Laporan Kasus
Disusun oleh :
Nurul Maghfirah
1807101030038
Dokter Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Skizoafektif adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan dua gambaran yang
berulang yaitu gambaran gangguan skizofrenia (memenuhi kriteria A skizofrenia) dan
episode gangguan suasana hati atau mood baik depresi mayor maupun bipolar.
Skizoafektif adalah kelainan mental yang ditandai adanya kombinasi gejala
skizofrenia (gangguan berpikir, delusi dan halusinasi) dan gejala afektif (gejala
depresif atau manik). Gejala afektif ini bisa disebut juga gejala mood. Hal inilah
yang mengakibatkan terjadinya perdebatan diantara para peneliti, karena masih
terjadi overlaping antara skizofrenia, gangguan afektif dan dengan skizoafektif itu
sendiri. Ada beberapa peneliti yang beranggapan bahwa skizoafektif merupakan suatu
kondisi yang bisa dibedakan dari skizofrenia dan gangguan afektif. Namun ada juga
peneliti yang beranggapan bahwa skizoafektif merupakan kondisi yang sebenarnya
sama dengan skizofrenia dan gangguan afektif lainnya. Sedangkan menurut standar
yang terbaru, yaitu dari DSM-5, skizoafektif dikelompokkan ke dalam skizofrenia
dan gangguan psikotik lainnya.
Gangguan skizoafektif merupakan suatu gangguan dengan gejala psikotik
yang persisten seperti halusinasi atau delusi, dimana gejala ini terjadi bersamaan
dengan masalah suasana perasaan (mood disorder) seperti depresi, manik atau
episode campuran. Gangguan skizoafektif merupakan permasalahan mental yang
bersifat kronis. Kebanyakan pasien dengan gangguan skizoafektif mengalami
kesalahan diagnosis dengan gangguan bipolar ataupun skizofrenia dikarenakan
manifestasi klinis yang muncul tampak sangat mirip dengan diagnosis yang lainnya.
Menurut DSM-IV-TR, orang yang mengalami gejala psikotik lebih dari dua
minggu dengan tidak adanya gangguan mood yang parah atau kemudian memiliki
gejala depresi atau gangguan bipolar mungkin telah mengalami gangguan
skizoafektif.
6
2.2 Epidemiologi
Prevalensi gangguan skizoafektif yang menetap seumur hidup berkisar antara
0,5 sampai 0,8 persen. Namun, gambaran tersebut merupakan perkiraan dari berbagai
studi mengenai gangguan skizoafektif. Studi populasi belum banyak yang
menunjukkan insidensi dari gangguan skizoafektif ini, namun menunjukkan bahwa ia
merupakan suatu komorbiditas antara skizofrenia dan gangguan afektif. Angka
kejadian skizoafektif meningkat pada wanita. Onset umur pada wanita juga lebih besar
daripada pria. Terkait usia, pada usia tua gangguan skizoafektif tipe depresif lebih
sering ditemukan sedangkan untuk usia muda lebih sering menderita gangguan
skizoafektif tipe bipolar. Laki-laki dengan gangguan skizoafektif kemungkinan
menunjukkan perilaku antisosial.
Gangguan skizoafektif lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan
pada laki-laki. Awitan diketahui lebih tinggi pada perempuan dengan usia lanjut
dibandingkan laki-laki. Meskipun prevalensi pada perempuan didapatkan lebih tinggi,
namun angka remisi pada perempuan lebih baik dibandingkan pada laki-laki.
Gangguan skizoafektif tipe depresi mungkin lebih sering terjadi pada orang tua
daripada orang muda, dan tipe campuran lebih sering pada dewasa muda daripada
dewasa tua. Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan lebih rendah pada laki-laki
daripada perempuan, terutama perempuan menikah; usia awitan untuk perempuan
lebih lanjut daripada laki-laki, seperti pada skizofrenia. Laki-laki dengan gangguan
skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku antisosial dan mempunyai afek
tumpul yang nyata atau tidak sesuai.
