SKENARIO 3
Penyakit Tropis karena Infeksi Jamur
Oleh:
KELOMPOK TUTORIAL A
Lathifa Rusyda Gani 142010101055
Cagar Irwin Taufan P. 152010101088
Nuno Febrian P. 152010101055
Anis Talitha Damarawati 152010101134
Vera Asmita Fitriani 152010101017
Desi Dwi Cahyani 152010101022
Sarwendah Siswi Winasis 152010101040
Marina Shobah Firdaus 152010101057
Asyifa Hilda Hapsari 152010101109
Sadewa Wicaksana S. 152010101009
Munaya Farhana 152010101066
Sixma Rizky Kurnia Putri 152010101073
Tifenda Nurafifah S. 152010101020
Ilham Akbar 152010101086
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
SKENARIO
Ibu Santi berusia 55 tahun dibawa ke dokter karena keluhan gatal pada kulit selangkangan
dan keputihan. Gatal dirasakan sudah lama sekitar 3 minggu. Awalnya terdapat
bercak/ruam kemerahan di sekitar kemaluan dan semakin lama meluas sampai ke ingunal.
Gatal dirasakan terutama saat berkeringat. Ibu Santi juga sering mengalami keputihan yang
hilang timbul disertai rasa gatal. Sekret yang keluar berwarna putih seperti susu pecah.
Dari anamnesis, dokter mengetahui bahwa pasien juga menderita diabetes mellitus tipe 2.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan adanya macula eritematous di daerah pubis dan
inguinal. Dokter juga mendapatkan adanya paronychia pada kuku pasien. Dokter segera
melakukan pemeriksaan penunjang dan menentukan terapi kepada pasien.
1. Karakteristik dan Klasifikasi Jamur
1.1 Karakteristik Jamur
Jamur merupakan eukaryotik dan mempunyai sekurang-kurangnya 1 inti. Jamur
juga bersifat heterotrof yaitu memanfaatkan senyawa organik menjadi sumber energi yang
dibutuhkan sehingga untuk pertumbuhannya jamur dapat menjadi saprofit atau parasit.
Ada 3 bentuk jamur, yaitu :
Yeast
Jamur uniseluler yang berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter 3-15 mikron
dan berkembang biak dengan membentuk tunas. Contohnya : Candida Sp.
Yeast dibagi menjadi 2, yaitu
- Yeast murni : merupakan jamur uniseluler yang tidak mampu membentuk
pseudohifa
- Yeast like : merupakan jamur uniseluler yang mampu membentuk pseudohifa.
Contohnya: Candida Sp, Cryptococcus neoformans.
Mold
Merupakan jamur multiseluler yang terdiri dari sel-sel memanjang dan bercabang
yang disebut dengan hifa dan dapat membentuk kumpulan dari hifa yang disebut
miselium. Contohnya : Aspergilus niger. Hifa yang dibentuk ada yang bersekat
maupun tak bersekat. Hifa juga ada yang menjalar dan tegak, yang tegak berfungsi
sebagai alat perkembangbiakan.
Dimorfik
Merupakan jamur yang mempunyai dua bentuk yaitu yeast dan mold. Berbentuk
yeast jika berada di dalam inang/host atau pada suhu inkubasi 37 0C, dan akan
berbentuk mold jika berada diluar hos atau pada suhu inkubasi suhu ruang. Contoh
: Blastomyces dermatidis, histoplasma capsulatum
Jamur memiliki enzim aspartilproteinasi dan fosforilase yang dapat melisiskan
barrier pertahanan tubuh dan dapat menimbulkan penyakit.
Tipe interdigitalis
Terdapat diantara jari ke 4 dan 5 seperti dilingkari sisik halus dan tipis.
Dapat meluas ke bawah jari dan ke sela jari yang lain.
Bentuk subakut
Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang bula.
Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut
meninggalkan sisik yang berbentuk lingkarang yang disebut koleret.
c. Tinea Korporis
Kelainan pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin). Pada bagian lain
dari tinea lainnya.
