Anda di halaman 1dari 36

RESUME TUTORIAL BLOK 14

SKENARIO 3
Penyakit Tropis karena Infeksi Jamur

Oleh:
KELOMPOK TUTORIAL A
Lathifa Rusyda Gani 142010101055
Cagar Irwin Taufan P. 152010101088
Nuno Febrian P. 152010101055
Anis Talitha Damarawati 152010101134
Vera Asmita Fitriani 152010101017
Desi Dwi Cahyani 152010101022
Sarwendah Siswi Winasis 152010101040
Marina Shobah Firdaus 152010101057
Asyifa Hilda Hapsari 152010101109
Sadewa Wicaksana S. 152010101009
Munaya Farhana 152010101066
Sixma Rizky Kurnia Putri 152010101073
Tifenda Nurafifah S. 152010101020
Ilham Akbar 152010101086

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
SKENARIO

Penyakit Tropis karena Infeksi Jamur

Ibu Santi berusia 55 tahun dibawa ke dokter karena keluhan gatal pada kulit selangkangan
dan keputihan. Gatal dirasakan sudah lama sekitar 3 minggu. Awalnya terdapat
bercak/ruam kemerahan di sekitar kemaluan dan semakin lama meluas sampai ke ingunal.
Gatal dirasakan terutama saat berkeringat. Ibu Santi juga sering mengalami keputihan yang
hilang timbul disertai rasa gatal. Sekret yang keluar berwarna putih seperti susu pecah.
Dari anamnesis, dokter mengetahui bahwa pasien juga menderita diabetes mellitus tipe 2.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan adanya macula eritematous di daerah pubis dan
inguinal. Dokter juga mendapatkan adanya paronychia pada kuku pasien. Dokter segera
melakukan pemeriksaan penunjang dan menentukan terapi kepada pasien.
1. Karakteristik dan Klasifikasi Jamur
1.1 Karakteristik Jamur
Jamur merupakan eukaryotik dan mempunyai sekurang-kurangnya 1 inti. Jamur
juga bersifat heterotrof yaitu memanfaatkan senyawa organik menjadi sumber energi yang
dibutuhkan sehingga untuk pertumbuhannya jamur dapat menjadi saprofit atau parasit.
Ada 3 bentuk jamur, yaitu :
Yeast
Jamur uniseluler yang berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter 3-15 mikron
dan berkembang biak dengan membentuk tunas. Contohnya : Candida Sp.
Yeast dibagi menjadi 2, yaitu
- Yeast murni : merupakan jamur uniseluler yang tidak mampu membentuk
pseudohifa
- Yeast like : merupakan jamur uniseluler yang mampu membentuk pseudohifa.
Contohnya: Candida Sp, Cryptococcus neoformans.
Mold
Merupakan jamur multiseluler yang terdiri dari sel-sel memanjang dan bercabang
yang disebut dengan hifa dan dapat membentuk kumpulan dari hifa yang disebut
miselium. Contohnya : Aspergilus niger. Hifa yang dibentuk ada yang bersekat
maupun tak bersekat. Hifa juga ada yang menjalar dan tegak, yang tegak berfungsi
sebagai alat perkembangbiakan.
Dimorfik
Merupakan jamur yang mempunyai dua bentuk yaitu yeast dan mold. Berbentuk
yeast jika berada di dalam inang/host atau pada suhu inkubasi 37 0C, dan akan
berbentuk mold jika berada diluar hos atau pada suhu inkubasi suhu ruang. Contoh
: Blastomyces dermatidis, histoplasma capsulatum
Jamur memiliki enzim aspartilproteinasi dan fosforilase yang dapat melisiskan
barrier pertahanan tubuh dan dapat menimbulkan penyakit.

1.2 Struktur Sel Jamur


Fungi termasuk eukariota dan memiliki organ selular yang kompleks. Tidak
seperti sel tumbuhan, sel jamur tidak memiliki kloroplas atau klorofil.
Dinding Sel
Dinding sel sebagian besar terdiri dari lapisan karbohidrat-*rantai panjang
polisakarida-serta glikoprotein dan lipid. Selama infeksi, dinding sel fungi
rnernpunyai sifat patobiologi penting: Komponen permukaan dinding sel
memediasi pelekatan fungi ke sel pejamu. Polisakarida dinding sel dapat
mengaktivasi kaskade komplemen dan mencetuskan reaksi inflamasi;
polisakarida tersebut tidak dapat didegradasi oleh pejamu dan dapat dideteksi
dengan pewarnaan khusus. Dinding sel melepaskan antigen imunodominan
yang dapat menimbulkan respons imun selular dan antibodi diagnostik.
Beberapa ragi dan kapang mempunyai dinding sel yang mengalami melanisasi,
memberi pigmen coklat atau hitam. Fungi tersebut adalah dematiaseosa. Pada
beberapa penelitian, melanin telah dihubungkan dengan virulensi.
Membran plasma
Membran plasma terdiri dari fosfolipid dan ergostreol. Membran plasma berfungsi
untuk melindungi sitoplasma dan mengatur bahan yang keluar masuk sitoplasma.
Sitoplasma
o Terdapat beberapa nukleus (multi nukleus)
o Terdapat vacuole untuk ekskresi
o Terdapat mitocondria untuk respirasi dan menghasilkan energi
Sumber:
Brooks, G. F., Carroll, C. K., Butel J. S., Morse, S. A., and Mietzner, T. A. 2013. Jewetz,
Melnick, & Adelbergs Medical Microbiology 26th Edition, Lange.
Slide Kuliah Pengantar Mikologi- dr. Ali Shadikin Sp.A.