2.3 Etiologi
Semenjak 80 tahun setelah skizoafektif diperkenalkan pertama sekali oleh
Kasanin sebagai sebuah klasifikasi, istilah tersebut masih dianggap sulit dipahami
dan kontroversial. Penyebab gangguan skizoafektif belum diketahui secara pasti,
tetapi empat model konseptual telah dikembangkan bahwa apakah skizoafektif ini
dapat dipertimbangkan menjadi sebuat entitas diagnosis yang dependen, salah satu
variasi dari skizofrenia, salah satu variasi gangguan afektif, titik tengah antara
7
skizofrenia dan gangguan afektif, atau malah sebuah gangguan yang tidak benar-
benar ada. Beberapa studi klinis terdahulu menunjukkan bahwa status skizoafektif ini
tidak benar-benar terpisah dari skizofrenia atau gangguan bipolar, melainkan
terhubung secara cross sectional atau terdapat hubungan sebab-akibat.
Meskipun banyak riset genetik mengenai gangguan skizoafektif didasarkan
pada alasan bahwa skizofrenia dan gangguan mood merupakan entitas terpisah,
beberapa data menunjukkan bahwa kedua gangguan tersebut terkait secara genetik.
Beberapa kebingungan yang timbul pada studi famili pasien gangguan skizoafektif
dapat merefleksikan perbedaan nonabsolut antara dua gangguan primer Oleh karena
itu, tidak mengherankan bila studi keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif
melaporkan hasil yang tidak konsisten. Peningkatan prevalensi skizofrenia tidak
ditemukan dalam kerabat proban dengan gangguan skizoafektif tipe bipolar; namun
keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif tipe depresif berisiko lebih tinggi
mengalami skizofrenia daripada gangguan mood.
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai
prognosis lebih baik daripada pasien skizofrenia dan prognosis lebih buruk daripada
pasien dengan gannguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan
skizoafektif memberikan respons terhadap lithium dan cenderung mengalami
perjalanan penyakit yang tidak memburuk.
2.4 Klasifikasi
Pedoman Diagnosis (ICD-X/PPDGJ III) menunjukkan bahwa diagnosis
gangguan skizoafektif dibuat apabila gejala-gejala definitif adanya skizofrenia dan
gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama,
dan sebagai konsekuensinya, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik
skizofrenia maupun episode manik atau depresif. Maka dari itu, terdapat tiga subtipe
gangguan skizoafekti, yaitu :
a. Gangguan Skizoafektif Tipe Manik.
Gangguan skizoafektif tipe manik menunjukkan gejala skizofrenia dan manik
dalam satu episode sakit. Suasana perasaan harus meningkat secara menonjol
8
atau ada peningkatan suasana perasaan yang tak begitu mencolok dikombinasi
dengan iritabilitas atau kegelisahan yang meningkat. Dalam episode yang sama
harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi dua gejala skizofrenia yang
khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia).
b. Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif
Gangguan skizoafektif tipe depresif menunjukkan gejala skizofrenia dan depresif
dalam satu episode sakit. Harus ada depresi yang menonjol, disertai oleh
sedikitnya dua gejala depresif yang khas atau kelainan perilaku seperti yang
terdapat dalam kriteria episode depresif; dalam episode yang sama, sedikitnya
harus ada satu atau lebih dua gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana
ditetapkan untuk pedoman diagnostik skizofrenia).
c. Gangguan Skizoafektif Tipe Campuran
Gangguan skizoafektif tipe campuran menunjukkan gejala skizofrenia dan
gangguan campuran afektif bipolar.
. Berdasarkan tipe gangguan skizoafektif, maka tata laksana terapi nya pun
akan berbeda. Terapi untuk skizoafektif tipe manik biasanya digunakan mood
stabilizer, sedangkan untuk tipe depresif maka dapat digunakan antidepresan. Seiring
dalam waktu pelaksanaan terapi, masih dimungkinkan adanya beberapa perubahan
terapi untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini bisa mempengaruhi
outcome terapi dari pengobatan tersebut.
2.5 Tanda dan Gejala
Gangguan skizoafektif adalah gangguan dengan gejala psikotik yang
persisten, seperti halusinasi atau delusi, terjadi bersama-sama dengan masalah
suasana hati (mood disorder) seperti depresi, manik, atau episode campuran. Gejala-
gejala afektif diantaranya yaitu elasi dan ide-ide kebesaran, tetapi kadang-kadang
kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh perilaku agresif serta ide-ide kejaran.
Terdapat peningkatan energi, aktivitas yang berlebihan, konsentrasi yang terganggu,
dan hilangnya hambatan norma sosial. Waham kebesaran, waham kejaran mungkin
ada. Gejala skizofrenia juga harus ada, pasien juga harus memiliki setidaknya satu
(lebih baik bila dua) dari gejala khas skizofrenia yang tercantum dalam International
9
Symptoms should be present for most of the time during at least 1 month
Schizophrenia should not be diagnosed in the presence of organis brain disease
or during drug intoxication or withdrawal
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.