Gejala yang timbul berupa lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas ada
eritema, skuama, kadang dengan vesikel dan papul di tepi, daerah tengah
biasanya lebih tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi
pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yg lain.
(Sumber: Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI)
Dalam tinea korporis ada yang disebut dengan tinea fafosa yang sering
menginfeksi daerah kepala, untuk membedakan dengan tinea kapitis dapat
dilihat dari dari gambaran klinis, tinea korporis disertai dengan kulit yang
bersisik sedangkan pada tinea capitis tidak, dari segi penyebab, tinea capitis
dapat disebabkan oleh microsporum canis sedangkan pada tinea korporis lebih
pada tricophyton rubrum dan Trichophyton floccosum.
d. Tinea Kruris
Merupakan mikosis superfisial atau eczema, dobie itch, jokey itch, atau
ringworm of the groin. Dermatofitosis pada sela paha, genitalia, daerah pubis,
perineum, dan perianal.
Epidemiologinya, di Indonesia tinea kruris merupakan yang terbanyak.
Laki-laki pubertas lebih banyak terkena dibandingkan wanita. Biasanya
mengenai usia 18-25 tahun dan 40-45 tahun.
Penyebab utama tinea kruris ialah ephidermophyton flocusum dan
trycophyton rubrum.
Transmisi terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang yang
terinfeksi atau melalui benda, pakaian, perabotan yang terkontaminasi.
Patogenesis infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah yaitu :
o Perlekatan jamur superficial yang harus melewati berbagai rintangan
untuk bisa melekat pada jaringan keratin seperti sinar UV, suhu,
kelembapan udara, dan kompetisi dengan flora normal.
o Penetrasi, setelah melekat spora harus berkembang dan menembus
stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses
deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase,
enzim mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur.
o Perkembangan respon pejamu
Gambaran klinis yang didapatkan berupa lesi yang bulat, berbatas tegas
yang terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang vesikel dan papul di tepi lesi.
Daerah di tengah biasanya lebih tenang.
Diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan mikologi
ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopik
langsung memakai larutan KOH 10-20%.
Penatalaksanaan yaitu dengan higine sanitasi dan terapi farmakologi. Higine
sanitasi dengan menggunakan celana dalam yang menyerap keringat, tidak
ketat, dan ganti setiap hari. Sedangkan untuk terapi farmakologinya dengan
griseofulvin dewasa 0,50-1 gr/ hari dan anak anak 0,25-0,5 gr/hari.
e. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofita.
Epidemiologi tinea unguium terjadi di seluruh belahan dunia. Dapat terjadi
baik pada anak-anak maupun dewasa. Prevalensi tinea unguium meningkat
sesuai dengan pertambahan usia. Sekitar 1% pada individu <18 tahun dan
hampir 50% pada usia >70 tahun.
(1) Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian handuk/pakaian secara bersamaan
harus dihindari.
(2) Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal, yaitu dengan:
antifungal topikal seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau terbinafin yang
diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2 minggu kemudian untuk
mencegah rekurensi.
(3) Untuk penyakit yang tersebar luas atau resisten terhadap terapi topikal,
dilakukan pengobatan sistemik dengan:
(3.1) Griseofulvin dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g per hari untuk orang
dewasa dan 0,25 0,5 g per hari untuk anak-anak atau 10-25
mg/kgBB/hari, terbagi dalam 2 dosis.
(3.2) Golongan azol, seperti Ketokonazol: 200 mg/hari; Itrakonazol: 100
mg/hari atau Terbinafin: 250 mg/hari. Pengobatan diberikan selama 10-
14 hari pada pagi hari setelah makan.
Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit. Edukasi pasien dan
keluarga juga untuk menjaga higiene tubuh, namun penyakit ini bukan merupakan
penyakit yang berbahaya.Pasien dirujuk apabila:
Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi.
Terdapat imunodefisiensi.
Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka.
