Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

SISTEM RESPIRASI
MODUL NYERI MENELAN

Disusun Oleh:
Kelompok 2

Ketua Kelompok 70600122027 Muh. Ian Raehansyah Enre


Scriber 70600122008 Muflihah Sa’adah
Anggota 70600122012 Fadhillah Nasywa Az-Zahra
70600122014 Alifah Nur Fakhriyyah
70600122026 Agung Eka Febriansyah
70600122027 Muh. Ian Raehansyah Enre
70600122034 Astrid Adiesty
70600122035 Syarifah Intan Nurfitri
70600122036 Nurul Urwatil Wusqa
70600122039 Annisa Vionalia Fadila Putri
70600122050 Widya Ananda Madya
70600122051 Meutia Nurfadillah

PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semua, sehingga meski dengan
segala keterbatasan yang penulis miliki, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan
Problem Based Learning (PBL) modul “BATUK”.
Adapun laporan modul PBL ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan
ini. Tidak lupa kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam pembuatan laporan ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa tentu tidak ada
yang sempurna di dunia ini, sehingga tidak dapat dipungkiri adanya kesalahan baik dari segi
penyusunan bahasa maupun yang lainnya. Oleh karena itu, kami menerima saran dan kritik
dari pembaca, agar kami dapat memperbaiki laporan ini.
Kami ucapkan terima kasih dan berharapkan laporan PBL ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 25 Maret 2024

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
SAMPUL………………….………...……………….………………………….………...………… i
KATA
PENGANTAR………………….………...……………….………………………….…………………
…... ii
DAFTAR
ISI………………….………...……………….………………………….………...…………………….
..3
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Skenario………………….………...……………….………………………….………………………
……….4
1.2
KataKunci….………………………….………………………….……………………………………
……..…4
1.3 Rumusan Masalah
.……………………….………………….……….………………….................…..4
1.4 Learning
Outcome….………………………….………………………….………………………………… 4
1.5 Problem
Tree….………………………….………………………….………………………………………...5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Struktur Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Organ terkait
Skenario……………………………..6
2.2 Definisi
Batuk….………………………….………………………….………………………………………13
2.3 Etiologi
Batuk….………………………….………………………….………………………………………13
2.4 Faktor Resiko
Batuk….………………………….…….………………………...............................14
2.5 Patomekanisme
Batuk….………………………….……………………………………………………..14
2.6 Hubungan Gejala Utama dengan Gejala Penyerta terkait
Skenario….……………………..14
2.7 Langkah Penegakkan
Diagnosis….………………………….…………………………………………15
2.8 Diagnosis
Banding….………………………….………………………….……………………………….18
2.9
Penatalaksanaan….………………………….………………………….……………………………
……20
2.10
Pencegahan….………………………….………………………….…………………………………
……21
2.11 Integrasi
Keislaman….………………………….………………………….……………………………22
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan….………………………….………………………….…………………………………
……..26

3
3.2
Saran….………………………….………………………….…………………………………………
……...26
DAFTAR
PUSTAKA….………………………….………………………….…………………………………..

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario
Seorang laki laki 45 tahun datang ke PKM dengan keluhan batuk sejak 2 Bulan lalu,dirasakan
terus menerus dan semakin memberat. Batuk dahak produktif warna kuning,terutama pagi
hari,tidak ada darah. Keluhan tersebut kadang disertai sesak napas yang dipengaruhi aktifitas.
Tidak ada keluhan nyeri dada dan demam.Keringat Malam tidak ada,namun ada penurunan
berat badan.Riwayat berobat Tb 3 tahun lalu dan berobat tuntas.Riwayat merokok sejak usia
15 tahun sebanyak 20 batang/hari.
1.2 Kata Kunci
1. Laki-laki
2. 45 tahun
3. Keluhan batuk sejak 2 bulan yang lalu
4. Batuk dirasakan terus menerus dan semakin memberat
5. Batuk dahak produktif warna kuning
6. Batuk terutama pagi hari
7. Batuk tidak ada darah
8. Disertai sesak napas yang dipengaruhi aktifitas
9. Tidak ada nyeri dada,
10. Tidak ada demam
11. Keringat malam tidak ada
12. Ada penurunan berat badan
13. Riwayat berobat TB 3 tahun yang lalu dan tuntas

4
14. Riwayat merokok
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi organ terkait skenario?
2. Apa definisi dari batuk?
3. Bagaimana etiologi dari batuk?
4. Bagaimana faktor resiko terjadinya batuk?
5. Bagaimana patomekanisme dari batuk?
6. Bagaimana hubungan gejala utama dengan gejala penyerta terkait skenario?
7. Bagaimana langkah penegakkan diagnosis terkait skenario?
8. Bagaimana diagnosis banding terkait skenario?
9. Bagaimana penatalaksanaan terkait skenario?
10. Bagaimana pencegahan terkait skenario?
11. Bagaimana integrasi keislaman terkait skenario?
1.4 Learning Outcome
1. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi terkait skenario.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi batuk.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi batuk.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor resiko batuk.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan patomekanisme batuk.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan gejala utama dengan gejala penyerta terkait
skenario.
7. Mahasiswa mampu menjelaskan langkah penegakkan diagnosis terkait skenario.
8. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis banding terkait skenario.
9. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana terkait skenario.
10. Mahasiswa mampu menjelaskan pencegahan terkait skenario.
11. Mahasiswa mampu menjelaskan integrasi keislaman terkait skenario.

1.5 Problem Tree

5
BAB II
PEMBAHASAN

6
2.1 Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Organ
2.1.1 Anatomi
Batuk dapat disebabkan oleh adanya iritasi pada saluran napas, yang terdiri atas saluran
napas atas dan saluran napas bawah. Saluran napas atas terdiri atas hidung, faring, dan laring.
Saluran napas bawah terdiri atas laring, trakea, dan paru-paru.

1. Hidung
Hidung adalah struktur yang merupakan tempat masuknya udara dari
atmosfer. Pada bagian luar, hidung memiliki bentuk piramida sehingga
memungkinkan terjadinya aliran udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral dari
cavum nasi tersusun atas konka inferior, konka media, konka superior dan meatus
nasi. Pada dinding medial terdapat septum nasi yang merupakan struktur yang
tersusun atas lamina perpendikularis os etmoid, kartilago septum, dan os vomer.
Secara fisiologis, hidung berfungsi menyaring kotoran yang masuk bersama
udara,

2. Faring

Faring adalah struktur fibromuskular yang terletak di belakang rongga hidung


dan rongga mulut. Faring merupakan struktur yang memiliki peran pada dua
sistem organ, yaitu sistem pencernaan dan sistem pernapasan. Bentuknya
menyerupai corong dengan ujung atasnya lebih lebar dan ujung bawahnya lebih
sempit dan terletak pada tingkat vertebra servikal keenam (C6). Ujung distal
faring akan melanjutkan diri menjadi esofagus di bagian posterior dan laring di
bagian anterior. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring.

