Anda di halaman 1dari 56

TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

ASUHAN KEPERAWATAN TBC

KELOMPOK 1

1. MIFTAKHUL JANNAH NIM 202007001


2. MAHLIGAI WINA WINARNO NIM 202007002
3. SRI WINARNI NIM 202007018
4. EVI FITRIANA NIM 202007020
5. ILUH WUWUH ASRINING PURI NIM 202007016
6. INDAH SUPRAMIATI NIM 202007007
7. DEWI NILAWAN NIM 202007011
8. UDIN AGUS SUSANTO NIM 202007030

PROGRAM B PRODI S1 KEPERAWATAN

 
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
karunianya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN TBC” sesuai pada waktunya.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuan tentang


Asuhan Keperawatan TBC, yang disajikan berdasarkan informasi yang penyusun peroleh dari
buku dan internet. Makalah ini disusun oleh penyusun dengaan berbagai rintangan. Baik itu
yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk
saran dan kritikanya. Terima kasih.

Mojokerto, April 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit pada sistem pernafasan merupakan masalah yang sudah umum terjadi di
masyarakat. TB paru merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan  kematian dengan
urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas),
diagnosis dan terapi yang cukup lama. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara
berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah

Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan


dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan
China dalam jumlah penderita TB paru di dunia.

Mycobacterium Tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia,


menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per
tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian
penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB
berada di negara-negara berkembang. Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah
penderita TB akan meningkat. Hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995
menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari
golongan infeksi. Antara tahun 1979-1982 telah dilakukan survei prevalensi di 15 propinsi
dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000 penduduk.

Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita
terdapat disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah dan
swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan
kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.

Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB


kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB
Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) atau
pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari baru mencapai 36% dengan
angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56%
dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak
teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup di masa lalu kemungkinan telah timbul
kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas atau multi drug
resistance (MDR).

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana TB Paru pada klien dewasa bisa terjadi ?
2. Apa tanda dan gejala yang muncul (manifestasi klinis) dari TB Paru pada klien
dewasa?
3. Apa pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?
4. Bagaimana alur penegakan diagnostik pada pasien TB Paru ?
5. Bagaimana cara mencegah dan penatalaksanaan TB Paru ?
6. Bagaimana cara menangani gangguan pernapasan akibat penyakit TB Paru klien
dewasa?
7.  Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?
 
C. Tujuan
Tujuan Umum
Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan gangguan TB
Paru.
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep dasar TB paru
2. Menjelaskan asuhan keperawatan klien dewasa dengan TB paru, meliputi :
a) Pengkajian TB paru
b) Mengidentifikasi diagnosa  keperawatan pada klien dewasa dengan TB paru
c) Melakukan perencanaan pada klien dewasa dengan TB paru
d) Melakukan implementasi keperawatan pada klien TB paru
e) Melakukan evaluasi keperawatab pada klien TB paru
 
D. Manfaat
Manfaat yang ingin diperoleh dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Mendapatkan pengetahuan tentang TB Paru
2. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan TB
Paru
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Medis
1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan
a. Anatomi sistem pernafasan
Sistem pernafasan pada dasarnya dibentuk oleh jalan atau saluran nafas dan paru-
paru beserta pembungkusnya (pleura) dan rongga dada yang melindunginya. Di
dalam rongga dada terdapat juga jantung di dalamnya. Rongga dada dipisahkan
dengan rongga perut oleh diafragma.

1) Hidung = Naso = Nasal


Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang ( cavum
nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Didalam terdapat bulu-bulu
yang berguna untuk menyaring udara, debu dan kotoran-kotoran yang masuk
kedalam lubang hidung.
a) Bagian luar dinding terdiri dari kulit
b) Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
c) Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat yang dinamakan
karang hidung (konka nasalis), yang berjumlah 3 buah:
(1) konka nasalis inferior ( karang hidup bagian bawah)
(2) konka nasalis media (karang hidung bagian tengah)
(3) konka nasalis superior (karang hidung bagian atas).
Diantara konka-konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu meatus superior
(lekukan bagian atas), meatus medialis (lekukan bagian tengah dan meatus
inferior (lekukan bagian bawah). Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara
pernafasan, sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak,
lubang ini disebut koana.
Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas, keatas rongga hidung
berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut sinus paranasalis, yaitu sinus
maksilaris pada rongga rahang atas, sinus frontalis pada rongga tulang dahi, sinus
sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus etmodialis pada rongga tulang tapis.
Pada sinus etmodialis, keluar ujung-ujung saraf penciuman yang menuju ke konka
nasalis. Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman, sel tersebut terutama
terdapat di bagianb atas. Pada hidung di bagian mukosa terdapat serabut-serabut
syaraf atau respektor dari saraf penciuman disebut nervus olfaktorius. Disebelah
belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit terdapat satu
lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran
tengah, saluran ini disebut tuba auditiva eustaki, yang menghubungkan telinga
tengah dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan dengan saluran air
mata disebut tuba lakminaris.
Fungsi hidung, terdiri dari
(a) bekerja sebagai saluran udara pernafasan
(b) sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung
(c) dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa
(d) membunuh kuman-kuman yang masuk, bersama-sama udara pernafasan
oleh leukosit yang terdapat dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung

2) Tekak = Faring
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan
makanan. Terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan
mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain
keatas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang
bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan
ini bernama istmus fausium. Ke bawah terdapat dua lubang, ke depan lubang
laring, ke belakang lubang esofagus.
Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat
terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening ini dinamakan adenoid.
Disebelahnya terdapat 2 buah tonsilkiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang
terdapat epiglottis (empang tenggorok) yang berfungsi menutup laring pada waktu
menelan makanan.
Rongga tekak dibagi dalam 3 bagian:
a) bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana yang disebut
nasofaring.
b) Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium disebut
orofaring
c) Bagian bawah sekali dinamakan laringgofaring.
3) Pangkal Tenggorokan (Laring)
Merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak
di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam
trakea dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang
tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.
Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain:
a) Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun sangat jelas terlihat pada pria.
b) Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker
c) Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin
d) Kartilago epiglotis (1 buah).
Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis
yang dilapisi oleh sel epiteliumnberlapis. Proses pembentukan suara
merupakan hasil kerjasama antara rongga mulut, rongga hidung, laring, lidah
dan bibir. Perbedaan suara seseorang tergsantung pada tebal dan panjangnya
pita suara. Pita suara pria jauh lebih tebal daripada pita suara wanita.
4) Batang Tenggorokan ( Trakea)
Merupakan lanjutan dari laring yang terbentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari
tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda. Sebelah dalam diliputi
oleh:
selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia,hanya bergerak kearah
luar.
Panjang trakea 9-11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang
dilapisi oleh otot polos. Sel-sel bersilia gunanya untuk mengeluarkan benda-benda
asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernafasan. Yang memisahkan
trakea menjadi bronkus kiri dan kanan disebut karina.
5) Cabang Tenggorokan ( Bronkus)
Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, bronkus lobaris kanan (3
lobus) dan bronkus lobaris kiri ( 2 bronkus).bronkus lobaris kanan terbagi menjadi
10 bronkus segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus
segmental. Bronkus segmentalisini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus
subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki: arteri, limfatik
dan saraf.
a) Bronkiolus
Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus
mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk
selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan nafas.
b) Bronkiolus terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang
mempunyai kelenjar lendir dan silia)
c) Bronkiolus respiratori
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respirstori. Bronkiolus
respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara lain jalan nafas
konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Duktus alveolar dan sakus alveolar
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus
alveolar. Dan kemudian menjadi alvioli.
6) Alveoli
Merupakan tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida. Terdapat sekitar 300
juta yang jika bersatu membentuk satu lembar akan seluas 70 m2.
Terdiri atas 3 tipe:
Sel-sel alveolar tipe I : sel epitel yang membentuk dinding alveoli.
Sel-sel alveolar tipe II: sel yang aktif secara metabolik dan mensekresikan
surfaktan (suatu fosfolifid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar
agar tidak kolaps)
Sel-sel alveolar tipe III: makrofag yang merupakan sel-sel fagotosis dan bekerja
sebagai mekanisme pertahanan.
7) Paru – paru
Merupakan organ yang elastis berbentuk kerucut. Terletak dalam rongga dada
atau toraks. Kedua paru dipisahkan oleh mediastinum sentral yang berisi jantung
dan beberapa pembuluh dareah besar. Setiap paru mempunyai apeks dan basis,
paru kanan lebih besar dan terbagi menjadi 3 lobus dan fisura interlobaris. Paru
kiri lebih kecil dan terbagi menjadi 2 lobus. Lobus-lobus tersebut terbagi menjadi
beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya.
8) Pleura
Merupakan lapisan tipisyang mengandung kolagen dan jaringan elastis. Terbagi
menjadi 2:
a. Pleura perietalis yaitu yang melapisi rongga dada.
b. Pleura viseralis yaitu yang menyelubungi setiap paru-paru.
Diantara pleura terdapat rongga pleura yang berisi cairan tipis pleura yang
berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama
pernafsan. Juga untuk mencegah pemisahan toraks dengan paru-paru.
Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir, hal ini
untuk mencegah kolap paru-paru.

