Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

HUBUNGAN GANGGUAN KEPRIBADIAN AMBANG DENGAN


GANGGUAN KEPRIBADIAN LAINYA

Disusun Oleh :

HENDRI PRASETYO (1102012113)

Pembimbing :
Dr. DESMIARTI Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN BEDAH


RSUD DR. SLAMET GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2017

BAB 1 PENDAHULUAN

Gangguan kepribadian ambang(Borderline Personality Disorder-BPD)


dicantumkan dalam DSM sebagai diagnosis resmi pada tahun 1980. Ciri-ciri utama
gangguan ini adalah impulsivitas, dan ketidakstabilan dalam hubungan dengan orang
lain dan mood(Sainslow ,Grilo ,dan McGlashan,2000). Gangguan kepribadian
ambang merupakan subtopic dari gangguan kepribadian yang digolongkan pada F6.

BAB II DASAR TEORI

2.1 GANGGUAN KEPRIBADIAN AMBANG


Bertindak impulsif tanpa mempertimbangkan dampaknya, afek atau emosinya
kurang stabil atau kurang pengendalian diri, dpat mengarah kepada ledakan amarah
atau perilaku kekerasan. Contohnya ,sikap dan perasaan terhadap orang lain dapat
berubah-ubah secara signifikan dan aneh dalam kurun waktu yang tidak lama.
Emosinya eratik dan dapat mendadak berubah total ,terutama dari idealisasi yang
penuh gelora menjadi kemarahan yang merendahkan. Pasien yang mengalami
gangguan kepribadian ambang memiliki karakter argumentasi ,mudah tersinggung
,sarkastik ,cepat menyerang ,dan secara keseluruhan sangat sulit untuk hidup bersama
mereka. Perilaku mereka tidak dapat diprediksi dan impulsif ,yang dapat mencakup
berjudi ,boros ,aktivitas seksual yang tidak pandang bulu ,penyalahgunaan zat ,dan
makan berlebihan berpotensi merusak diri sendiri.

Para individu tersebut tidak memiliki rasa diri yang jelas dan konsisten dan
tidak pernah memiliki kepastian dalam nilai-nilai, loyalitas ,dan pilihan karier mereka.
Mereka tidak tahan dalam kesendirian ,memiliki rasa takut diabaikan ,dan menuntut
perhatian. Mudah mengalami perasaan depresi dan persaan kosong yang kronis
,mereka sering kali mencoba bunuh diridan melakukan tindakan mutilasi diri
sendiri ,seperti mengikis kaki mereka dengan pisau silet. Simtom-simtom psikotik
sementara dan disosiatif dapat terjadi ketika mengalami stress yang berat.

Gangguan kepribadian ambang terjadi antara 2-3% dari populasi umum,


terutama ditemukan dalam pusat-pusat kesehatan klinis. Di Amerika sendiri dikatakan
sekitar 1% penduduknya mengalami gangguan kepribadian ambang. Gangguan
kepribadian jenis ini lebih sering terjadi pada wanita daripada pria: wanita
mempunyai kecenderungan 3 kali lebih rentan dibandingkan pria. Sampai saat ini
belum ada pasti di Indonesia, namun diperkirakan kejadian gangguan kepribadian
ambang cukup tinggi karena biasanya gangguan kepribadian ini ditandai oleh perilaku
agresif dan impulsif, yang biasanya banyak terdapat pada individu dengan perilaku
kekerasan. Hal ini dapat kita lihat sehari-hari dari berbagai laporan media. Pada
kebanyakan kasus, gangguan kepribadian ambang pertama kali ditemukan pada usia
akhir remaja; beberapa terjadi pada anak namun jarang terjadi pada dewasa di atas 40
tahun. Ganggguan kepribadian ambang pertama kali diperkenalkan oleh Kernberg
pada tahun 1975 sebagai suatu diagnosis pada sekelompok pasien dengan mekanisme
pertahanan yang primitif dan objek relasi internal yang patologis. Pada banyak
kepustakaan, gangguan kepribadian ambang dahulu sering dianggap sebagai batasan
antarapsikosisdanneurosis.

