Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani


Kepanitraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun Oleh :

Vita Amalia
1907101030014

Pembimbing:

dr. Zulfa Zahra, Sp. KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT yang memberikan
rahmad, kasih sayang dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Skizoafektif Tipe Manik”. Laporan
kasus ini disususn sebagai salah satu tugas menjalani kepanitraan klinik senior
pada bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Jiwa Aceh, Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Selama penyelesaian laporan kasus ini saya mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr. Zulfa Zahra, Sp.KJ yang telah
meluangkan banyak waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada saya
dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Saya juga menyampaiakn terimakasih
kepada keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan
doa dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Saya menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam laporan kasus ini, untuk itu saya sangat mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan
laporan kasus ini. Saya berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan khushusnya bagi profesi
kedokteran. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmad dan hidayah-Nya
bagi kita semua.

Banda Aceh, 11 Januari 2020

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skizoafektif merupakan salah satu penyakit yang ditandai adanya kombinasi
gejala skizofrenia (gangguan pikiran, halusinasi dan delusi) dan gangguan afektif
(gejala depresi dan manik). Gangguan mental skizoafektif pertama kalinya
diperkenalkan secara operasional oleh DSM-III. Gangguan skizoafektif adalah
salah satu gangguan psikiatri yang paling sering mengalami kesalahan diagnosis.
(1,2)

Perubahan kriteria diagnosis skoizoafektif membuat sulitnya untuk


melakukan studi epidemiologi yang tepat. Dengan demikian, belum ada penelitian
skala besar epidemiologi, kejadian, atau prevalensi gangguan skizoafektif.
Diperkirakan bahwa gangguan skizoafektif terdiri dari 10 hingga 30% dari rawat
inap untuk kejadian psikosis. Di Indonesia prevalensi gangguan mental
skizoafektif terjadi sekitar 0,3%. Menurut data di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr.
RM Soedjarwadi Klaten, Jawa Tengah, pasien yang terdiagnosis skizoafektif
memang tidak terlalu banyak. Prevalensi penyakit ini pada wanita lebih tinggi
daripada laki-laki. Meskipun demikian remisi yang terjadi pada wanita lebih baik
dibandingkan dengan laki-laki. Skizoafektif tipe depresif lebih sering terjadi pada
usia tua, sedangkan pada usia muda lebih sering terjadi gangguan skizoafekif tipe
manik.(2–5)
Berdasarkan hasil penelitian, penyebab terjadinya skizoafektif yang paling
sering terjadi adalah stres. Stresor yang paling umum adalah karena pernikahan,
keluarga, pekerjaan, situasi keuangan, reaksi duka dan penyakit fisik lainnya.
Wanita lebih sering dipengaruhi oleh pernikahan dan pada laki-laki sering
dipengaruhi karena kesedihan.(6)
Menurut ICD-10, gangguan skizoafektif dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu
tipe manik, tipe depresif, tipe campuran, gangguan skizoafektif tidak spesifik dan
gangguan skizoafektif lainnya. Gangguan skizoafektif tipe manik menunjukkan
gejala skizofrenia dan manik dalam satu episode sakit. Gangguan skizoafektif tipe
depresif menunjukkan gejala skizofrenia dan depresif dalam satu episode sakit.
Gangguan skizoafektif tipe campuran menunjukkan gejala skizofrenia dan

1
2

gangguan campuran afektif bipolar. Onset biasanya akut, perilaku sangat


terganggu, namun penyembuhan secara sempurna dalam beberapa minggu. (4,7)
Berdasarkan tipe gangguan skizoafektif, maka pengobatannya akan berbeda.
Terapi untuk skizoafektif tipe manik biasanya digunakan mood stabilizer,
sedangkan untuk tipe depresif maka dapat digunakan anti depresan. Prognosis
skizoafektif sangat bergantung pada inisiasi pengobatan dini dan rejimen
pengobatan yang optimal. Pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki hasil
yang berbeda, tergantung pada apakah gejala dominannya adalah afektif
(prognosis yang lebih baik) atau skizofrenia (prognosis yang lebih buruk). (1,4)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizoafektif merupakan salah satu penyakit yang ditandai adanya kombinasi
gejala skizofrenia (gangguan pikiran, halusinasi dan delusi) dan gangguan afektif
berupa gejala depresi dan manik. Gangguan mental skizoafektif memiliki ciri-ciri
skizofrenia dan gangguan mood. Pasien dapat digolongkan memiliki gangguan
skizoafektif jika masuk kedalam salah satu dari enam katagori berikut ini:(1,4)
1. Pasien dengan skizofrenia yang memiliki gejala mood
2. Pasien dengan gangguan mood yang memiliki gejala skizofrenia
3. Pasien dengan gangguan mood dan skizofrenia
4. Pasien dengan psikotik ketiga tidak terkait dengan skizofrenia dan
gangguan mood
5. Pasien yang gangguannya berada dalam kontinum antara skizofrenia
dan gangguan mood
6. Pasien dengan beberapa kombinasi dari 5 kriteria diatas

2.2 Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan skizoafektif kurang dari 1%, yaitu
kisaran 0,5% sampai 0,8%. Prevalensi penyakit ini lebih tinggi didapatkan pada
wanita dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun demikian, remisi yang terjadi
pada laki-laki lebih buruk dibandingkan dengan wanita. Skizoafektif tipe depresif
lebih sering terjadi pada usia tua, sedangkan pada usia muda lebih sering terjadi
gangguan skizoafekif tipe manik. Pria dengan gangguan skizoafektif cenderung
menunjukkan perilaku antisosial. Dan mempunyai afek tumpul yang nyata dan
tidak sesuai.(1)
Perbedaan jenis kelamin dalam tingkat keparahan pada penderita
skizoafektif tampak jelas pada gangguan mood. Perempuan dua kali lipat
mengalami skizoafektif tipe depresi daripada laki-laki. Jenis depresi skizoafektif
depresi mungkin lebih umum pada orang yang lebih tua daripada orang yang lebih
muda, dan tipe bipolar lebih umum terjadi pada orang dewasa muda daripada
orang dewasa yang lebih tua. Usia onset terjadinya gangguan skizoafektif pada

3
4

wanita lebih lambat daripada pria, seperti pada skizofrenia. Pria dengan gangguan
skizoafektif cenderung menunjukkan perilaku antisosial yang ditandai dengan
afek datar atau tidak sesuai.(3)

