Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan tutorial yang berjudul “Trauma
Kepala ” tepat pada waktunya. Tugas ini dibuat dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik.
Tugas ini juga merupakan salah satu bentuk pembelajaran dan peningkatan pemahaman
terhadap kasus dalam bidang neurologi yang ditemukan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan teman-teman yang telah
memberikan dukungan terhadap tugas ini. Terima kasih juga kepada selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga tugas ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini masih banyak
kekurangan. Karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Terima kasih

Mataram, 23 Mei 2020


BAB I

PENDAHULUAN

Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang paling sering dijumpai pada
neuromuskuler junction dengan perkiraan prevalensi di seluruh dunia antara 15 dan 179 per
juta orang. MG menyebabkan kelemahan yang berfluktuasi dan akan memburuk dengan
aktivitas seiring berjalannya waktu, dengan gejala tersering berupa kelemahan otot ocular
yang menyebabkan ptosis dan diplopia. Pada 15% pasien, kelemahan otot-otot pernapasan
yang mengancam jiwa dapat terjadi, yang disebut krisis miastenia. Gejala okular adalah
gejala yang paling umum, dengan sekitar dua pertiga pasien berprogresif menyebar secara
general ke bagian lainnya biasanya dalam 2 tahun pertama. Diagnosis didasarkan pada
riwayat klinis dan pemeriksaan neurologis dan dikonfirmasi oleh tes elektrodiagnostik dan
adanya autoantibodi serum yang diarahkan pada protein di neuromuskuler junction. Sebagian
besar pasien dengan MG General (-85%) dan MG okular murni (-50%) akan memiliki
antibodi terhadap reseptor nikotinik asetilkolin (AChR) di otot rangka. Tambahan 8% -10%
pasien dengan penyakit general memiliki antibodi terhadap reseptor tirosin kinase spesifik
otot (MuSK), suatu enzim yang terlibat dalam pengelompokan reseptor asetilkolin dalam
celah sinaptik. Kebanyakan pasien merespon dengan baik terhadap terapi imunosupresif,
termasuk prednison dan imunosupresan seperti azathioprine, cyclosporine, dan
mycophenolate mofetil. Zat penghambat kolinesterase memberikan kelegaan sementara dari
gejala tetapi tidak mengubah perjalanan penyakit. Sekitar 10% -15% pasien terdapat timoma
pada CT thorax dan akan mendapat manfaat dari timektomi, tetapi peran timektomi dalam
nonthymomatous MG saat ini sedang diselidiki. Untuk pasien dalam krisis myasthenic,
dengan penyakit parah yang tidak berespon terhadap terapi imunosupresif atau yang sedang
bersiap untuk thymectomy, plasmapheresis (PLEX) dan IV immunoglobulin (IVIg) dapat
digunakan untuk mencapai perbaikan yang cepat (Statland et al, 2013).

Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah polyradiculoneuropathy fulminan yang akut,


sering dengan gejala yang berat dan bersifat autoimun. GBS adalah penyebab paling umum
dari kelumpuhan umum akut atau subakut yang pada suatu waktu menyaingi polio dalam
frekuensinya. GBS juga dikenal sebagai sindrom Landry-Guillain-Barré-Strohl dan Acute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP). Insiden tahunan global
dilaporkan 0,6-2,4 kasus per 100.000 per tahun. Pria lebih sering terkena sekitar 1,5 kali dari
wanita. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah subtipe
yang paling umum terjadi di Amerika Utara dan Eropa mencakup sekitar 90% dari semua
kasus. Namun, di bagian lain dunia (Asia, Amerika Tengah dan Selatan) varian aksonal GBS
yaitu acute motor axonopathy (AMAN) dan acute motor sensory axonopathy (AMSAN)
ditemukan mewakili 30% hingga 47% kasus (Sudulagunta et al, 2015)
BAB II

KASUS SKENARIO 3

“Wanita berusia 20 tahun datang ke UGD dengan keluhan lemah kedua kaki”

Diagnosis banding keluhan lemah kedua kaki:

-Sindrom Guillain Barre (GBS)