2.6 Diagnosis
Berdasarkan beberapa penelitian, standar yang digunakan sebagai kriteria
untuk mendiagnosis skizoafektif berbeda-beda. Adapun standar yang kebanyakan
digunakan oleh para peneliti adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) ataupun International Classification of Disease (ICD). Kedua
standar ini juga terus dilakukan pembaharuan seiring dengan perkembangan waktu,
sehingga penggunaan kriteria diagnosis yang berbeda ini bisa berakibat kepada terapi
yang harus diberikan.
Diagnosis dari gangguan skizoafektif ditegakkan dari hasil pemeriksaan yang
seksama mengingat luasnya tipe gejala klinis yang ditimbulkan. Berikut merupakan
paduan diagnostik gangguan skizoafektif menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) ;
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang
lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi
dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun
episode manik atau depresif.
Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.
12
gangguan skizoafektif selama delapan tahun mendapatkan hasil pasien tersebut lebih
menyerupai skizofrrenia daripada gangguan mood dengan gambaran psikotik.
Prognosis skizoafektif lebih baik dari pada skizofrenia tetapi lebih buruk bila
dibandingkan dengan gangguan mood. Perjalanan penyakitnya cenderung tidak
mengalami deteriorasi dan responsnya terhadap litium lebih baik daripada
skizofrenia.
2.9 Terapi
a. Psikofarmaka
Mood stabilizer adalah cara utama pengobatan gangguan bipolar dan
diharapkan dapat bermanfaat pada pengobatan pasien dengan gangguan skizoafektif.
Satu studi yang membandingkan lithium dengan karbamazepin memperlihatkan
superioritas karbamazepin pada gangguan skizoafektif tipe depresif, tetapi tidak ada
perbedaan kedua agen tersebut untuk tipe bipolar. Namun, pada praktiknya,
pengobatan tersebut digunakan luas secara tersendiri, digunakan bersamaan, atau
kombinasi dengan agen antipsikotik.
Pada episode manik, pasien skizoafektif sebaiknya diobati secara agresif
dengan pemberian dosis mood stabilizer dalam kisaran konsenterasi terapeutik
sedang sampai tinggi di dalam darah. Ketika pasien memasuki fase pemeliharaan,
pemberian dosis dapat dikurangi sampai rentang rendah sampai sedang untuk
menghindari efek samping dan efek potensial terhadap sistem organ seperti tiroid dan
ginjal, dan memudahkan konsumsi dan kepatuhan pengobatan. Pemantauan
laboratorium terhadap konsenterasi obat dalam plasma dan penapisan periodic tiroid,
ginjal, dan fungsi hematologis harus dilakukan. Seperti pada semua kasus mania yang
sulit disembuhkan, pemakaian terapi elektrokonvulsif (ECT) harus dipertimbangkan.
Berdasarkan definisi, banyak pasien skizoafektif menderita akibat episode
depresif mayor. Pengobatan dengan antidepresan menyerupai pengobatan depresi
bipolar. Perawatan dilakukan tetapi bukan untuk mencetuskan suatu siklus pergantian
cepat dari depresi menjadi mania dengan antidepresan. Pilihan antidepresan
16
a. Fase Akut
Kriteria akut yaitu :
1. Total skor Possitive and Negative Symptom Scale – Excited Component (PANSS-
EC) yaitu P4 gaduh-gelisah, P7 permusuhan, G4 ketegangan, G8
ketidakkooperatifan, G14 buruknya pengendalian impuls, minimal satu butir
skornya 4 atau lebih.
2. Kategori nilai the Agitation-Calmness Evaluation Scale (ACES) adalah 1 atau 2 (1
= agitasi berat yaitu meningkatnya aktivitas fisik, banyaknya pembicaraan, dapat
terjadi kekerasan fisik, bila diminta diam pasien tidak bisa mengontrol tanda-tanda
agitasinya, memerlukan perhatia atau supervise terus-menerus atau perlu
pengikatan, 2 = agitasi sedang yaitu peningkatan aktivitas fisik derajat sedang,
banyak bicara dna mungkin mengancam secara verbal, tidak ada kekerasan fisik,
dapat mengontrol tanda-tanda agitasi bila diminta, memerlukan supervise atau
perawatan standar)
3. Nilai Young Mania Rating Scale (YMRS) adalah 20 dan butir skornya 4 yaitu
iritabilitas, pembicaraan, isi dan perilaku agresif.