2.3 Etiologi
Gangguan skizoafektif belum diketahui penyebabnya secara pasti hingga
saat ini. Gangguan tersebut dapat berupa jenis skizofrenia dan gangguan mood.
Berdasarkan penelitian, pasien dengan gangguan skizoafektif merupakan
heterogen. Beberapa pasien memiliki gejala skozofrenia dengan gejala afektif
yang menonjol, yang lain memiliki gangguan mood dengan gejala skizofrenia
yang menonjol. Patogenesis gangguan mood dan skizofrenia bersifat
multifaktorial dan mencakup berbagai faktor risiko termasuk genetika, faktor
sosial, trauma, dan stres. Gangguan yang terjadi pada skizofrenia 1 (DISC1),
terletak pada kromosom 1q42, yang memungkinkan terjadinya gangguan
skizoafektif, skizofrenia dan gangguan bipolar.(1,3)
2.4 Diagnosis
Diagnosis skizoafektif dapat ditentukan berdasarkan PPDGJ-III, sebagai
berikut:(8)
 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya ditegakkan apabila gejala-gejala
definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada
saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu
sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana,
sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik
skizofrenia maupun episode manik atau depresif.
 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia
dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.
 Bila seorang pasien skizofrenia menunjukkan gejala depresi setelah
mengalami suatu episode psikotik diberikan kode diagnosis F20.4 (Depresi
pasca-skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif
berulang, baik berjenis manik (F25.0) maupun depresi (F25.1) atau
campuran dari keduanya (F25.2). Pasien lain yang mengalami satu atau dua
5

episode skizoafektif terselip diantara episode manik atau depresif (F30-


F33).

F25.0 Gangguan skizoafektif tipe manik


 Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik yang
tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan sabagian besar episode
skizoafektif tipe manik.
 Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak
begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang
memuncak.
 Dalam episode yang sama harus jelas ada setidaknya satu, atau lebih baik
dua gejala skizofrenia yang khas yaitu F20 pedoman diagnostik
skizofrenia (a) sampai dengan (d)

F25.1 Gangguan skizoafektif tipe depresif


 Katagori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe depresif
yang tunggal, dan untuk gangguan berulang dimana sebagian besar
episode didominasi oleh skizoafektif tipe depresif.
 Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala khas,
baik depresif maupun kelainan perilaku terkait seperti tercantum dalam
uraian untuk episode depresif (F32).
 Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu, dan sebaiknya
ada dua, gejala khas skizofrenia (sebagaimana ditetapkan dalam pedoman
diagnostik skizofrenia, F20 poin (a) sampai dengan (d).

F25.2 Gangguan skizoafektif tipe campuran


Gangguan dengan gejala-gejala skizofrenia F20 berada secara bersama-
sama dengan gejala-gejala afektif bipolar campuran F31.6

2.5 Gambaran Klinis


Seseorang yang mengalami gangguan skizoafektif akan mengalami gejala
waham (delusi) dan halusinasi yang merupakan gejala khas dari skizofrenia
disertai dengan gangguan perubahan suasana hati yang signifikan. Pasien juga
6

harus memiliki setidaknya satu (lebih baik bila dua) dari gejala khas skizofrenia
yang tercantum dalam International Classification of Disease-10 (ICD-10).(3,9)
Berikut gejala klinis skizofrenia berdasarkan pedoman penggolongan dan
diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ-III).(8)
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a) “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kualitasnya berbeda ; atau “thought insertion or withdrawal” = isi
yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya
diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought
broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya;
b) “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” = waham tentang
dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang
”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus). “delusional perception” =
pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi
dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c) Halusinasi Auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien pasein
di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain).
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e) Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
7

kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu
minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme.
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan
stupor.
h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika.

 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun


waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal).

 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.

Gejala afektif biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa ansietas yang
menyertainya), atau ke arah elasi (suasana perasaan yang meningkat). Perubahan
afek ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat
aktivitas dan kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder akibat perubahan
tersebut.(8)
a) Episode Manik
Kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam
jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam berbagai derajat
keparahan. Terdapat peningkatan energi, aktivitas yang berlebihan, konsentrasi
8

yang terganggu, terkadang kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh perilaku


agresif.

b) Episode Depresif
Gejala utama:
 Afek depresif
 Kehilangan minat dan kegembiraan
 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja)
Gejala lainnya:
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
 Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
 Tidur terganggu
 Nafsu makan berkurang

2.6 Diferensial Diagnosis


Diferensial diagnosis psikiatri mencakup semua kemungkinan yang
biasanya dipertimbangkan untuk gangguan mood dan skizofrenia. Karena
memiliki kriteria yang mencakup gejala psikotik dan mood, gangguan
schizoafektif sering terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosisnya. Gangguan
yang harus dikesampingkan selama pemeriksaan kelainan skizoafektif termasuk
skizofrenia, gangguan depresi/ manik dengan gambaran psikotik, dan gangguan
bipolar.(3,8)
 Skizofrenia dan Gangguan Skizoafektif: Harus ada periode yang pasti
setidaknya dua minggu di mana hanya ada gejala psikotik (delusi dan
halusinasi) tanpa gejala suasana hati untuk mendiagnosis gangguan
skizoafektif. Namun, episode mood utama (depresi atau mania) hadir untuk
9

sebagian besar durasi total penyakit. Skizofrenia membutuhkan 6 bulan gejala


prodromal atau residual; gangguan schizoafektif tidak memerlukan kriteria
ini.
 Depresi/ Mania dengan Gejala Psikotik: Pasien dengan depresi berat dengan
gejala psikotik, hanya mengalami fitur psikotik selama episode suasana hati
mereka. Pasien mania dengan gejala psikotik mengalami episode mania yang
berat sekurang-kurangnya 1 minggu disertai dengan harga diri yang
membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi waham
kebesaran. Waham dan halusinasi sesuai dengan afek tersebut. Sebaliknya,
schizoafektif membutuhkan setidaknya 2 minggu di mana hanya ada gejala
psikotik (delusi dan halusinasi) tanpa gejala mood.
 Gangguan afektif bipolar: gangguan ini tersifat oleh dua episode berulang
(episode depresi dan manik), dan ada penyembuhan sempurna antar episode.
Sedangkan skizoafektif hanya memiliki salah satu tipe saja (tipe depresi atau
manik) dimana tidak ada penyembuhan sempurna seperti gangguan afektif
bipolar.

