Oleh:
Pembimbing:
dr. Dearisa Surya Yudhantara, Sp. KJ
HALAMAN
DAFTAR ISI............................................................................................................... 2
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................................ 3
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................3
1.2 Tujuan.....................................................................................................................3
1.3 Manfaat..................................................................................................................3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................. 4
2.1 Definisi....................................................................................................................4
2.2 Faktor Risiko............................................................................................................4
2.3 Etiologi dan Psikobiologi……………………………………………….........................................5
2.4 Mekanisme Koping...................................................................................................6
2.5 Tanda dan Gejala......................................................................................................8
2.6 Kriteria Diagnosis DSM V dan ICD-11......................................................................8
2.7 Penilaian Diagnosis.................................................................................................9
2.8 Diagnosa Banding.................................................................................................11
2.9 Tatalaksana Farmakoterapi dan Non-Farmakoterapi.............................................11
BAB III
KESIMPULAN........................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 18
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
d) Pendidikan Setingkat Universitas
Meskipun pendidikan tinggi sering dianggap sebagai faktor pelindung untuk
gangguan mental, pada penelitian ini ditemukan pendidikan setingkat universitas menjadi
faktor risiko gangguan penyesuaian. Terdapat hipotesis bahwa karena pendidikan yang lebih
tinggi dikaitkan dengan pekerjaan yang memiliki tanggung jawab lebih tinggi dan lebih
beresiko untuk terpapar dengan stressor terkait pekerjaan (Zelviene et al, 2020).
e) Paparan trauma
Penelitian ini tidak menemukan paparan trauma menjadi faktor resiko gangguan
penyesuaian. Akan tetapi ada kemungkinan bahwa peristiwa traumatis yang parah, seperti
kecelakaan mobil, kekerasan seksual, kekerasan antarpribadi atau lainnya dapat memicu
stressor terkait pekerjaan atau stressor terkait kesehatan. Hubungan antara paparan trauma
dan kadjustment disorder ini sebelumnya telah terungkap dalam sebuah studi longitudinal di
Australia, yang menemukan prevalensi adjustment disorder yang tinggi (16%) pada 12 bulan
setelah paparan trauma (O'Donnell et al., 2016).
f) Upaya Bunuh Diri
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa upaya bunuh diri sebelumnya secara
signifikan terkait dengan gangguan penyesuaian. Dan perlu di perhatikan bahwa studi lain
juga menemukan hubungan antara adjustment disorder dengan ide bunuh diri dan perilaku
melukai diri sendiri (Zelviene et al, 2020).
2.3 Etiologi dan Psikobiologi Gangguan Penyesuaian
Gangguan penyesuaian diakibatkan oleh adanya suatu stressor seperti: perceraian atau
hilangnya hubungan, hilangnya pekerjaan, diagnosis dari suatu penyakit, saat ini terdapat onset
disabilitas, dan adanya konflik di lingkungan rumah dan pekerjaan merupakan jenis stressor yang
sering ditemukan di negara berkembang (Maercker dan Lorenz, 2018). Adanya stressor ini akan
mengakibatkan reaksi yang maladaptif sehingga akan menimbulkan gejala-gejala seperti: afek
depresif, ansietas, campuran ansietas-depresif, dan gangguan tingkah laku.