1.3 Klasifikasi Jamur


Klasifikasi jamur dilakukan berdasarkan mekanisme reproduksi seksual dan spora
yang dihasilkan.

1. Zygomycetes: Merupakan golongan jamur yang berkembang melalui sporangia dan


menghasilkan zygospora. Mold dengan hifa bersepta jarang ditemukan.
2. Ascomycetes: Merupakan golongan jamur yang berkembang dengan melibatkan
kantung/ascus. Di dalam kantung inilah terdapat proses karyogami dan meiosis
yang menghasilkan ascospora.
3. Basidiomycetes: Merupakan golongan jamur yang dapat menghasilkan 4 keturunan
basidiospora dalam sekali proses reproduksi secara seksual.
4. Deuteromycetes: Merupakan golongan jamur yang belum diketahui mekanisme
seksual nya.
Klasifikasi jamur berdasarkan analisis molekular dan genetika. Secara umum, fungi
dikelompokkan menjadi 3 filum yaitu filum Glomerulomycota, Ascomycota, dan
Basidiomycota.
a. Filum Glomerulomycota : Rhizopus, Lichteimia, Mucor, Cunninghamella,
b. Filum Ascomycota : Saccharomyces, Candida, Coccidioides, Blastomyces,
Trichophyton
c. Filum Basidiomycota : Jamur tiram, jamur kancing, Cryptococcus.
(Sumber : Jawetz Medical Microbiologi 26th Edition, 2012)

2. Penyakit Tropis karena Infeksi Jamur


Patogenesis infeksi jamur, jamur berinteraksi dengan inangnya melalui perlekatan
yang diperantarai oleh substansi mirip adhesin. Apabila sudah terjadi perlekatan maka
jamur akan memicu aktivasi sistem imun yang amat beragam, mulai dari sistem imun
bawaan (inate) dan seluler (adaptive).
Respon imun bawaan terhadap infeksi jamur diawali dengan pengenalan sel jamur
melalui sel makrofag dan sel dendritik melalui molekul pattern recognition receptors
(PRRs). PRRs meliputi reseptor C-lectin dan Toll-like receptor (TLR). Ketika berikatan
PRRs berikatan dengan sel jamur maka sel inang akan mengeluarkan sinyal untuk memicu
terjadinya aktivitas fagositosis yang diperantarai oleh sel neutrofil dan makrofag, selain itu
terjadi pelepasan interferon y (IFNy) dan IL-17 yang memicu aktivasi respon imun
adaptif/selular. Keberadaan molekul pada dinding sel jamur yang bersifat antigenic
memicu produski antibodi jenis IgM dan IgG, efek dari antibodi ini ialah berikatan
langsung dengan sel jamur, opsonisasi, aktivasi sistem komplemen, dan sitotoksisitas yang
diperantarai oleh antibodi sehingga pertumbuhan jamur terhambat serta terjadi respon
inflamasi.
Pertahanan selular/adaptif terjadi melalui aktivasi sel Th1, Th2, dan Th17. Sel Th1
lebih aktif pada infeksi jamur yang invasif dan paling virulen, ditandai dengan dihasilkan
sel CD8+ sitotoksik yang akan melisiskan sel jamur melalui aktivitas fagositosis, oksigen
radikal, dan lisis sel. Aktivasi CD8+ diperantarai oleh IFNy. Aktivasi sel Th2 diperantarai
oleh IL-4, IL-5, dan IL-13 sehingga memicu aktivavasi sel CD4+ dan sel B plasma. Sel B
plasma menyekresi antibodi IgE, terjadi pula peningkatan sel leukosit eosinofil. Aktivasi
sel Th17 merupakan komponen yang khas pada infeksi akibat jamur, sel Th17 diaktivasi
melalui perantara IL-17. Aktivitas Th17 meliputi peningkatan efek antifungi yang
diperantarai oleh Th1 dan Th2, peningkatan rekruitmen sel neutrofil dan makrofag pada
mukosa, dan induksi perubahan bentuk hifa fungi (khususnya spesies Candida) sehingga
terjadi penghambatan pertumbuhan.
2.1 Dermatofitosis
Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku.
Etiologi
Disebabkan oleh golongan jamur dermatofita yang mempunyai sifat
mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi impefecti, yang terbagi
dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidemophyton.
Klasifikasi
a. Tinea Kapitis
Kelainan pada kulit dan rambut kepala. Terdapat 3 bentuk:
Gray patch ringworm disebabkan oleh genus Microsporum dan sering
ditemukan pada anak-anak.
Gejala: mulai dengan papul merah kecil di sekitar rambut lalu melebar dan
membentuk bercak yang menjadi pucat dan bersisik, gatal, warna rambut
menjadi abu-abu, tidak berkilat lagi, mudah patah, disekitar rambut dapat
terbentuk alopesia setempat.
Lampu Wood dapat dilihat fluoresensi hijau kekuning-kuningan.
Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang
padat di sekitarnya. Penyebab yang sering dilihat karena Microsporum canis
dan Microsporum gypseum.
Gejala: menimbulkan jaringan parut yang menonjol dan terdapat alopesia yang
menetap.
Black dot ringworm disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trocophyton
violaceum.
Gejala: rambut yang terkena infeksi patah dan yang tertinggal adalah ujung
rambut yang penuh spora.
b. Tinea Pedis
Athletes foot, ringworm of the foot, kutu air, dermatofitosis pada kaki
terutama pada sela-sela jari dan telapak kaki.
Risiko pada pekerja dengan kaki yang selalu basah. Ada 3 bentuk tinea pedis:

Tipe interdigitalis
Terdapat diantara jari ke 4 dan 5 seperti dilingkari sisik halus dan tipis.
Dapat meluas ke bawah jari dan ke sela jari yang lain.

