Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIK

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan


memenuhi syarat-syarat guna mengikuti ujian di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL

Oleh :

Rauzatil Aula Kasturi (NIM. 1907101030022)


Rosi Mega Safitri (NIM. 1907101030024)
Syadza Alya (NIM. 1907101030023)

Pembimbing : dr. Benny Kurnia, Sp.THT-KL (K), FICS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya, penulisan laporan kasus ini telah dapat penulis
selesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam penulis panjatkan ke pangkuan Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun laporan kasus dengan judul ”Tonsilitis Kronik” ini diajukan
sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian
Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Unsyiah Rumah Sakit Umum Dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Benny Kurnia,
Sp.THT-KL, FICS yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing
penulis dalam menyelesaikan penulisan tugas ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan
dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai pada waktunya.

Banda Aceh, 30 November 2020

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3
2.1. Tonsil ..................................................................................... 3
2.1.1. Jenis Tonsil .................................................................. 3
2.1.2. Reaksi Imun Tonsil ...................................................... 4
2.1.3 Fungsi Tonsil ................................................................ 6
2.2. Tonsilitis ................................................................................ 6
2.2.1. Tonsilitis Akut ............................................................. 7
2.2.2. Tonsilitis Kronik .......................................................... 8
2.3 Tonsilektomi ........................................................................... 10

BAB III LAPORAN KASUS ................................................................... 13


3.1. Identitas Penderita .................................................................. 13
3.2. Anamnesis .............................................................................. 13
3.3. Pemeriksaan Fisik .................................................................. 14
3.3.1. Status Present dan Generalisata ................................... 14
3.3.2. Status Lokalisata .......................................................... 15
3.4. Diagnosis Kerja ...................................................................... 15
3.5. Diagnosis Banding ................................................................. 15
3.6 Penatalaksanaan ..................................................................... 15
3.6.1. Terapi Suportif ............................................................. 15
3.6.2 Terapi Awal ................................................................. 15
3.7. Prognosis ................................................................................ 16
3.8. Edukasi ................................................................................... 16
3.9. Foto Klinis ............................................................................. 16

BAB IV ANALISA KASUS ...................................................................... 17


BAB V KESIMPULAN ............................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 21

iii
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 3.1 Foto Klinis Pasien ................................................................... 16

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang letaknya bermula dari


dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus setinggi vertebra
servikal ke-6. Berdasarkan letaknya faring terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring). Pada orofaring terdapat
susunan kelenjar limfa yang disebut sebagai cincin Waldeyer. Fungsi cincin
waldeyer adalah sebagai benteng bagi saluran makanan maupun saluran napas
terhadap rangsangan kuman-kuman yang ikut masuk bersama makanan atau
minuman dan udara pernapasan. Selain itu, cincin Waldeyer ini juga dapat
menghasilkan antibodi dan limfosit. Cincin Waldeyer terdiri atas tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina (tonsil fausial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), dan
tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring/Gerlach’s tonsil). Tonsil
palatina yang biasanya disebut tonsil saja, merupakan massa jaringan limfoid
yang terletak di bagian belakang mulut pada kedua sudut orofaring.1
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari
seluruh penyakit THT. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh
provinsi di Indonesia, prevalensi tonsilitis kronis 3,8% tertinggi setelah
nasofaringitis akut 4,6%. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang terjadi di
tenggorokan terutama terjadi pada kelompok usia muda diantaranya pada usia 6-
15 tahun.2
Data morbiditas pada anak yang menderita tonsilitis kronis menurut
survey kesehatan rumah tangga (SKRT) pada umur 5-14 tahun menempati urutan
kelima (10,5% laki-laki dan 13,7% perempuan). Hasil pemeriksaan pada anak-
anak dan dewasa menunjukan total penyakit pada telinga, hidung dan tenggorokan
berjumlah 190-230 per 1000 penduduk dan di dapati 38,4% diantaranya
merupakan penderita penyakit tonsilitis kronis.3
Gejala yang dapat muncul akibat peradangan tonsil adalah badan menjadi
lesu, sakit pada leher dan tenggorokkan terutama apabila menelan makanan, leher
menjadi sakit jika ditekan, terkadang disertai sakit kepala dan sulit konsentrasi

1
dan juga sering timbul gejala lain seperti pilek, pusing, bau mulut, suara serak,
nyeri perut, dan mual.4 Untuk penderita dengan tonsilitis kronik biasanya pada
saat tidur akan mendengkur karena terjadinya pembesaran kelenjar adenoid yaitu
kelenjar di dinding belakang antara rongga hidung dan tenggorokan. Selain itu
bisa juga karena paparan debu dan polusi udara, beberapa jenis makanan,
kebiasaan mencuci tangan, kebersihan mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik menjadi faktor predisposisi dari tonsilitis kronik. Tonsilitis kronik
merupakan penyakit yang terjadi di tenggorokan terutama terjadi pada kelompok
usia muda.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tonsil

Tonsil adalah kelenjar getah bening di bagian belakang mulut dan


tenggorokan bagian atas. Mereka biasanya membantu menyaring bakteri dan
kuman lain untuk mencegah infeksi pada tubuh. Tonsil merupakan massa yang
terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan kriptus di dalamnya.5
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsila faringeal, tonsila palatina, dan tonsila
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.
Tonsila tuba termasuk kelompok tonsila keempat terletak di muara tuba auditiva
pada faring. Ciri khas tonsil adalah permukaan epitelnya yang tertekan dan
dikelilingi kelompok limfonodus.5

