Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

RINITIS JAMUR

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Program


Pendidikan Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung
dan Tenggorokan

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Budhi Asih

Pembimbing :

dr. Dumasari Siregar,Sp.THT-KL

Disusun oleh :

Widya Novianita

030.12.281

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung

dan Tenggorok

Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Periode 10 Oktober-12 November 2016

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Lembar Pengesahan

REFERAT

Rinitis Jamur

Penyusun :

Widya Novianita

030.12.281

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Program


Pendidikan Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung
dan Tenggorokan

RSUD Budhi Asih

Periode 10 Oktober-12 November 2016

Menyetujui,

Jakarta, Oktober 2016

Pembimbing

dr.Dumasari Siregar, Sp.THT-KL


Kata Pengantar

Segala puji dan syukur atas berkat rahmat Allah SWT, karena atas izin-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Rinitis Jamur. Shalawat serta salam
kepada baginda Rasulloh SAW.

Referat ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Budhi Asih periode 10 Oktober-12
November 2016.

Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi para
pembaca.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.Dumasari Siregar,Sp.THT-KL


selaku pembimbing referat.

Penulis sangat berharap semoga referat ini dapat menjadi masukan dan
informasi yang berguna sehingga pembaca dapat lebih memahami mengenai rinitis
jamur ini.
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................. iii

Daftar Isi ......... ................................................................................................. iv

Daftar Gambar ................................................................................................. v

Daftar Tabel ..................................................................................................... vi

BAB I . Pendahuluan ....................................................................................... 1

BAB II. Tinjauan pustaka ................................................................................ 2

2.1 Anatomi hidung ................................................................................ 2

2.2 Histologi hidung ................................................................................ 6

2.3 Fisiologi hidung ............................................................................... 6

2.4 Terminologi rinitis ............................................................................. 7

2.5 Epidemiologi ...................................................................................... 7

2.6 Etiologi ............................................................................................. 8

2.7 Klasifikasi ........................................................................................ 10

2.8 Patofisiologi .................................................................................... 11

2.9 Gejala klinis .................................................................................... 15

2.10 Pemeriksaan penunjang ................................................................ 15

2.11 Diagnosis ...................................................................................... 17

2.12 Tatalaksana ..................................................................................... 18

2.13 Komplikasi ..................................................................................... 20

BAB III. Kesimpulan ......................................................................................... 21

Daftar Pustaka .................................................................................................... 22


Daftar Gambar

Gambar 1. Anatomi hidung ............................................................................... 3

Gambar 2. Sinus paranasal ................................................................................. 5


Gambar 3 . Patofisiologi rinitis alergi ............................................................... 13

Gambar 4. Bola fungus ....................................................................................... 15

Gambar 5. Allergic Fungal Rhinosinusitis (AFRS) menggunakan MRI ........... 17


Daftar Tabel

Tabel 1. Peringkat alergen lewat udara terbanyak ............................................................. 9


BAB I

PENDAHULUAN

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian yaitu bagian yang paling atas berbentuk kubah, tulang yang tak
dapat digerakkan, yang di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan,
serta yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. 1

Rinitis adalah terjadinya proses inflamasi mukosa hidung yang dapat disebabkan oleh
infeksi, alergi atau iritasi, dan secara klinis didefinisikan oleh beberapa gejala umum
dari nasal discharge, gatal, bersin, hidung tersumbat dan kongesti. Penyebab rinitis alergi
dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama
tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.2

Rinitis jamur biasanya disebabkan oleh spesies jamur yang disebut Aspergillus
fumigatus, dan asosiasi umum ini telah menyebabkan istilah 'aspergillosis' sering digunakan
bergantian dengan 'Rinitis Jamur'. 3

Ada sekitar 20.000 sampai 1,5 juta spesies jamur yang berbeda. Namun, hanya
beberapa lusin saja yang sebenarnya menyebabkan penyakit infeksi pada manusia. Inhalasi
spora diduga menjadi sarana utama dimana organisme jamur mendapatkan akses ke saluran
sinonasal.4Horner dkk diperkirakan antara 3 dan 10% dari orang dewasa dan anak-anak di
seluruh dunia alergi terhadap jamur.3 Hal ini berlaku di iklim tropis (seperti Malaysia, Puerto
Rico, dan Singapura), daerah beriklim sedang (Midwestern Amerika Serikat), dan dalam
iklim kering (Finlandia, Kuwait, dan Tucson, Arizona). Dalam tropis dan lainnya panas,
daerah lembab, jumlah spora biasanya melebihi jumlah serbuk sari oleh 100 kali lipat. 3,4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas. Struktur hidung luar dibedakan atas
tiga bagian yaitu bagian yang paling atas berbentuk kubah, tulang yang tak dapat digerakkan,
yang di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, serta yang paling
bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1

1) pangkal hidung (bridge),

2) batang hidung (dorsum nasi),

3) puncak hidung (hip),

4) ala nasi,

5) kolumela, dan

6) lubang hidung (nares anterior). 1

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1)
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 2

