Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

ABSES PERITONSIL

Tugas Kepaniteraan Klinik

Stase Ilmu THT di RSUD Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi

Pembimbing :

dr.Nina Amalia M,Ked (ORL-HNS) Sp.THT-KL

dr.H. Vive Kananda Sp. THT-KL

Disusun Oleh :

KHAIRUL ANWAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA

2016
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat

dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul

"Abses Peritonsil". Penulis mengucapkan Shalawat beriring salam kepada Nabi

Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Makalah ini merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di

bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala & Leher (THT-

KL) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada preseptor penulis dr.H. Vive Kananda Sp.THT-

KL dan dr.Nina Amalia M,ked (ORL-HNS) Sp.THT-KL selaku pembimbing

yang telah memberikan masukan dan kepada semua pihak yang telah membantu

penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk

menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita

semua dalam menambah keilmuan kita dalam penatalaksanaan kasus Abses

Peritonsil dan dapat kita amalkan setelah menjadi dokter nantinya.

Tebing Tinggi, 20 Juli 2016

Penulis
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
DAFTAR TABEL..............................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................2
1.4 Metode Penulisan.......................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 4
2.1 Tonsil............................................................................................................ 4
2.1.1 Anatomi Tonsil................................................................................... 4
2.1.2 Sistem Vaskularisasi Tonsil................................................................6
2.1.3 Persarafan Tonsil.................................................................................7
2.1.4 Fisiologi Tonsil....................................................................................8
2.2 Abses Peritonsil.............................................................................................10
2.2.1 Definisi Abses Peritonsil....................................................................10
2.2.2 Etiologi Abses Peritonsil....................................................................10
2.2.3 Epidemiologi Abses Peritonsil...........................................................11
2.2.4 Patogenesis Abses Peritonsil..............................................................11
2.2.5 Manifestasi Klinik Abses Peritonsil...................................................13
2.2.6 Diagnosis Abses Peritonsil.................................................................14
2.2.7 Diagnosis Banding Abses Peritonsil..................................................18
2.2.8 Tatalaksana Abses Peritonsil..............................................................19
2.2.9 Komplikasi Abses Peritonsil...............................................................21
2.2.10 Prognosis Abses Peritonsil................................................................22
BAB 3 PENUTUP............................................................................................. 23
3.1 Kesimpulan................................................................................................... 23
3.2 Saran.............................................................................................................
ii 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................25
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Bakteri penyebab abses peritonsil 10


Tabel 2.2 Gejala dan tanda yang umum ditemukan pada pasien dengan abses
peritonsil. 14

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Tonsil 4


Gambar 2.2 Cincin Waldeyer 5
Gambar 2.3 Tonsil Palatina 6
Gambar 2.4 Vaskularisasi Tonsil 7
Gambar 2.5 Persarafan Tonsil 7
Gambar 2.6 Abses Peritonsil 14
Gambar 2.7 Foto lateral soft tissue dengan gambaran abses peritonsil 16
Gambar 2.8 CT Scan dari abses peritonsil dextra 17
Gambar 2.9 Ultrasonografi dari abses peritonsil 18
Gambar 2.10 Insisi Abses Peritonsil 20
Gambar 2.11 Tonsilektomi 21

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain

abses peritonsil, abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici

(Ludwig’s angina), atau abses submandibula juga termasuk abses leher bagian

dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara fascia leher dalam sebagai akibat

penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus

paranasal, telinga tengah dan leher.

Abses peritonsil merupakan kumpulan atau timbunan pus yang terlokalisir

pada jaringan peritonsiler yang terbentuk akibat tonsilitis supuratif.1 Abses

peritonsil terbentuk karena penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi

tenggorokan pada satu ruangan areolar yang longgar disekitar faring yang biasa

menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus bagian kapsul

tonsil, tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring. Peradangan akan

mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Tempat yang biasa

terjadi abses adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior,

dan palatum superior.2

Infeksi ini bisa terjadi pada setiap kelompok usia namun insiden tertinggi

pada dewasa berumur 20 – 40 tahun. Abses peritonsil merupakan infeksi profunda

yang paling sering pada kepala dan tenggorok pada usia dewasa muda. Seringkali

pasien datang dengan keluhan yang berat, namun penatalaksanaannya tidaklah

terlalu rumit jika kita sebagai dokter 1tanggap dan mengetahui dengan benar

anatomi, patofisiologi, dan gejala dari penyakit ini. Pengenalan awal dan
pemberian terapi merupakan hal yang penting dilakukan untuk mencegah

