Anda di halaman 1dari 19

Laboratorium / SMF Ilmu Psikiatri REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

GANGGUAN OBSESIF-KOMPULSIF

Oleh:

SAFIRA NURAINI
2010017050

Pembimbing:
dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp. KJ

LABORATORIUM / SMF ILMU PSIKIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Mei 2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur selalu dipanjatkan kepada Allah SWT atas
limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat dengan judul “Gangguan Obsesif-Kompulsif”. Referat ini disusun dalam
rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp.
KJ selaku dosen pembimbing klinik yang telah memberikan banyak masukan
kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam
referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi
penyempurnaannya. Namun harapan penulis semoga referat ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu pengetahuan bagi para pembaca.

Samarinda, 6 Mei 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………...……


2
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..…
3
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………..……
4
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………..……
4
1.2 Tujuan ………………………………………………………...………………
5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………...………


6
2.1 Definisi …………………………………………………………………..……
6
2.2 Epidemiologi …………………………………………………………..…..….
6
2.3 Etiologi…………………………………………………………………..…… 7
2.4 Manifestasi Klinis …………………………………………………….....……
9
2.5 Kriteria Diagnosis ………………………………………………..……….…
10
2.6 Diagnosis Banding …………………………………………………………..
12
2.7 Tatalaksana ……………………...……………………………………..…… 14
2.8 Prognosis ………………………………………….………………...……… 16
BAB III PENUTUP ……………………………………………………….……
17
DAFTAR PUSTAKA ………………...
………………………………………....18

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan Obsesif-Kompulsif atau Obsessive-Compulsive Disorder
(OCD) ditandai oleh adanya obsesi dan kompulsi yang berulang-ulang dan
berlangsung minimal 1 jam sehari. Obsesi adalah pikiran, ide, bayangan atau
impuls yang mengganggu dan dapat menimbulkan penderitaan serta kecemasan.
Penderita menyadari bahwa pikiran tersebut tidak berarti dan tidak masuk akal,
namun penderita sulit untuk mengabaikannya [ CITATION Kem151 \l 1033 ].
Sedangkan kompulsi adalah perilaku atau tindakan yang disebabkan oleh adanya
obsesi. Dengan melakukan tindakan berulang tersebut, penderita akan merasa
penderitaan dan kecemasan yang dirasakan akan berkurang [ CITATION Fen15 \l
1033 ].
Pada dasarnya setiap orang pernah memiliki pemikiran yang negatif atau
mengganggu. Dari suatu studi ditemukan bahwa 84% orang normal melaporkan
pernah memiliki pemikiran-pemikiran yang terus berulang dan mengganggu.
Orang akan mudah memunculkan pemikiran yang negatif dan juga perilaku yang
kaku dan berulang ketika mereka mengalami distress. Yang membedakan dengan

4
orang yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif adalah orang yang normal
akan mampu menghentikan pemikiran-pemikiran negatif tersebut sehingga tidak
sampai mengganggu dirinya, sedangkan penderita gangguan obsesif-kompulsif
tidak demikian [ CITATION Sur13 \l 1033 ].
Prevalensi OCD pada populasi umum berkisar antara 2-3 persen.
Dikatakan bahwa OCD menjadi diagnosis psikiatri keempat terbanyak setelah
fobia, gangguan terkait zat dan gangguan depresif berat[ CITATION Dan17 \l
1033 ]. Pada orang dewasa, laki-laki dan perempuan sama-sama cenderung
terkena OCD, tetapi pada remaja, laki-laki lebih dominan terkena daripada
perempuan. Usia rerata awitan sekitar 20 tahun, walaupun laki-laki memiliki usia
awitan sedikit lebih awal (sekitar 19 tahun) daripada perempuan (rerata sekita 22
tahun). Setengah dari para penderita sukar untuk disembuhkan dan kebanyakan
menderita berbagai kesulitan yang terus-menerus [ CITATION Sad15 \l 1033 ].

