Anda di halaman 1dari 26

PAPER

ABSES LEHER DALAM

Paper ini dibuat sebagai salah satu persyaratan untuk melengkapi Kepaniteraaan
Klinik di SMF Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher
RSUD. Dr. Pirngadi Medan

DISUSUN OLEH :

Las Vayer Sinaga


23010017

Pembimbing:
dr. Ita L. Roderthani, Sp. T. H. T. K. L

SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher RSUD. Dr.
Pirngadi Medan
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Pembimbing

dr. Ita L. Roderthani, Sp. T. H. T. K. L

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan paper dengan judul “ABSES LEHER DALAM”.
Penulisan paper ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
dalam guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher di Rumah Sakit Umum DR.
Pirngadi Medan.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. dr. Ita L. Roderthani, Sp. T. H. T. K. L yang telah memberikan
bimbingan dan arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian
SMF Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher di Rumah Sakit Umum
Rumah Sakit Umum DR. Pirngadi Medan dalam membantu penyusunan paper ini.
Dalam penulisan paper ini, tentunya penulis menyadari banyak kekurangan
yang terdapat dalam laporan kasus ini. penulis juga menyadari bahwa laporan kasus
ini jauh dari kata sempurna, sehingga penulis membutuhkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari berbagai pihak guna memperbaiki laporan kasus ini agar
menjadi lebih baik ke depannya.

Medan, 21 September 2023

Las Vayer Sinaga

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ 2


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 3
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 4
BAB I .................................................................................................................................. 5
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 5
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 5
1.2 Tujuan ................................................................................................................ 6
BAB II................................................................................................................................. 7
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 7
2.1 Anatomi dan Fungsi Faring ............................................................................. 7
2.2 Definisi Abses Leher Dalam ............................................................................. 8
2.2.1 Abses Peritonsil (Quinsy) ............................................................................. 9
2.2.2 Abses Retrofaring ....................................................................................... 12
2.2.3 Abses Parafaring ......................................................................................... 16
2.2.4 Abses Submandibula................................................................................... 18
2.2.5 Angina Ludovici ( Ludwig’s Angina) ........................................................ 21
BAB III ............................................................................................................................. 24
PENUTUP ........................................................................................................................ 24
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran
dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga dan leher.1
Abses leher dalam biasanya disebabkan dari golongan Streptococcus
Viridans, Streptococcus ß-haemoliticus, Staphylococcus, Klebsiella
pneumoniae. Sedangkan bakteri anaerob adalah kuman Bacterioides dan
peptostreptococcus atau kuman campuran.2 Abses leher dalam dapat
katagorikan menjadi abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring,
abses submandibula, angina ludovici (ludwing’s agina).3 Gejala dan tanda
klinik yang ditemukan pada kasus abses leher dalam berupa nyeri, dan
pembengkakan dibagian ruang leher dalam.2
Angka kejadian abses leher dalam di Indonesia pernah diteliti di
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung selama tahun 2012. Dari penelitian
tersebut didapatkan 28 kasus abses leher dalam, dengan lokasi abses
peritonsil 9 kasus, abses parafaring 1 kasus abses retrofaring 4 kasus, abses
submandibula 5 kasus, dan abses gabungan (submandibular dan para faring)
7 kasus. Lokasi abses paling banyak ditemukan di ruang peritonsiler
sebanyak 32% dengan sumber infeksi terbanyak dari odontogenic sebanyak
50%. Pada RSUP dr. M. Djamil dilakukan penelitian kejadian abses leher
dalam selama periode Oktober 2009 – September 2010. Didapatkan jumlah
kasus abses leher dalam sebanyak 33 orang dengan lokasi abses peritonsil
11 kasus, abses submandibula 9 kasus, abses parafaring 6 kasus, abses
retrofaring 4 kasus. Persentase pasien penderita abses leher dalam dengan
jenis kelamin laki-laki sebanyak 68% dan perempuan sebanyak 32%,
dengan kelompok usia terbanyak 20-39 tahun sebanyak 50%.4
Abses leher dalam merupakan penyakit infeksi yang serius yang
membutuhkan intervensi tindakan bedah segera mungkin yang dapat
mengancam nyawa seseorang.5

