Disusun Oleh :
Vita Amalia
1907101030014
Pembimbing:
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT yang memberikan
rahmad, kasih sayang dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Skizoafektif Tipe Manik”. Laporan
kasus ini disususn sebagai salah satu tugas menjalani kepanitraan klinik senior
pada bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Jiwa Aceh, Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Selama penyelesaian laporan kasus ini saya mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr. Zulfa Zahra, Sp.KJ yang telah
meluangkan banyak waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada saya
dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Saya juga menyampaiakn terimakasih
kepada keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan
doa dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Saya menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam laporan kasus ini, untuk itu saya sangat mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan
laporan kasus ini. Saya berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan khushusnya bagi profesi
kedokteran. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmad dan hidayah-Nya
bagi kita semua.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
2.1 Definisi
Skizoafektif merupakan salah satu penyakit yang ditandai adanya kombinasi
gejala skizofrenia (gangguan pikiran, halusinasi dan delusi) dan gangguan afektif
berupa gejala depresi dan manik. Gangguan mental skizoafektif memiliki ciri-ciri
skizofrenia dan gangguan mood. Pasien dapat digolongkan memiliki gangguan
skizoafektif jika masuk kedalam salah satu dari enam katagori berikut ini:(1,4)
1. Pasien dengan skizofrenia yang memiliki gejala mood
2. Pasien dengan gangguan mood yang memiliki gejala skizofrenia
3. Pasien dengan gangguan mood dan skizofrenia
4. Pasien dengan psikotik ketiga tidak terkait dengan skizofrenia dan
gangguan mood
5. Pasien yang gangguannya berada dalam kontinum antara skizofrenia
dan gangguan mood
6. Pasien dengan beberapa kombinasi dari 5 kriteria diatas
2.2 Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan skizoafektif kurang dari 1%, yaitu
kisaran 0,5% sampai 0,8%. Prevalensi penyakit ini lebih tinggi didapatkan pada
wanita dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun demikian, remisi yang terjadi
pada laki-laki lebih buruk dibandingkan dengan wanita. Skizoafektif tipe depresif
lebih sering terjadi pada usia tua, sedangkan pada usia muda lebih sering terjadi
gangguan skizoafekif tipe manik. Pria dengan gangguan skizoafektif cenderung
menunjukkan perilaku antisosial. Dan mempunyai afek tumpul yang nyata dan
tidak sesuai.(1)
Perbedaan jenis kelamin dalam tingkat keparahan pada penderita
skizoafektif tampak jelas pada gangguan mood. Perempuan dua kali lipat
mengalami skizoafektif tipe depresi daripada laki-laki. Jenis depresi skizoafektif
depresi mungkin lebih umum pada orang yang lebih tua daripada orang yang lebih
muda, dan tipe bipolar lebih umum terjadi pada orang dewasa muda daripada
orang dewasa yang lebih tua. Usia onset terjadinya gangguan skizoafektif pada
3
4
wanita lebih lambat daripada pria, seperti pada skizofrenia. Pria dengan gangguan
skizoafektif cenderung menunjukkan perilaku antisosial yang ditandai dengan
afek datar atau tidak sesuai.(3)
2.3 Etiologi
Gangguan skizoafektif belum diketahui penyebabnya secara pasti hingga
saat ini. Gangguan tersebut dapat berupa jenis skizofrenia dan gangguan mood.
Berdasarkan penelitian, pasien dengan gangguan skizoafektif merupakan
heterogen. Beberapa pasien memiliki gejala skozofrenia dengan gejala afektif
yang menonjol, yang lain memiliki gangguan mood dengan gejala skizofrenia
yang menonjol. Patogenesis gangguan mood dan skizofrenia bersifat
multifaktorial dan mencakup berbagai faktor risiko termasuk genetika, faktor
sosial, trauma, dan stres. Gangguan yang terjadi pada skizofrenia 1 (DISC1),
terletak pada kromosom 1q42, yang memungkinkan terjadinya gangguan
skizoafektif, skizofrenia dan gangguan bipolar.(1,3)
2.4 Diagnosis
Diagnosis skizoafektif dapat ditentukan berdasarkan PPDGJ-III, sebagai
berikut:(8)
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya ditegakkan apabila gejala-gejala
definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada
saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu
sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana,
sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik
skizofrenia maupun episode manik atau depresif.
Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia
dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.
Bila seorang pasien skizofrenia menunjukkan gejala depresi setelah
mengalami suatu episode psikotik diberikan kode diagnosis F20.4 (Depresi
pasca-skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif
berulang, baik berjenis manik (F25.0) maupun depresi (F25.1) atau
campuran dari keduanya (F25.2). Pasien lain yang mengalami satu atau dua
5
harus memiliki setidaknya satu (lebih baik bila dua) dari gejala khas skizofrenia
yang tercantum dalam International Classification of Disease-10 (ICD-10).(3,9)
Berikut gejala klinis skizofrenia berdasarkan pedoman penggolongan dan
diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ-III).(8)
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a) “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kualitasnya berbeda ; atau “thought insertion or withdrawal” = isi
yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya
diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought
broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya;
b) “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” = waham tentang
dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang
”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus). “delusional perception” =
pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi
dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c) Halusinasi Auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien pasein
di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e) Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
7
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu
minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme.
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan
stupor.
h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika.
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.
Gejala afektif biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa ansietas yang
menyertainya), atau ke arah elasi (suasana perasaan yang meningkat). Perubahan
afek ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat
aktivitas dan kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder akibat perubahan
tersebut.(8)
a) Episode Manik
Kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam
jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam berbagai derajat
keparahan. Terdapat peningkatan energi, aktivitas yang berlebihan, konsentrasi
8
b) Episode Depresif
Gejala utama:
Afek depresif
Kehilangan minat dan kegembiraan
Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja)
Gejala lainnya:
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
Tidur terganggu
Nafsu makan berkurang
2.7 Terapi
a. Psikofarmaka
Mood stabilizer merupakan obat gangguan bipolar yang dapat digunakan
pada pasien yang mengalami gangguan skizoafektif. Ada beberapa obat mood
stabilizer yaitu seperti Litium Carbonate, Haloperidol, Carbamazepine, Valproic
Acid, Divalproex Na. Dalam sebuah penelitian yang mebandingkan antara litium
dengan carbamazepine menemukan bahwa carbamazepine lebih unggul untuk
gangguan skizoafektif tipe deprsif tetapi tidak ada perbedaan untuk tipe bipolar.(1)
Adapun pasien skizoafektif tipe manik, maka harus dirawat secara baik
dengan dosis yang maksimal. Ketika pasien memasuki fase pemeliharaan, dosis
dapat dikurangi pelan-pelan hingga dosis rendah, untuk menghindari efek buruk
seperti kelainan pada tiroid. Selain itu, sebagai dokter yang memberikan terapi,
juga harus melakukan skrining fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hematologi untuk
melihat efek samping obat. Selain pemberian obat, terapi lain yang paling penting
adalah psikososial terapi. Psikososial terapi dapat diberikan dari keluarga seperti
dukungan keluarga, pelatihan keterampilan sosial dan rehabilitasi kognitif.(1)
10
1) Anti Psikotik