Sumber:
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi
Tahun 2014, halaman: 448-450
2.3 Koksidioidomikosis
Definisi
Merupakan penyakit jamur sistemik disebabkan Koksidioides Spp. seperti
C. immitis dan C. posadasii.
Epidemiologi
Koksidioides sp. dapat ditemukan di tanah, ditempat-tempat dengan curah
hujan yang sedang, suhu udara dingin dan kelembaban yang rendah. Infeksi ini
bersifat endemis di daerah terbatas dari Amerika barat daya, Amerika tengah,
Amerika selatan.
Faktor Resiko
Orang-orang yang berisiko terkena penyakit ini adalah mereka yang
memiliki risiko tinggi terpapar pada lingkungan berdebu atau dengan system imun
lemah, yaitu:
Personel militer
Petugas patrol di perbatasan AS dan Meksiko
Tahanan penjara
Arkeolog
Pekerja konstruksi
Orang Afrika, Amerika, Filipina, dan native Amerika
Wanita hamil trimester ketiga
Patofisiologi
Infeksi coccidioidal dapat terjadi melalui airborne transmission. C.
immitis atau C. posadasii arthroconidia (spora) yang terinhalasi tersimpan dalam
bronkiolus terminalis.
Di bronchiolus, arthroconidia membesar dan membentuk spherules, struktur
bulat dengan dinding ganda (double-walled) berdiameter sekitar 20-100 m.
Spherules mengalami pembelahan internal dalam 48-72 jam dan terisi ratusan
hingga ribuan endospora. Spherules yang ruptur akan melepaskan endospora, yang
akan matur membentuk lebih banyak spherules. Ketika arthroconidium membentuk
spherule, terjadi inflamasi yang mengakibatkan local pulmonary lesion. Extract
dari C. immitis bereaksi dengan complement, mengakibatkan pelepasan mediator
chemotaxis untuk neutrophils. Sebagian endospora akan dimakan macrophages,
menyebabkan terjadinya fase inflamasi akut. Jika infeksi tidak ditangani pada
proses ini, lymphocytes dan histiocytes akan menuju infection site, menyebabkan
pembentukan granuloma dan akan ada giant cells. Fase ini merupakan fase
inflamasi kronis.
Manifestasi Klinis
Infeksi pada manusia terjadi akibat inhalasi artrospora yang berasal dari
tanah yang terbawa oleh angin hingga masuk ke bronkioli terminal mengawali
terjadinya infeksi koksidioida. Pada 60 % penderita terjadi infeksi primer yang
asimtomatis dan 40% yang lain menunjukkan simtom infeksi berupa sindroma
semacam flu, yaitu batuk, demam, malaise, nyeri sendi , nyeri otot, dan sakit
kepala. Kurang lebih 1% penderita mengalami infeksi sistemik berat atau
koksidioidomikosis sekunder yang mengancam jiwa.
Infeksi pulmoner primer yang simtomik manifestasinya adalah febris,
batuk, nyeri dada, malaise, kadang-kadang reaksi hipersensitivitas. Foto toraks
dapat memperlihatkan infitrat, adenopati hiler, ataupun efusi pleura. Pemeriksaan
darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia yang ringan.
Koksidioidomikosis pulmonalis progresif kronik menyebabkan gejala batuk
kronik, disertai sputum, febris, dan penurunan berat badan. Pada beberapa kasus
akan mengalami reaktivasi, dan penyebarluasan infeksi (diseminasi) setelah
beberapa tahun kemudian.
Diagnosis
Bila ada kecurigaan infeksi koksidioidomikosis, maka spesimen untuk
biakan meliputi sputum, eksudat dari lesi kulit, cairan spinal , urine, biopsi
jaringan, dan pus. Pada biopsi, gambaran sperula yang matur merupakan petunjuk
diagnosis. Tes serologi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis
koksidioidomikosis.
Terapi
Koksidioidomikosis pulmonalis primer biasanya akan sembuh spontan.