2.1.1 Jenis Tonsil


a) Tonsila Palatina
Tonsil palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak pada fossa
tonsilaris pada kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Pada
bagian permukaan lateral ditutupi oleh kapsul tipis dan permukaan medial
terdapat kripta-kripta.6
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat
pada dasar lidah. Permukaan median tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel
skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan
leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi
pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari arteri palatina major, arteri palatina
asendens, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri faring asenden dan arteri
ligualis dorsal.5,6

3
b) Tonsila Lingual
Tonsila lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukan penjalaran duktus
tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. Tonsila lingualis
mempunyai kripta kecil-kecil yang tidak terlalu berlekuk-lekuk atau bercabang
dibandingkan dengan tonsila palatina.5,6
c) Tonsila Faringeal
Tonsila faringeal merupakan kumpulan jaringan limfoid di dinding
belakang medial nasofaring. Jaringan limfoidnya sama seperti pada tonsil palatina
epitel permukaan berlipat-lipat akan tetapi tidak sampai membentuk kriptus.
Epitel tampak sangat disebuk oleh limfosit. Pembesaran tonsil faringea, yang
berakibat menyumbat ke jalur hidung, sering kali terjadi, yang dikenal sebagai
adenoid.5,6
d) Tonsila Tuba
Kadang-kadang tonsila tuba dianggap kelompok tonsila yang tersendiri.
Setiap tonsila tuba terletak di sekeliling muara faringeal tuba faringo-timpani
(auditiva) dan membentuk perluasan tonsila faringea ke lateral. Tonsila tuba
dilapisi epitel silindris berambut getar. 5,6

2.1.2 Reaksi Imun Tonsil


Sebagian besar tonsil adalah organ sel ß dengan ß limfosit yang terdiri dari
50% - 65% semua limfosit tonsil. Sel T limfosit terdiri dari sekitar 40% dari
limfosit tonsil dan 3% adalah sel plasma matang. Tonsil terlibat dalam
menginduksi kekebalan dan mengatur produksi sekresi imunoglobulin. Tonsil
yang baik berfungsi untuk perlindungan kekebalan saluran aerodigestive. Selain
itu, terdapat 10 - 30 kriptus dalam setiap tonsil yang ideal untuk mencegah benda
asing dan membawanya ke folikel limfoid. Perkembangbiakan sel ß di pusat
germinal tonsil sebagai respon terhadap sinyal antigenik adalah salah satu fungsi
tonsil paling penting. Kekebalan tonsil paling aktif antara usia 4 sampai 10 tahun.
Involusi tonsil dimulai setelah pubertas, mengakibatkan penurunan populasi sel ß

4
dan peningkatan relatif. Meskipun secara keseluruhan produksi imunoglobulin
berkurang, tetapi masih cukup besar aktivitas sel ß jika dilihat dari kondisi klinis
tonsil yang sehat.7
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian
yaitu :
1) Respon imun tahap I
2) Respon imun tahap II
3) Migrasi limfosit.
Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai
epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier
imunologis. Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila palatina
terutama tersusun atas limfosit B dan sel T helper (CD4+). Respon imun
membutuhkan bantuan sitokin berbeda. Sitokin adalah peptida yang terlibat dalam
regulasi proses imun dan dihasilkan secara dominan stimulasi antigen lokal oleh
limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid. Sel T intraepitel
menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL –2, IL-4, IL-6, TNF- α, TNF-β / LT-
α, INF γ, dan TGF-β.3 Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B, sel B
berupa mature memory cells B dengan potensial APC yang
memungkinkan terjadinya kontak antara antigen presenting B cells dan T cells,
menyebabkan respon antibodi yang cepat. Beragam isotipe Ig dihasilkan dalam
tonsila palatina, 82 % dari sentrum germinativum menghasilkan Ig D, 55% Ig M,
36% IgG dan 29 % IgA. IgA merupakan komponen substansial sistem imun
humoral tonsila palatina. Produksi J-chain oleh penghasil Ig sebagai faktor krusial
dalam transpor epitel polimer Ig melalui komponen sekretoris transmembran.
Distribusi J-chain itu sendiri tergantung dari lokasi sel (29% IgA dihasilkan di
sentrum germinativum dan 59% IgA dihasilkan di regio ekstrafolikular). Ig
terbentuk secara pasif ditranspot ke dalam kripte.8
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui
epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Pada daerah
ekstrafolikular, IDC dan makrofag memproses antigen dan menampakkan atigen
terhadap CD4+ limfosit T. Sel T kemudian menstimuli limfosit B folikel
sehingga berproliferasi dan bermigrasi dari dark zone ke light zone,

5
mengembangkan suatu antibodi melalui sel memori B dan antibodi melalui sel
plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig (IgG 65%, IgA 20%,
sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu melawan dan mencegah infeksi. Lebih
lanjut, kontak antigen dengan sel B memori dalam folikel limfoid berperan
penting untuk menghasilkan respon imun sekunder. Meskipun jumlah sel T
terbatas namun mampu menghasilkan beberapa sitokin (misal IL-4) yang
menghambat apoptosis sel.8
Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan
limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus
dari darah ke tonsil melalui HEV dan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil
berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa
molekul adesi selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte
akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte.8

