Anda di halaman 1dari 28

Lab/SMF Ilmu Kesehatan THT REFERAT

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

POLIP NASI

Disusun oleh:
Gracecika Marthgareth Harianja NIM. 2010017047
Muhammad Rizky Ramadhan NIM. 2010017056

Pembimbing:
dr. Rahmawati, Sp. THT-KL

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan THT
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
2021
KATA PENGANTAR

Hanya karena kasih karunia Tuhan yang Maha Esa, penulis dapat
menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “Polip Nasi”. Referat ini disusun
dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kesehatan THT
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih banyak
kepada dr. Rahmawati, Sp. THT-KL selaku dosen pembimbing klinik yang telah
memberikan banyak bimbingan dan saran perbaikan kepada penulis sehingga
referat ini dapat diselesaikan.
Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati penulis meminta maaf apabila
terdapat kata–kata yang kurang berkenan dalam penulisan referat ini. Penulis sangat
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna, tetapi penulis berharap
semoga referat ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta
bagi mereka yang membutuhkan.

Samarinda, 1 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.2.1 Tujuan Umum ................................................................................... 2
1.2.1 Tujuan Khusus .................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung ................................................................. 3
2.1.1 Cavum Nasi ....................................................................................... 3
2.1.2 Sinus Paranasal ................................................................................. 5
2.1.3 Kompleks Osteomeatal (KOM) ........................................................ 7
2.1.4 Sistem Mukosiliar ............................................................................. 7
2.2 Polip Nasi ................................................................................................. 9
2.2.1 Definisi .............................................................................................. 9
2.2.2 Epidemiologi ................................................................................... 10
2.2.3 Etiologi ............................................................................................ 10
2.2.4 Patogenesis ...................................................................................... 11
2.2.5 Manifestasi Klinis ........................................................................... 13
2.2.6 Penegakkan Diagnosis .................................................................... 14
2.2.7 Diagnosis Banding .......................................................................... 17
2.2.8 Tatalaksana...................................................................................... 18
2.2.9 Komplikasi ...................................................................................... 21
2.2.10 Prognosis ......................................................................................... 21
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

ii
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1 Dinding lateral rongga hidung 3
Gambar 2.2 Tampakan rongga hidung dengan spekulum hidung 4
(rhinoskopi anterior)
Gambar 2.3 Regio hidung 4
Gambar 2.4 Sinus paranasal 5
Gambar 2.5 Kompleks osteomeatal dengan prosesus uncinatus 7
melekat ke arah medial pada septum
Gambar 2.6 Selimut mukus yang digerakkan oleh silia 8
Gambar 2.7 Mucociliary clearance Sinus Paranasal 9
Gambar 2.8 Hipotesis terbentuknya polip nasi menurut Mygind 12
Gambar 2.9 Polip nasi pada pemeriksaan rhinoskopi anterior 14
Gambar 2.10 Polip nasi pada pemeriksaan naso-endoskopi 15
Gambar 2.11 Stadium polip nasi 16
Gambar 2.12 NP Management Guidelines of Rhinology Study Group 20
–Indonesian Otorhinolaryngology Head & Neck
Surgery Society

