Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN TUTORIAL TROPICAL MEDICINE

RESPIRATORY DIPHTERIA

Kelompok 4

Tutor : dr.FEBRIANA KURNIASARI, DR., M.KES.A3M

Nama NPM

1. Azhari Fadhilah 10010020025

2. Fadilul Fatihah Razi 10100120189

3. Reynindita Alya Harsyanti 10100120106

4. Nazmi Abiyah 10100120135

5. Dimas Satrio Aji 10100120064

6. Ayyas Robabani 10100120066

7. Ayunita Meita Dewi Rasiwan 10100120040

8. Rifira Hanifah 10100120020

9. Triya Mustika Sukendar 10100120105

10. Destri Ramadhani 10100120111

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

Jl. Hariangbanga No. 2 Tamansari – Bandung

Telp: (022) 4203368 | Fax: (022) 423121


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunianya
kami dapat menyusun laporan tutorial case Respiratory Diphteria. Laporan ini disusun untuk
memenuhi tugas kelompok tutorial 4 tingkat 3 di Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Bandung. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu dalam
pembuatan dan penyusunan laporan ini, baik berupa materi maupun segala hal yang dapat
membantu dalam penyelesaian laporan ini, karena kami tidak dapat menyelesaikan laporan
ini tanpa bantuan setiap pihak. Laporan ini masih jauh dari kata sempurna, karena kami
adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan, karena itu kami bersedia untuk menampung
setiap kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat yang bagi penyusun, pembaca, dan seluruh kalangan
masyarakat. Aamiin.

Bandung, 28 Mei 2023

Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
BAB I........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................................7
ISI.........................................................................................................................................7
2.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI FARING......................................................................7
2.2 FISIOLOGI MENELAN...........................................................................................20

2.3 MIKROBIOLOGI Corynebacterium................................................................29


2.4 DIFTERI...............................................................................................................46
2.5 INTERPRETASI....................................................................................................48
BAB III...................................................................................................................................92
PENUTUP...........................................................................................................................92
3.1 BHP......................................................................................................................92
3.2 IIMC....................................................................................................................93
3.3 PATOMEKANISME............................................................................................94
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................95
BAB I

PENDAHULUAN

Laki-laki 8 tahun

CC : sakit tenggorokan dan sulit menelan sejak 3 hari yg lalu

AC :
- Low grade fever
- Malaise

AI :
- Tdk ada suara serak, stridor, sulit nafas

PH :
- Tdk diberi vaksin sejak lahir
- Temannya mengeluhkan yg sama

PE :
- Vital sign :
T : 37,6oC (subfebris)
PR : 84 x/mnt
RR : 24x/mnt
- Head : Conjungtiva erythema
- Orofaring examination :

bercak putih ke abuan


- Neck : lymphadenopathy a/r submandibular bilateral (bull neck)
- Thorax : normal
Lab :
- CBC
HB : 12g/dl
WBC : 8000/mm3
Platelet : 250.000/mm3
Hct : 38%
- Diffcount :
0/2/1/78/15/4
- Mikrobiologi exam dilakukann swab tenggorokan  diinokulasi ke transfer media

Diagnosis : suspeck respiratory difteria

Management:
- Hospitalisasi dan isolasi
- Monitoring opening airway
- Antitoksi  anti-difteria serum (ADS): 80.00 IU IV, penicillin IM
- Diberikan ADS setelah sensitifity test

- Culture  Culture pada tellurite blood agar (+)


- Gram staining  gram positive bacilli polymorphic cluster seperti Chinese letter
- Alber’s stain  vegetative stage look green and the volutin granule looks brown
- Dilakukan elek test setelah hasil culturenya positive

Seluruh keluarganya dilakukan orofaring swab dan diberikan prophylaxis

Pasien diberikan vaksinasi setelah keluar dari RS


BAB II

ISI

2.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI FARING


ANATOMI FARING
Definisi :
Faring merupakan bagian superior yang diperluas dari posterior nasal dan oral cavities ke
inferior, yang memanjang melewati laring.

Letak :
memanjang dari nasal cranial base ke inferior border dari krikoid kartilage anterior dan
inferior border dari C6 vertebra di posterior

Topografi :
- Superior  dari laring
- Posterior  dari oral dan nasal cavity
- Anterior  dari cervical vertebrae
Ukuran :
Faring melebar kira-kira 5 cm berlawanan dengan hyoid dan menyempit 1,5 cm pada ujung
inferiornya dan berhubungan dengan esophagus/krongkongan.
Faring terbagi menjadi 3 bagian :
- Nasopharynx: posterior hidung dan superior ke soft palate
- Oropharynx : posterior mouth
- Laryngopharynx : posterior larynx

1. Nasopharynx
- Merupakan perpanjangan dari nasal cavities. Hidung terbuka ke nasofaring melalui 2
choanae (celah posterior dari nasal).
- Terdapat tonsil, yang merupakan jaringan limfoid yang terkumpul di daerah tertentu
untuk membentuk massa :
a. Pharyngeal tonsil (adenoid ketika membesar), berada di mucous membrane pada
roof dan posterior wall nasopharynx
b. Salpingopharyngeal fold, merupakan perpanjangan di inferior dari ujung medial pada
pharyngotympanic tube
c. Tubal tonsil, merupakan kumpulan jaringan limfoid di submukosa faring dekat
dengan pembukaan nasopharynx atau faringotymic tube
d. Pharyngeal reces yang meluas dibagian lateral dan posterior

2. Oropharynx
- Berfungsi sebagai saluran pencernaan
- Topografi : dibatasi oleh soft palate superior, base of the tongue inferior (pangkal
lidah inferior), palatoglossal dan palatofaringeal arch lateral
- Perpanjangan dari soft palate - superior border pada epiglotis
- Palatine tonsil, merupakan kumpulan dari jaringan limfoid pada setiap sisi
oropharynx dalam interval antara palatine arches.

3. Laryngopharynx
- Terletak di posterior laring
- Meluas dari superior border of epiglotis dan pharyngoepiglotic folds sampai ke
inferior border of cricoid cartilage
- Bagian posterior dan dinding lateral terbentuk dari middle dan inferior pharyngeal
constrictor muscle
- Laryngofaring berhubungan dengan laring melalui laryngeal inlet pada dinding
anterior
- Piriform fossa yaitu suatu small deprresion pada rongga laringofaringeal di kedua sisi
dari laryngeal inlet
- Di bagian lateral, piriform fossa dibatasi oleh permukaan medial dari thyroid cartilage
dan thyrohyoid membrane

Pharyngeal Muscles.

Vaskularisasi
Diperdarahi oleh Right Tonsilar Arteri dan Left Tonsilar Arteri yang merupakan percabangan
arteri fasialis

Drainase
- Large external palatine vein lalu ke soft palate lalu ke lateral surface of the tonsil lalu
ke pharyngeal venous plexus
- Didrainase menuju Left Brachioceohalic Vein melewati eksternal Palatine

Inervasi
Motorik : dari CN (X) / vagus nerve via pharyngeal branch. Mempersarafi otot faring
dan soft palate kecuali stylopharyngeous dan tensor veli palatine
Sensorik : dari CN (IX) / glossopharyngeal nerve menuju ke plexus faringeal
Mucous membrane of the anterior and superior nasopharynx → maxillary nerve (CN V2)

Lymphatic :
Dari pharynx nanti akan mengalirkan ke
1. Nodi lymphatic retropharyngeal ( di antara nasopharynx dan column vertebralis )
2. Nodi lymphatic paratrachealis
3. Nodi lymphatic infrahyadei
- Tonsil palatina, lingual, dan faring membentuk pharyngeal lymphatic (tonsillar) ring,
pita jaringan limfoid melingkar yang tidak lengkap di sekitar bagian superior faring .
- antero-inferior part of the ring → lingual tonsil in the posterior part of the tongue.
- Lateral parts of the ring → palatine and tubal tonsils
- posterior and superior parts → pharyngeal tonsil

TONSIL  Merupakan secondary limfoid organ yang tersusun atas jaringan limfoid disekitar
superior faring.
Macam-macam tonsil :
- Faringeal Tonsil terletak di posterior dinding Nasofaring
- Tubal Tonsil terletak di submukosafaring
- Palatine Tonsil terletak di setiap sisi pada orofaring
- Lingual Tonsil terletak di Inferoposterior Lidah

HISTOLOGI FARING

• Berbeda dengan epitel skuamosa berlapis orofaring, lapisan nasofaring adalah epitel
pernapasan, dan mukosanya mengandung tonsil faring medial dan bukaan dua tabung
pendengaran yang terhubung ke setiap rongga telinga tengah.

Nasopharnyx  bagian utama dari pharnyx


• Letak : Di bagian posterior rongga hidung / nasal cavities
• Dilapisi respiratory mucosa yg berisi medial pharyngeal tonsil serta bukaan 2
auditory tubes dari setiap middle ear cavity
berlanjut sebagai
Orofaring (tenggorokan) ke arah caudal,
• Letak : di bagian posterior rongga mulut / oral cavity
• Mukosanya memiliki nonkeratinized stratified squamous epithelium & termaksud
palatine & lingual tonsils

Respiratory Epithelium
• Sebagian besar rongga hidung dan bagian konduksi dari sistem dilapisi oleh mukosa
yang memiliki epitel kolumnar semu bersilia, umumnya dikenal dengan respiratory
epithelium.
• Epitel ini memiliki lima jenis sel utama, yang semuanya berhubungan dengan
membran basal yang sangat tebal:
1. Ciliated columnar cell :

• Yang paling banyak


• Masing-masing dengan 250-300 silia pada permukaan apikal.
2. Goblet cell :

• Banyak dan mendominasi di beberapa area


• Bagian apikalnya terisi dengan granula glikoprotein musin.
3. Brush cell :

• Jenis sel kolumnar yang jumlahnya jauh lebih sedikit


• Permukaan apikalnya kecil dan jarang
• Mengandung mikrovili yang tumpul.
• Brush cell berperan sebagai reseptor kemosensori yang menyerupai sel gustatori,
dengan komponen transduksi sinyal yang serupa dan kontak sinaptik dengan ujung saraf
aferen pada permukaan basalnya.
4. Small granule cell (atau Kulchitsky cell) :
• Sulit dibedakan dalam sediaan rutin (sulit ditemukan)
• Memiliki banyak granula inti padat dengan diameter 100-300 nm.
• Hanya sekitar 3% dari sel di epitel pernapasan.
5. Basal cell :

• Stem cell dan progenitor cell yang aktif secara mitosis yang memunculkan jenis sel
epitel lainnya.

