Anda di halaman 1dari 15

BAGIAN PSIKIATRI Refarat

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFARAT:
SKIZOFRENIA RESIDUAL [F20.5]

DISUSUN OLEH:
Citra Wulandari Sofyan
C111 13 120

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Anisa

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Fanny Wijaya, Sp. KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia digambarkan pertama kali oleh Emil Kraepelin (1856-1926) pada tahun
1893. Kraepelin menggunakan nama dementia praecox untuk penyakit stress dengan onset
yang lebih awal dan menyebabkan kerusakan permanen fungsi mental di antara sebagian
besar pasien. Kraepelin merincikan gejala skizofrenia biasanya terjadi dengan fitur paling
mendasar yakni melemahnya kemauan dan ketumpulan emosonal, yang menyebabkan
aktivitas mental meurun, dan hilangnya kesatuan dalam kegiatan intelektual, emosi dan
kemauan, yang menyebabkan inkoherensi dalam berpikir dan afek yang inappropriate.
Awalnya Kraepelin membagi dementia praecox menjadi tiga subtype klinis: hebefrenik,
katatonik, dan paranoid.

Tidak seperti Kraepelin, Eugen Bleuder (1857-1939) tidak menekankan prognosis


buruk dalam mendiagnosis skizofrenia. Hal itu juga menjadi lebih terbukti sejak Kraepelin
memperkenalkan konsep dementia praecox bahwa kelainan tidak selalu dmulai pada masa
remaja atau awal dewasa. Dengan demikian, Bleuer menyarankan bahwa nama penyakit
akan berubah menjadi skizofrenia karena karakteristiknya berupa disintegrasi dari
berbagai fungsi mental. Ia membagi skizofrenia menjadi empat subtype: paranoid,
katatonik, jenis hebefrenik dan sederhana (simple).

Kurt Schneider (1887-1967) mengarah pada identifikasi tanda-tanda dan gejala yang
akan sangat membedakan skizofrenia denga penyakit lainnya. Gejala ia pilih sebagai ciri
skizofrenia itu sangat berbeda dari gejala fundamental Bleuler. Dia mengidentifikasi
kelompok delusi dan halusinasi yang dia yakini sebagai patognomonik untuk skizofrenia
dan gejala ini disebut gejala tingkat pertama. Gejala lain yang sering terjadi di skizofrenia
tetapi tidak patognomonik disebut gejala peringkat kedua. Konsep diagnostic skizofrenia
dari Schneider memiliki pengaruh besar di hamper semua system diagnostic yang
berikutnya berkembang.

Skizofrenia residual adalah salah satu tipe dari skizofrenia. Namun saat Kraepelin
dan Bleuler merumuskan skizofrena, tipe residual ini belum ada dipaparkan. Tipe
skizofrenia residual ini baru diperkenalkan pada International Classification of Disease.
International Classification of Disease (ICD) adalah system klasifikasi suatu penyakit yang
dikembangkan oleh WHO untuk mempromosikan perbandingan statistic pelayanan
kesehatan secara internasional. Revisi kedelapan dari International Classification of
Disease (ICD-8), diluncurkan pada tahun 1967, menempatkan pendapat Schneiderian
mengenai gejala tingkat pertama di dalam deskripsi gejala skizofrenia. Pada ICD-8 ini
dipaparkan tujuh subtype skizofrenia. Tipe sederhana dicirikan oleh keanehan perilaku,
kesulitan dalam hubungan social, dan penurunan kinerja secara keseluruhan tetapi tanpa
gejala skizofrenia yang menonjol. Gejala khas dari jenis hebefrenik adalah afek yang
inappropriate, perilaku katatonik, dan gangguan piker yang menonjol. Jenis yang katatonik
ditandai oleh gejala katatonik, dan tipe paranoid menonjolnya gejala delusi dan halusinasi.
Dalam episode skizofrenia akut, timbulnya gejala skizofrenia secara akut, dan dream-like
state dengan sedikit pengaburan kesadaran dan bingung sering muncul. Jenis laten ini
ditandai dengan munculnya gejala skizofrenia yang tidak nyata, tetapi cukup parah untuk
meningkatkan kecurigaan yang kuat skizofrenia. Tipe residual diperuntukkan bagi keadaan-
keadaan residual yang kronis dan pudarnya sebagian gejala skizofrenia terjadi. Selain itu,
tipe lain dan tipe tak tergolongkan diperuntukkan bagi pasien yang tidak cocok dengan
subtype lain.1
BAB 2

2.1 Definisi

Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan yang ditandai oleh
kekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya delusi atau halusinasi), dalam mood
(contohnya afek yang tidak sesuai), dalam perasaan dirinya dan hubungannya dengan dunia
luat serta dalam hal tingkah laku. Sedangkan skizofrenia residual adalah keadaan yang
muncul pada individu dengan gejala skizofrenia yang setelah episode skizofrenia psikotik,
tidak lagi psikotik.