-Poliomyelitis
-Myasthenia Gravis
-Fibromialgia
-Neuropati Diabetika
-Radikulopati Lumbal
-Cedera Medspin
-Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy(CIPD)
-Multipel Sklerosis
-Stroke Iskemik
-Stroke Hemoragik
Anamnesis Pemeriksaan Fisik
Pasien wanita datang ke UGD dengan -KU: sadar
keluhan lemah pada kedua kaki sejak 3 jam yang -Tanda Vital: DBN
lalu. Keluhan hanya dirasakan pada kedua kaki dan -Status generalis: DBN
keluhan menetap. Awalnya pasien mengalami -Neurologi
kesemutan sejak 3 hari yang lalu pada kedua GCS 456
kakinya. Pasien tidak pernah seperti ini Motorik atas 5/5
sebelumnya, kejadian ini adalah kejadian pertama Motorik bawah 1/1
kali. Seminggu yang lalu pasien mengalami Reflek patologis -,
demam dan diare, kemudian pasien memeriksakan Reflek fisiologis semua
dirinya ke puskesmas dan diberitahu terkena tifoid. +1/+1
Tidak ada keluhan lain seperti demam, mual, Parese nervus 7 bilateral
muntah, sakit kepala, nyeri otot, kekakuan di leher, tipe LMN
kesulitan menelan, kesulitan berbicara dan lain- Sensoris normal
lain.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
Pemeriksaan yang lain
hipertensi, DM, gangguan ginjal dan penyakit DBN.
jantung. Pasien juga tidak mengkonsumsi obat-
obatan tertentu dan alkohol.

Mind Map

Wanita usia 20 tahun lemah kedua kaki

DD:
-Sindrom Guillain Barre (GBS)

-Poliomyelitis

-Myasthenia Gravis

-Fibromialgia

-Neuropati Diabetika

-Radikulopati Lumbal

-Cedera Medspin

-Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy(CIPD)

-Multipel Sklerosis

-Stroke Iskemik

Anamnesis: Pemeriksaan Fisik:


- Kelemahan pada kedua kaki sejak 3 jam yang lalu yang menetap -KU: sadar
- Awalnya pasien mengalami kesemutan sejak 3 hari yang lalu pada -Tanda Vital: DBN
kedua kakinya -Status generalis: DBN
-Keluhan ini dirasakan pertama kalinya -Neurologi
-Seminggu yang lalu pasien mengalami demam dan diare, kemudian GCS 456
pasien memeriksakan dirinya ke puskesmas dan diberitahu terkena Motorik atas 5/5
tifoid Motorik bawah 1/1
-KP: Demam (-), mual (-), muntah (-), sakit kepala (-), nyeri otot (-), Reflek patologis -,
kaku leher (-), kesulitan menelan (-), kesulitan bicara (-). Reflek fisiologis semua +1/+1
-RPD dan RK: Kejadian serupa (-), riwayat penyakit hipertensi (-), DM Parese nervus 7 bilateral tipe LMN
(-), gangguan ginjal (-), penyakit jantung (-). Sensoris normal
-RS: Konsumsi obat-obatan tertentu dan alkohol (-) Pemeriksaan yang lain DBN.

DD:
Sindrom Guillain Barre (GBS)
Myasthenia Gravis
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi
3.1.1 Sindrom Guillain Barre
Sindrom Guillain Barre (GBS) adalah penyakit neuropati pasca-infeksi yang
dimediasi autoimun dengan mimikri molekuler. Pada infeksi gastrointestinal Campylobacter
jejuni, lipooligosaccharide yang ada di membran luar bakteri mirip dengan gangliosida yang
merupakan komponen saraf perifer. Oleh karena itu, respons imun yang dipicu untuk
melawan infeksi dapat menyebabkan reaksi silang pada saraf inang. Banyak infeksi telah
dikaitkan dengan GBS. Yang paling umum adalah penyakit saluran cerna atau pernapasan.
Hingga 70% pasien telah melaporkan penyakit dalam 1 hingga 6 minggu sebelum presentasi
GBS (Nguyen et al, 2019).