2.2 FISIOLOGI MENELAN

DEGLUTISI (SWALLOWING)
Esofagus berfungsi dalam mengantarkan makanan dari mulut sampai ke lambung
(deglutinasi)
Tahapan :
1. Voluntary oral stage
2. Involuntary pharyngeal stage
3. Involuntary esophageal stage

FASE VOLUNTER
- Ketika bolus ada di mulut dan siap untuk ditelan  lidah mendorong & menekan
bolus ke palatum menuju orofaring
- Mengaktifkan reseptor untuk inisiasi reflex menelan

FASE INVOLUNTER PHARYNGEAL STAGE


- Elevasi ovula ke arah posterior nares  mencegah makanan masuk rongga hidung
- Lidah menekan hard palatum  mencegah makanan masuk kembali ke mulut
- Vocal cord tertutup  epiglottis melipat ke arah glottis yang tertutup  mencegah
makanan tidak masuk trakea
- Otot-otot faring berkontraksi  mendorong bolus ke upper esophageal sphincter
yang terbuka  untuk menuju ke esophagus
- Setelah bolus ada di esophagus, upper esophageal sphincter kembali tertutup 
vocal fold terbuka  pernapasan kembali terjadi

FASE INVOLUNTER ESOPHAGEAL STAGE


- Muncul primary peristaltic wave mendorong bolus ke lower esofagus  melewati
lower esophageal sphincter  lambung
- Jika bolus terlalu besar  bolus menstimulasi stretch receptor di dinding esofagus
- Muncul secondary peristaltic wave  mendorong bolus melewati lower esophageal
sphincter  lambung

SWALLOWING
1. Fase volunter
• Bolus makanan didorong/pushed oleh lidah ke hard palate dan posterior menuju
orofaring.
• Tekanan bolus merangsang reseptor tekanan faring,yang mengirim impuls aferen
melalui CN V dan CN IX ke pusat menelan yang berada di medula batang otak
• Di sana, mereka memulai potensi aksi di neuron motorik, yang melewati saraf
trigeminal (V), glossopharyngeal (IX), vagus (X), dan aksesori (XI) Soft palate dan pharynx

2. Fase pharyngeal
Tahap oropharyngeal terdiri dari memindahkan bolus dari mulut melalui faring dan ke
kerongkongan. Ketika lidah mendorong bolus ke dalam faring,terdapat events terkoordinasi
berikut mencegah bolus dari memasuki saluran pernapasan dan mengarahkannya ke
kerongkongan
• Swallowing center menginhibisi respiratory center
• Elevasi dari uvula dan soft palate untuk mencegah makanan masuk ke nasal
passageways
• Lidah akan menempel pada hard palate untuk mencegah makanan kembali masuk
kedalam mulut
• Vestibular folds dan voval cords akan menutup
• Epiglottis akan melipat (folds over) dan menutup glottis
Kontraksi otot-otot faring menyebabkan terdorongnya bolus menuju pharyngoesophageal
sphincter menuju esophagus

3. Fase esophageal
Terdapat 2 gerakan peristaltic di esophagus yaitu : Primary peristalsis and secondary
peristalsis.
a. Primary peristalsis
• Pusat menelan memicu gelombang peristaltik primer yang menyapu/mendorong
makanan dari awal hingga akhir kerongkongan, memaksa bolus di depannya menuju
lambung.
• Istilah peristaltic mengacu pada kontraksi seperti cincin dari otot polos melingkar
yang bergerak maju secara progresif,dan mendorong bolus ke area rileks menjelang
kontraksi
b. Secondary Peristalsis
• Gelombang peristaltik sekunder diinisiasi sebagian oleh sirkuit saraf intrinsik di
sistem saraf mienterika dan sebagian oleh refleks yang dimulai di faring dan kemudian
ditransmisikan ke atas melalui serabut aferen vagal ke medulla dan kembali lagi ke esofagus
melalui serabut saraf eferen glossopharyngeal dan vagal.
• Jika bolus tertelan besar atau lengket, gagal dibawa ke lambung oleh gelombang
peristaltik primer, bolus yang bersarang akan menyebabkan distensi dari esofagus,
merangsang reseptor peregangan di dalam dindingnya.
• Menanggapi rangsangan, pleksus saraf intrinsik pada titik distensi, memulai
gelombang peristaltik tambahan untuk membersihkan bolus yang bersarang

2.3 Mikrobiologi Corynebacterium

Mikrobiologi Corynebacterium Diphteriae


Corynebacterium
 Memiliki ukuran 0.3 - 0.8 × 1.0 to 8.0μm
 Termasuk dari genus Corynebacterium, yang memiliki ciri ciri berupa:
o Memiliki lebih dari 100 species dan subspecies
o Memiliki dinding sel dengan arabinose, galactose, mesodianophelic acid, dan short-
chain mycolic acid

o Pada pewarnaan gram berbentuk club shaped


o Tidak bersifat acid fast
o bersifat nonmotile dan catalase positive
o Pada blood agar colony Corynebacterium berukuran 1-2mm dan bersifat
nonhemolytic
o pada umumnya bersifat aerobic, ada beberapa yang bersifat facultative anaerob
o most species Corynebacterium dapat melakukan fermentasi karbohidrat dan
menghasilkan byproduct berupa lactic acid
o C. diphtheria dapat memproduksi exotoxin dan menyebabkan diphtheria
o Corynebacteria lain merupakan bakteri commensal nonpathogenic yang berada di
pharynx, nasopharynx, distal urethra dan kulit
o 3 genera yang menyebabkan penyakit pada manusia berupa Arcanobacterium, Rothia,
Trophyrema
Corynebacterium diptheriae
 Taksonomi :
o Kingdom: Bacteria
o Filum : Actinobacteria
o Ordo : Actinomycetales
o Famili : Corynebacteriaceae
o Genus : Corynebacterium
o Species : Corynebacterium diphteriae
 Memiliki ciri ciri dan morfologi berupa:

o Memiliki irregular swelling pada salah satu ujungnya yang menyebabkan berbentuk
club shaped dan sering menempel satu sama lain setelah melakukan pembelahan yang
akan membentuk “Chinese letter” atau susunan palisade
o Memiliki granul yang tersebar secara irregular yang terwarnai dengan pewarnaan
aniline berupa metachromatic granules, menyebabkan berbentuk beaded appearance
o Bersifat aerob
o Pada pewarnaan gram memiliki hasil gram positive
o Pada blood agar, koloni C. diptheriae berupa small, granular, dan grey dengan ujung
irregular dan memiliki zona hemolysis
 Toksin :
o Toksigenisitas diatur oleh tox+ phage (alfa lysogenic beta phage)
o Produksi toksin hanya terjadi ketika bacillus terinfeksi (lysogenic) oleh virus tertentu
(bacteriophage) yang membawa informasi genetik untuk toksin (tox gene)
o Polipeptida 62.000 Da yang labil terhadap panas, single chain
o Bersifat letal pada dosis 0,1 mikrogram/kg
o Klasifikasi :
a. Fragmen B : berikatan dengan reseptor permukaan sel >> memfasilitasi transport
framen A ke sitosol
b. Fragmen A : katalisis NAD+ dependent ADP-ribosylation of elongation factor 2
>> inhibisi sintesis protein pada sel eukariotik
 Faktor yang mempengaruhi produksi toksin :
o Besi : 0,14 mikrogram/mL medium
o Tekanan osmotik
o Asam amino
o pH
o nitrogen
o karbon

o Pada agar yang mengandung potassium tellurite, koloni C. diptheriae memiliki ciri
ciri berwarna coklat hingga hitam dengan brown black halo diakibatkan tellurite di
reduksi secara intracellular
o Memiliki 4 biotypes yang dapat memproduksi exotoxin potent berupa gravis, mitis,
intermedius dan belfanti, dengan yang paling sering menyebabkan penyakit berupa
mitis
 Epidemiologi
o Sebelum adanya imunisasi, diphtheria merupakan penyakit yang paling sering
menyerang pada anak anak
o Penyebaran secara epidemic terbesar terjadi pada tahun 1990-1995 menyebabkan
lebih dari 157.000 kasus dan lebih dari 5.000 kematian
o Di US, sebelum dikenalkannya vaksin pada tahun 1920, insidensi respiratory disease
yang disebabkan oleh C. diphtheria sebanyak 100-200 kasus per 100.000 populasi,
dan telah menurun sejak dikenalkannya vaksin hingga 0,001 kasus per 100.000
populasi
o Paling sering menyerang pada anak dibawah 5 tahun dan dewasa di atas 40 tahun

 Pathogenesis
 Clinical Disease
o Gejala terjadinya diphtheria ditentukan oleh:
 Site of infection
 Status immune dari pasien
 Virulence dari organism
o Menimbulkan asimptomatis pada paparan C. diphtheria pada pasien dengan fully
immune, mild respiratory disease pada partially immune patient atau fulminant dan
fatal pada nonimmune patients
o Respiratory diphtheria
 Gejala diphtheria muncul 2-4 hari setelah inkubasi
 Diakibatkan oleh miltiplikasi C. diphtheria di epithelial cell di pharynx atau
struktur terdekat
 Menimbulkan gejala berupa sudden onset malaise, sore throat, exudative
pharyngitis dan low-grade fever
 Exudate dapat membentuk pseudomembrane terdiri dari bacteria,
lymphocytes, plasma cell, fibrin dan dead cells dapat meluas dari
nasopharynx hingga larynx dan dapat menempel dengan struktur sekitar dan
susah untuk dilepas tanpa menimbulkan tissue bleeding
o Cutaneous diphtheria
 Laboratory diagnosis
o Microscopy
o Culture
 Specimen dikoleksi dari nasopharynx dan di aplikasikan ke agar plate dan
selective medium berupa Cysteine-tellurite blood agar (CTBA), tinsdale
medium, Colistin-nalidixic agar (CAN)
 C. diphtheria dapat menyebabkan degradasi dari Cysteine pada CTBA
sehingga menyebabkan produksi warna grey hingga hitam pada agar
o Identifikasi enzyme cysteinase dan ketidakadaanya pyrazinamidase
o Toxigenicity testing
 Bertujuan untuk mendeteksi exotoxin
 Gold standar untuk C. diphtheria berupa in vitro immunodiffusion assay
(Elek test)

Alternative method dapat berupa PCR-based nucleic acid amplification method untuk mendeteksi Tox
gene
2.4 Difteri
Definisi :
Manson 
penyakit infeksi akut pada tonsils, pharynx, larynx atau hidung, dan terkadang pada mucous
membranes atau kulit lainnya, yg disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae.
Richard 
Diphtheria : penyakit yg disebabkan oleh infeksi Gram-positive bacillus Corynebacterium
diphtheriae yg membawa lysogenic bacteriophage yg mengandung gen yg mengkode
diphtheria toxin.
Hunter 
penyakit menular akut yang disebabkan oleh strain penghasil toksin Corynebacterium
diphtheriae, gram-positive rod. Penyakit ini terutama menyerang mucous membrane upper
respiratory tract (nostril, pharynx, tonsils, or larynx), kulit dan, sangat jarang, mucosal
membrane conjunctiva, vagina, atau telinga).
Pengertian dari kemenkes

Epidemiologi

Manson 
Epidemics : disebabkan oleh susu yg terkontaminasi oleh human carrier.
Richard 
 Antara 70.000 dan 90.000 kasus difteri dilaporkan setiap tahun selama tahun 1970-an
(WHO);
 pada tahun 1990-an, ini telah menurun menjadi 22.000–27.000 kasus setiap tahun,
mewakili penurunan di seluruh dunia sekitar 70% selama periode 20 tahun.
 Diphteria epidemik di kalangan remaja dan dewasa muda dan terdapat di sejumlah negara
seperti Yordania, Lesotho, Aljazair, China, Ekuador, dan Afganistan.
Kemenkes 
 Penyakit difteri tersebar di seluruh dunia.
 Pada tahun 2014,  7.347 kasus dan 7.217 kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-
negara anggota WHO South East Asian Region (WHO-SEAR).
 Di Indonesia  775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya
jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR).
 Jumlah kasus Difteri di Indonesia  sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan
dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016).
 jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016 (100 kabupaten/kota)
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada tahun
2015 (89 Kabupaten/ Kota).