Tipe moccasin foot


Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit
menebal dan bersisik, ertitema biasanya ringan dan terutama terlihat pada
bagian tepi lesi.

Bentuk subakut
Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang bula.
Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut
meninggalkan sisik yang berbentuk lingkarang yang disebut koleret.
c. Tinea Korporis
Kelainan pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin). Pada bagian lain
dari tinea lainnya.
Gejala yang timbul berupa lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas ada
eritema, skuama, kadang dengan vesikel dan papul di tepi, daerah tengah
biasanya lebih tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi
pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yg lain.
(Sumber: Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI)
Dalam tinea korporis ada yang disebut dengan tinea fafosa yang sering
menginfeksi daerah kepala, untuk membedakan dengan tinea kapitis dapat
dilihat dari dari gambaran klinis, tinea korporis disertai dengan kulit yang
bersisik sedangkan pada tinea capitis tidak, dari segi penyebab, tinea capitis
dapat disebabkan oleh microsporum canis sedangkan pada tinea korporis lebih
pada tricophyton rubrum dan Trichophyton floccosum.

d. Tinea Kruris
Merupakan mikosis superfisial atau eczema, dobie itch, jokey itch, atau
ringworm of the groin. Dermatofitosis pada sela paha, genitalia, daerah pubis,
perineum, dan perianal.
Epidemiologinya, di Indonesia tinea kruris merupakan yang terbanyak.
Laki-laki pubertas lebih banyak terkena dibandingkan wanita. Biasanya
mengenai usia 18-25 tahun dan 40-45 tahun.
Penyebab utama tinea kruris ialah ephidermophyton flocusum dan
trycophyton rubrum.
Transmisi terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang yang
terinfeksi atau melalui benda, pakaian, perabotan yang terkontaminasi.
Patogenesis infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah yaitu :
o Perlekatan jamur superficial yang harus melewati berbagai rintangan
untuk bisa melekat pada jaringan keratin seperti sinar UV, suhu,
kelembapan udara, dan kompetisi dengan flora normal.
o Penetrasi, setelah melekat spora harus berkembang dan menembus
stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses
deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase,
enzim mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur.
o Perkembangan respon pejamu
Gambaran klinis yang didapatkan berupa lesi yang bulat, berbatas tegas
yang terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang vesikel dan papul di tepi lesi.
Daerah di tengah biasanya lebih tenang.
Diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan mikologi
ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopik
langsung memakai larutan KOH 10-20%.
Penatalaksanaan yaitu dengan higine sanitasi dan terapi farmakologi. Higine
sanitasi dengan menggunakan celana dalam yang menyerap keringat, tidak
ketat, dan ganti setiap hari. Sedangkan untuk terapi farmakologinya dengan
griseofulvin dewasa 0,50-1 gr/ hari dan anak anak 0,25-0,5 gr/hari.
e. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofita.
Epidemiologi tinea unguium terjadi di seluruh belahan dunia. Dapat terjadi
baik pada anak-anak maupun dewasa. Prevalensi tinea unguium meningkat
sesuai dengan pertambahan usia. Sekitar 1% pada individu <18 tahun dan
hampir 50% pada usia >70 tahun.

Terdapat beberapa bentuk klinis, antara lain:


o Bentuk subungual distalis
Bentuk ini mulai dari tepi distal kuku lalu menjalar ke proksimal dan
dibawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh.
o Leukonikia trikofita atau lekonikia mikotika
Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan di
permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen
jamur. Kelainan ini dihubungkan dengan Trichophyton mentagrophytes
sebagai penyebabnya.
o Bentuk subungual proksimal
Kebalikan dari bentuk subungual distalis, sehingga terlihat kuku bagian
proksimal rusak dan bagian distal masih utuh
Untuk membangun diagnosis TU adalah anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan mikroskopik langsung menggunakan larutan kalium hidroksida
(KOH) 40%, dan biakan jamur. Pemeriksaan menggunakan larutan KOH 40%
memiliki beberapa kelemahan yaitu sensitivitas yang bervariasi 48-80% atau
lebih rendah. Pemeriksaan KOH 40% sering tidak konsisten membutuhkan
tenaga laboratorik terampil dan berpengalaman dalam hal prosedur pembacaan
preparat. Pemeriksaan ini juga membutuhkan tiga kali pemeriksaan
mikroskopik pada pasien dengan hasil laboratorik awalnya negatif untuk
menginterpretasikan keberadaan elemen jamur. Diagnosis TU berdasarkan
biakan jamur merupakan metoda baku emas yang terbukti andal untuk
mendapatkan diagnosis TU dengan tepat. Dermatophyte strip test (DST)
sebagai sarana diagnostic baru digunakan untuk mendeteksi dermatofita pada
kerokan kuku dengan sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan
pemeriksaan mikroskopik.
Seperti penatalaksanaan penyakit jamur superfisial lainnya, maka prinsip
penatalaksanaan tinea unguium :
o Menghilangkan faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya
penyakit
o Terapi dengan obat anti jamur yang sesuai dengan penyebab dan
keadaan patologi kuku. Pengobatan pada tinea unguium yaitu dengan
pemberian obat anti jamur baik secara topikal maupun sistemik.
Pengobatan topikal yaitu dengan menggunakan siklopiroks dan
amprolfin. Sedangkan pengobatan sistemik digunakan anti jamur
golongan alilamin seperti terbinafin dan golongan azol seperti
flukonazol dan itrakonazol. Bisa juga diberikan Ciclopirox 8% lacquer
dengan kemasan seperti kuteks.
o Perlu ditelusuri pula sumber penularan.
Sumber:
Kasper, et.al. 2015. Harrisons Principles of Internal Medicines. Ed. 19th. United
States:Mc-Graw Hill Education
Widaty, S. dan Budimulja, U. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi VII. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
Tjekyan, R.M.S. 2015. Nilai Diagnostik Dermatophyte Strip Test pada Pasien Tinea
Ungium. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan. Volume 2, No. 1.
http://eprints.unsri.ac.id/5563/1/Nilai_Diagnostik_Dermatophyte_Strip_Test_pada_Pasien
_Tinea_Ungium.pdf.
f. Tinea Barbe
Merupakan penyakit infeksi jamur kutan (mikosis kutaneus) yang
disebabkan oleh Trychopithon Mentagrophytesdengan tanda munculnya
indurasi atau lesi yang bersifat edematous dan eritematus pada daerah bekas
cukuran jenggot, faktor resiko munculnya tinea barbe yaitu penggunan alat
cukur jenggot yang sama pada orang yang bergantian.
Tatalaksana tinea barbe yaitu dengan mencukur rambut yang terinfeksi
direkomendasikan dengan kompres hangat. Pengobatan dengan antifungal
topikal dapat diberikan, tetapi tinea barbae membutuhkan terapi antifungal
oral. Griseofulvin menjadi yang paling sering digunakan. Itraconazole dapat
digunakan pada dosis 400 mg/d dibagi menjadi 2 dosis untuk 1 minggu.
Itraconazole dapat juga digunakan selama 4 minggu dengan dosis 200 mg/d.
(Sumber : https://emedicine.medscape.com/article/1091252)
g. Tinea Manus
Tinea manus adalah dermatofitosis pada tangan (daerah sela jari jari
tangan, telapak tangan, dan punggung tangan) yang sering terjadi unilateral
pada tangan yang dominan digunakan dan sering berhubungan dengan Tinea
pedis. Tinea manus biasanya asimptomatis, dengan perjalanan penyakit dalam
hitungan bulan sampai tahun. Pada kebanyakan kasus tinea manus lebih sering
terjadi unilateral dan terjadi pada usia dewasa.
Epidemiologi tinea manus di temukan tersebar diseluruh dunia, lebih sering
dijumpai di daerah tropik dan subtropik. Dapat menyerang semua kelompok
umur lebih sering menyerang dewasa terutama pada orang yang bekerja di
tempat basah seperti tukang cuci, atau pekerja di sawah
Faktor resiko penyakit ini ialah sering menyerang orang yang bekerja di
tempat basah seperti tukang cuci, pekerja di sawah, atau orang orang yang
setiap hari harus memakai sepatu yang tertutup seperti anggota militer.
Penyebab yang paling sering adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, dan E.
flaccosum. Penyakit ini ditemukan hampir disemua penjuru dunia dan dapat
mengenai anak anak, dewasa muda, maupun orang tua.(2,5,6) Tinea manuum
adalah salah satu jenis jamur yang penyebarannya terjadi secara cepat.
Penyebaran jamur ini terjadi saat kontak langsung dengan orang yang
terinfeksi baik dengan cara bersalaman maupun hubungan seksual
Patogenesisnya melalui beberapa langkah yaitu perlekatan jamur
superficial, penetrasi, dan perkembangan respon pejamu
Kebanyakan infeksi dermatofit pada tangan mengarah ke infeksi dorsal,
