TONSILITIS KRONIK
Oleh :
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya, penulisan laporan kasus ini telah dapat penulis
selesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam penulis panjatkan ke pangkuan Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun laporan kasus dengan judul ”Tonsilitis Kronik” ini diajukan
sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian
Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Unsyiah Rumah Sakit Umum Dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Benny Kurnia,
Sp.THT-KL, FICS yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing
penulis dalam menyelesaikan penulisan tugas ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan
dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai pada waktunya.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3
2.1. Tonsil ..................................................................................... 3
2.1.1. Jenis Tonsil .................................................................. 3
2.1.2. Reaksi Imun Tonsil ...................................................... 4
2.1.3 Fungsi Tonsil ................................................................ 6
2.2. Tonsilitis ................................................................................ 6
2.2.1. Tonsilitis Akut ............................................................. 7
2.2.2. Tonsilitis Kronik .......................................................... 8
2.3 Tonsilektomi ........................................................................... 10
iii
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 3.1 Foto Klinis Pasien ................................................................... 16
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
dan juga sering timbul gejala lain seperti pilek, pusing, bau mulut, suara serak,
nyeri perut, dan mual.4 Untuk penderita dengan tonsilitis kronik biasanya pada
saat tidur akan mendengkur karena terjadinya pembesaran kelenjar adenoid yaitu
kelenjar di dinding belakang antara rongga hidung dan tenggorokan. Selain itu
bisa juga karena paparan debu dan polusi udara, beberapa jenis makanan,
kebiasaan mencuci tangan, kebersihan mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik menjadi faktor predisposisi dari tonsilitis kronik. Tonsilitis kronik
merupakan penyakit yang terjadi di tenggorokan terutama terjadi pada kelompok
usia muda.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tonsil
3
b) Tonsila Lingual
Tonsila lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukan penjalaran duktus
tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. Tonsila lingualis
mempunyai kripta kecil-kecil yang tidak terlalu berlekuk-lekuk atau bercabang
dibandingkan dengan tonsila palatina.5,6
c) Tonsila Faringeal
Tonsila faringeal merupakan kumpulan jaringan limfoid di dinding
belakang medial nasofaring. Jaringan limfoidnya sama seperti pada tonsil palatina
epitel permukaan berlipat-lipat akan tetapi tidak sampai membentuk kriptus.
Epitel tampak sangat disebuk oleh limfosit. Pembesaran tonsil faringea, yang
berakibat menyumbat ke jalur hidung, sering kali terjadi, yang dikenal sebagai
adenoid.5,6
d) Tonsila Tuba
Kadang-kadang tonsila tuba dianggap kelompok tonsila yang tersendiri.
Setiap tonsila tuba terletak di sekeliling muara faringeal tuba faringo-timpani
(auditiva) dan membentuk perluasan tonsila faringea ke lateral. Tonsila tuba
dilapisi epitel silindris berambut getar. 5,6
4
dan peningkatan relatif. Meskipun secara keseluruhan produksi imunoglobulin
berkurang, tetapi masih cukup besar aktivitas sel ß jika dilihat dari kondisi klinis
tonsil yang sehat.7
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian
yaitu :
1) Respon imun tahap I
2) Respon imun tahap II
3) Migrasi limfosit.
Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai
epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier
imunologis. Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila palatina
terutama tersusun atas limfosit B dan sel T helper (CD4+). Respon imun
membutuhkan bantuan sitokin berbeda. Sitokin adalah peptida yang terlibat dalam
regulasi proses imun dan dihasilkan secara dominan stimulasi antigen lokal oleh
limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid. Sel T intraepitel
menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL –2, IL-4, IL-6, TNF- α, TNF-β / LT-
α, INF γ, dan TGF-β.3 Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B, sel B
berupa mature memory cells B dengan potensial APC yang
memungkinkan terjadinya kontak antara antigen presenting B cells dan T cells,
menyebabkan respon antibodi yang cepat. Beragam isotipe Ig dihasilkan dalam
tonsila palatina, 82 % dari sentrum germinativum menghasilkan Ig D, 55% Ig M,
36% IgG dan 29 % IgA. IgA merupakan komponen substansial sistem imun
humoral tonsila palatina. Produksi J-chain oleh penghasil Ig sebagai faktor krusial
dalam transpor epitel polimer Ig melalui komponen sekretoris transmembran.