Amfoterisin B intravena yang dosisnya 0,5 hingga 0,7 mg/kg BB per hari selama
beberapa minggu diberikan bila pasien memperlihatkan kecenderungan ke arah
berat atau infeksi primer yang berlarut-larut, dengan harapan mencegah terjadinya
penyakit pulmonalis kronik atau diseminata. Pasien yang keadaannya membaik
setelah penyuntikan amfoterisin B atau memperlihatkan infeksi diseminata yang
tidak aktif dapat dilanjutkan ketokonazol, 400 hingga 800 mg/hari, atau
itrakonazol, 200 hingga 400 mg/hari .
Komplikasi
Meningitis, hidrosefalus
Sumber:
Nasronudin. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing
https://www.cdc.gov/fungal/pdf/cocci-fact-sheet-sw-us-508c.pdf
https://emedicine.medscape.com/article/215978
2.4 Blastomycosis
Definisi
Blastomycosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur yang disebut
dengan Blastomyces. Hidup jamur ini ada di lingkungan seperti tanah, kayu, daun.
Manusia bisa tertular blastomycosis setelah nafas dan terhirup spora jamur di
udara. Gejala nya flu-likes sindrome.
Faktor Resiko
Orang yang bekerja di hutan.
Pemburu
Penebang
Orang yang suka camping
Siklus Hidup
Blastomyces hidup di lingkungan dalam bentuk mold yang bisa
memproduksi spora. Spora kecil, setelah masuk ke dalam tubuh manusia, menuju
ke paru. Suhu tubuh bisa merubah jamur blastomyces menjadi bentuk yeast. Yeast
bisa hidup di paru dan menyebar via darah ke organ lain seperti kulit, dll.
Patogenesis
Patogenesis blastomikosis dimulai dari inhalasi jamur ke paru-paru lalu
terjadi penyebarluasan secara sistemik, terbentuk granuloma verrukosa berulukus
dengan tepi dipenuhi oleh mikroabses dengan runcing merah, Komplikasi dari
penyakit ini adalah pneumonia.
Gejala Klinis
Asimptomatis 50%
Simptomatis setelah 3 minggu-3 bulan setelah paparan, bisa berupa :
- Demam
- Batuk
- Sesak nafas
- Nyeri dada
Bisa menyebabkan meningitis fungal
Diagnosis
Tes laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnose:Spesimen
diambil dari sputum, pus, atau eksudat. Pemeriksaan mikroskopis dapat diketahui
dengan sejumlah specimen basah yang menempel dengan leluasa pada sel-sel ragi
berdinding tebal. Koloni yang dikembang biakan dalam saburoud agar dapat
menghasilkan bentuk pertumbuhan yang berbeda. Pada suhu ruangan akan tumbuh
mold dengan hifa-hifa bersepta dan bercabang. Diagnosis juga dapat ditegakkan
dengan cara imaging test seperti X-ray dan CT-Scan paru.
Penatalaksanaan
Untuk kasus yang ringan hingga sedang bisa menggunakan : Itraconazole
Untuk kasus yang berat bisa menggunakan : Amphotericin B
Sumber :
CDC (https://www.cdc.gov/fungal/diseases/blastomycosis/index.html)
2.5 Histoplasmosis
Definisi
Histoplasmosis atau yang dikenal sebagai demam gua, demam Darling, atau
demam lembah Ohio (Ohio valley fever) merupakan bentuk infeksi dari jamur
spesies Histoplasma capsulatum var. capsulatum yang banyak dijumpai di kotoran-
kotoran hewan seperti kelelawar dan unggas. Infeksi jamur ini menyebabkan
morbiditas berupa infeksi pernapasan terutama pada orang yang terpapar agen
secara berlebihan dan orang imunokompromis.