3. Laring

Laring merupakan suatu saluran lanjutan dari faring pada bagian anterior.
Struktur laring terdiri dari tulang rawan yang diikat oleh ligamen dan otot.
Laring tersusun dari tiga kartilago besar yang tidak berpasangan, yaitu kartilago
cricoid, kartilago thyroid, dan kartilago epiglottica, serta tiga kartilago kecil
yang berpasangan, yaitu kartilago arytenoidea, kartilago corniculata, dan
kartilago cuneiformis. Pada laring, kartilago epiglottica berfungsi untuk
memfasilitasi penutupan aditus laryngis dan bukaan esophagus saat menelan.

4. Trakea

7
Trakea merupakan struktur sistem pernapasan yang dimulai di tepi bawah
kartilago cricoid dan berakhir di carina. Karina merupakan titik di mana trakea
membelah menjadi bronkus dekstra dan sinistra. Trakea terletak di tingkat
vertebra cervical kedua (C2) dan vertebra thorak ketiga (T3). Trakea tersusun
atas 20 cincin kartilago hyalin yang berukuran sekitar 4 mm tinggi pada dewasa
dan berbentuk seperti huruf U. Cincin-cincin ini dihubungkan oleh ligament dan
otot trakealis yang memungkinkan trakea untuk menyusun bentuk yang
kompleks dan fleksibel.

5. Paru-paru
Paru-paru adalah organ respirasi yang terletak dalam cavum thoraks dan
dibungkus oleh selaput pelindung yang disebut pleura. Udara dari trakea akan
masuk ke paru-paru melalui bronchus yang merupakan percabangan dari trakea.
Paru-paru terbagi atas paru-paru dekstra dan sinistra. Paru-paru dekstra
memiliki ukuran yang lebih besar daripada paru-paru sinistra. Hal ini
disebabkan karena adanya jantung pada sisi kiri tubuh. Paru-paru kanan terdiri
atas tiga lobus dan paru-paru kiri terdiri atas dua lobus.
2.1.2 Histologi
1. Rongga hidung
 Anterior
Bagian paling depan rongga hidung adalah vestibulum yang dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng berkeratin. Di dalam vestibulum, terdapat kelenjar keringat, kelenjar
sebasea, dan bulu-bulu hidung yang disebut vibrissae. Vibrissae ini merupakan
rambut-rambut kasar yang berperan dalam penyaringan partikel-partikel yang
berukuran besar pada udara inspirasi.

 Posterior
Epitel pada vestibulum berubah menjadi epitel bertingkat silindris bersilia atau
sering disebut epitel respiratorik pada bagian posterior. Epitel respiratorik ini melapisi
hampir seluruh kavum nasi selain konka nasalis superior. Konka nasalis superior
dilapisi oleh epitel penghidu khusus yang berperan dalam fungsi menghidu.
Epitel olfaktorius yang melapisi daerah konka nasalis superior berbentuk tingkat dan
silindris. Lamina propria pada epitel ini memiliki kelenjar serosa besar yang akan
mensekresikan cairan di sekitar silia penghidu dan mempermudah akses zat pembau
yang baru. Epitel ini terdiri atas tiga jenis sel, yaitu :
1) Sel-sel basal
Sel basal merupakan sel punca yang dapat membentuk dua sel lainnya. Sel ini kecil,
berbentuk kerucut, dan terletak di lamina basal.
2) Sel penyokong
Sel ini berbentuk kolumner dengan puncaknya lebih silindris dan dasarnya lebih
sempit. Sel penyokong diperkirakan berperan untuk menjaga lingkungan di epitel
olfaktorius supaya tetap stabil.
3) Neuron olfaktorius.
Neuron olfaktorius terdapat pada seluruh lapisan epitel olfaktorius. Neuron ini
bertugas sebagai reseptor bau. Reseptor ini berespon terhadap zat pembau dengan
potensial aksi.

8
2. Faring
Faring terdiri dari 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Nasofaring tersusun oleh epitel respiratorius. Orofaring tersusun oleh epitel
berlapis gepeng. Laringofaring tersusun oleh epitel berlapis gepeng.

3. Laring
Laring tersusun oleh epitel bertingkat bersilia. Namun, pada permukaan
epiglotis dan plica vocalis tersusun oleh epitel berlapis gepeng tidak berkeratin.

4. Trakea
Pada bagian mukosa tersusun oleh epitel respiratorius bertingkat bersilia di
bagian submukosa tersusun oleh jaringan penyambung fibroelastis, jaringan
limfoid, pembuluh darah dan kelenjar seromukosa dan mukus, kemudian di

9
bagian adventisia tersusun oleh tulang rawan hialin dan jaringan ikat fibrosa yang
mengaitkan trakea dengan struktur disekitarnya.

5. Bronkus
Bronkus Primer
Strukturnya mirip dengan Trakea namun :
1. Dindingnya lebih tipis
2. Diameternya lebih kecil
3. Tulang rawan tampak seperti lempengan tidak beraturan
4. Otot polos terletak di antara lamina propria dan submucosa

Bronkus Sekunder
Bronkus intrapulmonal dilapisi oleh epitel bronkus kolumnar berlapis semu,
bersilia dan bersel goblet
1. Lamina propria : jaringan ikat halus dengan serat elastin dan beberapa
limfosit
2. Otot polos, yang mengelilingi lamina propria dan memisahkannya dari
submukosa
3. Cartilago hialin, setiap lempeng cartilago hialin dilapisi oleh jaringan ikat
perikondrium
4. Submukosa : terdapat banyak kelenjar bronkus seromukosa.Pada submukosa
bronkus yang lebih besar terdapat kelenjar bronkus dan sel adiposa

10
6. Bronkiolus

 Bronkiolus terminalis
Memiliki diameter yang kecil, kira-kira 1 mm atau kurang. Lapisan bronkiolus
terminalis tersusun dari :
1. Mukosa : Epitel Silindris berlapis semu bersilia
2. Lamina propia : terdapat jaringan ikat (terutama serabut elastin) dan otot polos
3. Adventia : terdiri jaringan ikat elastin
4. Tidak terdapat tulang dan kelenjar

Sebagian besar epitel terdiri atas Club cell atau Sel Clara, dengan tonjolan
mirip kubah. Sel clara mensekresikan komponen surfaktan yang mengurangi tegangan
permukaan dan membantu mencegah kolapsnya bronkiolus.