Saat ini langkah terbaik untuk mengetahui psikobiologi dari gangguan penyesuaian adalah
melalui pemahaman akan efek stres pada sistem saraf pusat. Hal ini dikarenakan gangguan
penyesuaian merupakan bagian dari sindroma respon stres (Strain, 2018). Salah satu aksis dari stres
yang dapat dipelajari adalah melalui model Hipotalamus-Kelenjar pitutiari-Adrenal (HPA). Pada
mulanya adanya suatu impuls/rangsangan kejadian yang memicu stres akan diterima oleh area
korteks pre-frontal dan sistem limbik dari otak. Hal ini akan memicu hipotalamus untuk
mensekresikan Corticothropin Releasing Hormone (CRH) yang berfungsi untuk menstimulasi kelenjar
pitutiari anterior. Stimulasi ini menyebabkan kelenjar pitutiari anterior akan mensekresikan
adrenokortikotropik hormon (ACTH) yang berfungsi untuk menginduksi sintesis dan sekresi hormon
kortisol pada bagian korteks adrenal. Produksi kortisol yang terjadi secara terus menerus akan
memunculkan suatu mekanisme umpan balik negatif melalui hipotalamus dan kelenjar pitutiari
untuk menurunkan sekresi dari hormon kortisol. Namun pada saat adanya rangsangan stres yang
berkepanjangan, fungsi sistem umpan balik ini akan berhenti sehingga menyebabkan hipotalamus
secara terus menerus akan mensekresikan CRH dan akan menstimulasi kelenjar pitutiari anterior
untuk mensekresikan ACTH dan hasil akhirnya adalah meningkatnya sekresi hormon kortisol secara
berlebihan. Meningkatnya sinyal hormon kortisol melalui reseptor glukokortikoid dan
mineralokortikoid akan meningkatkan produksi sitokin pro-inflammasi sehingga memberikan
dampak kerusakan pada neuron pada regio hipokampus otak, mengurangi proses neurogenesis, dan
meningkatkan gangguan kognitif (Gulyaeva, 2018). Meningkatnya sekresi hormon kortisol akan
5
mengakibatkan disregulasi dari neurotransmitter serotoninergik dan dopaminergik. Dalam beberapa
penelitian disebutkan bahwa stres akan menginduksi hormon kortisol sehingga produksi
neurotransmitter serotonin dan norepinefrin akan menurun pada regio hippokampus dan
memberikan gambaran klinis depresi. Sedangkan pada beberapa penelitian lain kortisol juga mampu
untuk meningkatkan ekspresi dari reseptor 5-HT1A dan 5-HT2A pada regio hippokampus dan
amigdala sehingga akan memberikan gambaran klinis efek ansiollitik (gejala cemas, insomnia, dan
serangan panik) (Liu et al, 2018).
Gambar 2.1 Mekanisme psikobiologi pada gangguan penyesuaian melalui pendekatan teori
aksis Hipotalamus-Pitutiari-Adrenal (HPA) (Gulyaeva, 2018).
2.4 Mekanisme Koping pada Gangguan Penyesuaian
Gangguan penyesuaian tidak berkembang tanpa adanya stress. Gangguan penyesuaian
dianggap sebagai respon yang tidak sesuai untuk stressor, yang mengganggu mekanisme koping
efektif. Mekanisme koping adalah suatu cara dari seseorang untuk merespon dan berinteraksi
dengan problem/masalah (stressor) yang sedang di hadapi. Terdapat 2 jenis mekanisme koping yang
sering digunakan meliputi: mekanisme pemecahan masalah (problem-solved) adalah upaya untuk
melakukan sesuatu secara aktif untuk mengurangi situasi stres dan mekanisme terfokus pada emosi
yang melibatkan upaya untuk mengatur emosi terhadap kondisi stres atau peristiwa yang berpotensi
menjadi stres (Baqutayan, 2015).
Mekanisme koping berperan penting sebagai mediator antara keadaan stres dan kesehatan
mental. Koping terhadap stres mengacu pada upaya kognitif dan perilaku yang dibuat untuk
mengelola tuntutan eksternal atau internal tertentu yang menghabiskan energi seseorang.
Meskipun ada beberapa klasifikasi untuk mekanisme atau gaya koping, mekanisme koping yang saat
ini sering dibahas adalah engagement coping, di mana subjek mencari sumber stres dan secara aktif
mencoba mengelola situasi atau emosi yang terkait dengannya. Disengagement coping adalah ketika
subjek menjauhkan dirinya dari stresor atau emosi terkait. Mekanisme ini menghambat reaksi
terhadap masalah, termasuk mekanisme khas seperti penolakan, menyerah, lega, dan menyalahkan
diri sendiri. Adaptive coping akan menghasilkan kesehatan mental yang lebih baik, sedangkan
maladaptive coping akan menciptakan psikopatologi, terutama gejala cemas dan depresi (Sanchez,
et al, 2015).
Penderita gangguaan penyesuaian menunjukkan koping yang lebih maladaptif, dengan
ketergantungan yang lebih besar pada disengagement coping dan berkurangnya penggunaan
6
humor. Sedangkan pada mekanisme koping aktif, seperti engagement coping, biasanya lebih adaptif
dan memang lebih sukses dalam penyesuaian psikologis. Bentuk koping yang lebih pasif, seperti
disengagement coping, dipandang sebagai kurang berhasil, lebih disfungsional, dan lebih maladaptif.