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Polip nasi merupakan massa lunak bewarna putih ke abu-abuan yang
terletak di dalam rongga hidung dan di dalamnya terkandung banyak
cairan.1 Polip nasi banyak ditemukan pada pasien dengan rhinosinusitis
kronik. Oleh karena itu, polip nasi juga sering disebut sebagai rhinosinusitis
kronik dengan polip nasi.2 Pasien polip nasi paling sering mengeluhkan
hidung tersumbat dengan derajat ringan hingga sedang, rhinore jernih
hingga purulent, hiposmia atau anosmia. Pasien juga dapat mengeluhkan
bersin berulang, nyeri pada hidung, dan sakit kepala di sekitar dahi.3
Polip nasi diperkirakan diderita oleh 1-4% orang di dunia dan pada
25-30% pasien dengan rhinosinusitis.4 Polip nasi lebih sering terjadi pada
laki-laki dengan puncak insiden antara 40-60 tahun.5 Penderita asma berusia
lebih dari 40 tahun empat kali leih berisiko menderita polip nasi
dibandingkan dengan yang berusia di bawah 40 tahun. Genetik juga
berperan dalam terjadinya polip, di mana 25% pasien memiki keluarga
tingkat pertama (orang tua, saudara, anak) dengan riwayat polip nasi.6
Penelitian mengenai penyebab pasti dari polip nasi masih terus
berkembang. Inflamasi menjadi faktor penting dari pembentukan polip
karena ditemukannya bukti peningkatan histamin dan IgE di sekitar polip,
serta keberadaan sel mast dan eosinophil di dalam polip. Penelitian lain juga
menemukan fakta bahwa terdapat hubungan antara polip nasi dengan
intoleransi aspirin, rhinitis alergi, dan asma.7 Namun, penyebab pasti polip
nasi, mengapa dapat terjadi inflamasi kronik, dan mengapa iritasi dan edema
dapat memicu pembentukan polip di beberapa pasien, sedangkan yang lain
tidak, masih belum dimengerti sepenuhnya.8
Tatalaksana polip nasi masih menjadi kontroversi. Baik pengobatan
dengan medikamentosa maupun pembedahan, keduanya direkomendasikan
sebagai pilihan. Tujuan terapi adalah untuk mengecilkan ukuran polip, atau

1
kalau mungkin membuangnya, sehingga keluhan pasien dapat hilang
(terutama sumbatan hidung, hiposmia, anosmia) dan mengurangi frekuensi
infeksi, serta memperbaiki gejala yang menyertai di saluran nafas bawah.
Selain itu, terapi juga diharapkan mencegah komplikasi seperti mukokel dan
gejala pada mata.9
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai manifestasi klinis pasien, penegakkan
diagnosis, serta tatalaksana yang sesuai pada polip nasi.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Referat ini memiliki tujuan untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan tentang polip nasi.

1.2.1 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari referat ini adalah untuk menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan mengenai peran pencitraan dalam penegakkan diagnosis
dan penatalaksanaan polip nasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


2.1.1 Cavum Nasi
Cavum nasi (rongga hidung) dibagi menjadi kanan dan kiri oleh
septum nasi. Bagian cavum nasi yang bermuara keluar sebagai nares
anterior (lubang hidung) dan bagian posterior yang yang berhubungan ke
nasofaring adalah nares posterior (koana). Masing-masing cavum nasi
terdiri dari bagian yang dilapisi oleh kulit, yaitu vestibulum nasi dan bagian
yang dilapisi oleh mukosa, yaitu fossa nasalis. Vestibulum nasi
mengandung kelenjar sebasea, folikel rambut, dan rambut yang disebut
vibrissae. Batas atas dinding lateral adalah limen nasi.10

Gambar 2.1 Dinding lateral rongga hidung11

Masing-masing rongga hidung memiliki dinding lateral, dinding


medial, atap, dan dasar. Pada dinding lateral terdapat 4 konka (tonjolan
tulang yang menyerupai gulungan dan dilapisi oleh membran mukosa)
dengan celah di bawahnya yang disebut meatus nasi. Konka tersebut terdiri
atas konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema.