4. Nilai 4 pada Clinical Global Impression-Severity of Illness (CGI-SI)
b. Fase Lanjutan
1) Terapi psikofarmaka (monoterapi)
Litium karbonat 0,6-1 mEq/L biasanya dicapai dengan dosis 900-1200 mg /
hari sekali sedengan dosis 500 mg/ hari
Olanzapin 1 x 10 mg/hari
Quetiapin dengan dosis 300 – 600 mg/hari
Risperidon dengan 1-4 mg/hari
Aripirazol dengan dosis 10-20 mg/hari
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbic dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), sehingga efektif untuk gejala
positif. Sedangkan obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap
“Dopamine D2 Receptors” juga terhadap “Serotonin 5HT2 Receptors” (Serotonin-
20
b. Psikososial
Mencoba untuk menantang atau memiliki pikiran yang berbeda mengenai suara
(halusinasi auditorik) yang didengarkan.
Membuat strategi untuk mengatasi suara yang didengarkan. Contohnya seperti
mendengarkan musik atau meminta suara yang didengarkan untuk pergi saja.
Dukungan psikologis merupakan hal yang sangat penting bagi pasien yang
mengalami gejala skizofrenia beserta keluarganya. Terapi keluarga dapat membantu
keluarga untuk mengurangi ekspresi yang berlebihan terkait gejala yang dialami
pasien, hal ini terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien.
Art therapies (terapi seni) juga sangat membantu dalam mengatasi gejala
negatif pada pasien. Pasien juga diharapkan bisa berbagi pengalaman bersama
temannya yang mengalami gejala yang sama, hal ini diharapkan dapat membantu
pasien mendapatkan solusi yg tepat untuk mengatasi gejala-gejala yang dialaminya.
26
BAB III
LAPORAN KASUS
I IDENTITAS PASIEN
Nama : Nurhayati
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 1 Februari 1979
Umur : 40 tahun
Alamat : Desa Ulee Rabo, Jeunieb, Bireun
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 21 Juni 2019
Tanggal Pemeriksaan : 27 Juni 2019
II RIWAYAT PSIKIATRI
Data diperoleh dari:
1. Rekam medis : 0902000811
2. Autoanamnesis : 27 Juni 2019
3. Alloanamnesis : 7 Juli 2019 (via telepon dengan adik pasien)
A. Keluhan Utama
Mengamuk
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Autoanamnesis:
Pasien mengatakan dibawa ke RSJ oleh mantan suami dan keluarganya
menggunakan mobil ambulans. Ia mengatakan tidak mengetahui alasan mengapa
dibawa ke RSJ. Pasien menyangkal dirinya mengamuk, keluyuran, marah-marah,
27
mandir di rumah tidak bisa diam, pasien suka senyum senyum sendiri sambil menari-
nari dan bernyanyi keras-keras hingga malam hari, dan terkadang pergi keluyuran.
Keluhan dirasakan memberat sejak 2 minggu terakhir. Pasien sulit tidur di malam
hari. Pasien juga sering membuang sampah ke rumah tetangganya sehingga
menimbulkan keresahan warga sekitar. Pasien sudah beberapa kali masuk rumah sakit
jiwa. Saat pasien dipulangkan ke rumah, pasien tidak mau lagi minum obat. Menurut
keluarganya, gangguan-gangguan tersebut terjadi secara tiba-tiba, bermula semenjak
pasien usai melahirkan dan menyusui anaknya, kira-kira 20 tahun yang lalu. Tidak
ada penyebab yang jelas sehingga keluarga menduga bahwa kecelakaan sepeda motor
ketika pasien masih muda menjadi penyebab pasien kini menderita gangguan jiwa.
Keluarga pasien menyangkal pasien mengalami kejang, muntah hebat, nyeri kepala,
dan penurunan kesadaran setelah mengalami pasien kecelakaan tersebut.
Pasien merupakan orang yang pendiam. Ia tak banyak omong dan tidak terlalu
berbaur dengan tetangga atau lingkungan sekitar, hanya berkomunikasi seperlunya
saja. Pasien seorang ibu rumah tangga dan amat rajin mengurusi rumah dan mencuci
baju. Pasien selalu dalam keadaan beraktivitas. Sehari-hari, pasien memang
berpenampilan tidak rapi dan tidak hobi menghias diri. Pasien sudah bercerai dengan
suaminya dan hubungan mereka kini baik-baik saja, tidak terdapat konflik maupun
permusuhan setelah perceraian. Dari suaminya, pasien memiliki satu orang anak
lelaki namun sudah meninggal karena kecelakaan.