2.1.3 Fungsi Tonsil


Pembuluh darah memasok simpai dan septa tonsila, serta mendarahi
jaringan limfoid. Tonsila tidak mempunyai pembuluh darah limfe aferen. Pleksus
kapiler limfe terdapat di sekitar jaringan limfoid dan bermuara ke pembuluh darah
limfe eferen. Tonsila yang mencapai perkembangan maksimum pada masa kanak-
kanak dan kemudian menyusut, membentuk lingkaran jaringan limfosid yang
terputus-putus di sekeliling faring. Tonsil turut serta dalam pembentukan limfosit
dan membantu melindungi tubuh terhadap serangan bakteri, virus, dan protein
asing lainnya. Seperti di dalam jaringan limfoid lainnya, protein asing (antigen)
merangsang pembentukan zat anti dalam sel plasma, yang berasal dari limfosit. Di
samping itu, kerusakan epitel tampak memudahkan masuknya mikroorganisme
dan sering kali tonsila diketahui sebagai tempat masuknya (pintu gerbang)
infeksi.9

2.2 Tonsilitis

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral

6
band dinding faring/Gerlach’s tonsil). Radang tenggorokan merupakan salah satu
penyebab tonsilitis.5,10
Tonsilitis memiliki efek jangka panjang sedikit, tonsilitis berulang
menyebabkan morbiditas yang signifikan dan mengurangi waktu sekolah atau
bekerja. Definisi berulang mungkin agak berbeda, tetapi kriteria yang digunakan
baru-baru ini sebagai ukuran keparahan adalah 5 atau lebih dari episode yang
cocok dari gejala tonsilitis per tahun, gejala berulang setidaknya satu tahun, dan
episode yang menonaktifkan dan yang menghalangi fungsi normal. Tonsilitis
disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus β hemolitcus, Streptococcus
viridans, dan Streptococcus pyrogen sebagai penyebab terbanyak, selain itu dapat
juga disesbabkan oleh Corybacterium diphteriae, namun dapat juga disebabkan
oleh virus.10
Tonsilitis dapat diklasifikasikan dalam komplikasi supuratif dan non
supuratif. Komplikasi non supuratif termasuk demam berdarah, demam rematik
akut, dan pasca-streptokokus glomerulonefritis. Komplikasi supuratif termasuk
peritonsillar, retropharyngeal, parapharyngeal, dan pembentukan abses. Demam
scarlet adalah tonsilitis akut sekunder atau Streptococcus faringitis dengan
produksi endotoksin oleh bakteri. Tanda-tanda klinis termasuk ruam eritematosa,
limfadenopati parah, demam, takikardia, dan eksudat kuning di atas eritematosa
tonsil. Demam reumatik akut adalah sindrom yang terdapat Streptococcus grup A.
Faringitis selama satu sampai empat minggu. Abses peritonsillar paling sering
terjadi pada pasien dengan tonsillitis berulang atau tonsilitis kronik yang tidak
diobati. Penyebaran infeksi dari superior pole dari tonsil dengan nanah antara
dasar tonsil dan kapsul. 10

2.2.1 Tonsilitis Akut


Tonsilitis bakterialis supuratif akut paling sering disebabkan oleh
Streptokokus B hemolitikus grup A, meskipun Pneumococcus, Staphylococcus,
dan Haemophilus influenzae juga virus patogen dapat dilibatkan. Infiltrasi
bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang
berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus.
Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, sel epitel yang telah mati, dan
bakteri patogen dalam kripta. Mungkin adanya perbedaan dalam strain atau

7
virulensi organisme dapat menjelaskan variasi dari fase-fase patologis sebagai
berikut: 11
1) Peradangan biasa daerah tonsil saja
2) Pembentukan eksudat
3) Selulitis tonsila dan daerah sekitanya
4) Pembentukan abses peritonsilar
5) Nekrosis jaringan
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur maka
akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bentuk detritus ini juga melebar sehingga
terbentuk semacam membran semu (pseudo membrane) yang menutupi tonsil.
Secara klinis detritus ini mengisi kriptus dan tampak sebagai bercak kuning.5
Manisfestasi klinis, suhu tubuh naik sampai 40°C. Rasa gatal atau kering
di tenggorokan, lesu, nyeri sendi, odinofagia, anoreksia, dan otalgia. Bila laring
terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tonsil dalam keadaan dini
menunjukkan pembesaran, hipervasikularisasi, dan sebagian tertutup oleh
eksudat putih keabu-abuan yang mudah diangkat. 10
Terapi pengobatan tonsilitis ini adalah antibiotika spektrum lebar,
penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan. 5
Pada anak sering menimbulkan kompilkasi otitis media akut, sinusitis
abses peritonsil, abses para faring, bronkitis, glomerulonefritis, miokardiatis,
artritis serta septikemia akibat infeksi vena jugularis interna. Hipertrofi akan
menyebabkan pasien bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur
karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea
Syndrome (OSAS). 10,11

2.2.2 Tonsilitis Kronik


Tonsilitis kronik umumnya merupakan penyakit pada orang dewasa.
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang menahun
dari rokok, berbagai jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. 5

