Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KEPERAWATAN GERONTIK

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN EMFISEMA”


Pengampu: Ibu Indrayanti, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp. Kom.

Disusun Oleh :

Rambuery Lika Amah 1803080

Regita Prameswari 1803081

Risa Setia Ismandani 1803083

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN ALIH JENJANG


STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Emfisema.
Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas pada mata kuliah Keperawatan
Gerontik. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak dapat
terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk
itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu Vivi Retno Intening, S.Kep., Ns., MAN., selaku Ketua STIKES
BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA.
2. Ibu Ethic Palupi, S.Kep., Ns., MNS., selaku Ketua Prodi Sarjana Keperawatan
Alih Jenjang di STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA.
3. Ibu Indrayanti, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp. Kom., selaku dosen pengampu mata
kuliah keperawatan gerontik.
4. Teman-teman yang telah bekerja sama dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi
semua pihak.

Yogyakarta, Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Cover ………………………………………………………………………. i
Kata Pengantar ……………………………………………………………. ii
Daftar Isi…………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang……………………………………………………… 1
B.Rumusan Masalah………………………………………………….. 1
C.Tujuan……………………………………………………………… 1
BAB II TINJAUAN TEORI
A.Konsep Dasar Medis………………………………………………… 3
B.Konsep Asuhan Keperawatan………………………………………. 13
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan …………………………………………………………. 17
B.Saran ………………………………………………………………… 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 18

LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu keadaan yang ditandai
oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan
aliran udara ini biasanya progresif dan disertai respon inflamasi abnormal
paru terhadap partikel atau gas toksik. PPOK merupakan sebuah kelompok
penyakit dengan gejala klinis bronchitis kronis dan emfisema. Menurut WHO
tahun 2002 PPOK menempati urutan kelima sebagai penyebab kematian di
dunia dan WHO memprediksi tahun 2030 PPOK akan menempati urutan
ketiga sebagai penyebab kematian di dunia. Emfisema merupakan contributor
terbesar dalam kejadian PPOK. Pada emfisema terjadi distensi rongga udara
di sebelah distal bronkiolus terminalis dengan disertai destruksi septum
alveolaris. Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang
melibatkan kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Emfisema
disebabkan karean hilangnya elastisitas alveolus (Dwika dan Maharani,
2017).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar medis pada pasien lansia dengan emfisema?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan emfisema?

C. Tujuan
1. Mengetahui konsep dasar medis emfisema pada lansia yang terdiri dari
pengertian, anatomi fisiologi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, komplikasi, pencegahan,
epidemiologi dan prognosis.
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan emfisema
meliputi pengkajian, diagnose keperawatan, serta NCP berdasarkan
NANDA, NOC dan NIC.

1
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Definisi
Emfisema adalah penyakit yang mengenai parenkim paru, orang yang
emfisema mengalami kerusakan pada alveoli. Emfisema merupakan
kontributor terbesar dalam kejadian PPOK. Pada emfisema terjadi distensi
rongga udara di sebelah distal bronkiolus terminalis dengan disertai
destruksi septum alveolaris (Dwika dan Maharani, 2017). Emfisema
biasanya muncul antara usia 60 dan 70 yang ditandai dengan destruksi
progresif alveoli dan struktur pendukungnya. Emfisema sering dikaitkan
dengan riwayat merokok (Meiner, 2015).

2. Anatomi dan Fisiologi


Menurut Mustikawati (2017) sistem pernafasan atau respirasi berperan
dalam menjamin ketersediaan oksigen untuk kelangsungan metabolism
sel-sel tubuh dan pertukaran gas.
Anatomi sistem pernafasan :
a. Hidung (naso atau nasal)
Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai 2 kavum
nasi, dipisahkan oleh septum nasi. Didalamnya terdapat bulu-bulu
yang berguna untuk menyaring udara, debu dan kotoran-kotoran yang
masuk ke dalam lubang hidung.
Hidung terdiri dari :
1) Bagian luar dinding terdiri dari kulit.
2) Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
3) Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat yang
dinamakan konka nasalis, yang berjumlah 3 buah, yaitu : konka
nasalis inferior, konka nasalis media, konka nasalis superior.