Distribusi J-chain itu sendiri tergantung dari lokasi sel (29% IgA dihasilkan di
sentrum germinativum dan 59% IgA dihasilkan di regio ekstrafolikular). Ig
terbentuk secara pasif ditranspot ke dalam kripte.8
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui
epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Pada daerah
ekstrafolikular, IDC dan makrofag memproses antigen dan menampakkan atigen
terhadap CD4+ limfosit T. Sel T kemudian menstimuli limfosit B folikel
sehingga berproliferasi dan bermigrasi dari dark zone ke light zone,
5
mengembangkan suatu antibodi melalui sel memori B dan antibodi melalui sel
plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig (IgG 65%, IgA 20%,
sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu melawan dan mencegah infeksi. Lebih
lanjut, kontak antigen dengan sel B memori dalam folikel limfoid berperan
penting untuk menghasilkan respon imun sekunder. Meskipun jumlah sel T
terbatas namun mampu menghasilkan beberapa sitokin (misal IL-4) yang
menghambat apoptosis sel.8
Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan
limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus
dari darah ke tonsil melalui HEV dan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil
berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa
molekul adesi selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte
akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte.8
2.2 Tonsilitis
6
band dinding faring/Gerlach’s tonsil). Radang tenggorokan merupakan salah satu
penyebab tonsilitis.5,10
Tonsilitis memiliki efek jangka panjang sedikit, tonsilitis berulang
menyebabkan morbiditas yang signifikan dan mengurangi waktu sekolah atau
bekerja. Definisi berulang mungkin agak berbeda, tetapi kriteria yang digunakan
baru-baru ini sebagai ukuran keparahan adalah 5 atau lebih dari episode yang
cocok dari gejala tonsilitis per tahun, gejala berulang setidaknya satu tahun, dan
episode yang menonaktifkan dan yang menghalangi fungsi normal. Tonsilitis
disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus β hemolitcus, Streptococcus
viridans, dan Streptococcus pyrogen sebagai penyebab terbanyak, selain itu dapat
juga disesbabkan oleh Corybacterium diphteriae, namun dapat juga disebabkan
oleh virus.10
Tonsilitis dapat diklasifikasikan dalam komplikasi supuratif dan non
supuratif. Komplikasi non supuratif termasuk demam berdarah, demam rematik
akut, dan pasca-streptokokus glomerulonefritis. Komplikasi supuratif termasuk
peritonsillar, retropharyngeal, parapharyngeal, dan pembentukan abses. Demam
scarlet adalah tonsilitis akut sekunder atau Streptococcus faringitis dengan
produksi endotoksin oleh bakteri. Tanda-tanda klinis termasuk ruam eritematosa,
limfadenopati parah, demam, takikardia, dan eksudat kuning di atas eritematosa
tonsil. Demam reumatik akut adalah sindrom yang terdapat Streptococcus grup A.
Faringitis selama satu sampai empat minggu. Abses peritonsillar paling sering
terjadi pada pasien dengan tonsillitis berulang atau tonsilitis kronik yang tidak
diobati. Penyebaran infeksi dari superior pole dari tonsil dengan nanah antara
dasar tonsil dan kapsul. 10
7
virulensi organisme dapat menjelaskan variasi dari fase-fase patologis sebagai
berikut: 11
1) Peradangan biasa daerah tonsil saja
2) Pembentukan eksudat
3) Selulitis tonsila dan daerah sekitanya
4) Pembentukan abses peritonsilar
5) Nekrosis jaringan
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur maka
akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bentuk detritus ini juga melebar sehingga
terbentuk semacam membran semu (pseudo membrane) yang menutupi tonsil.