 Bronkiolus respiratorius
Bronkiolus respiratorius merupakan bagian pertama zona respirasi. epitelnya
tersusun oleh epitel silindris rendah atau bisa disebut dengan epitel kuboid. Pada bagian
proximal masih terdapat silia, tetapi semakin ke distal silia semakin hilang. terdapat
pula sel clara dan otot polos yang tipis. Pada bagian dindingnya, diselingi oleh
bangunan seperti kantung berdinding tipis atau biasa disebut dengan alveolus. Bronkus
respiratorius ini akan berakhir ke duktus alveolaris.

11
7. Alveolar

 Duktus alveolaris
Duktus alveolaris merupakan percabangan dari ujung distal bronkiolus
respiratorius. Tidak mempunyai dinding sendiri dan terbentuk oleh alveolus
disekitarnya. Baik duktus alveolaris maupun alveolus dilapisi oleh sel gepeng yang
sangat tipis.
 Sakus alveolaris
Sakus alveolaris merupakan ujung duktus alveolaris distal dan kadang terdapat
di sepanjang duktus alveolaris. Sebagai kantong buntu yg terdiri dari dua atau lebih
kelompok kecil alveolus. Lamina propianya sangat tipis.

8. Alveolus
Alveolus atau alveoli adalah kantung-luar bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris, dan sakus alveolaris, ujung terminal duktus alveolaris. Alveoli disusun oleh:
1. Sel pneumosit tipe I
Sangat tipis dan melapisi alveolus paru. Terdiri dari epitel selapis gepeng. Bersama
endotel kapiler membentuk sawar darah-udara (Claustrum aerosanguineum) yang tipis.
Sawar darah-udara ini merupakan tempat berlangsung nya pertukaran gas.
2. Sel pneumosit tipe II
Terdiri dari Epitel selapis kuboid. Berada di antara sel pneumosit tipe I.
Mengandung Corpusculum lamellar sekretorik. Sel ini menghasilkan surfaktan paru
yang berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan Alveolus sehingga alveolus
dapat mengembang dan mencegah kolaps.
3. Sel debu (Makrofag alveolus)
Sel debu adalah monosit yang masuk ke jaringan ikat paru dan alveolus.
Membersihkan alveoli dari organisme yang masuk dan memfagosit partikel asing
(fagositosis).

12
2.1.3 Fisiologi
Batuk dapat terjadi karena proses fisiologis maupun patofisiologis, Batuk
merupakan suatu refleks yang dapat timbul akibat adanya rangsang baik mekanis,
kimiawi, maupun iritan. Refleks batuk dapat terjadi apabila komponen refleksnya
bekerja dengan baik, komponen refleks batuk terdiri dari reseptor, saraf aferen, saraf
eferen, pusat batuk, dan efektor.

Terdapat 4 fase terjadinya batuk yaitu, inspirasi, kompresi, ekspirasi, dan relaksasi

1. Fase inspirasi
Pada fase ini akan terjadi inspirasi dalam dengan harapan akan meningkatkan
volume gas yang terinhalasi. semakin dalam inspirasi semakin banyak gas yang
terhirup dan semakin besar peregangan otot otot napas serta peningkatan tekanan
positif intratorakal, peningkatan tekanan positif intratorakal ini diperlukan untuk fase
selanjutnya

2. Fase kompresi
Pada fase kompresi terjadi penutupan glotis setelah udara terhirup pada fase
inspirasi, penutupan glotis kira kira berlangsung 0,2 detik. Tujuan dari penutupan
glottis ini adalah untuk mempertahankan volume paru pada saat tekanan intratorakal
besar. Pada keadaan ini terjadi pemendekan otot ekspirasi akibatnya akan
meningkatkan tekanan intratorakal dan juga intra abdomen.

3. Fase ekspirasi (ekspulsif)


Pada fase ini glottis terbuka, dengan terbukanya glottis dan adanya tekanan
intratorakal dan intra abdomen yang tinggi maka terjadilah proses ekspirasi cepat dan
singkat sehingga disebut juga sebagai fase ekspulsif. Derasnya aliran udara yang
terjadi sangat kuat dan cepat akibat tingginya tekananintratorakal dan intra abdomen,
pada fase inilah terjadinya pembersihan bahan bahan yang tidak diperlukan seperti
mukus dan lainnya

4. Fase relaksasi
Fase ini ditandai dengan adanya relaksasi pada otot otot respiratorik, waktu relaksasi
ini dapat berlangsung singkat maupun lama bergantung pada proses batuknya.
Menelan, atau deglutisi, adalah proses kompleks yang melibatkan banyak struktur dan
fungsi tubuh untuk memindahkan makanan atau minuman dari mulut ke lambung.
Proses ini terbagi menjadi empat fase:
1) Fase persiapan oral
Selama fase persiapan oral makanan dimanipulasi dan dikunyah. Proses mengunyah
sendiri merupakan suatu pola siklik berulang dari gerakan rotasi lateral otot-otot labial
dan mandibular.
2) Fase oral
Fase oral diawali saat lidah memulai pergerakan posterior dari bolus makanan. Selama
fase ini lidah mendorong bolus ke arah posterior sampai terjadi pemicuan fase faring.
Pada saat lidah bergerak membawa bolus ke arah posterior, reseptor sensorik pada
orofaring dan lidah sendiri dirangsang untuk mengirimkan informasi sensorik ke
korteks dan batang otak. Selanjutnya, pusat pengenalan sensorik pada medula dalam
nukleus traktus solitaris mengidentifikasi stimulus menelan dan mengirimkan
informasi ke nukleus ambigus yang kemudian menginisiasi fase faringeal.

13
3) Fase faringeal
Fase faringeal dimulai saat terjadi proses pemicuan. Pada fase ini terjadi beberapa
aktifitas:
Elevasi dan retraksi velum serta penutupan sempurna dari port velopharyngeal
untuk mencegah masuknya material ke dalam rongga hidung
a. Elevasi dan pergerakan anterior dari hioid dan laring
b. Penutupan laring oleh 3 sfingter untuk mencegah masuknya material ke dalam
jalan napas
c. Terbukanya sfingter krikofaringeal untuk memungkinkan masuknya material
dari faring ke esofagus
d. Melandainya dasar lidah untuk membawa bolus ke faring diikuti retraksi dasar
lidah untuk menyentuh bagian anterior dari bulging posterior dinding faring
e. Kontraksi dari atas ke bawah yang progresif dari otot-otot konstriktor
faringeal. Pharyngeal transit time adalah waktu yang dihitung sejak bolus
bergerak dari titik dimana fase faringeal dipicu melewati cricopharyngeal
juncture ke dalam esofagus.
4) Fase esofageal
Waktu transit esofageal diukur dari saat bolus memasuki esofagus pada UES,
melewatinya, dan masuk ke dalam lambung melalui LES, dengan nilai normal
bervariasi 8-20 detik. Gerakan peristaltik yang dimulai pada puncak esofagus
mendorong bolus dengan pola berurutan ke arah kaudal sepanjang esofagus sampai
LES terbuka dan memungkinkan bolus memasuki lambung.