8
Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut,
terutama yang tidak mendapat terapi adekuat, mungkin serangan mereda tetapi
kemudian dalam waktu pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini
biasanya diikuti dengan pengobatan dan serangan yang berulang setiap enam
minggu hingga 3 – 4 bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi
timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal. Kuman penyebab
tonsilitis kronik sama dengan tonsilitis akut yaitu Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenzae, Streptococcus B hemolitikus, Streptokokus viridans.
Streptokokus B hemolitikus grup A merupakan kuman patogen yang sering
dijumpai dan berhubungan dengan risiko demam rematik dan glumerulonefritis.
Insidensi dari tonsilitis oleh karena Streptokokus B hemolitikus grup A paling
tinggi pada umur 6-12 tahun.12
Patologi terjadi karena proses peradangan berulang yang timbul maka
selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripta melebar. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.5
Gejala tonsilitis kronik mungkin tidak ada, namun jika ada biasanya tidak
berat. Pasien akan mengekuh sakit yang menusuk saat menelan. Tonsilitis kronik
merupakan penyakit yang paling sering dari semua radang tenggorokan. Gejala
klinis :
1) Gejala lokal, bervariasi dari rasa tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok, sulit
sampai sakit menelan
2) Gejala sistematis, perasaan tidak enak di badan, malaise, sakit kepala, panas
badan subfebris, sakit pada otot dan persendian.
3) Tanda klinis, tonsil dengan debris pada kriptenya tonsil udem atau hipertrofi
atau tonsil fibrotik dan kecil, plika tonsilaris anterior hiperemis dan
pembengkakan kelenjar limfe regional.13

9
Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau
atrofi. Menurut Brodsky diklasifikasikan menggunakan perbandingan lebar tonsil
dengan lebar orofaring sebagai berikut :
1) Tonsil T1 : kurang dari 25% menempati orofaring
2) Tonsil T2 : 25-50%
3) Tonsil T3 : 50-75%
4) Tonsil T4 : lebih dari 75%
Jika gejala mengganggu pasien dan berulang dengan selang waktu yang
sering walaupun terapi sudah adekuat, atau pasien mempunyai tanda infeksi
pada daerah yang jauh dalam tubuh yang disebabkan oleh fokal infeksi di tonsil,
untuk itu dapat dilakukan pengangkatan tonsil atau tonsilektomi.14
Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi,
umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun
yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorok
4-6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut.
Penatalaksanan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi
tenggorokan sehari-hari, dan usaha membersihkan kripta tonsilaris dengan alat
irigasi gigi atau oral. Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan
infeksi kronik atau berulang.13

2.3 Tonsilektomi

Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan tertua, berupa tindakan


pengangkatan jaringan tonsila palatina. Tonsilektomi tindakan operasi yang sering
dilakukan pada anak-anak. Tonsilektomi salah satu prosedur paling umum
dilakukan pembedahan di Amerika Serikat. Tonsilektomi pada orang dewasa telah
direkomendasikan untuk tonsilitis berulang, tonsilitis kronik, atau dengan keadaan
Streptokokus carrier. Selain itu, berbagai kriteria untuk diagnosis tonsilitis kronik
telah digunakan, tergantung pada frekuensi dan tingkat keparahan.14
Walaupun mungkin terdapat berbagai pendapat tentang indikasi yang pasti
untuk tonsilektomi pada anak-anak, terdapat sedikit perselisihan pendapat tentang
indikasi prosedur ini pada orang dewasa. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada
dewasa muda yang menderita episode tonsilitis berulang, selulitis peritonsilaris,

10
atau abses peritonsilaris. Anak-anak jarang menderita tonsilitis kronik atau abses
peritonsil. Indikasi absolut dari tonsilektomi adalah :
a. Timbulnya cor pulmunale
b. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur
c. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat
badan
d. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan
e. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada jaringan
sekitarnya
Indikasi relatif merupakan seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi. Indikasi yang
paling sering adalah episode berulang dari infeksi Streptokokus B hemolitikus
grup A. 14
Menurut The American Academy of Ortolaringology – Head and Neck
Surgery Clinical indicators Compendium tahun 1995 : 5
a. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapat terapi adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
angguan pertumbuhan orofasial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, cor pulmonale
d. Rinitis dan sinusitis yang kronik, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsilitis berulang yang disebabkan streptokokus B hemolitikus grup A.
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif
Tonsilektomi secara umum merupakan operasi yang aman, namun dokter
bedah harus mengenali potensi komplikasi yang mungkin terjadi. Komplikasi
tonsilektomi :
a. Mortalitas. Pratt melaporkan bahwa mortalitas dari tonsilektomi jika
dilakukan ahli bedah dan anestesiolog yang berpengalaman adalah 0.006%

11
b. Perdarahan. Pencegahan yang terbaik adalah memastikan pasien bahwa
kompilkasi pernapasan dan kecenderungan perdarahan saat operasi.
Jika timbul perdarahan, biasanya di antara 2-4 jam setelah operasi. Juga
terdapat peningkatan insiden kira-kira pada hari 5-7 pasca operasi karena
mengendurnya ikatan.
c. Abses paru merupakan komplikasi dari tonsilektomi yang jarang terjadi
yang disebabkan oleh apirasi darah dan debris atau infeksi yang sudah ada
sebelumnya dan manifestasi pasca operasi.
d. Komplikasi lainya adalah dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan
terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula,
insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan
pneumonia.15

12
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : AY
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
No.CM : 1-25-98-59
Alamat : Neuheun
Tanggal masuk : 27-11-2020
Tanggal periksa : 27-11-2020