Rongga hidung atau yang disebut kavum nasi, merupakan sebuah terowongan dari
depan kebelakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya dibagi menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior, sedangkan
dibagian belakang disebut nares posterior atau koana yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring. Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi dibelakang nares
anterior adalah vestibulum yang merupakan lapisan kulit yang tediri atas kelenjar sebasea dan
tambur-rambut panjang vibrise. 2
Dinding medial hidung adalah septum nasi yang terdiri dari tulang dan tulang rawan.
Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
adalah konka inferior, yang lebih kecil lagi adalah konka media, lebih kecil dari konka media
adalah konka superior, dan yang terkecil adalah konka suprema yang bersifat rudimenter. 2

Diantara konka rongga hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus
terdiri atas meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior meatus inferior terdapat
diantara konka inferior, dasar hidung dan dinding lateral hidung. Meatus inferior merupakan
tempat bermuaranya ostium/duktus maksilaris. Meatus medius terletak diantara konka media
dan dinding lateral rongga hidung. Meatus medius merupakan tempat bermuaranya sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terletak diantara ruang
konka superior dan konka media dan merupakan tempat bermuaranya sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid. 2

Dinding inferior rongga hidung dibentuk oleh os maksilla dan os palatum. Dinding
superior atau atap hidung merupakan lamina kribosa, yang memisahkan rongga tengkorak
dengan rongga hidung. Lamina kribosa merupakan bagian lempeng tulang yang berasal dari
os etmoid yang berbentuk lubang-lubang merupakan tempat keluar masuknya saraf
olfaktorius. Dibagian posterior , atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. 2

Gambar 1. Anatomi hidung5


Perdarahan hidung
Pada bagian atas rongga hidung mendapatkan perdarahan dari a.etmoidalis anterior
dan posterior cabang dari a.oftalmika yang berasal dari a.karotis interna. Bagian bawah
hidung mendapatkan perdarahan dari cabang a.maksilaris interna. Bagian depan hidung
mendapatkan perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang a.sfenopalatina, a.etmoidalis anterior, a.labialis superior dan
a.palatina mayor yang kemudian disebut pleksus Kiesselbach (Litlle area) dimana pada
daerah tersebut letaknya superfisial sehingga sering menjadi penyebab epistaksis pada anak.2

Anatomi sinus paranasal


Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara
15-18 tahun. 2

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila berbentuk
piramid dengan dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina, sedangkan dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan
dinding inferiornya adalah prosessus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di
sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid. Sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar, molar, kadang-kadang gigi taring, dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi geligi
dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
sinusitis. Selain itu juga, sinus maksilaris dapat menimbulkan komplikasi orbita dan letaknya
lebih tinggi dari dasar sinus sehingga drenase hanya tergantung pada gerak silia, lagipula
drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini akan
menyebabkan drainase sinus maksila dan selanjutnya akan berkembang menjadi sinusitis. 2

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya
dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan berkelok-kelok, apabila tanda tersebut menghilang
pada foto rontgen menandakan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar ke daerah ini. Drainase sinus frontal melalui ostium yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. 2

Sinus etmoid dapat menjadi fokus infeksi untuk sinus-sinus yang lain, dikarenakan
bentuk sinus etmoid yang berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media
dan dinding medial orbita. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya didepan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior dari lamina basalis.
Dibagian paling depan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang besar disebut bula etmoid.
Pembengkakan atau peradangan di resessus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal,
sedangkan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. 2

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior, dibagi dua
oleh sekat yang disebut intersfenoid. Batas dari sinus sfenoid sebelah superior adalah fosa
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateralnya
berbatasan dengan sinus kavernosa dan a.karotis interna dan disebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. 2

Gambar 2. Sinus paranasal6


Kompleks Osteomeatal (KOM)
KOM merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media
dan lamina papiresea. Terdiri atas prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resessus frontal. Fungsi dari KOM adalah sebaggai
tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksilaris,
frontalis dan etmoidalis anterior. Jika terjadi bstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan
terjadi perubahan patologis sinus yang terkait. 2

2.2 Histologi hidung


Rongga hidung dilapisi oleh mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa
penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaanya dilapisi oleh epitel berlapis torak semu yang mempunyai silia
(cilliated pseudostratified collumner epithelium) dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Sedangkan, mukosa penghidu berada pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
atas septum. Mukosanya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tanpa silia (pseudostratified
collumner non ciliated epithelium). Epitelnya terdapat tiga macam sel yaitu sel penunjang, sel
basal dan sel reseptor penghidu. 2

Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Sedangkan pada
daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. 2

2.3 Fisiologi hidung

Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena
terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan
mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5)
refleks nasal. 2
2.4 Terminologi rinitis

Rinitis adalah terjadinya proses inflamasi mukosa hidung yang dapat disebabkan oleh
infeksi, alergi atau iritasi, dan secara klinis didefinisikan oleh beberapa gejala umum
dari nasal discharge, gatal, bersin, hidung tersumbat dan kongesti. Rinitis infeksi dimana
proses inflamasi disebabkan oleh mikroorganisme penyebab infeksi yang terdiri dari virus,
bakteri non spesifik, bakteri spesifik dan jamur. 2