Gambar 1. Sindrom Guillain-Barre (GBS) (Nguyen et al, 2019)

3.1.2 Miastenia Gravis


Myasthenia gravis merupakan jenis penyakit autoimun yang menyerang
persambungan antara saraf dengan otot (Neuromuskular junction), dan menyebabkan gejala
kelemahan otot. Autoantibodi menyebabkan asetilkolin tidak bisa ditangkap oleh reseptor
pada Neuromuskular junction sehingga perintah dari saraf tidak dapat diteruskan ke otot
(Trouth et al, 2012).

Gambar 2. Miastenia Gravis (Trouth et al, 2012)

3.2 Klasifikasi

3.2.1 Sindrom Guillain Barre


1. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy

Subtipe Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) adalah bentuk


yang paling umum diidentifikasi di Amerika Serikat. Umumnya didahului oleh infeksi bakteri
atau virus. Hampir 40% pasien dengan AIDP seropositif untuk C jejuni. Terdapat infiltrasi
limfositik dan demielinasi saraf tepi yang dimediasi makrofag. Gejala umumnya sembuh
dengan remielinasi.

2. Acute motor axonal neuropathy


Acute motor axonal neuropathy (AMAN) adalah subtipe gangguan motorik murni
yang lebih umum pada kelompok usia anak. AMAN umumnya ditandai oleh kelemahan
simetris progresif cepat dan kegagalan pernapasan berikutnya.
3. Acute motor-sensory axonal neuropathy
Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut berat yang
berbeda dari AMAN karena juga memengaruhi saraf dan akar sensorik. Pasien biasanya
orang dewasa. AMSAN sering muncul sebagai disfungsi motorik dan sensorik yang cepat
dan berat. Pengecilan otot yang ditandai adalah karakteristik, dan pemulihan lebih buruk
daripada dari kasus AMAN yang serupa secara elektrofisiologis. Seperti halnya AMAN,
AMSAN sering dikaitkan dengan diare C jejuni sebelumnya. Temuan patologis menunjukkan
degenerasi aksonal motorik dan serabut saraf sensorik yang berat dengan sedikit demielinasi.

4. Miller-Fisher syndrome

Miller-Fisher syndrome (MFS) diamati pada sekitar 5% dari semua kasus GBS,
secara klasik muncul sebagai trias ataksia, areflexia, dan ophthalmoplegia. Onset akut
ophthalmoplegia eksternal adalah ciri utama. Ataksia cenderung tidak proporsional dengan
tingkat kehilangan sensorik. Pasien mungkin juga memiliki kelemahan ekstremitas ringan,
ptosis, kelumpuhan wajah, atau kelumpuhan bulbar. Pasien memiliki potensi aksi saraf
sensoris yang berkurang atau tidak ada dan tidak ada refleks tibialis H.

5. Acute panautonomic neuropathy

Acute panautonomic neuropathy yaitu varian GBS yang paling langka, melibatkan
sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Pasien memiliki hipotensi postural yang parah, retensi
usus dan kandung kemih, anhidrosis, penurunan salivasi dan lakrimasi, dan kelainan pupil.
Keterlibatan kardiovaskular sering terjadi, dan disritmia merupakan sumber kematian yang
signifikan. Keterlibatan motorik atau sensorik yang signifikan kurang. Pemulihan bertahap
dan seringkali tidak lengkap

6. Pure sensory GBS

Pure sensory GBS ditandai dengan onset cepat kehilangan sensorik, ataksia sensorik,
dan areflexia dalam pola simetris dan luas. Studi pungsi lumbal menunjukkan disosiasi
albuminocytologic di CSF dan hasil dari electromyography (EMG) menunjukkan tanda-tanda
khas dari proses demielinasi di saraf perifer. Prognosis pada GBS murni umumnya baik.
Imunoterapi, seperti pertukaran plasma dan pemberian IVIG dapat dicoba pada pasien dengan
penyakit parah atau pemulihan yang lambat (Andary, 2020).
3.2.2 Miastenia Gravis
1. early-onset MG: usia <50 tahun. Thymic hyperplasia, biasa terjadi pada perempuan.
2. late-onset MG: usia >50 years. Thymic atrophy, biasa pada laki-laki.
3. thymoma-associated MG (10%–15%).
4. MG with anti-MUSK antibodies.
5. ocular MG (oMG): gejala hanya terjadi pada otot extraocular.
6. MG with no detectable AChR and muscle-specific tyrosine kinase (MuSK) antibodies
(Trouth et al, 2012).

