Meidini
Fitrani, S.Ked. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. RSUD Arifin Achmad Pekanbaru
BAB I
Pendahuluan
—Demam reumatik adalah sindrom klinis sebagai akibat infeksi Streptokokus hemolitik grup A,
dengan salah satu gejala mayor yaitu, poliartritis migrans akut, karditis, korea minor, nodul
subkutan dan eritema marginatum 1,2,3,4.
—Demam reumatik biasanya terjadi akibat infeksi beta-streptokokus hemoliticus grup A pada
saluran pernafasan bagian atas.1,2
Stadium I berupa infeksi saluran nafas bagian atas oleh kuman streptokokus B
hemolitikus grup A. Umumnya keluhan berupa demam, batuk, rasa sakit waktu
menelan, muntah, dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare.
Stadium II disebut juga periode laten, yaitu masa antara infeksi streptokokus
dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-
3 minggu.
Stadium III adalah fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai
manifestasi klinis demam reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat
digolongkan dalam gejala peradangan umum dan manifestasi spesifik demam
reumatik. Gejala peradangan umum biasanya penderita mengalami demam
yang tidak tinggi, anoreksia, lekas tersinggung dan berat badan tampak
menurun, anak pucat karena anemia, athralgia, sakit perut. Pada pemeriksaan
laboratorium akan didapatkan tanda-tanda reaksi peradangan akut berupa
terdapatnya C reaktiv protein dan leukositosis serta meningginya laju endap
darah. Titer ASTO meninggi pada kira-kira 80% kasus. Pada pemeriksaan EKG
dapat dijumpai pemanjangan interval PR. Sebagian gejala-gejala peradangan
umum dikelompokkan sebagai gejala minor. Manifestasi spesifik berupa
karditis, poliartritis migrans, korea, eritema marginatum, nodul subkutan
dikelompokkan sebagai gejala mayor4,5,6
—Kriteria diagnosis demam reumatik akut (DRA) berdasarkan Kriteria Jones (revisi 1992),
ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor,
ditambah dengan bukti infeksi streptokokus grup A tenggorok positif dan peningkatan titer
antibodi Streptokokus 2,3,4,5,6,7,8,9
—Jantung merupakan satu-satunya organ yang dapat menderita kelainan permanen akibat
demam rematik. Sebagian penderita demam reumatik akut dengan valvulitis dapat melewati
stadium III dan sembuh tanpa gejala sisa katup, sebagian lagi akan tenang dengan meninggalkan
gejala sisa katup, dengan atau tanpa kardiomegali atau gagal jantung 3,4.
—Kriteria derajat penyakit demam reumatik ini terbagi 4 yakni, derajat 1 dengan artritis atau
korea tanpa karditis. Derajat 2 dengan karditis tanpa kardiomegali. Derajat 3 dengan karditis
disertai gagal jantung. Derajat 4 dengan karditis yang disertai gagal jantung. 7
—Kelainan katup yang paling sering ditemukan adalah katub mitral, kira-kira 3 kali lebih banyak
dari pada katub aorta. Komplikasi yang dapat timbul antara lain insufisiensi Mitral, stenosis
mitral dan insufisiensi aorta.3.,4,6
BAB II
—Pengobatan kausal dilakukan dengan cara eradikasi kuman Streptokokus pada saat serangan
akut dan pencegahan sekunder demam rematik.
—Cara pemusnahan Streptokokus dari tonsil dan faring sama dengan pengobatan faringitis
Streptokokus, yakni pemberian penisilin benzatin intramuskuler dengan dosis 1,2 juta unit untuk
pasien dengan berat badan > 30 kg atau 600.000 samapi 900.000 unit untuk pasien dengan berat
badan < 30 kg. Penisilin oral 400.000 unit (250 mg) diberikan 4 kali sehari selama 10 hari dapat
digunakan sebagai alternatif. Eritromisin 50 mg/kgBB sehari dibagi 4 dosis yang sama, dengan
maksimum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien yang alergi penisiin.
