Anda di halaman 1dari 42

1

Laporan Kasus

SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan


Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
BLUD Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun oleh :

Nurul Maghfirah
1807101030038
Dokter Pembimbing

dr. Sukristoro Wardoyo, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2019
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan skizoafektif merupakan suatu gangguan dengan gambaran berupa
gejala skizofrenia dan gangguan afektif yang sama-sama menonjol pada suatu
periode. Kriteria diagnostik gangguan skizoafektif telah berubah seiring berjalannya
waktu, sebagian besar merupakan refleksi perubahan kriteria diagnostik skizofrenia
dan gangguan mood. Diagnosis gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik
baik skizofrenia maupun gangguan mood, dimana diagnosis hanya ditegakkan apabila
gejala-gejala definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif bersama-sama
menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari sesudah yang lain,
dalam episode yang sama. Sebagian diantara pasien gangguan skizoafektif mengalami
episode skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif atau campuran
keduanya.
Studi populasi belum banyak yang menunjukkan insidensi dari gangguan
skizoafektif ini, namun menunjukkan bahwa ia merupakan suatu komorbiditas antara
skizofrenia dan gangguan afektif. Prevalensi seumur hidup dari gangguan skizoafektif
diperkirakan berkisar antara 0,5-0,8%. Menurut data statistik, prevalensi terjadinya
gangguan skizoafektif ini adalah sekitar 0,3% dimana gangguan ini lebih sering
diderita oleh wanita. Onset umur pada wanita juga lebih besar daripada pria. Di
Indonesia sendiri kasus skizoafektif belum dapat diprediksikan. Menurut data di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. RM Soedjarwadi Klaten, Jawa Tengah, memang tidak
terlalu banyak pasien yang terdiagnosis skizoafektif bila dibandingkan dengan
skizofrenia. Di Indonesia belum banyak dilakukan penelitian mengenai skizoafektif.
Hal inilah yang menjadi salah satu pendorong bagi penulis untuk membuat laporan
kasus mengenai topik ini.
Penyebab gangguan skizoafektif masih tidak diketahui secara pasti, namun
demikian data penelitian menunjukkan bahwa gangguan skizofrenia dan gangguan
afektif mungkin berhubungan secara genetik.
4

. Selain itu, jika dibandingkan dengan skizofrenia maupun dengan gangguan


afektif lainnya, maka skizoafektif termasuk ke dalam gangguan kejiwaan yang lebih
berat. Skizoafektif merupakan gangguan kejiwaan kronis yang dapat berdampak
buruk bagi pasien itu sendiri. Salah satu dampak terburuk dari gangguan ini adalah
bunuh diri. Hal ini turut menyumbang tingginya angka bunuh diri yang ada di dunia.
Walaupun demikian, jumlah penelitian mengenai terapi farmakologi yang terstruktur
untuk menangani skizoafektif ini juga belum banyak dilakukan sehingga belum dapat
ditentukan guideline terapi yang jelas yang sesuai untuk gangguan skizoafektif yang
telah disetujui oleh dunia.
Pengobatan pada skizoafektif terdiri dari pengobatan secara psikofarmaka dan
psikoterapi. Gangguan skizoafektif umumnya merespon baik terhadap pengobatan
antipsikotik, baik itu antipsikotik tunggal maupun yang dikombinasikan dengan mood
stabilizer. Pengobatan harus sesuai dengan tipe atau episode skizoafektif yang sedang
berlangsung.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizoafektif adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan dua gambaran yang
berulang yaitu gambaran gangguan skizofrenia (memenuhi kriteria A skizofrenia) dan
episode gangguan suasana hati atau mood baik depresi mayor maupun bipolar.
Skizoafektif adalah kelainan mental yang ditandai adanya kombinasi gejala
skizofrenia (gangguan berpikir, delusi dan halusinasi) dan gejala afektif (gejala
depresif atau manik). Gejala afektif ini bisa disebut juga gejala mood. Hal inilah
yang mengakibatkan terjadinya perdebatan diantara para peneliti, karena masih
terjadi overlaping antara skizofrenia, gangguan afektif dan dengan skizoafektif itu
sendiri. Ada beberapa peneliti yang beranggapan bahwa skizoafektif merupakan suatu
kondisi yang bisa dibedakan dari skizofrenia dan gangguan afektif. Namun ada juga
peneliti yang beranggapan bahwa skizoafektif merupakan kondisi yang sebenarnya
sama dengan skizofrenia dan gangguan afektif lainnya. Sedangkan menurut standar
yang terbaru, yaitu dari DSM-5, skizoafektif dikelompokkan ke dalam skizofrenia
dan gangguan psikotik lainnya.
Gangguan skizoafektif merupakan suatu gangguan dengan gejala psikotik
yang persisten seperti halusinasi atau delusi, dimana gejala ini terjadi bersamaan
dengan masalah suasana perasaan (mood disorder) seperti depresi, manik atau
episode campuran. Gangguan skizoafektif merupakan permasalahan mental yang
bersifat kronis. Kebanyakan pasien dengan gangguan skizoafektif mengalami
kesalahan diagnosis dengan gangguan bipolar ataupun skizofrenia dikarenakan
manifestasi klinis yang muncul tampak sangat mirip dengan diagnosis yang lainnya.
Menurut DSM-IV-TR, orang yang mengalami gejala psikotik lebih dari dua
minggu dengan tidak adanya gangguan mood yang parah atau kemudian memiliki
gejala depresi atau gangguan bipolar mungkin telah mengalami gangguan
skizoafektif.
6

2.2 Epidemiologi
Prevalensi gangguan skizoafektif yang menetap seumur hidup berkisar antara
0,5 sampai 0,8 persen. Namun, gambaran tersebut merupakan perkiraan dari berbagai
studi mengenai gangguan skizoafektif. Studi populasi belum banyak yang
menunjukkan insidensi dari gangguan skizoafektif ini, namun menunjukkan bahwa ia
merupakan suatu komorbiditas antara skizofrenia dan gangguan afektif. Angka
kejadian skizoafektif meningkat pada wanita. Onset umur pada wanita juga lebih besar
daripada pria. Terkait usia, pada usia tua gangguan skizoafektif tipe depresif lebih
sering ditemukan sedangkan untuk usia muda lebih sering menderita gangguan
skizoafektif tipe bipolar. Laki-laki dengan gangguan skizoafektif kemungkinan
menunjukkan perilaku antisosial.
Gangguan skizoafektif lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan
pada laki-laki. Awitan diketahui lebih tinggi pada perempuan dengan usia lanjut
dibandingkan laki-laki. Meskipun prevalensi pada perempuan didapatkan lebih tinggi,
namun angka remisi pada perempuan lebih baik dibandingkan pada laki-laki.
Gangguan skizoafektif tipe depresi mungkin lebih sering terjadi pada orang tua
daripada orang muda, dan tipe campuran lebih sering pada dewasa muda daripada
dewasa tua. Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan lebih rendah pada laki-laki
daripada perempuan, terutama perempuan menikah; usia awitan untuk perempuan
lebih lanjut daripada laki-laki, seperti pada skizofrenia. Laki-laki dengan gangguan
skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku antisosial dan mempunyai afek
tumpul yang nyata atau tidak sesuai.