Berikut ditampikan penggolongan obat anti psikotik tipikal dan atipikal : (10)
(a) Obat Anti-psikosis Tipikal (Typical Anti Psychotics)
1. Phenotiazine
Rantai Aliphatic : Chlorpromazine (Largacil)
Rantai Piperazine : Perphenazine (Trilafon)
Trifluoperazine (Stelazine)
Fluphenazine (Anatensol)
Rantai Piperidine : Thioridazine (Melleril)
2. Butyrophenone : Haloperidol (Haldol, Serenace,dll)
3. Diphenyl-butyl-piperidine : Pimozide (Orap)
(b) Obat Anti-psikosis Atipikal (Atypical Anti Psychosis)
1. Benzamide : Supiride (Dogmatil)
2. Dibenzodiazepine : Clozapine (Clozaril)
Olanzapien (Zyprexa)
Quetiapine (Seroquel)
Zotepine (Ludopin)
3. Benzisoxazole : Risperidone (Risperidol)
Aripiprazole (Abilify)
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbic dan
sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), sehingga efektif
untuk gejala positif.Sedangkan obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas
terhadap “Dopamine D2 Receptors” juga terhadap “Serotonin 5HT2 Receptors”
(Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif juga untuk gejala negatif.(10)
2) Mood Stabilizier
efektif dalam mengobati dan mencegah episode depresi pada pasien dengan
gangguan bipolar. Lithium paling tidak efektif digunakan pada siklus cepat atau
episode campuran. Secara keseluruhan, lithium efektif pada 40 hingga 50%
pasien. Selain itu, banyak pasien tidak dapat mentolerirnya karena banyak efek
samping, termasuk gejala gastrointestinal seperti dispepsia, mual, muntah, dan
diare, serta penambahan berat badan, rambut rontok, jerawat, tremor, sedasi,
penurunan kognisi, dan gangguan koordinasi. Ada juga efek buruk jangka panjang
pada tiroid dan ginjal. Lithium memiliki jendela terapi yang sempit,
membutuhkan pemantauan kadar plasma obat.(11)
Mekanisme kerja litium tidak dipahami secara pasti tetapi dihipotesiskan
melibatkan modifikasi sistem messenger kedua. Satu kemungkinan adalah bahwa
lithium mengubah protein G dan kemampuan mereka untuk mentransduksi sinyal
di dalam sel reseptor neurotransmitter ditempati oleh neurotransmitter. Teori lain
adalah bahwa lithium mengubah enzim yang berinteraksi dengan sistem
messenger kedua, seperti inositol monophosphatase, yang terlibat dalam sistem
inositol fosfatidil sebagai modulator protein G, atau bahkan sebagai pengatur gen
ekspresi dengan memodulasi protein kinase C.(11)
Antikonvulsan sebagai Mood Stabilizier
Berdasarkan teori bahwa mania dapat "menyalakan" episode mania lebih
lanjut, disimpulkan terkait dengan gangguan kejang, karena kejang dapat
menyebabkan lebih banyak kejang. Mekanisme aksi antikonvulsan masih belum
dikarakterisasi dengan baik, baik dari segi efek antikonvulsan maupun efek
penstabil antimanik / suasana hati. Pada membran sel, antikonvulsan diduga
bekerja pada kanal ion, termasuk kanal natrium, kalium, dan kalsium. Dengan
menghambat pergerakan natrium melalui kanal natrium yang dioperasikan dengan
tegangan, misalnya, beberapa antikonvulsan menyebabkan blokade yang
bergantung pada penggunaan aliran natrium. Dimana saat kanal natrium sedang
"digunakan" selama aktivitas neuron seperti kejang, antikonvulsan dapat
memperpanjang inaktivasinya, sehingga memberikan aksi antikonvulsan. Apakah
mekanisme seperti itu juga merupakan penyebab efek penstabil suasana hati dari
antikonvulsan belum diketahui.(11)
12
Ketika saluran ion tidak aktif, ini dapat menyebabkan perubahan baik
neurotransmisi rangsang dan penghambatan. Glutamat adalah neurotransmitter
rangsang universal dan asam gamma-aminobutirat (GABA) adalah
neurotransmitter penghambat universal. Secara khusus, antikonvulsan tampaknya
memodulasi efek penghambat neurotransmitter GABA dengan menambah
sintesisnya, menambah pelepasannya, menghambat pemecahannya, mengurangi
reuptakeake menjadi neuron GABA, atau menambah efeknya pada reseptor
GABA. Beberapa tindakan ini merupakan konsekuensi dari aksi antikonvulsan