Menurut DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofrenia ada 5 yakni subtype


paranoid, terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual. Untuk
istilah skizofrenia simpleks dalam DSM-IV adalah gangguan deteriorative sederhana,3
sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di
Indonesia yang ke-III skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu katatonik, paranoid,
hebefrenik, tak terinci (undifferentiated), simpleks, residual dan depresi pasca skizofrenia.
Dalam refarat ini akan dibahas mengenao skizofrenia residual.2

2.2 Epidemiologi

Penelitian insiden pada gangguan yang relatif jarang terjadi, seperti skizofrenia, sulit
dilakukan. Survei telah dilakukan di berbagai negara, namun dan hampir semua hasil
menunjukkan tingkat insiden per tahun skizofrenia pada orang dewasa dalam rentang yang
sempit berkisar antara 0.1 dan 0.4 per 1000 penduduk. Ini merupakan temuan utama dari
penelitian di 10-negara yang dilakukan oleh WHO. Untuk prevalensi atau insiden
skizofrenia di Indonesia belum ditentukan sampai sekarang, begitu juga untuk tiap-tiap
subtype skizofrenia.3

Prevalensinya antara laki-laki dan perempuan sama, namun menunjukkan perbedaan


dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset yang lebih awal daripada
perempuan. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, sedangkan
perempuan 25 sampai 35 tahun. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki
adalah lebih mungkin daripada wanita untuk terganggu oleh gejala negative dan wanita lebih
mungkin memiliki fungsi social yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil
akhir untuk pasien skizofrenik wanita adalah lebih baik daripada hasil akhir untuk pasien
skizofrenia laki-laki.

Skizofrenia tidak terdistribusi rata secara geografis di seluruh dunia. Secara historis,
prevalensi skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika Serikat adalah lebih tinggi dari
daerah lainnya.3

2.3 Etiologi

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab


skizofrenia, yaitu pendekatan biologis (meliputi factor genetic dan factor biokimia), dan
pendekatan psikodinamik.

Pendekatan biologis

1. Factor genetic
Semakin dekat hubungan genetic antara penderita skizofrenia dan anggota
keluarganya, semakin besar kemungkinannya untuk terkena skizofrenia. Hal ini
menunjukkan bahwa kecendrungan terkena skizofrenia dapat ditularkan secara
genetic. Keluarga penderita sizofrenia tidak hanya terpengaruh secara genetis
akan tetapi juga melalui pengalaman sehari-hari. Orang tua yang menderita
skizofrenia dapat sangat mengganggu perkembangan anaknya.
2. Faktor biokimia
Hipotesis dopamine menyatakan bahwa skizofrenia dusebabkan oleh terlalu
banyaknya penerimaan dopamine dalam otak. Kelebihan ini mungkin karena
oridksi neurotransmitter atau gangguan regulasi mekanisme pengambilan
kembali yang dengannya dopamine kembali dan disimpan oleh vesikel neuron
parasimpatik. Kemungkinan lain adalah adanya oversensitive resptor dopamine
atau terlalu banyaknya respon dopamine,
3. Otak
Sekitar 20-35% penderta skizofrenia mengalami beberapa bentuk kerusakan
otak.
Pendekatan Psikoanalisis

Menurut Freud struktur kepribadian terdiri atas 3 aspek yaitu id, ego, dan super ego.
Pertimbangan antara id dan super ego seringkali tidak seimbang dan menimbulkan konflik.
Apabila ego berfungsi dengan baik, maka situasi konflik tersebut akan dapat
dikendalikannya atau diselesaikannya secara adekuat. Sementara jika ego lemah, maka
situasi konflik tersebut tidak akan dapat diselesaikannya, dan akan timbul banyak konflik
internal atau bahkan konflik yang sifatnya sangat hebat, yang diekspresikan dalam bentuk
tingkah laku yang abnormal.3