2.3 Etiologi
Semenjak 80 tahun setelah skizoafektif diperkenalkan pertama sekali oleh
Kasanin sebagai sebuah klasifikasi, istilah tersebut masih dianggap sulit dipahami
dan kontroversial. Penyebab gangguan skizoafektif belum diketahui secara pasti,
tetapi empat model konseptual telah dikembangkan bahwa apakah skizoafektif ini
dapat dipertimbangkan menjadi sebuat entitas diagnosis yang dependen, salah satu
variasi dari skizofrenia, salah satu variasi gangguan afektif, titik tengah antara
7

skizofrenia dan gangguan afektif, atau malah sebuah gangguan yang tidak benar-
benar ada. Beberapa studi klinis terdahulu menunjukkan bahwa status skizoafektif ini
tidak benar-benar terpisah dari skizofrenia atau gangguan bipolar, melainkan
terhubung secara cross sectional atau terdapat hubungan sebab-akibat.
Meskipun banyak riset genetik mengenai gangguan skizoafektif didasarkan
pada alasan bahwa skizofrenia dan gangguan mood merupakan entitas terpisah,
beberapa data menunjukkan bahwa kedua gangguan tersebut terkait secara genetik.
Beberapa kebingungan yang timbul pada studi famili pasien gangguan skizoafektif
dapat merefleksikan perbedaan nonabsolut antara dua gangguan primer Oleh karena
itu, tidak mengherankan bila studi keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif
melaporkan hasil yang tidak konsisten. Peningkatan prevalensi skizofrenia tidak
ditemukan dalam kerabat proban dengan gangguan skizoafektif tipe bipolar; namun
keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif tipe depresif berisiko lebih tinggi
mengalami skizofrenia daripada gangguan mood.
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai
prognosis lebih baik daripada pasien skizofrenia dan prognosis lebih buruk daripada
pasien dengan gannguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan
skizoafektif memberikan respons terhadap lithium dan cenderung mengalami
perjalanan penyakit yang tidak memburuk.
2.4 Klasifikasi
Pedoman Diagnosis (ICD-X/PPDGJ III) menunjukkan bahwa diagnosis
gangguan skizoafektif dibuat apabila gejala-gejala definitif adanya skizofrenia dan
gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama,
dan sebagai konsekuensinya, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik
skizofrenia maupun episode manik atau depresif. Maka dari itu, terdapat tiga subtipe
gangguan skizoafekti, yaitu :
a. Gangguan Skizoafektif Tipe Manik.
Gangguan skizoafektif tipe manik menunjukkan gejala skizofrenia dan manik
dalam satu episode sakit. Suasana perasaan harus meningkat secara menonjol
8

atau ada peningkatan suasana perasaan yang tak begitu mencolok dikombinasi
dengan iritabilitas atau kegelisahan yang meningkat. Dalam episode yang sama
harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi dua gejala skizofrenia yang
khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia).
b. Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif
Gangguan skizoafektif tipe depresif menunjukkan gejala skizofrenia dan depresif
dalam satu episode sakit. Harus ada depresi yang menonjol, disertai oleh
sedikitnya dua gejala depresif yang khas atau kelainan perilaku seperti yang
terdapat dalam kriteria episode depresif; dalam episode yang sama, sedikitnya
harus ada satu atau lebih dua gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana
ditetapkan untuk pedoman diagnostik skizofrenia).
c. Gangguan Skizoafektif Tipe Campuran
Gangguan skizoafektif tipe campuran menunjukkan gejala skizofrenia dan
gangguan campuran afektif bipolar.
. Berdasarkan tipe gangguan skizoafektif, maka tata laksana terapi nya pun
akan berbeda. Terapi untuk skizoafektif tipe manik biasanya digunakan mood
stabilizer, sedangkan untuk tipe depresif maka dapat digunakan antidepresan. Seiring
dalam waktu pelaksanaan terapi, masih dimungkinkan adanya beberapa perubahan
terapi untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini bisa mempengaruhi
outcome terapi dari pengobatan tersebut.
2.5 Tanda dan Gejala
Gangguan skizoafektif adalah gangguan dengan gejala psikotik yang
persisten, seperti halusinasi atau delusi, terjadi bersama-sama dengan masalah
suasana hati (mood disorder) seperti depresi, manik, atau episode campuran. Gejala-
gejala afektif diantaranya yaitu elasi dan ide-ide kebesaran, tetapi kadang-kadang
kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh perilaku agresif serta ide-ide kejaran.
Terdapat peningkatan energi, aktivitas yang berlebihan, konsentrasi yang terganggu,
dan hilangnya hambatan norma sosial. Waham kebesaran, waham kejaran mungkin
ada. Gejala skizofrenia juga harus ada, pasien juga harus memiliki setidaknya satu
(lebih baik bila dua) dari gejala khas skizofrenia yang tercantum dalam International
9

Classification of Disease-10 (ICD-10), antara lain merasa pikirannya disiarkan atau


diganggu, ada kekuatan-kekuatan yang sedang berusaha mengendalikannya,
mendengar suara-suara yang beraneka beragam atau menyatakan ide-ide yang
bizarre. Onset biasanya akut, perilaku sangat terganggu, namun penyembuhan secara
sempurna dalam beberapa minggu.
Tabel 1. Diagnosis Skizofrenia menurut ICD-10
ICD-10 diagnostic guidelines for schizophrenia
One or more of the following symptoms :
a. Thought echo, insertion, withdrawal or broadcast
b. Delusions of control or passivity; delusional perception
c. Hallucinatory voices giving a running commentary; discussing the patient among
themselves or “originating” from some part of the body
d. Bizzare delusions
OR
Two or more of the following symptoms :
e. Other hallucinations that either occur every day for weeks or that are associated with
fleeting delusions or sustained overvalued ideas
f. Thought disorganization (loosening of association, incoherence, neologism)
g. Catatonic symptoms
h. Negative symptoms
i. Change in personal behavior (loss of interest, aimlessness, social withdrawal)

 Symptoms should be present for most of the time during at least 1 month
 Schizophrenia should not be diagnosed in the presence of organis brain disease
or during drug intoxication or withdrawal

Berikut gejala klinis skizofrenia berdasarkan pedoman penggolongan dan


diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ-III).
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a. “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda ; atau “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan
luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting”= isi
pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
10

b. “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan


tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara
jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus). “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak
wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
c. Halusinasi Auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien pasein di antara
mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan
dunia lain).
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
e. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus
11

jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.

2.6 Diagnosis
Berdasarkan beberapa penelitian, standar yang digunakan sebagai kriteria
untuk mendiagnosis skizoafektif berbeda-beda. Adapun standar yang kebanyakan
digunakan oleh para peneliti adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) ataupun International Classification of Disease (ICD). Kedua
standar ini juga terus dilakukan pembaharuan seiring dengan perkembangan waktu,
sehingga penggunaan kriteria diagnosis yang berbeda ini bisa berakibat kepada terapi
yang harus diberikan.
Diagnosis dari gangguan skizoafektif ditegakkan dari hasil pemeriksaan yang
seksama mengingat luasnya tipe gejala klinis yang ditimbulkan. Berikut merupakan
paduan diagnostik gangguan skizoafektif menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) ;
 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang
lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi
dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun
episode manik atau depresif.
 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.
12

 Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah mengalami


suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi pasca skizofrenia).
Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik berjenis
manik (F25.0) maupun depresi (F25.1) atau campuran dari keduanya (F25.2).
Pasien lain mengalami satu atau dua episode skizoafektif terselip di antara
episode manik atau depresif (F30-F33).
Pedoman diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif tipe Manik (F25.0)
menurut PPDGJ-III ialah sebagai berikut :
 Kategori ini digunakan baik untuk episode skizofrenia tipe manik yang tunggal
maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif
tipe manik.
 Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak
begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang
memuncak.
 Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi
dua, gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia,
F20,- pedoman diagnostic (a) sampai dengan (d)).
Pedoman diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif tipe Depresif (F25.1)
menurut PPDGJ-III ialah sebagai berikut :
 Kategori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe depresif yang
tunggal, dan untuk gangguan berulang dimana sebagian besar episode didominasi
oleh skizoafektif tipe depresif.
 Afek Depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala khas, baik
depresif maupun kelainan perilaku terkait seperti tercantum dalam uraian untuk
episode depresif (F32);
 Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu, dan sebaiknya ada
dua, gejala khas skizofrenia (sebagaimana ditetapkan dalam pedoman diagnostik
skizofrenia, F20.-, (a) sampai (d)).
Gangguan Skizoafektif tipe Campuran (F25.2), dapat ditegakkan diagnosisnya
apabila gangguan dengan gejala skizofrenia (F20.-) berada secara bersama-sama
13

dengan gejala-gejala afektif bipolar campuran (F31.6).