Fungsi hidung :
1) Bekerja sebagai saluran udara pernafasan
2) Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu
hidung

2
3) Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa
4) Membunuh kuman-kuman yang masuk

Perdarahan dan persyarafan rongga hidung


Pembuluh darah yang mendarahi rongga hidung :
1) A. Etmoidalis anterior dan posterior yang memperdarahi pangkal
hidung.
2) A. Sphenopalatina mendarahi mukosa dinding-dinding lateral dan
medial hidung.
3) A.Palatina Mayor
4) A.Labialis superior mendarahi septum nasi.

Persarafan :
1) Nervus trigeminus
2) Nervus olfakrorius
b. Faring
Tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan
memiliki panjang 13 cm. terdapat di belakang rongga hidung dan
rongga mulut, kebawahnya terdapat 2 lubang, ke depan lubang laring
dan ke belakang terdapat lubang esophagus, di sebelahnya terdapat 2
buah tonsil krir dan kanan. Disebelah belakang terdapat epiglottis
(berfungsi menutup laring pada saat menelan makanan).
Rongga faring terbagi 3 bagian :
1) Nasopharing
Merupakan faring bagian atas yang berhubungan dengan rongga
hidung interna. Pada bagian ini terdapat muara tuba eustachius
yang berfungsi menyeimbangkan tekanan pada membrane timpani.

2) Oropharing
Merupakan bagian tengah faring antara palatum lunak dan tulang
hyoid (dibelakang rongga mulut). Reflek menelan berawal daro
orofaring menimbulkan dua perubahan makanan terdorong masuk
ke saluram pencernaan (esophagus) dan secara simultan katup
menutp laring-laring untuk mencegah makanan masuk ke aluran
pernafasan. Pada daerah ini terdapat tonsil.
3) Laringopharing

3
Merupakan posisi terendah dari faring. Pada bagian bawahnya
system respirasi menjadi terpisah dari system digertive. Makanan
masuk kebagian belakang esophagus dan udara masuk bagian
depan (laring).
c. Laring
Merupakan saluran pernafasan yang terletak antara orofaring dan
trachea. Laring tersusun atas 9 cartilago (6 cartilago kecil dan 3
cartilago besar). Terbesar adalag cartilage thyroid yang berbentuk
seperti kapal, bagian depannya mengalami penonjolan membentuk
adams apple, dan didalam cartilage ini terdapat pita suara. Sedikit
dibawah cartilage thyroid terdapat cartilage cricoids. Laring
menghubungkan laringopharing dengan trachea. Laring terletak pada
garis tengah anterior leher pada vertebra cervical 4 sampai 6. Fungsi
utama laring adalah untuk vokalisasi. Laring juga melindungi saluran
nafas bagian bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan
batuk. Laring sering disebut kotak suara dan terdiri atas 3 tulang
rawan :
1) Cartilage epiglottis : daun katup cartilage yang menutup ostium kea
rah laring selama menelan.
2) Cartilage thyroid : cartilage terbesar pada trachea, sebagian dari
cartilage ini membentuk jakun
3) Cartilage cricoid: satu-satuna cincin cartilage yang komplit dalam
laring .

d. Trachea
Merupakan organ berbentuk tabung antara laring sampai puncak paru,
panjang sekitar 10-12cm, setinggi servikal 6 sampai dengan torakal 5.
Pada ujung trachea bercabang 2 kanan dan kiri yang disebut bronchus
primer. Daerah persimpangan bronkus kanan dan kiri disebut karina,
daerah ini sangat sensitive terhadap benda asing yang masuk sehingga
berespon menjadi reflek batuk. Trachea tersusun atas 15-20 cincin
kartilago berbentuk huruf C yang berperan untuk mempertahankan
lumen trachea tetap terbuka. Trachea dilapisi oleh mukosa dan
jaringan submukosa dan adventitia. Epitel mukosa megandung sel-sel