2.4 Gejala dan Diagnosa

Gejala dari skizofrenia residual berupa gejala negatif dari skizofrenia yang
menonjol, misalnya perlambatan psikomotrik, aktivitas menurun, afek yang menumpul,
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi
suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja social yang buruk.5 gejala waham dan
halusinasi dapat muncul tapi tidak menonjol.3

Terlebih dahulu akan diabahas mengenai penegakan diagnossa skizofrenia. Adapun


menurut DSM-IV sebagai berikut:

A. Gejala Karakteristik dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk


bagian wkatu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati
dengan berhasil):
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau inkoherensi)
4. Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
5. Gejala negative yaitu pendatarana afektid, alogia, atau tidak ada kemauan
(avolition)
Catatan: hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau
atau halusinasi terdiri dari suara yag terus-menerus mengomentari perilaku atau
pikiran pasien atau dua lebih suara yang saling bercakap-cakap satu sama
lainnya.
B. Disfungsi social/pekerjaan untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset
gangguan, satu atau lebih fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan interpersonal,
atau perawatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau
jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat
pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
C. Durasi tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Pada 6
bulan tersebut, harus termasuk 1 bulan fase aktif (yang memperlihatkan gejala
kriteria A) dan mungkin termasuk gejala prodromal atau residual.
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif atau gangguan mood: gangguan skizoafektif
atau gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan karenaL (1) tidak ada
episode depresif berat, manik atau campuran yang terlah terjadi bersama-sama gejala
fase aktif atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi
totalnya relative singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual
E. Penyingkirin zat/atau kondisi medis umum
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasf3

Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa


(PPDGJ) di Indonesia yang ke-III sebagai berikut:

harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas):
a) thought eco isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama tapi
kualitasnya berbeda.
thought insertion or withdrawal isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal); dan
thought broadcastjng isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.
b) delusion of control waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar, atau
delusion of influence waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan
tertentu dari luar
delusion of passivity waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);
delusion of perception pengalaman inderaw yang tak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
c) Halusinasi auditorik:
o Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku
pasien, atau
o Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara) atau
o Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh pasien
d) Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide-ide yang berlebihan
yang menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus-menerus.
b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraannya tidak relevan atau neologisme.
c. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu
(porturing), fleksibilitas cerea, negativism, mutisme dan stupor
d. Gejala-gejala negative seperti sikat sangat apatis, bicara yang jarang dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja social;
tetapiharus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup
tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri, dan penarikan diri
secara social.5
Diagnosa skiskizofrenia residual digunakan pada pasien yang telah sembuh dari
gejala yang menonjol seperti delusi, halusinasi atau perilaku yang disorganisasi tapi
masih memperlihatkan bukti yang ringan akan adanya proses berjalannya penyekit
seperti afek datar atau kurangnya komunikasi. Adapun cara penegakan diagnose
menurut DSM-IV sebagai berikut:
a. Tidak adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku katatonik
terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol.
b. Terdapat terus bukti-bukti gangguan seperti yang ditunjukkan oleh adanya gejala
negatuf atau dua atau lebih gejala yang tertulis dalam kriteria A untuk
skizofrenia, ditemukan dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya keyakinan
yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).3

Selain itu, PPDGJ-III memberikan pedoman diagnostic untuk skizofrenia


residual yakni harus memenuhi semua kriteria dibawah ini untuk suatu diagnosis
yang meyakinkan:

a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan


psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja social yang buruk.
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimana dimasa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia.
c. Sedikitnya sudah melampui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang
(minimal) dan telah timbul sindrom negative dari skizofrenia
d. Tidak terdapat demensia atau penyakit gangguan otak organic lain, depresi
kronis, atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan diasabilitas tersebut.5

2.5 Diagnosa Banding

Depresi pasca skizofrenia merupakan salah satu diagnose banding dari skizofrenia
residual. Keduanya mempunyai kesamaan yakni gejala skizofrenia yang masih ada tapi
tidak lagi mendominasi atau menonjol. Namun terdapat perbedaan yang jelas diantara
keduanya. Penegakan diagnose depresi pasca skizofrenia tentu saja pasien harus memenuhi
gejala depresi selama 2 minggu. Adapun gejala utama depresi yakni mood yang depresif,
kehilangan minat dna kegembiraan, atau berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah dan penurunan aktivitas. Selain itu gejala lainnya dari depresi adalah
konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, adanya ide
bunuh diri, pandangan masa depan yang suram dan pesimis, tidur terganggu, nafsu makan
berkurang, gagasan tentang rasa bersalah atau tidak berguna. Selain itu, pasien telah
menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir sedangkan pada skizofrenia residual, gejala
negative timbul dan penurunan yang nyata dari gejala waham dan halusinasi sedikitnya
sudah melampaui kurun waktu 1 tahun.5

2.6 Pengobatan

Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk masing-masing subtype skizofrenia.


Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan gejala apa yang menonjol pada pasien. Pada
skizofrenia residual, gejala negatif lebih menonjol, maka adapun pengobatan yang
disarankan kepada pasien obat-obat antipsikotik golongan atipikal yang dapat meningkatkan
dopamine di mesokortikal.4 memang obat tertentu (terutama obat antipsikotik baru) telah
dinyatakan efektif secara spesifik terhadap gejala negatif pada gangguan psikotik, tetapi
bukti yang mendukung pendapat ini masih tidak konsisten.7

Risperidone adalah suatu obat antipsikotik dengan aktivitas antagonis yang


bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamine tipe 2 serta
antihistamin (H1). Menurut data penelitian, obat ini efektif mengobati gejala positif maupun
negative.3 risperidon senyawa antidopaminergik yang jauh lebih kuat, berbeda dengan
klozapin, sehingga dapat menginduksi gejala ekstrapiramidal juga hiperprolaktinemia yang
menonjol. Meskipun demikiran, respiridon dianggap senyawa antipsikotik atipikal secara
kuantitaif karena efek samping neurologis ekstrapiramidalnya kecil pada dosis harian yang
rendah.7

Klozapin termasuk obat antipsikotik atipikal yang juga mempunyai aktivitas


anatagonis yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan antagonis lemah pada
reseptor dopamine tipe 2 juga bersifat antihistamin (H1). Efek samping berupa gejala
ekstrapiramidal sangat minimal, namun mempunyai sifat antagonis a-1 adrenergik yang bias
menimbulkan hipotensi ortostatik dan sedative 6. Selain itu, dilaporkan terjadinya
agranulositosis dengan insiden 1-2% ditambah harganya yang mahal. Klozapin adalah obat
lini kedua yang jelas bagi pasien yang tidak berespon terhadap obat lain yang sekarang ini
tersedia.

Selain terapi obat-obatan, juga bias diterapkan terapi psikososial yang terdiri dari
terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, psikoterapi individual. Terapi
perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan social untuk meningkatkan
kemampuan social, kemampuan memenuhi diri snediri, latihan praktis, dan komunikasi
interpersonal. Perilaku adaptif didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk
hal-hal yang diharapkan sehingga frekuensi maladaptive atau menyimang dapat diturunkan.

Terapi berorientasi keluarga cukup berguna dalam pengobatan skizofrenia. Pusat


dari terap harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari
situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Setelah pemulangan, topik penting yang
dibahas di dalam terapi keluarga adalah proses pemulihan khususnya lama dan
kecepatannya. Selanjutnya diarahkan kepada berbagai macam penerapan strategi
menurunkan stress dan mengatasi masalah dan pelibatan kembali pasien ke dalam aktivitas.

Terapi kelompok biasanya memusatkan pada rencana, maslaah, dan hubungan


dalam kehidupan nyata. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi social,
meningkatkann rasa persatuan dan meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan
skizofrenia.

Psikoterapi individual membantu menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep


penting di dalam psikoterapi adalah perkembangan hubungan terapeutik yang dialami
pasien adalah aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercanyanya ahli
terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keihlasan ahli terapi seperti yang
diinterpretasikan oleh pasien. Ahli psikoterapi sering kali memberikan interpretasi yang
terlalu cepat terhadap pasien skizofrenia. Psikoterapu untuk seorang pasien skizofrenia
harus dimengerti dalam hitungan decade, bukannya sesi, bulanan, atau bahkan tahunan. Di
dalam konteks hubungan professional, fleksibilitas adalah penting dalam menegakkan
hubungan kerja dengan pasien. Ahli terapi mungkin akan makan bersama, atau mengingat
ulang tahun pasien. Tujuan utama adalah untuk menyampaikan gagasan bahwa ahli terapi
dapat dipercaya, ingin memahami pasien dan akan coba melakukannya dan memiliki
kepercayaan tentang kemampuan pasien selagi manusia. Mandred Bleuer menyatakan
bahwa sikap terapeutik terhadap pasien adalah dengan menerima mereka bukannya
mengamati mereka sebagai orang yang tidak dapat dipahami dan berbeda dari ahli terapi.3
2.7 Prognosis