seperti tinea korporis. Tinea manus mengarah ke infeksi dimana area
interdigital dan permukaan permukaan tangan menunjukkan karakteristik
patologi yang khas. Temuan yang khas dari infeksi tinea adalah lesi berbentuk
ringworm dengan bagian tengah yang bersih dan batasnya bersisik, eritem,
dan meninggi. Reaksi inflamasi yang muncul menandakan adanya kolonisasi
Keluhan penderita bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai mengeluh
sangat gatal dan nyeri karena terjadinya infeksi sekunder dan peradangan.
Keluhan biasanya terjadi pada kedua tangan dan gambaran erupsi tampak
simetris, namun dalam beberapa kasus bisa terjadi hanya satu tangan yang
terinfeksi. Variasi lain dapat berupa hiperkeratosis difusa yang dapat terjadi
unilateral pada sebagian kasus. Variasi lesi lain dapat berupa sisik berbentuk
bulan sabit yang dikelilingi patch vesikuler, papul diskret eritem, dan patch
folikular. Lapisan bersisik yang eritem juga sering dijumpai pada permukaan
bagian dorsal manus. Bentuk-bentuk lain lesi dapat berupa infeksi zoofilik.
Tatalakasana dilakukan melalui 2 cara yaitu umum dan khusus. Umum
dengan cara menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya
mengusahakan daerah lesi selalu kering, meningkatkan kebersihan dan
menghindari pemakaian sepatu ataupun kaos kaki yang lembap, dan jangan
memakai peralatan pribadi secara bersama sama. Sedangkan secara khusus
dilakukan melalui cara topical. Bila lesi basah, maka sebaiknya direndam
dalam larutan kalium permanganate 1/5.000 atau larutan asam asetat 0.25%
selama 15-30 menit, 2 4 kali sehari. Atap vesikel dan bula dipecahkan untuk
mengurangi keluhan. Bila peradangan hebat dikombinasikan dengan obat
antibiotik sitemik misalnya penisilin prokain, penisilin V, fluklosasilin,
eritromisin atau spiramisin dengan dosis yang adekuat. Kalau peradangan
sudah berkurang, diberikan obat topical anti jamur berspektrum luas antara
lain, haloprogin, klotrimazol, mikonazol atau ketokonazol. Sedangkan secara
sistemik biasanya tidak digunakan. Namun bila digunakan harus dikombinasi
dengan obat obat anti jamur topical. Obat obat sistemik tersebut antara lain
griseofulvin 500-1000mg/hari selama 2-6minggu, ketokonazol 200mg/hari
selama 4 minggu, itrakonazol 100mg/hari selama 2 minggu dan terbinafin
250mg/hari selama 1-2minggu. pemberian obat secara sistemik ini harus
memperhatikan efek samping dan interaksi dari masing-masing obat, misalnya
ketokonazol tidak boleh dikombinasikan dengan terfenadine dan eritromisin.
Sumber
1. Djuanda A. Tinea Pedis et Manus, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima.
Jakarta. Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2005, Hal : 148-150
2. Fitzpatrick Thomas B. Dermatology In General Medicine Seventh Edition. United
State Of America. McGraw-Hill inc, 2005, Page : 158-160
3. Pohan S. Tinea Pedis, Pedoman diagnosis Dan Terapi Bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya Edisi III. Surabaya.
2005, Hal : 9-10
4. Bag/SMF Ilmu Kesehatan Penyakit Kulit dan kelamin FK UNAIR/ RSU Dr.
Soetomo Surabaya. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya. Airlangga
University Press, 2007, Hal : 128-129
5. Hay, RJ dan Moore, MK. Mycology Dalam: Burns, T, dkk, penyunting. 2004.
Rooks Textbook Of Dermatology. Edisi ketujuh. Australia: Blackwell Publishing.
h. Tinea Fasialis
Tinea fasialis (tinea faciei) adalah suatu dermatofitosis superfisial yang
terbatas pada kulit yang tidak berambut, yang terjadi pada wajah, memiliki
karakteristik sebagai plak eritema yang melingkar dengan batas yang jelas.
Pada pasien anak-anak dan wanita, infeksi dapat terlihat pada setiap
permukaan wajah, termasuk pada bibir bagian atas dan dagu. Pada pria,
kondisi ini disebut juga tinea barbae karena infeksi dermatofit terjadi pada
daerah yang berjanggut.
Epidemiologi penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dan lebih banyak
terjadi pada daerah-daerah tropis dengan temperatur dan kelembaban yang
tinggi. Tinea fasialis banyak terjadi pada anak-anak, kira-kira 19% dari
populasi anak dengan dermatofitosis.
Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa wanita mungkin lebih sering
terinfeksi daripada pria. Tinea fasialis dapat terjadi pada semua umur, dengan
dua usia insidens puncak. Usia insidens pertama meningkat pada anak-anak,
karena kebiasaan mereka kontak dengan hewan peliharaan. Kasus yang jarang
dapat terjadi pada neonatus, yang mungkin terinfeksi dari kontak langsung dari
saudara mereka yang terinfeksi atau kontak langsung dari hewan peliharaan.
Usia insidens yang lain dapat meningkat pada usia 20-40 tahun.
Faktor resiko penyakit ini antara lain adanya kontak dengan pakaian,
handuk, atau apapun yang sudah berkontak dengan penderita, kontak kulit ke
kulit dengan penderita atau hewan peliharaan, umur 12 tahun ke bawah, lebih
sering menghabiskan waktu di tempat yang tertutu, penggunaan obat-obatan
glukokortikoid topikal dalam jangka waktu yang lama.
Dermatofitosis disebabkan oleh jamur yang berasal dari genus
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Organisme-organisme ini,