komplikasi serius yang mungkin timbul.3 Oleh karena itu penulis tertarik untuk

membuat makalah tentang abses peritonsil diharapkan dapat menambah

pengetahuan kita sebagai dokter dalam hal diagnosis dan tatalaksana yang tepat

untuk mengobati kasus abses peritonsil.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Untuk melengkapi persyaratan tugas kepaniteraan klinik stase Bedah di Rumah Sakit
Umum Daerah dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi tentang “Abses Peritonsil”

2. Tujuan Khusus
Memberikan penjelasan tentang anatomi hidung, definisi Abses Peritonsil, etiologi Abses
Peritonsil, patofisiologinya, klasifikasinya, sampai ke bagaimana penanganan Abses
Peritonsil beserta komplikasinya.

1.3 Metode Penulisan

Penulisan makalah ini dibuat dengan metode penulisan tinjauan

kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tonsil

2.1.1 Anatomi Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil

faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya

membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.4

Gambar 2.1 Anatomi Tonsil.5

3
Gambar 2.2 Cincin Waldeyer.6
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam

fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot

palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval

dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang

meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa

tonsilaris, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.

Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:7

 Lateral : Muskulus konstriktor faring superior

 Anterior : Muskulus palatoglosus

 Posterior : Muskulus palatofaringeus

 Superior : Palatum mole

 Inferior : Tonsil lingual

4
Gambar 2.3 Tonsil Palatina.2

2.1.2 Sistem Vaskularisasi Tonsil

Tonsil mendapatkan vaskularisasi dari cabang-cabang arteri karotis

eksterna, yaitu:

1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteritonsilaris

dan arteri palatina asenden.

2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden.

3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal.

4. Arteri faringeal asenden.

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal

dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, di antara kedua daerah tersebut

diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal

asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus

yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di

sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.9

5
Gambar 2.4 Vaskularisasi Tonsil.2
2.1.3 Persarafan Tonsil

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX

(nervus glosofaringeal).

Gambar 2.5 Persarafan Tonsil.2

2.1.4 Fisiologi Tonsil


Peran imunitas tonsil adalah sebagai pertahanan primer untuk menginduksi

sekresi bahan imun dan mengatur produksi dari imunoglobulin sekretoris. Peran

tonsil mulai aktif antara umur 4-10 tahun dan akan menurun setelah masa

pubertas. Hal ini menjadi alasan fungsi pertahanan dari tonsil lebih besar pada

anak-anak daripada orang dewasa. Anak-anak mengalami perkembangan daya

tahan tubuhnya terhadap infeksi terjadi pada umur 7 hingga 8 tahun dan tonsil

merupakan salah satu organ imunitas pada anak yang memiliki fungsi imunitas

yang luas.8

Berdasarkan penelitian, tonsil mempunyai peranan penting dalam fase-fase

awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara pernafasan

sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian juga

menunjukkan bahwa parenkim tonsil mempu menghasilkan antibodi. Tonsil

memegang peranan dalam menghasilkan IgA, yang menyebabkan jaringan

jaringan lokal resisten terhadap organisme patogen. Sewaktu baru lahir, tonsil

secara histologi tidak mempunyai sentrum germinativum, biasanya ukurannya

kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan

adenoid, yang pada permulaan kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan

dapat dipakai sebagai indeks aktivitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau

sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses

involusi. Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik.8

a. Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Mekanisme pertahanan non spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan

kemampuan limfoid untuk menghancurkan


7 mikroorganisme. Pada beberapa

tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah
dalam pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman

dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel

fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan

kepekaan bakteri terhadap fagosit. Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel

fagosit akan bergerak mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara

memasukkannya ke dalam kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya

adalah digesti dan mematikan bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti,

tetapi diduga terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang diperlukan untuk

pembentukan superoksidase yang akan membentuk H2O2 yang bersifat

bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke dalam fagosom atau berdifusi di

sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan proses oksidasi. Di dalam sel

fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan bakteri maka

membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya mengalir dalam

fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan menghancurkan

bakteri dengan proses digestif.8

b. Mekanisme Pertahanan Spesifik

Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan

tubuh terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah.