1.2 Tujuan
Paper ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk mengikuti
kepanitraan klinik di departemen Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher.Paper ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pengetahuan
penulis dan pembaca mengenai “ABSES LEHER DALAM” sehingga, dapat
lebih mengetahui tentang materi ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fungsi Faring

Gambar 2.1 Potongan sagital Faring


Faring merupakan saluran yang terbentuk dari jaringan fibroid (serat)
dan otot yang membentuk bagian atas jalur masuk udara dan makanan. Fungsi
utama dari faring adalah mengupayakan makanan yang telah dikunyah dan
dicerna masuk dari rongga mulut ke esofagus. Otot faring dan laring melindungi
saluran pernapasan agar tidak ada makanan ataupun cairan masuk ke dalam
trakea dan paru selama proses menelan.
Faring terdiri atas nasofaring, orofaring dan hipofaring (laringofaring).
Nasofaring terletak dibawah dasar tulang tengkorak, diatas rongga mulut dan
tepat dibelakang hidung. Saluran ini berlanjut menuju orofaring yang terletak
setinggi rongga mulut mulai dari atas palatum mole ke bagian atas atas tulang
hyoid. Hipofaring merupakan bagian paing bawah dari faring yang terletak
dibelakang laring. Batas atas dari hipofaring adalah tulang hyoid dengan batas
bawah adalah tepi bawah tulang rawan krikoid yang selanjutnya saluran ini
berlanjut menuju ke esofagus.6

2.2 Definisi Abses Leher Dalam


Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran
dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,
telinga dan leher.1 Abses leher dalam dapat katagorikan menjadi abses
peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula, angina
ludovici (ludwing’s agina).3
2.2.1 Abses Peritonsil (Quinsy)

Gambar 2.2.1 Abses peritonsil.7

A. Definisi
Abses peritonsil merupakan suatu infeksi yang diikuti dengan
terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara muskulus konstriktor
faring dengan tonsil pada fosa tosil. Kasus pada kepala dan leher, Abses
peritosil merupakan penyakit sering terjadi pada orang dewasa. infeksi pada
tenggorok yang sering kali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.7

B. Etiologi
Abses peritonsil (peritonsillar abscess atau PTA) yang sering
dikenal dengan quinsy adalah penyakit yang umumnya disebabkan oleh
bakteri, terutama Streptococcus BetaHemolitik Grup A (Group A Beta-
Hemolytic Streptococcus atau GABHS). Selain oleh GABHS, abses
peritonsil juga dapat disebabkan oleh mikroorganisme aerob maupun
anaerob lainnya. Beberapa bakteri aerob yang merupakan etiologi dari
penyakit ini adalah Streptococcus grup B, C, dan G, Haemophilus
influenzae tipe B dan nontypeable, Neisseria sp, Staphylococcus aureus,
dan Mycobacterium sp. Penyebab lain dari abses peritonsil adalah virus,
contohnya parainfluenza dan virus herpes simpleks.8
C. Patologi
Mekanisme terjadinya abses peritonsil yang merupakan
kejadian lanjutan dari infeksi tonsil berawal dari infiltrasi infeksi ke
dalam kapsul tonsil. Kapsul tonsil ini kemudian menjadi status lokalis
terjadinya peritonsilitis yang nantinya memunculkan nanah. Supurasi
ini sering menempati lokasi tertentu, yaitu fossa tonsilaris superior dan
lateral. Hal ini menyebabkan adanya gambaran palatum mole yang
mengalami pembengkakan. Terjadinya abses peritonsil di fossa
tonsilaris inferior cukup jarang. Peritonsil yang membengkak
mendorong tonsil ke tengah, depan, dan bawah serta uvula yang juga
bengkak akan terdorong ke sisi kontralateral. 8