pada saluran ion.(11)
Antikonvulsan yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar:(11)
Asam Valproat
Carbamazepine
Lamotrigin
Gabapentin
Topiramate
b. Psikososial
Pasien dapat terbantu dengan kombinasi terapi keluarga, latihan
keterampilan sosial, dan rehabilitasi kognitif. Oleh karena bidang psikiatri sulit
memutuskan diagnosis dan prognosis gangguan skizoafektif yang sebenarnya,
ketidakpastian tersebut harus dijelaskan kepada pasien. Kisaran gejala mungkin
sangat luas, karena pasien mengalami keadaan psikosis dan variasi kondisi mood
yang terus berlangsung. Anggota keluarga dapat mengalami kesulitan untuk
menghadapi perubahan sifat dan kebutuhan pasien tersebut. Perlu diberikan
regimen obat yang mungkin lebih rumit, dengan banyak obat, dan pendidikan
psikofarmakologis.(12)
Menurut pedoman National Institute for Health and Care Excellent
(NICE), setiap pasien dengan gejala skizofrenia harus diberikan terapi Cognitive
Behavioural Therapy (CBT) dan bagi keluarga dekat pasien harus diedukasikan
untuk melakukan terapi keluarga. Terapi CBT bisa membantu pasien dalam
mengatasi waham dan halusinasi berkepanjangan. Tujuannya ialah untuk
meringankan penderitaan dan kecacatan, dan tidak untuk menghilangkan gejala
dari gangguan tersebut. Terapi CBT mencakup: (12)
13
Dukungan psikologis merupakan hal yang sangat penting bagi pasien yang
mengalami gejala skizofrenia beserta keluarganya. Terapi keluarga dapat
membantu untuk mengurangi ekspresi keluarga yang berlebihan terkait gejala
yang dialami pasien, hal ini terbukti efektif untuk mencegah terjadinya
kekambuhan pada pasien.(12)
Art therapies (Terapi seni) juga sangat membantu dalam mengatasi gejala
negatif pada pasien. Pasien juga diharapkan bisa berbagi pengalaman bersama
temannya yang mengalami gejala yang sama, hal ini diharapkan dapat membantu
pasien mendapatkan solusi yg tepat untuk mengatasi gejala-gejala yang
dialaminya.(12)
2.8 Prognosis
Prognosis pada skizoafektif tergantung pada peningkatan gejala yang
terjadi. Pasien yang memiliki peningkatan gejala skizofrenia yang lebih menonjol
diprediksikan prognosisnya lebih buruk. Namun setelah 1 tahun, pasien dengan
gangguan skizoafektif memiliki hasil yang berbeda, tergantung pada apakah
gejala dominan adalah afektif, maka progosisnya lebih baik. Namun, apabila
gejala dominannya adalah skizofrenia maka prognosisnya lebih buruk.(1)
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Nn. SF
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 16 tahun
Alamat : Baitussalam, Aceh Besar
Status Pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan Terakhir : SD/ Sederajat
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 07 Januari 2020
Tanggal Pemeriksaan : 08 Januari 2020
A. Keluhan Utama
Mengamuk
Pasien datang dibawa oleh keluarga ke Rumah Sakit Jiwa Aceh karena
dipaksa oleh ayah tirinya saat ia sedang tertidur. Pasien dibawa paksa ke IGD
karena disangka sakit jiwa oleh orangtuanya. Pasien mengaku tidak senang
kepada ayah tirinya karena sering membuat ibunya sedih dan menyiksa dirinya
serta adik-adiknya. Pasien mengeluh takut terhadap ayah tirinya dan lebih senang
berada di luar rumah, oleh karena itu pasien sering pergi ke luar rumah. Pasien
15
16
sangat takut terhadap ayah tirinya dan menganggap ayah tirinya ingin menyiksa
dirinya dan saudara kandung yang lain, dan mengatakan ayah tirinya seperti figure
ayah tiri yang jahat dan tidak ingin mereka berada di rumah. Pasien menyangkal
dirinya sakit jiwa. Pasien hanya meyakini dirinya sakit tenggorokan dan pasrah
jika ingin mati saja karena sakitnya tidak kunjung sembuh. Riwayat pendidikan
pasien sebelumnya sampai tingkat sekolah dasar. Pasien menyatakan sebelumnya
pernah dibawa ke rumah sakit jiwa dalam beberapa bulan yang lalu, namun pasien
menyangkal penyakitnya dan tidak mau meminum obat. Pasien menyatakan
bahwa kakaknya juga dirawat di rumah sakit jiwa.