Rinitis jamur adalah infeksi yang melibatkan hidung dan sinus (ruang udara di dalam
tengkorak). Rinitis jamur biasanya disebabkan oleh spesies jamur yang disebut Aspergillus
fumigatus, dan asosiasi umum ini telah menyebabkan istilah 'aspergillosis' sering digunakan
bergantian dengan 'Rinitis jamur'.7

Beberapa masalah di bagian Rinologi telah menimbulkan banyak kontroversi pada


dekade terakhir seperti peran potensial jamur sebagai penyebab rinosinusitis kronis. Hal ini
dapat dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ponikau dkk, penelitian tersebut
menunjukkan bahwa spora jamur yang diteliti (mendekati100% prevalensi)ditemukan pada
bilasan hidung dari pasien dengan rinosinusitis kronik. Penelitian selanjutnya menunjukkan
bahwa hifa jamur dapat diidentifikasi oleh pewarnaan jamur pada sediaan lendir pada rongga
sinus yang sakit sekitar 93% kasus rinosinusitis kronis. Sebagian besar lendir sampel juga
berisi eosinofil. Pada penelitian tersebut menyatakan lendir sebagai '' musin alergi '' atau ''
musin eosinofilik '' dan menyatakan bahwa sebagian besar kasus rinosinusitis kronik
ditemukan adanya '' rinosinusitis jamur eosinofilik. 3

2.5 Epidemiologi

Ada sekitar 20.000 sampai 1,5 juta spesies jamur yang berbeda. Namun, hanya
beberapa lusin saja yang sebenarnya menyebabkan penyakit infeksi pada manusia. Ada dua
bentuk utama dari jamur, yaitu ragi dan hifa. Ragi adalah organisme uniseluler dengan
diameter sekitar 3-15 m. Dapat bereproduksi secara aseksual dengan tunas. Sedangkan jamur
adalah organisme multisel dengan diameter 2-10 m. Organisme ini tumbuh bercabang ke
dalam struktur yang disebut hifa. 3

Komponen penting lainnya dari organisme jamur adalah spora. Spora adalah struktur
reproduksi yang dapat diproduksi pada kondisi yang tidak menguntungkan. Spora ini dapat
menahan banyak kondisi yang merugikan, dan tersebar luas di seluruh lingkungan. Setelah
spora ini terkena lingkungan yang menguntungkan, mereka mulai tumbuh. Inhalasi spora
diduga menjadi sarana utama dimana organisme jamur mendapatkan akses ke saluran
sinonasal.4

Horner dkk memperkirakan antara 3 dan 10% dari orang dewasa dan anak-anak di
seluruh dunia alergi terhadap jamur. 3 Hal ini berlaku di iklim tropis (seperti Malaysia, Puerto
Rico, dan Singapura), daerah beriklim sedang (Midwestern Amerika Serikat), dan dalam
iklim kering (Finlandia, Kuwait, dan Tucson, Arizona). Dalam tropis dan lainnya panas,
3
daerah lembab, jumlah spora biasanya melebihi jumlah serbuk sari 100 kali lipat. Jamur
hidrofilik, seperti Fusarium dan Phoma, yang paling berlimpah selama cuaca hujan,
sedangkan Alternaria dan Cladosporium mengalami peningkatan kadar selama musim panas
dan berangin. 3,7

Aspergillus jamur dapat ditemukan dilingkungan mana saja, khususnya di tanah, yang
dapat menyerang manusia atau hewan apabila terkena organisme dan spora dari jamur
tersebut. Dari perspektif epidemiologi, pasien Allergic Fungal Rhinosinusitis (AFRS)
biasanya menyerang pasien yang lebih muda dan subjek kebanyakan pada laki-laki.
Diperkirakan 5-10% dari pasien rinosinusitis kronik yang dilakukan pembedahan ditemukan
memiliki AFRS. Pasien biasanya memiliki sistem kekebalan tubuh yang utuh dan memiliki
riwayat atopi, termasuk rinitis alergi dan / atau asma.8

2.6 Etiologi

Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan
pada anak-anak. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman
biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya
adalah debu tungau. Terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus. Alergen lainnya dapat berupa jamur, binatang peliharaan
seperti kecoa dan binatang pengerat.2

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 2

Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan dan udang.
Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.

Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan . 2

Tabel 1. Peringkat alergen lewat udara terbanyak9

Aspergillus fumigatus adalah spesies jamur yang paling umum. Aspergillus, dapat
menyebabkan infeksi granulomatosa kronik pada sinus paranasalis, hidung, liang telinga, dan
telinga tengah. Infeksi pada hidung dan sinus paranasalis akut, biasanya terjadi pada pasien
dengan imunosupresi. 1 Hal ini disebabkan karena jamur tidak dapat menembus lapisan epitel
ketika sistem kekebalan tubuh berfungsi dengan baik. Penurunan sistem imun seperti pada
penderita diabetes melitus, pasien yang sedang mendapatkan kemoterapi, atau pasien yang
sedang dalam terapi kortikosteroid, menciptakan suatu kondisi dimana jamur mampu
menembus hambatan mukosa normal dan menyerang jaringan pada host. Pada pasien dengan
diabetes melitus, khususnya dalam kondisi ketoasidosis, biasanya lebih cenderung ditemukan
infeksi jamur dari spesies Zygomycetes, termasuk Rhizopus, Rhizomucor, Mucor, dan
8
Absidia. Pasien dengan keganasan hematologi lebih memungkinkan untuk ditemukan
spesies Aspergillus flavus tetapi mungkin juga tumbuh A. fumigatus, Mucor, Fusarium, dan
Penicillum. 1,9

Sebuah akumulasi padat elemen jamur dalam salah satu sinus disebut bola jamur
(fungus ball). Sebuah bola jamur terdiri dari lendir dan jamur noninvasif tanpa adanya respon
imunologi. 3Menurut penelitian Nicolai et al. melaporkan bahwa sinus maksilaris paling
sering terlibat (84%), diikuti oleh sinus sfenoid (14%), sinus ethmoid juga sinus frontal. Bola
jamur lebih sering terjadi pada usia menengah atau wanita yang lebih tua, biasanya dengan
sistem kekebalan tubuh berfungsi normal. Mekanisme terjadinya bola jamur ini belum
diketahui secara pasti. Banyak yang melaporkan bahwa bola jamur terjadi akibat adanya
kavitas pada gigi, namun pada beberapa orang bola jamur tersebut dapat terjadi tanpa disertai
kelainan pada gigi. Teori sederhananya adalah bahwa spesies jamur terakumulasi dalam sinus
yang masuk melalui sistem respirasi namun, tidak cukup dibersihkan oleh gerakan
mukosiliar. Replikasi organisme jamur tersebut menyebabkan pertumbuhan jamur yang
semakin lama menumpuk menjadi bola yang dapat menyebabkan iritasi mukosa sekitarnya
dan penyumbatan ostium. 3

Dalam AFRS, terjadi peradangan mukosa kronis yang diperantai sebagian melalui
IgE-mediated (tipe 1), reaksi terhadap spesies jamur yang terdapat dalam lendir sinonasal. 1
AFRS adalah hipersensitivitas lokal noninvasif sebagai respons terhadap pertumbuhan jamur
yang muncul di daerah drainase mukus yang terganggu.3

2.7 Klasifikasi

Rinitis jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif atau non
invasif. Rinitis jamur non invasif dapat menyerupai rinolit dengan inflamasi mukosa yang
lebih berat. Rinolit adalah gumpalan jamur (fungus ball). Biasanya tidak terjadi destruksi
kartilago dan tulang. 2

Rinitis jamur invasif, ditandai dengan ditemukan adanya hifa jamur pada lamina
propria. Jika terjadi invasi jamur submukosa, dapat menyebabkan perforasi septum atau
hidung pelana. 2

Terdapat subtipe dari rinosinusitis kronis yaitu rinosinusitis dengan polip hidung
(CRSwNP),dimana pasien yang memiliki musin eosinofilik jelas pada histopatologi. Pada
pasien CRSwNP dengan musin eosinofilik, beberapa akan memiliki jamur hifa dalam musin
dan beberapa tidak terdapat jamur hifa. Pada pasien CRSwNP dengan jamur hifa pada
pewarnaan akan diklasifikasikan sebagai AFRS dan menunjukan pula rekasi hipersensitivitas
tipe 1 terhadap jamur. Sedangkan, pasien CRSwNP dengan musin eosinofilik dan jamur hifa
yang terdeteksi, namun tidak terdapat reaksi hipersensitivitas tipe 1 maka akan
diklasifikasikan sebagai Rinosinusitis Jamur Eosinophilic (EFRS). Dari sudut pandang
mekanistik, AFRS dan EFRS dibedakan berdasarkan apakah terdapat peradangan sinonasal
dikaitkan dengan perantara IgE yang akan memproses atau tidak. 8
Infeksi jamur invasif dengan perjalanan waktu lebih dari 12 minggu disebut
rinosinusitis jamur invasif kronik. Pasien biasanya telah didiagnosa dengan CRS dan gejala
awalnya bisa spesifik. Invasi jamur ke jaringan sekitarnya terjadi secara perlahan dari waktu
ke waktu dan gejala spesifik akan mencerminkan wilayah invasi. 8

2.8 Patofisiologi

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi
alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam. 2

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. 2

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai
sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 2

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1) 2

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-
CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
berupa alergen, iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
2
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

Gambar 3 . Patofisiologi rinitis alergi10

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:

1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respon sekunder. 2

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada
tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 2