Obat lain seperti sefalosforin yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga efektif untuk
pengobatan faringitis streptokokus, seperti pada tabel di bawah ini : 5,8
BB< 30 kg 600.000
Oral -Penisilin V 400.000/250 mg 4 x/hari selama 10 hari
—Cara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart Association dan WHO yaitu
dengan pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan. Pada keadaan-keadaan khusus,
atau pada pasien resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri suntikan
dapat berlangsung lama, tetapi pasien lebih suka dengan cara ini karena dapat dengan mudah dan
teratur melakukannya satu kali setiap 3 atau 4 minggu, dibandingkan dengan tablet penisilin oral
setiap hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk pencegahan primer terbukti lebih efektif dari
pada penisilin oral untuk pencegahan sekunder. Dapat juga digunakan sulfadiazin yang harganya
lebih murah daripada eritromisisn, seerti tertera pada tabel dibawah ini.5,8
—Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada berbagai faktor,
termasuk waktu serangan dan serangan ulang, umur pasien dan keadaan lingkungan. Makin
muda saat serangan, makin besar kemungkinan untuk kumat, setelah pubertas kemungkinan
kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi dalam 5 tahun pertama sesudah
serangan terakhir. Dengan mengingat faktor-faktor tersebut, maka lama pencegahan sekunder
disesuaikan secara individual. Pasien tanpa karditis pada serangan sebelumnya diberikan
profilaksis minimum lima tahun sesudah serangan terakhir, sekurangnya sampai berumur 18
tahun.
—Pencegahan sekunder harus dilanjutkan selama pasien hamil, akan tetapi sebaiknya tidak
dipakai sulfadiazin karena mendatangkan risiko terhadap janin. Remaja biasanya mempunyai
masalah khusus terutama dalam ketaan minum obat, sehingga perlu upaya khusus terutama
dalam ketaatannya minum obat, sehingga perlu upaya khusus mengingat risiko terjadinya kumat
cukup besar. Untuk pasien penyakit jantung reumatik kronik, pencegahan sekunder untuk masa
yang lama, bahkan seumur hidup dapat diperlukan, terutama pada kasus yang berat. Beberapa
prinsip umum dapat dikemukakan pada tabel berikut. 8
Kategori Durasi
Demam rematik dengan karditis 10 th sejak episode terakhir sampai usia
dan kelainan menetap 40 th. Kadang seumur hidup
—Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit. Tirah
baring di rumah sakit untuk pasien demam reumatik derajat 1 , 2, 3 dan 4 berturut-turut 2, 4, 6,12
minggu. Serta lama rawat jalan untuk pasien demam reumatik derajat 1,2,3 dan 4 berturut-turut
2, 4, 6, 12 minggu. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal serangan,
hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut. Sesudah itu lama dan
tingkat tirah baring bervariasi. Tabel berikut merupakan pedoman umum untuk mendukung
rekomendasi tersebut. 7,8
Tabel 2.4 Pedoman umum tirah baring dan rawat jalan pada pasien demam reumatik
2.2.2. Diet
—Tujuan diet pada penyakit jantung adalah memberikan makanan secukupnya tanpa
memberatkan kerja jantung, mencegah atau menghilangkan penimbunan garam atau air.
—Syarat-syarat diet penyakit jantung antara lain: energi yang cukup untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan normal, protein yang cukup yaitu 0,8 gram/kgBB, lemak sedang
yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total (10% berasal dari lemak jenuh dan 15% lemak tidak
jenuh), Vitamin dan mineral cukup, diet rendah garam 2-3 gram perhari, makanan mudah cerna
dan tidakmenimbulkan gas, serat cukup untuk menghindari konstipasi, cairan cukup 2 liter
perhari. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan
berupa makanan enteral, parenteral atau sulemen gizi.
—Pengobatan anti radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam reumatik,
sedemikian baiknya sehingga respon yang cepat dari artritis terhadap salisilat dapat membantu
diagnosis. Pengobatan anti radang yang lebih kuat seperti steroid amat bermanfaat untuk
mengendalikan perikarditis dan gagal jantung pada karditis akut, tetapi tidak berpengaruh
terhadap sekuelejangka lama demam reumatik aktif, yaitu insiden penyakit jantung reumatik.
Respon yang baik terhadap steroid tidak berarti memperkuat diagnosis demam reumatik karena
kebanyakan artritis, termasuk artritis septik, berespon baik terhadap steroid, setidaknya pada
stadium awal.5,8
—Obat anti radang seperti salisilat dan steroid harus ditangguhkan bila atralgia atau artritis yang
meragukan merupakan satu-satunya manifestasi, terutama apabila diagnosis belum pasti.