Etiology
Agent penyebab : C. diphtheriae
Karaktesitik : pleomorphic, nonmotile, Gram-positive bacillus.
Media  yang berisi tellurite  primary isolation.
Pada mikroskop : C. diphtheriae menunjukan pleomorphism yg cukup besar, mulai dari
bentuk classical club ke long slender bacilli. Susunan organisms pada smear menyerupai
Chinese letters.
Ada 4 biotypes : gravis, mitis, intermedius, dan belfanti (dapat dibedakan berdasarkan
morfologi kolonil pada tellurite blood agar dan biochemically.

Patogenesis dan Patofisiologi


Manifestasi Klinis
Setelah masa inkubasi 2-5 hari, diphtheria muncul dalam berbagai bentuk yg berbeda
tergantung pada lokasi pseudomembrane.
Grey-white membrane  hallmark infeksi.  disebabkan oleh efek destruktif dari toxin
epithelial cells. Membrane terdiri dari coagulum of leukocytes, bacteria, cellular debris dan
fibrin. Kemudian melekat pada jaringan di bawahnya dan berdarah jika ditarik. P
Dibagi menjadi : cutaneous, nasal, faucial, tracheolaryngeal dan malignant diphtheria.
a. Faucial diphtheria
Paling umum
b. Cutaneous Diphteria
relatif jarang di daerah endemik
c. Anterior nasal diphtheria
 Gejala utamanya : nasal discharge (100%).
 Biasanya unilateral, tipis pada awalnya, dan kemudian purulent dan berdarah dengan
ekskoriasi nostril dan kulit di atas bibir atas.
 Sering terjadi pada bayi.
 Biasanya mild.
d. Faucial diphtheria
 paling umum.
 Onset biasanya lambat, moderate fever, malaise dan nyeri tenggorokan (80%).
 Gejala lain : include nausea, vomiting dan painful dysphagia. Biasanya ada patch atau
patches of greyish-yellow adherent membrane dengan zona inflamasi berwaran merah di
sekitar satu atau kedua tonsil.
 Pada awal penyakit, dapat terlihat seperti semua jenis tonsillitis, dengan adanya small
spot/bercak membran kecil pada salah satu tonsil. Membran tersebut dapat meluas ke
uvula, soft palate, oropharynx, nasopharynx atau larynx. Lymph nodes di leher membesar
dan nyeri, dan leher mungkin sedikit membengkak. Fetor diphteria merupakan ciri khas dan
pernah menjadi salah satu dari empat kriteria diagnosis klinis (membrane, fetor,
lymphadenitis, oedema).
Tracheolaryngeal diphtheria
 Diphtheria larynx  biasanya secondary akibat faucial diphtheria (85%). Kadang2, tidak
ada membrane di pharynx. Gejala awal terdiri dari moderate fever (75%) dengan
hoarseness (100%), unproductive cough dan dyspnoea. Obstruksi pernapasan oleh
membran yg meluas/mengembang dan edema terjadi secara bertahap selama sekitar 24
jam. Terkadang membrane detaches/terlepas, menyebabkan acute respiratory obstruction.
Anak yg terkena dampak yg parah terlihat gelisah, ketakutan, tetapi diam, berkeringat, dan
cyanotic.
 Otot accessory pernapasan,  digunakan dengan adanya retraksi supraclavicular,
substernal dan intercostal tissues pada saat inspirasi.
 Jika tidak dilakukan tracheostomy  anak akan mati lemas dan mati.
Malignant diphtheria
 bentuk difteri yang paling parah.
 Onsetnya lebih akut daripada bentuk lainnya.
 Pasien menjadi 'toxic' dengan cepat, dengan demam tinggi, denyut nadi cepat, tekanan
darah rendah dan cyanosis. Biasanya, perluasan membrane lebih cepat, menyebar dari
tonsil ke uvula, kemudian menjalar ke depan melintasi hard palate, kemudian naik ke
nasopharynx,, atau kadang-kadang turun ke nostril. Cervical adenitis dan oedema
menghasilkan classical ‘bull neck’ appearance. Pasien mungkin berdarah dari mulut, hidung
dan kulit.
Cutaneous diphtheria
 Infeksi kulit dengan C. diphtheriae sekarang lebih umum daripada penyakit nasofaring di
Barat. Ini terutama mempengaruhi gelandangan (vagrants ) dan pecandu alkohol yang
hidup dalam kondisi tidak higienis.
 Gambaran klinis terdiri dari simple pustule ke chronic non-healing ulcer dengan membran
abu-abu kotor. Komplikasi toksik dari infeksi ini jarang terjadi, dan jika terjadi, lebih
mungkin bermanifestasi sebagai neuritis daripada miokarditis.
 Lokasi lain : dapat terjadi situs lain seperti telinga, conjunctiva atau vagina.
Manifestasi Klinis Lain

Frekuensi dan tingkat keparahan penyakit bergantung pada tempat infeksi, ukuran pseudo-
membran, durasi penyakit, dan riwayat imunisasi pasien. :
a. Respiratory diphtheria
Paling sering di tonsillopharyngeal area, terdiri dari : posterior pharynx, soft palate,
periglottal area, uvula, dan tonsillar mucosa
Tanda gejala :
 low-grade fever
 nyeri tenggorokan
 nyeri ketika menelan
 hoarseness of voice,
 pharyngeal injection,
 nasal discharge,
 cough,
 malaise, dan prostration.
 Terdapat patches yang dapat meluas dan menyatu membentuk membran
whiteto-dirty-gray, di satu atau kedua tonsil, nasopharynx, uvula, dan soft palate,
dan dapat meluas ke larynx dan trachea.
 Pada kasus parah : cervical lymph nodes membesar dan lunak, dan ada edema
jaringan lunak cervical disekitarnya  bull-neck appearance.
 Cervical swelling  kompresi eksternal saluran pernapasan dan respiratory
stridor.
 Perluasan pseudo-membrane dari pharynx ke larynx  mengakibatkan
obstruksi jalan napas yg mengancam jiwa.
 Jika pseudo-membrane dihilangkan : dapat terjadi pendarahan in bleeding at
the site.
 Dengan pengobatan atau pengendalian infeksi, membran dapat mengelupas dari
vascular mucosal bed, mengakibatkan perdarahan; membran yang terkelupas
dapat terbatuk atau menyebabkan sesak napas dan kematian.

1. laryngeal / tracheobronchial mucosa :


dapat menjadi tempat utama infeksi atau terjadi sebagai perluasan membran
tonsilofaringeal ke bawah.
- Jarang terjadi
- Tanda : hoarseness dan stridor, dyspnea, dan batuk yg keras. Edema dan
pemebentukan membran yg melibatkan larynx / trachea dan bronchi 
mempersempit lumen saluran napas. Pada anak dan bayi  dyspnea, kelelahan, dan
kematian.
2. Nasal mucosa
- Sering pada bayi dan anak
- Tanda : sekret hidung mucoid, serosanguineous, atau mucopurulent  dapat
menyebabkan reaksi erosif pada external nares dan upper lip (nasal diphtheria).
dirty-white membrane  di nasal septum dan kadang2 dpt meluas ke pharynx

b. Cutaneous diphtheria :
- Lebih sering terjadi pada iklim tropis dan berkaitan dengan adanya kolonisasi lesi
kulit yang sudah ada sebelumnya, seperti luka bedah, pioderma, eksim, luka bakar,
impetigo, psoriasis, dan gigitan serangga
- Tanda : single atau multiple punched-out ulcers (ulkus berlubang) dengan tepi yg
keluar dan dirty-gray atau black adherent pseudo-membrane diatas dasarnya. C
- Lokasi lesi : kaki bagian bawah, telapak kaki, dan tangan If untreated, cutaneous
diphtheria may persist for months.
- Pelepasan C. diphtheriae dari lesi kulit terjadi dalam waktu yang lebih lama
daripada dari kolonisasi saluran pernapasan, dan eksudat dari difteri kulit dapat
mencemari lingkungan dan penyebaran orang ke orang di negara tropis.
- Lokasi lain : conjunctiva, auditory canal, dan vulva.
Transmisi
Rerevior C. diphtheriae : manusia.
ditularkan melalui direct person-to-person contact  baik dari orang yg bergejala diphteria
maupun asymptomatic carriers dapat menularkan organisme tersebut (orang yg bergejala
lebih menular dibanding carrier). : melalui inhalasi respiratory droplets, atau melalui kontak
langsung dengan sekresi pernapasan, lesi kulit yang terinfeksi, atau fomit.
Dapat terjadi wabah jika ditularkan melalui susu / milk-borne outbreaks.
Faktor risiko : Faktor yg berkontribusi pada penyebaran epidemi :
 penurunan cakupan vaksinasi di antara anak-anak
 mobile population
 delayed recognition and response
 infrastruktur perawatan kesehatan yang buruk.