Ini memprediksi tingkat kecemasan dan depresi yang lebih. Jenis koping yang digunakan juga
memprediksi perkembangan gangguan lain yang terkait dengan peristiwa traumatis atau stres,
seperti gangguan stres pasca-trauma (Sanchez, et al, 2015).
Pada laki-laki, mekanisme koping yang paling sering digunakan adalah Cognitive Avoidant.
Sedangkan pada perempuan, mekanisme koping yang paling banyak digunakan adalah Logical
Analysis, Cognitive Avoidant, Problem Solving, dan Acceptance-Resignation. Sehubungan dengan
perbedaan gender, perempuan dengan gangguan penyesuaian cenderung menggunakan lebih
banyak mekanisme untuk menghadapi stres daripada anak laki-laki dengan gangguan penyesuaian,
terutama yang berkaitan dengan tipe avoidant. Dapat dikatakan bahwa anak perempuan
menggunakan sejumlah besar mekanisme untuk mengatasi stresor, meskipun mekanisme ini tidak
adaptif (Ferrer, et al, 2018).
Penelitian Laia dan Teresa (2018) menunjukkan bahwa mekanisme koping avoidant dan
emotion focused pada individu dengan gangguan penyesuaian berkaitan dengan kecenderungan
bunuh diri, perilaku yang merugikan diri sendiri, dan perilaku yang merusak diri sendiri. Sebaliknya,
mekanisme koping aktif seperti hard work dan achievement bersifat protektif terhadap kejadian
terhadap bunuh diri. Remaja dengan gejala gangguan penyesuaian yang lebih berat cenderung
menggunakan mekanisme avoidant ketika mereka melawan stressor dibandingkan dengan remaja
yang memiliki gejala ringan. Demikian pula pasien dewasa cenderung lebih sering menerapkan
mekanisme disengagement, dan jarang menggunakan mekanisme humor. Perempuan dengan
gangguan penyesuaian menunjukkan adanya ide dan niat untuk bunuh diri yang lebih tinggi daripada
anak laki-laki. Remaja dengan gangguan penyesuaian menggunakan lebih banyak mekanisme tipe
avoidant daripada remaja tanpa AD. Hubungan antara koping dan bunuh diri pada remaja dengan
AD dipengaruhi oleh jenis kelamin: pada anak laki-laki, peran mekanisme koping engagement dan
disengagement terhadap ide bunuh diri menunjukkan hubungan yang kuat sebesar 41%. Pada anak
perempuan, hanya mekanisme emotional discharge yang terkait dengan ide dan niat bunuh diri
(Ferrer, et al, 2018).
Meskipun pasien dengan gangguan penyesuaian secara signifikan lebih sering menggunakan
immature defense dan less mature defense daripada individu yang sehat, perhatian, pemahaman,
dan intervensi dalam struktur psikologis batin pasien diharapkan dapat membantu dalam
pengelolaan gangguan ini dan dapat membantu pasien menyesuaikan diri dengan stressor (Sanchez,
et al, 2015).
Gambar 2.2 Jenis-jenis strategi koping yang digunakan di dalam stres (Baqutayan, 2015).
7
2.5 Tanda dan Gejala Gangguan Penyesuaian
a) Perasaan sedih, putus asa, khawatir, gugup, takut, cepat marah
b) Sakit dan nyeri tubuh yang tidak bisa dijelaskan, kurang tidur dan kurang nafsu makan
c) Withdrawal dari keluarga dan temen
d) Masalah di sekolah dan tugas di sekolah
e) Pembolosan, perkelahian
f) Self- harming behaviours
g) Pemikiran atau upaya untuk bunuh diri
(Maecker dan Lorenz, 2018).
8
C. Gangguan tidak memenuhi kriteria 3. Kegagalan untuk beradaptasi dengan
diagnostik untuk gangguan mental lain, dan stresor yang menyebabkan penurunan
bukan merupakan eksaserbasi dari gangguan signifikan dalam bidang fungsi pribadi,
yang sudah ada sebelumnya. keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan atau
penting lainnya
D. Gejala-gejala tidak mewakili berkabung 4. Gejala tidak spesifik atau keparahan yang
yang normal. cukup untuk membenarkan diagnosis
gangguan mental atau perilaku lain.