4
goblet yang memproduksi mucus dan epitel yang bersilia yang
berfungsi menyapu partikel yang lolos dari hidung. Lapisan
submukosa merupakan lapisan bawah mukosa byang terdiri dari
jaringan konektif yang mengandung kelenjar seromukus untuk
memproduksi mucus.
e. Bronkus
Merupakan lanjutan dari tracheadan terdapat pada ketinggian vertebra
torakalis ke –IV dank e –V. Bronkus membentuk cabang-cabang
(bronkhiolus) yang memiliki dinding otot polos yang dapat
berontraksi untuk menyempitkan jalan pernafasan. Bronkus kanan
lebih pendek dan lebih besar dari bronkus kiri. Bronchus terdiri dari :
1) Bronchus lobaris (3 pada paru kanan dan 2 pada paru kiri)
2) Bronchus segmental (10 pada paru kanan dan 8 pada paru kiri)
f. Bronkhiolus
Cabang-cabang bronchus yang kecil. Bronkhiolus respiratorius adalah
ujung akhir dari bronkhiolus (bronkhiolus terminal) yang menuju
alveoli.
g. Alveoli
Alveoli merupakan kelompok-kelompok kantung yang berdinding
tipis, yang dibungkus oleh anyaman kapiler yang sangat halus dan
mengandung darah menuju ke tempat pertukaran gas terjadi melalui
difusi dan berjumlah 300 juta pada paru-paru. Terdapat 3 jenis sel
pada alveolar :
1) Sel alveolar tipe 1: sel epitel yang membentuk dinding alveoli.
2) Sel alveolar tipe 2 : sel yang aktif mensekersi surfaktan (suatu
fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar
agar tidak kolaps).
3) Sel alveolar tipe 3: merupakan makrofag yang fagositis dan
merupakan mekanisme pertahanan.
h. Paru-paru
Struktur elastis seperti spon, berbeda pada rongga thoraks, yang
terkadnung dalam susunan tulang-tulang iga dan letaknya disisi kiri
dan kanan mediastinum. Pulmo (paru-paru) memiliki :
1) Apex, apex pulmo meluas ke dalam leher sekitar 2,5 cm di atas
calvicula.
2) Permukaan costo vertebra,menempel pada bagian dalam dinding
dada.
5
3) Permukaan mediastinal, menempel pada pericardium dan jantung.

Paru-paru dilapisi oleh membrane tipis yang lembab disebut pleura.


Lapisan yang ada di rongga thoraks adalah pleura parietalis, yang
berada di dasar paru keseluruh permukaan paru adalah pleura visceral.
Pada keadaan normal paru-paru dikembangkan untuk mengisi rongga
thorak sepenuhnya. Pleura parietal dan visceral bersentuhan satu sama
lain dan ruang pleura (spasium pleura) diantaranya terisi oleh sedikit
cairan pelumas agar tidak terjadi friction (gesekan). Paru terdiri dari 2,
yaitu paru kiri dan paru kanan:
1) Paru kiri terbagi menjadi 2 lobus yaitu atas dan bawah serta 10
segment (5 segment pada lobus superior, dan 5 segment pada lobus
inferior).
2) Paru kanan terbagi mejadi 3 lobus, atas, tengah dan bawah dengan
10 segment. (5 segment pada lobus superior, 2 pada lobus meidal
dan 3 pada lobus inferior). Letak paru menutup jantung.

Pembuluh darah pada paru-paru :


1) Sirkulasi pulmonal berasal dari ventrikel kanan melalui arteri
pulmonal yang mengandung darah sedikit O2.
2) Darah yang mengandung banyak O2dibawah oleh vena pulmonalis
ke atrium kirir menuju ventrikel kiri menuju ke seluruh tubuh.