Secara klinis detritus ini mengisi kriptus dan tampak sebagai bercak kuning.5
Manisfestasi klinis, suhu tubuh naik sampai 40°C. Rasa gatal atau kering
di tenggorokan, lesu, nyeri sendi, odinofagia, anoreksia, dan otalgia. Bila laring
terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tonsil dalam keadaan dini
menunjukkan pembesaran, hipervasikularisasi, dan sebagian tertutup oleh
eksudat putih keabu-abuan yang mudah diangkat. 10
Terapi pengobatan tonsilitis ini adalah antibiotika spektrum lebar,
penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan. 5
Pada anak sering menimbulkan kompilkasi otitis media akut, sinusitis
abses peritonsil, abses para faring, bronkitis, glomerulonefritis, miokardiatis,
artritis serta septikemia akibat infeksi vena jugularis interna. Hipertrofi akan
menyebabkan pasien bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur
karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea
Syndrome (OSAS). 10,11
8
Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut,
terutama yang tidak mendapat terapi adekuat, mungkin serangan mereda tetapi
kemudian dalam waktu pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini
biasanya diikuti dengan pengobatan dan serangan yang berulang setiap enam
minggu hingga 3 – 4 bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi
timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal. Kuman penyebab
tonsilitis kronik sama dengan tonsilitis akut yaitu Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenzae, Streptococcus B hemolitikus, Streptokokus viridans.
Streptokokus B hemolitikus grup A merupakan kuman patogen yang sering
dijumpai dan berhubungan dengan risiko demam rematik dan glumerulonefritis.
Insidensi dari tonsilitis oleh karena Streptokokus B hemolitikus grup A paling
tinggi pada umur 6-12 tahun.12
Patologi terjadi karena proses peradangan berulang yang timbul maka
selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripta melebar. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.5
Gejala tonsilitis kronik mungkin tidak ada, namun jika ada biasanya tidak
berat. Pasien akan mengekuh sakit yang menusuk saat menelan. Tonsilitis kronik
merupakan penyakit yang paling sering dari semua radang tenggorokan. Gejala
klinis :
1) Gejala lokal, bervariasi dari rasa tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok, sulit
sampai sakit menelan
2) Gejala sistematis, perasaan tidak enak di badan, malaise, sakit kepala, panas
badan subfebris, sakit pada otot dan persendian.
3) Tanda klinis, tonsil dengan debris pada kriptenya tonsil udem atau hipertrofi
atau tonsil fibrotik dan kecil, plika tonsilaris anterior hiperemis dan
pembengkakan kelenjar limfe regional.13
9
Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau
atrofi. Menurut Brodsky diklasifikasikan menggunakan perbandingan lebar tonsil
dengan lebar orofaring sebagai berikut :
1) Tonsil T1 : kurang dari 25% menempati orofaring
2) Tonsil T2 : 25-50%
3) Tonsil T3 : 50-75%
4) Tonsil T4 : lebih dari 75%
Jika gejala mengganggu pasien dan berulang dengan selang waktu yang
sering walaupun terapi sudah adekuat, atau pasien mempunyai tanda infeksi
pada daerah yang jauh dalam tubuh yang disebabkan oleh fokal infeksi di tonsil,
untuk itu dapat dilakukan pengangkatan tonsil atau tonsilektomi.14
Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi,
umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun
yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorok
4-6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut.
Penatalaksanan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi
tenggorokan sehari-hari, dan usaha membersihkan kripta tonsilaris dengan alat
irigasi gigi atau oral. Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan
infeksi kronik atau berulang.13
2.3 Tonsilektomi
10
atau abses peritonsilaris. Anak-anak jarang menderita tonsilitis kronik atau abses
peritonsil. Indikasi absolut dari tonsilektomi adalah :
a. Timbulnya cor pulmunale
b. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur
c. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat
badan
d. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan
e. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada jaringan
sekitarnya
Indikasi relatif merupakan seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi. Indikasi yang
paling sering adalah episode berulang dari infeksi Streptokokus B hemolitikus
grup A. 14
Menurut The American Academy of Ortolaringology – Head and Neck
Surgery Clinical indicators Compendium tahun 1995 : 5
a. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapat terapi adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
angguan pertumbuhan orofasial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, cor pulmonale
d. Rinitis dan sinusitis yang kronik, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsilitis berulang yang disebabkan streptokokus B hemolitikus grup A.