3
Sedangkan meatus nasi terdiri atas meatus nasi inferior, meatus nasi media,
dan meatus nasi superior10 (Gambar 2.1).

Gambar 2.2 Tampakan rongga hidung dengan spekulum hidung


(rhinoskopi anterior)11

Rongga hidung memiliki 2 regio, yakni regio olfaktori dan regio


respiratori. Regio olfaktori memiliki membran mukosa yang lebih pucat,
meliputi bagian sepertiga atas dari dinding lateral (hingga konka superior),
septum, dan atap dari rongga hidung. Sedangkan regio respiratori memiliki
membran mukosa yang dilapisi oleh epitelium pseudostratified kolumnar
bersilia, dengan vaskularisasi yang tinggi, dan ketebalan yang beragam.
membran mukosa pada konka sangat tebal, dan pada meatus membran
mukosa lebih tipis.10

Gambar 2.3 Regio hidung 12

4
2.1.2 Sinus Paranasal
Sinus paranasal (Gambar 2.4) adalah rongga berisi udara yang
dilapisi oleh membran mukosa. Berbeda dengan rongga hidung, sinus
paranasal dilapisi membran mukosa tipis dengan vaskularisasi yang lebih
sedikit.13 Membran mukosa sinus paranasal menghasilkan sekresi yang
mengalir ke dinding lateral rongga hidung.14
Sinus paranasal cukup kecil atau bahkan tidak ada saat lahir, tetapi
akan membesar selama dua periode pembesaran wajah, yaitu selama erupsi
gigi dan pada permulaan pubertas. Sinus paranasal berkembang sebagai
mukosa hidung yang menonjol ke tulang sekitarnya. Tulang tengkorak yang
mengandung sinus paranasal adalah os. frontal, os. sphenoid, os. ethmoid,
dan os. maxillae. Sinus paranasal memungkinkan tengkorak bertambah
besar tanpa mengubah massa (berat) tulang.14

Gambar 2.4 Sinus paranasal14

5
Sinus paranasal meningkatkan luas permukaan mukosa hidung,
sehingga meningkatkan produksi mukus untuk membantu melembabkan
dan membersihkan udara yang dihirup. Selain itu, sinus paranasal berfungsi
sebagai ruang resonansi (gema) di dalam tengkorak yang memperkuat dan
memperpanjang suara, sehingga meningkatkan kualitas suara. Pengaruh
sinus paranasal pada suara menjadi jelas ketika lorong-lorong di mana suara
masuk dan keluar dari sinus paranasal tersumbat oleh produksi lendir yang
berlebihan, sehingga suara kita terdengar sengau.14
Secara klinis, sinus paranasal terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Kelompok anterior, terdiri atas sinus maksilaris, frontalis, dan
etmoidalis anterior. Ketiga sinus ini akan di drainase menuju rongga
hidung melalui ostium pada kompleks osteomeatal (KOM) yang terletak
di meatus media.10
2. Kelompok posterior, terdiri atas sinus etmoidalis posterior yang
bermuara pada meatus superior, dan sinus sphenoid yang bermuara pada
resesus sphenoetmoidalis di medial dan posterior konka superior.10

6
2.1.3 Kompleks Osteomeatal (KOM)

Gambar 2.5 Kompleks osteomeatal dengan prosesus uncinatus melekat ke arah medial
pada septum

Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding


lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea.
Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi
dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional tempat ventilasi dan
dreinase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila,
etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit
ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus
terkait.1

2.1.4 Sistem Mukosiliar


Mukosa hidung mengandung sel goblet yang berperan dalam
mensekresi mukus dan cairan serous. Hasil sekresi ini akan membentuk
selimut mukus (mucous blanket) yang menutupi seluruh mukosa normal.
Selimut mukus ini terdiri atas 2 lapisan, yakni lapisan superfisial berupa
lapisan mukus, dan lapisan lebih dalam berupa lapisan serous. Selimut

7
mukus melayang diatas silia yang bergerak secara konstan untuk
mengalirkan ke arah nasofaring (Gambar 2.6). Bakteri, virus, dan partikel
debu dapat terperangkap pada selimut mukus untuk dibawa ke nasofaring.
Pada Immotile Cillia Syndrome, silia tidak bergerak secara efektif sehingga
terjadi stagnasi mukus pada hidung dan sinus paranasal yang dapat
menyebabkan rhinosinusitis kronik.10

Gambar 2.6 Selimut mukus yang digerakkan oleh silia10

Mukus dari sinus paranasal akan dialirkan menuju ostium kemudian


masuk ke rongga hidung. Sinus frontalis memiliki gerakan mukosiliar
(mucociliary clearance) yang unik, yakni mukus akan bergerak menyusuri
septum interfrontal, atap, dinding lateral, dasar, dan menuju ostium. Pada 2
area yakni, pertama tepat diatas ostium dan kedua tepat di resesus frontalis,
sebagian dari mukus mengalir kembali menuju sinus sehingga kondisi ini
dapat membawa infeksi ke sinus frontalis10 (Gambar 2.7).