Penegakkan diagnosis Gangguan Skizoafektif menurut Diagnostic and
Statistical Manual for Mental Disorder 5 (DSM-V) mencakup :
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Skizoafektif menurut DSM-V
Diagnostic Criteria :
a. An uninterrupted period of illness during which there is a major mood episode ( major
depressive or manic) concurrent with Criterion A of schizophrenia.
b. Delusions or hallucinations for 2 or more weeks in the absence of a major mood episode
(depressive or manic) during the life time duration of the illness.
c. Symptoms that meet criteria for a major mood episode are present for the majority of the
total duration of the active and residual portions of the illness.
d. The disturbance is not attributable to the effects of a substance (eg., a drug of abuse, a
medication) or another medical condition.
295.70 (F25.0) : Schizoaffective Disorder
Specify :
295.70 (F25.0) : Schizo-affective Disorder, Bipolar Type
295.70 (F25.1) : Schizo-affective Disorder, Depressive Type
Specify if : First episode, currently in acute episode; First episode, currently in partial
remission; First episode, currently in full remission; Multiple episodes, currently in acute
episode; Multiple episodes, currently in partial remission; Multiple episode, currently in full
remission; With catatonia; Unspecified.
Specify current severity : 0 (not present) to 4 (present and severe)

2.7 Diagnosis Banding


Adapun diagnosis banding gangguan skizoafektif antara lain:
a. Gangguan psikotik akibat kondisi medik umum
b. Delirium
c. Demensia
d. Gangguan psikotik akibat zat
e. Skizofrenia
f. Gangguan mood dengan gambaran psikotik
g. Gangguan waham
14

Diagnosis banding gangguan skizoafektif biasanya mencakup semua bentuk


gangguan mood dan skizofrenia. Pada setiap diagnosis banding gangguan psikotik,
pemeriksaan medis lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik
gejala. Riwayat penyalahgunaan obat dengan atau tanpa uji penapisan toksikologi
positif dapat mengindikasikan gangguan terinduksi zat.
Keadaan medis sebelumnya, pengobatan, atau keduanya dapat menyebabkan
gangguan psikotik dan mood. Setiap kecurigaan terhadap kelainan neurologis perlu
didukung dengan pemeriksaan pemindaian (scan) otak untuk menyingkirkan patologi
anatomis dan elektroensefalogram untuk menentukan setiap gangguan bangkitan
yang mungkin (seperti epilepsi lobus temporalis). Gangguan psikotik akibat
gangguan bangkitan lebih sering terjadi daripada yang terlihat pada populasi umum.
Gangguan tersebut cenderung ditandai dengan paranoia, halusinasi, dan ide rujukan.
Pasien epileptik dengan psikosis diyakini mempunyai tingkat fungsi yang lebih baik
daripada pasien dengan gangguan spektrum skizofrenik. Kontrol bangkitan yang
lebih baik dapat mengurangi psikosis.
Adapun pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan
fisik berupa berat badan (BMI), lingkaran pinggang, tekanan darah, pemeriksaan
laboratorium berupa DPL, fungsi liver, profil lipid, fungsi ginjal, glukosa sewaktu,
kadar litium plasma, serta penilaian PANSS, YMRS, MADRS.

2.8 Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Mengingat ketidakpastian dan berkembangnya diagnosis gangguan
skizoafektif, perjalanan jangka panjang dan prognosis gangguan ini sulit ditentukan.
Berdasarkan definisi diagnosis, kita dapat mengharapkan pasien dengan gangguan
skizoafektif mengalami perjalanan yang sama seperti gangguan mood episodik,
skizofrenik kronik, atau beberapa hasil intermedia. Telah diduga bahwa peningkatan
adanya gejala skizofrenik memprediksi prognosis lebih buruk. Setelah satu tahun,
pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai hasil berbeda yang bergantung
terhadap apakah gejala dominannya afektif (prognosis lebih baik) atau skizofrenik
(prognosis lebih buruk). Satu studi yang mempelajari pasien yang didiagnosis
15

gangguan skizoafektif selama delapan tahun mendapatkan hasil pasien tersebut lebih
menyerupai skizofrrenia daripada gangguan mood dengan gambaran psikotik.
Prognosis skizoafektif lebih baik dari pada skizofrenia tetapi lebih buruk bila
dibandingkan dengan gangguan mood. Perjalanan penyakitnya cenderung tidak
mengalami deteriorasi dan responsnya terhadap litium lebih baik daripada
skizofrenia.

2.9 Terapi

a. Psikofarmaka
Mood stabilizer adalah cara utama pengobatan gangguan bipolar dan
diharapkan dapat bermanfaat pada pengobatan pasien dengan gangguan skizoafektif.
Satu studi yang membandingkan lithium dengan karbamazepin memperlihatkan
superioritas karbamazepin pada gangguan skizoafektif tipe depresif, tetapi tidak ada
perbedaan kedua agen tersebut untuk tipe bipolar. Namun, pada praktiknya,
pengobatan tersebut digunakan luas secara tersendiri, digunakan bersamaan, atau
kombinasi dengan agen antipsikotik.
Pada episode manik, pasien skizoafektif sebaiknya diobati secara agresif
dengan pemberian dosis mood stabilizer dalam kisaran konsenterasi terapeutik
sedang sampai tinggi di dalam darah. Ketika pasien memasuki fase pemeliharaan,
pemberian dosis dapat dikurangi sampai rentang rendah sampai sedang untuk
menghindari efek samping dan efek potensial terhadap sistem organ seperti tiroid dan
ginjal, dan memudahkan konsumsi dan kepatuhan pengobatan. Pemantauan
laboratorium terhadap konsenterasi obat dalam plasma dan penapisan periodic tiroid,
ginjal, dan fungsi hematologis harus dilakukan. Seperti pada semua kasus mania yang
sulit disembuhkan, pemakaian terapi elektrokonvulsif (ECT) harus dipertimbangkan.
Berdasarkan definisi, banyak pasien skizoafektif menderita akibat episode
depresif mayor. Pengobatan dengan antidepresan menyerupai pengobatan depresi
bipolar. Perawatan dilakukan tetapi bukan untuk mencetuskan suatu siklus pergantian
cepat dari depresi menjadi mania dengan antidepresan. Pilihan antidepresan
16

sebaiknya memperhatikan kegagalan atau keberhasilan antidepresan sebelumnya.


Inhibitor re-uptake serotonin selektif (SSRI) (cth., fluoxetine [Prozac] dan sertraline
[Zoloft] sering digunakan sebagai agen lini pertama. Namun pasien teragitasi atau
insomnia dapat disembuhkan dengan antidepresan trisiklik. Seperti pada semua kasus
depresi, pemakaian ECT sebaiknya dipertimbangkan. Seperti telah disinggung
sebelumnya, agen antipsikotik bermanfaat pada pengobatan gejala psikotik gangguan
skizoafektif.
Berikut ditampikan penggolongan obat anti psikotik tipikal dan atipikal :
I. Obat Anti-psikosis Tipikal (Typical Anti Psychotics)
1. Phenotiazine
 Rantai Aliphatic : Chlorpromazine (Largacil)
 Rantai Piperazine : Perphenazine (Trilafon)
Trifluoperazine (Stelazine)
Fluphenazine (Anatensol)
 Rantai Piperidine : Thioridazine (Melleril)
2. Butyrophenone : Haloperidol (Haldol, Serenace,dll)
3. Diphenyl-butyl-piperidine : Pimozide (Orap)
II. Obat Anti-psikosis Atipikal (Atypical Anti Psychosis)
1. Benzamide : Supiride (Dogmatil)
2. Dibenzodiazepine : Clozapine (Clozaril)
Olanzapien (Zyprexa)
Quetiapine (Seroquel)
Zotepine (Ludopin)
3. Benzisoxazole : Risperidone (Risperidol)
Aripiprazole (Abilify)
Adapun penatalaksanaan farmakoterapi skizoafektif berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/73/2015
Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa adalah sebagai berikut:
17

a. Fase Akut
Kriteria akut yaitu :
1. Total skor Possitive and Negative Symptom Scale – Excited Component (PANSS-
EC) yaitu P4 gaduh-gelisah, P7 permusuhan, G4 ketegangan, G8
ketidakkooperatifan, G14 buruknya pengendalian impuls, minimal satu butir
skornya 4 atau lebih.
2. Kategori nilai the Agitation-Calmness Evaluation Scale (ACES) adalah 1 atau 2 (1
= agitasi berat yaitu meningkatnya aktivitas fisik, banyaknya pembicaraan, dapat
terjadi kekerasan fisik, bila diminta diam pasien tidak bisa mengontrol tanda-tanda
agitasinya, memerlukan perhatia atau supervise terus-menerus atau perlu
pengikatan, 2 = agitasi sedang yaitu peningkatan aktivitas fisik derajat sedang,
banyak bicara dna mungkin mengancam secara verbal, tidak ada kekerasan fisik,
dapat mengontrol tanda-tanda agitasi bila diminta, memerlukan supervise atau
perawatan standar)
3. Nilai Young Mania Rating Scale (YMRS) adalah 20 dan butir skornya 4 yaitu
iritabilitas, pembicaraan, isi dan perilaku agresif.
4. Nilai 4 pada Clinical Global Impression-Severity of Illness (CGI-SI)