Gambar 3. Klasifikasi Miastenia Gravis (Melzer et al., 2016)

3.3 Diagnosis

3.3.1 Sindrom Guillain Barre

1. Anamnesis
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia pada
bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas yang bersifat
asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refelks fisiologis akan menurun dan
kemudian menghilang sama sekali.
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara
progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf
pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang
menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus,
biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan
dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. Anak anak biasanya
menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan,
tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia .
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala
yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal.
Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi. terutama pada anak
anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak
yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac
arrest, facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.
Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan
dalam berbicara, dan yang paling sering ( 50% ) adalah bilateral facial palsy. Gejala gejala
tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia
urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas
dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions) (Tursinawati dkk., 2015).

2. Pemeriksaan Fisik
• Kelemahan saraf cranial (III, IV, VI, VII, IX, X)
• Kelemahan anggota gerak yang cenderung simetris dan asendens
• Hiporefleksia atau arefleksia
• Tidak ada klonus atau refleks patologis (PERDOSSI, 2016).
• Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan
(Tursinawati dkk., 2015).

3. Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium (untuk menyingkirkan diagnosis banding lain): Pemeriksaan
darah lengkap, ureum/kreatinin, SGOT/SGPT, elektrolit, Creatinin kinase,
Serologi CMV/EBV/Micoplasma, Antibodi glycolipid, Antibodi GMI
• Pencitraan: MRI minimal potongan sagital untuk menyingkirkan diagnosis
banding lain
• Lumbal Pungsi (PERDOSSI, 2016).
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g /
dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah
sel yang kurang dari 10 / mm3 (Tursinawati dkk., 2015).

4. Penegakan Diagnosis
Memenuhi kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurofisiologi dan lumbal
pungsi. Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS)
 Gejala utama
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
 Gejala tambahan
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
 Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
 Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
 Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata (Tursinawati dkk., 2015).

3.3.2 Miastenia Gravis

1. Anamnesis
 Gejala klinis miastenia gravis antara lain :
1. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan
berkurang apabila penderita beristirahat
2. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis
3. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan
tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot
ekstremitas
4. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup
5. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan
laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara
6. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau.
7. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
(Tursinawati dkk., 2015).
8. Kelemahan bersifat fluktuatif dan membaik dengan pemberian asetilkolinesterase inhibitor
Sebelumnya (PERDOSSI, 2016).

2. Pemeriksaan Fisik
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya
menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan
dan kiri.
2. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal.
3. Adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan
timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal
4. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
5. Kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung
(nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung
penderita.
6. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk
menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan.
7. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi
serta ekstensi dari leher (Tursinawati dkk., 2015).
 Pada pemeriksaan neurologis dapat dijumpai ptosis dan diplopia pada pemeriksaan
mata, paresis pada tangan dan kaki, disartria, dan disfagia (PERDOSSI, 2016).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

1. Anti-asetilkolin reseptor antibodi


2. Antistriated muscle (anti-SM) antibody
3. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
4. Antistriational antibodies

b. Imaging

1. Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan
lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada
bagian anterior mediastinum.
2. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran
kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma
pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.
3. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

c. Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi


neuromuscular melalui 2 teknik :
a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan
jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
b. Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki
permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu
jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada
motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang
normal (Tursinawati dkk., 2015).

4. Penegakan Diagnosis
 Memenuhi kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, dan neurofisiologi (PERDOSSI,
2016).
 Untuk menegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut:
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan
terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi
anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan
akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka
penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan
ptosis juga tidak tampak lagi.
 Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara
lain :
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride), untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknyadiperhatikan otot-otot yang
lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas
tensilon sangat singkat.
2. Uji Prostigmin (neostigmin), pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin
merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3. Uji Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah
berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat (Tursinawati dkk., 2015).

3.3.3 Paralisis Hipokalemia

Pada kasus kelemahan motorik akut, perlu dicek elektrolit karena DDx Paling
sederhana adalah paralisis hipokalemia. Untuk menyingkirkan DD perlu pemeriksaan
elektrolit juga, karena hipokalema juga dapat menyebabkan paralisis akut.

