Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

TOKSOPLASMOSIS SEREBRI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Neurologi
Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Disusun oleh:
Albertina L Tebay., S.Ked
Eka Panji Priambodo Padmosusilo., S.Ked
Permin Sofyana Enumbi., S.Ked
Renaldy Nayoan Sutrahitu., S.Ked
Wahyu Aryo Bimo., S.Ked

Pembimbing:
dr. Nelly Y. Tan Rumpaisum, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh penguji, Lapkas
dengan judul “TOKSOPLASMOSIS SEREBRI” sebagai salah satu syarat
untuk mengikuti kepaniteraan Klinik Madya pada SMF Neurologi Rumah
Sakit Umum Daerah Jayapura.
Yang dilaksanakan pada:
Hari :
Tanggal :
Tempat :

Menyetujui
Penguji/ Pembimbing

dr. Nelly Y. Tan Rumpaisum, Sp.S


DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................
BAB II TINJAUN PUSTAKA ......................................................................
2.1 DEFINISI ............................................................................................
2.2 EPIDEMOLOGI ...................................................................................
2.3 ETIOLOGI ...........................................................................................
2.4 MANIFESTASI KLINIS .....................................................................
2.5 PATOGENESIS ...................................................................................
2.6 DIAGNOSIS..........................................................................................
2.7 DIAGNOSIS BANDING.......................................................................
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG...........................................................
2.9 PENATALAKSANAAN.......................................................................
2.10 PROGNOSIS........................................................................................
BAB III KESIMPULAN................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Toksoplasmosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh parasit obligat


intraseluler Toxoplasma gondii. Infeksi ini dapat ditemukan di seluruh dunia tanpa
predileksi khusus pada wilayah tertentu. Pada individu dengan sistem imun yang
baik, infeksi primer oleh parasit ini biasanya bersifat asimtomatik. 1 Sekitar 30% -
65% dari populasi dunia adalah diperkirakan mengalami infeksi Toxoplasma
kronis. Sebenarnya, prevalensi bervariasi antar negara (dari 10 sampai 80%) dan
sering dalam suatu negara tertentu atau antara komunitas yang berbeda di wilayah
yang sama (Pappas G, 2009). Seroprevalences yang rendah (10 sampai 30%) telah
ditemukan di Amerika Utara, di Asia Tenggara, di Eropa Utara, dan di negara-
negara Sahelian di Afrika. Prevalensi sedang (30 sampai 50%) telah ditemukan di
negara-negara Tengah dan Eropa Selatan, dan prevalensi tinggi telah ditemukan di
Amerika Latin dan di negara-negara Afrika tropis.2 Gejala biasanya baru dijumpai
pada orang-orang yang mengalami imunodefisiensi, di mana T. gondii dapat
mengalami reaktivasi yang akhirnya menimbulkan manifestasi klinis.1
Toksoplasma serebri merupakan infeksi opportunistik yang berkaitan
dengan sistem saraf pusat yang paling sering ditemukan pada individu dengan
Acquired Immunodefficiency Syndrome (AIDS). Angka kejadian toksoplasma
serebri pada pasien AIDS mencapai 3-40% di seluruh dunia.3 Studi yang sama
menyebutkan 23% kematian pada pasien AIDS disebabkan oleh toksoplasmosis
serebri.4
Di Asia Tenggara sendiri penyakit ini menginfeksi sekitar 4% hingga
75%, seperti di Laos (6%), Malaysia (7%), Thailand (11-15%), Vietnam (16%),
dan Indonesia (17- 20%) populasi masyarakat.5 Di Indonesia, sekitar 2-51%
penduduknya mengalami infeksi toksoplasmosis yang terbagi di beberapa daerah
yaitu 58% di Sulawesi Utara, 10-12% di Jakarta, 9% di Surabaya, 20% di
Yogyakarta, 2% di Boyolali, 51% di Jawa Barat, 9% di Sumatera Utara, 3% di
Kalimantan Barat, 31% di Kalimantan Selatan, 27% di Sulawesi Tengah dan 16%
di Palu.6
Selain terjadi pada manusia toksoplasmosis juga seringkali menyerang
pada hewan. Prevalensi infeksi toksoplasmosis pada kucing sekitar 6-40%,
kambing 23%, domba 31-72%, sapi 36%, kerbau 27% dan babi 28-32. 8
Toksoplasmosis serebri adalah infeksi yang dapat ditangani melalui pemberian
terapi antiparasit yang tepat, namun keberadaannya dapat membahayakan jiwa
dan menjadi faktor komorbid yang serius pada pasien yang mengalami
imunodefisiensi.7
B A B II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Toksoplasmosis Serebri

2.2.1 Definisi Klinis

Toksoplasmosis serebri adalah suatu infeksi otak akut yang


disebabkan oleh reaktivasi kembali kista patogen intrasel T.gondii laten,
mengandung bradisoit dan kemudian mengalami perubahan fase
menjadi takisoit, hal ini terjadi oleh karena adanya keadaan
imunokompremis (AIDS) dengan kadar CD4 rendah, manifestasi klinis
adanya disfungi neurologis fokal maupun difus dengan histopatologi
adanya nekrosis dan trombosis pembuluh darah dengan inflamasi
perivaskular (vaskulitis) pada bagian sentral tampak sebagai nodul
mikroglia serta banyak ditemukan takisoit yang mengelilingi nodul,
seperti cincin pada daerah perbatasan nekrosis arteritis dan takisoit pada
dinding pembuluh darah (Portegies dan Berger, 2007).