1) Skizoafektif Tipe Manik atau Tipe Campuran


Injeksi
• Olanzapin, dosis 10 mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis
maksimum 30mg/hari
• Aripriprazol, dosis 9,75 mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam,
dosis maksimum 29,25 mg/hari.
• Haloperidol, dosis 5mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap setengah
jam, dosis maksimum 20mg/hari.
• Diazepam 10mg/2 mL injeksi intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30mg/hari.
Oral
• Olanzapin 1 x 10 – 30 mg / hari atau risperidone 2 x 13 mg / hari atau quetiapin
hari I (200mg), hari II (400 mg), hari III (600 mg) atau hari I (1x300 mg-XR), dan
18

seterusnya dapat dinaikkan menjadi 1x600 mg-XR) atau aripirazol 1 x 10-30 mg /


hari
• Litium karbonat 2 x 400 mg, dinaikkan sampai kisaran terapeutik 0,8-1,2 mEq/L
(biasanya dicapai dengan dosis litium karbonat 1200-1800 mg / hari, pada fungsi
ginjal normal) atau divalproat dengan dosis 2 x 250 mg / hari (atau konsentrasi
plasma 50-125 µg/L) atau 1-2 x500mg/hari ER.
• Lorazepam 3 x 1-2 mg/hari kalau perlu (gaduh gelisah atau insomnia).
• Haloperidol 5-20 mg/hari
Terapi (Monoterapi)
• Olanzapin, Risperidon, Quetiapin, Aripiprazol
• Litium, Divalproat.
Terapi Kombinasi
• Olz +; Li/Dival Olz + Lor; Olz + Li/Dival+Lor
• Ris + Li/Dival; Ris + Lor; Ris + Li/Dival + Lor
• Que + Li/Dival
• Aripip + Li/Dival; Aripip + Lor; Aripip + Li/Dival + Lor
Lama pemberian obat untuk fase akut adalah 2-8 minggu atau sampai tercapai
remisi absolut yaitu YMRS ≤ 9 atau MADRS ≤ 11 dan PANSS-EC ≤ 3 per butir
PANSS-EC.

2) Skizoafektif, Tipe Depresi


Injeksi
• Olanzapin, dosis 10mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis
maksimum 30mg/hari
• Aripriprazol, dosis 9,75mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam,
dosis maksimum 29,25mg/hari.
• Haloperidol, dosis 5mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap setengah
jam, dosis maksimum 20mg/hari
• Diazepam 10mg/2 mL injeksi intravena/ intramuskulus, dosis maksimum 30mg/hari
Oral
19

• Litium 2 x 400 m g/hari, dinaikkan sampai kisaran terapeutik 0,8-1,2 mEq/L


(biasanya dicapai dengan dosis litium karbonat 1200-1800 mg/hari, pada fungsi
ginjal normal) atau divalproat dengan dosis awal 3 x 250 mg/hari dan dinaikkan
setiap beberapa hari hingga kadar plasma mencapai 50-100 mg/L atau
karbamazepin dengan dosis awal 300-800 mg/hari dan dosis dapat dinaikkan 200
mg setiap dua –empat hari hingga mencapai kadar plasma 4-12 µg/mL sesuai
dengan karbamazepin 800-1600 mg/hari atau Lamotrigin dengan dosis 200-400
mg/ hari
• Antidepresan, SSRI, misalnya fluoksetin 1 x 10-20 mg/hari
• Antipsikotika generasi kedua, olanzapin 1 x 10 – 30 mg/hari atau risperidone 2 x 1-
3 mg/hari atau quetiapin hari I (200mg), hari II (400 mg), hari III (600 mg) dan
seterusnya atau aripirazol 1 x 10-30 mg/hari.
• Haloperidol 5-20 mg/hari.
Lama pemberian obat untuk fase akut adalah 2-8 minggu atau sampai tercapai
remisi absolut yaitu YMRS ≤ 9 atau MADRS ≤ 11 dan PANSS-EC ≤ 3 untuk tiap
butir PANSS-EC.

b. Fase Lanjutan
1) Terapi psikofarmaka (monoterapi)
 Litium karbonat 0,6-1 mEq/L biasanya dicapai dengan dosis 900-1200 mg /
hari sekali sedengan dosis 500 mg/ hari
 Olanzapin 1 x 10 mg/hari
 Quetiapin dengan dosis 300 – 600 mg/hari
 Risperidon dengan 1-4 mg/hari
 Aripirazol dengan dosis 10-20 mg/hari
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbic dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), sehingga efektif untuk gejala
positif. Sedangkan obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap
“Dopamine D2 Receptors” juga terhadap “Serotonin 5HT2 Receptors” (Serotonin-
20

dopamine antagonist), sehingga efektif juga untuk gejala negatif.


Penggunaan antidepresan jangka panjang untuk skizoafektif tipe episode
depresi mayor tidak dianjurkan karena dapat menginduksi terjadinya episode manik.
Klozapin dosis 300-750mg/hari dapat diberikan kepada pasien yang refrakter. Lama
pemberian obat fase lanjutan 2-6 bulan sampai tercapai recovery yaitu bebas gejala
selama 2 bulan.
Pasien dikatakan remisi bila:
1. Total skor MADRS ≤ 10.
2. Total skor PANSS adalah ≤ 40.
3. Skor masing-masing PANSS EC adalah ≤ 3

b. Psikososial

Pasien dapat terbantu dengan kombinasi terapi keluarga, latihan keterampilan


sosial, dan rehabilitasi kognitif. Terapi psikososial dimaksudkan agar pasien
skizoafektif mampu kembali mandiri, serta tidak menjadi beban bagi keluarga dan
masyarakat). Termasuk dalam terapi psikososial adalah terapi perilaku, terapi
berorientasi keluarga, terapi kelompok, dan psikoterapi individual. Psikoterapi
individual yang dapat diberikan berupa psikoterapi suportif, client-centered therapy,
atau terapi perilaku. Psikoterapi suportif sebaiknya yang relatif konkrit, berfokus pada
aktivitas sehari-hari. Dapat juga dibahas tentang relasi pasien dengan orang-orang
terdekatnya. Ketrampilan sosial dan okupasional juga dapat membantu agar pasien
dapat beradaptasi kembali dalam kehidupan sehari-harinya.
Menurut pedoman National Institute for Health and Care Excellent (NICE),
setiap pasien dengan gejala skizofrenia harus diberikan terapi Cognitive Behavioural
Therapy (CBT) dan bagi keluarga dekat pasien harus di edukasikan untuk melakukan
terapi keluarga. Terapi CBT bisa membantu pasien dalam mengatasi waham dan
halusinasi berkepanjangan. Tujuannya ialah untuk meringankan penderitaan dan
kecacatan, dan tidak untuk menghilangkan gejala dari gangguan tersebut. Terapi CBT
mencakup
21

 Mencoba untuk menantang atau memiliki pikiran yang berbeda mengenai suara
(halusinasi auditorik) yang didengarkan.
 Membuat strategi untuk mengatasi suara yang didengarkan. Contohnya seperti
mendengarkan musik atau meminta suara yang didengarkan untuk pergi saja.
Dukungan psikologis merupakan hal yang sangat penting bagi pasien yang
mengalami gejala skizofrenia beserta keluarganya. Terapi keluarga dapat membantu
keluarga untuk mengurangi ekspresi yang berlebihan terkait gejala yang dialami
pasien, hal ini terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien.
Art therapies (terapi seni) juga sangat membantu dalam mengatasi gejala
negatif pada pasien. Pasien juga diharapkan bisa berbagi pengalaman bersama
temannya yang mengalami gejala yang sama, hal ini diharapkan dapat membantu
pasien mendapatkan solusi yg tepat untuk mengatasi gejala-gejala yang dialaminya.
26