Tonsil dapat memproduksi IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal

terhadap organisme patogen. Di samping itu tonsil dan adenoid juga dapat

menghasilkan IgE yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit, di

mana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu

histamin. Bila ada alergen maka alergen8 itu akan bereaksi dengan IgE, sehingga

permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi.


Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi

hipersensitivitas tipe 1, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema. Dengan

teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa IgE dihasilkan dari plasma sel,

terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil.

Mekanisme kerja IgA adalah mencegah substansi masuk ke dalam proses

immunologi, sehingga dalam proses neutralisasi dari infeksi virus, IgA mencegah

terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu IgA merupakan barrier untuk

mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.8

2.2 Abses Peritonsil

2.2.1 Definisi Abses Peritonsil

Abses peritonsil merupakan abses di antara kapsul tonsil dan perbatasan

dinding lateral faring (m. constrictor superior).9

2.2.2 Etiologi Abses Peritonsil

Abses peritonsil disebakan karena infeksi, biasanya polimikrobial. Berikut

daftar bakteri yang sering menyebabkan abses peritonsil :3

Tabel 2.1 Bakteri penyebab abses peritonsil


Bakteri Aerob Bakteri Anaerob
Streptococcus pyogenes Fusobacterium sp.
Staphylococcus aureus Peptostreptococcus
Neisseria sp. Pigmented Prevotella
Corynebacterium sp. Veillonella

Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain

eipsten-barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.

2.2.3 Epidemiologi Abses Peritonsil10,11,12,13,14


a. Frekuensi

Di Amerika Serikat, insidensi abses peritonsil diperkirakan sekitar 30 kasus

per 100.000 orang per tahun, sekitar 45.000 kasus tiap tahunnya. Infeksi sebagian

besar terjadi pada bulan November hingga Desember dan April hingga Mei,

bersamaan dengan terjadinya insidensi tertinggi faringitis streptokokus dan

tonsilitis eksudatif. Secara internasional, frekuensi dilaporkan lebih tinggi oleh

karena rekurensi dan resistensi terhadap antibiotik.

b. Mortalitas dan morbiditas

Mortalitas dari abses peritonsil belum diketahui. Morbiditas abses

peritonsiler sebagian besar berkaitan dengan nyeri, biaya terapi, absensi kerja dan

sekolah, dan komplikasi.

c. Jenis kelamin

Rasio laki-laki dan perempuan yang menderita abses peritonsiler sama.

d. Usia

Abses peritonsil dapat terjadi pada orang usia 10 hingga 60 tahun, akan

tetapi sebagian besar terjadi pada usia 20-40 tahun. Anak-anak yang lebih muda

yang terkena abses peritonsil sering merupakan anak dengan

immunocompromised.

2.2.4 Patogenesis Abses Peritonsil 3,9,10,11,12,13,14

Patologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang

paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsilitis eksudatif

pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang

sebenarnya (frank abscess formation). 10


Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,

oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering

menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses

peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium

permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang

hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih

lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan

mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi

kontra lateral.

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan

menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses

dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, abses

peritonsil terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsilitis kronis atau

berulang (recurrent) sebelumnya. Abses peritonsil dapat juga merupakan suatu

gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (mononucleosis).

Review terbaru menunjukkan bahwa glandula Weber memainkan peranan

kunci pada pembentukan abses peritonsil. Kelompok glandula saliva yang

berjumlah 20-25 ini terletak pada suatu tempat di palatum molle, dan superior

terhadap tonsil, dan dihubungkan dengan permukaan tonsil oleh suatu duktus.

Glandula ini membersihkan area tonsil dari debris dan membantu proses digesti

partikel makanan yang terperangkap pada kripta tonsilla. Jika glandula Weber

mengalami peradangan, selulitis lokal dapat terbentuk. Dengan berkembangnya

infeksi, duktus ke permukaan tonsil mengalami


11 obstruksi yang terus berkembang,

oleh karena inflamasi di sekitarnya. Nekrosis jaringan dan pembentukan pus yang
dihasilkan oleh proses ini, menimbulkan tanda dan gejala klasik abses peritonsil.

Abses pada umumnya terbentuk pada area pada palatum molle, di atas polus

superior tonsil, di lokasi glandula Weber. Terjadinya abses peritonsil pada pasien

yang pernah menjalani tonsilektomi mendukung teori bahwa glandula Weber

memiliki peranan dalam patogenesis.