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama:
Nyeri saat menelan
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT-KL dengan keluhan terasa nyeri pada
saat menelan. Keluhan dirasakan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan dirasakan terus menerus. Nyeri menelan memberat jika pasien makan
dan minum, cuaca panas dan dingin, berkurang jika pasien minum air hangat dan
makan makanan yang asam. Nyeri semakin memberat saat makan, setelah lebih
dari 3 suapan nasi. Keluhan ini juga disertai rasa mengganjal, mengorok pada saat
tidur dan rasa kering di tenggorokan. Pasien juga mengeluhkan demam, dan
terkadang telinga berdenging yang dirasakan kurang lebih 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit.
Keluhan mengorok dirasakan setiap hari, meskipun sedang tidak nyeri.
Suara mengorok di keluhkan oleh ibu pasien dan terdengar oleh tetangga pasien
(rumah berdempet). Suara ngorok pasien terdengar sangat keras dan tebal.
Keluhan mengorok dirasakan setiap tidur baik pada saat siang maupun malam,
saat tidur biasanya pasien menggunakan 2 bantal dan satu kain di lehernya. Pasien
mengaku kesulitan bernapas dan tidur sejak mengalami keluhan nyeri menelan.

13
Demam dengan suhu tidak terlalu tinggi dan turun dengan obat penurun
panas. Batuk kering dirasakan sesekali, apabila sedang nyeri maka batuk disertai
dahak.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengaku pernah mengalami hal yang sama sejak 6 tahun yang lalu
namun hilang dengan meminum obat yang diberikan dokter. Riwayat DM dan
hipertensi disangkal.
Riwayat Penggunaan Obat
Pasien mengaku sering meminum obat anti nyeri setiap terasa nyeri saat
menelan.
Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama.
Riwayat Kebiasaan
Pasien suka membeli jajanan di pinggir jalan dan selalu minum es setiap
makan, baik yang dibeli dan dibuat sendiri

3.3 Pemeriksaan Fisik

3.3.1 Status Present dan Generalisata


Kadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 kali/menit
Suhu : 37,2 oC
Pernapasan : 18 kali/menit
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 56 kg
a) Kepala dan leher
Normotia, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional
b) Dada dan punggung
- Paru
Inspeksi : Simetris, statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri

14
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikular (+/+), rhonki (-/-), dan wheezing (-/-)
- Jantung
BJ I > BJ II, murmur jantung tidak ditemukan
c) Perut dan pinggang
Inspeksi : Tidak ada pembesaran massa
Auskultasi : Peristaltik kesan normal
Palpasi : Soepel
Perkusi : Timpani
d) Anggota gerak
Sianosis dan edema tidak ditemukan pada ekstremitas superior dan inferior,
kekuatan otot pada keempat ekstremitas bernilai 5.
e) Genitalia dan Anus
Tidak dilakukan pemeriksaan

3.3.2 Status Lokalisata


Ar auris : CAE (lapang/lapang), serumen (-/-), sekret (kuning
kecoklatan/kuning kecoklatan), membran timpani
(intak/intak), refleks cahaya (ada/ada), hiperemis (-/-)
Ar nasal : Cavum nasi (lapang/lapang), konka inferior eutrofia(+/+),
sekret (-), septum deviasi (-)
Ar orofaring : Tonsil (T3/T3), merah muda (+/+), kripta melebar (+/+),
detritus (+), uvula berada di tengah
Faring : Merah muda.
Ar colli : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Ar maksilo fasial : Simetris, tidak dijumpai parese N.VII

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (27/11/2020)
Tabel 3.1 Hasil Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan


Hematologi
Hemoglobin 12,5 12,0-15 g/dL
Hematokrit 36 37-47 %

15
Eritrosit 4,4 4,2-5,4 106/mm3
Leukosit 12,4 4,5-10,5 103/mm3
Trombosit 346 150-450 103/mm3
MCV 81 80-100 fL
MCH 28 27-31 Pg
MCHC 35 32-36 %
RDW 14,3 11,5-14,5 %
MPV 11,6 7,2-11,1 fL
PDW 13,8 fL
Hitung jenis
Eosinofil 4 0-6 %
Basofil 0 0-2 %
Netrofil batang 0 2-6 %
Netrofil segmen 63 50-70 %
Limfosit 25 20-40 %
Monosit 8 2-8 %
Faal Hemostasis
Waktu perdarahan 2 1-7 menit
Waktu pembekuan 7 5-15 menit
Kimia Klinik
GDS 99 <200 mg/dl
Ureum 20 13-43 mg/dl
Kreatinin 0,61 0.51-0,95 mg/dl
Natrium 145 132-146 mmol/L
Kalium 4,1 3,7-5,4 mmol/L
Klorida 107 98-106 mmol/L

Foto thoraks (15/10/2019)

16
- Hasil : Cor bentuk dan ukuran normal, pulmo tidak tampak infiltrat, sinus
costophrenicus kiri dan kanan tajam.
- Kesimpulan: Cor dan Pulmo tidak tampak kelainan
3.5 Diagnosa Kerja
Tonsilitis Kronis

3.6 Diagnosis Banding

1. Tonsilitis Kronik
2. Tonsilitis Difteri
3. Angina Plaut Vincent
4. Tumor Tonsil
5. Mononukleosis Infeksiosa

3.7 Penatalaksanaan

3.7.1 Terapi Definitif


Tonsilektomi
3.7.2 Terapi Awal (Medikamentosa)
Paracetamol tablet 500 mg 3 kali sehari
Metilprednisolon tablet 4 mg 2 kali sehari
Cefixim kapsul 100 mg 2 kali sehari

3.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

3.9 Edukasi

1. Menjaga kebersihan makan dan minum


2. Membiasakan berkumur atau menggosok gigi minimal 2 kali sehari
3. Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan
4. Peralatan makan dan rumah tidak digunakan secara bersama sama dan
sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun
sebelum digunakan kembali