Etiologi
Jamur Histoplasma capsulatum. Jamur ini merupakan salah satu jamur yang
bersifat dimorfik sesuai temperatur sekitarnya. Pada lingkungan luar (suhu 25oC),
jamur ini cenderung membentuk kapang (mold) sedangkan apabila berada di dalam
jaringan tubuh manusia (suhu 37oC) membentuk ragi (yeast). Dalam bentuk yeast
jamur ini memiliki bentuk bulat dan bertunas sejajar/berderet seperti rantai
sedangkan dalam bentuk mold jamur ini memiliki filamen hifa panjang dengan
ujung yang membulat dan banyak tonjolan seperti bunga matahari.
Epidemiologi
Jamur ini merupakan endemic di negara bagian Mississippi dan Ohio,
Amerika Serikat. Infeksi pada daerah tropis juga ditemukan di Panama, Amerika
Selatan, Asia Tenggara, dan India. Beberapa kasus juga dilaporkan di daerah
Afrika Sub-Sahara. Diduga akibat angka kejadian HIV yang tinggi serta
penyebaran melalui pelancong yang mengunjungi negara endemis.
Faktor risiko
Pekerja peternakan ayam dan unggas lain, pencari guano (kotoran
kelelawar), penebang kayu, orang yang senang berkemah, dan pekerja lapangan
ialah orang yang berisiko tinggi terkena infeksi jamur ini. Kasus histoplasmosis
juga meningkat pada orang dengan kondisi imun yang tersupresi.
Patofisiologi
Rute masuknya jamur ke dalam tubuh manusia adalah melalui inhalasi
spora jamur yang terdapat pada sumber utamanya (tanah, kotoran
unggas/kelelawar). Karena sifatnya yang mikroskopis maka spora tersebut akan
sampai ke alveolus paru. Selayaknya jamur yang dimorfik, pada suhu tubuh
manusia (37oC), jamur berkembang menjadi bentuk ragi (yeast) dan keberadaannya
memicu terjadinya respon fagositosis dari makrofag alveolar. Sel ragi yang tidak
terfagosit akan membelah memperbanyak diri dan memicu respon imun yang
diperantarai oleh sel limfosit T yang akhirnya akan menuju ke reaksi peradangan
granulomatosa pada paru. Sel ragi ini dapat pula menyebar melalui pembuluh darah
dan terjadilah manifestasi klinis ekstrapulmoner, biasanya pada penderita
imunokompromis.
Gejala Klinis
Gejala awal histoplasmosis mirip dengan influenza-like symptoms seperti
demam akut, batuk, letargi, malaise, diikuti dengan menggigil, keringat malam,
batuk non-produktif/batuk darah. Pada pemeriksaan foto toraks ditemukan
gambaran infiltrat alveolar yang difus dan kalsifikasi pada nodus limfa paratrakeal.
Pada kasus histoplasmosis diseminata/sistemik muncul gejala seperti demam yang
parah, batuk, sesak napas, koagulopati, limfadenopati, perdarahan gastrointestinal,
bahkan dapat jatuh ke dalam kondisi gagal napas/ acute respiratory distress
syndrome (ARDS).
Diagnosis
Diagnosis melalui gejala klinis kurang membantu, maka diagnosis dapat
ditegakkan melalui pemeriksaan sputum, broncho-alveolar lavage (BAL), atau
biopsi paru. Pada pemeriksaan sputum, BAL, dan biopsy yang dilakukan
pewarnaan dengan KOH akan dijumpai bentukan sel ragi meskipun amat jarang
dan sukar ditemukan. Sputum juga bisa digunakan sebagai spesimen dalam kultur
jamur pada agar Saboraud. Pemeriksaan serologis melalui keberadaan antigen
cukup membantu dalam diagnosis pada penderita HIV. Diagnosis banding dari
histoplasmosis ialah tuberculosis, sarcoidosis, infeksi Penicillium marneffei, dan
infeksi Cryptococcus neoformans.
