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh
terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk.
Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham,
gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya
agresivitas atau katatonik. Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai
1.7 permil dari seluruh kepala rumah tangga (Depkes RI, 2013).
1.2.
Tujuan
a. Tujuan Umum
Melengkapi persyaratan tugas kepanitraan klinik stase Jiwa Rumah
Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam.
b. Tujuan Khusus
Mengetahui dan mengerti segala yang berhubungan dengan penyakit
Gangguan Waham Menetap meliputi definisi penyakit Gangguan Waham
Menetap sampai pada prognosis penyakit Gangguan Waham Menetap.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kisaran usia awitan dimulai dari 18 sampai 90 tahun dengan onset usia
rata-rata adalah sekitar 40 dan 55 tahun, namun gangguan ini dapat terjadi
kapan saja dalam periode usia lanjut. Sebuah penelitian di Spanyol yang
mengamati rekam medis dari 370 orang dengan diagnosis gangguan waham
menetap menemukan usia rata-rata pada populasi tersebut adalah 55 tahun
dengan 56,5 % dari pasien adalah perempuan (Damping, 2014., Bourgeois,
2015). Terdapat sedikit kecenderungan bahwa perempuan lebih sering terkena.
Laki-laki lebih mungkin mengalami waham paranoid dari pada perempuan,
sedengkan perempuan lebih mungkin mengalami waham erotomania
dibandingkan pria. Ini terkait faktor menikah, bekerja, imigrasi, status sosial
ekonomi rendah (Sadock, B.J dan Sadock V.A., 2010).
2.3 Etiologi Gangguan Waham Menetap
Penyebab gangguan waham menetap tidak diketahui. Pasien yang saat ini
digolongkan mengalami gangguan waham mungkin mengalami sekolompok
keadaan heterogen dengan waham sebagai gejala yang menonjol. Konsep
utama mengenai penyebab gangguan waham adalah perbedaannya dengan
skizofrenia dan gangguan mood. Gangguan waham jauh lebih jarang dari pada
skizofrenia maupun gangguan mood, awitannya lebih lambat dari pada
skizofrenia dan dominasi perempuan kurang nyata dari pada gangguan mood.
Beberapa teori untuk terjadinya gangguan waham menetap yaitu :
1. Faktor Biologis
Faktor biologis yang nyata dapat menyebabkan waham., tetapi tidak
semua penderita tumor otak misalnya mempunyai waham. Keadaan
neurologis yang paing sering disertai waham adalah keadaan yang
mengenai sistem limbik dan ganglia basalis. Pasien yang wahamnya
disebabkan penyakit neurologis dan yang tidak memperlihatkan gangguan
intelektual cenderung mengalami waham kompleks yang serupa dengan
penderita gangguan waham. Sebaliknya, penderita gangguan neurologis
dengan gangguan intelektual sering mengalami waham sederhana tidak
seperti waham pada pasien dengan gangguan waham. Oleh karena itu,
gangguan waham dapat melibatkan sistem limbik atau ganglia basalis pada
pasien yang mempunyai fungsi korteks serebri intak (Sadock, B.J dan
Sadock V.A., 2010).
2. Faktor Psikodinamik
Teori psikodinamik spesifik mengenai penyebab dan evolusi gejala
waham melibatkan anggapan mengenai orang hipersensitif dan mekanisme
ego spesifik seperti pembentukan reaksi, proyeksi, dan penyangkalan
(Sadock, B.J dan Sadock V.A., 2010).
3. Kontribusi Freud
Freud yakin bahwa waham bukan gejala gangguan, merupakan bagian
proses penyembuhan. Freud menjelaskan proyeksi sebagai mekanisme
defensi utama pada paranoia. Freud membuat teori dari ulasan sebuah
autobiografi Schreber, yaitu kecenderungan hormoseksual yang tidak
didasari akan dipertahankan melalui penyangkalan dan proyeksi.
Berdasarkan teori psikodinamik klasik, dinamika yang mendasari
pembentukan waham untuk seorang pasien perempuan sama seperti pasien
laki-laki. Strudi yang cermat terhadap pasien dengan waham tidak mampu
menguatkan teori Freud, meskipun relevan terhadap masing-masing kasus.
Namun, kontribusi utama Freud , memperlihatkan peran proyeksi pada
pembentukan pikiran waham (Sadock, B.J dan Sadock V.A., 2010).
4. Pseudokomunitas Paranoid
Norman Cameron menguraikan tujuh situasi yang mempermudah
perkembangan gangguan waham, yaitu peningkatan harapan mendapatkan
perlakuan yang statistik , situasi yang meningkatkan ketidakpercayaan dan
kecurigaan, isolasi sosial, situasi yang meningkatkan rasa iri dan cemburu,
situasi yang merendahkan harga diri, situasi yang menyebabkan orang
untuk melihat kekurangan mereka dalam diri orang lain, dan situasi yang
meningkatkan potensi untuk perenungan terhadap kemungkinan arti dan
mmotivasi. Bila frustasi akibat setiap kombinasi keadaan tersebut melebihi
batas yang dapat seseorang toleransi, ia akan menarik diri dan cemas,
mereka menyadari ada sesuatu yang salah, mencari penjelasan masalah,
dan mengkristalkan sistem waham sebagai suatu solusi (Sadock, B.J dan
Sadock V.A., 2010).
5. Faktor Psikodinamik Lain
Observasi klinis menunjukkan bahwa banyak, jika tidak semua, pasien
paranoid
tidak
memiliki
rasa
percaya
dalam
berhubungan.
ini.