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif
Tonsilektomi secara umum merupakan operasi yang aman, namun dokter
bedah harus mengenali potensi komplikasi yang mungkin terjadi. Komplikasi
tonsilektomi :
a. Mortalitas. Pratt melaporkan bahwa mortalitas dari tonsilektomi jika
dilakukan ahli bedah dan anestesiolog yang berpengalaman adalah 0.006%
11
b. Perdarahan. Pencegahan yang terbaik adalah memastikan pasien bahwa
kompilkasi pernapasan dan kecenderungan perdarahan saat operasi.
Jika timbul perdarahan, biasanya di antara 2-4 jam setelah operasi. Juga
terdapat peningkatan insiden kira-kira pada hari 5-7 pasca operasi karena
mengendurnya ikatan.
c. Abses paru merupakan komplikasi dari tonsilektomi yang jarang terjadi
yang disebabkan oleh apirasi darah dan debris atau infeksi yang sudah ada
sebelumnya dan manifestasi pasca operasi.
d. Komplikasi lainya adalah dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan
terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula,
insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan
pneumonia.15
12
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : AY
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No.CM : 1-25-98-59
Alamat : Neuheun
Tanggal masuk : 27-11-2020
Tanggal periksa : 27-11-2020
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Nyeri saat menelan
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT-KL dengan keluhan terasa nyeri pada
saat menelan. Keluhan dirasakan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan dirasakan terus menerus. Nyeri menelan memberat jika pasien makan
dan minum, cuaca panas dan dingin, berkurang jika pasien minum air hangat dan
makan makanan yang asam. Nyeri semakin memberat saat makan, setelah lebih
dari 3 suapan nasi. Keluhan ini juga disertai rasa mengganjal, mengorok pada saat
tidur dan rasa kering di tenggorokan. Pasien juga mengeluhkan demam, dan
terkadang telinga berdenging yang dirasakan kurang lebih 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit.
Keluhan mengorok dirasakan setiap hari, meskipun sedang tidak nyeri.
Suara mengorok di keluhkan oleh ibu pasien dan terdengar oleh tetangga pasien
(rumah berdempet). Suara ngorok pasien terdengar sangat keras dan tebal.
Keluhan mengorok dirasakan setiap tidur baik pada saat siang maupun malam,
saat tidur biasanya pasien menggunakan 2 bantal dan satu kain di lehernya. Pasien
mengaku kesulitan bernapas dan tidur sejak mengalami keluhan nyeri menelan.
13
Demam dengan suhu tidak terlalu tinggi dan turun dengan obat penurun
panas. Batuk kering dirasakan sesekali, apabila sedang nyeri maka batuk disertai
dahak.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengaku pernah mengalami hal yang sama sejak 6 tahun yang lalu
namun hilang dengan meminum obat yang diberikan dokter. Riwayat DM dan
hipertensi disangkal.
Riwayat Penggunaan Obat
Pasien mengaku sering meminum obat anti nyeri setiap terasa nyeri saat
menelan.
Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama.
Riwayat Kebiasaan
Pasien suka membeli jajanan di pinggir jalan dan selalu minum es setiap
makan, baik yang dibeli dan dibuat sendiri
14
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikular (+/+), rhonki (-/-), dan wheezing (-/-)
- Jantung
BJ I > BJ II, murmur jantung tidak ditemukan
c) Perut dan pinggang
Inspeksi : Tidak ada pembesaran massa
Auskultasi : Peristaltik kesan normal
Palpasi : Soepel
Perkusi : Timpani
d) Anggota gerak
Sianosis dan edema tidak ditemukan pada ekstremitas superior dan inferior,
kekuatan otot pada keempat ekstremitas bernilai 5.