E. Riwayat Pengobatan
Kini pasien mendapatkan terapi clozapine 1x100 mg, trifluoperazine
3x5 mg, trihexylphenidyl 3x2 mg, depakote 1x500mg, dan lorazepam 1x 2mg.
Pada tahun 2016 pasien juga dirawat di RSJ Aceh dengan diagnosis yang
sama dan mendapatkan terapi depakote ER 1x500mg, risperidone 2x2mg, dan
diazepam 1x2 mg. Karena ditemukan tanda-tanda sindrom ekstrapiramidal,
maka diberikan injeksi zyprexa 1 vial i.m selama 3 hari, injeksi diazepam 10
mg 3 hari berturut-turut, clozapine 2x100 mg, hexymer 2x2 mg, dan diazepam
1x2mg. Pada tahun 2017 pasien kembali masuk ke IGD RSJ Aceh dengan
keluhan yang sama dan mendapatkan terapi awal risperidone 2x2mg dan
diazepam 1x 2 mg. Namun kembali ditemukan gejala sindrom ekstrapiramidal
berupa pasien mengalami kaku dan tidak bisa menutup rahangnya lagi
sehingga diberikan injeksi difenhidramin i.m, clozapine 2x 2mg, diazepam 1x
2 mg, dan trihexylphenidyl 2x2 mg. Setelah beberapa lama dirawat, pasien
membaik dan diperbolehkan pulang. Namun pasien mengalami putus obat
sehingga kambuh dan diibawa kembali ke RSJ pada tahun 2019.
F. Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak ke 3 dari 5 bersaudara. Pasien tinggal bersama
ibunya sebelum masuk rumah sakit karena sudah bercerai dengan suaminya
dan anaknya sudah meninggal. Pasien adalah seorang pendiam, jarang keluar
rumah untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Pasien hanya
berkomunikasi seperlunya saja.
G. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien ialah sekolah dasar. Pasien tidak mau
melanjutkan pendidikan formal karena lebih senang bermain dengan teman-
teman kecilnya di sawah dan menangkap ikan. Pasien juga mengaku tetap
pergi mengaji di surau walaupun tidak bersekolah lagi.
30
B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICS V Linea
midclavicular sinistra
5. Abdomen : Asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)
6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa
C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
31
Sirkumstansial : (-)
Tangensial : (-)
Asosiasi longgar : (+)
Flight of idea : (+)
Blocking : (-)
3. Isi Pikir
Waham
1. Waham Bizzare : (-)
2. Waham Somatik : (-)
3. Waham Erotomania : (+)
4. Waham Paranoid
Waham Persekutorik : (+)
Waham Kebesaran : (+)
Waham Referensi : (-)
Waham Dikendalikan : (-)
Thought
1. Thought of Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)
Obsesi : (-)
Preokupasi : (+)
E. Persepsi
1. Halusinasi
Auditorik : (+)
Visual : (-)
Olfaktorius : (-)
Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
33
F. Intelektual
1. Intelektual : Baik, sesuai tingkat pendidikan.
2. Daya konsentrasi : Terganggu
3. Orientasi
Waktu : Baik
Tempat : Baik
Orang : Baik
4 Daya ingat
Seketika : Baik
Jangka Pendek : Baik
Jangka Panjang : Baik
H. Daya nilai
Normo sosial : Baik
Uji Daya Nilai : Baik
I. Pengendalian Impuls: Terganggu
J. Judgement : Baik
K. Ide kreatif : menyanyi dan mengaji
L. Tilikan : T1
M. Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya
N. Pikiran Abstrak : Terganggu
V. RESUME
Pasien dibawa ke IGD RSJ karena mengamuk. Pasien suka melempar barang,
senyum-senyum sambil menyanyi dan menari, tidak bisa tidur malam hari, dan
terkadang keluyuran. Keluhan dirasakan semenjak 20 tahun yang lalu namun
memberat 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pada tahun 2016 dan
2017 pasien juga dirawat di RSJ Aceh karena keluhan serupa dan kini masuk lagi
karena pasien tidak mau minum obat lagi.