Setelah mengkaji literatur penelitian yang ada dan berbagai studi wawancara
terhadap para individu yang didiagnosa memiliki kepribadian ambang,Gunderson
,Kolb ,dan Austin (1981) menyusun serangkaian kriteria diagnostik spesifik yang
sama dengan yang dicantumkan dalam DSM-III.sumber kriteria diagnostik yang
kedua adalah studi terhadap para kerabat pasien skizofrenia yang dilakukan oleh
Spitzer dkk.(1979)

Kriteria Gangguan Kepribadian Ambang dalam DSM-IV-TR

Berupaya keras untuk mencegah agar tidak diabaikan,terlepas benar-benar


diabaikan atau hanya dalam bayangannya
Ketidakstabilan dan intensitas ekstrem dalam hubungan interpersonal
,ditandai dengan perpecahan, yaitu mengidealkan orang lain dalam satu
waktu dan beberapa waktu kemudian menistakannya
Rasa diri(sense of self) yang tidak stabil
Perilaku impulsif termasuk sangat boros dan perilaku seksual yang tidak
pantas
Perilaku bunuh diri(baik hanya berupa sinyal maupun sungguh-sungguh
mencoba) dan mutilasi diri yang berulang
Kelabilan emosional ekstrem
Perasaan kosong yang kronis
Sangat sulit mengendalikan kemarahan
Pikiran paranoid dan simtom-simtom disosiatif yang dipicu oleh stress

Gangguan kepribadian ambang umumnya bermula pada masa remaja atau


dewasa awal ,dengan prevlensi sekitar 1 persen ,dan lebih banyak terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki( Swartz dkk 1990 ; Torgensen ,Kringlen dan Cramer ,
2001)

Beberapa data menunjukkan adanya kelemahan fungsi lobus frontalis ,yang


sering kali diduga berperan dalam perilaku impulsif. Sebagai contoh para pasien
dengan gangguan kepribadian ambang mendapatkan hasil buruk dalam tes-tes
neurologi terhadap fungsi lobus frontalis, dan mereka memiliki kadar metabolisme
glukosa yang rendah pada lobus frontalis( Goyer dkk,2001a). Dalam alur yang
sama ,para pasien dengan gangguan kepribadian ambang mengalami peningkatan
aktivitas amigdala ,suatu struktur dalam otak yang dianggap sangat penting dalam
pengaturan emosi ( Herpetz dkk ,2001a). Meningkatnya aktivitas amigdala dapat
sangat relevan dengan emosi intens yang dialami para pasien ambang.

Bila pasien ambang diberi obat untuk mengaktivasi sistem serotonin dalam otak,
mereka menunjukkan respon yang lebih kecil daripada kelompok kontrol ( Soloff
dkk., 2000 ). Hal ini dapat mengindikasikan bahwa sistem serotonin pada pasien
ambang sulit di aktivasi.

Teori Objek-Hubungan (Object Relations Theory) sebuah varian penting teori


psikoanalisis ,membicarakan tentang cara anak-anak menyerap (atau mengintroyeksi)
nilai-nilai dan citra orang-orang penting, misalnya orang tua mereka. Dengan kata
lain, fokusnya adalah pada cara anak-anak mengidentifikasi diri dengan orang-orang
yang memiliki kelekatan emosional kuat dengan mereka.
Para teoris objek-hubungan mengemukakan hipotesis bahwa orang bereaksi
terhadap dunia melalui perspektif orang-orang penting di masa lalunya ,terutama
orang tua atau pengasuh utama. Teori objek-hubungan yang terkemuka adalah Otto
Kernberg ,yang telah sangat banyak menulis tentang kepribadian ambang.
Kernberg (1985) berpendapat bahwa pengalaman masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan-contohnya, memiliki orang tua yang memberikan kasih sayang dan
perhatian yang tidak konsisten ,mungkin memberikan pujian atas prestasi ,namun
tidak mampu memberikan dukungan emosional dan kehangatan. Menyebabkan anak-
anak mengembangkan ego yang tidak merasa aman ,sebuah ciri utama gangguan
kepribadian ambang.
Walaupun pasien gangguan ini tetap memiliki hubungan dengan kenyataan
,mereka sering kali melakukan mekanisme pertahanan yang disebut pembelahan-
mendikotomikan objek menjadi sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk dan tidak
mampu memadukan aspek positif dan negatif pada orang lain atau diri sendiri menjadi
keutuhan. Kecenderungan ini menyebabkan kesulitan ekstrem untuk mengendalikan
emosi karena pasien ambang memandang dunia ,termasuk dirinya sendiri ,secara
hitam putih.
Teori Diathesis-Stress Linehan Linehan berpendapat bahwa gangguan
kepribadian ambang terjadi bila orang memilki diathesis biologis ( kemungkinan
genetik) berupa kesulitan mengendalikan emosi dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang menginvalidasi. Yaitu, suatu diathesis yang disebutnya disregulasi
emosional dapat berinteraksi dengan berbagai pengalaman yang menginvalidasi si
anak yang sedang berkembang-mendorong berkembangnya kepribadian ambang.
Lingkungan yang menginvalidasi adalah lingkungan dimana keinginan dan
perasaan seseorang tidak dipertimbangkan dan tidak dihargai; nenrbagai upaya untuk
mengomunikasikan perasaan tidak terima atau bahkan dihukum. Bentuk invalidasi
ekstrem adalah penyiksaan anak, seksual, dan non-seksual.
Sebuah bukti penting tentang teori Linehan berkaitan dengan penyiksaan fisik
dan seksual dimasa kanak-kanak. Penyiksaan semacam itu diyakini lebih sering
terjadi pada kalangan orang-orang yang mengalami gangguan kepribadian ambang
dibanding dikalangan orang-orang yang didiagnosis menderita sebagian besar
gangguan lain (Herman dkk., 1989; Wagner ,Linehan, & Wasson, 1989). Mengingat
sering terjadinya simtom-simtom disosiatif dalam kepribadian ambang ,kita dapat
berspekulasi bahwa dua gangguan tersebut bisa saja berhubungan dan bahwa
dissosiasi dalam kedua gangguan tersebut disebabkan oleh stress ekstrem yang terjadi
karena penyiksaan pada masa kanak-kanak.
deD irasem
odD nakguliosre silpad a
L erhatikosnlgd nalk nak
dipyaem s tuandlrgsy lam
ketunB d
orad rangipehtu atiku n Inv alids kelu arg
oIn elarngvphum
m o uitadskm
ngbl tau
tuph ntuegakm tanbiu atun