17
5. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi
berulang

3.10 Foto Klinis

Gambar 3.1 Foto klinis pasien

18
BAB IV
ANALISA KASUS

Telah diperiksa pasien perempuan berusia 20 tahun dengan keluhan nyeri


di tenggorokan. Keluhan dirasakan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan dirasakan terus menerus. Keluhan memberat jika pasien menelan
makanan ataupun berada di cuaca panas ataupun dingin dan berkurang jika pasien
minum air hangat dan makan makanan yang asam. Keluhan ini juga disertai rasa
mengganjal, rasa kering di tenggorokan dan mengorok saat tidur. Pasien juga
mengeluhkan demam dan telinga berdenging yang dirasakan lebih dari 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini sudah dirasakan pasien selama 6 tahun
ini (sejak usia 14 tahun) dan keluhan berkurang sementara ketika meminum obat
yang diberikan oleh dokter. Pasien mengaku sering memakan makanan pinggir
jalan seperti gorengan dan minum minuman dingin baik yang dibeli di luar rumah
ataupun yang dibuat sendiri di dalam rumah.
Seperti yang tersebut dalam anamnesis tersebut, pasien adalah perempuan
yang mengalami tonsillitis saat pasien berusia 14 tahun atau tepatnya sejak 6
tahun yang lalu. Suatu literatur menyebutkan bahwa tonsillitis sering terjadi pada
anak-anak dibandingkan dewasa. Tonsilitis sering terjadi pada usia 5 hingga 15
tahun dan penyebab umumnya adalah virus ataupun Streptococcus. Berdasarkan
jenis kelamin, dalam literatur yang sama disebutkan bahwa anak perempuan lebih
rentan terkena tonsillitis dibandingkan anak laki-laki hingga mencapai usia 14
tahun.22
Keluhan nyeri pada tenggorokan terutama saat menelan dan disertai
dengan pembesaran tonsil dapat menjadi pertanda adanya proses peradangan
akibat invasi kuman yang menginfiltrasi lapisan epitel tonsil. Pembesaran pada
tonsil akan menyebabkan perlekatan di jaringan sekitar fosa tonsilaris dan akan
mengenai nervus glossofaringeal sehingga pasien akan mengeluhkan nyeri
terutama saat menelan.16 Tanda-tanda peradangan lain yang dapat muncul ialah
rasa mengganjal dan kering pada tenggorokan, nyeri saat menelan, napas berbau,
demam, lesu, nyeri sendi, dan tidak nafsu makan.5
Berdasarkan anamnesis pasien tersebut didapatkan informasi berupa
kebiasaan makan yang buruk seperti sering mengonsumsi makanan pinggir jalan

19
dan minum dingin sering dilakukan pasien. Kebiasaan memakan makanan pinggir
jalan dan minum minuman dingin erat kaitannya dengan kejadian tonsilitis kronik.
Berdasarkan penelitian oleh Mugi, tahun 2015, didapatkan hubungan yang
signifikan antara kebiasaan makan yang buruk dengan kejadian tonsilitis kronik.
Kebiasaan makan, makanan yang tidak sehat seperti makanan yang mengandung
pewarna, penyedap, dan berminyak. Kebiasaan meminum minuman dingin secara
terus menerus juga dapat menjadi faktor pencetus timbulnya tonsilitis dikarenakan
vasokontriksi yang menyebabkan pembuluh darah mengecil dan jumlah sel darah
putih berkurang. Berkurangnya jumlah sel darah putih dapat mengurangi sistem
pertahanan tubuh dan memudahkan terjadinya tonsillitis.18,23
Dari pemeriksaan fisik orofaring ditemukan adanya pembesaran tonsil
dengan ukuran T3 pada tonsil kanan dan tonsil kiri. Kedua tonsil hiperemis
dengan permukaan yang tidak rata dan tampak kripta yang melebar. Uvula terlihat
berada di tengah akibat pembesaran tonsil kanan dan kiri yang tidak mendorong
letak dari uvula.
Pada pemeriksaan fisik, tonsil pasien membentuk kripta yang lebar disertai
dengan detritus. Infeksi berulang tonsil juga menyebabkan epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis, sehingga proses penyembuhan jaringan limfoid akan
digantikan oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga kriptus akan
melebar dan kemudian diisi oleh detritus. Detritus merupakan kumpulan dari
leukosit, bakteri yang mati, serta epitel yang terlepas akibat peradangan. Proses ini
berjalan terus menerus hingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Detritus ini
dapat dibersihkan dengan aplikator dan tidak berdarah jika dibersikan. 5
Keluhan nyeri pada tenggorokan yang disertai pembesaran tonsil memiliki
diagnosis banding seperti tonsilitis difteri, angina plaut vincent, tumor tonsil, dan
mononucleosis infeksiosa. Pada tonsilitis difteri akan dijumpai pseudomembran
yang mudah berdarah saat diangkat serta terdapat kelainan otot, seperti
miokarditis maupun kelumpuhan otot pernapasan. Untuk membedakan dengan
angina plaut vincent maka dilakukan pemeriksaan kebersihan mulut, dimana
biasanya pada angina plaut vincent kebersihan mulut penderita buruk, seperti
terdapatnya gigi dan gusi yang mudah berdarah, hiperemis pada mukosa mulut