2.2. Epidemiologi Toksoplasmosis Serebri


Infeksi toksoplasmosis merupakan oportunistik pada penderita
AIDS dan paling sering menyebabkan lesi desak ruang di otak
dengan angka prevalensi beragam diseluruh dunia. Toksoplasmosis
pertama kali dilaporkan oleh Charles Nicolle dan Louis Manceaux di
Tunisia pada tahun 1908, kemudian oleh Alfonso Splendore di
Brasillia (Hall dkk,. 2001). Toksoplasma berasal dari kata toxon yang
artinya lengkung dan T.gondii ditemukan secara kebetulan pada
binatang pengerat sejenis tikus (Ctenodactylus gondii) sehingga
diberikan nama Toxoplasma gondii pertama kali oleh Nicolle.
Serologi zat anti T.gondii ditemukan secara kosmopolit pada manusia
dan binatang melalui tes serologi ditemukan oleh Sabin dan Feldman
(Black dan Boothroyd, 2000).
Kasus infeksi pada manusia biasanya terjadi melalui jalur oral,
transplasenta, transfusi darah dan melalui trasplantasi organ.
Berdasarkan pemeriksaan serologi prevalensi toksoplasmosis
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor geografis misalnya
negara beriklim dingin, negara tropis dengan kelembaban tinggi dan
subtropis, faktor kebiasaan makan daging kurang matang, adanya
kucing yang terutama sebagai host definitif, adanya tikus, burung
sebagai host perantara yang merupakan makanan kucing, adanya
sejumlah vektor seperti lipas atau lalat yang dapat memindahkan
ookista dari tinja kucing ke makanan dan cacing tanah yang berperan
memindahkan ookista dari lapisan dalam tanah ke permukaan
(Pohan,2006; Dubey,2010).
Pemaparan hasil serologis positif untuk T.gondii sangat beragam
diseluruh dunia (Hill dkk., 2001). Prevalensi zat anti T.gondii pada
orang dewasa sehat di Amerika diperkirakan antara 3-70% dan di
Eropa 80% (Pohan, 2006), di Indonesia berkisar 2-63% Clarke dkk,
(1973), di Irian Jaya 40% dari penduduk pribumi berumur 10-50
tahun, Surabaya dan Jawa Timur 8,9% Yamamoto dkk, (1970).
Seropositif untuk T.gondii pada maternal 2 per 1000 kehamilan,
rerata laju penularan secara trasplasenta 40% dan proporsi neonatus
dengan gejala toksoplasmosis berat sebesar 8% (Remington dan
Desmonts, 1990).
Infeksi kongenital berkisar 20-50% tergantung pada trimester
terjadinya infeksi akut (Pohan, 2006). Prevalensi zat anti T.gondii
pada wanita hamil di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
berkisar 14,3% Sayogo dkk, (1980), dan angka seropositif pada 50
kasus abortus di bagian Obsetri dan Gynecologi (Obgyn) sebesar
67,8% (Samil dkk,1988). Risiko tertinggi terjadi pada umur
kehamilan 24-36 minggu (trimester III) sebesar 59%, trimester II
sebesar 29% dan trimester I sebesar14%, dengan gejala pada
umumnya abortus spontan, lahir prematur dan kelainan kongenital
yang serius (Dubey, 2010).
Kelainan toksoplasmosis kongenital dikelompok menjadi gejala
nampak sejak lahir, dikenal dengan tetrade Sabin yaitu hidrosefalus
atau mikrosefalus, kalsifikasi intrakranial, kejang, korioretinitis dan
gejala nampak dikemudian hari yaitu korioretinitis, strabismus,
mikrosefalus dan hidrosefalus dimana pada awal kelahirannya bayi
tampak normal. Kelompok gejala yang kedua merupakan manifestasi
klinis toksoplasmosis kongenital yang paling sering terjadi (Pohan,
2006; Dubey, 2010).
Prevalensi toksoplasmosis pada penderita Human
Immunodeficiency Virus (HIV) /AIDS 45-70% di Eropa dan Afrika
berkisar 50-78%, di Amerika sekitar 16% dan Prancis 37% (Joseph
dkk, 2002). Berdasarkan penelitian patobiologi pada 962 orang
penderita AIDS yang meninggal dan dilakukan autopsi, dilaporkan
proporsi jenis infeksi oportunistik yang berhubungan dengan infeksi
di sistem saraf pusat (SSP), diantaranya oleh sebab virus, bakteri,
jamur dan parasit didapatkan yang terbanyak oleh infeksi
Cytomegalovirus (CMV) dengan frekuensi dalam prosentase
(15,8%), Toxoplasmosis (13,6%), Cryptococcus (7,6%), Progresive
Multifocal Leukoencephalophaty (4,0%), Herpes Simplex Virus
encephalitis (1,6%), Candidiasis (1,1%), Herpes Zoster Virus
encephalitis (0,6%), Histoplasmosis (0,4%), Tuberculosis (0,3%),
Aspergillosis (0,3%) (Kure dkk, 1991).
Penelitian pasien AIDS yang diberikan pengobatan dengan
dideoxynosin kejadian toksoplasmosis serebri sekitar 11% dari
keseluruhan pasien dan 25% dari mereka dengan seropositif dan
imunokompremis yang terbukti dengan kadar limfosit CD4 ≤ 100
sel/mL. Rumah Sakit di Prancis memiliki data dasar mengenai
penderita HIV sebelum dan sesudah menggunakan ARV. Terjadi
penurunan insiden toksoplasmosis serebri yang bermakna, dari 3,9
kasus per 100 orang pertahun dan menjadi 1 kasus per 100 orang
pertahun (Clifford, 2005).
Pemberian ARV pada pasien AIDS disatu pihak dapat menekan
kematian akibat infeksi oportunistik namun di lain pihak justru dapat
meningkatkan kejadian infeksi oportunistik (Merati dan Samsuridjal,
2006).
Sekumpulan gejala timbul akibat suatu reaksi inflamasi setelah
pengunaan ARV, sindrom ini dikenal dengan immune reconstitution
inflammatory syndrome (IRIS). Respon inflamasi ini terjadi sebagai
akibat adanya kesalahan dalam regulasi sistem imun dan
meningkatnya antigen yang dipresentasikan CD4 karena peningkatan
kadar CD4 dan menurunnya jumlah virus (viral load). Kesalahan
mekanisme imunologi terjadi karena adanya perubahan fungsi
limfosit atau perubahan ekspresi fenotipenya. Peningkatan CD4
memori untuk mengenal antigen yang sama sehingga reaksi inflamasi
terjadi lebih hebat untuk membunuh antigen yang beredar hampir
diseluruh tubuh (Murdoch dkk., 2007).
Infeksi oportunistik diperkirakan 30-50% terjadi pada penderita
AIDS, yang berkembang menjadi toksoplasmosis serebri (Pokdisus,
2005).

2.3. Etiologi Toxoplasma Gondii

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intrasel yang


termasuk dalam subfilum Apicomplexa, kelas sporozoasidea, genus
Coccidia terdiri dari 3 fase perubahan bentuk (ookista, takisoit, kista
jaringan atau bradisoit). Ciri khas dari parasit ini adalah hidup intrasel
dalam sel hospes pada vakuola sitoplasma sel yang berinti, mampu
mengisi sesuai dengan karakteristik struktur sel yang diinfeksi dengan
kompleks sistoskeletal serta organellanya (Wei dkk.,2002; Viqar,1997).

Siklus hidup T.gondii mengalami perkembangan secara seksual dan


aseksual. Siklus seksual atau siklus enteroepithelial terjadi di dalam
usus hospes primer (definitif) yaitu golongan Felidae (kucing, harimau)
dan siklus aseksual berkembang pada manusia dan binatang mamalia
lainnya (hospes sekunder) yang disebut juga siklus ekstra intestinal
(gambar 2.1) (Black dan Boothroyd, 2000)
Gambar 2.1
Siklus Hidup Toxoplasma gondii (Black dan Boothroyd, 2000).

Bentuk sporosoit, kistosoit adalah bentuk infektif apabila tertelan


oleh host difinitif kemudian masuk ke epitel usus dan terjadi
pembiakan aseksual dalam bentuk merosoit. Siklus ini dapat
berulang hingga 5 kali dan akhirnya sebagian merosoit berkembang
menjadi gametogoni untuk memulai siklus seksual. Makrogamet
(betina) dibuahi oleh mikrogamet (jantan) menghasilkan zigot
selanjutnya menjadi ookista. Ookista mengandung 2 sporokista yang
di dalamnya terdapat 4 sporosoit relatif tahan terhadap lingkungan
luar (gambar 2.2)(Viqar, 1997).
Gambar 2.2
Siklus Seksual dalam Usus Kucing (Viqar, 1997).

Ookista bentuknya bulat (9 x 13 µm), setelah matang


dikeluarkan bersama tinja kucing setelah 20-24 hari dari mulai
terjadinya infeksi, dapat berlangsung hingga 1-3 minggu. Setiap hari
dapat dikeluarkan 10 juta butir ookista selama 2 minggu. Kista
menjadi matang apabila lingkungan sekitar memungkinkan,
sporulasi terjadi sangat cepat pada suhu tinggi (24oC) selama 14-21
hari, suhu 11oC selama 2-3 hari dan tidak terjadi sporulasi pada suhu
< 4oC atau > 37oC. Ookista mati pada suhu 45-55 oC, dikeringkan
atau bercampur formalin, amonia dan iodium. Didalam tanah
lembab ookista bertahan hidup beberapa bulan hingga satu tahun
(gambar 2.3)(Black dan Boothroyd, 2000).

Gambar 2.3.
Siklus Hidup T.gondii dalam Host Difinitif (Black dan Boothroyd,
2000).