Diagnosis

kasus observasi difteri yang ditemukan tersebut akan dilakukan skrining oleh klinisi untuk
menetapkan diagnosis suspek difteri atau bukan.
Klinisi : spesialis Anak, Penyakit Dalam dan THT yang menjadi anggota Komite Ahli Difteri
dan telah mendapat sosialisasi tentang diagnosa serta tatalaksana penyakit difteri
Klasifikasi kasus difteri:
1. Kasus konfirmasi laboratorium adalah kasus suspek difteri dengan hasil kultur positif strain
toksigenik.
2. Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi adalah kasus suspek difteri yang mempunyai
hubungan epidemiologi dengan kasus konfirmasi laboratorium.
3. Kasus kompatibel klinis adalah kasus suspek difteri dengan hasil laboratorium negative,
atau tidak diambil specimen, atau tidak dilakukan tes toksigenisitas, dan tidak mempunyai
hubungan epidemiologi dengan kasus konfirmasi laboratorium
4. Discarded adalah kasus suspek difteri yang setelah dikonfirmasi oleh Ahli tidak memenuhi
kriteria suspek difteri.

Tujuan surveilans difteri


1. Melakukan deteksi dini kasus difteri
2. Melakukan Penyelidikan Epidemiologi setiap suspek difteri untuk mencegah
penyerbaran difteri yang lebih luas.
3. Menyediakan informasi epidemiologis untuk memonitor tindakan pencegahan dan
penanggulangan serta penyebaran kasus difteri di suatu wilayah
4. Sebagai evaluasi keberhasilan program imunisas
Kegiatan Surveilans
1. Deteksi dini kasus dan pencatatan
dilaksanakan di semua fasilitas pelayanan kesehatan baik tingkat primer sampai tingkat
rujukan akhir, baik pemerintah maupun swasta.
a. kasus observasi difteri  dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan
dan secara bersamaan dinas kesehatan kabupaten/kota mengkonsultasikan ke ahli
untuk menegakkan diagnosis menggunakan Form DIF-6.
b. Apabila kasus suspek difteri, maka harus mendapatkan perawatan sesuai dengan
protokol tatalaksana kasus difteri dan diambil spesimennya sebelum diberikan
antibiotik (jika memungkinkan).
c. Selanjutnya dinas kesehatan kabupaten/kota bersama dengan Puskesmas setempat
melakukan pelacakan terhadap suspek kasus difteri tersebut dengan menggunakan
formulir pelacakan epidemiologi kasus difteri (Form DIF-1) dan dinas kesehatan
kabupaten/kota melaporkan hasil pelacakan epidemilogi (Form DIF-1) ke dinas
kesehatan provinsi.

d. setiap kasus suspek difteri yang sudah dilakukan pelacakan epidemiologi dan dicatat
di form DIF-1 kemudian direkap menggunakan formulir list kasus difteri individu
(Form DIF-3) di setiap bulan.
2. Identifikasi Kontak erat
Kontak erat : semua orang yang pernah kontak dengan kasus suspek difteri sejak 10 hari
sebelum timbul gejala sakit menelan sampai 2 hari setelah pengobatan (masa
penularan)
Kategori kontak erat adalah:
 Kontak erat satu rumah: tidur satu atap
 Kontak erat satu kamar di asrama
 Kontak erat teman satu kelas, guru, teman bermain
 Kontak erat satu ruang kerja
 Kontak erat tetangga, kerabat, pengasuh yang secara teratur mengunjungi rumah
 Petugas kesehatan di lapangan dan di RS
 Pendamping kasus selama dirawat
Setiap kontak erat dari kasus suspek difteri harus teridentifikasi pada form DIF-1, formulir
monitoring harian kontak erat minum kemoprofilaksis (Form DIF-2), dan formulir monitoring
kontak erat (Form DIF-7c).
Tata Laksana Kontak erat Kasus
 untuk pengendalian KLB difteri.
 Orang yang paling potensial tertular difteri adalah mereka yang pernah kontak erat dengan
kasus difteri sejak 10 hari sebelum timbul gejala sakit tenggorok sampai 2 hari setelah
pengobatan (masa penularan), melalui percikan ludah saat berbicara atau bersin/batuk
dengan jarak sekitar 1 meter.
 setiap kontak erat diberikan kemoprofilaksis / antibiotik untuk mencegah
perkembangbiakan kuman dan produksi toksin tidak terbentuk.
1. Monitoring timbulnya gejala sakit tenggorok sampai 10 hari yang akan datang.
2. Pemberian antibiotik sebagai kemoprofilaksis sebagai berikut :
Pengobatan profilaksis
Benzathine penicillin : diformulasikan dari 2 molekul penicillin G yg bereaksi dengan
diphenylethylene diamine.
 Aktif melawan bakteri gram positif, termasuk beta hemolytic streptococci (groups A, B,
C, G, H, L, and M) serta Treponema pallidum dan T. carateum.
 Class : beta-lactam antimicrobial
MOA : menghambat biosintesis dinding sel peptidoglycan selama tahap multiplikasi aktif.
Akan menghambat bacterial peptidoglycan transpeptidase  mengakibatkan dinding sel yg
tidak stabil secara osmotik, menyebabkan lisis dinding sel, menghancurkan sel bakteri, dan
kematian sel bakteri.
Administrasi : Suspensi injeksi yg diberi intramuskular
 Pada orang dewasa : upper outer quadrant of the buttocs
 Pada anak2 : < 2 tahun, injeksi ke mid-lateral muscle of thigh, bukan daerah gluteal.
Indikasi
Untuk melawan : Gram-positive bacteria, termasuk beta-hemolytic streptococci (groups A, B,
C, G, H, L, and M) serta Treponema pallidum dan T. carateum.

FDA-approved to treat the following:


Adult
 Upper respiratory infection, group A streptococci
 Secondary prevention of glomerulonephritis
 Secondary prevention of rheumatic fever
 Pharyngitis, group A streptococci (Infectious Diseases Society of America [IDSA]
guidelines)
 Acute and chronic carrier treatment
 Syphilis (CDC)
 Primary, secondary, and early latent (less than 1-year duration)
 Late latent, latent with unknown duration, or tertiary syphilis (with normal
cerebrospinal fluid examination)
 Neurosyphilis, including ocular syphilis (not indicated for use)
 Yaws, bejel, and pinta
Pediatric
 Upper respiratory infection, group A streptococci (e.g., pharyngitis)
 Primary prevention of rheumatic fever
 Secondary prevention of rheumatic fever
 Pharyngitis, group A streptococci (IDSA)
 Acute and chronic carrier state
 Syphilis (off-label population) (CDC)
 Primary, secondary, and early latent (less than 1-year duration)
 Late latent
FDA Labeled Indications
 Acute glomerulonephritis
 Respiratory tract infections
 Rheumatic fever and chorea
 Rheumatic heart disease
 Syphilis and another venereal disease
Kontraindikasi
reaksi anafilaksis sebelumnya atau reaksi kulit serius terhadap penisilin apa pun, misalnya
Steven-Johnson atau nekrosis epidermal toksik.
Efek Samping
 Nyeri akibat disuntik
 Reaksi hipersensitivitas (Pasien dengan riwayat hipersensitivitas sebelumnya terhadap
penisilin atau mereka yang memiliki riwayat asma, demam, alergi, atau urtikaria, berisiko
lebih tinggi mengalami reaksi hipersensitivitas.)

Farmakokinetik
Konsentrasi Penisilin di sebagian besar jaringan sama dengan yang ada di serum.
Penisilin juga diekskresikan ke dalam sputum dan ASI hingga kadar 3-15% dari yang
ada di serum. Penisilin dengan cepat diekskresikan oleh ginjal; sejumlah kecil
diekskresikan melalui rute lain. Sekresi tubular  sekitar 90% dari ekskresi ginjal, dan
filtrasi glomerulus sisanya.
opaque dan viscous with very low solubility  Oleh karena itu, antimikroba dilepaskan
secara perlahan dari tempat injeksi dan dihidrolisis menjadi penisilin G. (Karena
penyerapan dan hidrolisis yang lambat, konsentrasi obat dalam darah tetap rendah
tetapi untuk jangka waktu yang lama)
Erytromicin (etil suksinat)
Erythromycin ethylsuccinate : merupakan erythromycin derivative yaitu erythromycin A
dimana gugus hydroxy pada posisi 3R disubstitusi oleh (4-ethoxy-4-oxobutanoyl) gugus
oxy. Itu merupakan : succinate ester, cyclic ketone, erythromycin derivate dan ethyl
ester.
Definisi lain : adalah bentuk ethylsuccinate salt dari erythromycin, broad-spectrum,
topical macrolide antibiotic dengan antibacterial activity.
Erythromycin ethylsuccinate berdifusi memalui membran sel bakteri dan secara
reversibel berikatan dengan subunit 50S ribosom bakteri  mencegah sintesis protein
bakteri. Erythromycin ethylsuccinate dapat bersifat bacteriostatic atau bactericidal,
bergantung pada konsentrasi obat di tempat infeksi dan kerentanan organisme yg
terlibat.
Class : macrolides
Erythromycin adalah obat antibiotik bakteriostatik yang diproduksi oleh strain
Saccharopolyspora erythraea (sebelumnya Streptomyces erythraeus) dan termasuk
dalam kelompok antibiotik makrolida yang terdiri dari Azithromycin, Clarithromycin,
Spiramycin dan lain-lain.
Digunakan untuk : mengobati berbagai infeksi, termasuk yang disebabkan oleh bakteri
gram positif dan gram negatif.
Ini tersedia untuk pemberian dalam berbagai bentuk, termasuk persiapan intravena,
topikal, dan tetes mata
Administrasi : intravena, topikal, dan eye drop preparation.
MOA :
Merupakan bacteriostatic antibiotic,  mencegah pertumbuhan bakteri lebih lanjut dari
pada menghancurkannya secara lansung. Tindakan tersebut terjadi dengan
menghambat sintesis protein. Erythromycin berikatan dengan molekul 23S ribosomal
RNA di 50S subunit bacterial ribosome  menyebabkan penyumbatan dalam sintesis
rantai peptida  menghambat sintesis protein.