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. 2

Jamur menghasilkan sejumlah zat yang berpotensi menyebabkan iritasi. Ini termasuk
senyawa organik volatil mikroba yang berasal (MVOCs), glukan yang terkait dengan
endotoksin, dan ergosterol. Namun, spektrum penuh iritasi bakteri dan jamur belum
disebutkan sepenuhnya. Seperti iritasi lainnya, efek paparan zat ini secara langsung berkaitan
dengan jumlah dan durasi paparan.7

Patofisiologi rinosinusitis jamur alergi (AFRS) adalah yang paling konsisten berkaitan
dengan peradangan alergi kronis berat dengan ditemukannya kolonisasi jamur. Secara
histologi, musin alergi menunjukkan eosinofilik degranulasi intens dan mukostasis. Sebuah
studi melaporkan bahwa jamur yang mengandung antigen dari spesia Alternaria- dan
Cladosporium-menginduksi Th2 untuk mengeluarkan sitokin (IL-5) secara in vitro oleh
limfosit darah perifer dari pasien dengan AFRS. Th2 yang mengeluarkan IL-5 dan IL-13
akan cenderung terlibat dalam akumulasi eosinofil dan selanjutnya pengeluaran eosinofil
tersebut dimediasi oleh lendir yang mengandung hifa jamur. Oleh karena itu, jamur dengan
pengukuran IgE spesifik menjadi penanda penyakit di AFRS tanpa memerlukan pemeriksaan
patologi jaringan lokal. 3

Setelah respon alergi dimulai, infiltrasi eosinofil terjadi kemudian, dimana serangan
eosinofil lokal untuk menyerang jamur dan terjadi penumpukan tingkat tinggi protein
eosinofil granular pada mukus. Mukus menumpuk dan menyebabkan kerusakan epitel oleh
karena protein eosinofil, kemudian berkontribusi terhadap kolonisasi bakteri dengan / atau
tanpa infeksi. 3
2.9 Gejala klinis

Individu dengan Allergic Fungal Rhinosinusitis (AFRS) menunjukan gejala khas


Chronic Rhinosinusitis (CRS), diantaranya adalah hidung tersumbat, nyeri pada wajah atau
nyeri tekan pada wajah, nasal discharge,dan penurunan kemampuan penghidu. 3

Presentasi klinis AFRS mungkin mirip dengan kasus-kasus lain CRS dengan polip
hidung. AFRS dibedakan dari CRS dengan Nasal Polyps dengan adanya kehadiran musin
alergi yang mengandung jamur hifa (seperti yang ditunjukkan oleh pewarnaan atau kultur
jamur) dan bukti IgE-mediated alergi terhadap satu atau lebih jamur. 3Sekret mukopurulen
khas berwarna hijau kecoklatan. 1

Individu dengan Rhinosinusitis jamur invasif memiliki gejala awal yang mirip dengan
kasus CRS, termasuk hidung tersumbat, drainase, dan nyeri wajah/ nyeri tekan pada wajah.
Sebagai penyakit yang sedang berlangsung, pasien dapat mengalami demam dan epistaksis.
Penyebaran penyakit dari sinus ke daerah sekitar orbita dapat terjadi dan ditandai dengan
proptosis, oftalmoplegia, dan penurunan ketajaman visual. Penyebaran jamur di luar dinding
sinus maksilaris dapat mengakibatkan dinding palatum dan pipi nekrosis. Keterlibatan
intrakranial dapat terjadi melalui penyebaran langsung di dasar tengkorak atau bersama saraf
kranial melalui foramen dasar tengkorak. Pada pasien yang mengalami defisit saraf kranial
dan perubahan status mental mempunyai memprediksi penyakit yang parah dan prognosis
yang buruk. 8

2.10 Pemeriksaan penunjang

Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jamur sebagai penyebabnya,


diantaranya adalah pemeriksaan darah untuk melihat peningkatan eosinofil sebagai tanda
jamur sebagai alergen, pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan sediaan langsung, atau kultur
2
jamur, misalnya pada Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium dan Mucor. pada
Aspergillus merupakan flora normal orofaring, maka pengambilan sampel jaringan harus
dalam keadaan yang steril agar biakan dapat mempunyai nilai diagnostik. 1

Kemunculan jamur hifa pada pemeriksaan histopatologi dapat memberikan beberapa


petunjuk mengenai spesies jamur. Hasil kultur jamur dilaporkan sekitar 64-100%, kecurigaan
terhadap jamur berdasarkan kehadiran musin alergi dengan pewarnaan jamur positif. Tidak
seperti kultur jamur yang positif, penampilan histologis musin alergi sangat penting untuk
diagnosis AFRS. Namun, kebanyakan dokter menunda hasil kultur jamur sebelum untuk
mempersempit penggunaan antijamur yang tepat dikarenakan membutuhkan waktu yang
cukup lama. 3Penting untuk dicatat bahwa sampel pemeriksaan yang diambil adalah musin
alergi jamur itu sendiri, dan bukan berasal dari mukosa sekitarnya, yang merupakan indikator
yang paling dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit akibat jamur tersebut. Secara
makroskopis, musin tampak tebal, sangat kental, dan bervariasi. Pada pewarnaan musin
digambarkan mirip dengan selai kacang atau poros.11 Secara mikroskopis atau secara
histologis, musin alergi terlihat dari peningkatan eosinofil dan pewarnaan menggunakan
Charcot-Leyden kristal. Pewarnaan jamur lainnya yang dapat mengidentifikasi jamur ialah
pewarnaan perak, seperti Methamine Grocott atau Gomori yang hasilnya akan memberikan
warna perak pada jamur hitam atau coklat tua. 3,11