Perkembangan siklus aseksual terjadi pada manusia dengan


tertelannya ookista atau memakan daging mengandung kista atau
pseudokista yang dimasak tidak matang. Bentuk aseksual pada
manusia atau bintang (hospes sekunder) tidak terbentuk di sel epitel
usus. Merosoit dari hasil biakan aseksual, masuk kedalam limfe dan
peredaran darah membentuk pseudokista dan kista dalam berbagai
alat dalam badan manusia sebagai bentuk akhir, apabila dalam
kondisi imunokompeten.
Perkembangan merosoit dari fase aseksual adalah bentuk takisoit
(trofosoit) merupakan bentuk invasif aseksual sepanjang fase akut,
bentuk takisoit yang ditemukan dalam makrofag dan sel hospes
lainnya. Mampu memperbanyak diri secara cepat dalam sitoplasma
(parasitophorus vakuola) dengan cara membelah diri tiap 6-8 jam
intraseluler (in vitro), sel yang terinfeksi akan mengalami lisis dan
takisoit keluar menginfeksi sel sekitarnya, tiap sel berisikan penuh
64 hingga 128 parasit (Dubey, 2010).
Takisoit mati bila dipanaskan, didinginkan, dilarutkan atau
terpapar asam pencernaan disaluran cerna. Takisoit berbentuk
seperti bulan sabit, salah satu ujung anteriornya meruncing dan
ujung lainnya bulat lonjong seperti pentungan. Memiliki beberapa
organela sekretori regulasi (apical micronemes) yang bentuknya
sangat kecil seperti alur benang, organela yang berpasangan yang
terletak pada ujung anterior takisoit disebut rhoptries yang berguna
sebagai pembuat enzim untuk dapat masuk ke sel hospes yang
dibantu dengan dense granule yang tersebar diseluruh bagian parasit
(gambar 2.4) (Black dan Boothroyd, 2000).
Gambar 2.4
T.gondii Stadium Takisoit (Dubey, 2010).
Setelah proses perlekatan pada sel host, rhoptries akan
dikeluarkan untuk memulai proses invasif ke dalam sel. Rhoptries
dibantu oleh kerja struktur sitoskeleton yang sangat komplek,
terdiri dari makromolekuler berbentuk kotak membulat yang
disebut preconoidal rings (CR), dua buah apical microtubulus (M),
conoid (C), polar ring (PR) dengan 22 buah subpellicular
microtubulus (SPM) yang menyediakan segala kebutuhan parasit
dan sebagai jembatan penghubung sehingga memungkinkan dense
granule secara bebas dapat masuk ke dalam sel host, mekanisme ini
belum sepenuhnya dapat dimengerti.

Proses masuknya dense granule mempergunakan protein sebagai


sumber energi dan pergerakan motilitas amuba sangat tergantung
kerja actomyosin motor. Fungsi mikrofilamen aktin mengaktifkan
kerja motor miosin dan diperkirakan memerlukan waktu 1 hingga
10 µm/s untuk menginvasi sel (gambar 2.5) (Black dan Boothroyd,
2000).
Proses endodiogeni merupakan proses proliferasi dengan
memperbanyak diri pada fase aseksual dilakukan dengan cara belah
pasang, terjadi perubahan awal ukuran nukleus yang berubah dan
nampak kresentrik, kemudian diikuti dengan berkembangnya konoid di
bagian anterior pada 2 kutub dari nukleus yang kresentrik, nukleus
mulai membelah dan konoid membesar, dua anak parasit yang lengkap
muncul di dalam induknya selanjutnya induk parasit memisahkan diri
mengeluarkan takisoit. Mekanisme tersebut dapat dilihat secara jelas
melalui mikroskop elektron (gambar 2.6) (Viqar, 1997).
Gambar 2.6 Endodiogeni
T.gondii (Viqar, 1997).

Pergerakan takisoit aktif didalam darah dan limfe hingga memasuki


sel sekitarnya dapat dilihat secara in vitro, mempergunakan kontras
mikroskopi atau dilihat secara tidak langsung dengan mendeteksi
protein permukaan molekul sel yang sebagian besar mengandung
protein SAG-1, khusus terdapat pada takisoit.
Protein SAG-1 merupakan antibodi spesifik antigen takisoit yang
memberikan imunofluorensi membentuk alur sesuai pergerakan pada
daerah perlekatan antara permukaan sel dengan sepanjang badan parasit.
Alur ini berbentuk bulan sabit, melingkar sesuai bentuk skleleton dan
masuk melewati sel yang bergerak sepanjang sumbu panjang sel hingga
proses invasif selesai. Proses selanjutnya takisoit dengan cepat
menginvasi ke sel sekitarnya dengan konoid langsung melekat masuk ke
sel hospes, sel pertama yang diinvasi yaitu sel makrofag, kemudian
bereplikasi dan membelah diri secara cepat, selanjutnya menginfeksi sel
sekitarnya. (gambar 2.7) (Black dan Boothroyd, 2000).
Mekanisme ini terjadi berulang, takisoit yang sangat aktif dengan
sempurna menginvasi sel hospes dalam waktu ± 10 detik, detik ke-0
nampak takisoit melalui konoid menempel permukaan sel hospes,
selanjutnya mulai detik ke-3 rhoptries dijulurkan mengeluarkan sekret
penuh berisi enzim yang dihasilkan oleh organela membentuk vesikel
kosong selanjutnya enzim tersebut dikeluarkan penuh sehingga
memudahkan proses invasi, pada detik ke-6 separuh badan parasit telah
memasuki sel hospes hingga masuk sempurna pada menit ke-10
(gambar 8) (Black dan Boothroyd, 2000).
Imunitas tubuh yang baik menghambat perkembangan parasit
dengan melisiskan takisoit ekstraseluler membatasi metabolisme
menjadi kista. Kista dalam tubuh terdapat pada seluruh organ, terutama
otak, otot jantung dan otot skelet. Relatif tahan terhadap cairan
pencernaan usus sehingga mampu menginfeksi apabila daging
terkontaminasi kista dimakan mentah atau tidak dimasak dengan baik.
Kista jaringan ini dapat mati apabila terkena radiasi (>25
rad),dipanaskan pada suhu >61oC selama 4 menit dan didinginkan
sampai suhu -20oC selama 24 jam. Kista dan menjadi reaktif kembali
apabila suatu saat terjadi penurunan imunitas (Dubey, 2010).

2.4 Manifestasi klinis


Gejala klinis toksoplasmosis serebri dibagi atas gejala fokal
neurologi, gangguan otak global, gangguan neuropsikiatri dan gejala
umum lainnya seperti panas badan (35%) yang hilang timbul atau terus
menerus, sakit kepala memberat (hampir pada 50% kasus), singulus
(hiccups). Tanda-tanda iritasi selaput otak (5%), tekanan intrakranial
meningkat (papil edema). Defisit fokal neurologis akibat lesi massa
intrakranial (70%) seperti hemiparesis, hemiplegia, disfasia, afasia,
disartria, gangguan visual, paresis nervus kranialis, ataksia, dismetri,
gerakan involunter (distonia, chorea, atetosis dan hemibalismus,
parkinson). Gangguan otak global seperti bangkitan kejang (38%),
kesadaran menurun (40%), gangguan mood dan memori dan gangguan
kognitif global (menyerupai demensia AIDS). Gangguan psikiatri
seperti demensia, ansietas, psikosis, gangguan kepribadian. Defisit fokal
neurologis dapat terjadi secara perlahan atau mendadak menyerupai
stroke. Selain gangguan neurologis, juga perlu diketahui adanya tanda
diluar neurologis misalnya, limfadenopati, hepatosplenomegali