1.2 Tujuan
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang gangguan obsesif-
kompulsif, sehingga dapat menentukan diagnosis klinik dan tatalaksana serta
menentukan rujukan yang paling tepat khususnya di layanan kesehatan tingkat
pertama sebagai dokter umum.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan Obsesif-Kompulsif atau Obsessive-Compulsive Disorder
(OCD) merupakan salah satu kelompok gangguan ansietas yang ditandai oleh
adanya obsesi dan atau kompulsi yang berulang dan berlangsung minimal 1 jam
sehari.
Obsesi adalah pikiran, ide, bayangan atau impuls mengganggu yang terjadi
secara berulang-ulang. Penderita menyadari bahwa pikiran tersebut tidak berarti
dan tidak masuk akal, namun penderita sulit untuk mengabaikannya. Adanya
obsesi yang terjadi berulang dapat menimbulkan penderitaan dan kecemasan
[ CITATION Kem151 \l 1033 ].
Sedangkan kompulsi adalah perilaku atau tindakan yang berulang-ulang
yang disebabkan oleh adanya obsesi. Dengan melakukan tindakan berulang
tersebut, penderita akan merasa penderitaan dan kecemasan yang dirasakan akan
berkurang [ CITATION Fen15 \l 1033 ].

6
2.2 Epidemiologi
Prevalensi OCD pada populasi umum berkisar antara 2-3 persen. Beberapa
penelitian memperkirakan gangguan ini dijumpai sekitar 10 persen pada pasien
rawat jalan di klinik psikiatri. Dikatakan bahwa OCD menjadi diagnosis psikiatri
keempat terbanyak setelah fobia, gangguan terkait zat dan gangguan depresif
berat[ CITATION Dan17 \l 1033 ].
Pada orang dewasa, laki-laki dan perempuan sama-sama cenderung
terkena OCD, tetapi pada remaja, laki-laki lebih dominan terkena daripada
perempuan. Usia rerata awitan sekitar 20 tahun, walaupun laki-laki memiliki usia
awitan sedikit lebih awal (sekitar 19 tahun) daripada perempuan (rerata sekitae 22
tahun). Secara keseluruhan, sekitar dua pertiga memiliki awitan sebelum usia 25
tahun, dan kurang dari lima belas persen memiliki awitan setelah usia 35 tahun
[ CITATION Sad15 \l 1033 ]

2.3 Etiologi
a. Faktor Biologi
 Sistem Serotogenik
Banyak percobaan obat klinis yang telah dilakukan menyokong
hipotesis bahwa disregulasi serotonin terlibat di dalam pembentukan
gejala obsesi dan kompulsi pada gangguan ini. Data menunjukkan bahwa
obat serotonergik lebih efektif daripada obat yang memengaruhi sistem
neurotransmiter lain tetapi tidak jelas apakah serotonin terlibat sebagai
penyebab OCD. Studi klinis memeriksa kadar metabolit serotonin
(contohnya asam5-hidroksiindolasetat [5-H1AA]) di dalam cairan
serebrospinal (CSS) serta afinitas dan jumlah tempat ikatan trombosit
pada imipramin yang telah dititriasi (yang berikatan dengan tempat
ambilan kembali serotonin) dan melaporkan berbagai temuan dari hal ini
pada pasien dengan OCD. Pada satu studi, konsentrasi 5-HIAA pada
cairan serebrospinal menurun setelah terapi dengan clomipramine,
sehingga memberikan fokus perhatian pada sistem serotonergik. (Sadock

7
& Sadock 2015)
 Genetik
Pembuktian terbaru menunjukkan faktor genetik adalah sebagai
transmisi untuk terjadinya OCD. Angka kejadian dengan kembar
monozigot lebih tinggi dibandingkan kembar dizigot. Penelitian pertama
genetik molekul juga telah melaporkan tentang OCD, dimana terdapat
hubungan area kromosom 2 dan 9 terdapat dalam silsilah keluarga
dengan OCD. Penelitian yang dilakukan pada OCD kasusnya meningkat
pada penderita Tourette’s Disorder dan chronic motor tics, diduga ada
hubungan genetik antara Tourette’s Disorder, chronic motor tics dan
OCD [ CITATION Dan17 \l 1033 ].
 Neuroendokrin
Observasi yang dilakukan berulangkali terhadap onset dan simtom
OCD selama masa puber, kehamilan dan postpartum telah menimbulkan
beberapa asumsi bahwa hormon memegang peranan penting dalam
timbulnya keparahan dalam OCD. Pengobatan dengan menggunakan
antiandrogen telah menunjukkan adanya perubahan pada perilaku
individu yang sukar disembuhkan walaupun kesembuhannya hanya
bersifat sementara [ CITATION Dan17 \l 1033 ].
 Neuroimunologi
Penemuan tentang faktor pencetus simtom OCD setelah terjadi
infeksi terutama akibat terpapar oleh grup A β−¿hemolytic streptococcus
adalah berhubungan dengan autoimun. Penyakit infeksi yang
mencetuskan terjadinya OCD dimasukkan dalam pediatric autoimmune
neuropsychiatric disorder associated with streptococcal infection
(PANDAS) dijumpai pada penyakit rheumatic fever dan sydenham’s
chorea. Dimana pada kedua penyakit ini terdapat tingginya frekuensi
simtom OCD. Satu dari tiga individu dengan sydenham’s chorea
memenuhi kriteria dengan OCD.