Waham
biasanya
bersifat
sistematis
dan
2. Waham Cemburu
Gangguan waham dengan tipe ketidaksetiaan disebut juga
paranoia konjugal contohnya seperti waham bahwa pasangan tidak
setia. Eponim sindrom Othello telah digunakan untuk menjelaskan
kecemburuan abnormal yang dapat timbul dari banyak pertimbangan.
Kecemburuan yang nyata (biasa disebut kecemburuan patologis atau
sakit) merupakan suatu gejala pada banyak gangguan yang termasuk
skizofrenia, epilepsi, gangguan mood, penyalahgunaan obat, dan
alkoholisme. Cemburu adalah emosi yang kuat, bila terjadi pada
gangguan waham atau sebagai bagian keadaan lain, secara potensial
sangat berbahaya dan menyebabkan kekerasan, baik membunuh
maupun bunuh diri. Namun penyiksaan secara verbal dan fisik diantara
orang-orang dengan gejala ini terjadi lebih sering dari pada tindakan
yang ekstrim (Sadock, B.J dan Sadock V.A., 2010).
3. Waham Erotomania
Pasien erotomania mengalami waham kekasih rahasia. Paling
sering dialami perempuan, tetapi laki-laki juga rentan terhadap waham
tersebut. Pasien percaya bahwa pelamar (yang biasanya secara sosial
lebih menonjol dari pada dirinya) jatuh cinta padanya. Waham menjadi
fokus sentral eksistensi pasien, dan awitan dapat mendadak (Sadock,
B.J dan Sadock V.A., 2010).
konduksi
menginterprestasikan
paradoksal,
semua
fenomena
penyangkalan
cinta,
waham
yang
tidak
peduli
yang
mungkin
adalah
suatu
waham
yang
salah
diri
mereka
menjadi
orang
lain
sewaktu-waktu
yang tidak memenuhi kriteria untuk gangguan waham (F.22.0). Gangguangangguan dengan waham waham disertai oleh suara-suara halusinasi yang
menetap atau oleh gejala-gejala skizofrenik yang tidak cukup untuk memenuhi
kriteria skizofrenia (F.20) harus dimasukkan disini. Gangguan waham yang
10
11
12
secara
signifikan
dapat
13
antipsikotik lain harus diberikan dalam uji coba klinis. Jika dengan
pengobatan antipsikotik tidak sembuh, obat harus dihentikan (Sadock, B.J
dan Sadock V.A., 2010).
mg/h)
Perphenazine
(12-24 mg/h)
Thioridazine
(150-600
mg/h)
- Haloperidol (5-15 mg/h)
- Pimozide (2-4 mg/h)
(Maslim, 2002)
14
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Gangguan waham menetap merupakan suatu kelompok gangguan psikiatri
yang meliputi suatu variasi gangguan dengan waham-waham yang berlangsung
lama (sedikitnya 3 bulan lamanya), sebagai satu-satunya gejala klinis yang khas
atau yang paling mencolok dan yang tidak dapat digolongkan sebagai gangguan
organik, skizofrenik, atau afektif menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).
Berdasarkan DSM-5 prevalensi gangguan delusional di Amerika Serikat
diperkirakan sekita 0,02 %, yang jauh lebih rendah dari prevalensi skizofrenia
sekitar 1 % dan gangguan mood sekitar 5%. Insiden tahunan gangguan waham
adalah 1 sampai 3 kasus baru per 100.000 orang.
Penyebab gangguan waham menetap tidak diketahui. Gangguan isi pikiran
berupa waham merupakan gejala utama dari gangguan ini. Waham biasanya
bersifat sistematis dan karakteristiknya adalah dimungkinkan. Pedoman diganostik
gangguan waham menetap di Indonesia berdasarkan PPDGJ III.
Penatalaksanaan gangguan waham menetap terdiri dari psikoterapi, rawat inap,
dan farmakoterapi. Prognosis gangguan waham menetap cukup baik pada
15
sebagian besar kasus, dengan hasil yang terbaik dicapai melalui kombinasi
psikoterapi dan farmakoterapi.
3.2 Saran
Demikianlah makalah yang telah kami susun mengenai Gangguan Waham
Menetap, yang meliputi definisi sampai penatalaksaan serta prognosa, demi
kesempurnaan makalah ini kami harapkan kritikan serta saran yang membangun.
Saran dari penulis kami harapkan agar pembaca dapat memaknai makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ariawan, M.D., Ratep, N., Westa, W., 2015. Gangguan Waham Menetap pada
Pasien dengan Riwayat Penyalahgunaan Ganja. Available from:
[Accessed 1 Desember 2016]
Astuti, N.R., 2010. Gangguan Waham Menetap. Available from: [Accessed 1
Desember 2016]
Bourgeois, J.a., 2015. Delusional Disroder. Available from: [Accessed 1
Desember 2016]
Damping, S.E., 2014. Psikiatri Geriatri. Dalam : Elvira, S.D., Hadisukanto, G.,
eds. Buku Ajar Psikiatri. Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 498-537
Dharmono, S., 2014. Tanda dan Gejala Klinis Psikiatri. Dalam : Elvira, S.D.,
Hadisukanto, G., eds. Buku Ajar Psikiatri. Edisi Kedua. Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 62-73
Depkes RI, 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III. Jakarta : Departemen Kesehatan
16
from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesda
%
Psikiatri. Dalam : Wiguna, M.I., ed. Sinopsis Psikiatri. Edisi VII. Jilid I.
Tangerang : Binarupa Aksara Publisher, 466-480
Maslim, R., 2002. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi III. Jakarta : Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya, 14-23
Sadock, B.J., Sadock, V.A. 2010. Gangguan Psikotik Lain. Dalam : Kaplan &
Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi II. Jakarta : EGC, 169-185
17