2.7 Terapi
a. Psikofarmaka
Mood stabilizer merupakan obat gangguan bipolar yang dapat digunakan
pada pasien yang mengalami gangguan skizoafektif. Ada beberapa obat mood
stabilizer yaitu seperti Litium Carbonate, Haloperidol, Carbamazepine, Valproic
Acid, Divalproex Na. Dalam sebuah penelitian yang mebandingkan antara litium
dengan carbamazepine menemukan bahwa carbamazepine lebih unggul untuk
gangguan skizoafektif tipe deprsif tetapi tidak ada perbedaan untuk tipe bipolar.(1)
Adapun pasien skizoafektif tipe manik, maka harus dirawat secara baik
dengan dosis yang maksimal. Ketika pasien memasuki fase pemeliharaan, dosis
dapat dikurangi pelan-pelan hingga dosis rendah, untuk menghindari efek buruk
seperti kelainan pada tiroid. Selain itu, sebagai dokter yang memberikan terapi,
juga harus melakukan skrining fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hematologi untuk
melihat efek samping obat. Selain pemberian obat, terapi lain yang paling penting
adalah psikososial terapi. Psikososial terapi dapat diberikan dari keluarga seperti
dukungan keluarga, pelatihan keterampilan sosial dan rehabilitasi kognitif.(1)
10

1) Anti Psikotik
Berikut ditampikan penggolongan obat anti psikotik tipikal dan atipikal : (10)
(a) Obat Anti-psikosis Tipikal (Typical Anti Psychotics)
1. Phenotiazine
 Rantai Aliphatic : Chlorpromazine (Largacil)
 Rantai Piperazine : Perphenazine (Trilafon)
Trifluoperazine (Stelazine)
Fluphenazine (Anatensol)
 Rantai Piperidine : Thioridazine (Melleril)
2. Butyrophenone : Haloperidol (Haldol, Serenace,dll)
3. Diphenyl-butyl-piperidine : Pimozide (Orap)
(b) Obat Anti-psikosis Atipikal (Atypical Anti Psychosis)
1. Benzamide : Supiride (Dogmatil)
2. Dibenzodiazepine : Clozapine (Clozaril)
Olanzapien (Zyprexa)
Quetiapine (Seroquel)
Zotepine (Ludopin)
3. Benzisoxazole : Risperidone (Risperidol)
Aripiprazole (Abilify)
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbic dan
sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), sehingga efektif
untuk gejala positif.Sedangkan obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas
terhadap “Dopamine D2 Receptors” juga terhadap “Serotonin 5HT2 Receptors”
(Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif juga untuk gejala negatif.(10)
2) Mood Stabilizier

 Lithium (mood stabilizier klasik)


Gangguan mood ditandai oleh peningkatan atau penurunan suasana hati
yang melampaui batas normal, secara klasik diobati dengan lithium. Lithium tidak
hanya menangani episode akut mania dan hipomania tetapi juga merupakan agen
psikotropika pertama yang terbukti mencegah episode berulang. Lithium juga
11

efektif dalam mengobati dan mencegah episode depresi pada pasien dengan
gangguan bipolar. Lithium paling tidak efektif digunakan pada siklus cepat atau
episode campuran. Secara keseluruhan, lithium efektif pada 40 hingga 50%
pasien. Selain itu, banyak pasien tidak dapat mentolerirnya karena banyak efek
samping, termasuk gejala gastrointestinal seperti dispepsia, mual, muntah, dan
diare, serta penambahan berat badan, rambut rontok, jerawat, tremor, sedasi,
penurunan kognisi, dan gangguan koordinasi. Ada juga efek buruk jangka panjang
pada tiroid dan ginjal. Lithium memiliki jendela terapi yang sempit,
membutuhkan pemantauan kadar plasma obat.(11)
Mekanisme kerja litium tidak dipahami secara pasti tetapi dihipotesiskan
melibatkan modifikasi sistem messenger kedua. Satu kemungkinan adalah bahwa
lithium mengubah protein G dan kemampuan mereka untuk mentransduksi sinyal
di dalam sel reseptor neurotransmitter ditempati oleh neurotransmitter. Teori lain
adalah bahwa lithium mengubah enzim yang berinteraksi dengan sistem
messenger kedua, seperti inositol monophosphatase, yang terlibat dalam sistem
inositol fosfatidil sebagai modulator protein G, atau bahkan sebagai pengatur gen
ekspresi dengan memodulasi protein kinase C.(11)
 Antikonvulsan sebagai Mood Stabilizier
Berdasarkan teori bahwa mania dapat "menyalakan" episode mania lebih
lanjut, disimpulkan terkait dengan gangguan kejang, karena kejang dapat
menyebabkan lebih banyak kejang. Mekanisme aksi antikonvulsan masih belum
dikarakterisasi dengan baik, baik dari segi efek antikonvulsan maupun efek
penstabil antimanik / suasana hati. Pada membran sel, antikonvulsan diduga
bekerja pada kanal ion, termasuk kanal natrium, kalium, dan kalsium. Dengan
menghambat pergerakan natrium melalui kanal natrium yang dioperasikan dengan
tegangan, misalnya, beberapa antikonvulsan menyebabkan blokade yang
bergantung pada penggunaan aliran natrium. Dimana saat kanal natrium sedang
"digunakan" selama aktivitas neuron seperti kejang, antikonvulsan dapat
memperpanjang inaktivasinya, sehingga memberikan aksi antikonvulsan. Apakah
mekanisme seperti itu juga merupakan penyebab efek penstabil suasana hati dari
antikonvulsan belum diketahui.(11)
12

Ketika saluran ion tidak aktif, ini dapat menyebabkan perubahan baik
neurotransmisi rangsang dan penghambatan. Glutamat adalah neurotransmitter
rangsang universal dan asam gamma-aminobutirat (GABA) adalah
neurotransmitter penghambat universal. Secara khusus, antikonvulsan tampaknya
memodulasi efek penghambat neurotransmitter GABA dengan menambah
sintesisnya, menambah pelepasannya, menghambat pemecahannya, mengurangi
reuptakeake menjadi neuron GABA, atau menambah efeknya pada reseptor
GABA. Beberapa tindakan ini merupakan konsekuensi dari aksi antikonvulsan
pada saluran ion.(11)
Antikonvulsan yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar:(11)
 Asam Valproat
 Carbamazepine
 Lamotrigin
 Gabapentin
 Topiramate
b. Psikososial
Pasien dapat terbantu dengan kombinasi terapi keluarga, latihan
keterampilan sosial, dan rehabilitasi kognitif. Oleh karena bidang psikiatri sulit
memutuskan diagnosis dan prognosis gangguan skizoafektif yang sebenarnya,
ketidakpastian tersebut harus dijelaskan kepada pasien. Kisaran gejala mungkin
sangat luas, karena pasien mengalami keadaan psikosis dan variasi kondisi mood
yang terus berlangsung. Anggota keluarga dapat mengalami kesulitan untuk
menghadapi perubahan sifat dan kebutuhan pasien tersebut. Perlu diberikan
regimen obat yang mungkin lebih rumit, dengan banyak obat, dan pendidikan
psikofarmakologis.(12)
Menurut pedoman National Institute for Health and Care Excellent
(NICE), setiap pasien dengan gejala skizofrenia harus diberikan terapi Cognitive
Behavioural Therapy (CBT) dan bagi keluarga dekat pasien harus diedukasikan
untuk melakukan terapi keluarga. Terapi CBT bisa membantu pasien dalam
mengatasi waham dan halusinasi berkepanjangan. Tujuannya ialah untuk
meringankan penderitaan dan kecacatan, dan tidak untuk menghilangkan gejala
dari gangguan tersebut. Terapi CBT mencakup: (12)
13

 Mencoba untuk menantang atau memiliki pikiran yang berbeda mengenai


suara (halusinasi auditorik) yang didengarkan.
 Membuat strategi untuk mengatasi suara yang didengarkan. Contohnya
seperti mendengarkan musik atau meminta suara yang didengarkan untuk
pergi saja.
14