E. Gejala tidak bertahan lebih dari enam 5. Gejala biasanya sembuh dalam waktu 6
bulan tambahan setelah stresor atau bulan, kecuali jika stresor berlangsung lebih
konsekuensinya telah diatasi. lama
9
Gambar 2.3 Tabel kuesioner dari ADNM-20 (Maecker dan Lorenz, 2018).
10
11
2.8 Cara Mendiagnosis Banding Gangguan Penyesuaian Menurut ICD-11
Gambar 2.4 Tata cara mendiagnosis banding Gangguan Penyesuaian menurut ICD-11 (Maecker dan
Lorenz, 2018).
2.9 Tatalaksana Farmakoterapi dan Non-Farmakoterapi
2.9.1 Farmakoterapi
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya mengenai gangguan penyesuaian dan melihat
dari segi prevalensi dan morbiditas, maka dibuat konsep baru dimana gangguan penyesuaian
merupakan kondisi yang berhubungan dengan stessor dan perkembangan mengenai neruobiologi
respon stress.
Review jurnal yang ditulis oleh Stein, 2020 membahas penelitian sebelumnya mengenai
farmakoterapi pada pasien dengan gangguan penyesuaian.
Placebo-controlled trials
Penelitian oleh De Leo (1989) membandingkan antara antidepresan (Viloxazine),
benzodiazepine (Lormetazepam) dan neutraceutical (S-adenosylmethionine) dengan
psikoanalisis berupa psikoterapi suportif dan placebo. Terdapat 70 pasien yang terlibat
dalam penelitian ini dan studi dilaksanakan selama 4 minggu. Penulis menyampaikan bahwa
tidak ada terapi yang memiliki efek superior jika dibandingkan satu dengan yang lainnya,
namun untuk sementara menyarankan bahwa Viloxazine, Lormetazapam dan S-
adenosylmethionine memiliki keuntungan. Namun, kelemahan dari penelitian ini antara lain:
12
kurangnya desain double blind, tidak adanya kriteria diagnostic yang digunakan sebagai
kriteria inklusi, tidak adanya pengukuran terstandarisasi mengenai gangguan penyesuaian,
dan tidak ada pelaporan sistematis mengenai efek samping
Penelitian oleh Volz dan Kieser (1997) membandingkan antara kava-kava dengan placebo.
Sebanyak 101 pasien yang memenuhi kriteria DSM-III-R untuk gangguan penyesuaian
dengan cemas, generalised anxiety disorder, agoraphobia dan fobia spesifik diambil dari
pasien general practices dan secara random diberikan kava-kava atau placebo selama 25
minggu. Kava-kava memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan placebo dimana outcome
dinilai dari Hamilton Anxiety Rating Scale (yang diukur sejak minggu ke-8). Namun yang
disayangkan, kekurangan dari penelitian ini adalah: tidak adanya jumlah pasti pasien dengan
gangguan penyesuaian, respon pengobatan, dan efek samping dari obat. Kava-kava memiliki
efek samping hepatic yang berat juga menjadi pertimbangan.
Penelitian oleh Bourin et al. (1997) studi yang membandingkan antara euphytose (kombinasi
dari ekstrak tumbuhan kering yaitu: Pussifloru incurnutu, Valerianu oficinulis, Crutuegus
oxyucunthu, Bulloru foetidu, Puulliniu cupunu dan Colu nitidu) dengan placebo. Euphytose
banyak digunakan di Perancis hamper 100 tahun yang dipecayai memiliki efek anxiolytic.
Dimana euphytose memiliki efek neurochemical yang diantaranya ikatan terhadap reseptor
benzodiazepine sentral. Terdapat 182 pasien dengan gangguan penyesuaian dengan mood
cemas dari praktik general practices dan termasuk dalam studi selama 4 minggu. Hasilnya,
euphytose memiliki efek yang secara signifikan lebih baik dari placebo dinilai dari Hamilton
Anxiety Rating Scale dengan efek yang sudah terlihat sejak hari ke-7 dan dapat ditoleransi
dengan baik. Namun kriteria diagnosis yang digunakan dalam penelitian ini tidak spesifik,
walaupun terdapat algoritma diagnosis.
Penelitian Woelk et al (2007) studi ekstrak gingko biloba EGb 761, dilaporkan berguna tidak
hanya meningkatkan koginitif pada gangguan kognitif lansia, namun mengurangi kecemasan.