Alloanamnesis
1. Identitas narasumber
Inisial : Ny. SM
Umur : 40 tahun
Hubungan dengan pasien : Ibu kandung
Pendidikan terakhir : SMA/sederajat
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Baitussalam, Aceh Besar
Media : Secara langsung, 07 Januari 2020
keluhan utama mengamuk dan keluar RSJ Aceh pada bulan Juli 2019. Pasien
melanjutkan rawat jalan setelah keluar dari rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit
Jiwa Aceh. Pasien tidak mau minum obat selama 1 bulan terakhir dan terus
menyangkal dirinya tidak sakit.
E. Riwayat Pengobatan
Pada saat pasien dirawat inap sebelumnya , pasien mendapatkan terapi injeksi
skizonate 25 mg IM, risperidone 2 mg 2x1 tab, Depakote 25 mg 2x1 tab,
trihexyphenidil 2 mg 2x1 tab, diazepam 2 mg 1x1 tab.
G. Riwayat Sosial
Pasien tinggal dirumah bersama Ibu, Ayah tiri, kakak, adik.
Pasien tidak bekerja
H. Riwayat Pendidikan
Riwayat pendidikan terakhir pasien yaitu Sekolah Dasar.
tirinya. Kehidupan pasien sehari-hari tidak rukun dengan ayah tirinya dan
tidak tenang berada di rumah. Kedua kakak pasien mengalami gangguan
mental dan pasien juga pernah dirawat keluar-masuk di Rumah Sakit Jiwa
Aceh.
5. Masa dewasa : Pasien belum memasuki masa dewasa.
B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugularis (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I > BJ I, bising (-), iktus cordis di ICS V linea
midclavicula sinistra
5. Abdomen : Asites(-), nyeri tekan (-), soepel(+)
6. Ekstremitas
Superior : ikterik (-/-) tremor (+/+), rigiditas (+)
Inferior : ikterik (-/-) tremor (-/-), rigiditas (+)
7. Genetalia : Tidak diperiksa
C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda Rangsang Meningeal : (-)
3. Peningkatan TIK : (-)
4. Mata : pupil isokor (+/+),Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : rigiditas (-), bradykinesia (-)
19
C. Pembicaraan
Spontan dan banyak bicara. Terkadang hanya terfokus membicarakan
masalahnya dengan ayah tirinya.
D. Pikiran
1. Arus pikir
Koheren (+)
Sirkumtangensial (+)
2. Isi pikir
Waham preserkutorik (+)
Thought (+)
Delusion (+)
E. Persepsi
1. Halusinasi
Auditorik : (+)
20
Visual : (-)
Olfaktorius : (-)
Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
F. Intelektual
1. Intelektual : Baik
2. Daya konsentrasi : Baik
3. Orientasi
Diri : Baik
Tempat : Baik
Waktu : Baik
4. Daya ingat
Seketika : Baik
Jangka Pendek : Baik
Jangka Panjang : Baik
5. Pikiran Abstrak : Baik
G. Daya nilai
Normo sosial : Baik
Uji Daya Nilai : Baik
H. Pengendalian Impuls : Baik
I. Tilikan : T1
J. Taraf Kepercayaan : Tidak dapat dipercaya
3.5 RESUME
merasa curiga terhadap ayah tirinya. Pasien juga mangatakan dirinya hampir gila
karena masalah yang sedang dihadapinya saat ini.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
110/80 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit, frekuensi napas 20x/menit, temperatur
36,5° C. Pemeriksaan generalisata dan neurologis dalam batas normal
Pada pemeriksaan status mental, laki-laki sesuai usia, tidak rapi dan sesuai
umur. Aktifitas psikomotor : normoaktif, sikap terhadap pemeriksa: kooperatif.