b. Fisiologi Pernafasan
Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam keadaan
tertidur sekalipun karma sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom.
1) Pengertian Respirasi
Repirasi luar adalah pertukaran udara yang terjadi antara udara dalam alveolus
dengan darah dalam kapiler dan merupakan pertukaran O2 dan CO2 antara darah
dan udara.
Respirasi dalam adalah pernapasan yang terjadi antara darah
dalam kapiler dengan sel-sel tubuh dan merupakan pertukaran O2 dan CO2
dari aliran darah ke seluruh tubuh.
2) Jenis Respirasi
a) Pernapasan Dada
Merupakan adalah pernapasan yang melibatkan otot antartulang rusuk.
Fase inspirasi. Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk
sehingga rongga dada membesar, akibatnya tekanan dalam rongga dada
menjadi lebih kecil daripada tekanan diluar sehingga udara luar yang kaya
oksigen masuk.
Fase ekspirasi. Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara
tulang rusuk ke posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk
sehingga rongga dada menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan di dalam
rongga dada menjadi lebih besar daripada tekanan luar, sehingga udara dalam
rongga dada yang kaya karbon dioksida keluar.
b) Pernapasan perut
Merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan aktifitas otot-otot
diafragma yang membatasi rongga perut dan rongga dada.
Fase Inspirasi. Pada fase ini otot diafragma berkontraksi sehingga diafragma
mendatar, akibatnya rongga dada membesar dan tekanan menjadi kecil
sehingga udara luar masuk.
Fase Ekspirasi.
Fase ekspirasi merupakan fase berelaksasinya otot diafragma (kembali ke
posisi semula, mengembang) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan
menjadi lebih besar, akibatnya udara keluar dari paru-paru.
3) Volume Udara Pernafasan
Dalam keadaan normal, volume udara paru-paru manusia mencapai 4500 cc.
Udara ini dikenal sebagai kapasitas total udara pernapasan manusia. Besarnya
volume udara pernapasan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain ukuran alat pernapasan, kemampuan dan kebiasaan bernapas, serta
kondisi kesehatan.
4) Pertukaran O2 Dan CO2 Dalam Pernafasan
Jumlah oksigen yang diambil melalui udara pernapasan tergantung pada
kebutuhan dan hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, ukuran
tubuh, serta jumlah maupun jenis bahan makanan yang dimakan. Dalam keadaan
biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau sekitar
0,5cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume udara
inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi
oksigen udara berkurang. Oksigen yang dibutuhkan berdifusi masuk ke darah
dalam kapiler
darah yang menyelubungi alveolus. Selanjutnya, sebagian besar
darah yang menyelubungi alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen diikat
oleh zat warna darah atau pigmen darah (hemoglobin) untuk diangkut ke sel-sel
jaringan tubuh.
5) Proses Kimiawi Respirasi Pada Manusia
a) Pembuangan CO2 dari paru-paru : H + HCO3 H2+CO3 ¬H2 + CO2
b) Pengikatan oksigen oleh hemoglobin : Hb + O2 Hb O2
c) Pemisahan oksigen dari hemoglobin ke cairan sel : : Hb O2 Hb O2
d) Pengangkutan karbohidrat di dalam tubuh : : CO2 + H2O H2+CO2

2. Pengertian TB Paru
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil
Tahan Asam (BTA).
Selain itu TB paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai
organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi (Tabrani Rab,
2010).
Menurut Robinson, dkk (2014) TB Paru merupakan infeksi akut atau kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis di tandai dengan adanya infiltrat paru,
pembentukan granuloma dengan perkejuan, fibrosis serta pembentukan kavitas.
Tersangka pasien TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis
mendukung TB ( sebelumnya dikenal sebagai suspek TB ) (Kementrian Kesehatan RI,
2019)
3. Etiologi
Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant,
tertidur lama selama beberapa tahun. Sumber penularan adalah penderita TB BTA
positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian
tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau
penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila
hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular.
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis:
a. Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara
genetik.
b. Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian     dan
kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
c. Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi.
d. Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat,  
kemungkinan infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat.
e. Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang  nutrisi,
stress emosional, kelelahan yang kronik) Meningkatnya sekresi steroid adrenal
yang menekan reaksi inflamasi dan  memudahkan untuk penyebarluasan infeksi.
f. Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah.
g. Nutrisi ; status nutrisi kurang
h. Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis.
i. Tidak mematuhi aturan pengobatan.

4. Patofisiologi
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja
keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena
sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya
droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri
tuberkolosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri
ini  terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri
tuberkolosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan air-borne infection. Bakteri
yang terisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk
hingga alveoli. Pada titik lokasi di mana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan
menggandakan diri (multiplying). Bakteri tuberkolosis dan fokus ini disebut fokus
primer atau lesi primer (fokus Ghon). Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional,
yang bersama dengan fokus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6
minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap tes tuberkulin
atau tes Mantoux.
Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui
berbagai jalan, yaitu:
a.  Percabangan bronchus
Dapat mengenai area paru atau melalui sputum menyebar ke laring
(menyebabkan ulserasi laring), maupun ke saluran pencernaan.
b. Sistem saluran limfe
Menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara tak
langsung mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui duktus limfatikus dan
menimbulkan tuberkulosis milier.
c. Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau
mengangkut material yang mengandung bakteri tuberkulosis dan bakteri ini dapat
mencapai berbagai organ melalui aliran darah, yaitu tulang, ginjal, kelenjar
adrenal, otak, dan meningen.
d. Reaktifasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)
Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang
lebih jauh dan bakteri tuberkulosis tak dapat berkembang biak lebih lanjut dan
menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu saat kondisi inang melemah akibat sakit
lama/keras atau memakai obat yang melemahkan daya tahan tubuh terlalu lama,
maka bakteri tuberkulosis yang dorman dapat aktif kembali. Inilah yang disebut
reaktifasi infeksi primer atau infeksi pasca-primer. Infeksi ini dapat terjadi
bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca-primer juga
dapat diakibatkan oleh bakteri tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi
baru), bukan bakteri dorman yang aktif kembali. Biasanya organ paru tempat
timbulnya infeksi pasca-primer terutama berada di daerah apeks paru.
e. Infeksi Primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi primer terjadi saat
seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat
kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus,
dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai
saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru,
yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa
kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks
primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah
4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer
tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas
seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap
sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh
tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa
bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi,
yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan
sekitar 6 bulan.
f. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer
adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
g. Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan
meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 %
sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO 1996).
h. Pengaruh Infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis,
maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan
kematian. Bila jumlah horang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita
TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat
pula.
5. Klasifikasi TB Paru
Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas :
a. Berdasarkan organ yang terinvasi 
1) TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi
menjadi 2, yaitu :
a) TB Paru BTA Positif
Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1
spesimen dahak SPS positif disertai pemeriksaan radiologi paru
menunjukan gambaran TB aktif.
a. Pasien TB berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya
positif dengan pemeriksaan mikroskopis, biakan atau diagnostik cepat
yang diakui oleh WHO (misal :GeneXpert). Semua pasien yang
memenuhi definisi ini harus dicatat tanpa memandang apakah pengobatan
TB sudah dimulai ataukah belum.
Termasuk dalam tipe pasien tersebut adalah :
a. Pasien TB paru BTA positif :
Pasien TB yang hasil pemeriksaan sediaan dahaknya positif
dengan cara pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes
diagnostik cepat (misalnya GeneXpert)
b. Pasien TB berdasarkan diagnosis klinis :
Adalah seseorang yang memulai pengobatan sebagai pasien TB namun
tidak memenuhi definisi dasar diagnosis berdasarkan konfirmasi hasil
pemeriksaan bakteriologis. Termasuk dalam tipe pasien ini adalah :
• Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil foto toraks sangat
mendukung gambaran TB
• Pasien TB ekstra paru tanpa hasil konfirmasi pemeriksaan
laboratorium
• Pasien TB dengan diagnosis klinis apabila kemudian terbukti hasil
pemeriksaan laboratorium BTA positif (sebelum atau setelah
menjalani pengobatan) harus diklasifikasikan kembali sebagai pasien
TB dengan konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis sebagaimana
definisi pasien tersebut diatas.
Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang
merugikan pasien, pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis
klinis hanya dianjurkan pada pasien dengan dengan pertimbangan
sebagai berikut :
 Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung TB
 Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal : pada TB
meningen, TB milier, pasien dengan HIV positif dsb.
 Tindakan pengobatan untuk kepentingan pasien dan sebaiknya
diberikan atas persetujuan tertulis dari pasien atau yang diberi kuasa.
 Apabila fasilitas memungkinkan, segera diupayakan pemeriksaan
penunjang yang sesuai misal : pemeriksaan biakan, pemeriksaan
diagnostik cepat dsb. untuk memastikan diagnosis.
b) TB Paru BTA Negatif
Apabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan
pemeriksaan radiologi dada menunjukan gambaran TB aktif. TB Paru
dengan BTA (-) dan gambaran radiologi positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan, bila menunjukan keparahan yakni kerusakan luas
dianggap berat.
2) TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru,misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin.
TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu :
a) TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal
b) TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB
tulang belakang, TB saluran kencing dan alat kelamin.
3) TB pada anak
Diagnosis TB pada anak seringkali sulit karena banyak anak kecil tidak
dapat memproduksi dahak pemeriksaan. Sejarah rinci, pemeriksaan dan kontak
dengan kasus tuberkulosis yang diketahui atau kemungkinan besar harus
mendahului tes diagnostik. Pada bayi, presentasi mungkin lebih akut atau
persisten dan mereka dapat memiliki gejala yang tidak kunjung sembuh jika
dibandingkan dengan anak yang lebih besar. Remaja biasanya hadir dengan
gejala yang mirip dengan orang dewasa.
Penyakit tipe dewasa pertama kali muncul sekitar masa pubertas (usia
8-10 tahun) dan menjadi manifestasi penyakit yang dominan selama masa
remaja. Seperti TB paru pada orang dewasa, segmen apikal dan posterior lobus
atas dan segmen apikal lobus bawah paling sering terkena (Marais & Schaaf,
2014)
Remaja mungkin hadir dengan tipe dewasa tuberkulosis paru (TB), termasuk
penyakit rongga di lobus atas dan sputum BTA-positif, yang melibatkan risiko
penularan yang signifikan untuk kontak sosial dan keluarga. (Margarit et al.,
2017)