2.5 Patogenesis Toksoplasmosis Serebri.


Kasus infeksi T.gondii pada manusia biasanya terjadi melalui jalur
oral atau transplasenta dan sangat jarang melalui transfusi darah maupun
transplantasi organ. Kebiasaan mengkonsumsi daging mentah atau tidak
dimasak dengan baik mengandung kista viabel, air dan sayuran yang
terkontaminasi ookista merupakan alur primer penularan melalui oral.
Manusia adalah host sekunder untuk T.gondii, sedangkan kucing adalah
host definitif. Kucing terinfeksi menyebarkan penyakit ketika
mengeluarkan ookista melalui kotorannya. Ketika kista jaringan
mengandung bradisoit atau ookista tertelan manusia, kista terlepas oleh
enzim pencernaan usus halus, sporozoit dilepaskan masuk ke sel epitel
usus halus dan sebagian mati oleh karena proses fagositosis dan
sebagian lagi melanjutkan perkembangannya menjadi trophozoit atau
takisoit (Joynson dan Wreghitt, 2001).
Sporozoit yang terlepas dapat menghindari sistem imun tubuh
pertama oleh karena memiliki mantel lamina dan matrik protein
ekstraseluler yang dapat mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif
Aminoff dkk, (2007), walaupun saat ini respon imunitas seluler terhadap
toksoplasma sangat efektif namun pada seseorang dengan
imunokompremis (AIDS), sistem ini tidak mampu bekerja secara
optimal. Seiring menurunnya kadar CD4 menyebabkan kista yang
awalnya bersifat laten akan mengalami perubahan fase (gambar 2.11)
(Joynson dan Wreghitt, 2001).

Gambar 2.11
Infeksi T.gondii Pada Manusia (Joynson dan Wreghitt, 2001).
Kista di jaringan otak mengandung banyak bradisoit (kista jaringan
otak dengan daya replikasi sangat rendah), akan mengalami perubahan
fase menjadi takisoit dalam kista (pseudokista) yang mempunyai
aktivitas pembelahan sangat cepat, aktif dan invasif. Perkembangan
selanjutnya takisoit atau trophozoit akan mengalami replikasi secara
cepat sehingga mengisi seluruh sel glial otak (Black dan Boothroyd,
2000; Viqar, 1997).
Proses takisoit menembus masuk ke sel glial, menempel pada
permukaan sel hospes kemudian membentuk vakuola, pengeluaran
enzim dari roptri sehingga mempermudah menembus kedalam sel
hingga sempurna dalam waktu ± 10 detik. Selanjutnya bereplikasi
sangat cepat mengisi seluruh sel glial hingga penuh menyebabkan sel
pecah dan parasit bersporulasi menginfeksi sel jaringan otak sekitarnya.
Takisoit yang baru terbentuk akan menyebar dan segera mengaktivasi
sistem imunitas tubuh ditangkap oleh makrofag dan limfosit yang
merupakan sistem imun diluar sistem saraf pusat (SSP) (Dubey, 2010).
Sitokin yang dihasilkan oleh sel astrosit dan mikroglia seperti IL-1,
IL-6, Tumor Necrosis Factor α (TNFα) dan Tumor Growth Factor ß
(TGF-ß) dan sitokin yang dihasilkan oleh oligodendrodit seperti IL-1,
dan TGF- ß, sel-sel tersebut merupakan komponen sistem imun dalam
otak (SSP) yang bekerja untuk menghancurkan dan menghambat
perkembangan parasit (Dubey, 2010). Astrosit dan mikroglia
memproduksi TNFα yang memodulasi ekspresi MCH-I dan MCH-II
yang ditemukan pada beberapa jenis sel SSP. Interferon gamma (IFN-γ)
diproduksi oleh sistem imun di SSP maupun diperifer dan INF-γ inilah
yang kerjanya diduga sebagai penghubung antara SSP dan sistem imun
diseluruh tubuh (gambar 2.12) (Karnen, 2006).
Gambar 2.12
Produksi Sitokin Oleh Sistem Imun
Perifer (A) danSistem Imun Saraf (B)
(Karnen, 2006).

Lesi di otak menjadi lebih berat dan permanen akibat destruksi


jaringan oleh karena ploriferasi takisoit, mengakibatkan sel otak
mengalami kematian atau nekrosis (Claudia dkk., 2003). Mekanisme
kematian sel glia secara morfologi terdiri dari dua mekanisme yaitu,
apoptosis dan nekrosis. Sebagai akibat proses integrasi antigen antibodi.
Kedua mekanisme sel ini pada awalnya diakibatkan oleh suatu stres
oksidatif sebagai pemicu awalnya, namun proses kematian sel
selanjutnya sangat berbeda. Takisoit menginduksi terjadinya proses
infiltrasi inflamasi sel mikroglia untuk menginduksi IFN-γ selanjutnya
menghasilkan Nitrit Oksida (NO) sebagai stres oksidatif yang merusak
mikondria sel. Sitokin proinflamasi dalam otak IL-1 dan TNFα
merangsang Apaf-1 mengaktifkan caspase untuk terjadinya apoptosis
yaitu kematian sel tipe-1, selanjutnya terjadi kematian sel tipe-2,
cytoplasmic autophagig vakuola dalam lisosom yang merusak
intraseluler yang merusak nukleus dan sitoplasma sebagai penetrasi
takisoit dalam target nukleus sehingga kematian sel tipe -3 yang dikenal
dengan nekrosis terjadi. Nekrosis ditandai dengan kariolisis dan edem sel
sehingga terjadi pembengkakan dan hilangnya plasma serta integritas
membran (Jorge dkk, 2000). Keluaran radikal bebas Nitrit Oksida (NO)
dalam jumlah tinggi menimbulkan gejala serebral melalui hambatan
neurotransmisi (Denkers dan Gazzinelli, 1998).

Pada penelitian binatang percobaan, predileksinya selalu tampak


pada substansia grisea dari kortek serebri, lebih dalam lagi ke ganglia
basalis dan daerah periventrikuler. Keadaan AIDS menyebabkan respon
perlawanan terhadap T.gondii sangat lemah, tidak mampu membatasi
perkembangan parasit. Sifat parasit yang obligat intraseluler
memperburuk keadaan, dimana parasit masuk secara intraseluler
kemudian dengan mudah menyebar keseluruh tubuh secara hematogen
dan limfogen. Parasit dapat masuk menembus sawar darah otak yang
memperberat infeksi disamping oleh reaktivasi dari kista jaringan yang
memang sebelumnya berada di jaringan otak. Pada saat takisoit
menyebar dalam darah terjadi parasitemia yang berlangsung beberapa
hari. Takisoit beredar dalam sirkulasi akan difagosit oleh makrofag.
Takisoit mempunyai kemampuan menghambat fusi fagosom dan
lisosom, sehingga terhindar dari enzim lisosom yang dapat
membunuhnya. Kondisi sistem imun rendah menyebabkan takisoit tetap
dapat berkembang dalam makrofag dan justru secara aktif menginvasi sel
makrofag untuk membelah diri dalam fagosom, selanjutnya makrofag
pecah mengeluarkan banyak takisoit baru dan siap menginfeksi sel host
lainnya melalui proses endodiogeni (Gambar 2.13) (Viqar, 1997).
Gambar 2.13
Makrofag Ruptur yang telah Mengeluarkan Takisoit Stadium ini disebut

Pseudokista (Viqar, 1997).

Gambaran toksoplasmosis serebri secara histopatologi nampak


disekitar sel dipenuhi takisoit yang kelilingi sel mononuklear dan
makrofag serta terjadi inflamasi perivaskuler selanjutnya menjadi
vaskulitis dan nekrosis. Timbul lesi membesar semakin lama menjadi
lunak berupa eksudasi limfosit dan plasma, jaringan nekrosis pada
leptomeningeal secara difus, granuloma menimbulkan dilatasi ventrikel
akibat oklusi aquaduktus, pembentukan abses dikelilingi banyak takisoit,
ensefalitis, kalsifikasi menimbulkan gejala lesi desak ruang (gambar
2.14.A,B,C,D,E ) (Dubey, 2010).