Analgesik murni, seperti asetaminofen dapat digunakan karena dapat mengendalikan demam dan
membuat pasien merasa enak namun tidak sepenuhnya mengganggua perkembangan poliartritis
migrans. Munculnya poliartritis migrans yang khas dapat menyelesaikan masalah diagnosis.
Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis terbagi 2 minggu, dan
75 mg/kgBB/hari selama 2 samapi 6 minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih
besar.
—Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung, aspirin seringkali
tidak cukup mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardi. Pasien ini harus ditangani
dengan steroid, prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan
dosis terbagi, maksimum 80 mg/hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, tetapi harus
dimulai dengan metil prednisolon intravena (10 sampai 40 mg), diikuti dengan prednison oral.
Sesudah 2 sampai 3 minggu prednison dapat dikurangi bertahap dengan pengurangan dosis
harian sebanyak 5 mg setiap 2 samapi 3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75
mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison
dihentikan. Terapi tumpang tindih ini dapat mengurangi insiden rebound klinis pasca terapi,
yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera setelah terapi dihentikan.Berikut merupakan
terapi anti radang yang dianjurkan untuk mengendalikan manifestasi demam rematik.8
Tabel 2.5 Obat anti radang yang dianjurkan pada demam reumatik8,9
Tabel 2.5 Obat anti radang yang dianjurkan pada demam reumatik8,9
—Penatalaksanaan demam reumatik dan reaktivasi penyakit jantung reumatik seperti pada tabel
di bawah ini :6
Tabel 2.6 Tatalaksana demam reumatik dengan reaktivasi penyakit jantung reumatik
Manifestasi Klinis Tirah baring Obat anti Kegiatan
inflamasi
Artritis Total : 2 Minggu Asetosal Masuk sekolah
setelah 4 minggu,
Tanpa Karditis Mobilisasi 100 mg/kgBB bebas berolah raga
bertahap 2 Minggu
selama 2 minggu
75mg/kgBB
selama 4minggu
berikutnya
Artritis + Karditis tanpa Total 4 Minggu Asetosal Masuk sekolah
Kardiomegali setelah 2 minggu,
Mobilisasi 100 mg/kgBB bebas berolah
bertahap 4 minggu raga.
selama 2 minggu
75mg/kgBB
4mgg berikutnya
Artritis+kardiomegali Total 6 minggu Prednison Masuk sekolah
setelah 12
Mobilisasi 2mg/kgBB selama Minggu, jangan
bertahap 6 minggu 2 minggu, tap off olah raga berat
selama 2 minggu atau kompetitif
Asetosal
75 mg/kgBB
Mulai awal
minggu ke 3
selama 6 minggu.
Artritis+Kardiomegali+ Total selama Prednison Masuk sekolah
dekomp. Kordis setelah 12
Dekomp. Kordis mobilisasi 2mg/kgBB selama Minggu, dekom
bertahap 2 minggu, tap off teratasi selama 17
selama 2 minggu minggu dilarang
olah raga.
Asetosal
75 mg/kgBB
Mulai awal
minggu ke 3
selama 6 minggu.
5 tahun
Pengobatan Karditis
—Pengobatan karditis masih kontroversial, terutama untuk pemilihan pengobatan pasien dengan
aspirin atau harus steroid. Digitalis diberikan pada pasien dengan karditis yang berat dan gagal
jantung. Dosis digitalisasi total adalah 0,04-0,06 mg/kg dengan dosis maksimum 1,5 mg. Dosis
rumatnya adalah antara sepertiga sampai seperlima dosis digitalisasi total, diberikan dua kali
sehari. Pengobatan obat jantung alternatif dipertimbangkan bila pasien tidak berespon terhadap
digitalis.8
Pengobatan Korea
—Pada kasus korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus
berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat yang sering dipergunakan
adalah fenobarbital dan haloperidol. Keberhasilan obat ini bervariasi. Fenobarbital diberikan
dalam dosis 15 sampai 30 mg tiap 6 sampai 8 jam, bergantung pada respon klinis. Pada kasus
berat, kadang diperlukan 0,5 mg setiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea,
kecuali pada kasus yang sangat berat, dapat diberikan steroi
—Pengobatan rehabilitatif untuk pasien demam reumatik sesuai dengan derajat penyakitnya.