2.2 Definisi
Batuk adalah upaya pertahanan paru terhadap rangsangan dan refleks fisiologis untuk
melindungi paru dari trauma mekanik, kimia dan suhu, umumnya disebabkan karena kebiasaan
yang kurang baik seperti merokok, paparan asap rokok, dan paparan polusi lingkungan.
2.3 Etiologi
Nyeri menelan, atau odinofagia, adalah rasa sakit atau sensasi tidak nyaman yang
dirasakan di tenggorokan saat menelan. Nyeri ini dapat bervariasi dari rasa sakit ringan hingga
rasa terbakar yang parah. Berikut beberapa etiologi atau penyebab nyeri menelan:
1. Infeksi
a. Bakteri : bakteri dapat menyebabkan terjadinyabInfeksi langsung pada saluran
pernapasan, contohnya seperti Bordetella pertussis (penyebab batuk rejan) dan
Streptococcus pneumoniae (penyebab pneumonia) yang dapat menginfeksi langsung
saluran pernapasan dan menyebabkan peradangan. Peradangan ini memicu batuk
untuk mengeluarkan lendir dan bakteri dari saluran pernapasan.
b. Virus juga dapat menyebabkan timbulnya batuk. karena disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu virus dapat masuk ke tubuh melalui hidung atau mulut dan menginfeksi sel-sel di
saluran pernapasan. Contohnya, virus influenza menginfeksi sel-sel epitel pada trakea
dan bronkus. virus kemudian mereplikasi diri di dalam sel-sel yang terinfeksi,
menghasilkan lebih banyak virus. Proses replikasi ini dapat merusak sel dan jaringan
di sekitarnya. Kerusakan sel dan jaringan memicu respon imun tubuh, yang
menyebabkan peradangan di saluran pernapasan. Peradangan ini meningkatkan
produksi lendir dan sel darah putih, yang kemudian memicu refleks batuk untuk
mengeluarkannya.
c. Jamur juga dapat menjadi alasan mengapa terjadi adanya batuk, terdapat beberapa
alasan yaitu jamur dapat masuk ke tubuh melalui hidung atau mulut dan menginfeksi
sel-sel di saluran pernapasan. Contohnya, jamur Aspergillus fumigatus dapat
menginfeksi paru-paru dan menyebabkan aspergillosis. Jamur kemudian tumbuh dan
berkembang biak di dalam saluran pernapasan. Pertumbuhan jamur ini dapat merusak
jaringan dan menyebabkan peradangan. Peradangan akibat infeksi jamur
meningkatkan produksi lendir dan sel darah putih, yang kemudian memicu refleks
batuk untuk mengeluarkannya.

14
2.4 Faktor Resiko
a) Menghirup zat yang dapat mengiritasi saluran pernapasan
b) Merokok .
c) Alergi
d) Bekerja di tempat dengan polusi yang tinggi
2.5 Patomekanisme Terjadinya Nyeri Menelan
Patomekanisme dari batuk itu sendiri dapat disebabkan oleh berbagai faktor namun
umumnya disebabkan oleh adanya benda asing di saluran nafas, seperti lendir.Selain
menyebabkan batuk, lendir juga dapat menyebabkan sensasi sesak nafas bila lendir menumpuk
pada saluran nafas.Salah satu penyebab lendir yang berlebih pada saluran nafas yaitu merokok,
dimana asap dari rokok ini menyebabkan saluran nafas meradang sehingga produksi lendir
lebih banyak dari seharusnya.

2.6 Hubungan Gejala Utama dengan Gejala Penyerta

Patofisiologi terkait hubungan batuk dan sesak:


1. Iritasi Reseptor Batuk:

Batuk dipicu oleh iritasi pada reseptor batuk yang terletak di saluran pernapasan. Iritasi ini
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti lendir, infeksi, alergi, dan asap rokok.

2. Aktivitas Refleks Batuk:

Ketika reseptor batuk teriritasi, sinyal dikirim ke otak melalui saraf vagus. Otak kemudian
memicu refleks batuk, yang melibatkan kontraksi otot-otot dada dan perut untuk
mengeluarkan lendir dari saluran pernapasan.

3. Penyempitan Jalan Napas:

Batuk yang kuat dan berulang dapat menyebabkan penyempitan jalan napas akibat kontraksi
otot bronkial. Penyempitan ini dapat membuat pasien sulit bernapas dan memicu sesak.

4. Penurunan Kapasitas Vital Paru:

Batuk yang berkepanjangan dapat menyebabkan penurunan kapasitas vital paru (jumlah udara
maksimum yang dapat dikeluarkan dari paru-paru setelah menarik napas dalam-dalam).
Penurunan ini dapat membuat pasien merasa sesak dan mudah lelah.

Kesimpulan:

Batuk dan sesak napas adalah dua gejala yang saling terkait dan dapat disebabkan oleh
berbagai kondisi medis. Batuk dapat menyebabkan sesak napas melalui beberapa mekanisme,
seperti iritasi dan peradangan saluran pernapasan, penumpukan lendir, dan peningkatan
tekanan intrathoracic. Memahami hubungan dan patofisiologi batuk dan sesak dapat
membantu dokter dalam mendiagnosis dan mengobati penyebab underlying dari kedua gejala
ini.

Patofisiologi Batuk yang Menyebabkan Berat Badan Menurun:

Batuk yang berkepanjangan dan parah dapat menyebabkan penurunan berat badan melalui
beberapa mekanisme patofisiologi, antara lain:

15
1. Peningkatan Metabolisme:

Batuk yang kuat dan berulang membutuhkan banyak energi, sehingga meningkatkan
metabolisme basal tubuh. Hal ini dapat menyebabkan tubuh membakar kalori lebih banyak,
bahkan saat istirahat.

2. Penurunan Asupan Makanan:

Batuk yang parah dapat membuat pasien merasa mual, tidak nafsu makan, dan sulit menelan.
Hal ini dapat menyebabkan penurunan asupan kalori dan nutrisi.

3. Gangguan Pencernaan:

Batuk yang berkepanjangan dapat mengganggu proses pencernaan dan penyerapan nutrisi.
Hal ini dapat menyebabkan malabsorpsi, di mana tubuh tidak dapat menyerap nutrisi dari
makanan dengan baik.