Sebanyak 107 pasien dengan generalised anxiety disorder (DSM-III-R) dan 25 pasien dengan
gangguan penyesuaian dengan mood cemas (DSM-III-R) secara random diberikan EGb 761
dengan 2 dosis berbeda (240 dan 480 mg/hari) atau placebo selama 4 minggu. Hasil evaluasi
berdasarkan Hamilton Anxiety Rating Scale, kedua dosis dari EGb 761 secara signifikan
memiliki efikasi lebih tinggi dibandingkan placebo dan dapat ditoleransi dengan baik.
Comparator trials
Penelitian oleh Ansseau, et al (1996) merupakan uji komparasi pertama yang
membandingkan antara Mianserin (antidepresan, dosis: 60 mg/hari), Alprazolam
(benzodiazepine, dosis: 1,5 mg/hari) dan Tiapneptine (psikotropik dengan antidepresan dan
anxiolytic, dosis: 37,5 mg/hari). Sebanyak 152 pasien yang masuk kedalam kriteria diagnosis
gangguan penyesuaian dengan mood campuran (cemas dan depresi) sesuai DSM-III-R
mengikuti studi selama lebih dari 6 minggu. Hasil menunjukkan perbaikan dari ketiga terapi
tersebut berdasarkan evaluasi Hamilton Anxiety Rating Scale dan dapat ditoleransi dengan
baik dari ketiga obat tersebut.
Penelitian oleh Razavi, et al. (1999) merupakan uji komparasi antara Trazodone (dosis rata-
rata 111,5 mg/hari) dengan Clorazepate (dosis rata-rata 17,5 mg/hari) pada pasien sedang
menjalani terapi untuk kanker payudara dengan gangguan penyesuaian. Studi ini hanya
diikuti oleh 18 pasien dan diteliti selama 4 minggu yang efikasi nya dihitung berdasarkan
Hospital Anxiety and Depression Scale dan beberapa skala lain. Pasien dengan terapi
Trazodone mendapatkan hasil yang sukses sebesar 91% dan 57% pada pasien Clorazepate.
13
Namun dengan jumlah sampel yang kecil, perbedaan tersebut tidak mencapai perbedaan
yang signifikan berdasarkan statistic. Selain itu, dalam peneltiian ini tidak disebutkan
mengenai efek samping dari masing-masing grup. Penulis menyimpulkan bahwa Trazodone
tidak berhubungan dengan ketergantungan dan Trazodone dapat menjadi pilihan terapi
pada pasien kanker yang disertai gangguan penyesuaian
Penelitian oleh De Wit, et al. (1999) juga membandingkan Trazodone dan Clorazepate pada
pasien yang menderita HIV disertai gangguan penyesuaian (sesuai kriteria DSM-III-R). 21
pasien diteliti selama 4 minggu dengan evaluasi menggunakan Hospital Anxiety and
Depression Scale dan beberapa skala lain. Pasien dengan terapi Trazodone mendapatkan
hasil yang sukses sebesar 80% dan 64% pada pasien Clorazepate. Namun sama hal nya
dengan penelitian Razavi, et al. (1999), dengan jumlah sampel yang kecil maka perbedaan
tersebut tidak mencapai perbedaan yang signifikan berdasarkan statistic. Selain i`tu, dalam
peneltiian ini tidak disebutkan mengenai efek samping dari masing-masing grup. Penulis
menyimpulkan bahwa Trazodone tidak berhubungan dengan ketergantungan dan Trazodone
dapat menjadi pilihan terapi pada pasien HIV
Penelitian oleh Servant, et al. (1998) membandingkan antara Etifoxine (anxiolytic baru)
dengan Buspirone (benzodiazepine). Sekitar 170 pasien yang memenuhi kriteria gangguan
penyesuaian dengan cemas sesuai DSM-IV secara random diberikan Etifoxine (150-200
mg/hari) atau Buspirone (15-20 mg/hari). Berdasarkan global improvement score secara
signifikan mendukung Etifoxine sejak hari ke-7. Dan efficacy index, yang menilai efikasi dan
tolerabilitas mendukung Etifoxine.
Penelitian oleh Nguyen, et al. (2006) membandingkan Etifoxine dengan Lorazepam.