2.2 HUBUNGAN GANGGUAN KEPRIBADIAN AMBANG DENGAN


GANGGUAN KEPRIBADIAN LAINYA LAINYA

Beberapa literatur terbaru saat ini menunjukkan bahwa komorbiditas gangguan


kepribadian (personality disorder) secara negatif berpengaruh terhadap tingkat
keparahan dan prognosis jenis gangguan lainnya. Akan tetapi, terdapat sejumlah kecil
literatur yang ditujukan khusus untuk menunjukkan pengaruh komorbiditas gangguan
kepribadian terhadap gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality
disorder). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari komorbiditas dengan
gangguan kepribadian lainnya pada sampel klinis pasien BPD yang parah, dan
hubungannya dengan fungsionalitas global.
Terdapat 65 orang pasien dengan gangguan kepribadian ambang (BPD /
borderline personality disorder) parah yang terlibat dalam sampel penelitian ini.
Penanganan klinis dan fungsional diterapkan untuk mempelajari komorbiditas
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) dengan
gangguan lain dan hubungannya dengan fungsionalitas. Hubungan dengan
komorbiditas PD (personality disorder) lainnya dianalisis dengan menggunakan uji-t
dan korelasi linier.
Sebagian besar pasien (87%) menunjukkan adanya komorbiditas dengan PD
(personality disorder) lainnya. Hampir setengah dari sampel penelitian (42%)
menunjukkan lebih dari dua jenis PD (personality disorder), dan PD (personality
disorder) pada kluster A (paranoid) dan C (obsesif dan menghindar / avoidant) lebih
sering terjadi daripada di kelompok B (histrionik dan anti-sosial). Hanya saja,
keberadaan PD (personality disorder) menghindar / avoidant menunjukkan perkiraan
hasil fungsional yang lebih buruk dalam jangka panjang (U Mann Withney p <0,01).
Gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) tertera
dalam axis II dari DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders-Revised version) edisi revisi dan di Bagian II dari Gangguan Kepribadian
(Kluster B) dari DSM-5 yang terbaru. BPD didefinisikan sebagai kondisi mental yang
parah yang ditandai dengan ketidakstabilan afektif yang sangat disfungsional, perilaku
impulsif, kecenderungan melukai diri sendiri maupun hubungan interpersonal yang
tidak stabil. Prevalensi BPD pada populasi umum ialah antara 3% dan 7%. Gangguan
kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) meliputi hampir 26%
gangguan kepribadian serta menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi
selama masa dewasa muda.
Karena kompleksitas gangguan ini, seringkali terjadi kesalahan dalam
diagnosis gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder).
Komorbiditas dengan gangguan axis I dan II merupakan beberapa faktor yang
menyebabkan kesalahan dalam diagnosis diferensial dan misdiagnosis dengan
gangguan mental maupun gangguan kepribadian lainnya (terutama gangguan
kepribadian anti-sosial dan bipolar)
Terdapat komorbiditas yang tinggi di antara gangguan kepribadian dan seluruh
sub-tipe gangguan kecemasan (mulai dari 35% pada PTSD hingga 52% pada OCD)
dan gangguan mood / suasana hati (lebih dari 90%) . Komorbiditas axis II nampaknya
secara negatif mempengaruhi jalannya serta prognosis gangguan axis I yang telah
disebutkan sebelumnya dan dapat menjadi faktor risiko untuk tingkat keparahan
depresi17. Demikian pula, gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline
personality disorder) biasanya memiliki komorbiditas dengan gangguan axis I,
khususnya kegelisahan, gangguan mood / suasana hati, serta gangguan
penyalahgunaan obat. Di antara berbagai gangguan kepribadian, gangguan
kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) dan gangguan
kepribadian skizoid (SPD / schizotypal personality disorder) memiliki tingkat
komorbiditas yang lebih besar dengan gangguan axis I, apabila dibandingkan dengan
gangguan kepribadian lainnya.
Mengingat bahwa axis komorbiditas I berpengaruh terhadap hasil fungsional
pasien dengan gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality
disorder), pengaruh serupa dapat diharapkan untuk komorbiditas axis II pada pasien
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder). Faktanya,
jika komorbiditas axis II telah terbukti berpengaruh negatif terhadap tingkat
keparahan dan prognosis gangguan axis I, seharusnya hal tersebut juga diharapkan
berpengaruh negatif terhadap hasil terapi gangguan kepribadian ambang (BPD /
borderline personality disorder). Mengingat kurangnya penelitian yang menyelidiki