Absorption:
di non aktifkan oleh asam lambung.
Tablet oral harus mengandung ester / stable salt dari struktur molecular atau
menjadi enteric-coated.
Mudah diabsorbsi melalui sistem pencernaan. Difusi ke berbagai jaringan dan
fagosit. ketika fagosit beredar dalam darah dan menginduksi fagositosis bakteri
berbahaya, eritromisin dilepaskan selama proses inadministered with food.
Distribution: sebagian besar terikat pada plasma protein, tetapi mudah berdifusi ke
sabgian besar cairan tubuh.
Terkonsentrasi di licer dan di eksresikan di empedu.
Metabolism: dimetabolisme sebagian besar di liver. The liver metabolizes most of
the administered erythromycin. mengalami demetilasi melalui sistem cytochrome
P450 system, terutama enzyme CYP3A4.
Excretion:
Dieksresi terutama melalui bile dan sebagian kecil oleh renal excretion.
half-life : 1.5 hours - 2 hours.
Indikasi
Aktif melawan :
 susceptible strains Gram-positive organisms, terutama : pneumococci, streptococci,
staphylococci, dan corynebacteria. Mycoplasma pneumoniae, L pneumophila, Chlamydia
trachomatis, Chlamydophila psittaci, Chlamydophila pneumoniae, H pylori, Listeria
monocytogenes, dan mycobacteria (Mycobacterium kansasii, Mycobacterium scrofulaceum)
.
 Gram-negative organisms : Neisseria sp, Bordetella pertussis, Bartonella henselae, dan
Bartonella quintana dan Rickettsia species, Treponema pallidum, dan Campylobacter
species.
a) Infeksi corynebacterial (diphtheria, corynebacterial sepsis, erythrasma) dan respiratory,
neonatal, ocular,atau genital chlamydial infections.
b) community-acquired pneumonia
Kontraindikasi
 hypersensitivity pada obat ini.
 Pasien dengan prolonged QT interval pada electrocardiogram (ECG)
 QT-prolonging drugs seperti erythromycin.
 pada pasien yang memakai terfenadine, astemizole, atau cisapride.
Efek Samping
Anorexia, nausea, vomiting, dan diarrhea  sering, which is due to a direct stimulation
of gut motility, is the most common reason for selecting an alternative to erythromycin.
Other allergic reactions include fever, eosinophilia, and rashes.
3. Setiap kelompok kontak erat memiliki Pemantau Minum Obat (PMO) yang bertugas
memastikan obat diminum setiap hari.
PMO : berasal dari petugas kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, guru dan
sebaiknya tidak berasal dari keluarga.
4. Jika timbul keluhan akibat pemberian kemoprofilaksis  keluarga kasus agar segera
membawa kasus ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat
5. Pemberian Imunisasi difteri kepada kontak erat dilakukan pada saat penyelidikan
epidemiologi, sesuai umur dan status Imunisasi
a) < 3 dosis atau tidak diketahui, pada anak usia:
• < 1 th: segera lengkapi imunisasi dasar sesuai jadwal
• 1 - 6 th: lengkapi imunisasi dasar (3 dosis) dan imunisasi lanjutan.
• ≥ 7 th: berikan 3 dosis dengan interval waktu 1 bulan antara dosis pertama dan kedua,
dan 6 bulan antara dosis kedua dan ketiga.
b) ≥ 3 dosis, dosis terakhir > 5 tahun: Berikan 1 dosis imunisasi ulangan difteri
c) ≥ 3 dosis, dosis terakhir < 5 tahun:
• Anak yang belum mendapat imunisasi difteri dosis ke 4: berikan dosis ke 4,
• Anak yang sudah mendapat imunisasi difteri dosis ke 4: tidak perlu diberikan
imunisasi
3. Pelaporan dan umpan balik
Semua unit pelapor baik pemerintah maupun swasta, wajib melaporkan kasus difteri
secara berjenjang. Pelaporan kasus difteri dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Pelaporan 24 jam
 Puskesmas melaporkan kasus observasi difteri  Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dalam kurun waktu 1 x 24 jam sejak laporan diterima menggunakan form W1 melalui
mekanisme pelaporan yang ditentukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota  dinas
kesehatan kabupaten/kota atau dinas kesehatan provinsi mengkonsultasikan ke tim ahli
provinsi dalam kurun waktu 1 x 24 jam sejak laporan diterima menggunakan form DIF-
6.
 Rumah sakit (baik pemerintah maupun swasta) dan fasilitas pelayanan kesehatan
swasta (Klinik Kesehatan) melaporkan kasus observasi difteri  Dinas Kesehatan
Kabupaten/kota setempat dalam kurun waktu 1 x 24 jam sejak laporan diterima
menggunakan formulir notifikasi Rumah Sakit tentang pemberitahuan penderita suspek
Difteri (Form DIF-5) melalui mekanisme pelaporan yang ditentukan oleh dinas
kesehatan kabupaten/kota  dinas kesehatan kabupaten/kota atau dinas kesehatan
provinsi mengkonsultasikan ke tim ahli provinsi dalam kurun waktu 1 x 24 jam sejak
laporan diterima menggunakan form DIF-6.
 Dinas kesehatan provinsi melaporkan kasus suspek difteri yang telah diverifikasi oleh
tim ahli provinsi  pusat dalam kurun waktu 1 x 24 jam sejak laporan diterima
menggunakan form W1 melalui email epidataino@gmail.com cc poskoklb@yahoo.com /
klb.posko@gmail.com.
b. Pelaporan mingguan
 Dinas kesehatan kabupaten/kota melaporkan setiap kasus suspek difteri  dinas
kesehatan provinsi paling lambat setiap hari Kamis di setiap minggunya menggunakan
form W2 dan melampirkan form DIF-1
 Dinas kesehatan provinsi melaporkan setiap kasus suspek difteri  pusat paling lambat
setiap hari Jumat di setiap minggunya dengan melampirkan form W2 dan form DIF-1
melalui email epidataino@gmail.com cc poskoklb@yahoo.com / klb.posko@gmail.com
c. Pelaporan bulanan
 Dinas kesehatan kabupaten/kota merekap setiap kasus suspek difteri yang sudah
tercatat di form dif-1  formulir list kasus difteri kabupaten (form DIF-3) 
melaporkan ke dinas kesehatan provinsi paling lambat setiap tanggal 5 di setiap
bulannya.
 Dinas kesehatan provinsi merekap setiap kasus suspek difteri yang bersumber dari form
DIF-3 masing-masing Kabupaten/Kota  formulir list kasus difteri provinsi (form DIF-
3)  melaporkan ke pusat paling lambat setiap tanggal 15 di setiap bulannya melalui
email epidataino@gmail.com cc poskoklb@yahoo.com / klb.posko@gmail.com.
4. Analisa data
Analisa data kasus difteri tingkat provinsi dan kabupaten dilakukan menurut variabel :
 Berdasarkan waktu: Untuk mengetahui kasus KLB masih berlangsung atau sudah
berhenti

 Berdasarkan tempat: Untuk mengetahui sebaran kasus difteri berdasarkan geografi


 Berdasarkan orang:

o Untuk memperkirakan gab imunity dan memperkirakan sasaran kelompok


umur ORI
o Membuat grafik berdasarkan grafik golongan umur, jenis kelamin dan status
Imunisas
5. Pemeriksaan dan Jejaring Laboratorium
6. Monitoring dan Evaluasi Surveilans Difteri
a. Monitoring
dilakukan di setiap tahap kegiatan surveilans epidemiologi difteri mulai penemuan
kasus, pelacakan dan tindak lanjut, untuk mengetahui:
 Sensitifitas penemuan kasus suspek difteri
 Kualitas pengambilan dan pengiriman spesimen
 Kualitas pelacakan kasus dan kontak erat
 Kualitas pemberian kemoprofilaksis terhadap kontak erat
 Kualitas tatalaksana kasus
 Kualitas pelaksanaan program Imunisasi (trend cakupan Imunisasi rutin, cakupan ORI,
manajemen rantai vaksin dan KIPI)
 Kualitas Pencatatan dan Pelaporan
b. Evaluasi dilakukan untuk :
 mengetahui keberhasilan intervensi yang sudah dilakukan
 identifikasi dini daerah risiko tinggi untuk diintervensi lebih lanjut, dapat dilakukan 3 –
6 bulan sekali.
Kejadian Luar Biasa Difteri
Dinyatakan KLB ketika :

Penetapan KLB  ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, kepala


dinas kesehatan provinsi atau menteri kesehatan.
Kebijakan Penanggulangan KLB
1. Setiap KLB  harus dilakukan penyelidikan dan penanggulangan sesegera mungkin
untuk menghentikan penularan dan mencegah komplikasi dan kematian.
2. Tatalaksana kasus di rumah
3. Setiap suspek Difteri dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan kultur.
4. kontak erat diberi kemoprofilaksis.
5. Kontak erat diberikan imunisasi pada saat penyelidikan epidemiologi.
6. Pengambilan spesimen pada kontak erat.
7. Setiap suspek Difteri dilakukan ORI (respon pemberian imunisasi pada KLB)
8. ORI dilanjutkan sampai selesai walaupun status KLB Difteri di suatu wilayah
kabupaten/kota dinyatakan telah berakhir.
9. Laporan kasus Difteri dilakukan dalam 24 jam secara berjenjang ke Ditjen P2P cq.
Subdit Surveilans.
Strategi Penanggulangan KLB Difteri
dilakukan untuk mencegah penyebaran KLB difteri pada area yang lebih luas dan
menghentikan KLB melalui kegiatan:
1. Penyelidikan epidemiologi KLB difteri
2. Pencegahan penyebaran KLB difteri dengan:
a. Perawatan dan Pengobatan kasus secara adekuat
b. Penemuan & Pengobatan kasus tambahanan
c. Tatalaksana terhadap kontak erat erat dari kasus suspek difteri
3. Komunikasi risiko tentang difteri dan pencegahannya kepada masyarakat
Edukasi tentang difteri dan pencegahannya terhadap masyarakat :
a. Pengenalan tanda awal difteri
b. Segera ke pelayanan kesehatan bila ada tanda dan gejala nyeri tenggorok, serta
menggunakan masker baik keluarga maupun kasus dan mengurangi kontak erat
dengan orang lain.
c. Jika masyarakat menduga mempunyai gejala difteri, sarankan ke mana harus
dirujuk.
d. Melakukan kebersihan diri yaitu mencuci tangan bagi setiap yang mengunjungi
kasus/pasien maupun keluarga.
e. Keluarga pasien disarankan berkonsultasi kepada petugas kesehatan untuk
mendapatkan Imunisasi difteri di Puskesmas atau pelayanan Imunisasi lainnya dan
jelaskan pentingnya Imunisasi rutin lengkap untuk mencegah difteri
4. Pelaksanaan Outbreak Response Immunization (ORI) di daerah KLB difteri
a. ORI dilaksanakan setelah dilakukan kajian epidemiologi.
Luas wilayah ORI : dilakukan satu kecamatan.
Jadwal ORI 3 kali dengan interval 0-1-6 bulan tanpa mempertimbangkan cakupan
imunisasi di wilayah KLB.
b. Jenis vaksin yang digunakan :
anak usia 1 - < 5 tahun  vaksin DPT-HB-Hib,
anak usia 5 – < 7 tahun  vaksin DT
anak usia > (lebih sama dengan) 7 tahun  vaksin Td
5. Untuk dapat memberikan kekebalan komunitas yang optimal maka cakupan ORI harus
mencapai minimal 90%
Pencabutan Status KLB