BAB III
LAPORAN KASUS

I IDENTITAS PASIEN
Nama : Nurhayati
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 1 Februari 1979
Umur : 40 tahun
Alamat : Desa Ulee Rabo, Jeunieb, Bireun
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 21 Juni 2019
Tanggal Pemeriksaan : 27 Juni 2019

II RIWAYAT PSIKIATRI
Data diperoleh dari:
1. Rekam medis : 0902000811
2. Autoanamnesis : 27 Juni 2019
3. Alloanamnesis : 7 Juli 2019 (via telepon dengan adik pasien)

A. Keluhan Utama
Mengamuk
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Autoanamnesis:
Pasien mengatakan dibawa ke RSJ oleh mantan suami dan keluarganya
menggunakan mobil ambulans. Ia mengatakan tidak mengetahui alasan mengapa
dibawa ke RSJ. Pasien menyangkal dirinya mengamuk, keluyuran, marah-marah,
27

maupun mengganggu sekitar. Ia mengaku, gangguan-gangguan yang dikeluhkan oleh


orang-orang ini disebabkan karena dulu ia pernah ditabrak oleh sepeda motor ketika
ia masih muda sehingga sarafnya terkena. Namun pasien menyangkal adanya kejang,
penurunan kesadaran, muntah, dan demam tinggi setelah trauma tersebut. Pada
rawatan pertama, ia mengatakan bahwa dibawa ke RS karena keinginannya sendiri
dan ia menyesal karena keinginan tersebut dipenuhi oleh keluarganya. Namun, pasien
mengaku ikhlas dan senang berada di RSJ ini karena dapat membantu teman-
temannya yang mengalami gangguan jiwa disini.
Pasien mengaku pernah mendengar bisikan. Bisikan tersebut terdengaar
seperti orang yang memanggil namanya namun wujudnya tidak ada, sehingga ia
terkadang merasa terganggu dan cepat emosi. Selain itu, ia juga pernah melihat
bayangan anaknya yang sudah meninggal datang menghampiri dan tidur di
pangkuannya.
Pasien kini seorang janda. Ia menikah setelah tamat SD karena dijodohkan. Ia
bercerai dengan suaminya kira-kira 20 tahun yang lalu. Pasien mengaku bahwa ia
yang menggugat cerai suaminya karena ia kesal disebabkan oleh suaminya yang
memaksa untuk berhubungan seksual padahal saat itu ia masih 3 bulan setelah
melahirkan. Semenjak saat itu, ia amat kesal dan suka marah-marah sehingga ingin
bercerai saja. Ia juga mengaku bahwa adik suaminya tersebut pernah mencoba
membunuhnya menggunakan parang karena ia berani menggugat cerai sehingga ia
amat takut. Namun ia juga mengatakan bahwa ia bersyukur karena pernah bersama
dengan suaminya, karena suaminya tersebut rupawan dan mau menerimanya apa
adanya padahal ia tidak cantik dan tidak pernah mau merawat diri. Ia mengetahui
bahwa kini suaminya sudah menikah dengan wanita lain sebanyak 4 orang namun ia
ikhlas. Pasien mengakui banyak pria yang mencintainya selama ini. Pasien juga ingin
menikah kembali dan pulang ke rumah ibunya.
Alloanamnesis:
Pasien dibawa ke RSJ oleh keluarganya karena mengamuk. Pasien juga suka
menghancurkan barang-barang di rumah. Ia suka melempar barang lalu
mengambilnya kembali, melakukan aktivitas yang tidak bertujuan, berjalan mondar-
28

mandir di rumah tidak bisa diam, pasien suka senyum senyum sendiri sambil menari-
nari dan bernyanyi keras-keras hingga malam hari, dan terkadang pergi keluyuran.
Keluhan dirasakan memberat sejak 2 minggu terakhir. Pasien sulit tidur di malam
hari. Pasien juga sering membuang sampah ke rumah tetangganya sehingga
menimbulkan keresahan warga sekitar. Pasien sudah beberapa kali masuk rumah sakit
jiwa. Saat pasien dipulangkan ke rumah, pasien tidak mau lagi minum obat. Menurut
keluarganya, gangguan-gangguan tersebut terjadi secara tiba-tiba, bermula semenjak
pasien usai melahirkan dan menyusui anaknya, kira-kira 20 tahun yang lalu. Tidak
ada penyebab yang jelas sehingga keluarga menduga bahwa kecelakaan sepeda motor
ketika pasien masih muda menjadi penyebab pasien kini menderita gangguan jiwa.
Keluarga pasien menyangkal pasien mengalami kejang, muntah hebat, nyeri kepala,
dan penurunan kesadaran setelah mengalami pasien kecelakaan tersebut.
Pasien merupakan orang yang pendiam. Ia tak banyak omong dan tidak terlalu
berbaur dengan tetangga atau lingkungan sekitar, hanya berkomunikasi seperlunya
saja. Pasien seorang ibu rumah tangga dan amat rajin mengurusi rumah dan mencuci
baju. Pasien selalu dalam keadaan beraktivitas. Sehari-hari, pasien memang
berpenampilan tidak rapi dan tidak hobi menghias diri. Pasien sudah bercerai dengan
suaminya dan hubungan mereka kini baik-baik saja, tidak terdapat konflik maupun
permusuhan setelah perceraian. Dari suaminya, pasien memiliki satu orang anak
lelaki namun sudah meninggal karena kecelakaan.

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya


1. Riwayat psikiatrik: Pasien mulai menunjukkan sikap aneh dan ribut
setelah melahirkan anaknya kira-kira 20 tahun yang lalu. Pasien pernah
dirawat di RSJ Aceh sebelumnya, selain itu, pasien juga pernah berobat di
RSUD Fauziah Bireun.
2. Riwayat penyakit medis umum: Tidak ada
3. Riwayat merokok : tidak ada
4. Penggunaan NAPZA : Tidak ada
29

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat gangguan jiwa pada keluarga disangkal.

E. Riwayat Pengobatan
Kini pasien mendapatkan terapi clozapine 1x100 mg, trifluoperazine
3x5 mg, trihexylphenidyl 3x2 mg, depakote 1x500mg, dan lorazepam 1x 2mg.
Pada tahun 2016 pasien juga dirawat di RSJ Aceh dengan diagnosis yang
sama dan mendapatkan terapi depakote ER 1x500mg, risperidone 2x2mg, dan
diazepam 1x2 mg. Karena ditemukan tanda-tanda sindrom ekstrapiramidal,
maka diberikan injeksi zyprexa 1 vial i.m selama 3 hari, injeksi diazepam 10
mg 3 hari berturut-turut, clozapine 2x100 mg, hexymer 2x2 mg, dan diazepam
1x2mg. Pada tahun 2017 pasien kembali masuk ke IGD RSJ Aceh dengan
keluhan yang sama dan mendapatkan terapi awal risperidone 2x2mg dan
diazepam 1x 2 mg. Namun kembali ditemukan gejala sindrom ekstrapiramidal
berupa pasien mengalami kaku dan tidak bisa menutup rahangnya lagi
sehingga diberikan injeksi difenhidramin i.m, clozapine 2x 2mg, diazepam 1x
2 mg, dan trihexylphenidyl 2x2 mg. Setelah beberapa lama dirawat, pasien
membaik dan diperbolehkan pulang. Namun pasien mengalami putus obat
sehingga kambuh dan diibawa kembali ke RSJ pada tahun 2019.
F. Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak ke 3 dari 5 bersaudara. Pasien tinggal bersama
ibunya sebelum masuk rumah sakit karena sudah bercerai dengan suaminya
dan anaknya sudah meninggal. Pasien adalah seorang pendiam, jarang keluar
rumah untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Pasien hanya
berkomunikasi seperlunya saja.
G. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien ialah sekolah dasar. Pasien tidak mau
melanjutkan pendidikan formal karena lebih senang bermain dengan teman-
teman kecilnya di sawah dan menangkap ikan. Pasien juga mengaku tetap
pergi mengaji di surau walaupun tidak bersekolah lagi.
30

H. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat perinatal : Normal
2. Riwayat masa bayi : Normal
3. Riwayat masa anak : Normal
4. Riwayat masa remaja : Normal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Kesadaran : Compos Mentis
2. Tekanan Darah : 110/80 mmHg
3. Frekuensi Nadi : 86 x/ menit
4. Frekuensi Napas : 20 x/ menit
5. Temperatur : Afebris

B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICS V Linea
midclavicular sinistra
5. Abdomen : Asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)

6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa

C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
31

3. Peningatan TIK : (-)


4. Mata : Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan

IV. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Pasien seorang wanita paruh baya
dengan penampilan tidak rapi, rambut acak-acakan, penampilan sesuai
usianya.
2. Kebersihan : tidak bersih
3. Kesadaran : Compos mentis
4. Perilaku & Psikomotor : Hiperaktif
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif
B. Mood dan Afek
1. Mood : hipertimik
2. Afek : terbatas
3. Keserasian Afek : Appropriate Affect
C. Pembicaraan
Spontan
Logorrhea
D. Pikiran
1. Bentuk pikir : non-realistic
2. Arus pikir
 Koheren : (+)
 Inkoheren : (-)
 Neologisme : (-)
32

 Sirkumstansial : (-)
 Tangensial : (-)
 Asosiasi longgar : (+)
 Flight of idea : (+)
 Blocking : (-)
3. Isi Pikir
 Waham
1. Waham Bizzare : (-)
2. Waham Somatik : (-)
3. Waham Erotomania : (+)
4. Waham Paranoid
 Waham Persekutorik : (+)
 Waham Kebesaran : (+)
 Waham Referensi : (-)
 Waham Dikendalikan : (-)
 Thought
1. Thought of Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)
 Obsesi : (-)
 Preokupasi : (+)

E. Persepsi
1. Halusinasi
 Auditorik : (+)
 Visual : (-)
 Olfaktorius : (-)
 Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
33

F. Intelektual
1. Intelektual : Baik, sesuai tingkat pendidikan.
2. Daya konsentrasi : Terganggu
3. Orientasi
 Waktu : Baik
 Tempat : Baik
 Orang : Baik
4 Daya ingat
 Seketika : Baik
 Jangka Pendek : Baik
 Jangka Panjang : Baik

H. Daya nilai
 Normo sosial : Baik
 Uji Daya Nilai : Baik
I. Pengendalian Impuls: Terganggu
J. Judgement : Baik
K. Ide kreatif : menyanyi dan mengaji
L. Tilikan : T1
M. Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya
N. Pikiran Abstrak : Terganggu

V. RESUME
Pasien dibawa ke IGD RSJ karena mengamuk. Pasien suka melempar barang,
senyum-senyum sambil menyanyi dan menari, tidak bisa tidur malam hari, dan
terkadang keluyuran. Keluhan dirasakan semenjak 20 tahun yang lalu namun
memberat 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pada tahun 2016 dan
2017 pasien juga dirawat di RSJ Aceh karena keluhan serupa dan kini masuk lagi
karena pasien tidak mau minum obat lagi.
34

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah


110/80 mmHg, frekuensi nadi 86x /menit, frekuensi napas 18x /menit, temperatur
afebris. Hasil pemeriksaan umum didapatkan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status mental, tampak perempuan berpenampilan tidak rapi,
perawakan sesuai usia, aktivitas psikomotor: hiperaktif, sikap terhadap pemeriksa:
kooperatif, mood: hipertimik, afek : terbatas, keserasian afek: appropriate,
pembicaraan: spontan, logorhea (+), bentuk pikir non-realistik, arus pikir : koheren,
asosiasi longgar (+) dan flight of idea (+), isi pikir : preokupasi (+), halusinasi
auditorik (+). Pasien mengalami tilikan T1 karena merasa dirinya tidak sakit dengan
taraf kepercayaan dapat dipercaya. Daya ingat, intelektual, dan memori baik, namun
pengendalian impuls dan pikiran abstrak terganggu.

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. F25.1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresi
2. F20.0 Skizofrenia
3. F30.2 Mania dengan gejala psikotik

VII. DIAGNOSIS KERJA


F25.0 Gangguan Skizoafektif Tipe Manik

III. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Axis I : Gangguan Skizoafektif Tipe Manik
Axis II : Tidak ada data
Axis III : Tidak ada diagnosis
Axis IV : Masalah ekonomi
Axis V : GAF 40-31

IX. TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Clozapine 100mg 1x1
35

Trifluoperazine 5mg 3x1


Trihexylphenidyl 2 mg 3x1
Depakote 500mg 1x1
Lorazepam 2mg 1x1
B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan menjelaskan
pentingnya kepatuhan minum obat bagi kesembuhan penyakit pasien.
2. Meningkatkan kemampuan sosial pasien seperti membina komunikasi
interpersonal yang baik, serta meningkatkan kemampuan pasien dalam
mengendalikan impuls
3. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi
dukungan kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.

X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

XI. FOLLOW-UP HARIAN


Tgl Pemeriksaan Evaluasi Terapi
S/ pasien berbicara kacau, Clozapine 100mg 1x1
26 Juni 2019
mengganggu temannya, Trifluoperazine 5mg 3x1
mengganti baju di depan orang Trihexylphenidyl 2 mg 3x1
lain, bernyanyi terus. Pasien Depakote 500mg 1x1
sudah makan, mandi, dan Lorazepam 2mg 1x1
minum obat.
O/Penampilan : perempuan,
sesuai usia, tidak rapi
36

Kesadaran : compos mentis


Sikap : tidak kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Pembicaraan : spontan
Proses pikir : asosiasi longgar,
flight of idea (+)
Isi pikir :
waham bizzare : (-)
waham somatik : (-)
waham erotomania : (-)
waham paranoid : (+)
- waham kebesaran : (+)
- waham persekutor : (+)
- waham referensi : (-)
- waham dikendalikan : (-)
Mood : irritable
Afek : terbatas
Keserasian : Appropiate
Halusinasi auditorik (+)
Tilikan : T1

A/ Gangguan Skizoafektif tipe


Manik
S/ Pasien mengatakan senang di Clozapine 100mg 1x1
27 Juni 2019
RSJ karena banyak teman. Trifluoperazine 5mg 3x1
Pasien dapat tidur nyenyak. Trihexylphenidyl 2 mg 3x1
Pasien suka menulis surat dan Depakote 500mg 1x1
benyanyi serta menari-nari. Lorazepam 2mg 1x1
Pasien mengatakan sudah
37

minum obat dan mandi. Pasien


mengaku mendengar bisikan
yang memanggil namanya.
O/Penampilan : perempuan,
sesuai usia, tidak rapi
Kesadaran : compos mentis
Sikap : kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Pembicaraan : spontan
Proses pikir : asosiasi longgar,
flight of idea
Isi pikir :
waham bizzare : (-)
waham somatik : (-)
waham erotomania : (+)
waham paranoid : (+)
- waham kebesaran : (+)
- waham persekutor : (+)
- waham referensi : (-)
- waham dikendalikan : (-)
Mood : hipertimik
Afek : terbatas
Keserasian : Appropiate
Halusinasi auditorik (+)
Tilikan : T1

A/ Gangguan Skizoafektif tipe


Manik
S/ Pasien masih senang Clozapine 100mg 1x1
28 Juni 2019
38

menyanyi dan menari. Pasien Trifluoperazine 5mg 3x1


senang bercerita. Pasien Trihexylphenidyl 2 mg 3x1
mengaku tidak mendengar Depakote 500mg 1x1
bisikan. Pasien sudah makan, Lorazepam 2mg 1x1
minum obat, dan mandi.
O/Penampilan : perempuan,
sesuai usia, tidak rapi
Kesadaran : compos mentis
Sikap : kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Pembicaraan : logorhea (+)
Proses pikir : asosiasi longgar
(+), flight of idea (+)
Isi pikir :
waham bizzare : (-)
waham somatik : (-)
waham erotomania : (+)
waham paranoid : (+)
- waham kebesaran : (+)
- waham persekutor : (+)
- waham referensi : (-)
- waham dikendalikan : (-)
Mood : hipertimik
Afek : terbatas
Keserasian : Appropiate
Halusinasi auditorik (-)
Tilikan : T1
A/ Gangguan Skizoafektif tipe
Manik
39