2.2.5 Manifestasi Klinik Abses Peritonsil14,15

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan

odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa

sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)

ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah

yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem

dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem

perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut)

yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus

menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,

sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Limfadenitis servikal yang

sangat nyeri bisa didapatkan dengan palpasi pada sisi yang terkena. Akibat

limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan

terbatasnya gerakan leher (torticolis). Tonsil pada umunya tergeser ke arah

inferior dan medial dengan deviasi kontralateral uvula.

12
Gambar 2.6 Dari kiri ke kanan: abses peritonsil dextra, abses peritonsil sinistra.21
Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah

dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum molle.

Terdapat riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan rasa tidak nyaman pada

tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk. Keparahan dan

progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Kebanyakan pasien menderita nyeri

hebat. Kematian dapat terjadi oleh karena obstruksi jalan nafas, aspirasi, atau

perdarahan dari erosi atau nekrosis septik pada selubung karotid.

Tabel 2.2 Gejala dan tanda yang umum ditemukan pada pasien dengan abses
peritonsil.15
Gejala Tanda
Demam Eritematosa, bengkak di palatum molle dengan deviasi
uvula ke sisi kontralateral dan pembesaran tonsil
Malaise Trismus
Nyeri tenggorok Drooling/ Hipersalivasi
Nyeri menelan Hot potato voice
Otalgia (ipsilateral) Nafas berbau
Limfadenitis servikal

2.2.6 Diagnosis Abses Peritonsil15, 16

Diagnosis abses peritonsil sering ditetapkan dengan dasar anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang teliti. 13

1. Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses

peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah

satu yang mendukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut

yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral. Selain

itu juga terlihat tanda dan gejala adanya abses peritonsil (Tabel 2.2).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring.

Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena

ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan

pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis.

Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah

tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral.

Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang

terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan

bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa

melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis

tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis

tengah. Asimetri palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan,

serta pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi.

3. Pemeriksaan Penunjang 12

Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk

penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu

dengan melakukan aspirasi jarum (needle


14 aspration). Tempat yang akan

dilakukan aspirasi di anestesi dengan menggunakan lidokain atau epinefrin


dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe

berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan

material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui

organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita

abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:

 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit

(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).

 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan

tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,

penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function

tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.

 Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi

organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan

antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi

antibiotik.

 Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft

tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam

menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

Gambar 2.7 Foto lateral soft tissue15dengan gambaran abses peritonsil.16


 Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan

hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada

tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang

asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi.

Gambar 2.8 CT Scan dari Abses peritonsil dextra.16

 Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral

ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan

spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80%

dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan

dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses.

Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum

melakukan operasi dan drainase secara pasti.

16
Gambar 2.9 Ultrasonografi dari abses peritonsil.16

2.2.7 Diagnosis Banding Abses Peritonsil

Abses peritonsil dapat didiagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses

leher dalam lainnya yaitu:

1. Abses retrofaring

2. Abses parafaring

3. Abses submandibula

4. Angina ludovici

Hal ini karena pada semua penyakit abses leher dalam, nyeri tenggorok,

demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang

paling umum. Untuk membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam

lainnya, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.4

Selain itu, abses peritonsil juga didiagnosis banding dengan infeksi gigi,

epiglotitis, selulitis peritonsil, faringitis, mononukleosis, adenitis servikal, infeksi


17
kelenjar saliva, leukemia atau limfoma.
2.2.8 Tatalaksana Abses Peritonsil

Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :

a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.

b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.

c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara

parenteral atau peroral.

d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.

e) Pemberian steroid.

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat

simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin

pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur

mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of choice pada

abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan

metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam

selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis

awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan

infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari

4 gr/hari.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian

diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling

menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar

uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan

dengan mengiris mukosa overlying 18


abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsilar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera

gejala-gejala pasien.4

Gambar 2.10 Insisi Abses Peritonsil.4

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia

lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi

tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase

abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah

drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi

dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.4

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses

peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.

Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Angka

kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara

0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi


19
dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis,

sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.4

Gambar 2.11 Tonsilektomi.17

Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan

Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous

dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan

mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan

(throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya

diberi antibiotik parenteral.18

2.2.9 Komplikasi Abses Peritonsil

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:4

 Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau piemia.