Fisiologi system pernafasan


Respirasi (pernafasan) merupakan proses (peristiwa) pertukaran gas
oksigen dan karbondioksida baik yang terjadi di paru-paru, maupun di
jaringan. Proses respirasi di bagi menjadi 2 yaitu respirasi internal
atau seluler respirasi atau respirasi dalam dan respiasi eksternal atau
pernafasan luar.
1) Respirasi eksternal
Merupakan proses pertukaran gas O2dan CO2diparu-paru, kapiler
pilmoner dengan lingkungan luar. Pertukaran gas ini terjadi karena
adanya perbedaan tekanan dan konsentrasi antara udara lingkungan
dengan paru-paru.
2) Respirasi internal

6
Merupakan proses pemanfaatan oksigen dalam sel yang terjadi di
mitokondria untuk metabolism dan produksi karbondioksida.
Proses pertukaran gas pada proses interna hampir sama dengan
proses eksterna. Adanya peranan difusi antara kapiler sistemik
dengan jaringan, kaerna PO2 jaringan selalu lebih rendah dari arteri
sistemik dengan perbandingan 40 mmHg dan 104 mmHg.
Sedangkan CO2 akan bergerak dengan cepat kealiran vena dan
kembali ke jantung.

3. Etiologi dan Faktor Risiko


Berdasarkan Dwika & Maharani (2017) terdapat beberapa faktor resiko
penyebab emfisema :
a. Polusi udara :
1. Merokok
2. Paparan debu
3. Sulfur dioksida (SO2)
4. Nitrogen dioksia (NO2)
b. Faktor genetik : Defisiensi alfa -1 antitripsin.

4. Manifestasi Klinis
Dispnea adalah gejala umum emfisema dan mempunyai awitan yang
membahayakan. Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan batuk
kronis yang lama. Dispnea merupakan gejala yang khas dari emfisema.
Kondisi ini lebih mengacu pada sensasi sesak napas, menyebabkan
seseorang memiliki laju pernapasan lebih lambat atau lebih dalam, namun
dangkal. Selain dispnea, bernapas cepat juga sangat sering terjadi pada
orang dengan emfisema, ini terjadi akibat tingkat oksigen dalam darah
terlalu rendah, sehingga merangsang seseorang untuk bernapas lebih cepat
agar kebutuhan oksigen terpenuhi Timbulnya Mengi/weezhing
menandakan keluarnya bunyi saat bernapas, kadang seperti siulan lirih.
Mengi terjadi akibat menyempitnya saluran napas yang mengalirkan
udara. Kebanyakan orang dengan emfisema akan merasakan kelemahan
pada tubuh diakibatkan asupan oksigen yang tidak tercukupi. Selain itu
timbul gejala lain seperti barrel chest, tidak nafsu makan dan gangguan
tidur (Danusantoso, 2012)

7
5. Patofisiologi Emfisema
Faktor-faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu inflamasi dan
pembengkakan bronki, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan rekoil
elastik jalan napas, dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke
alveoli yang berfungsi.Karena dinding alveoli mengalami kerusakan (suatu
proses yang dipercepat oleh infeksi kambuhan ), area permukaan alveolar
yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinyu berkurang,
menyebabkan peningkatan ruang rugi ( area paru dimana tidak ada
pertukaran gas yang dapat terjadi ) dan mengakibatkan kerusakan difusi
oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap
akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan,
mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri
(hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius. Dinding alveolar
terus mengalami kerusakan sehingga jaring-jaring kapiler pulmonal
berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa
untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal.
Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (cor-pulmonal) adalah
salah satu komplikasi emfisema. Sekresi meningkat dan tertahan
menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang
kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam
paru-paru yang mengalami emfisema sehingga memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik (ditandai dengan
peningkatan tahanan jalan napas) ke aliran masuk dan aliran keluar udara
dari paru-paru, dimana paru-paru dalam keadaan hiperekspansi kronik.
Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang
belakang bagian atas secara abnormal bentuknya menjadi membulat atau
cembung. Beberapa klien membungkuk ke depan untuk dapat bernapas,
menggunakan otot-otot aksesori pernapasan. Retraksi fosa supraklavikula
yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan.
Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga betrkontraksi saat