34
IX. TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Clozapine 100mg 1x1
35
X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
gejala skizofrenia yang menonjol pada saat bersamaan, dan sudah berlangsung sejak
lama sehingga hal tersebut menjadi dasar untuk mendiagnosis bahwa pasien
menderita gangguan skizoafektif tipe manik. Aksis II tidak ada diagnosis karena dari
alloanamnesis dengan adik pasien hanya didapatkan bahwa sebelumnya pasien
seorang pendiam dan tidak terlalu aktif bergaul, juga tidak didapatkan gangguan
tumbuh kembang pada usia kanak-kanak dan remaja. Hal ini menyingkirkan
diagnosis retardasi mental. Pada aksis III juga tidak ada diagnosis karena pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan medis umum.
Untuk aksis IV, pasien merupakan golongan sosioekonomi rendah karena pasien
dulunya seorang IRT yang tingkat pendidikannya setingkat sekolah dasar, dan kini
pasien sudah bercerai dengan suaminya sehingga pasien tidak dapat menghidupi
dirinya sendiri, sehingga pada aksis IV diberi diagnosis “sosio-ekonomi kurang”.
Penilaian terhadap kemampuan pasien untuk berfungsi dalam kehidupannya
menggunakan skala Global Assessment of Functioning (GAF). Pada saat dilakukan
wawancara, skor GAF 40-31 (beberapa disabilitas dalam berhubungan dengan realita
dan komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa
fungsi). Hal ini ditandai dengan pasien mampu melakukan aktivitas sehari‐
hari secara mandiri namun perlu diarahkan disertai gejala psikotik.
Pasien ini mendapatkan terapi Clozapine 1x100mg, Depakote 1x500mg,
Trihexylphenidil 3x2mg, Trifluoperazine 3x5 mg, dan Lorazepam 1x2mg. Clozapine
merupakan obat golongan anti psikosis atipikal yang sangat efektif dengan sedikit
efek samping neurologik dibandingkan dengan obat anti psikosis golongan tipikal.
Clozapine merupakan derivat trisiklik- dibenzodiazepine 8kloro-11-(4-methyl-1-
piperazinyl)-5H-dibezosiazepine. Pasien ini diberikan Clozapine karena pernah
mengalami sindrom ekstrapiramidal (EPS) pada rawatan sebelumnya sehingga
antipsikotik sebelumnya diganti dengan Clozapine. Clozapine merupakan anti
psikosis atipikal pertama yang ditemukan, dan tidak menyebabkan EPS, tardive
dyskinesia, serta tidak menyebabkan peningkatan dari prolaktin. Clozapin sangat di
indikasikan untuk pasien skizofrenia yang tidak responsif atau intoleran dengan
antipsikosis generasi pertama. Clozapine bekerja dengan cara memblokade reseptor
41
5HT2A, D2, D1, D3, D4, 5HT1A, 5HT2c, 5HT3, 5HT6, 5HT7, M1, H1, α1 dan α2.
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh Clozapine diantaranya granulositopenia,
agranulositosis, leukositosis, lelah, mengantuk, perubahan EEG, hipersalivasi, mulut
kering, hipotensi postural, muntah, konstipasi, hipertermia, hiperglikemia, dan
peningkatan BB. Dosis anjuran clozapine untuk skizofrenia dan gangguan psikosis
adalah 25-100mg/hari.
Trihexylphenidil merupakan obat yang sering digunakan apabila dijumpai
adanya gejala sindrom ekstrapiramidal sebagai efek samping pemberian antipsikotik.
Obat ini merupakan golongan obat antikolinergik/antimuskarinik. Hal ini juga
berkaitan dengan pasien yang pada masa rawatan terdahulu datang dengan keluhan
kaku akibat konsumsi obat anti psikotik. Kerja antiparkinson obat antimuskarinik
dengan cara mengurangi efek kolinergik sentral yang berlebihan akibat adanya
defisiensi dopamin. Obat antimuskarinik bermanfaat pada parkinsonisme yang
diinduksi oleh obat, namun tidak digunakan pada parkinson yang idiopatik, karena
obat ini kurang efektif dibandingkan obat dopaminergik dan dapat menyebabkan
kerusakan kognitif. Obat ini juga memiliki efek menekan dan menghambat reseptor
muskarinik sehingga menghambat sistem saraf parasimpatik dan juga memblok
reseptor muskarinik pada sambungan saraf otot sehingga terjadi relaksasi. Pemberian
secara oral dapat memberikan efek yang cukup baik. Pemberian trihexylphenidil ini
sebagai terapi efek samping sindrom ekstrapiramidal yang diinduksi oleh obat
antipsikotik dan obat kerja sentral lainnya seperti golongan dibenzodiazepine,
butyrophenon dan thioxanthenes. Pemberhentian obat ini harus secara tappering off,
dosis awal dapat diberikan 1-4 mg/2-3x/hari, rentang dosis 10-20mg/hari, tergantung
respon pasien.