4. Kedinginan dan Berkeringat:

Batuk yang parah dapat menyebabkan demam, kedinginan, dan berkeringat berlebihan. Hal
ini dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit, yang dapat berkontribusi pada
penurunan berat badan.

5. Kelelahan dan Kurang Aktivitas:

Batuk yang parah dapat membuat pasien merasa lelah dan lemah. Hal ini dapat membuat
mereka kurang aktif dan membakar lebih sedikit kalori.

6. Infeksi dan Peradangan:

Batuk yang disebabkan oleh infeksi atau peradangan dapat meningkatkan kadar sitokin
inflamasi dalam tubuh. Sitokin ini dapat memicu cachexia, yaitu sindrom yang ditandai
dengan penurunan berat badan, kelelahan, dan wasting otot.

Kesimpulan:

Batuk yang berkepanjangan dan parah dapat menyebabkan penurunan berat badan melalui
berbagai mekanisme patofisiologi. Penting untuk mengobati penyebab batuk dan mengatasi
efek sampingnya untuk mencegah penurunan berat badan yang signifikan

2.7 Langkah Penegakkan Diagnosis


1. Anamnesis
Anamnesis mencakup identifikasi penderita, keluhan utama, dan perjalanan penyakit.
Anamnesis dilakukan terlebih dahulu pada pasien karena, dengan melakukan anamnesis
diharapkan dapat mengetahui petunjuk-petunjuk berupa manifestasi klinis yang merujuk ke
arah diagnosis yang tepat untuk pasien. Anamnesis pada pasien perlu difokuskan untuk
mengidentifikasi faktor risiko, termasuk riwayat merokok aktif atau pasif, deskripsi batuk,
dan adanya gejala penyerta seperti sesak, riwayat penyakit terdahulu maupun riwayat
penyakit pada keluarga.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah dilakukan anamnesis, ada baiknya melakukan pemeriksaan fisik pada pasien
untuk menambah petunjuk-petunjuk yang dapat menegakkan diagnosis, salah satu
pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi thoraks.
A. Inspeksi

16
 Inspeksi kulit diperhatikan ada tidaknya perubahan warna kulit yang abnormal,
kelainan kulit, kelainan vaskular, dan bekas luka tertentu. Hal ini mungkin
menunjukkan adanya riwayat kelainan paru, misalnya adanya bekas luka post
WSD (water sealed drainage) pada pneumothorax. Inspeksi subkutis, Nilai
jumlah lemak subkutis. Hal ini mungkin akan mempengaruhi pemeriksaan
perkusi dada dan suara pernapasan saat auskultasi. Inspeksi otot, Perhatikan
ukuran otot thorax pasien. Hal ini juga dapat mempengaruhi perkusi dan
auskultasi. Inspeksi rangka, Perhatikan bentuk dan kesimetrisan dada.
Abnormalitas dari rangka thorax dapat mempengaruhi posisi dan ekspansi
paru. Contoh dari kelainan rangka thorax yang dapat mempengaruhi fungsi
paru dan jantung adalah kelainan kongenital pectus excavatum (dada menjorok
kedalam) dan pectus carinacum (dada burung), gangguan tulang belakang
seperti scoliosis atau kyphosis dan barrel-shape yang berhubungan dengan
COPD dimana didapatkan costal triangle melebar.
 Deformitas thorax, thorax pada dewasa normalnya, ukuran diameter lateral
lebih besar dari diameter anteroposterior. Kondisi diameter anteroposterior
melebar, seringkali dijumpai pada orang yang mengalami penuaan normal
maupun pada pasien ppok. Terdapat juga kondisi Funnel Chest (Pectus
Excavatum) yang dikarakteristikkan dengan depresi pada sternum bagian
bawah. Adanya kompresi jantung dan pembuluh darah besar dapat
menimbulkan adanya murmur. Kemudian kondisi Pigeon Chest (Pectus
Carinatum), Pada kelainan ini, sternum bergeser diameter anteroposterior
melebar. Kartilago costae merapat pada sternum dan mengalami depresi.
Kemudahan terdapat kondisi Kyphoscoliosis, Pada kelainan ini terdapat
abnormalitas kurva tulang belakang dan rotasi vertebrae yang mengubah
bentuk dada. Dapat terjadi distorsi paru yang menyebabkan sulitnya menilai
hasil pemeriksaan paru.
B. Palpasi
Ekspansi dada dapat diperiksa bukan hanya melalui inspeksi, namun juga dengan
palpasi. Dari pemeriksaan ini pemeriksa dapat merasakan bila ekspansi dinding dada
kurang ataupun asimetris.
Pada pemeriksaan palpasi dada juga dapat diketahui adanya nyeri tekan pada dinding
dada seperti pada kecurigaan terdapat fraktur costae
Pada pemeriksaan fremitus vokal, normalnya getaran suara dihantarkan ke seluruh
dinding dada sehingga dirasakan sama kanan dan kiri.
C. Perkusi
Suatu metode pemeriksaan fisik dengan cara melakukan pengetukan pada bagian
tubuh dengan menggunakan jari, tangan, atau alat kecil untuk mengevaluasi ukuran,
konsistensi, batas atau adanya cairan dalam organ tubuh. Perkusi pada bagian tubuh
menghasilkan bunyi yang mengindikasikan tipe jaringan di dalam organ. Perkusi
penting untuk pemeriksaan dada dan abdomen.
D. Auskultasi
Auskultasi adalah pemeriksaan dengan cara mendengarkan bunyi yang berasal dari
dalam tubuh, yang meliputi frekuensi, intensitas, durasi dan kualitasl, dengan bantuan
alat yang
disebut stetoskop.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis penyakit pernafasan adalah pemeriksaan rontgen thoraks (misalnya, Foto thoraks,
CT scan), laboratorium darah (Pemeriksaan laboratorium darah yang dapat ditemukan pada
kondisi pneumonia tipikal adalah peningkatan jumlah leukosit, peningkatan laju endap darah
dan C-reactive protein), dan pemeriksaan kultur dengan sputum sebagai sampel
1. Anamnesis