Pada rinitis jamur invasif, pada pemeriksaan hidung dapat ditemukan sekret
mukopurulen. Kadang terdapat ulkus atau perforasi pada septum yang disertai nekrosis
jaringan berwarna kehitaman (blach eschar).2 Pemeriksaan antibodi serum Aspergillus
galactomannan assay antigen juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi jamur invasif
yang disebabkan oleh spesies Aspergillus11 Pemeriksaan tersebut menunjukan total nilai IgE
umumnya meningkat pada pasien dengan AFRS, terkadang mencapai lebih dari 1.000 IU /
11
ml.

Diagnosis AFRS sering dicurigai berdasarkan penemuan dari radiografi. Pada


pemeriksaan CT scan ditemukan adanya gambaran berupa Hyperattenuated mucin yang
sering terlihat dalam lumen sinus dan dalam banyak kasus telah terjadi ekspansi yang
progresif disertai penipisan dinding sinus. Pada beberapa kasus, dapat terjadi pengikisan
tulang akibatnya sehingga mukosa sinus akan berhadapan langsung dengan dasar duramater.
Beberapa sinus biasanya dapat terjadi bilateral, meskipun temuan radiografi sering lebih
parah pada satu sisi. 8

Gambar 4. Bola fungus. CT scan menunjukan hiperanuasi dengan


opasifitas pada sinus maksila kanan. 8
Pada rinosinusitis jamur invasif, CT Scan non kontras akan menunjukkan adanya
gambaran hypoattenuating dan penebalan mukosa sebagian dari hidung dan sinus, yang
paling sering adalah pada rongga hidung. Kelainan tersebut dapat ditemukan bilateral tetapi
seringnya dapat terjadi lebih buruk pada salah satu sisi tertentu, atau dapat menunjukkan
proses unilateral. Akibat adanya progresivitas penyakit akibat inavasi jamur tersebut
mengakibatkan erosi tulang dan penebalan jaringan lunak yang dapat dilihat hingga ke
rongga sinonasal, seperti retroantral. MRI paling dipilih untuk mengevaluasi retroantral,
intraorbital, atau untuk melihat penyebaran ke daerah intrakranial; tapi akuisisi gambar dapat
memakan waktu dan bisa menunda diagnosis definitif. 8

Gambar 5. Allergic Fungal Rhinosinusitis (AFRS) menggunakan MRI dengan kontras


didapatkan perselubungan mukosa yang merupakan polip pada sinus etmoid, maksila dan
frontal. 8

2.11 Diagnosis

Diagnosis bola jamur umumnya dikonfirmasi pada saat operasi, jamur berwarna
seperti kapur yang ditemukan dalam sinus. Mukosa sinus sekitarnya sering terjadi
peradangan, dan pada pemeriksaan mikroskopik menunjukan adanya peradangan kronis
nonspesifik tanpa invasi mukosa. Secara histologis, terdapat kumpulan hifa jamur. 8

Berdasarkan Bent dan Kuhn kriteria diagnosis pada AFRS terdiri dari berikut: 8

(1) polip hidung

(2) adanya jamur pada pewarnaan

(3) musin eosinofilik tanpa invasi jamur ke dalam jaringan sinus,


(4) reaksi hipersensitivitas tipe I , dan

(5) temuan karakteristik radiologi ditemukan kepadatan diferensial jaringan soft tissue pada
CT scanning.

Bila menggunakan kriteria ini, beberapa peringatan perlu dipertimbangkan. Pasien


yang memiliki riwayat operasi sinus sebelumnya hanya dapat menunjukkan gambaran edema
mukosa. Kehadiran jamur pada pewarnaanbisa negatif, apabila elemen jamur yang ditemukan
sedikit. Penggunaan tes hipersensitivitas tipe 1, baik melalui skin prick test atau pengujian
dengan menggunakan Radio Allergosorbent, adalah kriteria mendasar dari sistem klasifikasi
tersebut. 8

Diagnosis rinosinusitis jamur invasif kronik dikonfirmasi pada saat dilakukan operasi
Dimana menunjukkan jamur hifa menginfiltrasi mukosa, pembuluh darah, atau tulang.
Jaringan sekitarnya sering menunjukkan nekrosis dan infiltrat akibat dari inflamasi
nonspesifik, sehingga menjadi granuloma yang berbeda dari granuloma noncaseating yang
menjadi ciri granulomatosa kronis. Jamur tertentu dapat tumbuh dari berbagai spesies
termasuk jenis dematiaceous (Bipolaris, Curvularia, dan Alternaria), spesies Aspergillus,
dan Zygomycetes. 8