Gambar 2.14
(A) Dua Buah Takisoit didalam Kapiler Endotelium (B)Vaskulitis
denganSebuah Takisoit (C). Fokus pada Pusat Nekrosis dengan
Gliosis di sekitarnya (D). Nodul Glial yang dikelilingi dengan Kista
T.gondii (E). Perivaskulitis dan Gliosis tanpa adanya Takisoit
(Dubey, 2010).

Seseorang dengan sistem imun baik akan terjadi perangsangan respon


imun oleh takisoit, teraktivasi sel limfosit T membentuk limfosit T
sitotoksik, antibodi anti parasit menginduksi makrofag dan sel dendritik
menghasilkan IL-12, serta mempresentasikan antigen dan mengaktifkan
sitokin proinflamasi lainnya untuk mengaktifkan sel T dan natural killer
(NK) memproduksi IFN–γ mengaktifkan imunitas humoral (gambar 2.15)
(Joyson dan Wregitt, 2010).
Gambar 2.15
Terbentuknya Imunitas Tubuh Saat Terinfeksi T.gondii (Joyson dan
Wregitt, 2010).

Limfokin spesifik antigen ini mampu membunuh baik parasit


ekstraseluler maupun sel target yang terinfeksi oleh parasit. Keadaan ini
membatasi perkembangan parasit menjadi bentuk aktif (takisoit), dan
untuk tetap dapat bertahan hidup parasit membentuk kista agrofilik
dalam jaringan host. Kista jaringan yang mengandung bradisoit apabila
tetap utuh tidak mengalami degenerasi maupun pecah diotak sehingga
tidak akan menimbulkan reaksi inflamasi (Viqar, 1997).
Infeksi tetap terjadi namun tidak mengalami perkembangan menjadi
laten dan subklinis. Sifat laten disebabkan karena keadaan seimbang
antara imunitas hospes yang adekuat mengendalikan pertumbuhan atau
replikasi parasit dengan ketidak mampuan mengeleminasi total parasit
dalam sel. Keadaan dalam keseimbangan merupakan situasi yang ideal
dimana hospes dapat mempertahankan kekebalan spesifiknya karena
stimulasi terus menerus sel memori oleh parasit. Sedangkan parasit bisa
tetap hidup tanpa diganggu oleh kemungkinan bertambahnya jumlah
parasit dalam sel yang dapat merugikan parasit dan dapat membunuh sel
hospes ditinggalinya. Keadaan seimbang ini tidak selalu stabil tergantung
keadaan sistem imun, suatu waktu dapat terjadi keadaan patologis pada
hospes yang dapat menyebabkan reaktivasinya parasit (Dubey, 2010).
Penderita AIDS yang terjadi kegagalan mempertahankan keadaan
seimbang antara hospes dan parasit oleh karena terserangnya CD4
sehingga kemampuan pengenalan antigen yang depresentasikan bersama
Major Histocompatibilitas Complex (MHC-II), oleh Antigen Presenting
Cell (APC) yang berkembang menjadi sel efektor Th1 menurun sehingga
sekresi IFN-γ menurun dan terjadi penurunan fungsi imunitas seluler
fagosit/makrofag secara menyeluruh menurun (gambar 2.16) (Denkers
dan Gazzinelli,1998).

Gambar 2.16.
Efektor CD4+ dan CD8+ (Denkers, 1998).

Sistem imun ini yang sangat berperan dalam terjadinya reaktivasi


T.gondii . Pada host yang imunokompeten cell mediated immunity
(CMI ) atau sel T CD8+ / sel T cytotoxic (Tc) memiliki peranan yang
penting dalam mengendalikan infeksi interaseluler toksoplasma akut. Sel
Tc mengenal peptida antigen dalam sitoplasma sel terinfeksi yang diikat
molekul MHC-I yang ditemukan pada semua sel tubuh bernukleus
dengan menghancurkan sel yang terinfeksi tersebut (Karnen, 2006).
Kista jaringan di sel glial pada pasien AIDS akan mengalami degenerasi
dan terjadi perkembangan fase, kista yang mengandung bradisoit berubah
menjadi bentuk takisoit yang aktif dan invasif. Perkembangan kista laten
inilah yang merupakan sumber infeksi baru toksoplasmosis pada pasien
AIDS dan bertanggung jawab untuk terjadinya toksoplasmosis serebri
(Dubey, 2010).
Pada pasien AIDS terjadi keadaan defisiensi imun yang disebabkan
oleh defisiensi secara kualitatif dan kuantitatif yang progresif dari subset
limfosit T yaitu T helper (Th1). Subset sel T digambarkan secara fenotip
oleh ekspresi pada permukaan sel molekul CD4 yang bekerja sebagai
molekul sel primer pada penderita HIV (Merati dan Samsuridjal, 2006)).
Setelah beberapa tahun, jumlah CD4 akan mengalami deplesi dan
menurun dibawah level kritis ≤ 100 sel/mL, pasien sangat rentan
terhadap infeksi oportunistik seperti infeksi laten T.gondii akan menjadi
aktif kembali (Pokdisus, 2005).
Imunitas seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi
T.gondii dengan bantuan imunitas humoral. Makrofag dan sel dendritik
yang teraktivasi oleh adanya takisoit akan memproduksi IL-12 dan sinyal
sel T seperti ligan CD140 (CD40L) yang mengikat atau mengekspresikan
CD40. IL-12 bekerja terhadap limfosit dan sel NK untuk merangsang
produksi IFN–γ dan aktifitas sitolitik untuk menyingkirkan takisoit
intraseluler. Mekanisme terjadinya infeksi T.gondii pada pasien AIDS
sifatnya multipel. Mekanisme ini termasuk penurunan kadar CD4,
gangguan produksi IL-12 dan IFN-γ serta sel CD40L (CD140) yang
mengikat CD40 menurun, sehingga infeksi T.gondii yang laten dapat
teraktivasi (Zubairi dan Samsuridjal, 2006).
Penelitian terdahulu mengenai T.gondii dilaporkan bahwa
kemampuan dan peranan sel CD4+ untuk melawan infeksi T.gondii
sangat jelas. Walaupun pada seseorang dengan fungsi sel T kurang,
namun gejala tidak akan timbul secara menyeluruh, hal ini diyakini
karena virulensi dari strains T.gondii yang berbeda (Pohan, 2006).