Dukungan psikologis merupakan hal yang sangat penting bagi pasien yang
mengalami gejala skizofrenia beserta keluarganya. Terapi keluarga dapat
membantu untuk mengurangi ekspresi keluarga yang berlebihan terkait gejala
yang dialami pasien, hal ini terbukti efektif untuk mencegah terjadinya
kekambuhan pada pasien.(12)
Art therapies (Terapi seni) juga sangat membantu dalam mengatasi gejala
negatif pada pasien. Pasien juga diharapkan bisa berbagi pengalaman bersama
temannya yang mengalami gejala yang sama, hal ini diharapkan dapat membantu
pasien mendapatkan solusi yg tepat untuk mengatasi gejala-gejala yang
dialaminya.(12)

2.8 Prognosis
Prognosis pada skizoafektif tergantung pada peningkatan gejala yang
terjadi. Pasien yang memiliki peningkatan gejala skizofrenia yang lebih menonjol
diprediksikan prognosisnya lebih buruk. Namun setelah 1 tahun, pasien dengan
gangguan skizoafektif memiliki hasil yang berbeda, tergantung pada apakah
gejala dominan adalah afektif, maka progosisnya lebih baik. Namun, apabila
gejala dominannya adalah skizofrenia maka prognosisnya lebih buruk.(1)
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. SF
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 16 tahun
Alamat : Baitussalam, Aceh Besar
Status Pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan Terakhir : SD/ Sederajat
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 07 Januari 2020
Tanggal Pemeriksaan : 08 Januari 2020

3.2 RIWAYAT PSIKIATRI

Data diperoleh dari:


1) Rekam medis : 17.100.15291
2) Autoanamnesis : 08 Januari 2020
3) Alloanamnesis : 08 Januari 2020

A. Keluhan Utama
Mengamuk

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Autoanamnesis

Pasien datang dibawa oleh keluarga ke Rumah Sakit Jiwa Aceh karena
dipaksa oleh ayah tirinya saat ia sedang tertidur. Pasien dibawa paksa ke IGD
karena disangka sakit jiwa oleh orangtuanya. Pasien mengaku tidak senang
kepada ayah tirinya karena sering membuat ibunya sedih dan menyiksa dirinya
serta adik-adiknya. Pasien mengeluh takut terhadap ayah tirinya dan lebih senang
berada di luar rumah, oleh karena itu pasien sering pergi ke luar rumah. Pasien

15
16

sangat takut terhadap ayah tirinya dan menganggap ayah tirinya ingin menyiksa
dirinya dan saudara kandung yang lain, dan mengatakan ayah tirinya seperti figure
ayah tiri yang jahat dan tidak ingin mereka berada di rumah. Pasien menyangkal
dirinya sakit jiwa. Pasien hanya meyakini dirinya sakit tenggorokan dan pasrah
jika ingin mati saja karena sakitnya tidak kunjung sembuh. Riwayat pendidikan
pasien sebelumnya sampai tingkat sekolah dasar. Pasien menyatakan sebelumnya
pernah dibawa ke rumah sakit jiwa dalam beberapa bulan yang lalu, namun pasien
menyangkal penyakitnya dan tidak mau meminum obat. Pasien menyatakan
bahwa kakaknya juga dirawat di rumah sakit jiwa.

Alloanamnesis

1. Identitas narasumber
Inisial : Ny. SM
Umur : 40 tahun
Hubungan dengan pasien : Ibu kandung
Pendidikan terakhir : SMA/sederajat
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Baitussalam, Aceh Besar
Media : Secara langsung, 07 Januari 2020

Pasien dibawa oleh keluarga dan petugas puskesmas Baitussalam desa


Kajhu, Aceh Besar dengan keluhan mengamuk, marah-marah, sering berteriak,
mengancam keluarga dan orang sekitar, dan sering keluyuran. Keluhan memberat
dalam 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien pernah dirawat sebelumnya di
Rumah Sakit Jiwa Aceh, namun tidak mau minum obat 1 bulan terakhir. Pasien
juga sering berbicara sendiri. Riwayat penderita penyakit jiwa yang sama ada
pada kakak dan abang pasien. Pasien sudah pernah dirawat di rumah sakit jiwa
sebelumnya, namun sangat menyangkal penyakitnya. Riwayat kejang dan
penyakit lainnya tidak ada.

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya


Pasien pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa Aceh pada tahun 2019 dengan
diagnosa skizofrenia paranoid. Pada tahun 2019 pasien dirawat inap dengan
17

keluhan utama mengamuk dan keluar RSJ Aceh pada bulan Juli 2019. Pasien
melanjutkan rawat jalan setelah keluar dari rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit
Jiwa Aceh. Pasien tidak mau minum obat selama 1 bulan terakhir dan terus
menyangkal dirinya tidak sakit.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Kedua kakak kandung pasien memiliki penyakit mental dan dirawat di
Rumah Sakit Jiwa Aceh.

E. Riwayat Pengobatan
Pada saat pasien dirawat inap sebelumnya , pasien mendapatkan terapi injeksi
skizonate 25 mg IM, risperidone 2 mg 2x1 tab, Depakote 25 mg 2x1 tab,
trihexyphenidil 2 mg 2x1 tab, diazepam 2 mg 1x1 tab.

F. Riwayat Penggunaan Zat


Riwayat penggunaan NAPZA disangkal
Riwayat penggunaan alkohol disangkal.

G. Riwayat Sosial
Pasien tinggal dirumah bersama Ibu, Ayah tiri, kakak, adik.
Pasien tidak bekerja

H. Riwayat Pendidikan
Riwayat pendidikan terakhir pasien yaitu Sekolah Dasar.

I. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Masa prenatal : Pasien merupakan anak pertama dari empat bersaudara.
2. Masa kanak-kanak awal : Pertumbuhan dan perkembangan pasien sama
seperti anak-anak seusianya. Riwayat trauma kepala disangkal.
3. Masa kanak-kanak pertengahan: Pertumbuhan dan perkembangan pasien
sama seperti anak-anak seusianya, namun pada saat ini pasien mengalami
perceraian orang tua dan ibu pasien menikah lagi.
4. Masa kanak-kanak akhir dan remaja: Pasien kehilangan figure ayah yang
seharusnya. Pasien sering melihat ibu menangis dan bertengkar dengan ayah
18

tirinya. Kehidupan pasien sehari-hari tidak rukun dengan ayah tirinya dan
tidak tenang berada di rumah. Kedua kakak pasien mengalami gangguan
mental dan pasien juga pernah dirawat keluar-masuk di Rumah Sakit Jiwa
Aceh.
5. Masa dewasa : Pasien belum memasuki masa dewasa.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
3. Frekuensi Nadi : 90 x/menit
4. Frekuensi Napas : 20 x/menit
5. Temperatur : 36,5° C