Trifluoperazine memiliki efek antiadrenergik sentral, antidopaminergik, dan
efek antikolinergik minimal. Hal ini diyakini Trifluoperazine dapat bekerja dengan
memblokade reseptor dopamin D1 dan D2 di jalur mesokortical dan mesolimbik,
menghilangkan atau meminimalkan gejala skizofrenia seperti halusinasi, delusi, dan
berpikir dan berbicara yang tidak terarah. Trifluoperazine menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal seperti akatisia, distonia, dan parkinsonisme selain itu dapat
42
menimbulkan efek samping antikolinergik seperti merah mata dan xerostomia (mulut
kering). Trifluoperazine dapat menurunkan ambang kejang sehingga harus berhati-
hati penggunaan Trifluoperazine pada orang yang mempunyai riwat kejang.
Pengobatan untuk dengan gangguan skizoafektif merespon terbaik untuk pengobatan
dengan obat antipsikotik yang dikombinasikan dengan obat mood stabilizer atau
pengobatan dengan antipsikotik saja.
Depakote merupakan obat anti-mania dengan kandungan Divalproex Na yang
digunakan sebagai terapi tunggal atau terapi tambahan pada pengobatan seizure
parsial dan seizure absence, pengobatan manik (ditandai dengan peningkatan
aktivitas psikomotor, berbicara tanpa henti, disertai jalan pikiran yang tidak teratur
dan perhatian labil) sebagai mood stabilizer. Cara kerja mood stabilizer yaitu
membantu menstabilkan kimia otak tertentu yang disebut neurotransmitters yang
mengendalikan temperamen emosional dan perilaku dan menyeimbangkan kimia otak
tersebut sehingga dapat mengurangi gejala gangguan kepribadian borderline.
Divalproex Na juga memiliki peran penting untuk menstabilkan suasana hati pada
gangguan skizoafektif. Divalproex Na memiliki efek samping mual, muntah,
gangguan pencernaan, diare, keram perut, konstipasi, anoreksia dan lain sebagainya.
Depakote tersedia dalam tablet 250-500mg. Dosis anjuran untuk Depakote ialah
3x250mg atau 1-2x500mg.
Pasien memiliki riwayat masuk Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh pada tahun
2017, 2018, dan 2019. Keluarga pasien mengatakan kekambuhan terjadi apabila
pasien yang tidak mengkonsumsi obat secara teratur. Literatur mengatakan apabila
seseorang telah bereaksi terhadap perawatan medis (farmakologis), hal yang sangat
penting dilakukan adalah tetap melanjutkam pengobatan sesuai resep yang telah
dibuat oleh dokter. Secara umum, orang dengan gangguan skizoafektif sangat
diharuskan untuk melanjutkan konsumsi mood stabilizer dalam waktu yang lama
(setidaknya dua tahun). Putusnya terapi farmakologi dengan cepat dapat
menimbulkan kekambuhan dari gangguan skizoafektif. Apabila seseorang dengan
skizoafektif mengalami beberapa episode depresi ataupun mania, dokter yang
bertanggung jawab akan meresepkan pengobatan tersebut dalam jangka waktu yang
43
lebih panjang. Apabila episode mania atau depresi muncul ketika pasien sedang
mengkonsumsi mood stabilizer, dokter nantinya akan meresepkan obat jangka pendek
yang dapat menekan gejala tersebut. Untuk mencegah gejala muncul kembali atau
semakin memburuk, pasien diharapkan tidak untuk menghentikan terapi farmakologis
secara mendadak, walaupun pasien sudah merasa cukup baik, karena hal ini akan
memicu terjadinya kekambuhan. Proses pemberhentian terapi farmakologis tentunya
harus berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter yang bersangkutan.
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh,
perilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif
antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Perawatan di rumah sakit
menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian
mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien
dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit
harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas
hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Pusat perawatan dan kunjungan
keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.
Terapi psikofarmaka harus diberikan dalam jangka waktu yang lama. Hal
ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relaps). Keberhasilan
terapi gangguan jiwa tidak hanya terletak pada terapi obat psikofarmaka dan jenis
terapi lainnya, tetapi juga peran serta keluarga dan masyarakat turut menentukan.