yang disebut dermatofit, adalah agen patogenik yang keratinofilik.
Patogenesisnya melalui beberapa langkah yaitu perlekatan jamur
superficial, penetrasi, dan perkembangan respon pejamu.
Penderita tinea fasialis biasanya datang dengan keluhan rasa gatal dan
terbakar, dan memburuk setelah paparan sinar matahari (fotosensitivitas).
Namun, kadang-kadang, penderita tinea fasialis dapat memberikan gejala yang
asimptomatis.Tanda klinis yang dapat ditemukan pada tinea fasialis, antara
lain: bercak, makula sampai dengan plak, sirkular, batas yang meninggi, dan
regresi sentral memberi bentuk seperti ring-like appearance. Kemerahan dan
skuama tipis dapat ditemukan.
Pengobatan bisa dilakukan melalui 2 cara.Untuk pengobatan sistemik dalam
mengeradikasi dermatofit, obat-obatan oral yang digunakan, antara lain:
Flukonazol: orang dewasa 150200 mg/minggu selama 46 minggu,
sedangkan anak-anak 6 mg/kg/minggu selama 46 minggu. Sediaan
fluconazole tablet 100, 150, 200 mg; suspense oral (10 or 40 mg/ml); dan
intravena 400 mg.
Griseofulvin: Orang dewasa 5001000 mg/hari (atau lebih) selama 4 minggu,
sedangkan anak-anak 1520 mg/kg/hari selama 4 minggu. Micronized: 250
atau 500 mg tablet; 125 mg/sendok teh suspensi. Ultramicronized: 165 atau
330 mg tablet. Aktif hanya melawan dermatofit, kurang efektif daripada
Triazoles. Efek samping yang dapat ditimbulkan, antara lain: nyeri kepala,
mual/muntah, fotosensitivitas. Infeksi T. rubrum dan T. tonsurans dapat
kurang berespon. Sebaiknya diminum dengan makanan berlemak untuk
memaksimalkan penyerapan.
Itrakonazol: untuk dewasa 400 mg/hari selama 1 minggu dan untuk anak-
anak 5 mg/kg/hari selama 1 minggu. Sediaannya 100 mg dalam kapsul; solusio
oral (10 mg/ml) dalam intravena. Untuk Triazole, kerjanya membutuhkan pH
asam pada lambung agar kapsulnya larut. Dapat menimbulkan aritmia
ventrikular bila dikonsumsi bersama terfenadine/astemizole, meskipun jarang.
Golongan azole lainnya, yaitu ketokonazole juga memiliki potensial interaksi
dengan obat lain, seperti agen hipoglikemik oral, kalsium antagonis, fenitoin,
dan lain-lain.
Terbinafin: dosis untuk dewasa adalah 250 mg/hari selama 2 minggu, dan
dosis anak-anak adalah 62,5 mg/hari (<20 kg), 125 mg/hari (2040 kg) atau
250 mg/hari (>40 kg) selama 2 minggu. Sediaannya 250 mg dalam tablet.
Dapat menyebabkan mual, dispepsia, nyeri perut, kehilangan pengecapan.
Pengobatan topikal dinilai memiliki respon yang baik terhadap infeksi yang
terjadi, apalagi bila tidak terjadi folikulitis.
Preparat ini efektif untuk dermatofit pada kulit, tetapi
tidak untuk rambut ataupun kuku.
Preparat tersebut diaplikasikan 2 kali sehari pada area
Preparat topikal anti
yang terkena lesi secara optimal selama 4 minggu
jamur
termasuk 1 minggu setelah lesi telah bersih.
Diaplikasikan paling kurang 3 cm di sekitar batas area
yang terkena.
Kotrimazol (Lotrimin, Mycelex)
Mikonazol (Micatin)
Ketokonazol (Nizoral)
Imidazoles
Ekonazol (Spectazole)
Oxikonizol (Oxistat)
Sulkonizol (Exelderm)
Naftifin (Naftin)
Allylamines
Terbinafin (Lamisil)
Naphthionates Tolnaftat (Tinactin)
Substituted pyridone Siklopirox olamin (Loprox)
Sumber:
1. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical
dermatology 5th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2007. p. 1-7,20-2.
2. Sobera JO, Elewski BE. Fungal diseases. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology 2nd ed. British: Mosby Elsevier; 2008. p. 1-10, 25-6.
3. Szepietowski JC. Tinea faciei [online]. 2009 [cited 2011 April 10]. Available from:
URL: http://emedicine.medscape.com/article/1118316
4. Starova A, Stefanova MB, Skerlev M. Tinea faciei-hypo diagnosed facial
dermatoses. Macedonian Journal of Medical Sciences 2010; 3(1): 29-30.
5. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infections:
dermatophytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra. In: Freedberg IM, Eisen AZ,
Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatricks dermatology in
general medicine volume 1 6th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2009.
p. 1993-4.
Diagnosis
Infeksi jamur pada bagian kutaneus (cutaneous micosis) sering disebabkan
oleh jamur golongan dermatofit. Jamur-jamur yang masuk dalam golongan
dermatofit seperti Trychophiton, Epidermophyton, Microsporum. Mengetahui jenis
jamur yang menginfeksi lapisan kutaneus termasuk hal penting dalam penegakan
diagnosis karena berkaitan dengan tata laksana yang diberikan. Salah satu
teknik untuk mengetahui jenis jamur tersebut yaitu dengan menggunakan
pemeriksaan mikroskop dengan sebelumnya specimen diberikan KOH 10%.
Trychopiton. Pada jamur ini akan nampak makrokonidia berdinding halus
dengan bentuk spiral sedangkan mikrokonidia khas tergantung spesies yang
menginfeksi.
Microsporum. Pada jamur golongan ini akan nampak makrokonidia
berdinding halus dengan multiseluler yang ditutupi oleh duri dengan
mikrokonidia khas sesuai spesies.
Epidermophyton. Pada jamur golongan ini, hanya satu spesies yang bersifat
patogen bagi manusia yaitu Epidermophyton floccosum memiliki
makrokonidia dengan dinding halus dan berbentuk seperti gada dengan
mikrokonidia tidak dihasilkan.
Penatalaksanaan