Monitoring dan Evaluasi Penyelidikan & Penanggulangan KLB Difteri


1. Pilih kabupaten/kota yang telah melaksanakan penyelidikan epidemiologi baik yang
sudah melaksanakan ORI maupun yang belum.
2. Pilih dua puskesmas yang mempunyai kasus difteri dalam 3 bulan terakhir.
3. Menggunakan formulir Monev sesuai dengan tingkat administrasi (kab/kota: lampiran
3; puskesmas: lampiran 4)
4. Lakukan kunjungan rumah kasus (bila kasus banyak pilih secara acak 1-2 kasus) untuk
mengetahui luas kontak erat, tata laksana kontak erat dan pengawasan minum obat
yang telah dilakukan (menggunakan formulir monitoring kontak erat: form DIF - 2)
5. Lakukan kunjungan ke tempat pelayananan imunisasi rutin dan atau ORI untuk
mengetahui cara penyimpanan vaksin terutama vaksin difteri.
6. Lakukan kunjungan dari rumah ke rumah (minimal 20 rumah) / Rapid Convenience
Assessment untuk melakukan verifikasi terhadap hasil pelaksanaan ORI (menggunakan
formulir RCA: lampiran 5).
Pelaporan Hasil Penyelidikan & Penanggulan KLB Difteri
1. Hasil penyelidikan epidemiologi: análisis besaran masalah termasuk faktor risiko
2. Penanggulangan yang telah dilakukan serta kendala (bila ada)
3. Rekomendasi untuk pengendalian jangka panjang.
Pencegahan Difteri melalui Imunisasi
Imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit Difteri
ada 3 macam, yaitu:
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan
Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).
4. Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:
a. Imunisasi dasar: Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan
interval 1 bulan.
b. Imunisasi Lanjutan:
 Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
 Anak Sekolah Dasar/Madrasah/sederajat kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
 Anak Sekolah Dasar/Madrasah/sederajat kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
 Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td, melalui skrining
status imunisasi tetanusnya terlebih dahulu.
Perlindungan optimal terhadap difteri di masyarakat dapat dicapai dengan cakupan
imunisasi rutin, baik dasar maupun lanjutan, yang tinggi dan merata, dengan cakupan
minimal 95% di setiap kabupaten/kota
TATALAKSANA PENDERITA DI RUMAH SAKIT
1. Tatalaksana Medik
▪ Dokter memutuskan diagnosis difteria berdasarkan gejala dan klinis.
▪ Pada kasus difteri tatalaksana dimulai dengan pemberian Anti Difteri Serum
(ADS) dan antibiotik tanpa perlu konfirmasi laboratorium (kultur baik swab/apus
tenggorok).
▪ Penderita difteria diisolasi sampai tidak menular yaitu 48 jam setelah pemberian
antibiotik. Namun tetap dilakukan kultur setelah pemberian antibiotik.
▪ Tatalaksana pada penderita difteri dewasa sama dengan tatalaksana penderita
difteri anak, yaitu:
A. Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)
- Secepat mungkin diberikan setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap ADS;
pemberian antitoksin secara dini sangat penting dalam hal kesembuhan.
- Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh karena
pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan
larutan adrenalin.
- Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm.
- Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka).
- Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus
secara intravena. - Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, berkisar
antara 20.000- 100.000 KI.
- Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%
dalam 1-2 jam.
- Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
- Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit
setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum
sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian
- Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
- Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit
setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum
sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian
B. Menegakkan diagnosis melalui kultur bakteri yang tepat
C. Pemberian antibiotika.
- Antibiotika Penicillin procaine IM 25.000-50.000 U/kg BB maks 1,5 juta selama
14 hari, atau Eritromisin oral atau injeksi diberikan 40 mg/KgBB/hari maks 2
g/hari interval 6 jam selama 14 hari (Antibiotik akan menghentikan produksi toksin dan
mencegah penyebaran organisme lebih lanjut di inang. C. diphtheriae rentan terhadap
berbagai antibiotic)
D. Perawatan suportif termasuk perhatian khusus untuk mempertahankan patensi
saluran napas bila terdapat membran laring atau faring ekstensif. Lakukan
penilaian apakah ditemukan keadaan gawat napas akibat obstruksi saluran napas
karena membran dan edema perifaringeal maka lakukan trakeostomi.
E. Observasi jantung ada/tidaknya miokarditis, gangguan neurologis, maupun ginjal
F. Kortikosteroid dapat diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas, dan bila terdapat penyulit miokarditis diberikan prednison 2
mg/KgBB selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.
G. Pada fase konvalesens diberikan vaksin difteri toksoid disesuaikan status imunisasi
Penderita

2. Pemulangan Penderita
▪ Setelah pengobatan tetap dilakukan pengambilan kultur pada Penderita (sebaiknya
pada hari ke 8 dan ke 9 pengobatan).
▪ Apabila klinis Penderita setelah terapi baik (selesai masa pengobatan 10 hari),
maka dapat pulang tanpa menunggu hasil kultur laboratorium.
▪ Sebelum pulang penderita diberi penyuluhan komunikasi risiko dan pencegahan
penularan oleh petugas.
▪ Setelah pulang, Penderita tetap dipantau oleh Dinas Kesehatan setempat sampai
mengetahui hasil kultur terakhir negatif.
▪ Semua Penderita setelah pulang harus melengkapi imunisasi nya sesuai usia.
▪ Penderita yg mendapat ADS harus diimunisasi lengkap 3x setelah 4-6 minggu dari
saat ADS diberikan
3. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi dalam Perawatan Penderita Difteri
Cara penularan Difteri adalah melalui droplet dan kontak. Dalam memeriksa/ merawat
penderita difteri klinik`, direkomendasikan sebagai berikut :
A. Tenaga kesehatan yang memeriksa/ merawat Penderita Difteri harus sudah
memiliki imunisasi lengkap.
B. Bila penderita dirawat, tempatkan dalam ruang isolasi (single room/ kohorting),
tidak perlu ruangan dengan tekanan negatif.
C. Lakukan prinsip kewaspadaan standar, gunakan Alat Pelindung Diri (APD)
sebagai kewaspadaan isolasi berupa penularan melalui droplet sebagai berikut:
▪ Pada saat memeriksa tenggorok penderita baru gunakan masker bedah, pelindung
mata, dan topi.
▪ Apabila dalam kontak erat dengan penderita (jarak <1 meter), menggunakan
masker bedah juga harus menggunakan sarung tangan, gaun, dan pelindung mata
(seperti: google, face shield)
▪ Pada saat pengambilan specimen menggunakan masker bedah, pelindung mata,
topi, baju pelindung, dan sarung tangan
▪ Apabila melakukan tindakan yang menimbulkan aerosolisasi (misal: saat intubasi,
bronkoskopi, dll) dianjurkan untuk menggunakan masker N95
D. Pembersihan permukaan lingkungan dengan desinfektan (chlorine, quaternary
ammonium compound, dll)
E. Terapkan etika batuk, baik pada tenaga kesehatan maupun masyarakat.
F. Apabila terdapat tanda dan gejala infeksi respiratori atas untuk menggunakan
masker, termasuk di tempat tempat umum.
G. Bagi penderita yang harus didampingi keluarga, maka penunggu penderita harus
menggunakan APD (masker bedah dan gaun) serta melakukan kebersihan tangan

ERITROMISIN
▪ Golongan: macrolides
▪ Moa: bactericidal, menghambat sintesis protein dengan cara berikatan pada protein
50s ribosomal RNA
▪ Farmakokinetik:
▪ Absorpsi: bervariasi karena ketidakstabilan asam lambung
▪ Distribsusi: keseluruh jaringan dan cairan tubuh, melewati plasenta dan masuk
melalui air susu ibu
▪ Ekskresi: feses dan 5% urin
▪ Indikasi: infeksi corynebacterium( difteri, c. Sepsis, erythrasma), infeksi chlamidia
▪ Kontraindikasi: hipersensitifitas
▪ Efek samping: mual, muntah, anoreksia, diare, hepatitis kolekstatik akut, ruam,
demam, dan eosinofilia
▪ Dosis:
▪ Dosis oral, basa, stearate: 0,25-0,5g setiap 6 jam (untuk anak 40mg/kg/hari)
▪ Dosis eritromisin etil suksinat: 0,4-0,6g setiap 6 jam
▪ Dosis iv: 0,5- 1g setiap 6 jam untuk dewasa 20-40mg/kg/hari untuk anak.
Prognosis pada pengobatan
▪ Dengan diperkenalkannya antitoksin difteri untuk pengobatan difteri, angka
kematian telah menurun menjadi 5–10% di sebagian besar seri.
▪ Pada difteri, penerimaan antitoksin dalam 2-3 hari pertama penyakit jelas terkait
dengan penurunan mortalitas.
▪ Penyakit pada orang yang divaksinasi biasanya ringan.
PENICILIN
▪ Moa: bactericidal, menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara menghambat
ikatan silang peptidoglikan di dinding sel
▪ Farmakokinetik:
▪ Absorpsi: Absorpsi penicillin berlangsung secara lambat setelah injeksi intramuskular.
Waktu puncak absorpsi pasca injeksi intramuskular pada bayi adalah 12–24 jam, pada anak
24 jam, dan pada dewasa 48 jam.
▪ Distribsusi: keseluruh jaringan dan cairan tubuh, sekitar 60% akan berikatan dengan
protein albumin.
▪ Eliminasi: terutama melalui ginjal
▪ Indikasi: infeksi Treponema palidum, Treponema carateum, Staphylococcus
sp., Leptospira sp., Listeria monocytogenes, Clostridium sp., Actinomyces israelii, Bacillus
anthracis, Corynebacterium diphtheriae, Neisseria gonorrhoeae, streptokokus beta
hemolitikus grup A, dan streptokokus grup B.
▪ Kontraindikasi: hipersensitifitas
▪ Efek samping: mual, muntah, anoreksia, diare, ruam, kulit gatal, demam, dan sakit kepala
▪ Dosis:
Penicillin procaine IM 25.000-50.000 U/kg BB maks 1,5 juta selama
14 hari

▪ Dewasa: 125–500 mg dikonsumsi setiap 6–8 jam.

▪ Anak-anak usia 1 bulan sampai 12 tahun: 25–75 mg/kgBB per hari, dosis dibagi menjadi
3–4 kali konsumsi. Dosis maksimal 2.000 mg per hari.