8
Gambar 2.7 Mucociliary clearance Sinus Paranasal; (A) sinus maksilaris, (B)
sinus frontalis, (C) Sinus kelompok anterior dan posterior10

2.2 Polip Nasi


2.2.1 Definisi
Polip nasi adalah penyakit inflamasi kronis yang menyerang
membran mukosa hidung berupa massa lunak yang mengandung banyak
cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabuan agak transparan
sering multipel dan bilateral yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Bentuknya dapat bulat atau lonjong, bertangkai dan mudah di gerakkan.
Polip dapat membesar dan dapat memenuhi rongga hidung dan sampai
keluar ke nares anterior.1,3

9
2.2.2 Epidemiologi
Polip nasi diperkirakan diderita oleh 1-4% orang di dunia dan pada
25-30% pasien dengan rhinosinusitis.4 Polip nasi lebih sering terjadi pada
laki-laki dengan puncak insiden antara 40-60 tahun.5 Penderita asma berusia
lebih dari 40 tahun empat kali leih berisiko menderita polip nasi
dibandingkan dengan yang berusia di bawah 40 tahun. Genetik juga
berperan dalam terjadinya polip, di mana 25% pasien memiki keluarga
tingkat pertama (orang tua, saudara, anak) dengan riwayat polip nasi.6
2.2.3 Etiologi
Etiologi polip nasi sangat kompleks dan tidak dipahami dengan baik.
Polip nasi mungkin timbul dalam kondisi inflamasi mukosa hidung
(rhinosinusitis), gangguan motilitas silia atau komposisi abnormal mukus
hidung (cystic fibrosis).10 Berbagai penyakit yang berhubungan dengan
pembentukan polip nasi adalah:
1. Rhinosinusitis kronik. Polip terlihat pada rhinosinusitis kronik, baik
yang bersifat dari alergi maupun nonalergi. Rhinitis nonalergi dengan
sindrom eosinofilia adalah bentuk rhinitis kronik yang berhubungan
dengan polip nasi.
2. Asma. Tujuh persen pasien dengan asma atopik atau nonatopik memiliki
polip nasi.
3. Intoleransi aspirin. Tiga puluh enam persen pasien dengan intoleransi
aspirin berisiko memiliki polip nasi. Trias Samter terdiri dari polip nasi,
asma dan intoleransi aspirin.
4. Fibrosis kistik. Dua puluh persen pasien dengan cystic fibrosis memiliki
polip nasi. Hal ini diduga karena mukus yang tidak normal.
5. Sinusitis jamur. Hampir semua kasus sinusitis jamur membentuk polip
nasi.
6. Sindrom Kartagener (primary ciliary dyskinesia), terdiri dari sinusitis
bronkiektasis, situs inversus dan diskinesis silia.
7. Sindrom Young (sinusitis-infertility syndrome), terdiri dari penyakit
sinopulmoner dan azoospermia.