D. Tanda dan gejala


Nyeri tenggorokan atau odinofagi sering dikeluhkan oleh
pasien. Odinofagi terjadi baik saat makan maupun sekadar menelan
saliva. Hipersalivasi karena ludah susah ditelan, nyeri alih di telinga
(otalgi), mulut berbau (foetor ex ore), dan regurgitasi atau bahkan
muntah juga bisa terjadi. Bila infeksi dibiarkan, pasien dapat pula
mengalami gejala trismus, yang mana menyulitkan proses pemeriksaan
fisik. Gejala klasik penyakit ini adalah adanya suara bergumam (hot
potato voice), uvula terdorong ke arah yang tidak sakit (kontralateral),
serta trismus. 8

E. Pemeriksaan

- Pemeriksaan fisik
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring. Karena
trismus. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke
depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula engkak dan terdorong ke sisi
konka lateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus
dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Abses peritonsil
unilateral lebih sering terjadi dibandingkan abses peritonsil bilateral.
- Pemeriksaan penunjang
1. Gold standard untuk abses peritonsil adalah aspirasi pus dari status
lokalis abses menggunakan jarum (pungsi).
2. Pemeriksaan darah lengkap, dan radiologi seperti computer
tomography (CT) scan dan ultrasonografi (USG).8

F. Terapi
- Non-farmakologi
Pasien abses peritonsil diberikan penanganan berupa drainase
operatif pada status lokalis. Drainase ini bisa dilakukan memakai
jarum aspirasi untuk mengambil pus juga merupakan cara untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti peritonsilitis akut., insisi,
maupun tonsilektomi akut. Biasanya tonsilektomi dilakukan
sesudah infeksi tenang pada waktu 2-3 minggu sesudah drenase
abses. Tetapi bila dilakukan bersama-sama tindakan drenase abses,
disebut tonsilektomi “a’ chaud’. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4
hari sesudah drenase abses, disebut tonsilektomi “a’ tiade”, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drenase abses, disebut tindakan
tonsilektomi “a’ froid”. 8

- Farmakologi
Dapat diberikan obat anti biotik golongan penisilin atau
klindamisin, dan obat somatik.8

G. Komplikasi

1. Komplikasi berupa trismus dapat terjadi akibat menjadi iritasinya


otot pterigoid interna..
2. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi
paru atau piemia.
3. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi
abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya masuk ke
mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
4. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.8

2.2.2 Abses Retrofaring

Gambar 2.2.2 Orofaring.9

A. Definisi
Ruang retrofaring merupakan ruang potensial yang terletak
diantara lapisan tengah fasia leher dalam yang mengelilingi faring dan
esofagus di sebelah anterior dan lapisan dalam fasia leher dalam di
sebelah posterior. Ruang ini memanjang dari dasar tengkorak yang
merupakan batas superior sampai ke mediastinum setinggi vertebra
torakal pertama atau kedua yang merupakan batas inferior.10

B. Patofisiologi dan Etiologi


Penyebab abses ruang retrofaring terbagi menjadi 2:
1. Infeksi saluran nafas atas yang menbuat limfaadenitis retrofaring.
2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan
atau tindakan medis , seprti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan
endoskopi.
3. Tuberkulosis vertebra servikal bagian atas (abses dingin).
Kuman yang sering ditemukan pada abses retrofaring adalah
Kuman aerob : Streptococcus beta– hemolyticus group A (paling
sering), Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non – hemolyticus,
Staphylococcus aureus ,Haemophilus sp. Kuman anaerob : Bacteroides
sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria.10

C. Tanda dan Gejala


Gejala klinis abses retrofaring berbeda antara dewasa dan anak.
Pada anak biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas. Permulaan
gejala biasanya tidak spesifik seperti anak menangis terus-menerus
(rewel), tidak mau makan atau minum, demam, kekakuan dan nyeri
tekan pada leher. Infeksi dapat meluas ke mediastinum yang ditandai
dengan gejala demam, nyeri dada, sesak nafas yang bertambah berat.10