Tes Serologi Skin Test
Tes CF (Complement Fixation) antibodi Reagen histoplasmin skin test sangat
terhadap histoplasmin atau sel ragi didapati penting dalam menentukan daerah endemik
hasil positif dalam waktu 2-5 minggu H. capsulatum. Histoplasmin skin test
pasca infeksi. Titer CF meningkat saat fase menjadi positif segera setelah infeksi dan
penyakit progresif dan kemudian menurun tetap positif selama bertahun-tahun.
ke tingkat yang sangat rendah saat fase Akan tetapi skin test bukanlah tes
penyakit yang inaktif. diagnostik yang sangat membantu,
karena:
- Menjadi negatif pada kondisi
histoplasmosis yang sudah menyebar
secara progresif.
- Skin test yang dilakukan secara berulang
merangsang antibodi serum pada
individu yang sensitif, sehingga dapat
mengganggu interpretasi diagnostik tes
serologis (Complement Fixation).
Terapi
Pada orang yang imunokompeten, umumnya terapi farmakologi tidak
diberikan, hanya diberikan terapi suportif. Namun pada kasus infeksi yang parah
atau pasien dengan imunokomprosi, obat pilihan utama untuk kasus histoplasmosis
adalah amfoterisin B. Selain itu juga dapat diberikan itrakonazol oral 400 mg
dalam 3 hari dilanjutkan dengan pemberian dosis 300 mg pada pasien lanjut
usia/bayi usia di bawah 2 tahun. Pasien dengan infeksi sistemik diberikan
amfoterisin B 0,7-1 mg/kg/hari selama 1-2 minggu diikuti dengan pemberian
itrakonazol. Pada kasus infeksi dengan AIDS, dosis amfoterisin 1 mg/kg/hari
sampai infeksi reda diikuti dengan itrakonazol 200 mg dua kali sehari. Terapi
dengan ketokonazol tidak dianjurkan karena kejadian kambuhan yang cukup tinggi.
Pencegahan
Tidak ada cara pencegahan yang efektif. Tindakan pencegahan yang umum
dilakukan adalah pemberian tanda peringatan pada gua/area yang
dikonfirmasi/diduga mengandung spora Histoplasma dan penyemprotan tanah
yang tercermar dengan 3% cresol atau formalin.
Sumber:
Hunters Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease (2012)
http://botit.botany.wisc.edu/toms_fungi/jan2000.html
https://www.cdc.gov/fungal/diseases/histoplasmosis/index.html
Jawetz, Melnick, & Adelbergs Medical Microbiology 26 Edition. 2013. McGraw-Hill.
Page: 690-691
Kauffman, C. A. Histoplasmosis: a Clinical and Laboratory Update. Clin Microbiol Rev.
2007 Jan; 20(1): 115132. doi: 10.1128/CMR.00027-06
2.6 Kandidiasis
2.6.1 Kandidiasis Vulvovaginitis
Definisi
Vulvovaginitis kandida bukan infeksi menular seksual karena jamur
candida merupakan penghuni normal vagina. Pada 25% perempuan bahkan
dijumpai di rektum dan rongga mulut dalam persentase yang lebih besar.
Etiologi
Candida albicans menjadi patogen pada 80% sampai 95% kasus
vulvovaginitis kandida, dan sisanya ialah C. glabrata dan C. tropicalis.
Faktor risiko
Faktor risiko kandidiasis meliputi: Imunosupresi, diabetes melitus,
perubahan hormonal seperti pada ibu hamil, terapi antibiotik spektrum luas
jangka panjang, obesitas.
Patofisiologi
Enzim proteoliik, toksin dan enzim phospolipase dari jamur candida dapat
merusak protein bebas dan protein sel sehingga memudahkan invasi jamur
ke jaringan. Faktor predisposisi memudahkan pertumbuhan jamur sehingga
jamur candida di vagina menjadi berlebih kemudian terjadi koloni
simptomatik.
Tanda dan Gejala
Beratnya keluhan tidak ada hubungannya dengan jumlah organisme.