2.6 Diagnosis
Diagnosis toksoplasmosis serebri dibuat dengan melihat gejala
klinik dan pemeriksaan penunjang. Toksoplasmosis serebri ditandai
dengan onset yang subakut hingga kronik. Manifestasi klinis yang
timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala
(55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%). Pada suatu studi
didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status
mental pada 75% kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus,
nyeri kepala pada 50% kasus, demam pada 45% kasus, dan kejang
pada 30% kasus.2
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik
dan gangguan bicara. Bisa juga terdapat gangguan nervus kranialis,
gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum,
meningismus, movement disorders dan manifestasi neuropsikiatri.
Gejala defisit fokal dari toksoplasmosis biasanya cepat sekali
berkembang dan perburukan kondisi dapat terjadi dengan cepat.3
Gejala konstitusional seperti demam, sakit kepala berat yang tidak
memberikan respon optimal terhadap pengobatan mungkin ditemukan,
namun tidak semua pasien menunjukkan gejala-gejala umum infeksi
tersebut. Tanda dan gejala toksoplasmosis serebri dikaitkan dengan
tingkat kekerapannya digambarkan pada tabel di bawah ini. 3
Tabel 3. Tanda dan gejala yang umum ditemukan pada
toksoplasmosis serebri (diambil dari Porter SB, Sanbe MA.
Toxoplasmosis of The Central Nervous System in The Acquired
Immunodefficiency Syndrome. N Engl J Med 1992; 327. 1643-1648.)
Dalam menegakkan diagnosis toksoplasmosis serebri diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan serologi,
neuroimaging, PCR, dan penentuan diagnosis definitif dengan
pemeriksaan histopatologi melalui biopsi jaringan. 2
T. gondii dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologi antibodi
antitoksoplasma (IgM dan IgG). IgM positif atau meningkat dapat
diinterpretasikan sebagai adanya infeksi yang bersifat akut. IgM
biasanya menjadi negatif atau menurun kadarnya beberapa minggu
hingga beberapa bulan setelah infeksi primer. IgM biasanya negatif
pada proses reaktivasi, oleh karena itu pemeriksaan IgM biasanya
tidak berguna pada kasus dugaan toksoplasmosis serebri yang
secara patogenesis diakibatkan oleh proses reaktivasi T. gondii.
Namun pada wanita hamil pemeriksaan IgM diperlukan, karena
infeksi primer dari T. gondii dapat menyebar secara transplasental. 2
Berbeda dengan IgM, pemeriksaan IgG dilakukan untuk
mengetahui adanya infeksi T. gondii yang bersifat laten. Serum
IgG mulai muncul saat infeksi primer T. gondii terjadi, kemudian
meningkat kadarnya hingga mencapat puncak pada bulan pertama
hingga kedua, setelah itu kadarnya kemudian menurun namun akan
tetap psitif dan dapat dideteksi seumur hidup. 2 Penelitian
menunjukkan bahwa IgG ditemukan positif pada 100% pasien yang
terbukti mengalami toksoplasmosis pada sistem saraf pusat.
4
 Selain melalui pemeriksaan IgM dan IgG, pemeriksaan serologis
untuk T. gondii juga dapat dilakukan dengan Indirect Fluorescent
Antibody  Test (IFA), tes aglutinasi, atau Enzyme Linked
Immunosorbent Assay   (ELISA).2  Namun demikian, pemeriksaan
ELISA diketahui kurang sensitif dibandingkan pemeriksaan IgG
dalam mendiagnosis toksoplasmosis serebri. 4
Pemeriksaan neuroimaging berupa CT scan kepala atau MRI
kepala dengan kontras diindikasikan pada penderita HIV dengan
CD4 rendah yang memperlihatkan gejala klinis berupa defisit
neurologis fokal.2 Sebuah penelitian dilakukan pada tahun 1992
yang melibatkan 115 individu dengan diagnosis toksoplasmosis
serebri. Gambaran CT scan kepala dengan kontras pada pasien
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar lesi bersifat multipel,
berbentuk cincin hipodens dengan penyengatan homogen pada
pemeriksaan dengan kontras, dan disertai edema vasogenik pada
3
jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul
dengan lesi tunggal (27%) atau tanpa lesi (3%). 3  Karakteristik
gambaran neuroimaging pada pasien toksoplasmosis serebri sesuai
penelitian tersebut terlampir pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. Gambaran neuroimaging pada toksoplasmosis serebri


(diambil dari Porter SB, Sanbe MA. Toxoplasmosis of The Central
Nervous System in The Acquired Immunodefficiency Syndrome. N Engl J
Med 1992; 327. 1643-1648.)
Gambaran neuroimaging post kontras mungkin akan
memperlihatkan adanya nodul kecil yang berlokasi di tepi daerah
yang cincin yang menyengat kontras. Gambaran tersebut dikenal
dengan istilah “eccentric target sign”.15 Ditemukannya gambaran
tersebut akan semakin meningkatkan kecurigaan terhadap lesi akibat
T. gondii (patognomonis dengan spesifisitas 95%), namun hanya
ditemukan pada sekitar 30% pasien sehingga sensitivitasnya rendah
(sensitivitas 25%), dan lebih sulit ditemukan pada CT scan
16
dibandingkan MRI. “Eccentric target sign” terdiri atas 3 zona,
yaitu inti lesi yang menyengat kontras, daerah inti ini berada di
daerah perifer atau bersifat eksentrik, zona kedua adalah daerah
hipointens, dan zona terakhir adalah cincin yang menyengat kontras.
Sebuah hipotesis menyebutkan bahwa gambaran ini terjadi sebagai
akibat adanya pembuluh darah yang melebar dan berkelok-kelok
sebagai respon inflamasi yang menembus sulkus dikelilingi wilayah
nekrosis dengan dinding berisi histiosit dan pembuluh darah. 16 Pada
pemeriksaan MRI T1-weighted imaging, lesi toksoplasma biasanya
nampak hipointens dibandingkan dengan jaringan sekitar.
Sementara pada pemeriksaan MRI T2-weighted imaging, lesi
memberikan gambaran hiperintens.16  MRI sendiri merupakan
pemeriksaan neuroimaging yang lebih disarankan dalam kasus
suspek toksoplasma serebri, karena pemeriksaan ini lebih sensitif
dibandingkan dengan CT scan kepala.2 Beberapa gambar di bawah
ini menunjukkan lesi toksoplasmosis serebri dilihat menggunakan
beberapa pemeriksaan neuroimaging.
Gambar 4. Gambaran CT Scan kepala postkontras pada pasien
toksoplasmosis serebri yang menunjukkan lesi multipel di
daerah frontal dan basal ganglia berbentuk cincin dengan
“eccentric target sign” dan edema luas di sekitarnya (diambil
dari Lee HJ, Chaddha SK. Cerebral Toxoplasmosis. A Radiological
Case Report . Applied Radiology 2013. 17-19)

Gambar 5. Gambaran MRI pada pasien toksoplasmosis


serebri
Keterangan: (a) Gambaran MRI T2-weighted imaging
potongan aksial menunjukkan lesi terutama di basal ganglia
kanan (lesi lebih kecil ditemukan pada basal ganglia kiri) yang
relatif iso-hipointens dibandingkan parenkim sekitar
dikelilingi daerah hiperintens yang merupakan gambaran
adanya edema vasogenik. (b) Potongan aksial pada MRI T1-
weighted imaging postkontras menunjukkan lesi multipel yang
menyengat kontras (diambil dari Smith AB, Smirniotopoulos
JG, Rushing EJ. Central Nervous System Infections Associated
with Human Immunodefficinecy Virus Infection: Radiologic-
Pathologic Correlation . AFIP Archives. 2008. 2033-55.)