Diagnosa pasien dilihat dari presentasi klinis menunjukkan bahwa penyakit jamur
invasif memerlukan penilaian klinis yang cepat dengan menggunakan sinonasal endoskopi.
Temuan endoskopi didapatkan gambaran mukosa hidung yang bervariabel termasuk pucat
dan / atau nekrotik mukosa hidung. Gillespie et al. melaporkan kelainan tersebut dapat
ditemukan pada tempat yang paling mungkin adalah anterior dari tengah konka (67%) dan
disarankan mengarahkan biopsi awal pada lokasi tersebut dan area sekitarnya. Penemuan
abnormal lainnya untuk diagnosis adalah konfirmasi pada pemeriksaan histopatologi
menunjukan elemen jamur yang divisualisasikan menyerang mukosa, pembuluh darah,
jaringan lunak, atau tulang. Evaluasi patologis intraoperatif sangat penting dan pewarnaan
jamur khusus seperti Calcofluor putih digunakan untuk memvisualisasikan jamur hifa. 8

2.12 Tatalaksana

Penatalaksanaan pertama yang dilakukan pada rinitis alergi adalah pengendalian


lingkungan untuk mengurangi pemicu alergi diantaranya akibat serbuk sari, tungau debu,
hewan berbulu,serangga, dan terutama jamur, karena jamur adalah organisme yang beragam
dan dapat ditemukan di mana-mana serta banyak yang menghasilkan alergen. Pengurangan
paparan jamur dalam ruangandapat dilakukan dengan cara mengurangi sumber kelembapan
dan penggantian bahan yang terkontaminasi. 7

Penatalaksanaan medikamentosa pada rinitis jamur non invasif dapat berupa


antihistamin generasi kedua umumnya lebih dipilih dari antihistamin generasi pertama pada
pengobatan rhinitis alergi. Antihistamin generasi pertama memiliki potensi yang dapat
menimbulkan gangguan sedasi, kinerja, dan efek antikolinergik. Meskipun kadang-kadang
menguntungkan (misalnya, induksi tidur akibat berkurangnya waktu tidur atau pengurangan
rinore), sifat ini biasanya tidak diinginkan dan berpotensi bahaya. Generasi kedua
antihistamin memiliki lebih sedikit efek sedasi atau tidak ada kecenderungan untuk
menyebabkan efek tersebut. 7

Terapi bedah bertujuan untuk menghilangkan polip, membuka ostium sinus, dan
memusnahkan musin jamur eosinofilik, diikuti oleh terapi medis yang agresif. Setelah
penghapusan hifa jamur, mukosa sinus umumnya kembali ke normal dan tidak ada
pengobatan tambahan yang biasanya diperlukan. 8 Sebuah penelitian retrospektif melaporkan
bahwa penghapusan lengkap dari semua jamur dan musin eosinofilik dapat terjadi berulang. 8

Pengobatan rinitis jamur invasif meliputi reseksi bedah dari jaringan nekrotik,
antibiotik, antijamur sistemik, dan upaya pengembalian kekebalan tubuh. Tujuan terapi bedah
adalah untuk menghapus jaringan nekrotik yang tidak bermanfaat. Menurut Champagne et al,
pasca operasi dapat menunjukkan perbaikan dalam kualitas hidup pada pasien yang
menderita rinitis jamur. Pasca operasi dilakukan irigasi saline serta semprot hidung steroid
topikal dan antibiotika oral. Pengobatan pemeliharaan terdiri dari semprot hidung steroid
topikal, nasal saline (cuci hidung), irigasi budesonide, dan steroid oral untuk menghindari
eksaserbasi. Secara keseluruhan, tingkat kekambuhan setelah operasi telah dilaporkan sekitar
10 hingga 100%. 8

Terapi medikamentosa pada pasien rinitis jamur invasif. Secara umum, terapi medis
telah dibagi menjadi steroid oral dan topikal, antijamur oral dan topikal, antagonis leukotrien,
dan imunoterapi. 8Antiinflamasi topikal dan oral , diantaranya adalah prednisolon 50 mg serta
fluticasone semprot hidung. Pada terapi antijamur oral dan topikal dapat menggunakan 100
mg itraconazole tiga kali sehari selama 1 bulan, diikuti oleh 100 mg dua kali sehari selama 2
bulan. Evaluasi menggunakan pemeriksaan nasal endoskopi, ternyata membaik pada 37,5%
dan skor gejala membaik di 56%.8
Terapi medikamentosa pada rinitis jamur invasif dapat menggunakan antijamur
intravena menggunakan liposomal amfoterisin B sebagai obat pilihan utama yang memiliki
efek aktivitas terhadap spesies jamur Zygomycetes, serta mengisolasi jamur Aspergillus. 8