Keluhan yang menonjol ialah pruritus yang seringkali disertai iritasi vagina,
disuria, atau keduanya. Cairan vagina khas berwarna putih seperti susu
pecah yang menjendal dan tidak berbau. Pada pemeriksaan dengan
spekulum seringkali memperlihatkan eritema dinding vulva dan vagina,
kadang-kadang dengan plak yang menempel.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dibuat dengan membuat kerokan pada kulit atau mukosa lalu
menggunakan larutan KOH 10-20%. Pseudohifa akan tampak pada preparat
bila dilihat dengan mikroskop. Larutan KOH digunakan karena dapat
menyebabkan lisis sel darah merah dan putih sehingga mempermudah
identifikasi jamur.
Terapi
Terapi terdiri dari aplikasi topical imidazol atau triazol, seperti mikonazol,
klotrimazol, atau butokonazol. Obat-obat tersebut dapat diresepkan sebagai
krim, supositoria, atau keduanya. Lama pengobatan bervariasi tergantung
obat yang dipilih. Vulvovaginal candidiasis (VVC) dapat ditangani dengan
topical antifungal agents atau single dose oral fluconazole. Single dose oral
fluconazole (150 mg) pada VVC episode akut menurut data klinis dan
microbiologi telah menunjukkan hasil yang sebaik atau bahkan lebih baik
dari topical antifungal agents. Sebagian kecil (< 5%) perempuan mengalami
chronic recurrent VVC infections. Pada pasien tersebut, treatment yang
direkomendasikan meliputi fluconazole 150 mg setiap hari untuk 3 dosis,
dilanjutkan dengan fluconazole 150-200 mg setiap minggu selama 6 bulan.
Penanganan ini mencegah recurrence pada lebih dari 80% kasus.
Vulvovaginal Candidiasis tanpa komplikasi
Terapi Mikonazol (Monistat-3) Satu supositoria
Intravaginal vaginal 100 mg/hari
selama 7 hari
Mikonazol (Monistat-1, ovula vaginal) Satu supositoria
vaginal 200 mg/hari
selama 3 hari
Satu supoturia vaginal
Salep tiokonazol 6,5% (monistat-1 day)
1200 mg
Nistatin vaginal Satu supoturia vaginal
80 mg/hari selama 3
hari.
Satu tablet vagina
100.000 u/hari selama
14 hari.
Satu dosis tunggal
150 mg oral.
Sumber:
Ilmu Kandungan Sarwono Prawirohardjo Edisi Ketiga. 2011
https://emedicine.medscape.com/article/213853
Ketoconazole
Fluconazole
Azole Impairs ergosterol synthesis
Itraconazole
Voriconazole
Amphotericin B
deoxycholate
Amphotericin B colloidal
dispersion
Polyene Binds to ergosterol
Amphotericin B lipid
complex
Liposomal amphotericin B
Sumber :
https://www.medscape.com/viewarticle/460694
3.2 Sediaan
Obat antijamur
Amphotericin B
- Mekanisme kerja: bekerja dengan berikatan erat pada ergosterol pada dinding sel
jamur yang tidak ada manusia. Ergosterol yang rusak membuat dinding sel jamur
tidak intak dan terbentuk pori-pori pada dinding sel tersebut yang berakibat pada
keluarnya molekul penyusun sel dan menyebabkan kematian sel
- Distribusi: Dapat diberikan secara intravena namun kadar obat di SSP sangat
sedikit sehingga tidak cocok untuk infeksi jamur pada SSP. Penggunaan obat ini
lebih pada infeksi sistemik fungi non-SSP seperti pneumonia pada histoplasmosis
dan blastomikosis.
- Efek samping: Efek samping yang dapat timbul pada pemberian obat ini yaitu
demam, kedinginan, sesak, dan hipotensi dan nefrotoksik (pada kasus berat).
Flucytosin
- Mekanisme kerja: Bekerja dengan terlebih dahulu ditranspor ke dalam sel-sel
jamur melalui suatu permease. Zat ini diubah oleh enzim cytosine deaminase
menjadi 5-flurouracil dan bergabung menjadi 5-flurodxyurilic acid
monophospatase yang menganggu aktivitas sintetase thymidylate dan sintesis sel
DNA.