17
Dilakukan untuk mengunulkan informasi terkait gejala dan riwayat kesehatan pasien
khususnya gejala gejala seperti sakit tenggorokan, kesulitan menelan, demam, dan adanya
pembengkakan kelenjar getah bening.
2. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan tenggorokan untuk melihat adanya tanda tanda inflamasi seperti bengkak,
hiperemis dan lainnya, pada pharingitis akut akan nampak faring eritematous, bengkak,
hipertrofi dan peradangan tonsil, uvula nampak edema, ruam petechie pada langit langit
mulut, dan demam
 Pemeriksaan Tonsil
 Pemeriksaan berupa palpasi kelenjar getah bening di leher untuk melihat apakah ada
pembengkakan atau tidak
3. Pemeriksaan Laboratorium
Berupa pengambilan sampel lendir pasien ditenggorokan untuk mengetahui apakah ini
disebabkan oleh bakteri streptococcus B Hemoliticus group A atau bakteri lainnya
4. Pemeriksaan Penunjang
 Rapid Antigen Detection Test (RADT)
Yaitu Pemeriksaan dengan cara mengambil swab tenggorokan dari eksudat pada
tonsil atau bagian orofaring posterior menggunakan dipstick, pemeriksaan ini
dilakukan untuk menilai ada tidaknya karbohidrat streptococcus grup A pada
tenggorokan, pemeriksaan ini tidak membutuhkan waktu yang lama dalam rentang
spesifitas 54-100% dan sensitivitas 38-100%
 Kultur Tenggorokan
Kelebihan dari kultur tenggorokan ini memiliki sensitivitas tinggi, namun tidak
direkomendasikan dikarenakan memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 18-24 jam
inkubasi pada suhu 37 derajat sebelum hasil didapatkan oleh akrena itu uji kultur
tenggorokan tidak direkomendasikan untuk penderita pharingitis akut - Radiologi (X-
ray Cervical) untuk melihat dan menilai anatomi jalan napas apakah ada struktur yang
terganggu atau tidak
 Pemeriksaan Darah
Untuk menghitung jumlah leukosit jika dicurigai adanya limfositosis
kemungkinan mononucleosis

18
2.8 Diagnosis Banding
PPOK TB Bronkitis Bronkiektasis
Kronik

Laki-laki + +  +

45 tahun + + + +

Batuk + + + +

Sejak 2 bulan yang lalu + + + +

Terus menerus dan semakin memberat + + + +

Batuk dahak produktif warna kuning + +/- + +

Terutama dipagi + +/- + +

Tidak ada darah + - +/- +

Kadang disertai sesak napas yang + +/- + +


dipengaruhi beraktivitas

Tidak ada nyeri dada + + + +

Tidak ada demam + - + -

Tidak ada keringat malam + - + +

Penurunan berat badan + + - +

Riwayat berobat TB paru 3 tahun lalu dan - + + +


berobat tuntas

Riwayat merokok sejak usia 15 tahun + +/- +/- +\-


sebanyak 20 batang/hari

1. Bronkiektasis
 Definisi
Dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen, bersifat fokal atau difus yang biasa di
sebabkan oleh infeksi kronik, obstruksi pernafasan proximal, atau abnormalitas bronkus
kongenital.

 Epidemiologi: Insidens bronkiektasi meningkat seiring bertambahnya usia, sekitar 272 per
100.000 orang dengan usia >75 tahun. Sering ditemui pada perempuan berusia diatas 50 tahun
yang tidak merokok. Insidens perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

 Etiologi: Sebanyak 40% kasus disebabkan oleh post infeksi dan sekitar 50% lainnya tidak
diketahui penyebab pastinya.

19
 Diagnosis: diperlukan anamnesis untuk mencari beberapa hal,antara lain::
 Pada umumnya batuk berdahak,beberapa batuk kering lama. Sputum mukoid,
mukopurulen(71-90%), kental atau campuran ketiganya yang dikenal dengan sputum tiga
lapis
 Hemoptisis (Batuk berdarah)
 Lemas, penurunan BB,mialgia
 Dispneu, mengi
 Demam,nyeri dada pleuritik
 Kor pulmonal
 Tidak ada riwayat merokok
 Riwayat keluhan kronik

 Pada pemeriksaan fisik ditemukan:


 Takipneu
 Ronki basah
 Mengi dan jari tabuh(Nail clubbing)
 Jika disertai peyakit sistemik berat lainnya, dapat terjadi hipokemia kronik, kor pulmonal,
atau gagal ventrikel kanan.

 Pada pemeriksaan penunjang:


 Foto torax didapatkan gambaran ruang kistik,air fluid level, dan gambaran honeycomb

2. PPOK/COPD
 Definisi
Penyakit yang dapat dicegah dan dapat diobati. Dengan karakteristik hambatan aliran udara
menetap dan progresif yang disertai dengan penungkatan respon inflamasi kronis pada saluran
napas dan paru terhadap partikel berbahaya.

 Faktor Resiko:
 Pajanan asap rokok
 Polusi udara didalam ruangan seperti bahan biomass untuk memasak
 Pekerjaan yang berkaitan dengan paparan bahan kimia dan partikel tang lama dan terus
menerus
 Polusi udara diluar ruangan
 Genetik, yaitu; defisiensi antitripsin alfa-1
 Masalah paru yang terjadi pada masa gestasi atau anak anak

 Diagnosis:
 Anamnesis: Pasien mengalami gejala sesak napas(bersifat progresif,menetap,dan
memburuk dengan aktivitas), batuk kronis(bersifat intermiten, dan mungkin
unproductive), produksi sputum kronis,dan terdapat paparan faktor resiko diagnosis
PPOK dapat dipertimbangkan.
 Pemeriksaan Fisis: Barrel chest, penggunaan otot bantu pernafasan, pelebaran sela iga,
fremitus melemah, hipersonor, dan ekspirasi memanjang, wheezing
 Pemeriksaan penunjang: pada foto toraks terdapat gambaran hiperinflasi, hiperlusen,
diafragma mendatar, corakan bronkovaskular meningkat. Pada pemeriksaan spirometri
hasil VEP/KVP < 70% artinya pasien mengalami PPOK. Apabila lebih dari 70% maka
bukan PPOK.

3.Tuberculosis
 Definisi: Infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

 Diagnosis:

20
1. Anamnesis: Gejala lokal (respiratorik), yaitu batuk > 2 minggu, hemoptisis, sesak napas,
dan nyeri dada. Gejala sistemik, yaitu demam, malaise, keringat malam,anoreksia, dan
berat badan menurun.
2. Pemeriksaan Fisis: Pada pasien TB dapat ditemukan suara napas bronkial,amforik,suara
napas melemah, atau ronki basah.
3. Pemeriksaan Bakteriologi: Diambil dari spesimen dahak,cairan pleura,cairan
serebrospinal,bilasan bronkus dan lambung,bronchoalveolar lavage, biopsi.
4. Radiologi: Foto polos torax PA yang biasa dilakukan. Atas indikasi: foto lateral,top
lordotik,oblik,CT- Scan. Dicurigai lesi TB aktif apabila didapatkan gambaran bayangan
berawan/nodular diatas lobus atas paru segmen apikal dan posterior, lobus bawah segmen
posterior. Selanjutnya ditemukan kavitas, bercak mjlier, dan biasanya efusi pleura
unilateral.