hubungan tersebut sejak tahun 1998, penelitian ini dirancang untuk secara khusus
menyelidiki peran komorbiditas axis II di tingkat fungsi sampel pasien yang
menunjukkan gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder)
parah
Terdapat sebanyak 65 orang pasien dengan diagnosis gangguan kepribadian
ambang (BPD / borderline personality disorder) parah sesuai kriteria DSM-IV-TR
yang diukur melalui SCID-II yang merupakan sampel penelitian ini. Seluruh peserta
direkrut dari rumah sakit day-care khusus untuk gangguan kepribadian. Sampel
diambil dari pasien parah yang dikirim ke rumah sakit day-care untuk mendapatkan
perawatan psikososial intensif setelah gagalnya upaya penanganan di pusat kesehatan
mental sebelumnya. Semua pasien menghadiri sesi penanganan di rumah sakit day-
care untuk gangguan kepribadian, termasuk sesi terapi mental selama dua mingguan,
terapi perilaku dialektis, terapi okupasional, terapi psikososial, serta sesi perawatan
dan sesi individu mingguan berdasarkan terapi fokus transferensi.
Kriteria inklusi untuk penelitian ini meliputi: 1) Usia 18-53 tahun; 2) Nilai
CGI-BPD (Clinical Global Impression - Borderline Personality Disorder) di atas 4;
dan 3) Skor GAF (Global Assessment Functioning) di bawah 60.
Kriteria eksklusi meliputi:
1) Kondisi fisik yang parah, seperti sindrom otak organik atau penyakit
neurologis;
2) IQ di bawah 85;
3) Saat ini menunjukkan gangguan depresi parah (MDD / major depressive
disorder) atau penyalahgunaan obat; dan
4) Diagnosis skizofrenia atau gangguan bipolar seumur hidup.
Seluruh subjek menerima informasi tentang penelitian ini dan menerima surat
izin tertulis sebelum didaftarkan sebagai bagian dari penelitian.
Evaluasi lintas seksi terhadap gangguan kepribadian dan fitur kepribadian
dilakukan oleh psikiater dan psikolog berpengalaman (berkisar antara 8-40 tahun
pengalaman) di awal sebelum proses penanganan dimulai:
a) Wawancara diagnostik:
- Wawancara Klinis Terstruktur untuk Gangguan Kepribadian DSM-IV Axis II
(SCID-II) merupakan wawancara semi terstruktur untuk membuat diagnosis
Gangguan Kepribadian DSM-IV Axis II .
- Wawancara Diagnostik yang Direvisi untuk Gangguan Kepribadian Ambang /
Borderline (DIB-R) merupakan uji diagnosis yang mengidentifikasi empat pola
perilaku yang khas pada gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality
disorder): pengabaian (abandonment), penelanan (engulfment), ketakutan akan
pemusnahan (annihilation fears); penuntutan dan keistimewaan (demandingness and
entitlement); regresi pengobatan; serta kemampuan untuk meningkatkan hubungan
penanganan dengan kedekatan yang tidak tepat atau berlawanan.
b) Tingkat keparahan klinis dan penilaian fungsi:
- Skala CGI-BPD (Clinical Global Impression Scale for BPD) merupakan adaptasi
skala CGI yang dirancang untuk menilai perubahan tingkat keparahan dan pasca-
intervensi pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline
personality disorder).
- Skala GAF (Global Assessment Functioning) memberikan penilaian klinis terhadap
tingkat fungsi keseluruhan individu, termasuk fungsi psikologis, social, dan pekerjaan
/ sekolah.
c) Penilaian Kepribadian Dimensional:
- Kuesioner Kepribadian Zuckerman-Kuhlman (ZKPQ / Zuckerman-Kuhlman
Personality Questionnaire) mengukur konstelasi ciri kepribadian: keramahan
(sociability), neurotisme-kecemasan, pencarian sensasional impulsif, agresi-
permusuhan, dan aktivitas.
- BIS (Barulul Impulsivity Scale) merupakan kuesioner yang dirancang untuk menilai
konstruksi kepribadian / perilaku impulsif.
d) Variabel klinis:
- HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) mengukur tingkat keparahan gejala
kecemasan. Skala ini terdiri dari 14 item serta mengukur kecemasan psikis dan
kecemasan somatik.
- MADRS (Montgomery-Asberg Depression Rating Scale) merupakan wawancara
semi-terstruktur yang dirancang untuk mengukur tingkat keparahan gejala depresi.
Sebuah protokol sosio-demografi yang ditambahkan meliputi durasi penyakit,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan riwayat perawatan
farmakologis. Nilai GAF (Global Assessment of Functioning) dan CGI-BPD (Clinical
Global Impression - Borderline Personality Disorder) dipilih sebagai standar
pengukuran hasil utama serta diukur pada awal dan setelah 6 bulan menjalani
perawatan di rumah sakit day-care. penelitian ini dilakukan sesuai dengan prinsip
etika Deklarasi Helsinki. Penelitian ini telah mendapatkan izin dari Komite Etik
Rumah Sakit Clinico San Carlos.