Mood: iritable, afek: terbatas, keserasian afek: Appropriate afek. Pembicaraan:
Spontan dan banyak bicara terkadang sulit untuk diberhentikan ketika berbicara
dan terfokus pada masalahnya dengan ayah tiri. Arus pikiran: koheren,
sirkumtangensial. Waham: erotomania, waham agama. Halusinasi auditorik (+).
Pasien dengan tilikan T1 dan taraf kepercayaan tidak dapat dipercaya.
3.7 TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Injeksi lodomer / 12 jam IM
Injeksi diazepam / 12 jam IM
Seroqueel XR 1x400 mg tab
22
B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan menjelaskan
mengenai penggunaan obat yang tidak boleh putus.
2. Memotivasi untuk minum obat secara teratur
3. Memberitahukan kepada pasien jika ada suara-suara jangan
diperdulikan.
4. Mencoba mengalihkan pikiran-pikiran negatif dengan mengisinya
dengan kegiatan positif yang bermanfaat
5. Bila pada saat keluhan datang, pasien dapat mencari perlindungan dari
anggota keluarganya atau jika masih mengganggu juga segera kontrol
ke dokter.
6. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi dukungan
kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.
7. Terapi kelompok biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan
hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi kelompok efektif dalam
menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan dan
meningkatkan hubungan dengan orang-orang disekitar pasien.
8. Lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.
3.8. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Malam
3.9. FOLLOW UP
25
26
dengan tingkat TSH yang lebih tinggi secara signifikan, dengan risiko
hipotiroidisme 6 kali lipat lebih besar pada yang diobati dengan litium
dibandingkan pada subyek kontrol. (11,17)
Poliuria dan polidipsia secara konsisten ditemukan sebagai salah satu efek
samping yang paling umum terkait dengan lithium dengan tingkat hingga 70%
pada pasien dengan terapi jangka panjang. Mekanisme dimana lithium
menyebabkan poliuria adalah terdapatnya gangguan pada tubulus pengumpul
untuk menghasilkan siklik adenosin monofosfat sebagai respons terhadap
stimulasi hormon antidiuretik. Hal ini menyebabkan berkurangnya kapasitas ginjal
untuk mempertahankan kadar air, yang menyebabkan gangguan konsentrasi urin
dan memproduksi urin encer yang berlebihan. Efek ini awalnya fungsional,
terlihat pada awal pengobatan dan bersifat reversibel (seperti efek serupa alkohol),
kemudian berkembang menjadi perubahan struktural dan ireversibel. Efek
samping lithium lain adalah tremor. Tremor sangat umum dalam konteks
toksisitas lithium. Selama toksisitas lithium, tremor cenderung lebih kasar, lebih
tidak teratur, lebih luas (mempengaruhi bagian tubuh lainnya). Tremor akibat
lithium lebih umum terjadi pada usia yang lebih tua, mungkin karena efek aditif
tremor esensial yang berkaitan dengan usia.(18)
Litium memiliki indeks terapi yang sempit, dengan ruang yang relatif
sedikit antara tingkat terapeutik dan toksik. Karena itu, menghindari keracunan
lithium telah dan terus menjadi tujuan penting dalam pengobatan. Laporan awal
menunjukkan tingkat kematian akibat toksisitas lithium mulai dari 9 hingga 25%.