- Indikasi: karena penetrasi obat ini pada SSP lebih baik dari pada amphotericin B
dan tingkat resistensi nya yang mneingkat apabila digunakan sendiri, obat ini dapat
digunakan pada infeksi cryptococcossi dan candidiasis yang dapat menimbulkan
komplikasi meningitis.
- Efek samping: Pemberian dalam waktu lama dapat terjadi supresi sumsum tulang
belakang, kerontokan rambut, dan fungsi hati yang abnormal.
Golongan azole
Merupakan golongan obat yang memiliki spectrum luas, dapat digunakan untuk lokal
maupun sistemik.
- Mekanisme kerja: Dapat menganggu sintesis ergosterol yang terdapat di dinding
sel. Ergosterol sendiri terbentuk melalui precursor cytochrome P-450 dari
lanasterol. Obat ini menghambat demetilasi -14- dari cytochrome P-450, sehingga
ergosterol sulit terbentuk dan dinding sel tidak intak.
- Indikasi: Berbeda untuk masing-masing obat. Ketoconazole berguna dalam
pengobatan candidiasis mukotan kronis, dermatofitosis, dan blastomikosis non-
- Efek samping: Karena golongan azole menganggu cytochrome P-450 yang juga
menjadi precursor dari kolesterol yang dimiliki dinding sel manusia, Oleh karena
itu dapat menghambat sintesis testosterone dan cortisol yang bisa menyebabkan
ginekomasti dan penurunan libido.
Griseofulvin
- Mekanisme kerja: obat yang diambil dari golongan jamur. Merupakan obat pilihan
dari infeksi akibat dermatofit karena sifatnya yang terakumulasi pada
lapisan/stratum korneum atau jaringan berkeratin. Griseofulvin berkerja dengan
berikatan pada mikrotubulus dan mematahkan gelondong mikotik sehingga
perkembangbiakan sel menjadi terganggu.
Terbinafin
- Mekanisme kerja: memblokir sintesis ergosterol melalui epoxide squalene.
Nistatin
Nistatin merupakan salah satu antibiotik polien yang berasal dari Streptomyces noursei.
Nistatin memiliki struktur kimia dan mekanisme kerja mirip dengan amfoterisin B namun
nistatin lebih toksis sehingga tidak digunakan sebagai obat sistemik.
- Mekanisme kerja : Nistatin sangat selektif terhadap jamur karena hanya berikatan
dengan ergosterol pada membran sel jamur. Akibat ikatannya dengan ergosterol,
terjadi perubahan permeabilitas membran sel pada jamur sehingga sel tersebut akan
lisis.
- Farmakologi: Nistatin bersifat fungistatik dan fungisidal serta tidak dapat diserap
melalui pemberian secara oral, topical, maupun vaginal (mukosa) sehingga tidak
dijumpai metabolisme dan ekskresi obat dari tubuh. Pemberian bersamaan dengan
amfoterisin B meningkatkan efek samping dari nistatin.
- Indikasi: Nistatin terutama digunakan untuk infeksi Candida sp. di kulit, mukosa,
dan saluran cerna. Pemberian topikal dilakukan untuk paronikia, vaginitis fungal,
dan kandidiasis oral. Selain itu nistatin juga sensitif terhadap jamur spesies lain
seperti Torulopsis glabrata, Tricophyton rubrum, dan Tricophyton
mentragrophytes. Resistensi dilaporkan pada kasus kandidiasis.
- Efek samping: Jarang ditemukan efek samping pada pemakaian nistatin. Mual,
muntah, dan diare ringan dapat terjadi setelah pemakaian per oral.
Sumber:
Farmakologi dan Terapi UI Edisi 5 (2007)
Goodman dan Gilman Manual Farmakologi dan Terapi
https://www.drugbank.ca/drugs/DB00646
Sumber: https://www.cdc.gov/fungal/diseases/ringworm/risk-prevention.html
Sumber: https://www.cdc.gov/fungal/diseases/coccidioidomycosis/risk-prevention.html