8
inspirasi, terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital, ekshalasi
normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak memungkinkan. Kapasitas
vital total (VC) mungkin normal, tetapi rasio dari volume ekspirasi kuat
dalam 1 detik dengan kapasitas vital (FEV1;VC) rendah. Hal ini terjadi
karena elastisisas alveoli sangat menurun. Upaya yang dibutuhkan klien
untuk menggerakan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan
jalan napas yang menyempit meningkatkan upaya pernapasan.
Kemampuan untuk mengadaptasi terhadap perubahan kebutuhan
oksigenasi sangat terganggu (Price, 2012).

6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,
gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor
pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah
berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal.
Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas
dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen,
demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum
yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini
imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada
EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan
(Danusantoso, 2012).

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik dipertimbangkan berdasarkan riwayat pajanan
asap tembakau, iritasi kerja, dispnea progresif, batuk kronis, dan produksi
dahak kronis. Tes menggunakan spirometri dimana diagnosis ditentukan
berdasar nilai FEV (Meiner, 2015).
.
8. Penatalaksanaan

9
Menurut Meiner (2015) penatalaksanaan emfisema bergantung dari
keparahan penyakit dan status klinis pasien. Biasanya obat yang digunakan
adalah bronkodilator untuk pengobatan jangka panjang maupun jangka
pendek. Adapun obat-obatan bronkodilator yang dapat digunakan adalah:
a. Beta-Agonis
Obat ini bekerja dengan menstimulasi beta, reseptor di paru-paru
untuk pelebaran bronkus, meningkatkan pembersihan mukusiliar dan
meningkatkan fungsi diafragma. Obat ini dapat diberikan dalam
bentuk inhaler. Contoh: albuterol (Proventil, Ventolin), meta-
proterenol sulfate (Alupent, Metaprel) dan pributerol acetat (Maxair).
b. Antikolinergik
Antikolinergik inhalasi seperti ipratropium bromide atau oxitropium
bromide digunakan untuk mengobati bronkitis kronis. Obat ini bekerja
untuk menghambat rangsangan vagal paru-paru, mencegah kontraksi
otot polos, dan mengurangi produksi lendir.
c. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid dapat mengurangi eksaserbasi dan meningkatkan
status kesehatan secara keseluruhan.
d. Terapi oksigen
terapi oksigen dapat meningkatkan status hemodinamik, kapasitas
paru-paru dan status mental.indikasi pemberian adalah pasien dengan
PaO2 kurang dari 55mmHg atau saturasi oksigen kurang dari
88%,atau ada hipertensi pulmonal, edema perifer, polisitemia
(hematokrit >55%). tujuan utama terapi oksigen adalag meningkatkan
PaO awal menjadi setidaknya 80 mmHg dan SaO2 minimal 90%.
e. Antibiotik
antibiotik digunakan hanya jika ada infeksi bakteri.
f. Pembedahan
pembedahan yang dilakukan adalah bulektomi untuk mengurangi
dispnea dan meningkatkan fungsi paru-paru. Pilihan lain adalah
operasi pengurangan volume paru-paru dan pilihan terakhir adalah
transplantasi paru-paru untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

9. Pencegahan
Pencegahan emfisema menurut Meiner (2015) yaitu:
a. Berhenti merokok
b. Hindari pekerjaan yang terpapar polusi udara

10
c. Gaya hidup sehat dengan olahraga teratur dan pengendalian berat
badan
d. Vaksinasi pneumokokusbagi lansia yang berusia di atas 65 tahun.