PENDEKATAN UNTUK DIAGNOSA TBC


Diagnosis harus didasarkan pada:
c. Riwayat rinci (termasuk riwayat kontak TB dan gejala yang konsisten
dengan TB)
d. Pemeriksaan klinis (termasuk penilaian pertumbuhan)
e. Investigasi
f. Tes kulit tuberculin
g. Rontgen dada dan pemeriksaan radiologi relevan lainnya
h. Konfirmasi bakteriologis termasuk Xpert MTB / RIF (bila memungkinkan)
i. Investigasi untuk TB ekstra paru
j. Tes HIV
k. Riwayat kontak TB
Semua kontak anak harus diskrining secara klinis (riwayat dan
pemeriksaan). Anak-anak berusia 0–4 tahun (terlepas dari gejalanya) dan
anak usia 5 tahun ke atas yang bergejala, harus lebih lanjut dievaluasi untuk
TB. Anak-anak dari segala usia yang hidup dengan HIV, yang telah
berhubungan dekat dengan kasus TB harus dievaluasi untuk TB.
Ketika seorang anak didiagnosis dengan TB, upaya harus dilakukan
untuk mendeteksi sumber kasus (jika belum teridentifikasi) dan kasus lain
yang tidak terdiagnosis dalam rumah tangga. Kasus sumber termasuk,
rumah tangga anggota, tetangga di daerah keramaian, pengunjung yang
sering, pelayan, supir van sekolah, staf penitipan anak pusat perawatan,
pembibitan, dll. Jika seorang anak datang dengan TB, kontak anak lain
harus dicari dan disaring, untuk kasus sumber. Anak-anak harus dianggap
menular jika mereka memiliki hasil dahak BTA-positif TB paru atau TB
kavitasi pada rontgen dada (tidak jarang pada anak yang lebih tua dan
remaja).
Gejala
Kebanyakan anak akan datang dengan gejala kronis yang tak kunjung
sembuh seperti;
• Batuk terus menerus selama lebih dari dua minggu
• Pneumonia tidak merespons antibiotik
• Kontrol 'asma' / mengi yang buruk meskipun pengobatan yang tepat
• Penyakit demam yang tidak terdiagnosis berlanjut selama lebih dari 2
minggu
• Makanan yang buruk / anoreksia
• Penurunan berat badan atau pertumbuhan yang goyah (sangat penting
untuk melihat grafik pertumbuhan anak jika tersedia)
• Anak-anak yang menerima perawatan nutrisi terapeutik atau suplemen
nutrisi tetapi masih belum menambah berat badan, atau terus
menurunkan berat badan
• Kelelahan, lesu dan penurunan aktivitas
Harus ada ambang batas yang lebih rendah untuk mendiagnosis TB pada anak
yang berisiko terhadap penyakit berat seperti;
• Bayi atau anak kecil (di bawah 3 tahun)
• Anak-anak yang hidup dengan pasien yang terinfeksi HIV
• Anak-anak dengan Malnutrisi Akut Parah (SAM)
• Anak-anak dengan gangguan kekebalan
• Anak-anak imigran dan pengungsi
 
6. Berdasarkan tipe penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita :
a. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan.
b. Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil
pemeriksaan BTA positif.
c. Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
d. Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat
paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang
kembali berobat.

7. Manifestasi Klinis
Diagnosa TB berdasarkan gejala/manifestasi klinis dibagi menjadi 3, diantaranya:
a. Gejala respiratorik, meliputi:
1) Batuk 
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak
bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
2) Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak
berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh
darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh
darah yang pecah.
3) Sesak nafas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia
dan lain-lain.
4) Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala
ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
b. Gejala sistemik meliputi:
1) Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan
malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin
panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.

2) Gejala sistemik lain :


Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan serta malaise. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa
minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas
walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
3) Gejala Tuberkulosis ekstra Paru
Tergantung pada organ yang terkena, misalnya : limfadenitis
tuberkulosa. Meningitsis tuberkulosa, dan pleuritis tuberkulosa.

8. Pemeriksaan Diagnostik
Penegakan Diagnostik untuk TB Paru menggunakan pemeriksaan :
a. Tes Cepat Molekular / Gen Expert
Pada saat ini Test Cepat Molekuler (TCM) adalah alat diagnostik utama
yang digunakan untuk penegakan diagnostik TB Paru. Pemeriksaan TCM
digunakan untuk mendiagnosis TBC, baik TBC paru maupun ekstra paru, baik
riwayat pengobatan TBC baru maupun yang memiliki riwayat pengobatan
sebelumnya dan pada semua golongan umur termasuk pada ODHA.
Pemeriksaan TCM dilakukan dari spesimen dahak (untuk terduga TBC Paru)
dan non dahak (untuk terduga TBC Ekstra Paru yaitu dari cairan serebro spinal,
kelenjar limfe dan jaringan).
Pemanfaatan teknologi diagnosis TB dengan metode tes cepat berbasis
molekuler (Tes Cepat Molekuler / TCM TB) merupakan terobosan dalam
percepatan penanggulangan TB  di Indonesia.  Penggunaan TCM TB tersebut
dapat  mempercepat diagnosis terduga  TB dan TB resisten obat (TB RO)
sehingga pasien dapat didiagnosis dan diobati sedini mungkin.  TCM TB dapat
mendeteksi M. tuberculosis dan resistensi terhadap rifampisin sebagai salah satu
Obat  Anti Tuberkulosis (OAT) yang utama hanya dalam waktu  2 jam. Dengan
demikian jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan metode biakan dan uji
kepekaan dengan metode konvensional menggunakan media padat yang
memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan. 

b. BTA (Pemeriksaan Makroskopis)


Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan pemeriksaan
tersebut akan ditemukan kuman BTA. Di samping itu pemeriksaan sputum juga
dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan
(puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum,
terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif Dalam hal ini
dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air
sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan
memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi
larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat
diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil dengan brushing atau bronchial
washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga
didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak
karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa
hendaknya sesegar mungkin. Bila sputum sudah didapat. kuman BTA pun
kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman bant dapat dkcmukan bila bronkus yang
terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung
kuman BTA mudah ke luar.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan
3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000
kuman dalam 1 mil sputum Hasil pemeriksaan BTA (basil tahan asam) (+) di
bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum, sedangkan
untuk mendapatkan kuman (+) pada biakan yang merupakan diagnosis pasti,
dibutuhkan sekitar 50 - 100 kuman/ml sputum. Hasil kultur memerlukan waktu
tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.
Rekomendasi WHO skala IUATLD :
1) Tidak ditemuukan BTA dalam 100 lapang pandangan :negative
2) Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman
3) Ditemukan 10-99 BTA : 1+
4) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 2+
5) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 3+
b. Pemeriksaan tuberculin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering
digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC
dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin
positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–
12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia
anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara
melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering
digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
Interpretation of Tuberculin Skin Test (Ministry of Health Pakistan, 2015)
In HIV-negative individuals,
- 0-9 mm : Negative
- 10-14 mm : Positive
- 15 mm or more: Strongly positive
c. Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu
lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan
fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu
kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali di lobus
bawah dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat
sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi
yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas ini sering
diduga sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif, yang akan tampak lebih
jelas dengan pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil
pengobatan dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri
tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama baiknya dengan respons dari
klien. Penyembuhan yang lengkap serinng kali terjadi di beberapa area dan ini
adalah observasi yang dapat terjadi pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini
tampak paling menyolok pada klien dengan penyakit akut yang relatif di mana
prosesnya dianggap berasal dari tingkat eksudatif yang besar.
 
d. Pemeriksaan CT  Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB
inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik
ireguler, pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan
kelengkungan beras bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emifesema
perisikatriksial. Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa
kelainan inaktif tidak dapat hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada
pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan dengan kultur sputum yang
negatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavasitas dan lebih dapat
diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.
 
e. Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB
paru milier subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB
milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta
mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal
sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada
ukuran dan jumlah tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen akibat
tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul
kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-granul halus atau nodul-
nodul yang sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua lapangan paru. Pada
saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung
banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.
 
f. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan
mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium
antara yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu
pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap
OAT dan kemoterapeutik, perbedaan kepekaan tehadap binatang percobaan, dan
percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium.
Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang
sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan LED
biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan IgA.