(1) Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian handuk/pakaian secara bersamaan
harus dihindari.
(2) Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal, yaitu dengan:
antifungal topikal seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau terbinafin yang
diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2 minggu kemudian untuk
mencegah rekurensi.
(3) Untuk penyakit yang tersebar luas atau resisten terhadap terapi topikal,
dilakukan pengobatan sistemik dengan:
(3.1) Griseofulvin dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g per hari untuk orang
dewasa dan 0,25 0,5 g per hari untuk anak-anak atau 10-25
mg/kgBB/hari, terbagi dalam 2 dosis.
(3.2) Golongan azol, seperti Ketokonazol: 200 mg/hari; Itrakonazol: 100
mg/hari atau Terbinafin: 250 mg/hari. Pengobatan diberikan selama 10-
14 hari pada pagi hari setelah makan.
Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit. Edukasi pasien dan
keluarga juga untuk menjaga higiene tubuh, namun penyakit ini bukan merupakan
penyakit yang berbahaya.Pasien dirujuk apabila:
Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi.
Terdapat imunodefisiensi.
Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka.
Sumber:
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi
Tahun 2014, halaman: 448-450

2.2 Pitiriasis Versicolor


Definisi
Pitiriasis versicolor, atau lebih dikenal dengan panu, adalah infeksi jamur
nondermatofitosis mikosis superfisial yang ditandai dengan perubahan pigmen
kulit akibat kolonisasi stratum korneum oleh jamur lipofilik dimorfik dari flora
normal kulit, Malassezia furfur.
Epidemiologi
Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), terutama di daerah
tropis yang beriklim panas dan lembap, termasuk Indonesia. Prevalensinya
mencapai 50% di negara tropis. Penyakit ini menyerang semua ras, angka kejadian
pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dan mungkin terkait pekerjaan
dan aktivitas yang lebih tinggi. Pitiriasis versikolor lebih sering menginfeksi
dewasa muda usia 15-24 tahun, saat aktivitas kelenjar lemak lebih tinggi. Faktor
predisposisi infeksi jamur ini terdiri dari faktor endogen seperti malnutrisi,
immunocompromised, penggunaan kontrasepsi oral, hamil, luka bakar, terapi
kortikosteroid, adrenalektomi, Cushing syndrome, atau faktor eksogen seperti
kelembapan udara, oklusi oleh pakaian, penggunaan krim atau lotion, dan rawat
inap.
Etiopatogenesis
Adanya faktor predisposisi menyebabkan ragi saprofit Pityrosporum
orbiculare dan Pityrosporum ovale berubah menjadi bentuk miselium parasitik
yang dapat menimbulkan gejala klinis. Sebelumnya, hanya terdapat tiga spesies
berasal dari genus Malassezia, yaitu M. furfur, M. pachydermatis, dan M.
sympodialis. Pada tahun 1996, klasifikasi taksonomi menambah empat spesies
berdasarkan morfologi, ultrastruktur, dan biologi molekuler, terdiri dari M.
globosa, M. obtusa, M. restrica, dan M. slooffiae. Pada tahun 2004, spesies baru M.
dermatis dan M. japonica berhasil diidentifikasi, diikuti dengan M. yamatoensis,
M. nana, M. caprae, M. equina, dan M. cuniculi, sehingga seluruh nya berjumlah
14 spesies. M. pachydermatis bersifat nonlipid-dependent, sedangkan 13 spesies
lainnya lipid-dependent. M. furfur, M. sympodialis, dan M. globosa merupakan
penyebab tersering infeksi pitiriasis versikolor.Malassezia memproduksi berbagai
metabolit yang dapat menyebabkan perubahan warna pada lesi. Hipopigmentasi
terjadi akibat:
1) Pitiriasitrin dan pitirialakton, yang mampu menyerap sinar UV.
2) Asam azalea dan asam dekarboksilat, yang menurunkan produksi melanosit
dengan menghambat enzim tyrosinase.
3) Malassezin, yang menginduksi apoptosis melanosit
4) Malassezindole A, aktivitasnya menghambat kerja tirosinase dan mengganggu
sintesis tyrosinase.
5) Keto-malassezin, sebagai inhibitor tirosinase dengan menghambat reaksi
DOPA (3,4-di hidroksifenilalanin) melanosit.
6) Metabolit lain seperti indirubin, ICZ, pitiriarubin, dan triptanthrin.
Lesi hiperpigmentasi mungkin berhubungan dengan variasi respons
inflamasi terhadap infeksi. Tampak peningkatan ukuran melanosom
(makromelanosom) dan penebalan pada stratum korneum. Walaupun in vitro
membuktikan bahwa L-3,4-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA) pada Malassezia
mampu menginduksi sintesis melanin, namun secara in vivo belum dapat
dibuktikan.
Faktor Resiko
Faktor yang dapat mengonversi saprofit menjadi parasit adalah genetic,
imunosupresion, lingkungan hangat dan lembap, malnutrisi, kehamilan, penyakit
Cushing.
Gejala dan Diagnosis
Lesi khas pitiriasis versikolor berupa makula, plak, atau papul folikular
dalam berbagai warna, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, sampai eritematosa,
berskuama halus di atasnya, dan dikelilingi kulit normal. Namun, skuama sering
sulit terlihat. Untuk membuktikan skuama yang tidak tampak, dapat dilakukan
peregangan atau penggoresan lesi dengan kuku jari tangan sehingga skuama
tampak lebih jelas, yang dikenal sebagai evoked scale sign, finger nail sign,
Besniers sign, scratch sign, coup dongle sign atau stroke of the nail sign.
Peregangan atau penggoresan lesi akan meningkatkan kerapuhan stratum korneum
kulit yang terinfeksi pitiriasis versikolor, sehingga akan muncul tanda klinis yang
berguna untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama jika pemeriksaan
mikologis tidak tersedia dan diagnosis klinis tidak pasti.
Pasien pitiriasis versikolor umumnya hanya mengeluh bercak-bercak putih,
kecokelatan, atau merah muda, tidak gatal atau sedikit gatal saat berkeringat. Pada
orang kulit putih atau terang, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan kulit normal,
sedangkan pada orang berkulit hitam atau gelap, lesi cenderung putih. Hal ini
sesuai dengan pitiriasis yang berarti penyakit dengan skuama halus seperti tepung
dan versicolor yang berarti bermacam warna. Bentuk dan ukuran lesi bervariasi,
dapat berupa makula hingga patch atau papul hingga plak hipo/ hiperpigmentasi,
berbatas tegas atau difus, tertutup skuama halus di sekitarnya. Bentuk folikular juga
dapat ditemukan. Lesi dapat meluas, berkonfluens, atau tersebar. Tempat
predileksinya terutama daerah yang ditutupi pakaian, seperti dada, punggung,
perut, lengan atas, paha, leher.
Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran lesi yang sesuai
dengan karakteristik pitiriasis versikolor, pemeriksaan fluoresensi kulit dengan
lampu Wood, dan sediaan langsung kerokan kulit. Fluoresensi lesi kulit pada
pemeriksaan lampu Wood berwarna kuning keemasan dan pada pemeriksaan KOH
20% tampak gambaran spora dan miselium yang sering dilukiskan sebagai
spaghetti and meatball appearance. Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan
kerokan kulit menggunakan skalpel atau selotip yang dilekatkan ke lesi. Biopsi
kulit jarang dilakukan. Pembiakan M. furfur pada media kultur tidak bernilai
diagnostik karena merupakan flora normal kulit.
Terapi
Pengobatan pitiriasis versikolor dapat topikal maupun sistemik. Lesi
minimal dapat diobati dengan preparat topikal, seperti shampo selenium sulfida
2,5% digunakan 2-3 minggu sekali atau shampo ketokonazol 2% selama 3 hari
berturut-turut. Terbinafin topikal 1% dua kali per hari selama seminggu cukup
efektif. Preparat azol seperti mikonazol, ketokonazol, klotrimazol, ekonazol juga
dapat digunakan. Untuk lesi luas, dapat diberi pengobatan oral seperti ketokonazol
200 mg/hari selama 7 hari. Itrakonazol dosis 200-400 mg/hari selama 3-7 hari
dapat diberikan untuk infeksi yang sulit sembuh atau sering kambuh. Flukonazol
400 mg juga efektif diberikan dalam dosis tunggal.
Prognosis
Perjalanan penyakit berlangsung kronik, namun umumnya memiliki
prognosis baik. Lesi dapat meluas jika tidak diobati dengan benar dan faktor
predisposisi tidak dieliminasi. Masalah lain adalah menetapnya hipopigmentasi,
diperlukan waktu yang cukup lama untuk repigmentasi kembali seperti kulit
normal. Hal itu bukan kegagalan terapi, sehingga penting untuk memberikan
edukasi pada pasien bahwa bercak putih tersebut akan menetap beberapa bulan
setelah terapi dan akan menghilang secara perlahan.
Sumber:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/23_229TeknikUji%20Provokasi%20Skuama%20pada
%20Pitiriasis%20Versikolor.pdf
Kasper, et.al. 2015. Harrisons Principles of Internal Medicines. Ed. 19th. United
States:Mc-Graw Hill Education