8
Menurut hipotesis aktivitas autoimun memacu untuk timbulnya
inflamasi di ganglia basalis dan gangguan fungsi dari cortical striatal
thalamo[ CITATION Dan17 \l 1033 ].

b. Faktor Perilaku
Obsesi terjadi oleh karena adanya suatu stimulus, dimana stimulus
tersebut dapat menimbulkan suatu rasa ketakutan atau kecemasan.
Sementara kompulsi dibangun oleh karena penderita telah berhasil
melakukan strategi penghindaran secara aktif yang dihubungkan oleh
adanya obsesi maka pasien melakukan suatu ritual atau kebiasaan yang
dianggap dapat mengatasi kecemasannya. Strategi ini kemudian telah
tertanam dan membentuk suatu pola di otak [ CITATION Dan17 \l 1033 ].

c. Psikososial
 Personaliti
OCD berbeda dari obsessive compulsive personality disorder. Hampir
sebagian besar orang dengan OCD tidak mempunyai premorbid dengan
simtom kompulsif, hanya sekitar 15 sampai 35 persen pasien OCD
premorbid dengan ciri obsesif [ CITATION Dan17 \l 1033 ].

2.4 Manifestasi Klinis


Terdapat pola gejala pasien OCD, yaitu [ CITATION Sad15 \l 1033 ]:
a. Kontaminasi
Pola yang paling lazim ditemukan adalah obsesi terhadap kontaminasi, diikuti
kegiatan mencuci atau disertai penghindaran kompulsif objek yang diduga
terkontaminasi. Objek yang ditakuti sering sulit dihindari. Pasien mungkin
mengelupas kulit tangan dengan mencuci tangan secara berlebihan atau mungkin
tidak mampu meninggalkan rumah karena takut kuman. Walaupun ansietas adalah
respon utama yang lazim terhadap objek yang ditakuti, rasa malu dan jijik obsesif
juga lazim. Pasien dengan obsesi kontaminasi biasanya yakin bahwa kontaminasi
disebarkan dan objek-objek atau dari orang ke orang bahkan melalui kontak

9
terkecil.

b. Keraguan Patologis
Gejala yang paling lazim kedua adalah suatu obsesi keraguan, diikuti kompulsi
memeriksa. Obsesi ini sering melibatkan suatu bahaya kekerasan (seperti lupa
mematikan kompor atau tidak mengunci pintu). Sebagai contoh, pemeriksaan ini
dapat berupa bolak-balik ke rumah untuk memeriksa kompor. Pasien memiliki
obsesi keraguan akan diri sendiri dan selalu merasa bersalah karena lupa atau
melakukan sesuatu.

c. Pikiran yang Mengganggu


Gejala yang paling lazim ketiga adalah adanya pikiran obsesif yang
mengganggu tanpa suatu kompulsi. Obsesi seperti itu biasanya merupakan pikiran
berulang mengenai tindakan seksual atau agresif yang tercela bagi pasien. Pasien
yang terobsesi dengan pikiran tindakan agresif atau seksual dapat melaporkan
dirinya sendiri ke polisi atau mengaku pada pendeta.

d. Simetri
Pola gejala yang paling lazim keempat adalah kebutuhan akan simetri atau
ketepatan yang dapat menyebabkan kompulsi mengenai kelambatan. Pasien
dapat memakan waktu berjam-jam untuk makan atau mencukur wajahnya.

e. Pola Gejala Lain


Kompulsi menarik-narik rambut (trikotilomania) dan menggigit-gigit kuku
dapat merupakan kompulsi yang terkait dengan OCD.