10. Epidemiologi
Emfisema masih dianggap sebagai bagian dari PPOK. Berdasarkan
Riskesdas 2013 terdaat 4 dari 100 orang di Indonesia menderita PPOK..
PPOK menyerang dewasa usia pertengahan dan lansia. Penyebab PPOK
terbanyak adalah perokok aktif. Perokok 12 hingga 13 kali cenderung
meninggal akibat PPOK dari pada yang tidak merokok (LeMone, Burke,
& Bauldoff, 2017)

11. Prognosis
Prognosis pada pasien emfisema ditentukan berdasarkan indeks BODE
(Body mass index, airflow obstruction, dyspnea, and exercise).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


Berdasarkan Meiner (2015) asuhan keperawatan pada pasien emfisema
meliputi:
1. Pengkajian
a. Alasan utama pasien mencari pengobatan dan penyebab utama
kecacatan dan kecemasan, biasanya klien mengeluh sesak napas
(dispnea).
b. Kaji dengan spirometri untuk menentukan tingkat keparahan dan
penegakan COPD.
c. Evaluasi gejala pernapasan, termasuk pengaruhnya terhadap ADLS.
d. Kaji nyeri akibat sesak napas pada skala 1 hingga 10, dan
mengidentifikasi faktor lingkungan dan sosial yang mungkin
berkontribusi terhadap gejala tersebut, kapan timbulnya gejala-apakah
tiba-tiba atau berbahaya dan faktor pencetus seperti olahraga,
perubahan suhu, dan stres.
e. Penilaian fisik meliputi penilaian bentuk dan simetri dada, laju dan
pola pernapasan, oksimetri nadi, posisi tubuh, penggunaan otot-otot
aksesori pernapasan, warna, suhu, penampilan ekstremitas, dan warna,
jumlah, konsistensi, dan bau dahak.

11
f. Kaji adanya sianosis misalnya di bibir, kuku, sekitar mulut, tulang
pipi, dan cuping telinga. Pada orang dewasa yang lebih tua berpigmen
gelap, perawat harus memeriksa pasien dengan kondisi pencahayaan
yang baik (mis., Gunakan cahaya di tempat tidur atau sinar matahari
alami). Perawat harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat
menutupi sianosis dengan menyebabkan vasokonstriksi. Ini termasuk
kondisi lingkungan (mis. AC dan tenda kabut) dan perilaku pasien
(mis. Merokok dan minum obat yang menyebabkan vasokonstriksi).
g. Kaji tingkat kesadaran, peningkatan laju pernapasan, penggunaan
otot-otot tambahan pernapasan, hidung melebar, perubahan posisi, dan
manifestasi lain dari gangguan pernapasan. Perawat harus
menggunakan palpasi dan perkusi ches untuk menilai peningkatan
fremitus taktil, pergerakan dinding dada, dan perjalanan diafragma.
Ketika auskultasi dinding dada perawat harus memberikan orang
dewasa yang cukup waktu untuk mengambil napas dalam-dalam
dengan nyaman tanpa menjadi pusing.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas, terkait dengan penahanan
sekresi
b. Gangguan Pertukaran Gas, terkait dengan pasokan oksigen yang
berubah
c. Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh
d. Insomnia, terkait dengan kecemasan, dispnea, depresi, hipoksia emia
atau hiperkapnia atau keduanya, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan
ortopnea
e. Resiko Infeksi, terkait dengan ketidakcukupan primer dan pertahanan
sekunder dan penyakit kronis

3. Perencanaan
Hasil yang diharapkan untuk pasien lansia dengan emfisema menurut
Moorhead et al., (2008) dalam Meiner (2015) yaitu:

12
a. Pasien akan mempertahankan kepatenan jalan napas
b. Pasien dapat mempertahankan berat badan yang stabil.
c. Pasien dapat mempertahankan nilai Analisa Gas Darah pada awal.
d. Pasien dapat mempertahankan asupan dan keluaran yang seimbang.
e. Pasien dapat membersihkan sekresi secara efektif.
f. Pasien dapat menunjukkan pernapasan diafragma dan mengejan.
g. Pasien dapat menunjukkan teknik relaksasi untuk mengontrol kondisi
pernapasan