Pengobatan yang ditujukan untuk normalisasi sistem kekebalan tubuh sangat penting
untuk keberhasilan pengobatan. Pada pasien diabetes melitus dapat dikontrol menggunakan
insulin. Pada pasien dengan neutropenia sekunder pada kemoterapi dan / atau transplantasi
sumsum tulang, Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor (GMCSF) dapat
digunakan untuk menambah kekebalan tubuh. Terapi imunoterapi subkutan berperan sebagai
imunoterapi pada semua jamur dan antigen nonfungal lainnya yang bermanfaat dalam
mencegah kambuhnya penyakit. 8 Imunoterapi juga bermanfaat pada terapi rinitis alergi yang
berpotensi menyebabkan penyakit oportunistik lain. Selain itu, imunoterapi alergen pada
rinitis alergi juga dapat mencegah perkembangan sensitisasi alergen baru, contohnya adalah
perkembangan menjadi penyakit asma. 7-8

2.13 Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang tersering adalah polip hidung. Beberapa penelitian
mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip
hidung dan kekambuhan polip itu. Polip hidung dapat terjadi bersamaan dengan rinitis kronis
atau sinusitis dan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk gejala pasien. Selain
itu, dapat pula menyebabkan otitis media efusi yang residif, terutama pada anak-anak. 2

Selain itu pula terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa penderita rinosinusitis
jamur invasif dapat komplikasi sampai orbital.12
BAB III.

KESIMPULAN

Spesies jamur yang beragam terdapat di lingkungan sekitar, yang kemudian akan
masuk dan berdampak pada saluran sinonasal manusia. Rinosinusitis jamur mencakup
spektrum yang luas dari penyakit, mulai dari destruksi yang sederhana sampai invasi akut.
Setiap entitas penyakit memiliki presentasi karakteristik dan klinis, dengan status kekebalan
dari tuan rumah memainkan peran yang penting. Peran patofisiologi dan diagnosis yang
akurat dan pengobatan yang ditargetkan diperlukan untuk mencapai hasil yang optimal.

Rinosinusitis jamur invasif akut ditemukan umumnya pada pasien dengan


immunocompromised. Karena, jamur tidak dapat menembus lapisan epitel ketika sistem
kekebalan tubuh berfungsi. Jamur menghasilkan sejumlah zat yang berpotensi menyebabkan
iritasi. Penampilan klinis terdapat gambaran rinolit atau fungus ball atau dapat pula
ditemukan musin alergi yang merupakan tanda dari adanya infeksi yang disebabkan oleh
jamur. Pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiografi harus dilaksanakan dengan cepat
untuk menegakan diagnosis dan menentukan terapi.

Terapi pada rinitis jamur bermacam-macam sesuai dengan tingkat keparahan


penyakit, dimulai dari menghindari alergen, pemulihan kekebalan tubuh, pengobatan
medikamentosa berupa antijamur, antihistamin, kortikosteroid oral dan topikal hingga
dilakukan pembedahan. Penyakit rinosinusitis jamur ini merupakan suatu keadaan kronik
yang harus ditangani dengan cepat karena jamur akan menginvasi daerah sekitar yang lebih
luas serta menimbulkan komplikasi yang jauh lebih berat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed VI.
Jakarta;EGC. 2013.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung dan Tenggorok Kepala & Leher. Ed VI. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI. 2011.
3. Hamilos DL. Allergic Fungal Rhinitis and Rhinosinusitis. Proc Am Thorac Soc Vol 7.
2011. pp 245252. doi: 10.1513/pats.201109-098AL
4. Gleinser D, Maeso P. Fungal Sinusitis. Grand Rounds Presentation The University of
Texas Medical Branch (UTMB Health) Department of Otolaryngology. 2012
5. Chang EW, Nguyen CT. Nasal Anatomy. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/. Accessed on : October 2016.
6. Burke A. Medical Scientific & Illustration. American Medical Association. JAMA.
2012.301(17)1798-1807.
7. Wallace DV, Dykewicz MS. The diagnosis and management of rhinitis: An updated
practice parameter. J Allergy Clin Immunol 2011;122:S1-84.
doi:10.1016/j.jaci.2011.06.003
8. Soler ZM. Schlosser RJ. The role of fungi in diseases of the nose and sinuses: Narac Review.
Am J Rhinol Allergy 26, 351358, 2012; doi: 10.2500/ajra.2012.26.3807.
9. Min YG. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic Rhinitis. Allergy
Asthma Immunol Res. 2011 April;2(2):65-76. doi: 10.4168/aair.2011.2.2.65.
10. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. Proc Am
Thorac Soc Vol 8. pp 106114, 2011. doi: 10.1513/pats.201008-057RN.
11. Glass D, Amedee RG. Allergic Fungal Rhinosinusitis: A Review. The Ochsner
Journal 11:271275, 2011
12. Piromchai P, Thanaviratananich S. Research Article Invasive Fungal Rhinosinusitis
versus Bacterial Rhinosinusitis with Orbital Complications: A Case-Control Study.
Hindawi Publishing Corporation The ScientificWorld Journal. Volume 2013.
doi.org/10.1155/2013/453297

Anda mungkin juga menyukai