Durasi dan frekuensi serangan paralisis pada PPHF sangat bervariasi, mulai dari
beberapa kali setahun sampai dengan hampir setiap hari, sedangkan durasi serangan mulai
dari beberapa jam sampai beberapa hari. Kelemahan atau paralisis otot pada PPHF biasanya
timbul pada kadar kalium plasma <2,5 mEq/L. Manifestasi PPHF antara lain berupa
kelemahan atau paralisis episodik yang intermiten pada tungkai, kemudian menjalar ke
lengan. Serangan muncul setelah tidur/istirahat dan jarang timbul saat, tetapi dapat dicetuskan
oleh latihan fisik. Ciri khas paralisis pada PPHF adalah kekuatan otot secara berangsur
membaik pascakoreksi kalium. Otot yang sering terkena adalah otot bahu dan pinggul; dapat
juga mengenai otot lengan, kaki, dan mata. Otot diafragma dan otot jantung jarang terkena;
pernah juga dilaporkan kasus yang mengenai otot menelan dan otot pernapasan. Kelainan
elektrokardiografi (EKG) yang dapat timbul pada PPHF berupa pendataran gelombang T,
supresi segmen ST, munculnya gelombang U, sampai dengan aritmia berupa fibrilasi
ventrikel, takikardia supraventrikular, dan blok jantung.
Diagnosis ditegakkan apabila timbul kelemahan otot disertai kadar kalium plasma
yang rendah (<3,0 mEq/L) dan kelemahan otot membaik setelah pemberian kalium. Riwayat
PPHF dalam keluarga dapat menyokong diagnosis, tetapi ketiadaan riwayat keluarga juga
tidak menyingkirkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EKG,
elektromiografi (EMG), dan biopsi otot. Biopsi otot menunjukkan hasil normal saat di luar
serangan, tetapi saat serangan, dapat ditemukan miopati vakuolar, yaitu vakuola retikulum
endoplasma otot berdilatasi dengan sitoplasma sel otot penuh terisi glikogen, dan ukuran
serat otot bervariasi (Pardede dan Fahriani, 2012)
3.4 Tatalaksana
3.4.1 Sindrom Guillain Barre

Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien dengan Guillain-Barre Syndrome


adalah pemberian immunoglobulin intravena (IVIG) dan plasma exchange (plasmaferesis).
Dosis immunoglobulin intravena yang diberikan adalah 0,4 gr/kgBB/hari selama 5 hari.
Kemudian untuk plasmaferesis dapat dilakukan 5-6 kali selama 1-2 minggu. Pemberian IVIG
dan tindakan plasmaferesis ini terbukti efektif mengurangi gejala bila diberikan selama 2
minggu setelah muncul onset penyakitnya. Tindakan plasmaferesis dapat dihindari pada
pasien dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil (Brust, 2019).

Kombinasi dari metilprednsolon dosis tinggi dan IVIG memiliki manfaat


pengobatan yang singkat. Sesuai dengan randomized trial dari penggunaan kortikosteroid
oral dan intravena, didapatkan bahwa tidak ada manfaat yang berarti pada pasien dengan
Guillain-Barre Syndrome (Burst, 2019 dan PERDOSSI, 2016). PERDOSSI 2016
merekomendasikan pemberian IVIG pada anak-anak dengan Guillain-Barre Syndrome
dibandingkan tindakan plasmaferesis. Selain itu dapat dilakukan tindakan rehabilitasi yang
disesuaikan dengan derajat kelemahan dan disabilitas pasien.

3.4.2 Miastenia Gravis

1. Terapi simtomatik
Pemberian inhibitor kolinesterase biasanya diberikan pada pasien dengan
Miastenia Gravis (MG), dimana obat ini dapat meningkatkan konsentrasi asetilkolin di AchR
(acetylcholine receptor). Inhibitor asetilkolinesterase merupakan obat yang paling efektif
diberikan apabila jumlah AchR yang tersedia masih adekuat. Pasien dengan gejala yang
ringan dan simtom bulbar yang minimal, dapat diberikan pengobatan ini saja tanpa diberikan
terapi immunosupresif. Apabila penyakit mengalami progresivitas, maka dosis yang
digunakan juga ditambah untuk dapat mencapai efek terapeutik yang diharapkan.
Pyridostigmine merupakan obat yang paling efektif dalam terapi simtomatik
pasien MG. Biasanya obat ini diberikan 3-4 kali sehari, tetapi dosis interval harus disesuaikan
sesuai gejala yang dialami pasien. Terapi obat yang memiliki kerja long-acting dapat
diberikan dan berguna untuk mengontrol gejala pada malam hari (Burst, 2019).