B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugularis (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I > BJ I, bising (-), iktus cordis di ICS V linea
midclavicula sinistra
5. Abdomen : Asites(-), nyeri tekan (-), soepel(+)
6. Ekstremitas
Superior : ikterik (-/-) tremor (+/+), rigiditas (+)
Inferior : ikterik (-/-) tremor (-/-), rigiditas (+)
7. Genetalia : Tidak diperiksa

C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda Rangsang Meningeal : (-)
3. Peningkatan TIK : (-)
4. Mata : pupil isokor (+/+),Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : rigiditas (-), bradykinesia (-)
19

6. Sensibilitas : Dalam batas normal


7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan

3.4 STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Tidak rapi , sesuai umur
2. Kebersihan : Tidak bersih
3. Kesadaran : Jernih
4. Perilaku & Psikomotor : Normoaktif
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif

B. Mood dan Afek


1. Mood : Iritabel
2. Afek : Terbatas
3. Keserasian Afek : Appropriate Afek

C. Pembicaraan
Spontan dan banyak bicara. Terkadang hanya terfokus membicarakan
masalahnya dengan ayah tirinya.

D. Pikiran
1. Arus pikir
Koheren (+)
Sirkumtangensial (+)

2. Isi pikir
 Waham preserkutorik (+)
 Thought (+)
 Delusion (+)

E. Persepsi
1. Halusinasi
 Auditorik : (+)
20

 Visual : (-)
 Olfaktorius : (-)
 Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
F. Intelektual
1. Intelektual : Baik
2. Daya konsentrasi : Baik
3. Orientasi
 Diri : Baik
 Tempat : Baik
 Waktu : Baik
4. Daya ingat
 Seketika : Baik
 Jangka Pendek : Baik
 Jangka Panjang : Baik
5. Pikiran Abstrak : Baik
G. Daya nilai
 Normo sosial : Baik
 Uji Daya Nilai : Baik
H. Pengendalian Impuls : Baik
I. Tilikan : T1
J. Taraf Kepercayaan : Tidak dapat dipercaya

3.5 RESUME

Telah diperiksa seorang perempuan berusia 16 tahun yang dibawa oleh


keluarga ke RSJ dengan keluhan mengamuk. Pasien juga mudah marah dan sering
emosi tanpa sebab dalam beberapa hari terakhir sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengancam akan memukul orang dan keluarga ketika mengamuk.
Pasien sering terlihat bericara sendiri, bicara kacau, pasien sulit tidur malam,
sering bingung, gelisah pada malam hari dan mengganggu lingkungan, dan sering
21

merasa curiga terhadap ayah tirinya. Pasien juga mangatakan dirinya hampir gila
karena masalah yang sedang dihadapinya saat ini.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
110/80 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit, frekuensi napas 20x/menit, temperatur
36,5° C. Pemeriksaan generalisata dan neurologis dalam batas normal
Pada pemeriksaan status mental, laki-laki sesuai usia, tidak rapi dan sesuai
umur. Aktifitas psikomotor : normoaktif, sikap terhadap pemeriksa: kooperatif.
Mood: iritable, afek: terbatas, keserasian afek: Appropriate afek. Pembicaraan:
Spontan dan banyak bicara terkadang sulit untuk diberhentikan ketika berbicara
dan terfokus pada masalahnya dengan ayah tiri. Arus pikiran: koheren,
sirkumtangensial. Waham: erotomania, waham agama. Halusinasi auditorik (+).
Pasien dengan tilikan T1 dan taraf kepercayaan tidak dapat dipercaya.

3.6 DIAGNOSIS BANDING


F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
F30.2 Mania dengan gejala psikotik
F20.0 Skizofrenia paranoid

3.7 DIAGNOSIS KERJA


F25.0 Gangguan Skizoafektif Tipe Manik

3.6 DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Axis I : Gangguan skizoafektif tipe manik
Axis II : Tidak ada
Axis III : Tidak ada
Axis IV : Masalah keluarga, psikososial
Axis V : GAF 40-31

3.7 TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Injeksi lodomer / 12 jam IM
Injeksi diazepam / 12 jam IM
Seroqueel XR 1x400 mg tab
22

B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan menjelaskan
mengenai penggunaan obat yang tidak boleh putus.
2. Memotivasi untuk minum obat secara teratur
3. Memberitahukan kepada pasien jika ada suara-suara jangan
diperdulikan.
4. Mencoba mengalihkan pikiran-pikiran negatif dengan mengisinya
dengan kegiatan positif yang bermanfaat
5. Bila pada saat keluhan datang, pasien dapat mencari perlindungan dari
anggota keluarganya atau jika masih mengganggu juga segera kontrol
ke dokter.
6. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi dukungan
kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.
7. Terapi kelompok biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan
hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi kelompok efektif dalam
menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan dan
meningkatkan hubungan dengan orang-orang disekitar pasien.
8. Lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.

C. ELECTRO CONVULSIVE THERAPHY (ECT) Hi-TOP


-

3.8. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Malam

3.9. FOLLOW UP

Tanggal Evaluasi Terapi


7 Januari S/. Pasien marah-marah dan teriak-teriak - Injeksi lodomer IM
2020 O/Penampilan: Pasien perempuan, - Injeksi diazepam IM
23

penampilan tidak rapi, sesuai umur


Kesadaran : jernih
Sikap : tidak kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Mood : irritable
Afek: terbatas
Keserasian: appropriate
Pembicaraan : spontan
Arus pikir : koheren
Proses pikir : sirkumtangensial
Isi pikir : waham preserkutorik
Persepsi :halusinasi auditorik (+)
Tilikan : T1
A/ Skizoafektif tipe manik

8 Januari S/ Pasien sudah mulai tenang, banyak - Injeksi lodomer IM


2020 bercerita tentang ayah tirinya - Injeksi diazepam IM
O/Penampilan: Pasien perempuan
tampak sesuai dengan usia, tidak rapih
Kesadaran : jernih
Sikap : cukup kooperatif
Psikomotor : normoaktif
Mood : irritable
Afek: terbatas
Keserasian: Appropriate
Pembicaraan : spontan
Arus pikir : koheren
Proses pikir : Cukup Ide,
sirkumtangensial
Isi pikir : waham preserkutorik
Persepsi : Halusinasi auditorik (+)
Tilikan : T1
A/ Skizoafektif tipe manik
24

8 Januari S/ Pasien sudah mulai tenang, banyak -Injeksi lodomer IM


2020 bercerita tentang ayah tirinya -Seroquel XR
O/Penampilan: Pasien perempuan 1x400mg tab
tampak sesuai dengan usia, tidak rapih
Kesadaran : jernih
Sikap : cukup kooperatif
Psikomotor : normoaktif
Mood : irritable
Afek: terbatas
Keserasian: Appropriate
Pembicaraan : spontan
Arus pikir : koheren
Proses pikir : Cukup Ide,
sirkumtangensial
Isi pikir : waham preserkutorik
Persepsi : Halusinasi auditorik (+)
Tilikan : T1
A/ Skizoafektif episode manik
BAB IV
PEMBAHASAN