4.Bronkitis Kronik
 Definisi
Bronkhitis adalah peradangan yang terjadi pada saluran utama pernafasan atau bronkus.
Bronkitis kronik adalah bronkitis yang datang berulang ulang dalam jangka waktu yang lama.
Terutama pada perokok.

 Etiologi: Etilogi bronkitis dibagi berdasarkan faktor lingkungan dan faktor host atau
penderita. Faktor lingkungan meliputi polusi udara, merokok, dan polusi. Infeksi sendiri
adalah infeksi dari patogen seperti bakteri,virus, ataupun jamur. Faktor penderita meliputi
usia,kondisi alergi, dan riwayat penyakit paru yang sudah ada.

 Manifestasi Klinis:
 Batuk berdahak( dahaknya hisa berwarna kemerahan)
 Sesak nafas ketika olahraga atau aktivitas ringan
 Sering menderita infeksi pernafasan
 Ronkhi atau wheezing
 Lelah
 Pembengkakan pergelangan kaki
 Wajah,telapak tangan atau selaput lendir berwarna kemerahan
 Pipi kemerahan

Bronkhitis ditandai dengan munculnya gejala batuk yang berlangsung selama satu minggu atau
lebih. Tanda utama Bronkhitis adalah batuk yang pada awalnya kering dan tidak produktif,
namun kemudian menjadi produktif,makin sering dan berdahak.

2.9 Penatalaksanaan

PPOK

Golongan obat yang umum digunakan pada PPOK meliputi bronkodilator (agonis beta2,
antimuskarinik, metilxantin), kortikosteroid inhalasi (ICS), glukokortikoid sistemik,
penghambat fosfodiesterase-4 (PDE4), dan antibiotik.

. Bronkitis Kronik

Intervensi farmakologis andalan adalah sebagai berikut:

 Bronkodilator: Agonis reseptor β-adrenergik kerja pendek dan panjang, serta antikolinergik,
membantu dengan meningkatkan lumen saluran napas, meningkatkan fungsi silia, dan
meningkatkan hidrasi mukosa.
 Glukokortikoid: Mengurangi peradangan dan produksi lendir. Kortikosteroid inhalasi
mengurangi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, obat ini diberikan di

21
bawah pengawasan medis dan untuk jangka waktu singkat, karena penggunaan jangka
panjang dapat menyebabkan osteoporosis, diabetes, dan hipertensi.
 Terapi antibiotik: tidak diindikasikan dalam pengobatan bronkitis kronis; Namun, terapi
makrolida telah terbukti memiliki sifat anti-inflamasi dan karenanya mungkin berperan dalam
pengobatan bronkitis kronis.
 Inhibitor fosfodiesterase-4: mengurangi peradangan dan meningkatkan relaksasi otot polos
saluran napas dengan mencegah hidrolisis siklik adenosin monofosfat, suatu zat yang bila
terdegradasi akan menyebabkan pelepasan mediator inflamasi.

Bronkioektasis

Mengontrol penyumbatan aliran udara balik : Pada pasien dengan penyumbatan aliran udara,
bronkodilator inhalasi dan kortikosteroid harus digunakan untuk meningkatkan patensi jalan
napas.

Meningkatkan pembersihan trakeobronkial: Kebanyakan dokter merekomendasikan


pembersihan lendir sebagai terapi utama pada bronkiektasis. Drainase postural terdiri dari
pengambilan posisi di mana lobus paling atas dikeringkan, dan harus dilakukan minimal 5
hingga 10 menit dua kali sehari.

Mengontrol infeksi : Pemilihan antibiotik terutama harus didasarkan pada hasil kultur dan
sensitivitas. Bila tidak ada patogen spesifik yang teridentifikasi, dan pasien tidak sakit parah,
obat oral seperti amoksisilin, ko-amoxiclav, atau makrolida selama 2 minggu sudah cukup.

Tuberculosis

Pengobatan Lini Pertama, Kelompok 1

 Isoniazid - Dewasa (maksimum): 5 mg/kg (300 mg) setiap hari; 15 mg/kg (900 mg) sekali,
dua kali, atau tiga kali seminggu. Anak-anak (maksimum): 10-15 mg/kg (300 mg) setiap hari;
20--30 mg/kg (900 mg) dua kali seminggu (3).Persiapan. Tablet (50 mg, 100 mg, 300 mg);
sirup (50 mg/5 ml); larutan berair (100 mg/ml) untuk injeksi IV atau IM.
 Rifampisin - Dewasa (maksimum): 10 mg/kg (600 mg) sekali sehari, dua kali seminggu, atau
tiga kali seminggu. Anak-anak (maksimum): 10-20 mg/kg (600 mg) sekali sehari atau dua
kali seminggu. Persiapan. Kapsul (150 mg, 300 mg)
 Rifabutin- Dewasa (maksimum): 5 mg/kg (300 mg) setiap hari, dua kali, atau tiga kali
seminggu. Jika rifabutin digunakan bersama efavirenz, dosis rifabutin harus ditingkatkan
menjadi 450--600 mg setiap hari atau sesekali. Anak-anak (maksimum): Dosis yang tepat
untuk anak-anak tidak diketahui. Sediaan: Kapsul (150 mg) untuk pemberian oral.
 RIfapentine - Dewasa (maksimum): 10 mg/kg (600 mg), seminggu sekali (tahap lanjutan
pengobatan)Anak-anak: Obat ini tidak disetujui untuk digunakan pada anak-anak.Persiapan.
Tablet (150 mg, dilapisi film).
 Pirazinamid - Dewasa: 20-25 mg/kg per hari. Anak-anak (maksimum): 15-30 mg/kg (2,0 g)
setiap hari; 50 mg/kg dua kali seminggu (2,0 g).Persiapan. Tablet (500mg).
 Etambutol - Dewasa: 15-20 mg/kg per hari: Anak-anak (maksimum): 15-20 mg/kg per hari
(2,5 g); 50 mg/kg dua kali seminggu (2,5 g). Obat ini dapat digunakan dengan aman pada
anak yang lebih besar namun harus digunakan dengan hati-hati pada anak yang ketajaman
penglihatannya tidak dapat dipantau (umumnya berusia kurang dari 5 tahun) (66). Pada anak
kecil, EMB dapat digunakan jika ada kekhawatiran resistensi terhadap obat INH atau RIF.
Tablet (100 mg, 400 mg) untuk pemberian oral.