20
dan faring, mulut berbau serta terdapat pembesaran kelenjar submandibular. Pada
tumor tonsil akan didapatkan keluhan nyeri saat menelan, nyeri di telinga akibat
adanya nyeri alih, nyeri di lidah dan gangguan gerakan lidah, dan terkadang
pasien tidak bisa membuka mulut (trismus). Pada mononucleosis infeksiosa,
keluhan disertai dengan adanya pembesaran kelenjar limfe pada regio axilla dan
inguinal, serta terdapat gambaran darah yang khas berupa adanya leukosit
mononukleosis dalam jumlah yang besar. Pada pasien dalam kasus ini tidak
terdapat hal-hal yang disebutkan di atas, sehingga diagnosis tonsilitis difteri,
angina plaut vincent, tumor tonsil, dan mononucleosis infeksiosa tidak dapat
ditegakkan. 5,19,20
Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah Paracetamol
tablet 500 mg 3 kali sehari, Metilprednisolon tablet 4 mg 2 kali sehari dan
Cefixim kapsul 100 mg 2 kali sehari.
Penggunaan paracetamol pada pasien ini sebagai analgetik dan antipiretik.
Seperti yang disebutkan bahwa pasien terkadang mengalami demam dan nyeri
saat menelan. Obat antiinflamasi non steroid (NSAID) dan parasetamol lebih
efektif daripada plasebo untuk menghilangkan gejala. Parasetamol cukup untuk
kasus-kasus ringan, tetapi pada orang dewasa NSAID seperti ibuprofen dan
diklofenak dianggap lebih unggul daripada parasetamol untuk meredakan nyeri.24
Meskipun kekhawatiran tentang risiko NSAID telah meningkat, uji coba
terkontrol acak tersamar ganda (RCT) yang besar menunjukkan bahwa ibuprofen
dapat ditoleransi dengan baik seperti parasetamol, oleh karena itu pedoman SIGN
merekomendasikan penggunaan ibuprofen 400 mg tiga kali sehari untuk
meredakan gejala sakit tenggorokan, demam dan sakit kepala, sesuai dengan
kontraindikasi yang biasa. Ibuprofen tidak boleh diberikan kepada pasien dengan
atau berisiko dehidrasi karena kekhawatiran tentang toksisitas ginjal. Pada pasien
yang memiliki kontraindikasi untuk ibuprofen, parasetamol 1 g 4 kali sehari.
direkomendasikan. Namun, pada anak-anak, parasetamol harus digunakan sebagai
pilihan pertama, dengan ibuprofen digunakan sebagai alternatif. 24
Terapi selanjutnya yang diberikan pada pasien adalah Metilprednisolon.
Menurut tinjauan Cochrane baru-baru ini, pada pasien dewasa dengan sakit
tenggorokan, nyeri dapat dikurangi dan resolusi dipercepat dengan penggunaan

21
kortikosteroid oral atau intramuskular dosis tunggal dalam hubungannya dengan
terapi antibiotik. Dua studi yang membandingkan secara langsung jalur
intramuskular dan oral tidak menemukan perbedaan dan lebih disarankan
penggunaan oral. Pasien yang memakai kortikosteroid tiga kali lebih mungkin
untuk mengalami resolusi lengkap gejala sakit tenggorokan mereka dalam 24 jam
dibandingkan dengan mereka yang memakai plasebo. Waktu rata-rata untuk
timbulnya pereda nyeri adalah 6,3 jam lebih awal pada peserta yang menggunakan
kortikosteroid dibandingkan dengan plasebo. Namun, manfaat sederhana ini harus
diimbangi dengan kemungkinan efek merugikan obat steroid, meskipun
penggunaan kortikosteroid singkat jarang berbahaya.22
Pilihan antibiotika yang digunakan pada pasien ini adalah Cefixime.
Seperti yang kita ketahui, cefixime merupakan antibiotika golongan cephalosporin
generasi ketiga yang bersifat bakterisidal. Sementara itu, sebuah literatur
menyebutkan antibiotik pilihan pada tonsilitis adalah Phenoxymethylpenicillin
selama 10 hari. Makrolida dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat alergi
terhadap penisilin.25
Antibiotik lain yang lebih mahal, terutama sefalosporin, secara statistik
jauh lebih berhasil dalam memberantas organisme meskipun keuntungan klinisnya
kurang jelas. Beberapa sefalosporin menawarkan regimen dosis yang lebih
nyaman, tetapi dosis dua kali dan tiga kali sehari dari penisilin V oral juga telah
terbukti efektif dalam menghilangkan Streptococcus Beta Hemoliticus Grup A
(GABHS). Sebuah tinjauan Cochrane 2010 mencatat bahwa, meskipun tampaknya
ada indikasi bahwa karbacephem dan sefalosporin mungkin memiliki beberapa
manfaat dibandingkan penisilin dalam hal resolusi gejala dan kejadian kambuh,
temuan tersebut tidak konsisten di seluruh metode analisis dan penelitian
substansial. Oleh karena itu, tidak ada cukup bukti yang meyakinkan untuk
mengubah rekomendasi pedoman saat ini untuk pengobatan pasien dengan
tonsilofaringitis GABHS. Pada pasien yang alergi terhadap penisilin, alternatifnya
termasuk sefalosporin spektrum sempit (sefaleksin, sefadroksil) atau makrolida
(azitromisin, klaritromisin).24
Terapi yang direncanakan untuk pasien ini adalah tonsilektomi. Indikasi
tonsilektomi berdasarkan The American Academy of Otolaringology-Head and