Gambar 6. Potongan koronal pada MRI T1-weighted imaging


postkontras. Tanda pana putih menunjukkan lessi “eccentric nodule
target sign ” (diambil dari Smith AB, Smirniotopoulos JG, Rushing
EJ. Central Nervous System Infections Associated with Human
Immunodefficinecy Virus Infection:Radiologic-Pathologic
Correlation. AFIP Archives. 2008. 2033-55.)
Primary CNS Lymphoma (PCL) dan toksoplasmosis serebri
merupakan dua infeksi oportunistik yang bermanifestasi sebagai lesi
fokal di otak, keduanya paling sering dijumpai pada keadaan
imunodefisiensi. Sulit untuk membedakan keduanya baik dari
gambaran klinis maupun radiologis. Namun predileksi lokasi dapat
membantu untuk membedakan keduanya. Lesi akibat toksoplasmosis
biasanya ditemukan pada substansia alba dari hemisfer serebri atau
1
substansia grisea pada daerah subkortikal seperti pada basal ganglia.
Selain itu pemeriksaan penunjang lain yaitu Single Photon Emission
Computed Tomography (SPECT) juga sangat membantu untuk
membedakan keduanya. Pada pasien limfoma akan ditemukan
peningkatan uptake  dari Thallium pada pemeriksaan SPECT. Hasil
ini tidak ditemukan pada kasus toksoplasmosis. Sensitivitas
pemeriksaan SPECT terhadap diagnosis PCL adalah 86%, sedangkan
spesifisitasnya mencapai 100%. 2
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah
pemeriksaan penunjang lain yang dapat menunjang diagnosis
toksoplasmosis serebri. Pemeriksaan PCR bertujuan untuk mendeteksi
DNA T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan
bronkoalveolar dancairan vitreus atau aquos humor dari penderita
toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada
jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena kista jaringan
dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. Sensitivitas
pemeriksaan PCR untuk diagnosis toksoplasmosis serebri sebenarnya
kurang baik karena kisarannya yang terlalu lebar (11,5-100%), namun
spesifisitas pemeriksaan ini sangat tinggi yaitu 96-100%.16
Diagnosis definitif toksoplasmosis serebri ditegakkan melalui
pemeriksaan histopatologi dari sediaan yang diambil saat biopsi otak.
Gambaran takizoit atau kista yang dikelilingi jaringan otak yang
mengalami inflamasi yang ditemukan secara mikroskopis dapat
memberikan kepastian diagnosis bagi klinisi. Kista T. gondii akan
nampak sebagai gambaran massa solid yang mengalami inflamasi atau
granuloma kistik dengan reaksi mesenkimal sel glia.2 Toksoplasmosis
serebri yang tipikal memberikan gambaran nekrotik pada parenkim
dengan predileksi tersering adalah pada corticomedullary junction,
dalam hal ini ganglia basalis. 16 Walaupun diagnosis definitif hanya
dapat diperoleh melalui jalan ini, namun biopsi otak bukanlah prosedur
yang rutin dilakukan karena prosedurnya yang invasif dan memberikan
banyak risiko terutama perdarahan dan infeksi. Biopsi
direkomendasikan bila diagnosis toksoplasmosis masih diragukan atau
pasien diduga kuat mengalami toksoplasmosis namun tidak
memberikan respon setelah mendapatkan terapi. 2
Pemeriksaan cairan serebrospinal bukanlah pemeriksaan yang rutin
dilakukan dalam upaya diagnosis toksoplasmosis serebri. Hal ini
berkaitan dengan risiko terjadinya herniasi serebri, terutama apabila
dalam pemeriksaan klinis ditemukan tanda tekanan tinggi intrakranial
seperti papilledema.2  Pemeriksaan ini mungkin dibutuhkan pada pasien
yang diduga kuat mengalami toksoplasmosis serebri dari riwayat
imunodefisiensi dan kadar CD4, namun diagnosis masih belum jelas
dan pasien tersebut memberikan gambaran klinis meningitis. Hasil
analisis cairan serebrospinal pada toksoplasmosis serebri dapat
menunjukkan adanya pleositosis ringan dengan predominan
mononuklear dan peningkatan kadar protein, sedangkan kadar glukosa
dapat bervariasi. Pada pasien terduga toksoplasmosis serebri yang telah
dilakukan lumbal pungsi untuk analisis cairan serebrospinal, sejumlah
sampel LCS sebaiknya diambil untuk dilakukan analisis genetik melalui
PCR.
Melihat sulitnya dicapai diagnosis definitif pada kasus toksoplasma
serebri, maka dibuatlah sebuah algoritma diagnosis dan tatalaksana
toksoplasmosis serebri. Dengan mengikuti alur algoritma ini, terapi
empirik toksoplasmosis serebri dapat diberikan walaupun diagnosis
definitif belum ditegakkan, sehingga diharapkan memberikan hasil
luaran yang lebih baik.17 Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan
toksoplasmosis serebri dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 7. Algoritma diagnosis dan tata laksana toksoplasmosis
serebri (diambil dari Tan IL, Smith BR, Geldern GvG, Mateen FJ,
McArthur JC. HIV-associated Opportunistic Infections of The CNS .
Lancet Neurol. 2012; 11: 605-17.)

2.7 Diagnosa Banding


Diagnosa banding utama pada toksoplasmosis serebri adalah Primary
central Nervous System Lymphoma (PCNSL), penyebab lesi massa CNS
yang lain pada pasien dengan AIDS, thallium-201 single photo-emission
CT (SPECT) and positron-emission tomography (PET) telah dilaporkan
berguna untuk membedakan encephalitis toxoplasmosis dengan PCNSL.
2.8 Penatalaksanaan

Terapi lini pertama untuk toksoplasmosis serebri adalah kombinasi


pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah
otak dengan baik walaupun tidak ditemui inflamasi.18 Toxoplasma
gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh T. gondii sedangkan
sulfadiazin akan menghambat penggunaannya. Pirimetamin 50-100 mg
perhari diberikan dengan dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap
6 jam. Kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin dapat memberikan efek
yang tidak diharapkan berupa penghambatan sekuensial terhadap
enzim yang membantu pembentukan asam folat. Oleh karena itu,
pemberian asam folat 5- 10 mg perhari diindikasikan untuk mencegah
depresi sumsum tulang. 3
Pasien yang alergi terhadap golongan sulfa dapat diberikan
kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari dengan klindamisin 450-
600 mg tiap 6 jam. Pasien alergi terhadap sulfa dan klindamisin dapat
diganti dengan azitromycin 1200 mg/hr, atau klaritromisin 1 gram tiap
12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa pada 95% pasien, perbaikan dapat terlihat melalui
5
neuroimaging setelah 2 minggu terapi. Bila setelah 14 hari terapi
pasien tidak menunjukkan perbaikan, atau setelah 3 hari terapi pasien
mengalami perburukan klinis pasien perlu menjalani biopsi lesi untuk
menyingkirkan limfoma yang juga sering ditemukan pada pasien
HIV/AIDS. 3
Terapi toksoplasmosis serebri selama 2 minggu awal disebut sebagai
fase induksi awal (loading), dan walaupun perbaikan klinis sudah
dapat terjadi selama fase tersebut pasien tetap memerlukan terapi
induksi lanjutan dan terapi rumatan/ maintenance sebagai profilaksis
sekunder terjadinya toksoplasmosis serebri. Penelitian menyebutkan
bahwa 50- 80% pasien HIV yang tidak menerima terapi rumatan akan
mengalami kekambuhan. Terapi induksi lanjutan yang dimaksudkan
adalah dengan menggunakan regimen yang sama dengan terapi lini
pertama, yaitu pirimetamin dan sulfadiazin namun dengan dosis lebih
rendah (pirimetamin 25-50 mg per hari dan sulfadiazin 500-1000mg)
yang dikonsumsi selama minimal 6 minggu.3  Kembalinya sistem
imunitas pada pasien HIV dapat menjadi penanda dapat dihentikannya
terapi rumatan untuk kasus toksoplasmosis. Berdasarkan panduan
tatalaksana untuk infeksi oportunistik pada pasien HIV/AIDS,
profilaksis sekunder toksoplasmosis dapat dihentikan apabila kadar
CD4 mencapai lebih dari 200 sel/μL se lama 6 bulan.10 Melihat
panjangnya durasi terapi pada kasus toksoplasmosis serebri, kepatuhan
pasien dalam terapi toksoplasmosis serebri sangat diperlukan, 60%
pasien yang menghentikan pengobatan sebelum waktunya akan
mengalami relaps.4
Pemberian kortikosteroid bukan merupakan terapi yang rutin
digunakan. Namun penggunaannya perlu dipikirkan pada pasien yang
terus mengalami perburukan klinis dalam 48 jam atau pasien yang
secara radiologis diketahui mengalami midline shift dan menunjukkan
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Kortikosteroid yang
umum digunakan pda keadaan tersebut adalah dexamethasone
dengan dosis 4mg diberikan tiap 6 jam kemudian diturunkan dosisnya
secara cepat selama beberapa hari selanjutnya. Pemberian steroid
perlu dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan infeksi HIV
karena akan memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi
oportunistik sekaligus memberikan masking-effect dari infeksi
tersebut.19
Oleh karena kejadian toksoplasmosis serebri berkaitan erat dengan
kadar CD4, maka terapi antiretroviral tentu diperlukan pada pasien
HIV/AIDS. Namun pemberiannya pada pasien yang telah didiagnosis
dengan toksoplasmosis serebri memerlukan perhatian khusus karena
dapat memicu terjadinya IRIS. Untuk mencegah hal tersebut, terapi
antiretroviral baru dapat diberikan 2-3 minggu setelah terapi
toksoplasma, bergantung dari penilaian klinisi.19
Fakta bahwa angka mortalitas pasien HIV/AIDS dengan
toksoplasmosis serebri meningkat secara signifikan memberikan dasar
yang kuat bagi para klinisi untuk memberikan terapi empirik pada
pasien dengan HIV/AIDS yang memiliki gambaran lesi multipel
terutama bersifat ring-enhancement pada CT Scan walaupun hasil
serologi belum diketahui.19