9. ALUR PENEGAKAN DIAGNOSIS TBC


1. Seluruh terduga TBC harus dilakukan pemeriksaan TCM pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang saat ini sudah mempunyai alat TCM.
2. Jumlah dahak yang dikumpulkan ada 2 (dua) dahak yaitu Sewaktu- Sewaktu,
Sewaktu – Pagi maupun Pagi – Sewaktu, dengan jarak 1 jam dari pengambilan
dahak pertama ke pengambilan dahak ke-2. Standart kualitas dahak yang
digunakan adalah dahak dengan volume 3 – 5 ml dan mukopurulen. Hasil
pemeriksaan TCM terdiri dari MTB Pos Rif Resintan, MTB Pos Rif Sensitif,
MTB Pos Rif Indeterminate, MTB neg dan hasil gagal (Error, invalid, No
result). Beberapa ketentuan terkait hasil pemeriksaan tersebut adalah sebagai
berikut :
a) Pasien dengan hasil MTB Pos, Rif Resisten berdasarkan riwayat
pengobatannya terdiri dari :
i. Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru atau tidak ada kontak
erat dengan TBC RO harus dilakukan pengulangan TCM sebanyak 1
kali, dan hasil pengulangan yang memberikan hasil MTB Pos yang
menjadi acuan.
ii. Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru atau dengan riwayat
kontak erat dengan pasien TBC RO atau terduga TBC dengan
riwayat pengobatan sebelumnya dinyatakan sebagai pasien TBC
Rifampicin resistan dan selanjutnya dilakukan inisiasi pengobatan
TBC RO
iii. Pasien berasal dari kriteria terduga TBC ekstra paru tanpa riwayat
pengobatan TBC sebelumnya sebaiknya diulang TCM sebanyak 1
kali dengan spesimen yang berbeda. Apabila tidak dimungkinkan
untuk dilakukan pengulangan terkait kesulitan mendapatkan
spesimen baru, pertimbangkan kondisi klinis pasien.
b) Pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TBC Rifampisin Resistan
akan dilanjutkan dengan pemeriksaan Molukuler (LPA lini dua atau
TCM XDR) dan pemeriksaan paket standart uji kepekaan fenotipik.
Fasilitas pelayanan kesehatan akan mengirimkan spesimen dahak dari
pasien tersebut ke laboratorium rujukan sesuai jejaring rujukan yang
berlaku. Hasil pemeiksaan ini akan menentukan paduan pengobatan
TBC RO yang akan diberikan terhadap pasien.
c) Pasien dengan hasil MTB Pos Rif sensitif berdasarkan riwayat
pengobatannya terdiri dari :
i. Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru dilakukan inisiasi
pengobatan dengan OAT Kategori 1
ii. Pasien berasal dari kriteria terduga TBC dengan riwayat pengobatan
sebelumnya (kambuh, gagal, loss to follow up, tidak konversi) akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan terhadap INH. Inisiasi
atau melanjutkan pengobatan dengan OAT Kategori 1 dilakukan
sambil menunggu uji kepekaaan terhadap INH. Apabila hasil uji
kepekaaan menunjukan INH Resistan akan diberikan paduan
pengobatan TBC Monoresistan INH.

d) Pasien dengan hasil MTB inderminate akan dilakukan pengulangan


oleh laboratorium TCM sebanyak 1 kali untuk memastikan status
resitansi terhadap rifampisin. Gunakan dahak kualitas baik yaitu
volume 3-5 ml dan mukopurulen.
e) Pasien dengan hasil TCM gagal (invalid, error, no result) akan
dilakukan pengulangan oleh laboratorium TCM untuk memastikan
pasien positif atau negatif TBC dan mengetahui status resitansi
terhadap rifampisin. Gunakan sisa sampel jika masih tersedia. Pada
kondisi volume sampel kurang dari 2 ml, gunakan dahak kedua.
Apabila dahak kedua tidak tersedia, kumpulkan dahak baru dengan
kualitas baik yaitu volume 3-5 ml dan mukopurulen.
f) Pasien dengan hasil MTB negatif dapat dilakukan pemeriksaan foto
toraks dan/atau pemberian antibiotik spektrum luas. Pasien tersebut
dapat di diagnosis sebagai TBC klinis sesuai pertimbangan klinisi. Dan
tentunya harus didahului dengan pemeriksaan Bakteriologis.
g) Pasien TBC yang terdiagnosis dengan pemeriksaan mikrokopis harus
dilakukan pemeriksaan lanjutan menggunakan TMC

 
2.  Pencegahan dan Penatalaksanaan
Pencegahan tuberkulosis antara lain :
a. Pencegahan Tuberkulosis Paru
1) Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes
tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka
pemeriksaan radiologis foto thorax diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang.
Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi
konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.
2) Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu misalnya: karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai
pengobatan, penghuni rumah tahanan, dan siswa-siswi pesantren.
3) Vaksinasi BCG
Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu
pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder
diperlukan bagi kelompok berikut: bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes
tuberkulin positif.
Vaksinasi Bacille Calmette – Guérin (BCG) memberikan beberapa tingkat
perlindungan terhadap bentuk TB yang parah (penyakit milier dan
Tuberculous Meningitis/TBM) (Trunz et al. 2006), tetapi meskipun vaksinasi
BCG universal di sebagian besar daerah endemik TB, manifestasi penyakit
yang parah masih terjadi . TBM paling umum terjadi pada anak kecil (usia 3
tahun) yang sering datang dengan gejala nonspesifik sebelum penyakit yang
lebih parah menjadi jelas.(Marais & Schaaf, 2014)
4) karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB, anak dan remaja di
bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat dengan
penderita TB yang menular, individu yang menunjukkan konversi hasil tes
tuberkulin dari negatif menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan
steroid atau obat imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
5) Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis
kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh
petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonsia – PPTI).
 
b. Pengobatan Tuberkulosis Paru
Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :
1) Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
2) Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)
3) Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis
terhadap bakteri tahan asam.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu
a. Fase intensif (2-3 bulan) :
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat
bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi
pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi
menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan
sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Menurut The
Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal
diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB,
Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB.

b. Fase lanjutan (4-7 bulan).


Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu
yang lebih panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama
fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif. Menurut
The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society fase lanjutan
selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra
paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan
pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase
lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang diberikan
haruslah yang masih efektif.
Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan.
Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI,
2004).
Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan
panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Saat ini ada perubahan
Penatalaksanaan Pengobatan TB Paru yaitu :
a) Kategori I (2HRZE/4H3R3)
OAT Kategori 1 fase awal dan lanjutan dengan dosis harian. OAT
Kategori 1 dosis harian akan dimulai dipergunakan secara bertahap. Pada
tahun 2021, prioritas pemberian OAT ini adalah untuk :

i. Pasien TBC HIV


ii. Kasus TBC yang diobati di Rumah Sakit
iii. Kasus TBC dengan hasil MTB Pos Rifampisin sensitif dan Rifampisin
inderminate dengan riwayat pengobatan sebelumnya.

b) Kategori II  ( HRZE/5H3R3E3 )  