e) Genitalia dan Anus
Tidak dilakukan pemeriksaan
15
Eritrosit 4,4 4,2-5,4 106/mm3
Leukosit 12,4 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 346 150-450 103/mm3
MCV 81 80-100 fL
MCH 28 27-31 Pg
MCHC 35 32-36 %
RDW 14,3 11,5-14,5 %
MPV 11,6 7,2-11,1 fL
PDW 13,8 fL
Hitung jenis
Eosinofil 4 0-6 %
Basofil 0 0-2 %
Netrofil batang 0 2-6 %
Netrofil segmen 63 50-70 %
Limfosit 25 20-40 %
Monosit 8 2-8 %
Faal Hemostasis
Waktu perdarahan 2 1-7 menit
Waktu pembekuan 7 5-15 menit
Kimia Klinik
GDS 99 <200 mg/dl
Ureum 20 13-43 mg/dl
Kreatinin 0,61 0.51-0,95 mg/dl
Natrium 145 132-146 mmol/L
Kalium 4,1 3,7-5,4 mmol/L
Klorida 107 98-106 mmol/L
16
- Hasil : Cor bentuk dan ukuran normal, pulmo tidak tampak infiltrat, sinus
costophrenicus kiri dan kanan tajam.
- Kesimpulan: Cor dan Pulmo tidak tampak kelainan
3.5 Diagnosa Kerja
Tonsilitis Kronis
1. Tonsilitis Kronik
2. Tonsilitis Difteri
3. Angina Plaut Vincent
4. Tumor Tonsil
5. Mononukleosis Infeksiosa
3.7 Penatalaksanaan
3.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3.9 Edukasi
17
5. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi
berulang
18
BAB IV
ANALISA KASUS
19
dan minum dingin sering dilakukan pasien. Kebiasaan memakan makanan pinggir
jalan dan minum minuman dingin erat kaitannya dengan kejadian tonsilitis kronik.
Berdasarkan penelitian oleh Mugi, tahun 2015, didapatkan hubungan yang
signifikan antara kebiasaan makan yang buruk dengan kejadian tonsilitis kronik.
Kebiasaan makan, makanan yang tidak sehat seperti makanan yang mengandung
pewarna, penyedap, dan berminyak. Kebiasaan meminum minuman dingin secara
terus menerus juga dapat menjadi faktor pencetus timbulnya tonsilitis dikarenakan
vasokontriksi yang menyebabkan pembuluh darah mengecil dan jumlah sel darah
putih berkurang. Berkurangnya jumlah sel darah putih dapat mengurangi sistem
pertahanan tubuh dan memudahkan terjadinya tonsillitis.18,23
Dari pemeriksaan fisik orofaring ditemukan adanya pembesaran tonsil
dengan ukuran T3 pada tonsil kanan dan tonsil kiri. Kedua tonsil hiperemis
dengan permukaan yang tidak rata dan tampak kripta yang melebar. Uvula terlihat
berada di tengah akibat pembesaran tonsil kanan dan kiri yang tidak mendorong
letak dari uvula.
Pada pemeriksaan fisik, tonsil pasien membentuk kripta yang lebar disertai
dengan detritus. Infeksi berulang tonsil juga menyebabkan epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis, sehingga proses penyembuhan jaringan limfoid akan
digantikan oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga kriptus akan
melebar dan kemudian diisi oleh detritus. Detritus merupakan kumpulan dari
leukosit, bakteri yang mati, serta epitel yang terlepas akibat peradangan. Proses ini
berjalan terus menerus hingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Detritus ini
dapat dibersihkan dengan aplikator dan tidak berdarah jika dibersikan. 5
Keluhan nyeri pada tenggorokan yang disertai pembesaran tonsil memiliki
diagnosis banding seperti tonsilitis difteri, angina plaut vincent, tumor tonsil, dan
mononucleosis infeksiosa. Pada tonsilitis difteri akan dijumpai pseudomembran
yang mudah berdarah saat diangkat serta terdapat kelainan otot, seperti
miokarditis maupun kelumpuhan otot pernapasan. Untuk membedakan dengan
angina plaut vincent maka dilakukan pemeriksaan kebersihan mulut, dimana
biasanya pada angina plaut vincent kebersihan mulut penderita buruk, seperti
terdapatnya gigi dan gusi yang mudah berdarah, hiperemis pada mukosa mulut
20
dan faring, mulut berbau serta terdapat pembesaran kelenjar submandibular. Pada
tumor tonsil akan didapatkan keluhan nyeri saat menelan, nyeri di telinga akibat
adanya nyeri alih, nyeri di lidah dan gangguan gerakan lidah, dan terkadang
pasien tidak bisa membuka mulut (trismus). Pada mononucleosis infeksiosa,
keluhan disertai dengan adanya pembesaran kelenjar limfe pada regio axilla dan
inguinal, serta terdapat gambaran darah yang khas berupa adanya leukosit
mononukleosis dalam jumlah yang besar. Pada pasien dalam kasus ini tidak
terdapat hal-hal yang disebutkan di atas, sehingga diagnosis tonsilitis difteri,
angina plaut vincent, tumor tonsil, dan mononucleosis infeksiosa tidak dapat
ditegakkan. 5,19,20
Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah Paracetamol
tablet 500 mg 3 kali sehari, Metilprednisolon tablet 4 mg 2 kali sehari dan
Cefixim kapsul 100 mg 2 kali sehari.