2.5 Kriteria Diagnosis


2.5.1 Kriteria diagnosis OCD berdasarkan PPDGJ III, yakni [ CITATION
Mas13 \l 1033 ]:

10
 Untuk menegakan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan
kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama
sedikitnya dua minggu berturut-turut.
 Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau menggangu
aktivitas penderita.
 Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
1) Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri
2) Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan,
meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita
3) Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan
hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega
dari ketegangan atau ansietas, tidak dianggap sebagai kesenangan
seperti dimaksud di atas)
4) Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan
 Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan
depresi. Penderita gangguan obsesif-kompulsif seringkali juga
menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita gangguan
depresif berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama
episode depresifnya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau
menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan
perubahan gejala obsesif.
Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis
diutamakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif-kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada
gangguan depresif pada saat gejala obsesif-kompulsif tersebut timbul.
Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik
menganggap depresi sebagai diagnosis yang primer. Pada gangguan
menahun, maka prioritas diberikan diberikan pada gejala yang paling
bertahan saat gejala yang lain menghilang.

11
 Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia,
sindrom Tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap sebagai
bagian dari kondisi tersebut.

2.5.2 Kriteria diagnosis OCD berdasarkan DSM-V, yakni [ CITATION Mas13


\l 1033 ]:
a. Adanya obsesi, kompulsi atau keduanya
Gejala obsesif ditandai dengan:
1) Pikiran, keinginan, dan gambaran yang persisten dan rekuren yang
dialami, dalam waktu tertentu, gangguan ini sangat instrusif dan tidak
diinginkan, dan dapat menyebabkan individu tersebut mengalami
kecemasan dan penderitaan.
2) Individu yang mencoba untuk mengabaikan atau menekan pikiran,
keinginan dan gambaran tersebut, atau menetralkannya dengan
beberapa pikiran dan aksi lain (dengan melakukan kompulsi).

Gejala kompulsi ditandai dengan:


1) Perilaku repetitif (contoh: mencuci tangan, menata sesuatu, mengecek
sesuatu) atau aksi mental (contoh: berdoa, menghitung, mengulang
kata) yang membuat individu tersebut harus melakukan obsesinya atau
menurut ke peraturan yang harus dia terapkan.
2) Perilaku atau aksi mental dilakukan bertujuan untuk mencegah atau
menurunkan cemas atau penderitaan, atau mencegah kejadian
menyeramkan; bagaimanapun juga, perilaku dan aksi mental ini
dilakukan tidak dengan cara yang realistis dengan apa yang mereka
telah rencanakan untuk menetralisasikan atau mencegahnya, atau
sangat berlebihan.
b. Gejala obsesi dan kompulsi sangat membuang-buang waktu (contoh:
memakan waktu lebih dari 1 jam/hari) atau menyebabkan distress klinis
atau gangguan sosial ditempat kerjanya, atau area-area lain.
c. Gejala obsesif-kompulsif tidak diakibatkan oleh afek fisiologis (contoh:

12
drug abuse, obat-obatan) atau kondisi medis lain.
d. Gangguan ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai ganggaun mental lain
(contoh: cemas berlebihan seperti pada gangguan cemas menyeluruh;
preokupasi dengan penampilan, seperti pada body dysmorphic disorder;
mencabut rambut seperti pada trikotilomania; skin-picking seperti dalam
ekskoriasi; stereotipik seperti dalam gangguan pergerakan stereotipik;
perilaku makan khusus seperti dalam gangguan makan; preokupasi akan
sesuatu seperti dalam substance-related dan gangguan adiktif; dorongan
dan fantasi seks seperti dalam gangguan parafilik; impuls yang disruptif
seperti dalam ganggauan konduksi impuls; perenungan rasa bersalah
seperti dalam gangguan depresi berat; thought insertion atau delusi
persepsi dalam skizofrenia dan gangguan psikotik; atau perilaku repetitif
dalam gangguan autisme.

2.6 Diagnosis Banding


Kondisi yang dapat menyebabkan kesalahan diagnosis pada OCD
[ CITATION Fen15 \l 1033 ]:
a. ADHD
Persamaan penderita ADHD dengan OCD yakni kondisi suka menunda-
nunda pekerjaan karena memiliki masalah dengan perhatian dan fokus.
Penderita OCD akan tampak seperti penderita ADHD karena mereka perlu
melakukan hal-hal dengan benar atau dengan cara lengkap dan oleh karena itu
mungkin tidak menyelesaikan tugas atau aktivitasnya. Untuk membedakan
ADHD dengan OCD penting untuk menentukan apakah ritual mental atau
pikiran obsesif mengganggu fokus dan perhatian.

b. Gangguan Kecemasan
Kecemasan ditandai dengan kekhawatiran, yang sering kali meniru
pemikiran obsesif. Bedanya dengan OCD yang memiliki kekhawatiran
mengenai hal yang tidak masuk akal, kecemasan biasanya berfokus pada