Analisis Statistik
Seluruh analisis dilakukan dengan menggunakan aplikasi Stata / SE12.0
(StataCorp, 2011). Seluruh hipotesis diuji dengan tingkat signifikansi dua sisi sebesar
0,05. Statistik deskriptif untuk data kategoris dilaporkan berupa persentase (N) dan
ringkasan data kontinyu yang dilaporkan sebagai rata-rata () dan standar deviasi
(SD).
Analisis variabel klinis yang terkait dengan gangguan kepribadian komorbid
axis II secara spesifik dievaluasi dengan menggunakan uji coba beberapa
perbandingan. Analisis kuantitatif dari hasil yang terkait dengan setiap dimensi
kepribadian (jumlah kriteria yang terpenuhi untuk setiap gangguan kepribadian)
dihitung dengan menggunakan uji korelasi linier. Tidak ada penyesuaian yang
dilakukan pada tingkat signifikansi statistik.

Hasil
Terdapat sebanyak 65 orang peserta yang dievaluasi dalam penelitian ini.
Berdasarkan jenis kelamin sampel, 75% (n = 49) adalah perempuan dan 25% (n = 16)
adalah laki-laki, (usia rata-rata 31, dengan standar deviasi 7 tahun) (Tabel 1).
Sebagian besar pasien (58%) tidak aktif secara fungsional pada saat awal penelitian
(18% siswa gagal, 18% telah cuti sakit dalam jangka panjang, dan 22% menganggur).
Tingkat keparahan klinis rata-rata sampel termasuk tinggi (skor CGI-BPD > 4; =
4,9) dan tingkat fungsi psiko-sosial sangat rendah (skor GAF lebih rendah dari 60).
Hampir seluruh pasien (94%) (n = 61) mendapatkan resep obat: 87% (n = 53) dengan
anti-depresan, 69% (n = 42) dengan benzodiazepin, 54% (n = 33) dengan anti-
epileptik, dan 54% (n = 33) dengan anti-psikotik (Tabel 1).
Tidak ada perbedaan distribusi usia maupun jenis kelamin yang ditemukan di
antara gangguan kepribadian komorbid yang berbeda, kecuali gangguan kepribadian
narsistik, dengan prevalensi yang lebih besar pada pria (p <.05).
Hanya 8 orang subjek yang memiliki diagnosis gangguan kepribadian ambang
(BPD / borderline personality disorder) tanpa gangguan kepribadian komorbid lain.
Sampel penelitian selebihnya (n = 57) memiliki setidaknya satu gangguan kepribadian
komorbid, dengan 48% sampel menunjukkan antara 2 dan 4 gangguan kepribadian
komorbid. Karena wawancara yang dilakukan untuk diagnosis dan gangguan
kepribadian komorb merupakan wawancara SCID-II, gangguan kepribadian depresif
dan pasif-agresif juga disertakan dalam penelitian ini demi kelengkapan, meskipun
tidak lagi disertakan dalam DSM-V. Komorbiditas axis II yang paling sering terjadi
pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality
disorder) merupakan gangguan kepribadian depresif (64%; n = 42) (Tabel 1). Di sisi
lain, gangguan kepribadian schizotipal adalah gangguan kepribadian komorbid yang
paling jarang muncul (5%; n = 3).
Terdapat asosiasi statistik antara kriteria diagnostik beberapa gangguan
kepribadian. Uji korelasi Spearman menunjukkan adanya korelasi signifikan secara
statistik antara jumlah kriteria schizotypal dan jumlah kriteria gangguan kepribadian
yang menghindar (avoidant) (r = .59; p = .05) dan paranoid (r = .58; p = .05) (Tabel 2)
Kriteria kepribadian depresif muncul secara signifikan memiliki korelasi
dengan ciri gangguan kepribadian dependen (r = 31), menghindar (avoidant) (r = 44),
schizotypal (r = 36), skizoid (r = 43), dan paranoid (r = 38), namun tidak dengan
gangguan kepribadian lainnya. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, fitur
kepribadian menghindar (avoidant) dan obsesif juga berkorelasi secara signifikan
dengan ciri skizoid, schizotypal, dan paranoid. Sebaliknya, kriteria kluster B tidak
berhubungan dengan fitur kepribadian kluster C maupun kluster A.
Jumlah gangguan kepribadian komorbid pada setiap pasien secara signifikan
terkait dengan tingkat keparahan beberapa dimensi klinis. Oleh karena itu, uji tren P
menunjukkan bahwa gangguan kepribadian komorbid lebih banyak memprediksi nilai
depresi (p <.001) dan kegelisahan (p <.05) yang lebih tinggi, serta tingkat keramahan
(sociability) yang lebih rendah dalam skor ZKPQ untuk keramahan (sociability) (p
<.05) (seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3).
Uji U Mann-Whitney digunakan untuk mempelajari perbedaan klinis yang
terkait dengan adanya masing-masing gangguan kepribadian komorb spesifik.
Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4, yakni bagaimana pasien dengan gangguan
kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) komorbid OCPD
(obsessive compulsive personality disorder) menunjukkan fungsi yang secara
signifikan lebih baik yang diukur dengan skala GAF dan tingkat keparahan yang lebih
rendah pada skala klinis CGI-BPD daripada sampel pasien lainnya pada tahap
evaluasi awal penelitian. Sebaliknya, gangguan kepribadian histrionik komorbid
memprediksi fungsi global lebih rendah dan tingkat keparahan klinis yang lebih besar
pada awal (p = 0,01 dan p = 0,02). Namun, pasien dengan OCPD (obsessive
compulsive personality disorder) komorbid menunjukkan peningkatan fungsional
yang kurang secara signifikan selama periode penanganan enam bulan dibandingkan
pasien tanpa OCPD (obsessive compulsive personality disorder). Sebaliknya, pasien
dengan gangguan kepribadian histrionik komorbid menunjukkan peningkatan
fungsional yang jauh lebih tinggi daripada yang lainnya. Pada akhir penelitian,
peningkatan fungsional yang jauh lebih buruk, sebagaimana yang ditunjukkan oleh