Sebanyak 191 pasien rawat jalan yang memenuhi kriteria gangguan penyesuaian dengan
cemas (sesuai DSM-IV) yang secara random diberikan Etifoxine (150 mg/hari) atau
Lorazepam (2 mg/hari) selama 4 minggu. Berdasarkan hasil Hamilton Anxiety Rating Scale,
efek Etifoxine memiliki efek yang lebih baik dalam mengurangi tingkat kecemasan (54,6% vs
52,3%). Namun pada sebagian kecil pasien mengalami efek rebound dari cemas setelah
berhenti mengonsumsi obat selama 1 minggu.
Penelitian oleh Stein (2015) juga merupakan studi yang membandingkan Etifoxine dengan
Alprazolam. Sejumlah 202 pasien rawat jalan yang memenuhi kriteria gangguan penyesuaian
dengan cemas (sesuai DSM-IV) yang secara random diberikan Etifoxine (150 mg/hari) atau
Alprazolam (1,5 mg/hari) selama 4 minggu. Etifoxine dan Alprazolam, keduanya dapat
menurunkan HAM-A, dengan perbedaan antara kedua grup adalah 1,78 lebih unggul
Alprazolam. Namun yang perlu diperhatikan, skor HAM-A pada kelompok Etifoxine selalu
berkurang sedangkan pada pemberian Alprazolam skor dapat Kembali meningkat signifikan
pada hari ke-28 hingga 35 (p=0,19). Selain itu, pada grup Alprazolam juga ditemukan efek
samping pada sistem saraf pusat, terutama setelah penghentian obat.
Peneltiian oleh Syunyakov dan Neznamov (2016) membandingkan antara Fabomotizole
dengan Diazepam pada generalized anxiety disorder. Obat ini banyak ditemukan di Rusia dan
belum terdapat secara luas diluar Rusia, serta mekanisme aksi obat masih belum diketahui.
Sampel penelitian ini terdiri dari 60 pasien dengan generalized anxiety disorder serta 90
pasien dengan gangguan penyesuaian. Dari hasil penelitian tidak membedakan antara GAD
dan gangguan penyesuaian, namun mengurangi cemas (menggunakan HAM-A) secara
signifikan lebih besar pada grup Fabomotizole. Selain itu, efek samping dari Fabomotizole
juga lebih sedikit, tidak ada efek withdrawal baik Afobazole dan Diazepam.
14
Kesimpulan: karena adanya keterbatasan dalam penelitian, kurang relevannya data maka ada
beberapa jurnal yang mengatakan lebih baik menghindari penggunaan obat-obatan dan lebih
mengutamakan psikoterapi. Penggunaan Benzodiazepine untuk pasien dengan PTSD perlu hati-hati
dalam pemberiannya. Selain itu, Benzodiazepine memiliki sindrom withdrawal. Obat Etifoxine
berperan sebagai neurocicuitry dan neurochemistry yang berhubungan dengan trauma dan stress-
related-pathology yang mungkin berperan penting sebagai farmakoterapi pada kasus gangguan
penyesuaian.
2.9.2 Non-Farmakoterapi (Psikoterapi)
Didalam intervensi terapeutik pada pasien gangguan penyesuaian memiliki 3 komponen utama,
antara lain:
1. Mengurangi atau menghilangkan stressor
2. Meningkatkan kemampuan koping terhadap stressor dan memaksimalkan proses adaptasi
3. Mengurangi gejala dan perubahan perilaku
Banyak peneliti dalam bidang gangguan penyesuaian mengataakan bahwa terapi lini pertama dari
gangguan penyesuaian adalah brief psychological interventions dan psikoterapi (Strain and
Diefenbacher 2008; Carta et al. 2009; Casey 2014). Hal ini disampaikan berdasarkan rekomendasi
klinis yang bersifat sementara (bukan rekomendasi evidence-based) dan mempertimbangkan
keuntungan-kerugian dari terapi yang lebih invasif, yang dimana bisa terjadi perbaikan seiring
berjalannya waktu tanpa diberikan intervensi.
Gambar 2.5 Tahapan tatalaksana psikoterapi pada pasien gangguan penyesuaian (Domhardt dan
Baumeister, 2018).