13
masalah kehidupan yang nyata (misalnya, keuangan, kesehatan, orang yang
dicintai).

c. Gangguan Spektrum Autisme


Persamaan penderita gangguan spektrum autisme dengan OCD yakni
perilaku kompulsif yang berulang dan berkurangnya interaksi sosial atau
adanya isolasi sosial. Bedanya pada penderita gangguan spektrum autisme
perilaku berulang dianggap wajar dan interaksi social akan mengalami
penurunan terus-menerus, sedangkan pada penderita OCD perilaku berulang
mereka dianggap sebagai berlebihan dan tidak masuk akal namun
keterampilan komunikasi biasanya masih dipertahankan.

d. Kelainan Psikosis
Psikosis sering kali ditandai dengan keyakinan delusi seperti takut tertular
bakteri dari gagang pintu, namun pada penderita OCD mereka dapat
mengenali bahwa pikiran mereka tidak rasional tetapi mereka tidak dapat
mengendalikan.

e. Sindrom Tourette
Pada sindrom Tourette, gerakan motorik atau vokal biasanya tidak
disengaja, sedangkan pada OCD gerakan atau perilaku berulang dihasilkan
dari pikiran obsesif (misalnya keinginan obsesif untuk simetri) dan kebutuhan
untuk melakukan tindakan sampai dilakukan dengan benar.
2.7 Tatalaksana
a. Farmakoterapi
Dalam menentukan strategi penatalaksanan OCD, harus memperhatikan
keparahan penyakit, usia dan faktor lainnya yang meliputi efficacy, speed,
durability, tolerability dan acceptability. Dengan mempertimbangkan semua
faktor tersebut, kombinasi antara golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor) dan terapi kognitif perilaku merupakan terapi pilihan pertama yang
direkomendasikan [ CITATION Pus09 \l 1033 ].

14
Terapi medis dan perilaku terbukti dapat mengurangi keparahan dan
frekuensi obsesi dan kompulsi, serta dapat menyebabkan remisi pada beberapa
pasien. Perlu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan agar terapi tersebut
menjadi efektif, sehingga dokter harus memberi tahu pasien dan keluarga tentang
keterlambatan respon pengobatan dan dorongan kepatuhan selama fase awal
pengobatan [ CITATION Fen15 \l 1033 ].

 Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)


SSRI merupakan terapi lini pertama pada OCD karena terbukti memiliki
efikasi. SSRI yakni fluxetine (prozac), citalopram (celexa), escitalopram
(lexapro), fluvoxamine (luvox), paroksetin (paxil), sertralin (zoloft) telah
disetujui U.S Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi OCD. Dosis
yang lebih tinggi sering diperlukan untuk memberikan efek yang
menguntungkan, seperti fluoxetin dapat diberikan 20-80 mg per hari atau
sertraline dapat diberikan 50-200 mg per hari. SSRI dapat menyebabkan
gangguan tidur, mual, diare, sakit kepala, ansietas, dan kegelisahan.
Ketidakmampuan toleransi pengibatan sehubungan dengan efek samping terjadi
kurang dari 15 persen.
Pada kebanyakan pasien pengguna SSRI memberikan perbaikan yang lambat
dan berangsur. Terapi berlangsung jangka panjang dan dosis dinaikkan untuk
mendapatkan hasil yang optimal. Pada pasien yang tidak berespon dengan SSRI
maka dapat diubah dengan menggunakan SSRI yang lain [ CITATION Dan17 \l
1033 ][ CITATION Fen15 \l 1033 ].

 Clomipramine
Dari semua obat trisiklik dan tetrasiklik. Clomipramine merupakan obat yang
paling efektif dari golongan trisiklik karena bersifat serotonin selective.
Clomipramine adalah obat pertama yang disetujui U.S FDA untuk terapi OCD.
Metaanalisis menyebutkan efikasi dari clomipramine lebih baik daipada SSRI,
akan tetapi efek sampingnya lebih tinggi dibandingkan dengan SSRI antara lain
perubahan konduksi jantung, antikolinergic effect (mulut kering, penglihatan

15
kabur, konstipasi), kejang, sedasi dan retensi urin. Oleh karena itu clomipramine
dianjurkan sebagai pilihan kedua atau ketiga untuk pengobatan OCD. Dosis yang
dianjurkan adalah 100-200 mg per hari. Hati-hati pada pemberian di atas dosis
250 mg per hari dapat menimbulkan risiko kejang [ CITATION Dan17 \l 1033 ]
[ CITATION Sad15 \l 1033 ].