22
Neck Surgey Clinical Indicators Compendium tahun 1995, yaitu hipertrofi tonsil
hingga menimbulkan keluhan mengganjal dan dirasa mengganggu serta ada
keluhan sumbatan jalan napas saat tidur yang ditandai dengan mengorok.21
Selain kriteria tersebut, kriteria SIGN sebagai kriteria tonsilektomi dapat
digunakan. Kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1. Kriteria SIGN25

23
BAB V
KESIMPULAN

Tonsilitis adalah infeksi (virus atau bakteri) dan inflamasi pada tonsil,
terjadinya peradangan epitel jaringan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer yang berfungsi sebagai benteng bagi saluran makanan maupun
saluran napas terhadap rangsangan kuman-kuman yang ikut masuk bersama
makanan atau minuman dan udara pernapasan. Tonsilitis kronis umumnya terjadi
akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat.
Kuman penyebab tonsilitis kronik sama dengan tonsilitis akut yaitu Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenzae, Streptococcus B hemolitikus, Streptokokus
viridans.
Gejala tonsilitis kronik biasanya pada saat tidur akan mendengkur karena
terjadinya pembesaran kelenjar adenoid, gejala klinis lainnya bervariasi dari rasa
tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, perasaan
tidak enak di badan, malaise, sakit kepala, panas badan subfebris, sakit pada otot
dan persendian, tonsil dengan debris pada kriptenya tonsil udem atau hipertrofi
atau tonsil fibrotik dan kecil, plika tonsilaris anterior hiperemis dan
pembengkakan kelenjar limfe regional.
Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau
atrofi. Menurut Brodsky tonsilitis diklasifikasikan menggunakan perbandingan
lebar tonsil dengan lebar orofaring T1-T4. Tonsilitis kronis yang memerlukan
tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan
tonsilitis.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Pricilia, O,S. Kesehatan Tenggorok pada Siswa Sekolah Dasar Inpres


Kema 3 Kabupaten Minahasa Utara. Manado: Joernal Universitas Sam
Ratulangi Manado; 2018.
2. Rinny, J,O. Identifikasi bakteri dan uji kepekaan terhadap antibiotik
penderita tonsillitis di poliklinik THT-KL BLU RSU.PROF. DR. R. D.
Kandou Manado. Jurnal e-Biomedik. 2013.
3. Sapitri, V. Karakteristik penderita tonsillitis kronis yang diindikasikan
tonsilektomi di RSUD raden mattaher jambi. Artikel Ilmiah Fakultas
Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Jambi. 2013.
4. Price, S. A. Patofosiologi: konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6.
Jakarta: EGC; 2006.
5. Iskandar, Soepardi, Bashirudin. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014.
6. Wineski LE. Snell’s Clinical Anatomy. New York: Wolters Kluwer; 2018.
36 p.
7. Care I for Q and E in H. How Do The Tonsils Work? 2011;1:1–4.
8. Suzumoto M, Hotomi M, Fujihara K, Tamura S, Kuki K, Tohya K, et al.
Functions of tonsils in the mucosal immune system of the upper respiratory
tract using a novel animal model , Suncus murinus. 2006;1164–70.
9. Atsushi Kato P, Kathryn E. Hulse P, Bruce K. Tan M, Schleimer RP, PhD.
B lymphocyte lineage cells and the respiratory system. 2014;131(4):933–
57.
10. K S. Tonsillitis and sore throat in children. 2014;13:1–24.
11. Barlet MA, Bola MS, William SRC. Acute tonsillitis and its complications:
an overview. PubMed. 2015;69–73.
12. Manado, K. Kandidat Skrispi Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi yang merupakan cincin Waldeyer terdiri atas THT di 7 provinsi (
Indonesia ) Januari. 2014;2:2–6.
13. Bakar MA, Mckimm J, Haque SZ, Haque M. Chronic tonsillitis and
biofilms : a brief overview of treatment modalities. 2018;329–37.
14. C B, C S. Tonsillectomy and Adenoidectomy. NCBI. 2019;1–11.
15. Mitchell RB, Archer SM, Ishman SL, Rosenfeld RM, Coles S, Finestone
SA, et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children (Update).
2019;(4).

25
16. Snell, R.S. 1991. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3,
edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
17. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid.
In: Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2013. p1463-4.
18. Sari, Layla T. Faktor Pencetus Tonsilitis Pada Anak Usia 5-6 Tahun di
Wilayah Kerja Puskesmas Bayat Kabupaten Klaten. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. 2014.
19. Mansjoer, A, et al.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius,
FKUI.2014.
20. Hammerstedt, lalle. Tonsilar Cancer: Incidence, Prevalence of HPV and
Survival. Swedia: Karolinska Institute.2008.
21. American Academy of Otolaryngology. Head and Neck Surgery.
Tonsillectomy procedures, Tonsillectomy. Emedicine from WebMD.2014.
22. Alasmari Nuha, et al. Causes and Treatment of Tonsillitis. The Egyptian
Journal of Hospital Medicine. 2017.
23. Putri Ningsih, Mugi. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Risiko
Terjadinya Tonsilitis Kronik pada Poliklinik THT di RSUDZA Aceh. ETD
Unsyiah. 2015
24. Watkinson JC, Clarke RW. Scott-Brown’s Otorhinolaringology and Head
and Neck Surgery. Volume 3. New York: CRC Press. 2019
25. Walijee Husein, et al. Tonsillitis. SagePub Journal. 2017

26

Anda mungkin juga menyukai