Pemberian OAT Kategori 2 tidak direkomendasikan untuk pengobatan
pasien TBC. Mulai tahun 2021 Program TBC tidak menyediakan
OAT Kategori ke-2

c. Obat-obatan anti tuberkulostatik


a. Isoniazid (INH) : merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah.
Seperti rifampisin, INH harus diikutsertakan  dalam setiap regimen
pengobatan, kecuali bila ada kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi
adalah neropati perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang
mempermudah seperti diabetes, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi
dan HIV. Dalam keadaan ini perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai
profilaksis sejak awal pengobatan. Efek samping lain seperti hepatitis dan
psikosis sangat jarang terjadi.
b. Rifampisin : merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan.
Sebagaimana halnya INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila
ada kontra indikasi. Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin,
sering terjadi gangguan sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase
serum), tetapi biasanya tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-
kadang terjadi gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan
penggantian obat terutama pada pasien dengan riwayat penyakit hati.
Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat metabolisme
obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea, dan anti-
koagulan. Penting : efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu
dipilih cara KB yang lain.
c. Pyrazinamid : bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang
aktif memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua
atau tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB
karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap
Mycrobacterium bovis. Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.
d. Etambutol : digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi.
Jika resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan
yang tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase
awal dan 15 mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama
pengobatan). Pada pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol
diberikan dalam dosis 30 mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali
seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi adalah gangguan
penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan
pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada
gangguan fungsi ginjal. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal
ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan,
biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Pasien yang tidak bisa mengerti
perubahan ini sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi obat alternative lainnya.
Pemberian pada anak-anak harus dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu
disaat mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi
mata harus dilakukan sebelum pengobatan.

e. Streptomisin : saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus


resistensi. Obat ini diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat
badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700
mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g
tiga kali seminggu dan diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat
badan kurang dari 50 kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau
15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan yang diawasi. Kadar obat
dalam plasma harus diukur terutama untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang
hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder
diberikan untuk TBC yang disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat
primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat
sekunder adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid generasi baru (azitromisin
dan klaritromisin), 4-kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan
protionamid.
Tabel Panduan Pemberian Obat Anti-Tuberkulosis
Rekomendasi Dosis
Obat anti-TB (mg/kgBB)
Aksi Potensi
esensial Per minggu
Per hari
3x 2x
Isoniazid (INH) Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomisin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45

d. Komplikasi
Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi, diantaranya :
1) Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, faringitis.
2) Komplikasi lanjut :
a) Obstruksi jalan nafas, seperti SOPT ( Sindrom Obstruksi Pasca
Tubercolosis)
b) Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, ARDS
Sembuh sendiri tanpa
pengobatan

2. WOC (Web of Caution)


  

Microbacterium Droplet infection Masuk lewat jalan nafas


tuberkulosis

Menempel pada paru

Keluar dari Dibersihkan oleh Menetap di jaringan paru


tracheobionchial bersama makrofag
sekret
Terjadi proses peradangan

Mempengaruhi Sarang primer/efek primer


hipothalamus

Hiperthermi Mempengaruhi sel point

Komplek primer Limfangitis lokal Limfadenitis regional

Menyebar ke organ lain (paru Sembuh dengan bekas


lain,saluran pencernaan,tulang) fibrosis
melalui media
(bronchogentinuitum,hematogen
,limfogen)

Radang tahunan di bronkus Pertahanan primer tidak


adekuat

Berkembang menghancurkan Pembentukan tuberkel Kerusakan membrane alveolar


jaringan ikat sekitar

Bagian tengah nekrosis Pembentukan sputum Menurunnya permukaan efek paru


berlebihan

Membentuk jaringan keju Bersihan Jalan napas tidak Alveolus


efektif

Sekret keluar saat batuk Alveolus mengalami konsolidasi


dan eksudasi
Batuk produktif (batuk terus Gangguan pertukaran gas
menerus

Droplet infection Batuk berat

Terhirup orang sehat Distensi abdomen

Resiko infeksi Mual, muntah

Intake nutrisi kurang

Defisit Nutrisi

3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian

Pengkajian terdiri dari dua yaitu pengkajian skrining dan pengkajian

mendalam. Pengkajian skrining dilakukan ketika menentukan apakah keadaan tersebut

normal atau abnormal, jika ada beberapa data yang ditafsirkan abnormal makan akan

dilakukan pengkajian mendalam untuk menentukan diagnosis yang tepat (NANDA,

2018) Terdapat 14 jenis subkategori data yang dikaji yaitu respirasi, sirkulasi, nutrisi

dan cairan, eleminasi, aktivitas dan istirahat, neurosensory, reproduksi dan seksualitas,

nyeri dan kenyamanan, integritas ego, pertumbuhan dan perkembangan, kebersihan

diri, penyuluhan dan pembelajaran, interaksi sosial, serta keamanan dan proteksi

(PPNI, 2019)

Pengkajian pada pasien TBC merupakan suatu aspek yang sangat penting

dalam proses keperawatan untuk merencanakan tindakan yang akan diberikan kepada
pasien. Data dasar yang dikumpulkan pada saat pengkajian adalah status terkini pasien

terkait dengan kondisi sistem respiratory sebagai prioritas pengkajian.

Pengkajan pola napas tidak efektif pada TBC :

1. Pengkajian meliputi

a. Data umum

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, nomor register, bahasa yang

dipakai, status perkawinan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,pendidikan,

tanggal MRS, diagnosa (Wahid, 2013).

b. Alasan masuk rumah sakit/ keluhan utama

 Demam: subfebris, febris (40-41oC) hilang timbul.

 Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus batuk ini terjadi untuk

membuang/mengeluarkan produksi radang yang dimulai dari batuk kering

sampai dengan batuk purulent (menghasilkan sputum). Apakah batuk

disertai darah.

 Sesak nafas: bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah

paru-paru.

 Keringat malam.

 Nyeri dada: jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi radang

sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

 Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun, berat badan

menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam.

 Sianosis, sesak nafas, kolaps: merupakan gejala atelektasis. Bagian dada

pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan jantung terdorong ke sisi yang

sakit. Pada foto toraks, pada sisi yang sakit nampak bayangan hitam dan

diagfragma menonjol keatas.


c. Riwayat Kejadian / Riwayat Penyakit Sekarang

Klien dengan TBC akan diawali dengan keluhan batuk, sesak nafas, nyeri dada,

dan berat badan menurun. Agar mempermudah perawat mengkaji keluhan sesak

napas, maka dapat di bedakan sesuai tingkat klasifikasi sesak.Pengkajian ringkas

dengan menggunakan PQRST dapat lebih mempermudah perawat dalam

melengkapi pengkajian.

Provoking Incidente: Apa yang menyebabkan batuk, apakah batuk ini

mengganggu tidur, apa yang dilakukan jika batuk timbul, apakah ada peritiwa

yang menjadi factor penyebab batuk (merokok)

Quality of point: seperti apa batuk yang di rasakan atau digambarkan klien. Sifat

keluhan (karakter), dalam hal ini perlu di tanyakan kepada klien apa maksud dari

keluhan-keluhanya. Apakah batuknya terasa berat, dalam melakukan inspirasi

atau kesulitan dalam mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?

Region: radiation, relief: dimana rasa berat dalam melakukan pernapasan? Harus

di tunjukan dengan tepat oleh klien.

Serevity (Scale) Of Point: seberapa jauh batuk yang di rasakan klien dan klien

menerangkan seperapa jauh batuk mempengaruhi aktivitas sehari-harinya.

Time: berapa lama batuk berlangsung, kapan, apakah, bertambah buruk pada

malam hari atau siang hari. Sifat mula timbulnya (onset), tentukan apakah gejala

timbul mendadak, perlahan lahan atau seketika itu juga.Tanyakan apakah timbul

gejala secara terus menerus atau hilang timbul (intermiten). Tanyakan apa yang

sedang di lakukan klien pada gejala timbul. Lama timbulnya (Durasi), tentukan

kapan gejala tersebut pertama kali di rasakan sebagai “Tidak Biasa” atau “tidak
enak”. Tanyakan apakah klien sudah pernah menderita penyakit yang lama

sebelumnya.

Riwayat Kesehatan Terdahulu

a) Riwayat penyakit sebelumnya

 Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.

 Pernah berobat tetapi tidak sembuh.

 Pernah berobat tetapi tidak teratur.

 Riwayat kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru, DM, HIV

b) Riwayat kesehatan keluarga

Apakah ada keluarga yang menderita TBC,

c) Riwayat Pengobatan

 Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya.

 Jenis, warna, dosis obat yang diminum.

 Berapa lama. pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan penyakitnya.

 Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.

 Apakah pernah melakukan pengobatan TBC

d) Riwayat Sosial Ekonomi:

Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah

penghasilan.

e) Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikisi dengan bebas,

menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang marnpu, masalah berhubungan

dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang

banyak, masalah tentang masa depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan

putus harapan.

f) Pola Aktivitas dan Kebiasaan

Apakah klien merokok, kontak dengan penderita TBC


2. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum

a. Kesadaran

Klien dengan TBC biasanya akan mengalami keluhan batuk, kadang mengalami sesak

napas, nyeri dada, keringat dingin pada malam hari dan berat badan menurun

2) Tanda- tanda Vital

RR cenderung meningkat dan klien biasanya dispneu, suara perkusi redup sampai

pekak vocal premitus menurun, demam.