10
8. Sindrom Churg-Strauss, terdiri dari asma, demam, eosinofilia, vaskulitis
dan granuloma.
9. Mastositosis hidung. Ini adalah bentuk rhinitis kronik di mana mukosa
hidung diinfiltrasi dengan sel mast tetapi sedikit eosinofil. Tes kulit
untuk alergi dan kadar IgE normal.
2.2.4 Patogenesis
Patogenesis yang tepat dari polip nasi belum diketahui. Ada 3 faktor
yang penting dalam patogenesis polip nasi yaitu:
1. Peradangan mukosa hidung yang berulang
2. Kelainan respon vasomotor
3. Masalah mekanisme yang menyebabkan peningkatan tekanan cairan
interstitial dan edema
Namun tidak ada penjelasan yang memuaskan untuk patogenesis
polip nasi. Setiap gangguan hidung yang mengganggu drainase cairan pada
jaringan interstitial dan aliran vena dapat menyebabkan edema. Ketika
proses ini menyebar, menghasilkan hiperplasi polipoid. Peradangan mukosa
muncul dan diperburuk oleh peningkatan tekanan hidrostatik, efek gravitasi
dan perubahan kandungan kimia dari cairan di dalam jaringan.15

11
Gambar 2.8 Hipotesis terbentuknya polip nasi menurut Mygind15

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,


disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Brenstein,
terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
bertubulensi, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi
prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel
epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain
mengatakan karena ketidakseimbngan saraf vasomotor, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang
menyebabkan edema dan lama kelamaan menjadi polip. Bila proses terus
berlanjut, mukosa yang sembab semakin membesar menjadi polip dan
kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.1

12
2.2.5 Manifestasi Klinis
Keluhan polip nasi yang paling sering yaitu hidung tersumbat dari
yang ringan sampai yang berat, hidung berair mulai yang jernih sampai
purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri
pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi
sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, bau
mulut, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Gejala pada saluran
nafas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip
nasi dengan asma.1
Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang menetap
dengan derajat yang bervariasi tergantung dengan lokasi dan ukuran polip.
Umumnya, penderita juuga mengeluh rinore cair dan post nasal drip.
Anosmia atau hiposmia dengan gangguan pengecapan juga merupakan
gejala polip nasi. Rinoskopi anterior dan posterior dapat menunjukkan
massa polipoid yang berwarna keabuan pucat yang dapt berjumlah satu atau
multipel dan paling sering muncul dari meatus media dan prolaps ke kavum
nasi. Massa tersebut terdiri dari jaringan ikat longgar, sel inflamasi, dan
beberapa kapiler serta kelenjar dan ditutupi oleh epitel torak berlapis semu
bersilia (ciliated pseudostratified collumner epithelium) dan di antaranya
terdapat sel-sel goblet. Penelitian menunjukkan bahwa eosinofil merupakan
sel-sel inflamasi yang paling sering ditemukan pada polip nasi. IL-5 yang
menyebabkan eosinofil bertahan lama sehingga berdasarkan histokimia
polip nasi dapat dibedakan dengan rinosinusitis. Polip nasi hampir selalu
ditemukan bilateral dan jika ditemukan unilateral diperlukan pemeriksaan
histopatologi untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan. Polip nasi
tidak sensitif terhadap sentuhan dan jarang berdarah.16

13
2.2.6 Penegakkan Diagnosis
Diagnosis dari polip nasi ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, naso-endoskopi, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan
histopatologi.
1. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung tersumbat. Rhinore
mulai yang jernih sampai purulent, post nasal drips, gangguan
penghidu, suara sengau serta rasa nyeri pada hidung disertai sakit
kepala.1 Perlu ditanyakan pada pasien mengenai sensitivitas aspirin dan
riwayat asma dan penyakit lainnya, untuk melihat kemungkinan etiologi
yang mendasari.2
2. Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar
sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung.3 Pada
pemeriksaan rhinoskopi anterior terlihat sebagai massa bertangkai
dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih
keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan
tidak sensitif (bila ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit).1

Gambar 2.9 Polip nasi pada pemeriksaan rhinoskopi anterior


Secara makroskopik pembagian polip hidung sebagai berikut3:
1. Polip edematosa berupa lesi berbentuk seperti anggur berwarna
putih keabuan, licin dan mengkilap
2. Polip fibrous lebih padat tidak mengkilap dan lebih pucat
3. Polip vaskular berwarna merah muda akibat vaskularisasi yang
relatif lebih banyak di tunika proprianya