Langkah 1
Pasien dengan gangguan penyesuaian menunjukkan gejala yang berangsur menghilang setelah 6
bulan atau ketika stressor sudah hilang, maka dari itu watchful waiting seharusnya cukup bagi pasien
gangguan penyesuaian. Pada pasien dengan subthreshold yang memiliki respon terhadap stress
dalam batas normal, pendekatan yang dirasa paling baik adalah pasien tidak mendapatkan banyak
restriksi, namun support adekuat yang dibutuhkan dalam menangani distress dan gangguan fungsi
(Bower dan Gilbody, 2005). Namun, perlu juga diperhatikan adanya risiko berkembangnya menjadi
kronis dan progresi dari gejala sehingga diperlukan intervensi lebih lanjut.
Langkah 2
Makna dari Low intensity merujuk pada intervensi perwatan dari sumberdaya dan/atau ahli
kesehatan mental dan juga biaya. Langkah kedua ini terdiri dari beberapa intervensi antara lain:
15
1. Bibliotherapy/self help: dalam penelitian Gregory, et al. (2004) grup dengan intervensi
memiliki perbaikan klinis yang lebih besar pada pasien dengan gangguan penyesuaian
disertai preokupasi dan PTSD.
2. Behavioural activation: telah menunjukkan hasil terapi yang efektif untuk pasien depresi
(Ekers et al. 2014) dan memiliki keuntung cost effectiveness dibandingkan CBT (Richards et
al. 2016). Pasien dengan gangguan penyesuaian yang mengalami overlap dengan depresi,
diperlukan terapi ini untuk menangani disfungsi mekanisme koping pasien dan
meningkatkan energi positif dari lingkungan sekitar
3. E-mental-health interventions: efficacy dari intervensi ini pada pasien dengan major mental
disorder telah terbukti dan bermanfaat karena cost-efectiveness. Pertama kali intervensi ini
dilakukan oleh Andreu-Mateu, et al. (2012) melalui program realita “EMMA’s world” yang
merupakan kombinasi terapi PTSD dan psikologi positif dengan face-to-face therapy.
Adapula proses terapi berbasis web-based-personalised material yang dikembangkan oleh
Quero, et al. (2012).
Langkah 3
1. CBT: tujuan secara umum untuk meningkatkan fungsi dan mengurangi gejala berdasarkan
perbedaan focus kognitif, perilaku dan emosi yang akan membantu pasien dalam modifikasi
disfungsi kognisi dan mengubah pola perilaku maladaptive (Hofmann et al, 2012).
2. Psychodynamic therapies: bertujuan untuk meningkatkan daya tilik pasien mengenai
harapan, afek dan mekanisme pertahanan. Intervensi suportif bertujuan untuk
mengkonsolidasikan kapasitas psikososial seperti penilaian realita atau kontrol impuls
(Leichsenring et al. 2015).
16
BAB 3
KESIMPULAN
17
coping, dipandang sebagai kurang berhasil, lebih disfungsional, dan lebih maladaptif. Ini
memprediksi tingkat kecemasan dan depresi yang lebih. Dapat dikatakan bahwa anak perempuan
menggunakan sejumlah besar mekanisme untuk mengatasi stresor, meskipun mekanisme ini tidak
adaptif. Penelitian Laia dan Teresa menunjukkan bahwa mekanisme koping avoidant dan emotion
focused pada individu dengan gangguan penyesuaian berkaitan dengan kecenderungan bunuh
diri, perilaku yang merugikan diri sendiri, dan perilaku yang merusak diri
sendiri. Sebaliknya, mekanisme koping aktif seperti hard work dan achievement bersifat protektif
terhadap kejadian terhadap bunuh diri. Remaja dengan gejala gangguan penyesuaian yang lebih
berat cenderung menggunakan mekanisme avoidant ketika mereka melawan stressor dibandingkan
dengan remaja yang memiliki gejala ringan. Demikian pula pasien dewasa cenderung lebih sering
menerapkan mekanisme disengagement, dan jarang menggunakan mekanisme humor. Perempuan
dengan gangguan penyesuaian menunjukkan adanya ide dan niat untuk bunuh diri yang lebih tinggi
daripada anak laki-laki. Pendekatan DSM-5 terhadap gangguan penyesuaian tetap berfokus pada
distress atau gangguan yang terkait dengan stressor yang dinilai berlebihan . Namun, terdapat
perbedaan pada DSM-5 yaitu mengkonseptualisasikan gangguan penyesuaian sebagai kegagalan
untuk beradaptasi dengan stressor sebagaimana dibuktikan oleh preokupasi dengan stressor dan
konsekuensinya. Gangguang penyesuaian menurut ICD-11 mengharuskan ditemukannya gangguan
signifikan dalam fungsi pribadi, pekerjaan, dan/atau sosial namun pada DSM-5 tidak secara spesifik
memerlukan gangguan fungsional, cukup memiliki gangguan dalam fungsi atau distress yang tidak
proporsional dengan tingkat keparahan stresor. Selain itu, DSM-5 menentukan bahwa gejala tidak
dapat mewakili kematian yang normal dan sesuai dengan budaya, sedangkan pada ICD-11 tidak
dijelaskan.