Tabel 1. Inhibitor kolinesterase yang digunakan pada terapi simtomatik Miastenia Gravis
(Burst, 2019)

2. Terapi Imunosupresif
a. Kortikosteroid
Agen ini merupakan first-line terapi immunosupresif pada pasien MG.
Pemberian kortikosteroid harus dibersamai dengan stabilisasi kondisi pasien melalui
pengobatan menggunakan IVIG dan plasmaferesis. Kortikosteroid dapat menginduksi remisi
MG sampai 50%, dan 80% pasien merasakan manfaat dari terapi ini. Penggunaan steroid
dapat mencegah perburukan dari MG okular. Setelah remisi dicapai, kortikosteroid dapat
diturunkan dosisnya perlahan sampai mencapai dosis paling rendah yang dapat mencegah
flare up MG.
b. Non-steroidal immunosupresan
Karena efek samping kortikosteroid yang banyak, ahli medis menggunakan
steroid-sparing medication, seperti azathioprine. Sebanyak 50% pasien dengan MG
mendapatkan manfaat dari terapi ini. Efek samping yang ditimbulkan biasanya ringan, tetapi
dapat melibatkan bone marrow dan menyebabkan toksisitas hepar. Oleh karena itu, perlu
dilakukan monitoring darah lengkap dan fungsi hepar. Mycophenolate mofetil,
cyclosphosphamide, cyclosporine, rituximab juga dapat dijadikan sebagai pilihan terapi MG
(Burst, 2019). Berikut immunosupressan yang dapat digunakan dalam terapi MG:
Tabel 2. Immunosupresan yang digunakan untuk terapi Miastenia Gravis (Burst, 2019)

c. Terapi jangka pendek


Plasmaferesis dan IVIG dapat menimbulkan perkembangan klinis secara cepat
pada pasien MG, hanya saja efek yang ditimbulkan hanya sementara. Tindakan plasmaferesis
dan IVIG juga bisa digunakan untuk terapi krisis MG. Selain itu, kedua terapi ini juga bisa
digunakan untuk menstabilisasi pasien MG yang mengalami eksaserbasi saat mengalami
infeksi dan operasi.

Tabel 3. Immunosupresan jangka pendek untuk terapi pasien Miastenia Gravis (Burst,
2019)

3. Terapi untuk krisis MG


Krisis MG didefinisikan sebagai eksaserbasi kelemahan yang menyebabkan
kegagalan napas dan membutuhkan ventilator mekanik. Pada pasien dengan eksaserbasi MG
yang melibatkan gejala sistem pernafasan dan bulbar, rawat inap di RS sangat dianjurkan
karena pada pasien tersebut harus dilakukan monitoring status klinis dan fungsi paru. Terapi
untuk krisis MG adalah immunoterapi jangka pendek yaitu plasmaferesis dan IVIG (Burst,
2019).

3.5 Komplikasi

3.5.1 Sindrom Guillain Barre

Pasien dengan Guillain-Barre Syndrome dapat mengalami komplikasi gangguan


sistem pernafasan, dimana bila hal ini terjadi secara progresif dapat menimbulkan kematian.
Selain itu, pada pasien GBS juga dapat mengalami komplikasi seperti disfungsi sarag otonom
yang menimbulkan aritmia dan menimbulkan kematian (Jacob et al., 2017).

3.5.2 Miastenia Gravis

Terapi imunomodulasi jangka panjang dapat mempengaruhi pasien dengan MG,


dimana penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan atau memperburuk
osteoporosis, katarak, hiperglikemia, pertambahan berat badan, nekrosis avaskular pada
pinggul, hipertensi, infeksi oportunistik, dan komplikasi lainnya. Penggunaan steroid jangka
panjang juga meningkatkan resiko terjadinya gastritis. Selain itu, penggunaan kolinesterase
inhibitor jangka panjang dapat menyebabka krisis kolinergik (Jowkar, 2018).