14
3. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus polip
yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat polip
yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.3

Gambar 2.10 Polip nasi pada pemeriksaan naso-endoskopi

Derajat polip nasi secara endoskopik dibuat untuk kepentingan


penelitian agar hasil pemeriksaan dan pengobatan dapat di laporkan
dengan standar yang sama. Mackay dan Lund (1997) membagi stadium
polip sebagai berikut:
• Grade 0: tidak dijumpai adanya polip
• Grade 1: polip masih terbatas di meatus media
• Grade 2: polip sudah keluar dari meatus media, bisa mencapai
konka inferior atau dinding medial konka media tapi belum
memenuhi rongga hidung
• Grade 3: polip yang masif/total, memenuhi cavum nasi

15
Gambar 2.11 Stadium polip nasi3

4. Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral)
dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan
di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan
tomografi komputer (CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan
jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang,
kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. CT
scan terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan
terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.1
5. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas (gold standard)
penegakan diagnosa polip nasi. Secara mikroskopis tampak epitel pada
polip serupa dengan mukosa hidung normal, yaitu epitel bertingkat
semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari
limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa
mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, kelenjar dan saraf sangat
sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel
karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik,
atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.1

16
2.2.7 Diagnosis Banding
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri-
cirinya sebagai berikut:
1. Tidak bertangkai
2. Sukar digerakkan
3. Nyeri bila ditekan dengan pinset
4. Mudah berdarah
5. Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk
membedakan polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian
vasokonstriktor yang juga harus hati-hati pemberiannya pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik,
maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi
dan dengan penyakit jantung lainnya.
Diagnosa banding lainnya adalah angiofibroma nasofaring
juvenile (ANJ). Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori,
jaringan nasal tumor ini mempunyai tempat perleketan spesifik di dinding
posterolateral atap rongga hidung. Dari anamnesis diperoleh keluhan
adanya sumbatan pada hidung dan epistaksis berulang yang massif. Terjadi
obstruksi hidnung sehingga timbul rhinorea kronis yang diikuti gangguan
penciuman. Oklusi pada tuba eustachius menimbulkan ketulian atau otalgia.
Jika ada keluhan sefalgia menandakan adanya perluasan tumor ke
intrakranial.
Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi posterior terlihat adanya
tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda, diliputi oleh selaput lender keunguan.Mukosa mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulserasi. Pada
pemeriksaan penunjang radiologi konvensional akan terlihat gambaran
klasik sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus
pterigoideus ke belakang. Pada pemeriksaan CT Scan dengan zat kontras

17
akan tampak perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya. ANJ banyak
terjadi pada anak-anak atau remaja laki-laki.
2.2.8 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan polip nasi:
1. Mengembalikan jalan nafas
2. Mengurangi gejala
3. Mengurangi frekuensi infeksi
4. Memperbaiki kualitas hidup
5. Mencegah komplikasi

2.2.8.1 Non-operatif
Satu – satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasi adalah
kortikosteroid. Baik bentuk oral maupun topikal, memberikan respon anti
inflamasi non spesifik yang mengurangi ukuran polip dan mengurangi
gejala sumbatan hidung.
1. Kortikoseroid oral
Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip nasi
adalah kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi non
spesifik ini secara signifikan mengurangi ukuran peradangan polip dan
memperbaiki gejala lain secara cepat, sayangnya massa kerja obat ini
sebentar dan polip sering sering tumbuh kembali dan munculnya gejala
lain yang sama dalam waktu mingguan hingga bulanan. Dosis
kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan yang baku, pemberian masih
secara empirik. Menurut van Camp dan Clement dikutip dari Mygind
dan Lidholt untuk polip dapat diberikan prednisolon dengan dosis total
570 mg yang dibagi dalam beberapa dosis yaitu 60 mg/ hari selama 4
hari , kemudian di lakukan tappering off 5mg/hari. Menurut Naclerio
pemberian kortikosteroid tidak boleh lebih dari 4 kali dalam setahun.
Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip sekang tidak dianjurkan
lagi karena dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli.