D. Diagnosis
Diagnosis abses retrofaring ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
- Anamnesis
Pasien sering datang dengan keluhan nyeri dan sukar menelan.
Pada dewasa perlu ditanyakan apakah ada riwayat trauma atau
tertelan tulang, riwayat diabetes mellitus, riwayat tuberkulosis. Pada
anak, biasanya anak menolak makan atau minum. Bisa ditemukan
suara mendengkur, hidung tersumbat dan sesak, demam, sulit
menelan, bengkak di leher, leher kaku dan suara bergumam.
- Pemeriksaan fisik
Temuan klinis pada pemeriksaan tenggorok dapat ditemukan
penonjolan pada dinding posterior faring, fluktuatif pada palpasi
tanpa adanya trismus. Tidak jarang ditemukan stridor dan retraksi
sebagai tanda obstruksi jalan nafas atas. Suhu tubuh yang
meningkat, limfadenopati servikal juga bisa ditemukan.
- Pemeriksaan penunjang
1. Rontgen servikal lateral
Pada foto polos servikal tampak penebalan retrofaring
lebih dari 7 mm di servikal 2 dan lebih dari 22 mm di servikal 6
atau lebih dari ½ korpus vertebra.9
2. CT-Scan
CT-Scan dilakukan untuk membedakan apakah
penebalan jaringan lunak di retrofaring suatu abses abses,
selulitis, masa atau perluasan abses ke ruang lain.9
3. Pemeriksaan laboratorium
Kultur kuman diperlukan untuk diagnosis dan terapi
yang tepat pada pasien dengan abses retrofaring. Pada
pemeriksaan laboratorium darah biasanya ditemukan
peningkatan sel darah putih.9

E. Terapi
Pada penonjolan di retrofaring perlu dilakukan aspirasi dengan
menggunakan jarum spinal no 18 untuk memastikan ada atau tidaknya
pus. Abses retrofaring dilakukan dengan pemberian antibiotik dan
bedah. Antibiotik diberikan sesuai dengan hasil kultur. Menunggu hasil
kultur dapat diberikan antibiotik spektrum luas dengan memberikan
kombinasi antibiotik yang sensitif untuk kumakuman gram positif,
negatif kuman-kuman anaerob. Insisi dan eksplorasi dapat ditunda 24-
36 jam sambil menunggu perbaikan dengan pemberian antibiotik. Jika
tidak ada perbaikan segera lakukan tindakan bedah. Trakeostomi
dianjurkan jika ditemukan abses yang luas untuk mencegah ruptur dan
aspirasi selama intubasi.
Pada abses yang cukup besar dan meluas ke arah hipofaring
insisi transoral tidak cukup menjamin drainase yang baik, sehingga
disarankan melakukan insisi eksternal. Agar dapat dilakukan operasi
bisa diberikan antibiotik intravena sampai 48 jam bebas demam. Setelah
itu bisa dihentikan dan diganti antibiotik oral selama dua minggu.9

F. Komplikasi
Abses retrofaring yang tidak dilakukan evakuasi abses dapat
terjadi ruptur spontan dan menyebabkan aspirasi. Jika tidak terjadi
ruptur spontan dapat terjadi obstruksi jalan nafas karena pendorongan
dinding posterior faring. Infeksi dapat meluas ke superior atau posterior
mediastinum sehingga dapat menyebabkan mediastinitis. Dapat juga
terjadi penjalaran ke daerah sekitarnya yaitu ke ruang parafaring dan
ruang prevertebra. Komplikasi lain seperti abses epidural, trombosis
vena jugularis, sepsis dan erosi arteri karotis bisa terjadi.9
2.2.3 Abses Parafaring