Telah diperiksa Nn SF, seorang perempuan berusia 16 tahun yang dibawa


oleh keluarganya ke IGD RSJ dengan keluhan mengamuk, marah-marah kepada
ibunya, sering pergi dari rumah, keluyuran, dan terkadang lupa jalan pulang, dan
sering berbicara sendiri. Pasien tampak gelisah, dan tidak bisa tidur. Pada
pemeriksaan status mental, perempuan sesuai usia, tidak rapi, aktifitas
psikomotor: tenang, sikap terhadap pemeriksa: kooperatif, mood: hipertimik, afek:
luas, keserasian afek: appropriate, pembicaraan: spontan, arus pikir: koheren,
waham: persekutorik, halusinasi auditorik ada. Pasien dengan tilikan T1 dan taraf
kepercayaan adalah dapat dipercaya. Berdasarkan gejala-gejala tersebut, ini
mengarah kepada peningkatan afek (manik). Afek yang meningkat, disertai
peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam
berbagai derajat keparahan. Terdapat peningkatan energi, aktivitas yang
berlebihan, konsentrasi yang terganggu, terkadang kegelisahan atau iritabilitas
disertai oleh perilaku agresif.(8)
Pasien sudah beberapa kali bolak-balik dirawat di RSJ, serta berobat jalan
tetapi pasien tidak teratur minum obat. Pasien dirinya tidak merasa sakit. Kondisi
pasien seperti ini terjadi semenjak ibunya menikah dengan ayah tirinya dalam
setahun ini. Gejala tersebut juga memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia,
diantaranya:(8)
1. Halusinasi auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien pasein di antara
mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
2. Waham-waham menetap jenis lainnya. Pada pasien ini waham yang
didapatkan adalah waham persekutorik, dimana pasien dipersuasi oleh suara
bathinnya untuk tidak meminum obat.
3. Adanya gejala-gejala khas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan
atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).

25
26

Gejala psikosis dan gangguan afek dijumpai secara bersamaan pada


pasien ini. Afek menigkat secara menonjol dan dalam episode yang sama jelas
ada gejala skizofrenia yang khas. Oleh karena itu pasien ini didiagnosis dengan
skizoafektif tipe manik. Gangguan berulang pada pasien ini seluruhnya episode
skizoafektif tipe manik, tidak pernah mengalami episode depresi dan tidak ada
fase baseline diantara episode.(8)
Gangguan skizoafektif adalah salah satu gangguan psikiatri yang paling
sering mengalami kesalahan diagnosis. Seringkali diagnosis skizoafektif dibuat
bila tidak memenuhi kriteria diagnosis lainnya, sehingga terjadi misdiagnosis.
Skizoafektif tipe manik memiliki kemiripan gejala dengan gangguan afektif
bipolar, skizofrenia, dan mania dengan gejala psikotik. Untuk membedakannya
kita perlu mengetahui onset dari gejala psikotik dan gangguan moodnya.
Apakah gejala psikotik dan gangguan mood terjadi secara bersamaan atau
didahului oleh salah satu gejala kemudian disusul oleh gejala lainnya. Perlu
menggali lebih dalam apakah gejala psikotik muncul terlebih dahulu daripada
gangguan mood atau gangguan mood terjadi lebih dulu kemudian muncul gejala
psikotik. (1,2)
Gangguan skizoafektif memenuhi gangguan mood dan gejala psikotik
yang sama halnya dengan skizofrenia. Skizofrenia juga terkadang menampilkan
gangguan mood yang signifikan dapat datang dan pergi selama perjalanan
penyakit skizofrenia. Perbedaannya adalah bila pada skizofrenia gangguan
mood tidak mendominasi daripada gejala psikotik, dimana gejala psikotik
muncul lebih dulu dan lebih dominan pada skizofrenia. Sedangkan pada
gangguan skizoafektif kedua gejala tersebut tejadi secara bersamaan.(1)
Gejala psikotik dan gangguan mood yang terjadi bersamaan pada
skizoafektif sama halnya dengan gangguan afektif bipolar. Sehingga perlu
ditanyakan kepada keluarga pasien bagaimana riwayat mood pasien sebelumnya.
Skizoafektif hanya memiliki salah satu tipe saja (tipe depresi atau manik) disetiap
episode sakitnya. Gangguan afektif bipolar tersifat oleh dua episode berulang
(episode depresi dan manik). Gangguan afektif bipolar ada penyembuhan
sempurna antar episode, sedangkan skizoafektif tidak.(8)
27

Skizoafektif tipe manik dengan gangguan manik dapat dibedakan juga


dengan gejala psikotik. Gangguan manik dengan gejala psikotik mengalami
episode mania yang berat sekurang-kurangnya 1 minggu disertai dengan harga
diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi
waham kebesaran. Waham dan halusinasi sesuai dengan afek tersebut. Sedangkan
waham dan halusinasi pada skizoafektif tipe manik tidak harus sesuai dengan
keadaan afeknya.(8)
Pasien mendapatkan injeksi lodomer di ruangan, kemudian di ruangan
mendapat terapi Seroqueel XR 1x400 mg. Antipsikotik generasi pertama adalah
dopamine antagonis reseptor dan dikenal sebagai antipsikotik tipikal. Antipsikotik
generasi pertama efektif dalam pengobatan mania akut dengan gejala psikotik.
Semua antipsikotik generasi kedua kecuali clozapine juga dapat digunakan
sebagai pengobatan gejala mania akut. Antipsikotik digunakan dengan penstabil
suasana hati seperti litium, asam valproat, atau karbamazepin pada awalnya dan
kemudian setelah gejala distabilkan, secara bertahap dapat dikurangi. Pada pasien
ini diberikan injeksi Olanzapin karena pasien memiliki riwayat ekstapiramidal
sindrom. Obat anti psikosis atipikal diberikan apabila gejala negatif (afek tumpul,
penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih menonjol daripada gejala
positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tidak terkendali). Pilihan obat
anti psikosis atipikal perlu dipertimbangkan khususnya pada penderita yang tidak
dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai resiko medik
dengan adanya gejala ekstrapiramidal.(10,13)
28