 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses

parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan

mediastinitis.
20
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus

sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.


 Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik

apabila bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.

 Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis

septik ke selubung karotis atau carotid sheath.

 Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri supratonsilar.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses

peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresif

penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

2.2.10 Prognosis Abses Peritonsil

Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian

kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan

aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan

nyawa pasien.19

Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan

tonsilektomi, maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut

peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada

saat operasi.20

21
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Abses peritonsil merupakan abses di antara kapsul tonsil dan perbatasan

dinding lateral faring (m. constrictor superior).

2. Abses peritonsil disebakan karena infeksi, biasanya polimikrobial.

3. Abses peritonsil dapat terjadi pada orang usia 10 hingga 60 tahun, akan tetapi

sebagian besar terjadi pada usia 20-40 tahun. Anak-anak yang lebih muda

yang terkena abses peritonsil sering merupakan anak dengan

immunocompromised.

4. Patologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang

paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsilitis

eksudatif pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan

abses yang sebenarnya (frank abscess formation).

5. Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan

odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah

terasa sakit, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara,

rinolalia aperta, trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga

mulut).

6. Diagnosis abses peritonsil sering ditetapkan dengan dasar anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang teliti. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada

tenggorokan adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses peritonsil.

Riwayat adanya faringitis akut yang


22 disertai tonsilitis dan rasa kurang

nyaman pada pharingeal unilateral. Pada pemeriksaan fisik didapatkan


tonsilitis akut dengan asimetri faring. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan

pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis.

Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah

tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral.

7. Tatalaksana abses peritonsil meliputi pemberian antibiotika dosis tinggi dan

obat simtomatik, pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral, insisi dan

mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara parenteral atau

peroral, segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.

8. Sejumlah komplikasi klinis seperti abses pecah spontan, mengakibatkan

perdarahan, aspirasi paru, atau piemia dapat terjadi jika diagnosis abses

peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresif

penyakit.

9. Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian

kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan

aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intrakranial juga dapat

membahayakan nyawa pasien.

3.2 Saran

Diagnosis dini sangat penting mengingat dapat terjadi beberapa

komplikasi yang mengancam jiwa. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan

progresi penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Abidin, Taufik. Abses Peritonsiler. Mataram : Fakultas Kedokteran
Universitas Mataram; 2006.
2. Staff. Palatine Tonsil. Diunduh dari http://www.webmd.com, diakses
Februari 2016.
3. Nicholas J. Galioto, Md. Peritonsillar Abscess. Des Moines, Iowa :
Broadlawns Medical Center; 2008.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi VII.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014.
5. Anonim. Host Defence Againts Pneumococcal Disease. Diunduh dari
http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm,
diakses Februari 2016.
6. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Diunduh dari
http://www.tulip.ccny.cuny.edu, diakses Februari 2016.
7. Wanri A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan
Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
8. Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam
Cummings Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier
Mosby Inc.; 2005.
9. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2007.
10. Bailey, Byron J., Johnson, J.T., 2006. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins
11. Galioto, N., Peritonsillar Abscess. Am Fam Physician. 2008;77(2):199-202.
12. Gosselin, B.J., Geibel, J. 2010. Peritonsillar Abscess. Available at
www.medscape.com
13. Paleri, V., Hill, J., 2010. ENT Infections: An Atlas of Investigation and
Management. Clinical Publishing: Oxford
14. Tan, A.J., Pamela, L.D. 2012. Peritonsillar Abscess in Emergency Medicine.
Available at www.medscape.com
15. Anonim. Peritonsillar Abscess. Available at :
https://pedclerk.bsd.uchicago.edu/page/peritonsillar-abscess. Accessed on
February 5th, 2016.
16. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
17. Henry. Peritonsillar Abcess. Available at:
http://www.revolutionultrasound.com . Accessed on February 5th, 2016.
18. Kaneshiro N. Tonsillitis. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov, diakses
Februari 2016.
19. Gosselin BJ. Peritonsillar Abscess Treatment and Management. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/194863-treatment#d13, diakses
Februari 2016.
20. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
24 Indonesia; 2007
21. Adam. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov .
Accessed on February 5th, 2016.
25

Anda mungkin juga menyukai