18
2. Kortikosteroid topikal hidung
Respon inflamasi non spesifiknya secara teoritis mengurangi ukuran
polip dan mencegah tumbuhnya polip kembali jika digunakan
berkelanjutan. Untuk polip stadium 1 dan 2 sebaiknya diberikan
kortikosteroid intranasal selama 4 – 6 minggu. Tersedia semprot hidung
steroid yang efektif dan relatif aman untuk pemakaian jangka pendek
seperti fluticason. Terkadang pemberian semprot hidung dibeberapa
pasien tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan hal ini bisa
disebabkan oleh sumbatan oleh polip nasi menyebabkan kortikosteroid
semprot hidung tak adekuat didistribusikan. Disarankan untuk
pemberian tetes hidung dengan Moffit’s position sehingga
kortikosteroid tetes hidung tepat masuk ke meatus media.

2.2.8.2 Operatif
Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari pasien diberi antibiotik dan
kortikosteroid sistemik dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi
bakteri dan mengurangi inflamasi, karena inflamasi akan menyebabkan
edema dan perdarahan yang banyak yang akan mengganggu kelancaran
operasi. Antibiotik yang disarankan adalah golongan makrolid, pemberian
antibiotik ini bertujuan untuk menghindari pembentukan fibrosis dan
mencegah progresif dari polip nasi. Kortikosteroid juga bermanfaat untuk
mengecilkan polip sehingga operasinya akan lebih mudah.
Terapi bedah yang dipilih tergantung dari luasnya penyakit
(besarnya polip dan adanya sinusitis yang menyertainya). Jenis operasi
mulai dari polipektomi intranasal menggunakan jerat (snare) kawat
dan/polipektomi intranasal dengan cunam (forcep) yang dapat dilakukan di
ruang unit rawan jalan dengan anestesi lokal; etmodektomi intranasal atau
etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid; operasi Caldwell – Luc untuk
sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskopi maka
dapat dilakukan tindakan endoskopi untuk polipektomi saja, atau disertai
unsinektomi atau lebih luas lagi disertai pengangkatan bula etmoid sampai
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).

19
Alat mutakhir untuk operasi polipektomi endoskopik adalah
mikrodebrider yaitu alat yang dapat menghancurkan dan menghisap
jaringan polip sehingga operasi dapat berlangsung cepat dengan trauma
yang minimal. Dilaporkan 40 kasus operasi BSEF dengan mikrodebrider
menunjukkan penyembuhan mukosa yang cepat, minimal pembentukan
krusta dan berkurangnya pembentukan sinekia.

Gambar 2.12 NP Management Guidelines of Rhinology Study Group –Indonesian


Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery Society

20
2.2.9 Komplikasi
Polip nasi dapat menyebabkan komplikasi karena menghalangi
aliran udara normal dan drainase cairan, dan juga karena iritasi jangka
panjang dan pembengkakan (peradangan) yang mendasari
perkembangannya. Komplikasi potensial meliputi:
1. Apnea tidur obstruktif. Ini adalah kondisi yang berpotensi serius di
mana Anda berhenti dan mulai sering bernapas saat tidur.
2. Serangan asma. Sinusitis kronis dapat memperburuk asma.
3. Infeksi sinus. Polip nasi dapat membuat Anda lebih rentan terhadap
infeksi sinus yang sering kambuh

2.2.10 Prognosis
Polip nasi sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya
juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang
paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen
penyebab dan eliminasi. Secara medikamentosa, dapat diberikan
antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung
yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi
inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat
dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi,
yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan.