3) Mata

I : konjungtiva pucat (karena anemia), konjungtiva sianosis (karena hipoksemia)

(Andarmoyo, 2013).

Pa : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

a. Hidung

I : adanya pernafasan cuping hidung (megap-megap, dyspnea), (Andarmoyo, 2013)

Pa : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

b. Mulut dan Bibir

I : Membrane mukosa sianpsis (karena penurunan oksigen), bernapas dengan dengan

mengerutkan mulut (dikaitkan dengan penyakit paru kronik), tidak ada stomatitis

(Andarmoyo, 2013)

Pa : Tidak ada pmbesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

c. Telinga

I : Simetris, tidak ada serumen, tidak ada alat bantu pendengaran.

Pa : tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

d. Leher

I : Tidak ada lesi, warna kulit sawo matang, warna kulit merata.
Pa : Tidak ada pembesaran vena jugularis dan tidak ada pembesaran kelenjar tyroid,

tidak ada nyeri tekan.

e. Paru-paru

I : Peningkatan frekuensi/takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot

aksesoris pernapasan pada dada, leher, retraksi intercostals, ekspirasi abdominal akut,

gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma, penurunan pengembangan thorak

(area yang sakit)

Pa : Terjadi ketertinggalan gerak antara area yang sakit dengan area yang sehat.

Fremitus menurun (sisi yang terlihat).

Pemeriksaan fremitus dilakukan dengan ucapan :

1) Anjurkan klien mengatakan “Tujuh Puluh Tujuh” atau “Sembilan Puluh Sembilan”

secara berulang-ulang dengan intonasi sama kuat

2) Dengan menggunakan dua tangan, pemeriksa menempelkan kedua tangannya

kepunggung klien, dan rasakan getaran dari paru kanan dan kiri. Apakah bergetar

sama atau tidak.

Pe : Bunyi pekak diantara area yang terisi cairan.

A: Bunyi nafas menghilang atau tidak terdengar diatas bagian yang terkena

Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah / trauma

Tanda : Takipnea, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, retraksi

interkostal, bunyi napas menurun dan fremitus menurun (pada sisi terlibat) (Padilla,

2013).

f. Abdomen

I : Tidak ada lesi, warna kulit merata.

A : Terdengar bising usus 12x/menit.

Pa : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada nyeri tekan.

Pe : tympani
g. Genetalia

I : Tidak ada lesi, rambut pubis merata, tidak ada jaringan parut.

P : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran abnormal.

h. Kulit

I : pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan (Padilla, 2013).

Untuk pengkajian nutrisi :

a. Antropometri meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar

lengan atas, IMT (Indeks Massa Tubuh). Indeks masa tubuh (IMT) mengukur berat

badan yang sesuai dengan tinggi badan dan memberikan alternatif hubungan antara

tinggi badan dan berat badan klien.Hitung IMT dengan rumus :

Klien dikatakan memiliki berat badan yang berlebihan jika skor IMT berada antara 25-

30.

b. B (Biochemical) meliputi data laboratorium yang abnormal.

c. C (Chemical) meliputi tanda-tanda klinis, turgor kulit, mukosa bibir, konjungtiva

anemis/tidak.

d. D (Diet) meliputi :

1) Nafsu makan

2) Jenis makanan yang dikonsumsi

3) Frekuensi makanan yang diberikan selama di rumah sakit.

3. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
b. Gangguan pertukaran gas
c. Defisit Nutrisi
d. Gangguan Pola Tidur
e. Defisit Pengetahuan
f. Resiko Infeksi
SDKI
N Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
o
1 SDKI SLKI SIKI

Bersihan Jalan nafas tidak efektif Bersihan Jalan Nafas 1. Menejemen Jalan Nafas

Definisi : ketidakmampuan Definisi: kemampuan membersihkan sekret Definisi : mengidentfikasi dan mengelola kepatenan jalan
membersihkan sekret atau obstruksi atau obstruksi jalan nafas untuk mepertahankan nafas
jalan nafas untuk mempertahankan jalan nafas paten
jalan nafas tetap paten. Tindakan :
Ekspektasi meningkat Observasi :
Penyebab: - Monitor pola nafas ( frekuensi, kedalaman, usaha napas
fisiologis Kriteria hasil )
1. Spasme jalan nafas 1. Batuk efektif meningkat (5) - Monitor bunyi nafas tambahan ( mis, gurgling,
2. Benda asing dalam jalan 2. Produksi sputum menurun(5) mengi, wheezing, ronkhi kering )
nafas 3. Mengi wheezing mikoium menurun (5) - Monitor sputum ( jumlah, warna, aroma )
3. Sekresi yang tertahan 4. Dispnea menurun (5) Teraupeutik :
4. Proses infeksi 5. Ortopnea menurun (5) - Pertahankan kapatenan jalan napas dengan head-tilt
5. Respon alergi 6. Sulit bicara menurun(5)
dan
Situasional 7. Sianosis menurun (5)
chin- lift ( jaw-thrust jika curiga
1. Merokok aktif trauma Servikal )
8. Gelisah menurun (5)
2. Merokok pasif - Posisikan semi-fowler atau fowler
9. Frekuensi nafas membaik (5)
3. Terpajan polutan - Berikan minum hangat
10. Pola nafas membaik (5) - Lakukan fisiotrapi dada, jika perlu
Gejala tanda mayor Subjektif
:- - Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
- Berikan oksigen , jika perlu
Obektif :
1. Batuk tidak efektif Edukasi :
2. Tidak mampu batuk - Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,jika
3. Sputum berlebih tidak kontraindikasi
4. Mengi,wheezing dan/atau - Ajarkan teknik batuk efektif
ronkhi kering Kolaborasi :
5. Mekonium di jalan nafas - Kolaborasi pemberian
( pada neonatus ) bronkodilator, ekspetoran,mukolitik, jika perlu
Gejala tanda minor 2. Latihan Batuk Efektif
Subjektif :
1. Dispnea Definisi : melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan
2. Sulit bicara batuk efektif secara efetif untuk membersihkan laring,
3. Ortopnea trakeadan brounklolus dari sekret atau benda asing di jalan
Objektif : nafas.
1. Gelisah
2. Sianosis Tindakan :
3. Bunyi nafas menurun Observasi
4. Frekuensi nafas berubah - Identifikasi kemampuan batuk
4. Pola nafas berubah - Monitor adanya retensi sputum
- Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
- Monitor input dan output cairan (mis. Jumlah dan
karakteristik)
Terapeutik
- Atur posisi semi fowler atau fowler
- Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
- Buang sekret pada tempat
sputum Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
- Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4
detik
,ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mencucu ( dibulatkan) 8 detik.
- Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
- Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik
napas dalam yang ke-3
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran,
jika perlu
3. Pemantauan Respirasi
Definisi : mengupulkan dan menganalisis data untuk
memastikan kepatenan jalan nafas dan ke efektifan
pertukaran gas.

Tindakan :
Observasi :
- Monitor frekuensi,irama, kedalaman dan upaya nafas
- Monitor pola napas seperti ( seperti
bradipnea taipnea,hiperventilasi)
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya produksi sputum
- Monitor adanya sumbatan jalan nafas
- Palpasi kesmetrisan ekspansi paru
- Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD
- Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik :
- Atur interval pemantauan resprasi sesuai kondisi
pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
Eduasi :
- Jelaskan tujuan dan perusedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan , jika perlu
2 SDKI SLKI SIKI

Gangguan Pertukaran Gas Pertukaran Gas Pemantauan respirasi

Definisi : Kelebihan atau Definisi : Oksigenasi atau elimasi karbondioksidaDefinisi : mengumpulkan dan menganalisa data utnuk
kekurangan oksigenasi dan/atau pada membran alveolus kapiler dalam batasmemastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan pertukaran
eliminasi karbondioksida pada normal gas
membran alveolus kapiler Observasi :
Setelah dilakukan tindakan keprawatan
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
diharapkan :
1. Dyspnea menurun / hilang (5)
napas
2. Bunyi napas tambahan menurun/hilang (5)  Monitor pola napas
Penyebab  Monitor kemampuan batuk efektif
3. PCO2 membaik (5)
1.Ketidakseimbangan ventilasi –  Monitor adanya produksi sputum
perfusi 4. PO2 membaik (5)  Monitor adanya sumbatan jalan napas
2.Perubahan membran alveolus 5. Ph arteri membaik (5)  Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
kapiler 6. Takikardia membaik (5)  Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
Gejala dan tanda mayor  Monitor nilai AGD
Subjektif :  Monitor hasil x-ray toraks
Dispnea Terapeutik :
 Atur interval pemantuan respirasi sesuai kondisi
Objektif pasien
1.PCO2 meningkat/menurun  Dokumentasi hasil pemantuan
2.PO2 menurun

3.Takikardia
4.Ph arteri meningkat/menurun Edukasi :
5.Bunyi napas tambahan  Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan, jika perlu