2.9 Prognosis

Toxoplasmosis yang menyerang sistem saraf pusat di otak memiliki


komplikasi baik neurologis fokal, multifokal maupun menyeluruh (difusa)
bergantung pada lokasi infeksinya di otak. Sehingga prognosis bergantung
pada lesi dan terapi.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Toksoplasma gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang bersifat


kosmopolitan dan dapat ditemukan di seluruh dunia. Keberadaannya tidak
selalu memberikan manifestasi klinis pada manusia. Trend peningkatan angka
kejadian HIV/AIDS dan semakin berkembangnya transplantasi organ akan
berpengaruh terhadap peningkatan prevalensi toksoplasmosis serebri.
Diagnosis yang akurat dan administrasi terapi empirik toksoplasmosis serebri
perlu dilakukan dengan cepat, terutama pada individu yang telah diketahui
memiliki defisit imunitas, karena toksoplasmosis serebri berkembang dan
dapat memburuk dengan cepat, namun terapi yang tepat dapat memberikan
hasil yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lee HJ, Chaddha SK. Cerebral Toxoplasmosis. A Radiological Case Report.
Applied Radiology 2013. 17-19.
2. Robert-Gangneux F, Darde ML. 2012. Epidemiology of and diagnostic
strategis for toxoplasmosis. Clin Microbiol Reviews, American Society for
Microbiology (ASM) Journals (serial on the internet).
3. Jayawerdana S, Singh S, Buryzantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis
in Adult Patients with HIV Infection. 2008. 17-24
4. Porter SB, Sanbe MA. Toxoplasmosis of The Central Nervous System in The
Acquired Immunodefficiency Syndrome. N Engl J Med 1992; 327. 1643-1648.
5. Mohamed K, Zamzami H, Deqnah N, Malki A Al, Alzayer S, Al-Gethamy M,
et al. Seroprevalence of Toxoplasma gondii Infection in Blood Donors in
Makkah Al Mukarramah. Asian J Epidemiol. 2019;12(1):25–31.
https://scialert.net/ abstract/?doi=aje.2019.25.31
6. Seran VJT, Kepel BJ, Fatimawali. Seroepidemiologi Toksoplasmosis Pada
Masyarakat Di Desa Kumu Kabupaten Minahasa tahun 2015. J e-Biomedik.
2016;4(1):1–5. https://ejournal.unsrat.ac.id/index. php/ebiomedik/article/view/10841
7. Tuda J, Adiani S, Ichikawa-Seki M, Umeda K, Nishikawa Y. Seroprevalence
of Toxoplasma gondii in humans and pigs in North Sulawesi, Indonesia.
Parasitol Int. 2017;66(5):615–618. http://dx.doi.
org/10.1016/j.parint.2017.04.011
8. Tahlilli S. Prevalensi Toxoplasma gondii pada Inang Definitif Kucing (Felis
domestica) di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat. J Sangkareang Mataram.
2017;3(4):52–55. http://untb.ac.id/desember-2017/
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
1. Lee HJ, Chaddha SK. Cerebral Toxoplasmosis. A
Radiological Case Report  . Applied Radiology 2013.
17-19.
2. Jayawerdana S, Singh S, Buryzantseva O, Clarke H.
Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV
Infection. 2008. 17-24
3. Porter SB, Sanbe MA. Toxoplasmosis of The Central
Nervous System in The Acquired Immunodefficiency
Syndrome. N Engl J Med 1992; 327. 1643-1648.
4. Pedrol E, Gonzales-Clemente JM, Gatell JM, et al. Central Nervous
System Toxoplasmosis in
 AIDS Patients: Efficacy of An Intermittent Maintenance Therapy. 
AIDS. 1990; 4: 511-7
5. Misbach J. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat . Neurologi.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
2006.
6. Price S, Wilson L. Human Immunodeficiency
(HIV)/Acquired Immunodeficiency Sindrome) dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 . Jakarta: EGC.2006
7. Frenkel JK. Pathophysiology of Toxoplasmosis. Am J Trop Med Hyg.
1975; 24: 439-43.
8. Montoya JG, Liesenfield O. Toxoplasmosis. Lancet Infect Dis. 2004;
363: 1965-76.
9. Renold C, Sugar A, Chave JP, et al. Toxoplasma
Encephalitis In Patients With The Acquired
Immunodeficiency Syndrome. Medicine (Baltimore)
1992;71:224 –39.
10. Jones JL, Hanson DL, Dworkin MS, et al. Surveillance
For AIDS-Defining Opportunistic Illnesses. 1992 –1997.
MMWR CDC Surveill Summ 1999;48:1 –22.
11. Mead PS, Slutsker L, Dietz V, et al. Food-Related
Illness And Death In The United States . Emerg Infect
Dis. 1999;5:607 –25.
12. Jones J, Lopez A, Wilson M. Congenital Toxoplasmosis. Am Fam
Physician. 2003;67:2131 –8.
13. Bhopale GM. Pathogenesis Of Toxoplasmosis. Comp
Immunol Microbiol Infect Dis 2003;26:213 –22.
14. Kamerkar S, Davis PH. Toxoplasma on The Brain:
Understanding Host-Pathogen Interactions in
Chronic CNS Infections. Journal of Parasitology
Research. Hindawi Publishing Corp. 2012. 1-11.
15. Kumar GG, Mahadeva A, Guruprasad AS, Kovoor JM,
et al. Eccentric Target Sign in Cerebral Toxoplasmosis
–   Neuropathological Correlate To The Imaging
Feature . J Magn Reson Imaging. 2010; 31(6): 1469-72.
16. Smith AB, Smirniotopoulos JG, Rushing EJ. Central
Nervous System Infections Associated with Human
Immunodefficiency Virus Infection: Radiologic-
Pathologic Correlation . AFIP Archives. 2008. 2033-
55.
17. Tan IL, Smith BR, Geldern GvG, Mateen FJ, McArthur
JC. HIV-associated Opportunistic Infections of The
CNS. Lancet Neurol. 2012; 11: 605-17.
18. Infectious Diseases Society of America. Treating Opportunistic
Infections Among HIV-Infected
 Adults And Adolescents: Recommendations From CDC,
The National Institutes Of Health, And The HIV
Medicine Association/ Infectious Diseases Society Of
America . MMWR Recomm Rep 2004; 53:1 –112.
19. AIDS Info. Guidelines for Prevention and Treatment
of Opportunistic Infections in HIV- Infected Adults
and Adolescents. 2013. C1-14.

Anda mungkin juga menyukai