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan terhadap pasien ini ditemukan


adanya gangguan persepsi dan isi pikir yang bermakna serta menimbulkan suatu
distress (penderitaan) dan disability (hendaya) dalam pekerjaan dan kehidupan sosial
pasien, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami gangguan mental.
Berdasarkan data-data yang didapat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak
ditemukan riwayat demam tinggi atau kejang sebelumnya ataupun kelainan organik.
Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis gangguan mental organik
dan penggunaan zat psikoaktif.
Pada pasien didapatkan halusinasi auditorik berupa suara-suara yang
memanggil namanya serta halusinasi visual berupa bayangan anaknya yang sudah
meninggal menghampiri dan tidur bersamanya. Terdapat pula waham curiga berupa
adik iparnya akan menganiayanya bila pasien menggugat cerai suaminya. Gangguan
ini dialami semenjak 20 tahun yang lalu dan memberat 2 minggu sebelum masuk
RSJ. Data ini menjadi dasar untuk diagnosis bahwa pasien memenuhi gejala A
skizofrenia (, sekaligus menyingkirkan diagnosis gangguan psikotik akut. Selain itu,
pasien juga memiliki gejala-gejala gangguan afektif tipe manik berupa mood
hipertimik dan sikap psikomotor hiperaktif yang tampak dari tingkah laku pasien
yang selalu menyanyi, menari, senyum-senyum saat bercerita, dan terkadang tertawa-
tawa. Keluarga pasien juga mengeluhkan bahwa pasien tidak tidur saat malam hari,
selalu mondar mandir dan bernyanyi serta menari. Pasien sangat bersemangat dan
sangat banyak berbicara (logorhea), terkadang berbicara dalam kalimat yang sangat
panjang namun tidak terdapat ide dalam pembicaraan (asosiasi longgar) dan topik-
topik pembicaraan berganti-ganti dengan amat cepat dan kacau (flight of idea). Pasien
juga mengatakan bahwa ia ingin menikah lagi dengan lelaki lainnya karena banyak
lelaki yang mencintainya (erotomania) karena ia merasa dirinya cantik jelita
walaupun berpenampilan tidak rapi (waham kebesaran). Berdasarkan anamnesis
psikiatri dan pemeriksaan status mental, didapatkan gangguan afektif tipe manik dan
40

gejala skizofrenia yang menonjol pada saat bersamaan, dan sudah berlangsung sejak
lama sehingga hal tersebut menjadi dasar untuk mendiagnosis bahwa pasien
menderita gangguan skizoafektif tipe manik. Aksis II tidak ada diagnosis karena dari
alloanamnesis dengan adik pasien hanya didapatkan bahwa sebelumnya pasien
seorang pendiam dan tidak terlalu aktif bergaul, juga tidak didapatkan gangguan
tumbuh kembang pada usia kanak-kanak dan remaja. Hal ini menyingkirkan
diagnosis retardasi mental. Pada aksis III juga tidak ada diagnosis karena pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan medis umum.
Untuk aksis IV, pasien merupakan golongan sosioekonomi rendah karena pasien
dulunya seorang IRT yang tingkat pendidikannya setingkat sekolah dasar, dan kini
pasien sudah bercerai dengan suaminya sehingga pasien tidak dapat menghidupi
dirinya sendiri, sehingga pada aksis IV diberi diagnosis “sosio-ekonomi kurang”.
Penilaian terhadap kemampuan pasien untuk berfungsi dalam kehidupannya
menggunakan skala Global Assessment of Functioning (GAF). Pada saat dilakukan
wawancara, skor GAF 40-31 (beberapa disabilitas dalam berhubungan dengan realita
dan komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa
fungsi). Hal ini ditandai dengan pasien mampu melakukan aktivitas sehari‐
hari secara mandiri namun perlu diarahkan disertai gejala psikotik.
Pasien ini mendapatkan terapi Clozapine 1x100mg, Depakote 1x500mg,
Trihexylphenidil 3x2mg, Trifluoperazine 3x5 mg, dan Lorazepam 1x2mg. Clozapine
merupakan obat golongan anti psikosis atipikal yang sangat efektif dengan sedikit
efek samping neurologik dibandingkan dengan obat anti psikosis golongan tipikal.
Clozapine merupakan derivat trisiklik- dibenzodiazepine 8kloro-11-(4-methyl-1-
piperazinyl)-5H-dibezosiazepine. Pasien ini diberikan Clozapine karena pernah
mengalami sindrom ekstrapiramidal (EPS) pada rawatan sebelumnya sehingga
antipsikotik sebelumnya diganti dengan Clozapine. Clozapine merupakan anti
psikosis atipikal pertama yang ditemukan, dan tidak menyebabkan EPS, tardive
dyskinesia, serta tidak menyebabkan peningkatan dari prolaktin. Clozapin sangat di
indikasikan untuk pasien skizofrenia yang tidak responsif atau intoleran dengan
antipsikosis generasi pertama. Clozapine bekerja dengan cara memblokade reseptor
41

5HT2A, D2, D1, D3, D4, 5HT1A, 5HT2c, 5HT3, 5HT6, 5HT7, M1, H1, α1 dan α2.
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh Clozapine diantaranya granulositopenia,
agranulositosis, leukositosis, lelah, mengantuk, perubahan EEG, hipersalivasi, mulut
kering, hipotensi postural, muntah, konstipasi, hipertermia, hiperglikemia, dan
peningkatan BB. Dosis anjuran clozapine untuk skizofrenia dan gangguan psikosis
adalah 25-100mg/hari.
Trihexylphenidil merupakan obat yang sering digunakan apabila dijumpai
adanya gejala sindrom ekstrapiramidal sebagai efek samping pemberian antipsikotik.
Obat ini merupakan golongan obat antikolinergik/antimuskarinik. Hal ini juga
berkaitan dengan pasien yang pada masa rawatan terdahulu datang dengan keluhan
kaku akibat konsumsi obat anti psikotik. Kerja antiparkinson obat antimuskarinik
dengan cara mengurangi efek kolinergik sentral yang berlebihan akibat adanya
defisiensi dopamin. Obat antimuskarinik bermanfaat pada parkinsonisme yang
diinduksi oleh obat, namun tidak digunakan pada parkinson yang idiopatik, karena
obat ini kurang efektif dibandingkan obat dopaminergik dan dapat menyebabkan
kerusakan kognitif. Obat ini juga memiliki efek menekan dan menghambat reseptor
muskarinik sehingga menghambat sistem saraf parasimpatik dan juga memblok
reseptor muskarinik pada sambungan saraf otot sehingga terjadi relaksasi. Pemberian
secara oral dapat memberikan efek yang cukup baik. Pemberian trihexylphenidil ini
sebagai terapi efek samping sindrom ekstrapiramidal yang diinduksi oleh obat
antipsikotik dan obat kerja sentral lainnya seperti golongan dibenzodiazepine,
butyrophenon dan thioxanthenes. Pemberhentian obat ini harus secara tappering off,
dosis awal dapat diberikan 1-4 mg/2-3x/hari, rentang dosis 10-20mg/hari, tergantung
respon pasien.
Trifluoperazine memiliki efek antiadrenergik sentral, antidopaminergik, dan
efek antikolinergik minimal. Hal ini diyakini Trifluoperazine dapat bekerja dengan
memblokade reseptor dopamin D1 dan D2 di jalur mesokortical dan mesolimbik,
menghilangkan atau meminimalkan gejala skizofrenia seperti halusinasi, delusi, dan
berpikir dan berbicara yang tidak terarah. Trifluoperazine menimbulkan efek samping
ekstrapiramidal seperti akatisia, distonia, dan parkinsonisme selain itu dapat
42