Gejala dan tanda minor


Subjektif :
1.Pusing
2.Penglihatan kabur

Objektif
1.Sianosis
2.Diaforesis
3.Gelisah
4.napas cuping hidung
5.Warna kulit abnormal
6.kesadaran menurun

3 SDKI SLKI SIKI

Defisit nutrisi Status Nutrisi 1. Menejemen Nutrisi

Definisi : Asupan nutrisi tidak Definisi : keadekuatan asupan nutrisi untuk Definisi : Mengidentifikasi dan mengelola asupan nutrisi
cukup untuk memenuhi memenuhi kebutuhan metabolisme. yang seimbang
kebutuhan dari metabolisme
Ekspektasi membaik Tindakan
Penyebab : kreteria hasil: Observasi :
1. Ketidakmampuan 1. Porsi makanan yang dihabiskan cukup  Identifikasi stataus nutrisi
menelan makanan meningkat (5)  Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
2. Ketidakmapuan 2. Kekuatan otot mengunyah meningkat(5)  Identifikasi makanan yang disukai
mencerna makanan 3. Kekuatan otot menelan meningkat(5)  Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis cairan
3. Ketidakmampuan 4. Serum albumin meningkat(5)  Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric
mengabsorbsi nutrien 5. Verbalisasi keinganan untuk  Monitor asupan makan makanan
4. Peningkatan kebutuhan meningkatkan nutrisi (5)  Monitor berat bedan
metabolisme 6. Pengetahuan untuk memilih makanan  Monitor hasil pemeriksaan laboraturium
5. Faktor ekonomi yang sehat meningkat (5) Trapeutik :
6. Faktor pisikologis 7. Pengetahun untuk memilih minuman  Lakukan oral hygiene seblum makan , jika perlu
yang baik meningkat (5)  Fasilitasi menentukan pedoman diet,
Gejala dan tanda mayor : 8. Pengetahuan tentang standar asupan (mis.piramida makanan )
Subjektif : - nutrisi yang tepat(5)  Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
9. Penyiapan dan penyimpanan  Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
Objektif : Berat badan menurun makanan meningkat(5) konstipasi
minimal 10% dibawah rentang ideal 10. Sikap terhadap makanan/minuman  Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
sesuai dengan tujuan kesehatan  Berikan siplemen makanan ,jika perlu
Gejala dan tanda minor : meningkat(5)  Hentikan pemberian makanan melalui selang
Subjektif : 11. Perasaan cepat kenyang menurun(5) nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
1. Cepat kenyang setelah 12. Nyeri abdomen menurun(5) Edukasi :
13. Rambut rontok menurun(5)  Anjurkan posisi duduk, jika mampu
makan
14. Diare menurun(5)  Ajarkan diet yang di programkan
2. Kram/nyeri abdomen
15. Berat badan membaik(5) Kolaborasi :
3. Nafsu makan menurun
16. Indek masa tubuh (IMT) membaik(5)  Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (
17. Frekuensi makan membaik(5) mis. Pereda nyeri, antiemetic), jika perlu
18. Bising usus membaik(5)  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
19. Tebal lipatan kulit trisep membaik(5) jumlah kalori dan jenis nutrien yang di butuhkan.
20. Membrane mukosa membaik(5)
2. Promosi Berat Badan

Definisi : Memfasilitasi peningkatan berat

badan Tindakan
Observasi :
 Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang
 Monitor adanya mual dan muntah
 Monitor jumlah kalori yang dikonsumsinya sehari-hari
 Monitor berat badan
 Monitor albumin,limfosit, dan elektrolit serum
Terapeutik :
 Berika perawatan mulut sebelum pemberian
makan,jika perlu
 Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien
( mis. Makanan dengan tekstur halus,makanan yang
dibelender, makanan yang cair diberikan melalaui
NGT atau gastrostomy, total parenteral nutrition
sesuai indikasi)
 Hidangkan makanan secara menarik
 Berikan suplemen, jika perlu
 Berikan pujian pada pasien /keluaraga untung
peningkatan yang capai
Edukasi :
 jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi, namun
tetap terjangkau
 jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan
4 SDKI SLKI SIKI
Gangguan pola tidur Pola Tidur 1. Dukungan Tidur

Definisi : Gangguan kualitas Definisi : Kedekuatan kualitas dan kuantitas Definisi : Memfasilitasi siklus tidur dan terjaga yang teratur
kuantitas waktu tidur akibat faktor
eksternal Setelah dilakukan tindakan keprawatan Tindakan
diharapkan kualitas tidur pasien kembali Observasi :
Penyebab normal dengak kereteria hasil sebagai berikut :  Identifikasi pola aktivitas dan tidur
1. Hambatan lingkungan ( mis, 1. Keluhan sulit tidur menurun / hilang  Identifikasi faktor pengganggu tidur ( fisik dan /
kelembapan lingkungan 2. Keluhan sering terjaga menurun/hilang atau pisikologi)
sekitar, suhu lingkungan 3. Keluhan tidur tidak puas tidur  Identifikasi makanan dan minuman yang mengganggu
, menurun/hilang tidur ( mis. Kopi, the, alcohol. Makan mendekti
4. Keluhan pola tidur berubah
pencahayaan , waktu tidur, minum banyak air sbelum tidur )
menurun/hilang
kebisingan ,bau tidak sedap, 5. Keluhan istirahat tidak  Identifikasi obat tifur yang dikonsumsi
jadwal cukup menurun/hilang Terapeutik :
2. Kurang kontrol tidur 6. Kemampuan beraktivitas meningkat  Modifikasi lingkungan ( mis.
3. Kurang privasi Pencahayaaan,kebisingan, sushu,matras, dan tempat
4. Restraint fisik tidur )
5. Ketiadaan teman tidur  Batasi waktu tidur siang jika perlu
6. Tidak familiar dengan  Fasilitasi menghilangkan stress sebelum tidur
peralatan tidur  Tetapkan jadwal tidur rutin
 Lakukan perosedur untuk meningkatan kenyamanan (
Gejala dan tanda mayor mkis. pijat, pengaturan posisi, terapi akupresur )
Subjektif :  Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/ atau tinjakan
1. Mengeluh sulit tidur untuk menunjang siklur tidur terjaga
2. Mengeluh sering Edukasi :
terjaga  Jelaskan tidur cukup selama sakit
3. Mengeluh tidak puas tidur  Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
4. Mengeluh pola tidur  Anjurkan menghindari makanan/minuman
berubah yang mengganggu tidur
5. Mengeluh istirahat  Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak
mengganggu supresor terhadap tidur REM
tidak cukup  Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
Objektif :- gangguan pola tidur ( mis. Pisikologis, gaya hidup,
sering berubah shift bekerja )
Gejala dan tanda minor  Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara
Subjektif : nonfarmokologi lainnya
1. Mengeluh kemampuan
beraktifitas menurun 2. Edukasi Aktivitas /Istirahat
Objektif : -
Definisi :
Mengajarkan pengaturan aktivitas dan istirahat

Tindakan :
Observasi :
 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
Terapeutik :
 Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas dan
istirahat
 Jadwalkan pemeberian pendidikan kesehatan sesuai
kesepakatan
 Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga
untuk bertanya
Edukasi :
 Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik /
olahraga secara rutin
 Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok, aktivitas
bermain atau aktivitas lainnya
 Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat
 Ajarkan cara mengindentifikasi kebutuhan istirahat (
mis. Kelelahan , sesak napas saat aktivitas)
 Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis
aktivitas sesuai kemampuan
5 SDKI SLKI SIKI

Defisit Pengetahuan Tingkat Pengetahuan 1. Edukasi Kesehatan

Definisi : ketiadaan atau kurangnya Definisi : kecukupan informasi kognitif yang Definisi : mengajarkan mengelola faktor resiko penyakit dan
informasi kognitif yang berkaitan berkaitan dengan topik tertentu perilaku hidup bersih dan sehat.
dengan topik tertentu.
Ekspektasi : membaik Tindakan
Penyabab : Kriteria hasil : Observasi :
1. Keteratasan kognitif 1. Perilaku sesuai enjuran meningkat  Identifikasi kesiapan dan kemampuan
2. Gangguan fungsi kognitif 2. Verbalisasi minat dalam belajar menerima informasi
3. Kekeliruan mengikuti meningkat  Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan
anjuran 3. Kemampuan menjelaskan dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan
4. Kurang terpapar pengetahuan tentang suatu topik sehat.
informasi meningkat Terapeutik :
5. Kurang minat dalam belajar 4. Kemampuan menggambarkan  Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
6. Kurang mampu pengalaman sebelumnya yang sesuai  Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
mengingat topik meningkat  Berikan kesempatan untuk bertanya
7. Ketidaktahuan 5. Perilaku sesuai dengan pengetahuan Edukasi :
menemukan sumber informasi 6. Pertanyaan tentang masalah yang di  Jelaskan faktor risiko yang dapat
hadapi menurun mempengaruhi kesehatan
7. Peresepsi yang keliru terhadap masalah  Ajarkan perilaku hidup bersih sehat
menurun  Ajarkan strategi yang dapat digunakan
8. Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
menurun
9. Perilaku membaik
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif : 2. Edukasi Pola Perilaku Kesehatan
1. Menanayakan masalah
yang di haadapi Definisi : Memberikan infomasi untuk meningkatkan
atau
SDKI SLKI SIKI