Gambar 2.2.3 dijumpai lendir dan pus dari parafaring.12

A. Definsi
Abses parafaring dimasukkan ke dalam kelompok infeksi yang
dikenal sebagai infeksi leher dalam. Infeksi ini umumnya terjadi karena
alasan nontraumatik pada anak kecil, seperti infeksi tenggorokan
sebelumnya atau infeksi yang berasal dari gigi yang telah menyebar ke
struktur jaringan yang lebih dalam dan kelenjar getah bening.11

B. Etiologi
Infeksi pada bagian para faring dapat terjadi dengancara tusukan
jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan
terjadi karena ujung jarum suntik telah terkontaminasi kuman dan
menembus lapisan otot tipis (M. Konstriktor faring superior) yang
meisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. Abses parafaring juga
dapat terjadi melalui peroses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam.
Gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra
servikal dapat menjadi sumber infeksi terjadinya abses pada bagian
retrofaring. Streptokokus Grup G merupakan penyebab infeksi yang
paling umum pada abses parafaring.2, 11

C. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang utama ditemukan trismus, indurasi atau
pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan
pembengkakan dinding lateral faring, sehigga menonjol ke arah medial.
D. Diagnosis
Diagnosis ditegakakan berdasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak
AP atau Ct Scan.

Gambar 2.2.3 Ct Scan.12


.
E. Terapi
- NonFarmakogi
Insisi dan drainase dilakukan 21/2 jari dibawah dan sejajar
mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior
m.sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian
medial mandibula dan m. Pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terbanya prosesus stiloid.
Insisi interoal dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan
memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus
m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior.
- Farmakologi
Tereapi dengan obat antibiotik dosis tinggi secara perental
terhadap kuman aerob dan anaerob dengan mengevaluasi abses ada
tidaknya perbaikan dalam pemberian antibiotik slama 24-48 dengan
eksplorasi dalam nekrosis pada daeah yang telah di insisi.2
F. Komplikasi
Peradanagn dapat menjalar secara homogen, limfogen atau
lansung (percontinatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial.
Abses dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.
Bila pembuluh darah mengalami nekrosis, maka dapat terjadi ruptur
yang dapat membuat perdarahan hebat. Jika terjadi periflebis atau
endoflebitis maka dapat menimbulkan tromboflebitis dan septikemia.2
2.2.4 Abses Submandibula

Gambar 2.2.4 Pasien dengan abses submandibula.5

A. Definsi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai
pembentukan pus pada daerah submandibula. Ruang submandibula
terdiri dari ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot
milohioid. Ruang submaksila dibagi lagi menjadi ruang submental dan
submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior. Keadaan ini merupakan
salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neck infection).13

B. Etiologi
Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula
berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibular. Selain disebabkan oleh infeksi gigi, infeksi di ruang
submandibula bisa disebabkan oleh limfadenitis, trauma, atau
pembedahan dan bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam
lain. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau
campuran. Organisme penyebab yang sering ditemukan seperti Streptococcus
viridans, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, grup
Abetahemolytic Streptococcus (Streptococcus pyogenes), Bacteroides,
Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spesies.13
C. Tanda dan Gejala
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan
dibawah mandibula atau dibawah lidah, mungkin berfluktuasi dan
sering dijumai trismus.
D. Diagnosis
Diagnosis abses retrofaring ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
- Anamnesis
Pasien mengeluhkan adanya bengkak pada pipi kiri dan rahang kiri
bawah dengan sakit pada gigi berlubang pada bagian bawah. disertai
dengan adanya demam dan trismus yang dialami sejak kurang lebih 2
minggu.
- Pemeriksaan fisik
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan
dibawah mandibula dan dibawah lidah, mungkin berfluktuasi.
Trismus sering dijumpai
- Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan darah ditemukan adanya leukositosis dan anemia yang
menandakan adanya infeksi yang lama pada pasien.13

E. Terapi
Penanganan infeksi orofasial (termasuk infeksi submandibular space)
meliputi intervensi pembedahan untuk mendrainase pus yang terlokalisir dan
dukungan medis untuk mencegah terjadinya komplikasi pada pasien.13
- Non Farmakologi
Insisi dan drainase
Insisi dan darinasedapat dilakukan baik secara intraoral maupun ekstraoral
tergantung pada lokasi infeksi.
1. Aspirasi pus sebelum insisi dilakukan metode pengambilan sampel
lebih akurat karena mengurangi kontaminasi dan membantu
melindungi dari bakteri anaerob.
2. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os
hioid, tergantung letak dan luas abses.
Pembengkakan yang berfluktuasi menunjukkan adanya pus dan
didefinisikan sebagai transmisi fluida dengan menggunakan palpasi
bidigital.