Penggunaan paracetamol pada pasien ini sebagai analgetik dan antipiretik.
Seperti yang disebutkan bahwa pasien terkadang mengalami demam dan nyeri
saat menelan. Obat antiinflamasi non steroid (NSAID) dan parasetamol lebih
efektif daripada plasebo untuk menghilangkan gejala. Parasetamol cukup untuk
kasus-kasus ringan, tetapi pada orang dewasa NSAID seperti ibuprofen dan
diklofenak dianggap lebih unggul daripada parasetamol untuk meredakan nyeri.24
Meskipun kekhawatiran tentang risiko NSAID telah meningkat, uji coba
terkontrol acak tersamar ganda (RCT) yang besar menunjukkan bahwa ibuprofen
dapat ditoleransi dengan baik seperti parasetamol, oleh karena itu pedoman SIGN
merekomendasikan penggunaan ibuprofen 400 mg tiga kali sehari untuk
meredakan gejala sakit tenggorokan, demam dan sakit kepala, sesuai dengan
kontraindikasi yang biasa. Ibuprofen tidak boleh diberikan kepada pasien dengan
atau berisiko dehidrasi karena kekhawatiran tentang toksisitas ginjal. Pada pasien
yang memiliki kontraindikasi untuk ibuprofen, parasetamol 1 g 4 kali sehari.
direkomendasikan. Namun, pada anak-anak, parasetamol harus digunakan sebagai
pilihan pertama, dengan ibuprofen digunakan sebagai alternatif. 24
Terapi selanjutnya yang diberikan pada pasien adalah Metilprednisolon.
Menurut tinjauan Cochrane baru-baru ini, pada pasien dewasa dengan sakit
tenggorokan, nyeri dapat dikurangi dan resolusi dipercepat dengan penggunaan
21
kortikosteroid oral atau intramuskular dosis tunggal dalam hubungannya dengan
terapi antibiotik. Dua studi yang membandingkan secara langsung jalur
intramuskular dan oral tidak menemukan perbedaan dan lebih disarankan
penggunaan oral. Pasien yang memakai kortikosteroid tiga kali lebih mungkin
untuk mengalami resolusi lengkap gejala sakit tenggorokan mereka dalam 24 jam
dibandingkan dengan mereka yang memakai plasebo. Waktu rata-rata untuk
timbulnya pereda nyeri adalah 6,3 jam lebih awal pada peserta yang menggunakan
kortikosteroid dibandingkan dengan plasebo. Namun, manfaat sederhana ini harus
diimbangi dengan kemungkinan efek merugikan obat steroid, meskipun
penggunaan kortikosteroid singkat jarang berbahaya.22
Pilihan antibiotika yang digunakan pada pasien ini adalah Cefixime.