skor GAF, ditemukan pada pasien dengan gangguan kepribadian menghindar
(avoidant) komorbid, apabila dibandingkan dengan pasien yang lainnya.
BAB III KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa gangguan kepribadian ambang memiliki keterikatan
dengan gangguan kepribadian lainya. Pasien gangguan kepribadian ambang (BPD /
borderline personality disorder) dengan gangguan parah menunjukkan komorbiditas
yang lebih besar pada kelompok PD (personality disorder) kluster A dan C.
Komorbiditas gangguan kepribadian menghindar mungkin menimbulkan prediksi
negatif untuk prognosis.
Hubungan komorbiditas axis II pada hasil fungsional dan klinis pasien dengan
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) parah. Seperti
yang ditunjukkan dalam penelitian sebelumnya, gangguan fungsional pada pasien
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) sebagian besar
terkait dengan tingkat keparahan gejala inti gangguan kepribadian tersebut, seperti
ketidakstabilan afektif dan perilaku impulsif. Meski demikian, gagasan bahwa fungsi
global gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) secara
jangka panjang dapat dikaitkan tidak hanya dengan gejala gangguan kepribadian
ambang (BPD / borderline personality disorder), namun juga dengan ciri dan kriteria
PD lainnya yang telah meningkat dalam penelitian sebelumnya.
Mayoritas pasien dalam penelitian ini menunjukkan lebih dari dua diagnosis
axis II yang mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) biasanya
didiagnosis dalam hubungan komorbid dengan gangguan kepribadian lainnya. Hanya
8 orang pasien yang menunjukkan gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline
personality disorder) tanpa gangguan kepribadian kepribadian komorbid. Hal tersebut
mencerminkan adanya kesulitan diagnosis dalam gangguan kepribadian khusus ini.
Akan tetapi, hasil penelitian kami bertentangan dengan hasil penelitian
sebelumnya yang menunjukkan bahwa gangguan yang paling umum terkait dengan
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) adalah
gangguan kepribadian anti-sosial dan dependen. Kelainan kepribadian komorbid yang
paling sering terjadi pada sampel kami adalah gangguan kepribadian depresif dan
paranoid. Gangguan kepribadian menghindar (avoidant) dan OCPD (obsessive
compulsive personality disorder) secara signifikan lebih sering muncul daripada
komorbid gangguan kepribadian kluster B seperti histrionik, narsisistik, dan anti-
sosial. Temuan yang berbeda dapat dijelaskan oleh karakteristik sampel tertentu dalam
penelitian kami: pasien kami direkrut dari rumah sakit day-care yang menerima
pasien dengan gangguan fungsi otak yang parah dari pusat kesehatan mental. Oleh
karena itu, sampel penelitian kami kemungkinan mewakili sub-kelompok pasien
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) dengan
disfungsi interpersonal dan profesional yang parah, yang tidak dapat diekstrapolasikan
ke populasi pasien gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality
disorder) yang lebih besar. Akibatnya, over-presentasi fitur komorbid dari kluster A
dan kluster C dapat dikaitkan dengan penurunan fungsional yang lebih besar pada
subjek gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder).
Di antara pasien-pasien kami, dua gangguan kepribadian komorbid, OCPD
(obsessive compulsive personality disorder), dan gangguan kepribadian histrionik
memiliki hubungan yang signifikan dengan hasil yang fungsional. Pasien gangguan
kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) dengan OCPD
(obsessive compulsive personality disorder) komorbid memiliki tingkat GAF yang
jauh lebih tinggi daripada pada pasien tanpa OCPD (obsessive compulsive personality
disorder) dan dibandingkan pasien dengan gangguan kepribadian lainnya. Namun,
OCPD (obsessive compulsive personality disorder) dikaitkan dengan adanya sedikit
perbaikan selama perawatan. Tingkat fungsional yang lebih tinggi pada penilaian awal
dapat dijelaskan oleh peningkatan internalisasi dan kontrol perilaku yang ditunjukkan
oleh ciri kepribadian obsesif pada pasien tersebut dibandingkan dengan pasien
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) lainnya yang
menunjukkan ketidakstabilan dan perilaku impulsif eksternal yang luar biasa.
Gangguan kepribadian histrionik tampaknya lebih parah dan disfungsional pada
penilaian awal dalam penelitian kami, meskipun di lain pihak pasien dengan
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) komorbid
mengalami peningkatan fungsional lebih besar daripada gangguan yang lain selama
penanganan. Fenomenologi kepribadian histrionik mungkin dapat menjelaskan
temuan ini karena subjek histrionik biasanya menunjukkan disfungsi interpersonal
dan perilaku yang parah dalam konteks mengenai apa yang mereka anggap sebagai
lingkungan yang tidak baik dan tidak berhati-hati, seperti yang terjadi pada kunjungan
diagnostik awal. Seiring kemajuan metode penanganan, keterikatan yang lebih stabil
dan percaya diri dengan pasien akhirnya dapat tercapai, yang menyebabkan
peningkatan perilaku dan pengaruh yang substansial pada pasien histrionik.
Gangguan kepribadian menghindar (avoidant) merupakan faktor kepribadian
komorbid yang terkait dengan hasil fungsional yang lebih buruk setelah enam bulan
penanganan, yang sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang mengklaim adanya