Komplikasi
Difteri merupakan penyakit yg parah. Jika pasien selamat dari fase acute destructive
infection  kemungkinan besar akan meninggkal karenna adanya efek dari toxin. Patients
yg sembuh dari difteri dapat meninggal mendadak hingga 8 minggu setelah penyakit akut.
Komplikasi toksik yg paling menonjol adalah myocarditis dan neuritis.
Risiko dan keparahan dari kerusakan toxin berhubungan dengan luasnya pseudomembrane
dan keterlambatan pemberian antitoxin.
a) Myocarditis
 sekitar 10% pasien dengan diphtheria  berkembang menjadi myocarditis, sekitar 2/3
pasien dengan infeksi berat memiliki bukti keterlibatan pada jantung.
 Dapat diprediksi pada -> luasnya pseudomembrane, dan hampir invariable jika ada bull
neck. Bukti utama adanya cardiac toxicity  biasanya terjadi pada minggu kedua sakit.
 Tanda klinis terdiri dari : soft heart sounds, gallop rhythm, dan tanda-tanda gagal jantung
kongestif yang lebih jarang.
 Angka kematian yang terkait dengan miokarditis difteri adalah sekitar 50%.
 Echocardiography  menunjukan adanya dilatasi, dan kontraksi ventrikel yg buruk.
 Abnormalitas Electrocardiographic (ECG)  lebih umum daripada tanda klinis miokarditis
dan terdiri dari adalnya frequent supraven tricular and ventricular ectopics, bursts of
tachyarrhythmia, broadening of the QRS complex, perubahan gelombang ST dan T, berbagai
derajat heart block, dan bradyarrhythmias. Hilangnya gelombang R anterior atau
berkembangnya complete heart block merupakan ominous sign. Tingkat enzim jantung
(creatine phosphokinase MB, mioglobin dan troponin) meningkat sebanding dengan tingkat
kerusakan jantung.
Neuropathy
 Luas dan keparahan keterlibatan sistem saraf biasanya ditentukan oleh luas dan keparahan
infeksi primer (infeksi oropharyngeal).
 Eksotoksin menyebabkan degenerasi segmental pada myelin sheath dan pada kasus yang
parah, terjadi degenerasi axon cylinder.
 Polyneuritis jarang terjadi pada mild diphtheria tetapi terjadi pada sekitar 7-10% kasus
moderate dan severe.
 Komplikasi neurologis berkembang terlambant, biasanya antara 3 dan 8 minggu setelah
timbulnya gejala lokal, dan seringkali ketika manifestasi parah lainnya sembuh.
 Paralysisn soft palate merupakan karakterisitik dan manifestasi awal neuropathy. Itu tidak
terjadi dengan cutaneous diphtheria dan oleh karena itu mungkin hasil dari penyebaran
local toxin di jaringan orofaringeal. Hal tersebut akan menghasilkan nasal voice dan
regurgitasi cairan yg tertelan melalui hidung.
 penglihatan kabur dapat terjadi karena kelumpuhan otot akomodasi bersama dengan
kelumpuhan otot faring, laring, dan otot pernapasan. Saraf kranial IX dan X paling sering
terkena, diikuti oleh saraf VII, saraf ke otot okular eksternal (III, IV dan VI). Disfungsi
otonom sering terjadi, dan hipotensi mendadak dapat terjadi antara minggu keempat dan
ketujuh penyakit.
Komplikasi lain
Komplikasi difteri yang kurang umum termasuk cute tubular necrosis, disseminated
intravascular coagulation, endocarditis and secondary pneumonia

Prevention
Mencegah Penularan :
a. Tenaga kesehatan yang memeriksa/merawat kasus difteri harus menggunakan APD.
b. Bila kasus dirawat, tempatkan dalam ruang tersendiri/ isolasi (single
room/kohorting)
c. Lakukan prinsip kewaspadaan standar, gunakan Alat Pelindung Diri (APD) sebagai
kewaspadaan isolasi berupa penularan melalui droplet sebagai berikut:
Contoh : Apabila dalam kontak erat dengan kasus (jarak <1 meter), menggunakan
masker
bedah juga harus menggunakan sarung tangan, gaun, dan pelindung mata
d. Terapkan kebersihan tangan dan etiket batuk, baik pada tenaga kesehatan maupun
masyarakat
e. Pembersihan permukaan lingkungan dengan desinfektan (chlorine, quaternary
ammonium compound, dll)
Pencegahan terjadi penyakit jika terdapat kontak erat :
 Antibiotik (Profilaksis) : Bila timbul keluhan segera mengunjungi fasilitas pelayanan
kesehatan terdekat. Semua kontak erat wajib patuh minum obat sesuai instruksi petugas
kesehatan untuk mencegah dan memutuskan penularan penyakit difteri
 Imunisasi Difteri
Prognosis
 Angka kematian akibat difteri secara keseluruhan adalah sekitar 5-10%, dengan angka yang
relatif lebih tinggi pada masa bayi dan usia lanjut.
 Tanpa pengobatan antitoksin,  difteri respiratory  dengan tingkat kematian kasus 30-
50% dilaporkan.
 Dengan pengobatan antitoksin difteri  angka kematian menurun menjadi 5-10%
 Pemberian antitoksin dalam 2-3 hari pertama penyakit jelas terkait dengan penurunan
angka kematian. Pada orang yang divaksinasi biasanya ringan

2.5 INTERPRETASI
KEMENKES-PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN DIFTERI
Penyakit Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi Lengkap, dengan jadwal pemberian sesuai usia.
IMUNISASI
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten.
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit
Difteri ada 3 macam, yaitu:
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan
Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).

Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:


A. Imunisasi dasar:
Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval 1 bulan.
B. Imunisasi Lanjutan:
1. Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
2. Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi
Anak Sekolah (BIAS).
3. Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS).
4. Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td.
C. Jenis vaksin yang digunakan tergantung kelompok umur sebagai berikut:

• anak usia 1 - < 5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib,


• anak usia 5 - <7 tahun menggunakan vaksin DT
• anak usia ≥ 7 tahun menggunakan vaksin Td

Perlindungan optimal terhadap difteri pada masyarakat dapat dicapai dengan cakupan imunisasi rutin,
baik dasar maupun lanjutan, yang tinggi dan merata. Cakupan harus mencapai minimal 95%, merata
di setiap kabupaten/kota, dan tetap dipertahankan.
Selain cakupan yang harus diperhatikan adalah menjaga kualitas vaksin sejak pengiriman,
penyimpanan sampai ke sasaran.
Vaksin difteri merupakan vaksin yang sensitif terhadap suhu beku sehingga dalam pengiriman
maupun penyimpanan harus tetap berada pada suhu 2 - 8° C.
Setiap daerah menyediakan biaya operasional untuk imunisasi rutin dan imunisasi dalam
penanggulangan KLB (ORI)
Tujuan Pemberian Imunisasi
Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I)  Difteri, Pertusis, Tetanus, TBC, Campak, Poliomielitis, Hepatitis
A, Hepatitis B, Hib, HPV
Tujuan Khusus
1. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi
lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh desa/ kelurahan pada tahun
2014.
2. Tervalidasinya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di bawah 1 per
1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2013.
3. Eradikasi polio pada tahun 2015.
4. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015.
5. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan limbah medis
(safety injection practise and waste disposal management).
Jenis Imunisasi

• Imunisasi wajib: imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang sesuai dengan
kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari
penyakit menular tertentu.
• Imunisasi rutin: kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara terus-menerus sesuai jadwal.
• Imunisasi lanjutan: imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan atau untuk
memperpanjang masa perlindungan.
• Imunisasi tambahan: diberikan kepada kelompok umur tertentu yang paling berisiko terkena
penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.
• Imunisasi khusus: kegiatan imunisasi yang dilaksanakan untuk melindungi masyarakat
terhadap penyakit tertentu pada situasi tertent.
• Imunisasi pilihan: imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan
kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit menular tertentu,
yaitu vaksin MMR, Hib, Tifoid, Varisela, Hepatitis A, Influenza, Pneumokokus, Rotavirus,
Japanese Ensephalitis, dan HPV.
Sasaran Imunisasi

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 42 Tahun 2013 dan No. 12 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi  5 jenis imunisasi wajib yang harus diperoleh Si Kecil
1. Imunisasi Hepatitis B
 Jenis vaksin yang digunakan : vaksin hepatitis B
 Diberikan pada bayi : 4 kali. Pemberian pertama dilakukan segera setelah bayi lahir atau
paling lambat 12 jam setelah kelahiran. Lalu, vaksin kembali diberikan secara berturut-
turut pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
 Jika bayi terlahir dari ibu yang terjangkit hepatitis B : imunisasi hepatitis B pada bayi
wajib diberikan dalam waktu paling lambat 12 jam setelah lahir. Bayi tersebut juga perlu
mendapatkan suntikan imunoglobulin hepatitis B (HBIG) untuk menghasilkan kekebalan
tubuh terhadap virus hepatitis B dalam waktu cepat.
2. Imunisasi Polio
 Jenis vaksin polio yang umum digunakan : vaksin polio tetes (oral), tapi ada dalam
bentuk suntikan juga
 Vaksin oral/ tetes diberikan : 4 kali, yaitu saat bayi baru lahir atau paling lambat saat
usianya 1 bulan. Selanjutnya, vaksin diberikan secara berturut-turut di usia 2 bulan, 3
bulan, dan 4 bulan.
 Vaksin polio suntik diberikan : 1 kali, yaitu pada usia 4 bulan.
3. Imunisasi BCG
 Untuk melindungi tubuh dari tuberculosis
 Dilakukan 1 kali
 Diberikan pada bayi di usia 2 atau 3 bulan.
 Melalui suntikan pada kulit bayi.
4. Imunisasi Campak
 Diberikan : 3 kali, yaitu saat anak berusia 9 bulan, 18 bulan, dan 6 tahun.
 Jika anak diberikan vaksin MR/MMR di usia 15 bulan  pemberian imunisasi campak
ulang di usia 18 bulan tidak diperlukan.
5. Imunisasi DPT-HB-HiB
 Memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap 6 penyakit : difteri, pertusis (batuk
rejan), tetanus, hepatitis B, pneumonia, dan meningitis (radang otak).
 Diberikan : 4 kali dengan jadwal pemberian berturut-turut pada bayi di usia 2 bulan, 3
bulan, 4 bulan, dan dosis pemberian terakhir ketika usia anak 18 bulan.
Jadwal Imunisasi
VAKSIN
Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih
utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi
toksoid, protein rekombinan yang apabila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan
spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.
BULL NECK
Neck: Lymphadenopathy pada submandibular bilateral (bull neck)
Bull neck merupakan pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi akibat
pembesaran lymph.

OROPHARYNGEAL SWAB  saat dinyatakan suspek

Jenis Pengambilan Spesimen

• Usap Tenggorok (Throat swab)

Tujuan: Mendapatkan spesimen usap tenggorok yang memenuhi persyaratan


untuk pemeriksaan bakteri Corynebacterium diphtheriae.