6 Risiko Infeksi Tingkat Infeksi Pencegahan Infeksi

Definisi : Beresiko mengalami Definisi : Derajat Infeeksi berdasarkan Definisi : Mengidentifikasi dan menurunkan resiko terserang
peningkatan terserang organisme observasi/sumber informasi organisme patogenik
patogenik Tindakan :
Setelah dilakukan tindakan keprawatan Observasi :
Penyabab : diharapkan :  Monitor tanda dan gejala infeksi lokak dan sistemik
8. Penyakit Kronis 1. Demam menurun / hilang (5) Terapeutik :
9. Malnutrisi 2. Kemerahan menurun/hilang (5)
 Batasi jumlah pengunjung
10. Peningkatan paparan 3. Nyeri menurun/hilang (5)
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
organisme patogen lingkungan 4. Bengkak menurun/hilang (5)
pasien dan lingkungan pasien
Kondis klinis terkait  Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
1. PPOK
2. Diabetes Mellitus Edukasi :
3. AIDS  Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Ajarkan etika batuk
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
Objektif : mempertahankan perilaku kebersihan diri dan lingkungan
1. Menunjukan perilaku
tidak sesuai anjuran Tindakan
2. Menunjukan persepsi Observasi :
yang keliru terhadap  Identifikasi kesiapan dan kemampuan
masalah menerima informasi
Gejala dan Tanda Minor  Identifikasi kemampuan menjaga kebersihan diri dan
Subjektif : - lingkungan
 Monitor kemampuan melakukan dan mempertahankan
Objektif : kebersihan diri dan lingkungan
1. Menjalani pemeriksaan Terapeutik :
yang tidak tepat  Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
2. Menunjukan perilaku  Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
berlebihan ( mis. Apatis,  Berikan kesempatan untuk bertanya
bermusuhan, agitas,  Peraktekan bersama keluarga cara menjaga
heteria ) kebersihan diri dan lingkungan
Edukasi :
 Jelaskan masalah yang dapat timbul akibat tidak
menjaga kebersihan diri dan lingkungan
 Ajarkan cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan

3. Edukasi Berhenti Merokok


Definisi : Memberikan inbformasi terkait dampak merokok
dan upaya berhenti merokok.
Tindakan :
Observasi :
 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
Terapeutik :
 Sediakan materi dan media edukasi
 Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
 Berikan kesempatan keluargan dan pasien untuk
bertanya
Edukasi :
 jelaskan gejala fisik penarikan nikotin (mis. Sakit
kepala, pusing, mual, dan insomnia )
 jelaskan gejala berhenti merokok ( mis. Mulut
kering, batuk , tenggorokan gatal )
 jelaskan aspek pisikososial yang mempengaruhi
perilaku merokok
 informasikan produk pengganti nikotin ( mis, permen
karet, semprotan hidung, inhaler )
 ajarkan cara berhenti merokok.
3. Implementasi
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah
dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi / pelakasanaan ini dapat
tepat waktu dan efektif maka perlu mengidentifikasi prioritas perawtan, memantau dan
mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan seta
mendokumentasikan pelaksanaan perawatan.
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada
nursing order untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Ada 3 tahap
implementasi :
a. Fase orentasi Fase orientasi terapeutik dimulai dari perkenalan klien pertama kalinya
bertemu dengan perawat untuk melakukan validasi data diri.
b. Fase kerja Fase kerja merupakan inti dari fase komunikasi terapeutik, dimana
perawat mampu memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan, maka dari itu
perawat diharapakan mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam tentang klien
dan masalah kesehatanya.
c. Fase terminasi Pada fase terminasi adalah fase yang terakhir, dimana perawat
meninggalkan pesan yang dapat diterima oleh klien dengan tujuan, ketika dievaluasi
nantinya klien sudah mampu mengikuti saran perawat yang diberikan, maka
dikatakan berhasil dengan baik komunikasi terapeutik perawat-klien apabila ada
umpan balik dari seorang klien yang telah diberikan tindakan atau asuhan
keperawatan yang sudah direncanakan.

4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan fase akhir dalam proses keperawatan (Kozier, 2010).
Evaluasi dapat berupa evaluai struktur, proses dan hasil. Evaluasi terdiri dari evaluasi
formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama program berlangsung. Sedangkan
evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan informasi
efektivitas pengambilan keputusan (Deswani, 2011). Evaluasi asuhan keperawatan
didokumentasikan dalam bentuk SOAP (subjektif, objektif, assesment, planing) (Achjar,
2012). Adapun komponen SOAP yaitu S (Subjektif) dimana perawat menemui keluhan
pasien yang masih dirasakan setelah diakukan tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah
data yang berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung pada
pasien dan yang dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A (Assesment) adalah
interprestsi dari data subjektif dan objektif, P (Planing) adalah perencanaan keperawatan
yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau ditambah dari rencana tindakan
keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya. Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan
masalah yang pasien hadapi yang telah di buat pada perencanaan tujuan dan kriteria
hasil. Evaluasi dilakukan terhadap pasien TBC dengan bersihan Jalan Napas Tidak
Efektif berdasarkan tujuan dan kriteria hasil mengacu pada Standar Luaran Keperawatan
Indonesia ( SLKI ) (PPNI T. p., 2019) : batuk efektif meningkat, produksi sputum
menurun, mengi wheezing mikoium menurun, dispnea menurun, ortopnea menurun, sulit
bicara menurun, sianosis menurun, gelisah menurun, frekuensi nafas membaik, pola
nafas membaik.
PENUTUP
 
A. KESIMPULAN
TB paru dapat terjadi dengan peristiwa sebagai berikut:
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja
keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena
sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya
droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri
tuberkolosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini 
terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis.
Pada saat ini Test Cepat Molekuler (TCM) adalah alat diagnostik utama yang
digunakan untuk penegakan diagnostik TB Paru. Pemeriksaan TCM digunakan untuk
mendiagnosis TBC, baik TBC paru maupun ekstra paru, baik riwayat pengobatan TBC
baru maupun yang memiliki riwayat pengobatan sebelumnya dan pada semua golongan
umur termasuk pada ODHA.
Ada perubahan penatalaksanaan Pengobatan TB paru dimana OAT Kategori II
sudah tidak direkomendasikan lagi.

B. SARAN
1. Hendaknya mewaspadai terhadap droplet yang dikeluarkan oleh klien dengan TB paru
karena merupakan media penularan bakteri tuberculosis
2. Memeriksakan dengan segera apabila terjadi tanda-tanda dan gejala adanya TB paru.
3. Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
rencana keperawatan pada penderita TB Paru.
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan RI. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana

Tuberkulosis. Sustainability (Switzerland), 11(1), 1–14.

Marais, B. J., & Schaaf, H. S. (2014). Tuberculosis in children. Cold Spring Harbor

Perspectives in Medicine, 4(9). https://doi.org/10.1101/cshperspect.a017855

Margarit, A., Simó, S., Rozas, L., Deyà-Martínez, À., Barrabeig, I., Gené, A., Fortuny, C., &

Noguera-Julian, A. (2017). Adolescent tuberculosis: A challenge and opportunity to

prevent community transmission. Anales de Pediatría (English Edition), 86(3), 110–

114. https://doi.org/10.1016/j.anpede.2016.03.007

Ministry of Health Pakistan. (2015). National Guidelines for the Management of

Tuberculosis in children (Issue January).

Zulaikhah, S. T., Ratnawati, R., Sulastri, N., Nurkhikmah, E., & Lestari, N. D. (2019).

Hubungan Pengetahuan, Perilaku dan Lingkungan Rumah dengan Kejadian Transmisi

Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bandarharjo Semarang. Jurnal

Kesehatan Lingkungan Indonesia, 18(2), 81. https://doi.org/10.14710/jkli.18.2.81-88

Nanda.2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan nanda NIC

NOC.Jilid 1. Jogjakarta; MedAction

Nanda.2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan nanda NIC

NOC.Jilid 2. Jogjakarta; MedAction\

Nuzulul.2011.Asuhan keperawatan TB

Paru. http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35527-Kep%20Respirasi-

Askep%20TB%20Paru.html diakses 6 Desember 2014


Poltekes kemenkes Aceh.2012. Anatomi dan Fisiologi Sistem

Pernafasan .http://qurranong.wordpress.com/2013/03/27/anatomi-dan-fisiologi-sistem-

pernapasan/ diakses 6 Desember 2014

Rab, Tabrani. 2016. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Medika

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi I

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standart Luaran Keperawatan Indonesia Edisi I

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standart Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi

Anda mungkin juga menyukai