Seperti yang kita ketahui, cefixime merupakan antibiotika golongan cephalosporin
generasi ketiga yang bersifat bakterisidal. Sementara itu, sebuah literatur
menyebutkan antibiotik pilihan pada tonsilitis adalah Phenoxymethylpenicillin
selama 10 hari. Makrolida dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat alergi
terhadap penisilin.25
Antibiotik lain yang lebih mahal, terutama sefalosporin, secara statistik
jauh lebih berhasil dalam memberantas organisme meskipun keuntungan klinisnya
kurang jelas. Beberapa sefalosporin menawarkan regimen dosis yang lebih
nyaman, tetapi dosis dua kali dan tiga kali sehari dari penisilin V oral juga telah
terbukti efektif dalam menghilangkan Streptococcus Beta Hemoliticus Grup A
(GABHS). Sebuah tinjauan Cochrane 2010 mencatat bahwa, meskipun tampaknya
ada indikasi bahwa karbacephem dan sefalosporin mungkin memiliki beberapa
manfaat dibandingkan penisilin dalam hal resolusi gejala dan kejadian kambuh,
temuan tersebut tidak konsisten di seluruh metode analisis dan penelitian
substansial. Oleh karena itu, tidak ada cukup bukti yang meyakinkan untuk
mengubah rekomendasi pedoman saat ini untuk pengobatan pasien dengan
tonsilofaringitis GABHS. Pada pasien yang alergi terhadap penisilin, alternatifnya
termasuk sefalosporin spektrum sempit (sefaleksin, sefadroksil) atau makrolida
(azitromisin, klaritromisin).24
Terapi yang direncanakan untuk pasien ini adalah tonsilektomi. Indikasi
tonsilektomi berdasarkan The American Academy of Otolaringology-Head and
22
Neck Surgey Clinical Indicators Compendium tahun 1995, yaitu hipertrofi tonsil
hingga menimbulkan keluhan mengganjal dan dirasa mengganggu serta ada
keluhan sumbatan jalan napas saat tidur yang ditandai dengan mengorok.21
Selain kriteria tersebut, kriteria SIGN sebagai kriteria tonsilektomi dapat
digunakan. Kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
23
BAB V
KESIMPULAN
Tonsilitis adalah infeksi (virus atau bakteri) dan inflamasi pada tonsil,
terjadinya peradangan epitel jaringan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer yang berfungsi sebagai benteng bagi saluran makanan maupun
saluran napas terhadap rangsangan kuman-kuman yang ikut masuk bersama
makanan atau minuman dan udara pernapasan. Tonsilitis kronis umumnya terjadi
akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat.
Kuman penyebab tonsilitis kronik sama dengan tonsilitis akut yaitu Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenzae, Streptococcus B hemolitikus, Streptokokus
viridans.
Gejala tonsilitis kronik biasanya pada saat tidur akan mendengkur karena
terjadinya pembesaran kelenjar adenoid, gejala klinis lainnya bervariasi dari rasa
tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, perasaan
tidak enak di badan, malaise, sakit kepala, panas badan subfebris, sakit pada otot
dan persendian, tonsil dengan debris pada kriptenya tonsil udem atau hipertrofi
atau tonsil fibrotik dan kecil, plika tonsilaris anterior hiperemis dan
pembengkakan kelenjar limfe regional.
Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau
atrofi. Menurut Brodsky tonsilitis diklasifikasikan menggunakan perbandingan
lebar tonsil dengan lebar orofaring T1-T4. Tonsilitis kronis yang memerlukan
tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan
tonsilitis.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
16. Snell, R.S. 1991. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3,
edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
17. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid.
In: Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2013. p1463-4.
18. Sari, Layla T. Faktor Pencetus Tonsilitis Pada Anak Usia 5-6 Tahun di
Wilayah Kerja Puskesmas Bayat Kabupaten Klaten. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. 2014.
19. Mansjoer, A, et al.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius,
FKUI.2014.
20. Hammerstedt, lalle. Tonsilar Cancer: Incidence, Prevalence of HPV and
Survival. Swedia: Karolinska Institute.2008.
21. American Academy of Otolaryngology. Head and Neck Surgery.
Tonsillectomy procedures, Tonsillectomy. Emedicine from WebMD.2014.
22. Alasmari Nuha, et al. Causes and Treatment of Tonsillitis. The Egyptian
Journal of Hospital Medicine. 2017.
23. Putri Ningsih, Mugi. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Risiko
Terjadinya Tonsilitis Kronik pada Poliklinik THT di RSUDZA Aceh. ETD
Unsyiah. 2015
24. Watkinson JC, Clarke RW. Scott-Brown’s Otorhinolaringology and Head
and Neck Surgery. Volume 3. New York: CRC Press. 2019
25. Walijee Husein, et al. Tonsillitis. SagePub Journal. 2017
26