Rekomendasi kapan harus mempertimbangkan bahwa pasien resisten


terhadap pengobatan yang digunakan dalam pedoman internasional.(14)
29

Serroquel XR adalah antipsikotik golongan atipikal. Indikasi pemberian


serroquel XR adalah pada pasien skizofrenia, pada pasien episode mania atau
disertai gangguan bipolar. Obat ini tidak boleh diberikan pada orang yang
memiliki hipersensitivitas terhadap obat ini, neutropenia berat, orang dengan
penyakit diabetes mellitus, penyakit kasrdiovaskular, penyakit serebrovaskular,
atau kondisi lain yang dapat menyebabkan hipotensi, gangguan ginjal dan hati,
kejang, sindrom ekstrapiramidal, sindrom neuroleptic maligna. Efek samping dari
obat ini adalah somnolen, pusing, konstipasi, mulut kering, asthenia ringan,
dyspepsia, peningkatan berat badan, hipotensi postural/hipotensi ortostatik,
takikardi, sinkop, edema perifer, peningkatan serum transaminase, penurunan
jumlah neutrofil, hiperglikemia. Obat ini berinteraksi dengan obat yang
mempengaruhi sistem saraf pusat, alcohol, phenytoin, carbamazepine, barbiturate,
rifampicine, thioridazine, anti jamur golongan azole, antibitik macrolide, dan
protease inhibitor. Dosis anjuran untuk skizofrenia dan psikosis obat oral 50-40
mg/hari.(15), (16)
Mood stabilizier lain yang bisa digunakan ialah Karbamazepine.
Karbamazepin antikonvulsan sebenarnya yang pertama terbukti efektif dalam fase
manik gangguan bipolar, tetapi belum disetujui untuk penggunaan ini oleh otoritas
pengawas seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat.
Mekanisme kerjanya yang meningkatkan fungsi GABA diduga memiliki
pengaruh terhadap kanal natrium dan/ atau kalium. Karena efektivitasnya kurang
terdokumentasi dengan baik dan efek sampingnya dapat termasuk sedasi dan
kelainan hematologis, Karbamazepin tidak diterima dengan baik sebagai lini
pertama dalam pengobatan gangguan mood sebaik lithium atau asam valproat.(11)
Secara klasik gangguan mood diobati dengan lithium. Lithium tidak hanya
menangani episode akut mania dan hipomania tetapi juga merupakan agen
psikotropika pertama yang terbukti mencegah episode berulang. Lithium juga
efektif dalam mengobati dan mencegah episode depresi pada pasien dengan
gangguan bipolar. Pengobatan lithium jangka panjang dikaitkan dengan
berkurangnya kemampuan berkonsentrasi urin, dengan poliuria dan polidipsia
bahkan diabetes insipidus nefrogenik (pada 10-40% pasien). Lithium juga
mengurangi laju filtrasi glomerulus, dan meningkatkan risiko gagal ginjal,
walaupun risiko absolutnya kecil (0,5% pasien). Pengobatan litium dikaitkan
30

dengan tingkat TSH yang lebih tinggi secara signifikan, dengan risiko
hipotiroidisme 6 kali lipat lebih besar pada yang diobati dengan litium
dibandingkan pada subyek kontrol. (11,17)
Poliuria dan polidipsia secara konsisten ditemukan sebagai salah satu efek
samping yang paling umum terkait dengan lithium dengan tingkat hingga 70%
pada pasien dengan terapi jangka panjang. Mekanisme dimana lithium
menyebabkan poliuria adalah terdapatnya gangguan pada tubulus pengumpul
untuk menghasilkan siklik adenosin monofosfat sebagai respons terhadap
stimulasi hormon antidiuretik. Hal ini menyebabkan berkurangnya kapasitas ginjal
untuk mempertahankan kadar air, yang menyebabkan gangguan konsentrasi urin
dan memproduksi urin encer yang berlebihan. Efek ini awalnya fungsional,
terlihat pada awal pengobatan dan bersifat reversibel (seperti efek serupa alkohol),
kemudian berkembang menjadi perubahan struktural dan ireversibel. Efek
samping lithium lain adalah tremor. Tremor sangat umum dalam konteks
toksisitas lithium. Selama toksisitas lithium, tremor cenderung lebih kasar, lebih
tidak teratur, lebih luas (mempengaruhi bagian tubuh lainnya). Tremor akibat
lithium lebih umum terjadi pada usia yang lebih tua, mungkin karena efek aditif
tremor esensial yang berkaitan dengan usia.(18)
Litium memiliki indeks terapi yang sempit, dengan ruang yang relatif
sedikit antara tingkat terapeutik dan toksik. Karena itu, menghindari keracunan
lithium telah dan terus menjadi tujuan penting dalam pengobatan. Laporan awal
menunjukkan tingkat kematian akibat toksisitas lithium mulai dari 9 hingga 25%.
Namun, data terbaru menunjukkan tingkat kematian kurang dari 1%. Sebagai
contoh, pada tahun 2012 di Amerika Serikat, hanya 11 kematian terjadi dari 6815
paparan racun menjadi lithium menghasilkan tingkat kematian 0,16%. Pedoman
perawatan untuk keracunan lithium bervariasi tergantung pada tingkat toksisitas.
Dalam kasus toksisitas ringan, penghentian lithium mungkin cukup. Dengan
episode toksik sedang, infus cairan dengan saline direkomendasikan bersama bilas
lambung (jika keracunan dikenali lebih awal) dan irigasi usus besar menggunakan
polietilen glikol. Dalam kasus yang paling parah, didefinisikan oleh kadar lithium
yang sangat tinggi (> 4,0 mmol / l) atau ditandai oleh gejala klinis berupa
perubahan kesadaran, metode ekstrakorporeal seperti hemodialisis. Jika
hemodialisis diperlukan, biasanya dilakukan berulang kali untuk menghindari
31

rebound lithium yang disebabkan oleh redistribusi lithium dari kompartemen yang
lebih dalam atau sel darah merah ke plasma.(18)
Prognosis skizoafektif sangat bergantung pada inisiasi pengobatan dini dan
rejimen pengobatan yang optimal. Pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki
hasil yang berbeda, tergantung pada apakah gejala dominannya adalah afektif
(prognosis yang lebih baik) atau skizofrenia (prognosis yang lebih buruk).
Prevalensi penyakit ini pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Meskipun
demikian remisi yang terjadi pada wanita lebih baik dibandingkan dengan laki-
laki.(1,4)
Dukungan psikologis merupakan hal yang sangat penting bagi pasien
beserta keluarganya. Terapi keluarga dapat membantu untuk mengurangi ekspresi
keluarga yang berlebihan terkait gejala yang dialami pasien, hal ini terbukti
efektif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien. Pengasuh utama
umumnya anggota keluarga pasien, yang menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk merawat pasien, menyediakan dukungan, dan memeriksa obat-obatan dan
aspek lain dari kehidupan sehari-hari pasien. Meskipun tidak ada pendekatan
khusus untuk intervensi keluarga, terapi keluarga biasanya mencakup
psikoedukasi, pengurangan stres, proses emosional, penilaian ulang kognitif, dan
pemecahan masalah terstruktur. Intervensi terdiri dari kombinasi strategi
psikoterapi untuk bekerja dengan kerabat orang yang menderita psikosis, dan
bertujuan untuk mengembangkan hubungan kolaboratif antara keluarga dan tim
perawatan untuk membantu pemulihan pasien. (12,19)
Lebih dari 50 uji coba terkontrol telah dilakukan untuk menguji kemanjuran
intervensi semacam ini. Terapi keluarga memiliki dampak positif pada pemulihan
pasien, dengan pengurangan yang signifikan dalam penerimaan kembali dan
kambuh, serta peningkatan fungsi sosial mereka. Selanjutnya, ditemukan
hubungan antara intervensi ini dan kepatuhan terhadap pengobatan. Meskipun
semua studi tentang intervensi keluarga ini telah menunjukkan serangkaian ukuran
hasil, baik program intervensi dan tujuan studi biasanya berfokus terutama pada
pasien daripada pengasuh. Disarankan bahwa psikoedukasi harus secara rutin
diberikan kepada anggota keluarga agar mereka tetap berhubungan dengan
layanan kesehatan. Telah dilaporkan bahwa psikoedukasi mengurangi
32