2.10 Pencegahan
Terdapat 5 level prevention dalam pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan, yakni :

1. Health Promotion (Peningkatan kesehatan)

22
Merupakan tahap pertama. Upaya ini dilakukan pada saat tubuh masih dalam keadaan sehat.
Misalnya, menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), seperti :
• Makan makanan yang bergizi
• Tidak merokok
• Menjaga kebersihan diri dan lingkungan

2. Specific Protection (Perlindungan Khusus)


Merupakan tahap kedua yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga kesehatan tubuh
dari suatu penyakit tertentu. Upaya ini masih sama dengan pencegahan tahap pertama yaitu
dilakukan pada saat tubuh masih dalam keadaan sehat. Tetapi upaya yang kedua ini lebih
ditujukan untuk mencegah suatu penyakit tertentu.
Yang termasuk dalam upaya pencegahan tahap kedua ini antara lain :
• Imunisasi BCG yang ditujukan untuk mencegah penyakit TB
• ⁠Tidak merokok yang ditujukan untuk mencegah penyakit paru-paru.

3. Early Diagnosis and Prompt Treatment (Pengobatan Cepat dan Tepat)


Merupakan tahap ketiga yaitu upaya yang dilakukan pada saat tubuh sudah mulai merasakan
tidak sehat (sudah ada suatu penyakit) dan ditujukan untuk mencegah penyakit berkembang
lebih serius / lebih parah.
Yang termasuk dalam kategori pencegahan tahap tiga ini antara lain :
• Screening (general check up) untuk menemukan suatu penyakit
• Setelah penyakit ditemukan, dilakukan pengobatan yang cepat dan tepat supaya penyakit
dapat disembuhkan, tidak menyebabkan kematian atau menyebabkan kecacatan.
Contohnya : Pergi ke RS / puskesmas / BKPM untuk memeriksakan gejala batuknya.

4. Disability Limitation (Pembatasan Kecacatan)


Merupakan tahap keempat yaitu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kecacatan
setelah seseorang terjangkit suatu penyakit. Misalnya, :
• Minum obat secara rutin
• Menerapkan perilaku etika batuk dan cara membuang dahak yang benar. Menurut Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) etika batuk dan bersin yang benar yaitu menggunakan
masker bila flu atau batuk, gunakan tisu untuk menutup hidung dan mulut dan buang tisu
ketempat sampah tertutup, jika tidak membawa masker atau tisu, tutup mulut saat batuk atau
bersin dengan lengan atas bagian dalam atau siku bagian dalam, kemudian lanjutkan cuci
tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer berbasis alkohol.

5. Rehabilitation (Rehabilitasi)
Merupakan tahap kelima yaitu upaya yang dilakukan untuk memulihkan kondisi tubuh setelah
terjadinya suatu penyakit dan mencegah terjadinya kecacatan. Tujuannya adalah supaya pasien
dapat bekerja lagi secara produktif.

2.11 Integrasi Keislaman

1. Allah Ta’ala berfirman,


‫َو ََل ت ُ ْلقُوا بِأ َ ْيدِي ُك ْم إِلَى الت َّ ْهلُ َك ِة‬
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“.
(QS. Al Baqarah: 195).
Karena merokok dapat menjerumuskan dalam kebinasaan, yaitu merusak seluruh sistem
tubuh (menimbulkan penyakit kanker, penyakit pernafasan, penyakit jantung, penyakit
pencernaan, berefek buruk bagi janin, dan merusak sistem reproduksi), dari alasan ini
sangat jelas rokok terlarang atau haram.

23
2. Selain itu tembakau mengandung nikotin yang secara ilmiah telah terbukti
merusak kesehatan dan membunuh penggunanya secara perlahan, padahal
Allah telah berfirman:
‫َّللاَ كَانَ بِ ُك ْم َرحِ ي ًما‬ َ ُ‫َو ََل ت َ ْقتُلُوا أ َ ْنف‬
َّ ‫س ُك ْم إِ َّن‬
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu“. (QS. An Nisaa: 29).

24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam hasil diskusi PBL pertemuan ke-1 dan ke-2 pada modul mengenai “Batuk”,
kami telah mempertimbangkan beberapa diagnosis banding, antara lain
Bronkiektasis,PPOK,Bronkitis Kronik,Tuberculosis Dalam scenario ini, berdasarkan tabel
diagnosis banding yang telah kami tentukan, Untuk menegakkan diagnosis kasus lebih
jelas, dibutuhkan adanya anamnesis yang lebih mendalam disertai dengan pemeriksaan
lebih lanjut.
3.2 Saran
Untuk meningkatkan efektivitas proses PBL, perlu mendorong mahasiswa agar lebih
aktif berpartisipasi dalam diskusi yang terkait dengan scenario dalam PBL. Dalam hal ini,
mahasiswa perlu memberikan kontribusi berupa pendapat yang lebih beragam, sehingga
diskusi bisa lebih mendalam dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang yang
berbeda terkait dengan scenario yang sedang dibahas. Selain itu, mahasiswa sebaiknya
melakukan Upaya lebih lanjut untuk memperkaya referensinya, sehingga mereka memiliki
landasan yang lebih kuat untuk diskusi. Hal ini akan membantu mereka memahami gejala
dan jenis penyakit yang muncul dalam scenario dengan lebih baik, sehingga mereka lebih
mudah dalam mengeakkan diagnosis utama.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Ramadhani H, Lingga FDP. Upaya Pencegahan Penyebaran Penyakit Dengan


Menerapkan Etika Batuk dan Bersin. J Implementa Husada. 2023; 4(1) : 35-38.
https://jurnal.umsu.ac.id/index.php/JIH/article/download/12845/pdf
2. Yulianti TR, etc. Pencegahan dan Pengendalian Tuberkulosis Paru. J Pengabdian
Masyarakat Kesehatan Masyarakat. 2022; 2(1) : 68-81.
https://doi.org/10.31849/pengmaskesmas.v1i2/5885
3. Purwanto IF, Imandiri A, Arifanti L. Combination of acupuncture therapy and
turmericliquorice herbs for chronic coughing case. Journal of vocational health
studies. 2018;1(3):121-5.
4. Irwi RS, at al. “Classification of Cough as a Symptom in Adults and Management
Algorithms”. CHEST. 2018;153:196-209
5. Bakhtiar, Arief, and Putri Mega Juwita. “Management of Cough”. Jurnal Respirasi 6,
no. 3 (September 30, 2020): 85–96.
6. Santosa G, pendekatan klinik batuk kronik dan atau berulang pada anak. Pidato
Pengukuhan Guru Besar. Universitas Airlangga 1991.
7. Chang AB. Cough, cough receptors, and asthma in children. Pediatric pulmonal
1999;28:59-70

26

Anda mungkin juga menyukai