3.6 Prognosis

3.6.1 Sindrom Guillain Barre

Sebagian besar pasien Guillain-Barre Syndrome dapat kembali ke fungsi normal


seperti sebelum sakit. Setelah progresivitas dari penyakitnya berhenti, gejala yang ada
biasanya menetap (plateau) selama 2-4 minggu, kemudian diikuti dengan proses
penyembuhan secara gradual (Burst, 2019). Sekitar 20-25% pasien membutuhkan ventilasi
mekanik, dan 5% lainnya mengalami kematian. Kematian ini biasanya disebabkan oleh
adanya komplikasi gagal napas atau terjadi disfungsi autonomik. Gejala kelemahan residual
dapat menetap pada 25% setelah 1 tahun. Pasien berusia tua (≥60 tahun), diare, keluhan
kelemahan yang berat atau progresivitas penyakit yang cepat (<7 hari), dan low motor
amplitudes (kecurigaan mengalami kerusakan akson) pada pemeriksaan early nerve
conduction memiliki faktor prognostik yang buruk untuk dapat berjalan normal secara
mandiri selama 6 bulan (Jacob et al, 2017).

3.6.2 Miastenia Gravis

Sekitar 8% pasien yang mengalami gejala fokal dapat mengalami generalized MG.
Progresivitas hingga tahap penyakit yang parah biasanya timbul selama 2 tahun pertama
setelah onset penyakit. Remisi spontan dan remisi jangka panjang jarang terjadi, tetapi
dilaporkan bahwa 10%-20% pasien dengan MG dapat mengalami hal ini. Pada pasien dengan
MG yang hanya mengalami gejala pada otot-otot mata, pemberian kolinesterase inhibitor,
kortikostreoid dosis rendah, dan terapi non medis seperti eyelid crutches sudah cukup untuk
mengontrol gejalanya. Sebagian besar pasien dengan generalized MG dapat menjalani hidup
normal selama terapi yang didapatkan adekuat. Bagaimanapun juga, kualitas hidup pasien
dengan MG bisa saja dipengaruhi dari efek samping pengobatan yang diberikan (Burst,
2019).
Daftar Pustaka

Andary, MT. 2020. Guillain-Barre Syndrome. Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/315632-overview#a3

Brust, J. C. M. 2019. Current Diagnosis and Treatment Neurology. 3rd edition. New
York:McGrawHill

Jacob, B. C. et al. International Guillain-Barre Syndrome outcome study: Protocol of a


prospective observational cohort study on clinical and biological predictors of disease
course and outcome in Guillain-Barre Syndrome. J Peripher Nerv Sys 2017;22:68-76.
PMID: 28406555

Jowkar, A. What are the complications of myastenia gravis (MG)?. Aug 27 2018
available at: https://www.medscape.com/answers/1171206-92687/what-are-the-
complications-of-myastenia-gravis-mg

Melzer, N., Ruck, T., Fuhr, P., Gold, R., Hohlfeld, R., Marx, A., 2016. Clinical features,
pathogenesis, and treatment of myasthenia gravis: a supplement to the Guidelines of the
German Neurological Society. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4971048/

Nguyen, TP., Taylor, RS. 2019. Guillain Barre Syndrome. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532254/

Pardede, S. O dan Fahriani, R. 2012. Paralisis Periodik Hipokalemik Familial. CDK-198,


39 (10), hal 727-730.

PERDOSSI. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) Neurologi. PERDOSSI


Statland, JM dan Ciafaloni, E. 2013. Myasthenia gravis Five new things. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3721240/

Sudulagunta,SR., Sodalagunta, MB., Sepehrar, M., Khorram, H., Noroozpour, Z. 2015.


Guillain-Barré syndrome: clinical profile and management. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4576316/

Trouth, A.J., Dabi, A., Solieman, N., Kurukumbi, M., Kalyanam, J. 2012. Myasthenia
Gravis: A Review. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3501798/

Tursinawati, Y, Tajally, A, Kartikadewi, A. 2015. Buku Ajar Sistem Syaraf. Semarang:


Unimus Press.

Anda mungkin juga menyukai