kekambuhan dan meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan yang diterima


oleh pasien. Ini mungkin juga merupakan bagian awal dari intervensi yang lebih
kompleks, seperti intervensi keluarga. Juga, itu memungkinkan keluarga untuk
menambah pengetahuan dan strategi koping mereka.(19)
Program terapi keluarga saat ini tidak hanya fokus pada penyediaan
informasi tentang penyakit dan penatalaksanaannya tetapi juga pada peningkatan
sikap positif seperti empati dan dukungan afektif dan pada perubahan pola
komunikasi verbal antara anggota keluarga. Dalam hal durasi intervensi, literatur
menunjukkan bahwa hasil terbaik diperoleh setelah tiga bulan perawatan. Namun,
efeknya mungkin hilang setelah beberapa bulan jika terapi tidak dipertahankan.
Ini adalah bagaimana perawatan multidisiplin disampaikan kepada pasien dengan
skizofrenia tidak hanya membantu meningkatkan gejala kejiwaan mereka tetapi
juga mengurangi tingkat beban pada pasien. pengasuh dan mempromosikan
integrasi keluarga dalam perawatan.(19)
BAB V
KESIMPULAN

Gangguan skizoafektif merupakan suatu penyakit dengan gejala psikotik


yang persisten seperti halusinasi atau delusi, dimana gejala ini terjadi bersamaan
(simultaneously) dengan masalah suasana perasaan (mood disorder) seperti
depresi, manik atau episode campuran.Gangguan skizoafektif merupakan
permasalahan mental yang bersifat kronis. Sebagian diantara paasien gangguan
skizoafektif mengalami episode skizoafektif berulang, baik yang tipe manik,
depresif, maupun campuran keduanya.
Terapi pada pasien skizoafektif terbagi menjadi terapi farmakologis dan
terapi non-farmakologis. Pada kasus gangguan skizoafektif tipe manik terapi
kombinasi yang diberikan adalah terapi anti-psikotik atipikal, berupa injeksi
lodomer dan serroquel XR 2x400 mg tablet. Terapi non-farmakologis yang
dianjurkan untuk gangguan skizoafektif tipe manik diantaranya Cognitive-
Behavioural Therapy, Psikoedukasi, Family-Based Service, Art therapies, dan lain
sebagainya. Prognosis bisa diperkirakan dengan melihat seberapa jauh
menonjolnya gejala skizofrenianya, atau gejala gangguan afektifnya. Semakin
menonjol dan persisten gejala skizofrenianya, maka prognosisnya akan semakin
buruk. Sebaliknya apabila gejala-gejala afektifnya tampak lebih menonjol, maka
prognosis diperkirakan akan lebih baik.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA, Pedro R. Kaplan & Sadock’s Synopsis of


Psychiatry : Behavioral Sciences/ Clinical Psychiatry. 11 ed. Pataki C,
Sussman N, editor. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.

2. Putra A. Schizoaffective Disorder with Manic Type: a Case Report. Med


Udayana. 2013;304–12.

3. Abrams DJ, Arciniegas DB. Schizoaffective disorder. In: The Spectrum of


Psychotic Disorders: Neurobiology, Etiology and Pathogenesis. StatPearls
Publishing; 2019. hal. 78–95.

4. Kartika A. Pola Pengobatan dan Outcome Terapi Pasien Skizoafektif di


Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. RM Soedjarwadi
Klaten, Jawa Tengah. Universitas Gadjah Mada; 2016.

5. Surbakti R. a 30 Years Old Man with Depressed Type of Schizoaffective


Disorder. Medula. 2014;02:89–95.

6. Vardaxi CC, Gonda X, Fountoulakis KN. Life events in schizoaffective


disorder: A systematic review. J Affect Disord. 1 Februari 2017;227:563–
70.

7. Yani F. Kelainan Mental Manik Tipe Skizoafektif. Medula. 2015;2:65–73.

8. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari


PPDGJ-III dan DSM-5. 2 ed. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2013.

9. Birrel M. Psychiatry. 4 ed. United Kingdom: Elsevier Inc; 2013.

10. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. 4 ed.


Jakarta: PT Nuh Jaya; 2014.

11. Stahl SM. Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis and


Practical Applications. 2 ed. New York: Cambridge University Press; 2000.

12. Katona C, Cooper C, Robertson M. Psychiatry at a Glance. 5 ed. London:


Wiley Blackwell; 2012.

13. Chokhawala K, Stevens L. Antipsychotic Medications [Internet].


StatPearls. StatPearls Publishing; 2019 [dikutip 28 Agustus 2019]. Tersedia
pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30137788

14. Agid O, Board A, Johnson CJ, Lilly E, Company US, Canada EL.
Treatment resistant schizophrenia : Treatment Response and Resistance in
Psychosis ( TRRIP ) working group consensus guidelines on diagnosis and
terminology. Am J Psychiatry. 2018;174(666):216–29.

34
35

15. Lally J, Gaughran F, Timms P, Curran SR. Treatment-resistant


schizophrenia: Current insights on the pharmacogenomics of
antipsychotics. Pharmgenomics Pers Med. 2016;9:117–29.

16. Stoner S. Extended-release divalproex in bipolar and other psychiatric


disorders: A comprehensive review. Neuropsychiatr Dis Treat.
2008;Volume 3(6):839–46.

17. Albert U, De Cori D, Blengino G, Bogetto F, Maina G. Trattamento con


litio e potenziali effetti collaterali a lungo termine: Una revisione
sistematica della letteratura [Internet]. Vol. 49, Rivista di Psichiatria. 2014
[dikutip 27 Agustus 2019]. hal. 12–21. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24572579

18. Gitlin M. Lithium side effects and toxicity: prevalence and management
strategies. Int J Bipolar Disord. 2016;4(1).

19. Caqueo-Urízar A, Rus-Calafell M, Urzúa A, Escudero J, Gutiérrez-


Maldonado J. The role of family therapy in the management of
schizophrenia: Challenges and solutions. Neuropsychiatr Dis Treat.
2015;11:145–51.

Anda mungkin juga menyukai