Anda di halaman 1dari 35

Case Report Sessions

DIFTERI TONSIL

Disusun Oleh:
dr. Hafiz ‘Iedzhafillah

Preseptor:
dr. Yunira Yunirman, Sp. A

dr. Dessy Rahmawati

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA PADANG PANJANG

PERIODE FEBRUARI 2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan case report dengan judul
“Difteri Tonsil”.

Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua


pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Yunira Yunirman, Sp. A dan dr. Dessy
Rahmawati yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing saya sehingga
case report ini dapat selesai dengan baik.

Saya menyadari case report ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
kritik dan saran saya harapkan demi memperbaiki kekurangan atau kekeliruan
yang mungkin ada. Semoga case report ini bermanfaat bagi seluru petugas medis,
rekan dokter internship khususnya dan masyarakat umum pada umumnya. Akhir
kata, penulis mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Padang Panjang, Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan..........................................................................................................1
1.3. Manfaat Penulisan........................................................................................................1
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2
2.1. Anatomi Tonsil............................................................................................................2
2.2. Fisiologi Tonsil............................................................................................................8
2.3 Difteri Tonsil.................................................................................................................8
2.3.1 Definisi...................................................................................................................8
2.3.2 Epidemiologi...........................................................................................................8
2.3.3 Etiologi...................................................................................................................9
2.3.4 Patofisiologi............................................................................................................9
2.3.5 Manifestasi Klinis.................................................................................................11
2.3.6 Diagnosis..............................................................................................................13
2.3.7 Penatalaksanaan....................................................................................................13
2.3.8 Komplikasi............................................................................................................17
2.3.9 Prognosis...............................................................................................................18
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................20
BAB IV ANALISA KASUS................................................................................25
BAB V PENUTUP................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27
DAFTAR GAMBAR................................................................................................
Gambar 1. Cincin Waldayer.......................................................................................
Gambar 2. Anatomi Tonsil.........................................................................................
Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil.................................................................................
Gambar 4. Persarafan Tonsil......................................................................................
Gambar 5. Adenoid....................................................................................................
Gambar 6. Ukuran Tonsil...........................................................................................
Gambar 7. Corynebacterium......................................................................................
Gambar 8. Pseudomembran yang mudah berdarah....................................................
Gambar 9. Bull nech difteri........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, selaput lendir, kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
genetalia. Penyakit ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit
dan atau mukosa yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.

Secara keseluruan insidens difteri mulai menurun di Amerika, yaitu angka


kematian sekitar 10%. Faring merupakan daerah tersering untuk infeksi ini.
Penyakit ini lebih banyak terjadi pada individu yang tidak diimunisasi atau
imunisasi yang tidak adekuat. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri
tenggorokan. Disamping itu, pasien mengeluhkan nausea, muntah, dan disfagia.

Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit


ini menurun secara mencolok setelah penggunaan toksoid
difteri secara meluar. Sering ditemukan pada anak berusia
kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5
tahun. Umumnya terjadi pada anak-anak yang tidak
mendapatkan imunisasi primer. Bagaimanapun, pada setiap
epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan
individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung
konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk
miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh
fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya
terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.
Pemeriksaan yang khas pada penyakit ini menunjukan adanya membran yang
khas diatas daerah tonsila yang meluas ke struktuk yang berdekatan. Membran
tampak kotor dan berwarna hijau tua bahkan dapat menyumbat peradangan
tonsila. Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang membedakannya
dengan penyebab faringitis membranosa lain.
Diagnosa harus dapat ditegakkan sesegera mungkin sehingga penanganan
dapat diberikan lebih awal. Pada kasus-kasus yang berat ditandai dengan
pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trakea
secara ekstensif dan dapat terjadi obtruksi jalan napas.

1.2. Tujuan Penulisan

Mengetahui dan menambah wawasan mengenai Difteri Tonsil.


1.3 Manfaat Penulisan

Sebagai informasi dan menambah wawasan bagi masyarakat mengenai


Difteri Tonsil.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tonsil


Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori dan
merupakan bagian cincin waldeyer. Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid
yang mengelilingi faring. Cincin waldayer terdiri dari tonsila faringeal (adenoid),
tonsila tuba, tonsila palatina, dan tonsila lingual. Bagian terpentingnya adalah
tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil
lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang terbesar
dalam fosa Rosenmuller, dibawah mukosa dinding posterior faring dan dekat
orisifium tuba eustachius.

Gambar 1. Cincin waldeyer

a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak didalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
melluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.

Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh :

 Lateral : M. Konstriktor faring superior


 Anterior : M. Palatoglosus
 Posterior : M. Palatofaringeus
 Superior : M. Palatum molle
 Inferior : M. Tonsil lingual
Gambar 2. Anatomi Tonsil

Secara mikroskopik tonsil terdiri dari 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari
jaringan limfoid).

 Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil yang dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah m.palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada
rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar
posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba
Eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak
terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum
mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding
lateral faring.

 Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Kapsul tonsil mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam
parenkim. Trabekula ini mengandung pembuluh darah, saraf-saraf dan pembuluh
eferen.
 Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa
embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil
dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau
terpotongnya pangkal lidah.

 Vaskularisasi
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan
arteri palatina asenden, arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina
desenden, arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal dan arteri
faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri
lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, vaskularisasi
diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Vaskularisasi
kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena
lidah dan pleksus faringeal.

Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil

 Aliran Getah Bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
 Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf
ke V melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari
saraf glosofaringeus.

Gambar 4. Persarafan Tonsil

 Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung
sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada
orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah
50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil
terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen
presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B,
limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil
merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai
organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik.
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan
terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang
terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun
teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk
dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah,
dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai
kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.
Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada
dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid
bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7
tahun kemudian akan mengalami regresi.

Gambar 5. Adenoid

Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4:


 T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak
pilar anterior-uvula
 T2 : batas medial tonsil melewati ¼ pilar anterior-uvula sampai ½
jarak pilar anterior-uvula
 T3 : batas medial tonsil melewati ½ pilar anterior-uvula sampai ¾
jarak pilar anterior-uvula
 T4 : batas medial tonsil melewati ¾ pilar anterior-uvula sampai
uvula atau lebih.

Gambar 6. Ukuran Tonsil

2.2 Fisiologi Tonsil


Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri
atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs
yang berperan dalam transportasi antigen ke sel limfosit
sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat
sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang
sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu
1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan
efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

2.3 Difteri Tonsil


2.3.1 Definisi
Difteri tonsil adalah radang akut pada tonsil sampai
mukosa faring yang disebabkan kuman corynebacterium
diphtheriae. Mudah menular dan yang diserang terutama
traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas
terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya
eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan
lokal.

2.3.2 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit
ini menurun secara mencolok setelah penggunaan toksoid
difteri secara meluar. Sering ditemukan pada anak berusia
kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5
tahun. Umumnya terjadi pada anak-anak yang tidak
mendapatkan imunisasi primer. Bagaimanapun, pada setiap
epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan
individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung
konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk
miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh
fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya
terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.

2.3.3 Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae
merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak,
tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis.
Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media
yang mengandung penghambat tertentu yang
memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain
(Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae
berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman
Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram
positif dan hidup di saluran nafas bagian atas yaitu hidung,
faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh
kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada
titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin
sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada
tes Schick.

Gambar 7. Corynebacterium diphteriae

2.3.4 Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/ kulit, melekat serta
berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas
dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan
suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak
tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A
(aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang
disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan
untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada
reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar
fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua
fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada
sel.
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel
terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan
penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini
memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel.
Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara
alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin
untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik
pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran
sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A
akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim
translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses
translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk
rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel
akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi
kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang
bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak
eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin
semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran
yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung
dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel.
Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode
penyembuhan. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes).
Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan
nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan
perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang- cabang
tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama
jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin
yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila
telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum
timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya
terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya
terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang
menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak
edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot
dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi
regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput
mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia,
kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis
tubuler akut pada ginjal.

2.3.5 Manifestasi Klinis


Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi
kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan.
Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi
tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis,
putih dan berselaput yang segera menjadi tebal,
abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi
dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran
mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan
dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila
diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan
yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada
difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun
pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:
 Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu
tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan
lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan
 Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk semu. Membran ini dapat meluas ke palatum molle,
uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat
saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi(
bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.
Gambar 8. Pseudomembran yang mudah berdarah

Gambar 9. Bull Neck Difteri

 Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini


akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai
saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan
gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman
yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan
didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi
secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini
diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C.
diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler
dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara vivo
(marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain
Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis
difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan
masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk
penggunaan secara luas.

2.3.7 Penatalaksanaan
a. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-
turut setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi
sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana:
 Biakan hidung dan tenggorok
 Seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap
diphtheria)
 Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster dengan toksoid diphtheria.
 Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
 Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier
 Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria +
penisilin
 Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).
b. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.

 Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.
 Khusus
Anti Diphteria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes
konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia
larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam
20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum
1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam
faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis
dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena.
Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan
penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam
larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya.
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).
Antibiotik
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin
40 mg/kg/hari.
Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit
miokardiopati toksik.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.
c. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai Reaksi
Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari atau suntikan selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ adenoidektomi.
d. Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan
limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.
 Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi
tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk
terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama
adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan
the American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi
menjadi :
1. Indikasi absolut
 Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas
atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi
kardiopulmonal
 Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan
medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
 Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan
patologi

2. Indikasi relatif
 Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun
tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat.
 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon
terhadap pengobatan medik.
 Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus
yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman
resisten terhadap β-laktamase.
3. Kontraindikasi
 Gangguan perdarahan
 Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
 Anemia
 Infeksi akut yang berat
 Asma
 tonus otot yang lemah
 sinusitis
 albuminuria
 hipertensi
 rinitis alergika

 demam yang tidak diketahui penyebabnya


 Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah
sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik
memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka pada
tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi
difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif
dan pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi
dan peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi
standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini
adalah teknik Guillotine dan diseksi
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara cepat
dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan
untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil.
Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya
terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.
Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan
dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan
menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga
menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan
sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
 Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan
anestesi lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan
merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan
pasien. Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
 Laringospasme
 Gelisah pasca operasi
 Mual muntah
 Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
 Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan
hipotensi dan henti jantung
 Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
 Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi
atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.
000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena
perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan
transfusi darah.
 Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot
faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri
berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya
14-21 hari setelah operasi
3. Komplikasi lain
Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan
pneumonia.

2.3.8 Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke
laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung
atau dekompensasio kordis. Kelumpuhan otot palatum
molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot
laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara
parau dan kelumpuhan otot-otot pernafasan. Albuminuria
sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.

2.3.9 Prognosis
Prognosis tergantung kepada
 Virulensi kuman
 Lokasi dan perluasan membrane
 Kecepatan terapi
 Status kekebalan
 Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin
buruk.
 Keadaan umum penderita, misalnya prognosisnya kurang baik pada
penderita gizi kurang
 Ada atau tidaknya komplikasi
Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri
tanpa komplikasi yang berespon baik terhadap pengobatan
memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan bisa
mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 –
10% bagi semua kasus difteri respiratorik.
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. AU
Umur : 1 tahun 3 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Padang Panjang
MR : 114820

Keluhan Utama
Sesak nafas memberat sejak 6 jam SMRS.
Riwayat penyakit sekarang
• Sesak nafas sejak 6 jam SMRS, sesak tidak menciut tidak dipengaruhi
cuaca dan makanan. Sesak sudah 4 hari yang lalu.
• Seorang anak berusia 3,6 tahun mengeluhkan nyeri saat menelan sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit.
• Lemas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, hal ini dirasakan ibu
pasien karena anaknya tampak tidak bersemangat serta malas untuk
beraktivitas, ibu pasien juga mengatakan anak nya sering menangis.
• Demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, demam dirasakan
hilang timbul dan tidak dipengaruhi oleh waktu, demam tidak disertai
menggigil dan berkeringat. Demam tidak disertai kejang.
• Batuk sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk tidak berdahak,
batuk hanya dirasakan sesekali
• Suara serak tidak ada
• Nyeri perut tidak ada
• Mual dan muntah tidak ada
• Buang air kecil warna dan jumlah biasa
• Buang air besar warna dan konsistensi biasa
Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat penyakit yang sama disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
• Riwayat penyakit yang sama disangkal
Riwayat Imunisasi
• Imunisasi tidak lengkap.
Riwayat Persalinan :

• Lama hamil : cukup bulan

• Cara lahir : spontan pervagina

• Berat badan saat lahir : 3100 gr

• Saat lahir : menangis

Pemeriksaan Fisik

Status Generalisata

• Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang


• Kesadaran : composmentis
• Suhu : 37,5 °C
• Nadi : 120x/menit
• Nafas : 25 x/menit,
• Berat badan : 10 kg
• Tinggi badan : 70 cm
• Kepala : Normochepal, rambut hitam tidak mudah dicabut
• Mata : Pupil isokor refleks cahaya (+/+) , konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-),
• Telinga : tidak terdapat kelainan
• Hidung : Pernafasan cuping Hidung(+)
• Mulut : bibir kering (+) mukosa mulut kering (+), bibir pucat
(-) lidah tidak kotor

• Tenggorokan :Tonsil T1-T2 hiperemis, terdapat


pseudomembran sukar diangkat dan mudah berdarah, faring
hiperemis

• Leher : KGB tidak teraba membesar

• Pulmo

I: bentuk dada normochest, simetris kiri dan kanan.

P: fokal fremitus kiri dan kanan sama

P: Sonor dikedua lapang paru

A: vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada, Stridor (+)

• Jantung

I: Ictus cordis tidak terlihat

P: Ictus cordis teraba 2 jari kearaha medial LMCS RIC V

P: Batas jantung normal


-Batas kiri : RIC V sejajar linea midclavicula sinistra 2 jari
kearah medial

-Batas kanan : RIC IV linea sternalis dextra

-Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra

A: Irama reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen:
I: perut tidak tampak membuncit, sikatrik (-), ascites (-), venektasi (-)

P: hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)

P: Timpani (+)

A: Bising usus (+) normal

 Ekstremitas
Atas : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik.