Untuk mencegah kekambuhan, banyak hal lainnya yang dapat dilakukan selain
menganjurkan pasien untuk konsisten dalam terapi farmakologi, diantaranya dengan
cara memberikan psikoedukasi yang baik kepada pasien terkait kondisinya. Selain itu
perawatan berbasis keluarga juga sangat diperlukan, keluarga diharapkan lebih
memahami kondisi sakit mental yang dialami pasien, memahami pula berbagai cara
yang dapat dianjurkan kepada pasien untuk menangani gejala yang timbul, serta
keluarga dapat menunjang perbaikan komunikasi pada pasien. Hal ini bisa
membangkitkan perbaikan fungsi sosial di dalam diri pasien sehingga pasien bisa
44
semakin produktif dari hari ke hari, dan tentunya dapat meminimalisir angka
kekambuhan. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan Electro-convulsive Therapy
(ECT) juga dinilai sangat baik dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien
dengan gangguan skizoafektif.
.
BAB V
KESIMPULAN
Terapi pada pasien skizoafektif terbagi menjadi terapi farmakologis dan terapi
non-farmakologis. Pada kasus gangguan skizoafektif tipe manik terapi kombinasi
yang diberikan adalah terapi anti-psikotik dan mood stabilizer, diantaranya mencakup
Clozapine 100mg, Trifluoperazine 5 mg, Depakote 250mg, Trihexylphenidil 2mg,
dan Lorazepam 2mg. Terapi non-farmakologis yang dianjurkan untuk gangguan
skizoafektif tipe manik diantaranya Cognitive-Behavioural Therapy, Psikoedukasi,
Family-Based Service, Art therapies, dan lain sebagainya. Prognosis bisa
diperkirakan dengan melihat seberapa jauh menonjolnya gejala skizofrenia nya, atau
gejala gangguan afektif nya. Semakin menonjol dan persisten gejala skizofrenianya,
maka prognosisnya akan semakin buruk. Sebaliknya apabila gejala-gejala afektifnya
tampak lebih menonjol, maka prognosis diperkirakan akan lebih baik.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ. 2010. Buku ajar Psikiatri Klinis Edisi ke 2. Jakarta:
EGC
2. Supratanda, Feri Eka. 2015. Penatalaksanaan Skizoafektif Tipe Depresif
Dengan Sindrom Ekstrapiramidal. Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung
3. Rades,Miranda, Wulan,AJ. 2016. Skizoafektif Tipe Campuran. Lampung :
Jurnal Medula Unila
4. Marneros,A. 2015. Schizoaffective Disorder. Arlington Virginia: National
Alliance of Mental Illness
5. The National Alliance on Mental Illness. 2012. Schizoaffective Disorder.
Arlington Virginia : NAMI
6. Birrel, Marwick. 2013. Psychiatry 4th ed. United Kingdom: Elsevier Inc
7. American Psychiatryc Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders 5th ed. Arlington VA: American Psychiatryc Association
Publishinh
8. Kharisma, A.A Gede Ocha Rama KP. 2015. Gangguan Skizoafektif Tipe
Manik. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayan
9. Maslim, Rusdi.2016. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FKUnika Atmajaya
10. Maslim, Rusdi. 2014 Penggunaan Klinis Obat Psikotropik 4th ed. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
11. Katona,Cornelius, Cooper,Claudia, Robertson,Mary. 2012. Psychiatry at a
Glance. 5th ed. London: Wiley Blackwell
12. Mental Illness Research, Education and Medical Center. 2016. What Is
Schizoaffective Disorder? Causes, Symptoms, Diagnosis, and Treatment.
California : VA Desert Pacific Health Care Network
13. Melissa Conrad Stöppler. 2013. Schizoaffective disorder.
http://www.medicinenet.com
14. Elvira, Sylvia D dan Hadisukanto G, 2013. Buku Ajar Psikiatri. BadanPenerbit
FK UI: Jakarta
30
15. Heckers S. Is schizoaffective disorder a useful diagnosis?. Current Psychiatry
Reports. 11(4), 332–337 (2009)
16. Olfson, Mark. Treatment Patterns for Schizoaffective Disorder and
SchizophreniaAmongMedicaidPatients.Diakses melalui:
www.psychiatryonline.org/data/Journals/
17. Ken Duckworth, M.D., and Jacob L. Freedman, M.D. 2012. Schizoaffective
disorder.
31