 Obat Lain
Jika terapi dengan clomipramine atau SSRI tidak berhasil, banyak terapis
memperkuat obat pertama dengan penambahan valporat (depakene), litium
(Eskalith), atau karbamazepin (Tegretol). Obat lain yang dicoba di dalam terapi
OCD adalah venlafaksin (Effexor), pindolol (Viksen), dan MAOI, khususnya
fenelzin (Nardil). Agen antipsikotik dapat membantu ketika juga terdapat
gangguan “tic” atau sindrom Tourette [ CITATION Sad15 \l 1033 ].

b. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)


CBT merupakan terapi untuk OCD yang bisa sejajar bahkan lebih superior
dibandingkan dengan terapi farmakologi. Dalam CBT pasien dihadapkan pada
objek dan aktivitas yang menakutkan tanpa melakukan ritual kompulsif. Kunci
dasar pada intervensi ini adalah pemaparan dan pencegahan respons atau ritual.
CBT berguna bagi pasien yang tidak mau meneruskan obat dan dapat berguna
untuk mencegah terjadinya relaps.
CBT memfokuskan terapi pada pemikiran yang tidak rasional yang
melatarbelakangi terjadinya pemikiran obsesif-kompulsi dengan cara mengajarkan
kepada penderita untuk mengatasi pemikiran tersebut sehingga berangsur-angsur
mereka akan menghadapi ketakutan dan mengubah respon mereka terhadap
ketakutan yang ditimbulkan.
CBT juga mengajarkan untuk dapat menghentikan kebiasaan atau ritual untuk
mengatasi kecemasannya dengan cara menawarkan cara atau alternatif lain
[ CITATION Dan17 \l 1033 ]. Pengobatan akan efektif jika individu penderita
OCD dan anggota keluarga berpartisipasi aktif pada proses terapi
tersebut[ CITATION Fen15 \l 1033 ].

16
2.8 Prognosis
Gangguan obsesif kompulsif mempunyai perjalanan penyakit yang bervariasi
pada individu. Sebanyak 20 hingga 30 persen pasien mengalami perbaikan gejala
yang signifikan, 40 hingga 50 persen mengalami perbaikan sedang dan sisanya 20
hingga 40 persen mengalami gejala yang memburuk atau menetap[ CITATION
Sad15 \l 1033 ]. Pasien dengan onset yang lebih tua, durasi gejala yang lebih
pendek, wawasan yang baik, dan respons terhadap pengobatan awal memiliki
kemungkinan peningkatan remisi[ CITATION Fen15 \l 1033 ].

BAB III
PENUTUP

Gangguan Obsesif-Kompulsif atau Obsessive-Compulsive Disorder (OCD)


ditandai oleh adanya obsesi dan kompulsi yang berulang-ulang yang mengganggu
dan dapat menimbulkan penderitaan serta kecemasan. Untuk menegakan

17
diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-duanya,
harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut.
Beberapa faktor berperan dalam terbentuknya gangguan obsesif-kompulsif yaitu
faktor biologis, faktor perilaku dan faktor psikososial. Penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada gangguan obsesif kompulsif yakni kombinasi psikofarmaka
berupa pemberian obat golongan SSRI atau Clomipramine dan psikoterapi berupa
Cognitive-Behavioral Therapy (CBT). Pengobatan akan efektif jika individu
penderita OCD dan anggota keluarga berpartisipasi aktif pada proses terapi.

DAFTAR PUSTAKA

Dania, I. A. (2017). Obsessive-Compulsive Disorder pada Anak. Jurnal


Kedokteran dan Kesehatan Ibnu Sina Vol. 25 No.3, 33-38.
Fenske, J. N., & Petersen, K. (2015). Obsessive-Compulsive Disorder: Diagnosis
and Management. American Family Physician Vol. 92 No.10, 896-903.

18
Kemenkes. (2015). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
Puspitosari, W. A. (2009). Terapi Kognitif dan Perilaku pada Gangguan Obsesif
Kompulsif. Mutiara Medika Vol.9 No.2, 73-79.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2015). Kaplan & Sadock: Buku Ajar Psikiatri
Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC.
Suryaningrum, C. (2013). Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk Mengatasi
Gangguan Obsesif Kompulsif. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Vol.01
No.01 .

19

Anda mungkin juga menyukai