RHINITIS ALERGI
Pembimbing :
Disusun oleh :
Fenny FK UPH
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat dengan judul “RHINITIS
ALERGI”. Referat ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik
Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.
Referat ini sedikit banyak membahas mengenai penyakit yang menjadi masalah-
masalah di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Hanya sebagian masalah kecil
yang penulis bahas, namun diharapkan referat ini bisa memberikan sedikit pengetahuan
kepada para pembaca mengenai penyakit ini.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Susi, Sp.THT selaku dokter pembimbing dan teman-teman Co-Ass yang
telah membantu dalam proses pembuatan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Referat ini banyak terdapat kekurangan dan
juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua
pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran. Amin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….. 1
I.1. Latar Belakang ………………….…………………………….. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….…. 3
II.1. Anatomi Fisiologi Pankreas…………………………………. 3
II.2Diabetes Melitus………………………………... ..................... 5
II.2.1. Definisi………………………..……………………........... 5
II.2.2. Klasifikasi………………………..…………………….......... 5
II.2.3. Patofisiologi………………………..……………………...... 7
II.2.4. Diagnosis………………………..……………..............….. 9
II.2.5. Terapi………………………..………......……………........ 11
II.3. Buah Pare………………………..…………………….. .......... 16
II.3.1. Jenis-jenis Tanaman Pare………………………..……...... 16
II.3.2. Klasifikasi………………………..……............................ 18
II.3.3. Kandungan Kimia………………………..……...... .......... 18
BAB III PENUTUP ………………………..……………………............. 20
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….….. 21
3
BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk amerika. Rinitis ditemukan
di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama anak laki-laki.
Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi
terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar
80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi
pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia senja rinitis
alergi jarang ditemukan. 1,2
Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui karena sampai
saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi rhinitis alergi
perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut Sumarman dan Haryanto
tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung menunjukkan 6,98 %, di mana
prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan survei dari ISAAC (International Study
of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur 13-14 tahun di
Semarang tahun 2001- 2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18%.3,4
4
Bagi pembaca:
Sebagai bahan bacaan untuk menambah pengetahuan dalam bidang Ilmu Penyakit
THT, terutama mengenai kasus Rhinitis Alergi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
II. 1. 2. Anatomi Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka
media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan
meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media
dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. (5)
7
2. Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari : (5)
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh
filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior.
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial.
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media
disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka
suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media
berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.
3. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. (5)
8
4. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media
yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan
sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah
satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya
bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai
ostium tersendiri di depan infundibulum. (5)
5. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril.(5)
6. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares
posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam
oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh
lamina pterigoideus. Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus
yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris
merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang
irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke
arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga
di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak
hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung
hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut
terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui
9
ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.(5)
7. Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret
akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan
sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media.(5)
Kompleks Ostiomeatal
10
Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum anterior &
posterior, arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior. Pecahnya plexus Kiesselbach
biasanya akan menyebabkan epistaksis anterior. (6)
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas; 2) pengatur kondisi udara (air
11
conditioning); 3) sebagai penyaring dan pelindung; 4) indra penghidu; 5) resonansi suara;
6) proses bicara; 7) refleks nasal. (7)
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara
ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. (7)
12
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.(7)
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran
udara.(7)
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas. (7)
13
II. 3. RINITIS ALERGI
II. 3. 1. DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(8)
II. 3. 2. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic
Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak
6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(8)
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. (8)
14
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan
IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine
juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien
D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). (8)
15
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi. (8)
Meskipun terdapat bukti bahwa rinitis alergi mempengaruhi asma, tetapi mekanisme
yang menghubungkan disfungsi saluran napas atas masih dalam perdebatan. Berbagai teori
diajukan untuk menerangkan hubungan rinitis alergi dan asma antara lain Nasopulmonary
Reflex yaitu refleks sentral yang berasal dari ujung saraf sensorik berjalan menuju susunan
16
saraf pusat melalui saraf trigeminus, masuk ke serabut eferen lewat saraf vagus dan
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus. Lalu meningkatnya inhalasi melalui mulut
terhadap udara dingin, kering atau alergen inhalan akibat dari sumbatan hidung
mengakibatkan mengeringnya sekret dan terjadi spasme bronkus. Drenase post nasal bahan
inflamasi ke saluran napas bawah mengakibatkan penyebaran sel-sel inflamasi melalui
sirkulasi.(10)
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung. (8)
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. (8)
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : (8)
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu
rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang
(kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).(8)
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.(8)
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah. (8)
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.(8)
17
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial
dan rinitis alergi.(8)
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari : (8)
1. Respons primer :
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respons sekunder. (8)
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem
imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier. (8)
3. Respons tertier :
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. (8)
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).(8)
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah
tipe 1 yaitu rinitis alergi.(8)
18
II. 3. 4. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : (8)
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis
alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya
spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah
polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada
hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).(8)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau
terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.(8)
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi(8):
1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.(8)
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.(8)
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi(8):
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.(8)
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.(8)
19
II. 3. 5. DIAGNOSIS
2.Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik
lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu
sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan.
Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
20
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).(8)
3.Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio
Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. (8)
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.(8)
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). (8)
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada
“Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.(8)
21
II. 3. 6. PENATALAKSANAAN
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 11
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. 11,12
22
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk
beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. 11
b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik.
Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu
lama.12
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah
pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk
23
anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa,
diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering
adalah insomnia dan iritabilitas. 12
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor. 11
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal
bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan
lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit
(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat.
Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 11
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 11
24
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat 11
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sublingual. 11
II. 3. 7. KOMPLIKASI
25
BAB III
KESIMPULAN
Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di
udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus
cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu : berair, kemerahan dan gatal.
RA merupakan penyakit umum dan sering dijumpai.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya allergic shiner, allergic salute
dan allergic crease.
Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit) terhadap berbagai allergen mungkin
dapat menunjang penegakan diagnosis RA.Bila hasil belum dapat mengetahui mungkin
diperlukan tes alergi intra dermal. Pemeriksaan kadar lgE di darah meningkat (tidak spesifik).
Pemeriksaan terhadap lgE spesifik terhadap alergen tertentu.
Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Namun yang
terpenting adalah dengan menghindari alergen pemicu.
26
DAFTAR PUSTAKA
11. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
12. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991.
Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
13. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the
Treatnement of Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
Diunduh pada 8 Januari 2011.
27