- Farmakologi
1. Antibiotik
Antibiotik dapat diberikan secara empiris atau antibiotik
spesifik yang diberikan berdasarkan tes kultur dan sensitivitas.13
2. Analgesik
Analgesik menghilangkan rasa sakit sementara sampai faktor
penyebab infeksi terkendali. Obat anti inflamasi nonsteroid digunakan
pada nyeri ringan sampai sedang. Analgesik opioid, seperti
dihidrokodein dan petidin, digunakan untuk rasa sakit yang parah.13
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita abses mandibula
adalah obstruksi jalan nafas, osteomielitis mandibula, abses parotid,
penyebaran infeksi ke ruang leher dalam daerah yang terdekat,
mediastinitis serta sepsis.14
2.2.5 Angina Ludovici ( Ludwig’s Angina)

Gambar 2.2.5 pasien dengan Angina Ludwig.5

A. Definsi
Angina ludovinci ialah infeksi ruang submandibula berupa
seluitis difus dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang
submandibula, tidak membentuk abses, sehinggi keas perabaan
submandibula.6

B. Etiologi
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasr mulit, oleh
kuman aerob dan anaerob.

C. Tanda dan Gejala


Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan
didaerah submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada
perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah. Ke atas
belakang, sehingga menimbulkan sesak napas. Karena sumbatan jalan
napas.
D. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek
atau cabut gigi, gejala dan tanda klinik. Pada “pseudo angina ludovici”,
dapat terjadi fluktuasi

E. Terapi
- Non-Farmakologi
1. Insisi dan drainase
Insisi dreinase dilakukan bertujuan untuk membuat suatu jalan
bagi akumulasi abses dan bakteri yang terdapat dibawah jaringan
tersebut. Drainase dari abses juga akan mengurangi ketegangan
daerah tersebut sehingga mengurangi rasa nyeri serta akan
meningkatkan suplai darah dan pertahanan tubuh didaerah tersebut.
2. Trakeastomi
Dilakukan trakeastomi bila infeksi berpotensi mengganggu jalan
nafas.

- Farmakologi
Antibiotik dosis tinggi berupa penisilin 3x2 juta IU atau
Klindamisin 3x300 mg i.v. bila dicurigai adanya peran bakteri
anaerop, diberikan infus metronidazole. Antibiotik dapat
mempersingkat penjalaran infeksi dan memberikan proteksi kepada
penderita yang mengalami tindakan ekstrasi serta mengurangi
resiko komplikasi. Dexamethasone yang disuntikkan secara
intravena, diberikan dalam 48 jam untuk mengurangi edem dan
perlindungan jalan nafas.15
F. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah sumbatan jalan nafas, sepsis,
penjalaran abses ke ruag leher dalam yang lain dan mediastinum.15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Abses leher dalam merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman
yang bersifat aerob dan anaerob maupun campuran yang gejala dengan adanya
rasa nyeri, dan pembengkakan diluar leher yang terlihat dan dalam leher yang
tidak terlihat. Abses leher dalam juga salah satu penyakit yang dapat
mengancam nyawa bila tidak segera dilakukan pengobatan.
Daftar Pustaka