Untuk pasien demam reumatik derajat 1, kegiatan olahraga dapat dilakukan setelah 4 minggu
pulang perawatan di rumah sakit. Untuk derajat 2, kegiatan olahraga bukan kompetisi dapat
dilakukan setelah 8 minggu pulang perawatan di rumah sakit. Untuk derajat 3, kegiatan olahraga
bukan kompetisi dapat dilakukan setelah 12 minggu pulang dari rumah sakit. Sedangkan untuk
derajat 4 tidak boleh melakukan kegiatan olahraga.
a. Mitral stenosis
—Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit, tetapi
indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III ke atas. Intervensi dapat bersifat
bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau penggantian katup.
b. Insufisiensi Mitral
—Penentuan waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan katup pada penderita insufisiensi
mitral masih banyak diperdebatkan. Namun kebanyakan ahli sepakat bahwa tindakan bedah
hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi ventrikel kiri. Jika mobilitas katup masih baik,
mungkin bisa dilakukan perbaikan katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila daun katup kaku dan
terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan penggantian katup (mitral valve replacement). Katup
biologik (bioprotese) digunakan terutama digunakan untuk anak dibawah umur 20 tahun, wanita
muda yang masih menginginkan kehamilan dan penderita dengan kontra indiksi pemakaian obat-
obat antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork Shiley, St.Judge dan lain-lain, digunakan
untuk penderita lainnya dan diperlukan antikoagula untuk selamanya.
c. Stenosis Aorta
—Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan operatif. Pasien
tanpa gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta follow up untuk menentukan
kapan tindakan bedah dilakukan. Penanganan stenosis dengan pelebaran katup aorta memakai
balon mai diteliti. Pasien-pasien yang dipilih adalah pasien yang tidak memungkinkan dilakukan
penggantian katup karena usia, adanya penyakit lain yang berat, atau menunjukkan gejala yang
berat. Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75 mmHg harus dioperasi walaupun tanpa gejala.
Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan tekanan sistolik kurang dari 75 mmhg harus dikontrol setiap
6 bulan. Tindakan operatif harus dilaksanakan bila pasien menunjukkan gejala terjadi
pembesaran jantung, peningkatan tekanan sistolik aorta yang diukur denagn teknik doppler. Pada
pasien muda bisa dilakukan valvulotomi aorta sedangkan pada pasien tua membutuhkan
penggantian katup. Risiko operasi valvulotomi sangat kecil, 2% pada penggantian atup dan risiko
meningkat menjadi 4% bila disertai bedah pintas koroner. Pada pembesaran jantung dengan gaga
jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%. Pada pasien muda yang tidak bisa dilakukan valvulotomi
penggantian katup perlu dilakukan memakai katup sintetis. Ahli bedah bisa menggunakan katup
jaringan (Porsin/pericardial) untuk pasien-pasien lebih tua. Keuntungan katup jaringan ini adalah
kemungkinan tromboemboli jarang, tidak diperlukan antikoagulan, dan perburukan biasanya
lebih lambat bila dibandingkan dengan memakai katup sintetis.
d. Insufisiensi Aorta
—Pilihan utuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra indikasi untuk
koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup jaringan, baik porsin atau
miokardial mungkin tidak membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko
operasi kurang lebih 2% pada penderita insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner normal.
Sedangkan risiko operasi pada penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan pada
penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4 sampai 10%. Penderita dengan katup buatan
mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kisworo B. Demam Reumatik. Cermin Dunia Kedokteran. No 116. Jakarta. 1997
2. Chin Thomas & Wisley C. Reumatik Fever, http:// www.emedicine.com [ diakses
tanggal 20 September 2007]
3. Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : FKUI, 2002. 599-613.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta : FKUI, 1997.
734-758
5. Behrman. Kliegman. Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol 2. Jakarta : EGC, 2000.
929-935
6. Pusponegoro D hardiono. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1. Jakarta :
IDAI, 2004.149-153
7. Tambunan Taralan. Buku Panduan Tatalaksana & Prosedur Baku Pediatrik. Jakarta :
FKUI, 141-142
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.
307-313
9. Mansjoer Arif et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : FKUI, 2000.454-457
Posted in Ilmu Penyakit Dalam. Tags: Demam Reumatik, Hendra Asputra, M. Irwan,
Penatalaksanaan Demam Reumatik, T.Meidini Fitrani, yance warman. 7 Comments »