Intervensi keperawatan
a. Menyediakan latihan rentang gerak aktif dan pasif untuk menjaga
mobilitas.
b. Nilai kebutuhan akan oksigen tambahan untuk meningkatkan toleransi
aktivitas.
c. Atur konsultasi terapi fisik dan pekerjaan.
d. Atur waktu aktivitas untuk memberikan istirahat dan mengurangi
episode sesak napas.
e. Ajarkan pasien untuk mengurangi aktivitas yang memperburuk
kelelahan.
f. Berikan fisioterapi dada (CPT) untuk mempromosikan pengangkatan
sekresi dan perluasan dada, sesuai toleransi.
g. Berikan hidrasi untuk mempertahankan status volume cairan dan
untuk mengurangi viskositas sekresi
h. Ganti posisi setiap 2 jam untuk meningkatkan ventilasi dan membantu
mengalirkan sekresi paru.
i. Pantau AGD seperti yang diperintahkan.
j. Pantau oksimetri dan nadi secara terus-menerus.
k. Berikan ventilasi mekanis selama fase akut.
l. Hisap sesuai kebutuhan berdasarkan temuan penilaian;
mempertahankan paten airway
m. Memantau tekanan puncak airway setiap 2 jam.
n. Pantau pengaturan ventilator setiap 2 jam.
o. Berikan jaminan untuk pasien dan keluarga.
p. Berikan perawatan mulut setiap 2 jam.
q. Berikan waktu istirahat
r. Jadwalkan kegiatan perawatan berdasarkan tingkat energi pasien.
s. Berikan metode komunikasi altenatif seperti papan gambar, papan
bicara, atau papan alfabet.
t. Berbicaralah dengan kalimat yang jelas dan singkat, dan ajukan
pertanyaan yang hanya memerlukan respons singkat.

13
u. Berikan pasien dan keluarga informasi tentang aliran liter terapi
oksigen di rumah, dan peralatan untuk digunakan di rumah.
v. Berikan instruksi tentang keamanan oksigen.
w. Instruksikan pasien dan keluarga dalam cara berhenti merokok dan
cara menjaga oksigenasi
x. Berikan informasi tentang program berhenti merokok

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Emfisema merupakan penyakit paru yang berkontribusi dalam kejadian
PPOK. Lansia terutama perokok aktif lebih sering mengalami emfisema.
Dispnea merupakan gejala yang khas dari emfisema. Kondisi ini lebih
mengacu pada sensasi sesak napas, menyebabkan seseorang memiliki laju
pernapasan lebih lambat atau lebih dalam, namun dangkal. Dalam merawat
lansia yang mengalami emfisema sangat dibutuhkan dukungan keluarga,
apalagi jika lansia dengan emfisema dirawat dirumah dam membutuhkan
alat bantu seperti oksigen tambahan atau aerosol.

B. Saran
Bagi perawat diharapkan dapat melibatkan keluarga dalam perencanaan
perawatan pasien emfisema baik perawatan di rumah sakit maupun di
rumah. Selain itu perawat sebaiknya dapat memberikan penyuluhan

14
tentang faktor-faktor penyebab emfisema pada lansia, terutama bagi lansia
perokok atau yang sering terpapar polusi udara.

15
DAFTAR PUSTAKA

Danusantoso, Halim. 2012. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru Edisi 2. Jakarta : EGC.

Dwika dan Maharani, S (2017) Pengaruh Merokok dan Defisiensi Alfa-1


Antitripsin Terhadap Progresivitas Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
dan Emfisema. Jurnal Kedokteran: Volume 6, Nomor 2, Maret 2017.

LeMone, Priscilla, Karen M. Burke & Gerene Bauldoff . 2017. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah; Gangguan Respirasi. Jakarta: EGC.
Meiner, Sue. E. (2015). Gerontologic Nursing, Fith Edition. USA: Elsevier.
Mustikawati, 2017. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan: Ringakasan dan
Latihan Soal. Jakarta : Trans Info Media.

Price, SA dan Wilson LM. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Edisi -6. Jakarta: EGC

16

Anda mungkin juga menyukai