1. Reza V, Snapp P, Dalam E, Di IMA, Socialization A, Cadger OF, et al. Profil


Pasien Abses Leher Dalam dengan dan Tanpa Diabetes Mellitus di RSUD Dr.
Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 2018 – 31 Juli 2020. Bussiness Law
binus [Internet]. 2020;7(2):33–48. Tersedia pada:
http://repository.radenintan.ac.id/11375/1/PERPUS
PUSAT.pdf%0Ahttp://business-law.binus.ac.id/2015/10/08/pariwisata-
syariah/%0Ahttps://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-
results%0Ahttps://journal.uir.ac.id/index.php/kiat/article/view/8839
2. Resmin M, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tengorok Lepala
dan Leher. 6 ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. 226
hal.
3. Zahro I, Anisa Biljannah J, Permoni Putri Manyakori S. ABSES LEHER
DALAM DENGAN RIWAYAT SAKIT GIGI: LAPORAN KASUS Deep Neck
Abscess with History of Toothache: Case Report. Contin Med Educ. 2022;
4. Sriwijaya MK, Arliando MA, Utama DS, Studi P, Dokter P, Kedokteran F, et al.
Prevalensi Abses Leher Dalam di RSUP dr . Mohammad Hoesin Palembang
Periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2015 Angka kejadian abses leher dalam
di Hasan Sadikin Bandung selama tahun 2012 . ruang peritonsiler sebanyak 32
% dengan informasi tentang prevalens. Maj Kedokt Sriwij. 2017;3(July):124–
33.
5. Mutia Zatadin Z, Eltadeza R, Qasthari Primayanti Y, Ayu Pramesti N, Nur
Amalia M. GAMBARAN KLINIS, PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN
TATALAKSANA ABSES LEHER DALAM DI RSUD KARANGANYAR
(LAPORAN KASUS) Clinical Manifestation, Diagnostican Management Deep
Neck Abscess in RSUD Karanganyar (Case Report). 2017;1445–69.
6. Farahat. buku ajar penyakit pada telinga hidung tenggorok dan bedah kepala
leher. In: 6 ed. MEDAN: FAKULTAS KEDOKTERERAN UNIVERSITAS
SUMATRA UTARA; 2019. hal. 39.
7. Sartika Sari NL, Arta Eka Putra I, Budayanti N. Karakteristik penderita abses
peritonsil Di RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2010-2014. Medicina (B
Aires). 2018;49(2):161–5.
8. Rahmah AN, Ristyaning P, Sangging A, Himayani R, Kedokteran F, Lampung
U, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Abses Peritonsil : Sebuah Tinjauan Pustaka
Diagnostic dan Management of Peritonsillar Abscess : a Review. 2023;13:129–
33.
9. Morina E, Novialdi N, Asyari A. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses
Retrofaring pada Dewasa. J Kesehat Andalas. 2018;7(Supplement 2):58.
10. Novialdi N, Irfandy D. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Retrofaring pada
Anak. J Kesehat Andalas. 2012;1(3):145–9.
11. Sudhanthar S, Garg A, Gold J, Napolova O. Parapharyngeal abscess: A difficult
diagnosis in younger children. Clin Case Reports. 2019;7(6):1218–21.
12. Tajima S, Anzai T, Matsuoka R, Okada H, Ide T, Fujimaki M, et al.
Parapharyngeal Abscesses Caused by Group G Streptococcus. Case Rep
Otolaryngol. 2018;2018(Figure 1):1–4.
13. Litha Y, Gazali M, Lopo C, Nayoan CR, Program MP, Ear D. Submandibular
abscess. 2019;1(2).
14. Sri Utari IGAO. Distribusi Penderita Abses Submandibula Di Bagian T.H.T.K.L
Rsud Bangli Bali Periode Januari 2016 Sampai Desember 2018. J Kedokt.
2019;5(1):187.
15. Kawulusan NN, Mulut DB, Gigi FK, Hasanuddin U. Penatalaksanaan infeksi
rongga mulut : Ludwig ’ s angina ( Laporan Kasus ) Management of oral cavity
infection : Ludwig ’ s angina ( case report ). :30–4.

Anda mungkin juga menyukai