perhatian khusus untuk pasien gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline
personality disorder) dan komorbid gangguan kepribadian menghindar (avoidant) dan
OCPD (obsessive compulsive personality disorder).
Penghindaran narsisistik (narcissistic avoidance) seringkali terjadi pada
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) dan terkait
erat dengan difusi identitas pada pasien-pasien tersebut. Subjek penghindaran
narsisistik (narcissistic avoidance) mungkin mengalami kesulitan lebih besar dalam
memiliki perasaan self-directedness sehingga kesulitan untuk terlibat dalam aktivitas
dan hubungan interpersonal.
Sejalan dengan penelitian sebelumnya tentang komorbiditas axis II, hanya
gejala depresi yang nampak memiliki keterkaitan dengan karakteristik kepribadian
tertentu dalam penelitian kami, terutama dengan gangguan kepribadian dependen,
skizoid, dan depresi. Sebuah studi baru-baru ini melaporkan bahwa depresi atipikal
muncul pada lebih dari 27% pasien gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline
personality disorder) yang diteliti, yang menunjukkan bahwa depresi adalah gejala
mendasar pada gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality
disorder) yang sering disalahartikan sebagai gangguan kepribadian depresi. Dalam
sampel kami, pasien yang memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian depresif
menunjukkan keadaan depresi yang terus-menerus selama beberapa tahun namun
tidak memenuhi kriteria untuk episode depresi berat. Meskipun demikian, seringkali
sangat sulit untuk menarik batasan antara keadaan kronis dari depresi atipikal dan
fitur kepribadian depresi sehingga kita harus berhati-hati sebelum menafsirkan bahwa
mayoritas pasien gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality
disorder) menunjukkan kepribadian depresi yang komorbid. Depresi mempengaruhi
fungsional secara signifikan dengan cara mengurangi motivasi dan self-directedness,
serta meningkatkan rasa takut dan insekuritas dalam hubungan interpersonal.
Meskipun komorbiditas gangguan kepribadian yang paling umum di gangguan
kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) dalam sampel kami
merupakan gangguan kepribadian depresi dan paranoid secara terpisah, yang diikuti
oleh gangguan kepribadian menghindar (avoidant) dan obsesif, dengan kombinasi
dari dua atau lebih gangguan kepribadian yang tidak mengikuti pola apapun. Hampir
setiap pasien tampaknya memiliki kombinasi gangguan kepribadian yang berbeda (51
kombinasi gangguan kepribadian yang berbeda ditemukan pada 66 subjek dalam
sampel penelitian).
Ukuran sampel bisa menjadi batasan bagi kesimpulan penelitian ini, karena
sejumlah besar pasien dapat membantu menemukan asosiasi yang lebih signifikan.
Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan gambaran patologi axis II pasien gangguan
kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) di rumah sakit jiwa
maupun rumah sakit. Hal tersebut tidak bertujuan untuk menunjukkan hubungan
sebab akibat secara langsung antara komorbiditas dengan evaluasi klinis dan
kepribadian, namun hanya mencoba untuk mengeksplorasi frekuensi komorbiditas
dan penilaian klinis dari axis II yang berbeda. Untuk alasan itulah, berdasarkan sudut
pandang statistik, terdapat beberapa koreksi perbandingan yang tidak diterapkan
terhadap perbedaan yang muncul.
Terlepas dari adanya keterbatasan tersebut, hasil penelitian ini merefleksikan
temuan eksplorasi klinis secara terperinci yang dilakukan oleh psikiater klinis
berpengalaman, dengan pasien gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline
personality disorder) parah rawat jalan di rumah sakit yang menyediakan informasi
klinis yang dapat dievaluasi secara menyeluruh dalam jangka panjang. Berbeda
dengan studi komorbiditas lainnya yang didasarkan pada satu administrasi tunggal
SCID II, penelitian kami kali ini berdasarkan pada pengamatan klinis secara terus-
menerus, yang meningkatkan tingkat akurasi dan reliabilitas diagnosis axis II.
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki komorbiditas gangguan kepribadian
ambang (BPD / borderline personality disorder) dan gangguan kepribadian lainnya,
serta hubungan antara tingkat keparahan dan fungsi pada sampel pasien gangguan
kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) parah yang didapatkan
dari rumah sakit rehabilitasi. Gangguan kepribadian Kluster A dan C terlalu banyak
terwakili dalam sampel, apabila dibandingkan dengan penelitian pada pasien
gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline personality disorder) yang tidak
begitu parah, yang menunjukkan bahwa kelainan tersebut berkaitan dengan kerusakan
fungsional yang lebih besar pada gangguan kepribadian ambang (BPD / borderline
personality disorder). Sebaliknya, ciri-ciri histrionik hampir tidak terwakili dalam
sampel ini dan memprediksi kemanjuran penanganan yang lebih baik secara jangka
panjang. Penelitian ini mendukung bukti bahwa gangguan kepribadian ambang
(BPD / borderline personality disorder) tidak hanya heterogen untuk presentasi klinis,
namun juga untuk fitur kepribadian yang mendasar yang mempengaruhi gaya
interpersonal dan fungsional global.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (4th ed., text rev.). Washington, DC: American Psychiatric
Association; 2000.

2. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental


disorders, 5th ed. Washington, DC: American Psychiatric Association; 2013.

3. Coid J. Epidemiology, public health and the problem of personality disorder. Br J


psychiatry Supplement. 2003 Jan;44:S310.

4. Ekselius L, Tillfors M, Furmark T, Fredrikson M. Personality disorders in the


general population: DSM-IV and ICD-10 defined prevalence as related to
sociodemographic profile. Personality and Individual Differences.
2001;30:311-20.

5. Torgersen S, Kringlen E, Cramer V. The prevalence of personality disorders in a


community sample. Arch Gen Psychiatry. 2001 Jun;58(6):590-6.

6. Skodol AE, Gunderson JG, Shea MT, McGlashan TH, Morey LC, Sanislow CA,
et al. The Collaborative Longitudinal Personality Disorders Study (CLPS):
overview and implications. J Pers Disord. 2005 Oct;19(5):487-504.

7. Gunderson JG, Stout RL, McGlashan TH, Shea MT, Morey LC, Grilo CM, et al.
Ten-year course of borderline personality disorder: psychopathology and
function from the Collaborative Longitudinal Personality Disorders study.
Arch Gen Psychiatry. 2011 Aug;68(8):827-37.

8. Zimmerman M, Mattia JI. Psychiatric diagnosis in clinical practice: is


comorbidity being missed? Compr Psychiatry. 1999;40(3):182-91.

Anda mungkin juga menyukai