21
BAB III
PENUTUP

Patogenesis yang tepat dari polip nasi belum diketahui. Ada 3 faktor yang
penting dalam patogenesis polip nasi yaitu peradangan mukosa hidung yang
berulang, kelainan respon vasomotor, masalah mekanisme yang menyebabkan
peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema. Gejala utama dari polip nasi
adalah sumbatan hidung yang menetap dengan derajat yang bervariasi tergantung
dengan lokasi dan ukuran polip. Umumnya, penderita juuga mengeluh rinore cair
dan post nasal drip. Anosmia atau hiposmia dengan gangguan pengecapan juga
merupakan gejala polip nasi. Rinoskopi anterior dan posterior dapat menunjukkan
massa polipoid yang berwarna keabuan pucat yang dapt berjumlah satu atau
multipel dan paling sering muncul dari meatus media dan prolaps ke kavum nasi.
Diagnosa dari polip nasi ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
naso-endoskopi, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan histopatologi. Polip
didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid. Diagnosa banding lainnya adalah
angiofibroma nasofaring juvenile. Penatalaksanaan untuk polip nasi dapat
dilakukan secara konservatif maupun operatif, yang biasanya ditentukan dengan
melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien. Komplikasi meliputi apnea
tidur obstruktif, serangan asma, dan infeksi sinus. Polip nasi sering tumbuh
kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan kepada penyebabnya,
misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada polip nasi yang disebabkan rinitis
alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 7th ed. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI; 2012.
2. del Toro E, Portela J. Nasal Polyps [Internet]. Treasure Island: StatPearls
Publishing; 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560746/
3. Devi S. Analisis Karakteristik Demografi Dan Tipe Histopatologi Pada
Pasien Polip Hidung Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2016 - 2018.
Universitas Sumatera Utara; 2020.
4. Chen S, Zhou A, Emmanuel B, Thomas K, Guiang H. Systematic literature
review of the epidemiology and clinical burden of chronic rhinosinusitis with
nasal polyposis. Curr Med Res Opin [Internet]. 2020;36(11):1897–911.
Available from: https://doi.org/10.1080/03007995.2020.1815682
5. Agustin Sutrawati NMD, Ratnawati LM. Karakteristik penderita polip nasi
di Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014 - Desember
2015. Medicina (B Aires). 2019;50(1):138–42.
6. Pearlman AN, Chandra RK, Conley DB, Kern RC. Epidemiology of Nasal
Polyps. In: Önerci TM, Ferguson BJ, editors. Nasal Polyposis. Berlin,
Heidelberg: Springer; 2010. p. 9–15.
7. Ahmad MJ, Ayeh S. The Epidemiological and Clinical Aspects of Nasal
Polyps that Require Surgery. Iran J Otorhinolaryngol. 2012;24(67):75–8.
8. Mayo Clinic. Nasal polyps. Mayo Found Med Educ Res [Internet]. 2021;
Available from: https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/nasal-
polyps/symptoms-causes/syc-20351888
9. Marbun EM. Penatalaksanaan polip nasi dengan operasi fungsional
endoskopik sinus. J Kedokt meditek. 2018;24(65):1-7 p.
10. Dhingra P, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat. 6th ed.
Diseases of Ear, Nose and Throat. New Delhi: Elsevier; 2014.
11. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2014.
83–84 p.
12. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray’s Basic Anatomy. Philadelphia:
Elsevier; 2012.
13. Martini F, Bartholomew EF. Essential Anatomy & Physiology. 8th ed.
Hoboken: Pearson Education; 2020.
14. Tortora GJ. Principles of Anatomy & Physiology. 14th ed. Hoboken: Wiley;

23
2014.
15. Tripathi P. Histopathological Study Of Nasal Polyps Done At
DR.B.R.Ambedkar Medical College Hospital Bangalore. Rajiv Gandhi
University of Health Sciences; 2010.
16. Ballenger JJ. Disease of The Nose, Throat, and Ear. 12th ed. Philadelphia:
Lea & Febiger; 2009.

24

Anda mungkin juga menyukai