Prognosis tidak berhubungan dengan tipe apa yang dialami seseorang. Perbedaan
prognosis paling baik dilakukan dengan melihat pada predictor prognosis spesifik di Tabel
2.1 3

Tabel 2.1 Prognosis

Prognosis Baik Prognosis Buruk


Onset lambat Onset muda
Factor pencetus yang jelas Tidak ada factor pencetus
Onset akut Onset tidak jelas
Riwayat seksual, social, dan pekerjaan Riwayat seksual, social, dan pekerjaan
premorbid yang baik premorbid yang buruk
Gejala gangguan mood (terutama gangguan Perilaku menarik diri, autistic
depresif)
Gejala positif Gejala negative
Riwayat keluarga gangguan mood Riwayat keluarga skizofrenia
System pendukung yang baik System oendukung yang buruk
Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma prenatal
Tidak ada remisi dalam 3 tahun
Banyak relaps
Riwayat penyerangan

Walaupun skizofrenia bukanlah penyakit yang fatal, namun rata-rata kematian orang
yang menderita skizofrenia dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Tingginya angka kematian berkaitan dengan kondisi buruk institusi perawatan yang
berkepanjangan yang menyebabkan tinggnya angka tuberculosis dan penyakiy menular
lainnya. Namun, penelitian baru-baru ini pada orang-orang skizofrenia yang hidup dalam
masyarakat, menunjukkan bunuh diri dan kecelakaan lain sebagai penyebab utama kematian
di negara berkembang maupun negara-negara maju. Bunuh diri, khusunya telah muncul
sebagai masalah yang mengkhawatirkan, karena risiko bunuh diri pada orang dengan
gangguan kizofrenia selama hidupnya telah diperkirakan di atas 10%, sekitar 12 kali lebih
tinggi dari populasi umum. Sepertinya ada sebuah peningkatan mortalitas untuk gangguan
kardiovaskular juga, mungkin terkait dengan gaya hidup yang tidak sehat, pembatasan akses
perawatan kesehatan atau efek samping obat antipsikotik.
BAB 3

KESIMPULAN

Skizofrenia residual adalah salah satu tipe skizofrenia dimana masih ditemuinya
bukti adanya gangguan skizofrenia, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala
yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Gejala dari skizofrenia residual berupa
gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik,
aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan
dalam kuantitasi atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja
sosial yang buruk. Jika waham atau halusinasi ditemukan, maka hal itu tidak lagi menonjol.

Skizofrenia bisa merupakan bagian dari skizofrenia kronis atau tahapan remisi
komplit dari skizofrenia. Adapun diagnose banding dari skizofrenia residual adalah depresi
pasca skizofrenia, namun pada depresi pasca skizofrenia mesti ditemui gejala depresi selama
lebih kurang 2 minggu.

Pengobatan untuk skizofrenia residual bisa secara farmakologi maupun terapi


psikososial. Obat yang dapat diberikan adalah obat golongan atipikal yang bekerja untuk
meningkatkan dopamine di jalur mesokortikal. Selain itu, terapi psikososial bisa berupa
terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, dan psikoterapi individu.

Prognosis tidak berhubungan dengan tipe apa yang dialami seseorang. Prognosis
ditentukan dari Tabel 2.1. selain itu, didapati angka kematian pada orang dengan skizofrenia
dua kali lebih tinggi dari populasi umum. Angka kematian yang tinggi ini disebabkan oleh
kondisi buruk akan tempat rawatan yang berkepanjangan sehingga meningkatkan risiko
terinfeksi Tuberkulosis dan penyakit menular lainnya. Angka bunuh diri pada orang
skizofrenia adalah sekitar 10%.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kapla, Harold I., Sadock, Benjamin J., dan Grebb, Jack A. Sinopis Psikiatri, Jilid I.
Binarupa Aksara. Tangerang: 2010

2. Syamsulhadi dan Lumbantobing. Skizofrenia. FK UI. JakartaL 2007

3. Maslim, Rusdi. Diganosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. FK Unika
Atmajaya. Jakarta: 2001

4. Silva, J.A Costa. Schizophrenia and Public Health. WHO. 1998

5. Goodman dan Gilman. Dasar Farmakologi Terapi vol.I. EGC. Jakarta:2007

Anda mungkin juga menyukai