Untuk terapi dari gangguan penyesuaian sendiri masih memerlukan penelitian lebih lanjut,
dimana Etifoxine berperan sebagai neurocicuitry dan neurochemistry yang berhubungan dengan
trauma dan stress-related-pathology yang mungkin berperan penting sebagai farmakoterapi pada
kasus gangguan penyesuaian. Sedangkan untuk terapi non-farmakologi (Psikoterapi) menjadi pilihan
yang tepat untuk mengatasi gangguan penyesuaian, dengan tujuan utama psikoterapi adalah:
mengurangi atau menghilangkan stressor, meningkatkan kemampuan koping terhadap stressor dan
memaksimalkan proses adaptasi, mengurangi gejala dan perubahan perilaku. Psikoterapi dibagi
menjadi 4 langkah utama, yakni : watchfull waiting/active monitoring, low-intensive psychological
intervention, dilanjutkan dengan psikoterapi dengan rawat jalan (CBT, dan psychodynamic therapy),
dan yang terakhir ialah psikoterapi di rumah sakit.
18
DAFTAR PUSTAKA
O’Donnell, M.L., Agathos, J.A., Metcalf, O., Gibson, K. and Lau, W., 2019. Adjustment disorder:
Current developments and future directions. International journal of environmental
research and public health, 16(14), p.2537.
O’Donnell, M. L., Alkemade, N., Creamer, M., McFarlane, A. C., Silove, D., Bryant, R. A., Forbes, D.
2016. A longitudinal study of adjustment disorder after trauma exposure. American
Journal of Psychiatry, 173(12), 1231–1238
Primasari, I. and Hidayat, R., 2016. General Health Qquestionnaire-12 (GHQ-12) sebagai Instrumen
Skrinning Gangguan Penyesuaian. Jurnal Psikologi, 43(2), pp.121-134.
Reed, G.M., Correia, J.M., Esparza, P., Saxena, S. and Maj, M., 2011. The WPA-WHO global survey of
psychiatrists’ attitudes towards mental disorders classification. World Psychiatry, 10(2),
p.118.
Sanchez, B., Garcia, M.P.. 2015. The role of personality and coping in adjustment disorder. The
Australian Psychological Society. doi:10.1111/cp.12064.
Stein, Dan J. 2018. Pharmacotherapy of adjustment disorder: A review, The World Journal of
Biological Psychiatry, 19:sup1, S46-S52, DOI: 10.1080/15622975.2018.1492736
19
Strain, J. J. 2019. The Adjustment Disorder Diagnosis, Its Importance to Liaison Psychiatry, and its
Psychobiology. International Journal of Environmental Research and Public Health,
16(23), 4645. doi:10.3390/ijerph16234645.
Sundquist, J., Ohlsson, H., Sundquist, K. and Kendler, K.S., 2017. Common adult psychiatric disorders
in Swedish primary care where most mental health patients are treated. BMC
psychiatry, 17(1), p.235.
Yaseen, Y.A., 2017. Adjustment disorder: Prevalence, sociodemographic risk factors, and its subtypes
in outpatient psychiatric clinic. Asian journal of psychiatry, 28, pp.82-85.
Zelviene P , Kazlauskas E, & Maercker A. 2020. Risk factors of ICD-11 adjustment disorder in the
Lithuanian general population exposed to life stressors. European Journal Of
Psychotraumatology, VOL. 11, 1708617.
Zelviene, P. and Kazlauskas, E., 2018. Adjustment disorder: current perspectives. Neuropsychiatric
disease and treatment, 14, p.375.
20