• Usap Hidung (Nasal swab)


• Usap Luka (Wound swab) dan Usap Mata (Eyes swab) jika diduga merupakan
sumber penularan
Prosedur

1) Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas penderita yang akan diambil
spesimen (nama, umur, jenis kelamin, tanggal dan jam pengambilan).
2) Posisi petugas pengambil berada disamping kanan penderita.
3) Penderita dipersilahkan duduk dengan sandaran dan tengadahkan kepala penderita.
4) Jika penderita di tempat tidur maka penderita diminta terlentang
5) Penderita diminta membuka mulut dan mengatakan “AAA”
6) Buka swab dari pembungkusnya, dengan spatula tekan pangkal lidah, kemudian usapkan
swab pada daerah faring dan tonsil kanan kiri. Apabila terdapat membran putih keabuan
usap disekitar daerah tersebut dengan menekan agak kuat (bisa sampai berdarah).
7) Buka tutup media Amies masukkan segera swab (swab harus terendam media) tutup
rapat.
8) Masukan media Amies dalam spesimen carrier dan kirim segera ke Laboratorium
Pemeriksa disertai form list kasus difteri individu dan Form Laboratorium.
9) Masukkan media amies ke dalam spsimen carrier dan kirim ke laboratorium pemeriksa
disertai form list kasus difteri

Storage

Apabila sampel swab tenggorokan tidak segera diperiksa dalam 2 jam, maka di dalam transport
media harus disimpan pada suhu 2-8°C di lemari es (refrigerator).

TELLURITE BLOOD AGAR (TBA)


- Tellurite blood agar (TBA) merupakan medium selektif untuk kultur Corynebacterium
diphtheriae. Selektivitas medium ini terletak pada tellurite yang dapat menghambat bakteri
lainnya.  spesies C. Diphteriae memiliki kemampuan untuk bertahan dan tumbuh di media
ini, sedangkan mikroorganisme lainnya terhambat oleh kalium tellurit (agen selektif) 
Tumbuhnya bakteri Corynebacterium ini karena kemampuan dari bakteri tersebut untuk
mereduksi tellurite menjadi tellurium yang menyebabkan koloni pada medium TBA berwarna
hitam atau keabuan.
- Pada medium TBA bentuk tellurite dalam kalium tellurite akan direduksi menjadi tellurium
dan tidak hanya berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri flora normal tenggorokan, tetapi
juga dimetabolisme oleh C. diphtheriae menjadi bentuk koloni pertumbuhan berwarna hitam
dan dapat membedakan bakteri lainnya yang tumbuh pada medium tersebut.
- Tujuan : pemisahan dan identifikasi spesies bakteri yang spesifik.

Modified Tinsdale medium.


Pada media Tinsdale yang dimodifikasi (modified Tinsdale medium), C. diphtheriae
colonies akan berwarna hitam (karena telluride reduction), dikelilingi oleh brown halo yang
disebabkan oleh cystinase activity (Fig.10-5). Organisme lain dapat tumbuh pada media
Tinsdale yang dimodifikasi (modified Tinsdale medium), tetapi keberadaan lingkaran brown
halos merupakan bukti dugaan adanya C. diphtheriae. Nontoxigenic strains of C. diphtheriae
sering tidak menghasilkan lingkaran cahaya (halos).

GRAM STAIN FROM OROPHARYNGEAL SWAB


Hasil: Gram positive bacilli polymorphic cluster like Chinese letter (Fig. 10-2), dan terkadang
noda sel tidak merata (cells stain unevenly).

Cells dari liquid media dapat disusun sendiri-sendiri (singly), berpasangan (pairs), dalam
bentuk V, dalam “palisades” or “picket fences/pagar kayu” (berbaris berdampingan), atau
dalam clusters/kelompok (disebut sebagai pengaturan "Chinese letter"). C. diphtheriae
cells are non-motile and nonencapsulated.
 Bakteri dalam genus Corynebacterium memiliki Gram positif, sel berbentuk gada yang
dapat diamati dalam bentuk V atau memiliki tampilan palisade, pagar piket (berbaris
berdampingan), atau kelompok yang disebut huruf Cina.
 Bacteria in the genus Corynebacterium have Gram positive, club-shaped cells that may
be observed in V forms or have the appearance of palisades, picket fences (lined up side
by side), or clusters called Chinese letters.

Ketika ditumbuhkan pada Loeffler serum medium, C. diphtheriae cells mengandung butiran
metakromatik ungu-merah (purple-red metachromatic granules) setelah diwarnai dengan
methylene blue (Fig. 10-3).

Istilah metachromasia mengacu pada perubahan warna pewarna yang melekat pada zat
tertentu. Dalam hal ini, pewarna biru menjadi ungu-merah (purple-red) setelah menempel
pada (granules) di dalam C. diphtheriae cells. Loeffler serum medium mengandung beef
serum and eggs.
 Mengikuti pertumbuhan pada media serum Loeffler, butiran metakromatik dapat dilihat
pada sel C. diphtheriae yang telah diwarnai dengan metilen biru.
 Following growth on Loeffler serum medium, metachromatic granules can be seen in C.
diphtheriae cells that have been stained with methylene blue.
ALBERT’S STAIN
Teknik pewarnaan Albert bertujuan untuk mendeteksi keberadaan badan granulasi
metakromatik Corynebacterium diphtheriae. Pewarnaan Albert terdiri dari dua larutan pewarnaan,
yaitu larutan Albert 1 dan larutan Albert 2.

Albert Solution 1: toluidine blue, malachite green, glacial acetic acid, and alcohol
Cara membuat:
- Ke dalam 100 ml air, tambahkan 0,1 ml asam asetat glasial
- Tambahkan 2 ml etanol 95% ke dalam larutan
- Kemudian, larutkan 0,15 g toluidin biru ke dalam larutan
- Terakhir, larutkan 0,2 g malachite green ke dalam larutan
Albert solution 2: Iodine and Potassium iodide in water
Cara membuat:
- Larutkan 2g yodium dalam 50ml air suling
- Tambahkan 250ml air ke dalam larutan
- Larutkan 3g Kalium Iodida ke dalam larutan dalam larutan
Larutan pewarna Albert 1 bertindak sebagai larutan pewarna sedangkan larutan Albert 2 bertindak
sebagai mordan, yaitu unsur ion yang mengikat dan menahan zat warna kimia, agar melekat pada
mikroorganisme.

Prosedur
1. Staining
- Buat apusan biakan C. Diphteriae di tengah slide kaca steril yang sudah dibersihkan
- Letakkan slide di rak pewarnaan
- Slide diberi albert’s solution 1 (3-5 menit)
- Malachite green di albert’s solution 1 untuk mewarnai bacilli green
- Toluidine blue mewarnai metachromatic (volutin) granules
2. Mordanting
- Tambahkan albert’s solution 2 (1 menit)
- Iodine untuk mordant (penguat)
- Slide dibersihkan dengan air dan keringkan
- Teteskan cedar wood oil pada slide
- Amati melalui mikroskop dengan diberi minyak imersi

Interpretasi

Apabila terdapat Corynebacterium diphtheriae dalam sampel maka akan tampak bakteri berbentuk
batang berwarna hijau yang tersusun saling bersudut, menyerupai huruf Inggris ‘L’, ‘V’, atau pola
huruf Cina beserta butiran metakromatik hitam kebiruan pada kutubnya.

Butiran metakromatik berwarna hitam kebiruan sementara sel mikroba lainnya berwarna hijau

ELEK TEST
- Menentukan toksigenitas Corynebacterium diphtheriae: menggunakan metode ELEK tes
(Gold standart).  dilakukan setelah hasil kultur positif.
- Mekanisme kerja : melibatkan reaksi antara toksin difteri yang diproduksi oleh C. Diphteriae
dengan antitoksin yang diperoleh oleh serum yang mengandung terhadap toksin tersebut
- Virulensi in vitro test yang dilakukan pada specimen Corynebacterium diphtheria
- Tes ini menggunakan cara immunodiffusion. Strip kertas saring menyerap antitoksin difteri,
disimpan di tengah special agar plate sebelum agar mengeras.
- Strain yang akan diuji, positive dan negative toxigenic strains diletakkan melintasi permukaan
agar
- Setelah inkubasi 24 jam dengan suhu 37 derajat celcius, plate diperiksa dengan cahaya untuk
menilai adanya garis presipitin halus pada sudut 45 derajat terhadap goresan. Adanya garis
presipitin menunjukkan bahwa strain tersebut menghasilkan toksin yang bereaksi dengan
antitoksin
- Pada pasien >> Elek test : positif >> Strain tersebut menghasilkan toksin

1. Line 1 is a negative control

2. Line 2 is the positive control

3. Line 3 is a test organism that is a nontoxigenic strain C. diphtheriae


4. Line 4 is a test organism that is a toxigenic strain of C. diphtheriae
BAB III

PENUTUP

3.1 BHP

• Edukasi mengenai diphtheria dan transmisinya

• Edukasi mengenai manajemen

• Mengapa isolasi  karena difteri merupakan penyakit menular sehingga bila tidak
diisolasi dapat menular ke orang lain  dapat menyebabkan KLB

• Edukasi pencegahan diphtheria  melaksanakan vaksinasi difteri

• Penjelasan mengenai vaksinasi

• Mengapa harus dilakukan

• Vaksinasi ini efektif untuk melindungi diri dari penyakit infeksi dan
menurunkan penyebaran/ transmisi dari suatu penyakit

• Tidak berbahaya

• Waktu untuk melakukan vaksinasi

3.2 IIMC

Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim


‫َقاَل الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اَل ُيوِرَد َّن ُمْم ِرٌض َع َلى ُمِص ٍّح‬
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang
sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
3.3 PATOMEKANISME
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology 13th Edition


2. Human Physiology: From Cells to Systems 9th Edition
3. Harrison’s Principle of Internal Medicine 20th Edition
4. Sherris Medical Microbiology 7th Edition
5. (Journal) Immunobiology of diphtheria. Recent approaches for the prevention, diagnosis, and
treatment of disease-Biotechnologia acta, v. 6, no 4, 2013
6. Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan 2017
7. WHO Diphtheria, September 2018
8. (Journal) Nature Reviews, Disease Primers-Diphtheriae 2019
9. Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Juli 2020
10. Buku Pencegahan dan Pengendalian Difteri, KEMENKES, Tahun 2017.
11. Buku Ajar Imunisasi, KEMENKES, Tahun 2015.
12. Henry's Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods, 23ed. 2016
13. https://academic.oup.com/labmed/article-pdf/32/7/368/24958217/labmed32-0368.pdf
14. https://www.medifee.com/tests/alberts-stain-cost/
15. Manson’s Tropical Diseases 23rd Edition
16. Richard Guerrant Tropical Infectious Diseases 3rd Edition
17. Pedoman pencegahan dan pengendalian difteri kemenkes RI tahun 2017
18. Clinical Features of Diphtheria | CDC
19. Moore Clinically Oriented Anatomy 7th Edition
20. Basic and clinical pharmacology_14th_2018_Katzung BG.pdf

Anda mungkin juga menyukai