Namun, data terbaru menunjukkan tingkat kematian kurang dari 1%. Sebagai
contoh, pada tahun 2012 di Amerika Serikat, hanya 11 kematian terjadi dari 6815
paparan racun menjadi lithium menghasilkan tingkat kematian 0,16%. Pedoman
perawatan untuk keracunan lithium bervariasi tergantung pada tingkat toksisitas.
Dalam kasus toksisitas ringan, penghentian lithium mungkin cukup. Dengan
episode toksik sedang, infus cairan dengan saline direkomendasikan bersama bilas
lambung (jika keracunan dikenali lebih awal) dan irigasi usus besar menggunakan
polietilen glikol. Dalam kasus yang paling parah, didefinisikan oleh kadar lithium
yang sangat tinggi (> 4,0 mmol / l) atau ditandai oleh gejala klinis berupa
perubahan kesadaran, metode ekstrakorporeal seperti hemodialisis. Jika
hemodialisis diperlukan, biasanya dilakukan berulang kali untuk menghindari
31
rebound lithium yang disebabkan oleh redistribusi lithium dari kompartemen yang
lebih dalam atau sel darah merah ke plasma.(18)
Prognosis skizoafektif sangat bergantung pada inisiasi pengobatan dini dan
rejimen pengobatan yang optimal. Pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki
hasil yang berbeda, tergantung pada apakah gejala dominannya adalah afektif
(prognosis yang lebih baik) atau skizofrenia (prognosis yang lebih buruk).
Prevalensi penyakit ini pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Meskipun
demikian remisi yang terjadi pada wanita lebih baik dibandingkan dengan laki-
laki.(1,4)
Dukungan psikologis merupakan hal yang sangat penting bagi pasien
beserta keluarganya. Terapi keluarga dapat membantu untuk mengurangi ekspresi
keluarga yang berlebihan terkait gejala yang dialami pasien, hal ini terbukti
efektif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien. Pengasuh utama
umumnya anggota keluarga pasien, yang menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk merawat pasien, menyediakan dukungan, dan memeriksa obat-obatan dan
aspek lain dari kehidupan sehari-hari pasien. Meskipun tidak ada pendekatan
khusus untuk intervensi keluarga, terapi keluarga biasanya mencakup
psikoedukasi, pengurangan stres, proses emosional, penilaian ulang kognitif, dan
pemecahan masalah terstruktur. Intervensi terdiri dari kombinasi strategi
psikoterapi untuk bekerja dengan kerabat orang yang menderita psikosis, dan
bertujuan untuk mengembangkan hubungan kolaboratif antara keluarga dan tim
perawatan untuk membantu pemulihan pasien. (12,19)
Lebih dari 50 uji coba terkontrol telah dilakukan untuk menguji kemanjuran
intervensi semacam ini. Terapi keluarga memiliki dampak positif pada pemulihan
pasien, dengan pengurangan yang signifikan dalam penerimaan kembali dan
kambuh, serta peningkatan fungsi sosial mereka. Selanjutnya, ditemukan
hubungan antara intervensi ini dan kepatuhan terhadap pengobatan. Meskipun
semua studi tentang intervensi keluarga ini telah menunjukkan serangkaian ukuran
hasil, baik program intervensi dan tujuan studi biasanya berfokus terutama pada
pasien daripada pengasuh. Disarankan bahwa psikoedukasi harus secara rutin
diberikan kepada anggota keluarga agar mereka tetap berhubungan dengan
layanan kesehatan. Telah dilaporkan bahwa psikoedukasi mengurangi
32
33
DAFTAR PUSTAKA
14. Agid O, Board A, Johnson CJ, Lilly E, Company US, Canada EL.
Treatment resistant schizophrenia : Treatment Response and Resistance in
Psychosis ( TRRIP ) working group consensus guidelines on diagnosis and
terminology. Am J Psychiatry. 2018;174(666):216–29.
34
35
18. Gitlin M. Lithium side effects and toxicity: prevalence and management
strategies. Int J Bipolar Disord. 2016;4(1).