menimbulkan efek samping antikolinergik seperti merah mata dan xerostomia (mulut
kering). Trifluoperazine dapat menurunkan ambang kejang sehingga harus berhati-
hati penggunaan Trifluoperazine pada orang yang mempunyai riwat kejang.
Pengobatan untuk dengan gangguan skizoafektif merespon terbaik untuk pengobatan
dengan obat antipsikotik yang dikombinasikan dengan obat mood stabilizer atau
pengobatan dengan antipsikotik saja.
Depakote merupakan obat anti-mania dengan kandungan Divalproex Na yang
digunakan sebagai terapi tunggal atau terapi tambahan pada pengobatan seizure
parsial dan seizure absence, pengobatan manik (ditandai dengan peningkatan
aktivitas psikomotor, berbicara tanpa henti, disertai jalan pikiran yang tidak teratur
dan perhatian labil) sebagai mood stabilizer. Cara kerja mood stabilizer yaitu
membantu menstabilkan kimia otak tertentu yang disebut neurotransmitters yang
mengendalikan temperamen emosional dan perilaku dan menyeimbangkan kimia otak
tersebut sehingga dapat mengurangi gejala gangguan kepribadian borderline.
Divalproex Na juga memiliki peran penting untuk menstabilkan suasana hati pada
gangguan skizoafektif. Divalproex Na memiliki efek samping mual, muntah,
gangguan pencernaan, diare, keram perut, konstipasi, anoreksia dan lain sebagainya.
Depakote tersedia dalam tablet 250-500mg. Dosis anjuran untuk Depakote ialah
3x250mg atau 1-2x500mg.
Pasien memiliki riwayat masuk Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh pada tahun
2017, 2018, dan 2019. Keluarga pasien mengatakan kekambuhan terjadi apabila
pasien yang tidak mengkonsumsi obat secara teratur. Literatur mengatakan apabila
seseorang telah bereaksi terhadap perawatan medis (farmakologis), hal yang sangat
penting dilakukan adalah tetap melanjutkam pengobatan sesuai resep yang telah
dibuat oleh dokter. Secara umum, orang dengan gangguan skizoafektif sangat
diharuskan untuk melanjutkan konsumsi mood stabilizer dalam waktu yang lama
(setidaknya dua tahun). Putusnya terapi farmakologi dengan cepat dapat
menimbulkan kekambuhan dari gangguan skizoafektif. Apabila seseorang dengan
skizoafektif mengalami beberapa episode depresi ataupun mania, dokter yang
bertanggung jawab akan meresepkan pengobatan tersebut dalam jangka waktu yang
43

lebih panjang. Apabila episode mania atau depresi muncul ketika pasien sedang
mengkonsumsi mood stabilizer, dokter nantinya akan meresepkan obat jangka pendek
yang dapat menekan gejala tersebut. Untuk mencegah gejala muncul kembali atau
semakin memburuk, pasien diharapkan tidak untuk menghentikan terapi farmakologis
secara mendadak, walaupun pasien sudah merasa cukup baik, karena hal ini akan
memicu terjadinya kekambuhan. Proses pemberhentian terapi farmakologis tentunya
harus berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter yang bersangkutan.
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh,
perilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif
antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Perawatan di rumah sakit
menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian
mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien
dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit
harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas
hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Pusat perawatan dan kunjungan
keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.
Terapi psikofarmaka harus diberikan dalam jangka waktu yang lama. Hal
ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relaps). Keberhasilan
terapi gangguan jiwa tidak hanya terletak pada terapi obat psikofarmaka dan jenis
terapi lainnya, tetapi juga peran serta keluarga dan masyarakat turut menentukan.
Untuk mencegah kekambuhan, banyak hal lainnya yang dapat dilakukan selain
menganjurkan pasien untuk konsisten dalam terapi farmakologi, diantaranya dengan
cara memberikan psikoedukasi yang baik kepada pasien terkait kondisinya. Selain itu
perawatan berbasis keluarga juga sangat diperlukan, keluarga diharapkan lebih
memahami kondisi sakit mental yang dialami pasien, memahami pula berbagai cara
yang dapat dianjurkan kepada pasien untuk menangani gejala yang timbul, serta
keluarga dapat menunjang perbaikan komunikasi pada pasien. Hal ini bisa
membangkitkan perbaikan fungsi sosial di dalam diri pasien sehingga pasien bisa
44

semakin produktif dari hari ke hari, dan tentunya dapat meminimalisir angka
kekambuhan. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan Electro-convulsive Therapy
(ECT) juga dinilai sangat baik dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien
dengan gangguan skizoafektif.
.
BAB V

KESIMPULAN

Gangguan skizoafektif merupakan suatu penyakit dengan gejala psikotik yang


persisten seperti halusinasi atau delusi, dimana gejala ini terjadi bersamaan
(simultaneously) dengan masalah suasana perasaan (mood disorder) seperti depresi,
manik atau episode campuran. Gangguan skizoafektif merupakan permasalahan
mental yang bersifat kronis. Sebagian diantara paasien gangguan skizoafektif
mengalami episode skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif, maupun
campuran keduanya.

Terapi pada pasien skizoafektif terbagi menjadi terapi farmakologis dan terapi
non-farmakologis. Pada kasus gangguan skizoafektif tipe manik terapi kombinasi
yang diberikan adalah terapi anti-psikotik dan mood stabilizer, diantaranya mencakup
Clozapine 100mg, Trifluoperazine 5 mg, Depakote 250mg, Trihexylphenidil 2mg,
dan Lorazepam 2mg. Terapi non-farmakologis yang dianjurkan untuk gangguan
skizoafektif tipe manik diantaranya Cognitive-Behavioural Therapy, Psikoedukasi,
Family-Based Service, Art therapies, dan lain sebagainya. Prognosis bisa
diperkirakan dengan melihat seberapa jauh menonjolnya gejala skizofrenia nya, atau
gejala gangguan afektif nya. Semakin menonjol dan persisten gejala skizofrenianya,
maka prognosisnya akan semakin buruk. Sebaliknya apabila gejala-gejala afektifnya
tampak lebih menonjol, maka prognosis diperkirakan akan lebih baik.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI, Sadock BJ. 2010. Buku ajar Psikiatri Klinis Edisi ke 2. Jakarta:
EGC
2. Supratanda, Feri Eka. 2015. Penatalaksanaan Skizoafektif Tipe Depresif
Dengan Sindrom Ekstrapiramidal. Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung
3. Rades,Miranda, Wulan,AJ. 2016. Skizoafektif Tipe Campuran. Lampung :
Jurnal Medula Unila
4. Marneros,A. 2015. Schizoaffective Disorder. Arlington Virginia: National
Alliance of Mental Illness
5. The National Alliance on Mental Illness. 2012. Schizoaffective Disorder.
Arlington Virginia : NAMI
6. Birrel, Marwick. 2013. Psychiatry 4th ed. United Kingdom: Elsevier Inc
7. American Psychiatryc Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders 5th ed. Arlington VA: American Psychiatryc Association
Publishinh
8. Kharisma, A.A Gede Ocha Rama KP. 2015. Gangguan Skizoafektif Tipe
Manik. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayan
9. Maslim, Rusdi.2016. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FKUnika Atmajaya
10. Maslim, Rusdi. 2014 Penggunaan Klinis Obat Psikotropik 4th ed. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
11. Katona,Cornelius, Cooper,Claudia, Robertson,Mary. 2012. Psychiatry at a
Glance. 5th ed. London: Wiley Blackwell
12. Mental Illness Research, Education and Medical Center. 2016. What Is
Schizoaffective Disorder? Causes, Symptoms, Diagnosis, and Treatment.
California : VA Desert Pacific Health Care Network
13. Melissa Conrad Stöppler. 2013. Schizoaffective disorder.
http://www.medicinenet.com

14. Elvira, Sylvia D dan Hadisukanto G, 2013. Buku Ajar Psikiatri. BadanPenerbit
FK UI: Jakarta

30
15. Heckers S. Is schizoaffective disorder a useful diagnosis?. Current Psychiatry
Reports. 11(4), 332–337 (2009)
16. Olfson, Mark. Treatment Patterns for Schizoaffective Disorder and
SchizophreniaAmongMedicaidPatients.Diakses melalui:
www.psychiatryonline.org/data/Journals/
17. Ken Duckworth, M.D., and Jacob L. Freedman, M.D. 2012. Schizoaffective
disorder.

18. Jibson MD. Schizophrenia: Clinical presentation, epidemiology, and


pathophysiology. http://www.uptodate.com. 2011.

31

Anda mungkin juga menyukai