Bawah : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik.

Pemeriksaan Penunjang:

Darah rutin

• Hb : 13,1 g/dL
• Leukosit : 15.400/mm3 (H)
• Hematokrit : 42.3 %
• Trombosit : 254.000/mm3
• Kesan : leukositosis
Pemeriksaan Rontgen
Diagnosis Kerja:

Tonsilitis akut dd susp Difteri Tonsil


Penatalaksanaan:
Non Farmakologi
• Rawat isolasi
2-3 minggu sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berurut-turut
• Istirahat
• Pasien rencana rujuk RSAM
Farmakologi
• IVFD KAEN 1B 16 tetes/menit
Rumus Holiday:
Anak dengan BB 12 kg, kebutuhan cairannya :
10 x 100 = 1000
2 x 50 = 100
Jumlah tetesan per menit = jumlah kebutuhan cairan x 20 tetes : waktu
(jam) x 60 menit
=1150 cc x 20 tetes : 24 jam x 60 menit
= 15 tpm
 Benzaltin penisilin 500.000 IU Intramuskular
Skin tes : tidak bisa diinjeksikan
 Ampicilin 4x250 mg intravena
 Inj dexamethasone 3 mg intravena
BAB IV
ANALISA KASUS

Dari kasus anak perempuan umur 1 tahun 3 bulan diagnosa yang


tepat adalah Difteri Tonsil, karena sesuai dengan teori pada:
• anamnesis ditemukan nyeri menelan, anoreksia, malaise, demam
dengan suhu tubuh 37,5°C.

• pemeriksaan fisik tampak tonsil T1-T2 hiperemis, tampak


membran yang melekat berwarna putih kelabu, sukar
diangkat dan mudah berdarah, faring hiperemis.

• Berdasarkan pemeriksaan swab tenggorok pada pasien ini


ditemukan Corynebacterium diphtheria

BAB V
KESIMPULAN

Difteri Tonsil adalah radang akut pada tonsil


sampai mukosa faring yang disebabkan kuman
corynebacterium diphtheriae. Yang sering ditemukan pada
anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini. Meskipun difteri sudah
jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang
masih ada yang terkena penyakit ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C
diphtheriae yang merupakan kuman gram (+), ireguler,
tidak bergerak, tidak berspora. Dasar dari terapi ini adalah
menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae
dengan antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin
sangat efektif untuk kebanyakan strain C. diphtheria.
Prognosis umumnya tergantung dari umur,
virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status
imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum.

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku ajar Infeksi Pediatric Tropis edisi kedua. Ikatan dokter anak
Indonesia. 2012. Holmes KR. Diphtheria. Dalam: Fauci AS, et
al.editor (penyunting). Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Edisi ke-17. McGrow-Hills; 2008.

2. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher
edisi ketujuh.Jakarta;Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2012.hal 200.

3. Buku ajar infeksi pediatric tropis edisi kedua. Ikatan dokter anak
Indonesia. 2012.

4. Kadun I Nyoman. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV.


Infomedika, Jakarta. 2006.

5. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam:


BOIES Buku Ajar Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology),
edisi enam. EGC: Jakarta. 1997.

6. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed.


Penyakit telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13.
Jakarta,Binarupa aksara 1994: p321

7. Drake A. Tonsillectomy. available from:


http://www.emedicine.com/ent

8. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In:


Paparella,Gluckman S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and
neck surgery. Philadelphia, WB Saunders 3rd edition, 1991: 2149-
56

9. Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher.
Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. 2007: 222

10. American academy of otolaryngology head and neck dissection.


Lesspain and quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy.
avaible from: http://www.medicalnewstoday.com

11. Khalid, Naman dkk. Tonsilitis Difteri. Bagian THT RSUD


Kerawang. 2011.

12. Doerr S. Diphtheria. Available at:


http://www.emedicinehealth.com /diphtheria/page9_em.htm
13. Biofarma. Serum Anti Difteri. Available at:
http://www.biofarma.co.id/index. php/detil/items/serum-anti-
diptheri.html.

14. RxMed The Comprehensive Resource for Physician, Drugs and


Ilness Information. Diphtheria Antitoxin (Equine). Available at:
http://www.rxmed.com

15. American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 Report of the


Commitee on Infectious Diseases. 27th ed. American Academy of
Pediatrics; 2006.

16. Doerr S. Diphtheria. Available at:


http://www.emedicinehealth.com /diphtheria/page9_em.htm

Anda mungkin juga menyukai