2.3 Koksidioidomikosis
Definisi
Merupakan penyakit jamur sistemik disebabkan Koksidioides Spp. seperti
C. immitis dan C. posadasii.
Epidemiologi
Koksidioides sp. dapat ditemukan di tanah, ditempat-tempat dengan curah
hujan yang sedang, suhu udara dingin dan kelembaban yang rendah. Infeksi ini
bersifat endemis di daerah terbatas dari Amerika barat daya, Amerika tengah,
Amerika selatan.
Faktor Resiko
Orang-orang yang berisiko terkena penyakit ini adalah mereka yang
memiliki risiko tinggi terpapar pada lingkungan berdebu atau dengan system imun
lemah, yaitu:
Personel militer
Petugas patrol di perbatasan AS dan Meksiko
Tahanan penjara
Arkeolog
Pekerja konstruksi
Orang Afrika, Amerika, Filipina, dan native Amerika
Wanita hamil trimester ketiga
Patofisiologi
Infeksi coccidioidal dapat terjadi melalui airborne transmission. C.
immitis atau C. posadasii arthroconidia (spora) yang terinhalasi tersimpan dalam
bronkiolus terminalis.
Di bronchiolus, arthroconidia membesar dan membentuk spherules, struktur
bulat dengan dinding ganda (double-walled) berdiameter sekitar 20-100 m.
Spherules mengalami pembelahan internal dalam 48-72 jam dan terisi ratusan
hingga ribuan endospora. Spherules yang ruptur akan melepaskan endospora, yang
akan matur membentuk lebih banyak spherules. Ketika arthroconidium membentuk
spherule, terjadi inflamasi yang mengakibatkan local pulmonary lesion. Extract
dari C. immitis bereaksi dengan complement, mengakibatkan pelepasan mediator
chemotaxis untuk neutrophils. Sebagian endospora akan dimakan macrophages,
menyebabkan terjadinya fase inflamasi akut. Jika infeksi tidak ditangani pada
proses ini, lymphocytes dan histiocytes akan menuju infection site, menyebabkan
pembentukan granuloma dan akan ada giant cells. Fase ini merupakan fase
inflamasi kronis.
Manifestasi Klinis
Infeksi pada manusia terjadi akibat inhalasi artrospora yang berasal dari
tanah yang terbawa oleh angin hingga masuk ke bronkioli terminal mengawali
terjadinya infeksi koksidioida. Pada 60 % penderita terjadi infeksi primer yang
asimtomatis dan 40% yang lain menunjukkan simtom infeksi berupa sindroma
semacam flu, yaitu batuk, demam, malaise, nyeri sendi , nyeri otot, dan sakit
kepala. Kurang lebih 1% penderita mengalami infeksi sistemik berat atau
koksidioidomikosis sekunder yang mengancam jiwa.
Infeksi pulmoner primer yang simtomik manifestasinya adalah febris,
batuk, nyeri dada, malaise, kadang-kadang reaksi hipersensitivitas. Foto toraks
dapat memperlihatkan infitrat, adenopati hiler, ataupun efusi pleura. Pemeriksaan
darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia yang ringan.
Koksidioidomikosis pulmonalis progresif kronik menyebabkan gejala batuk
kronik, disertai sputum, febris, dan penurunan berat badan. Pada beberapa kasus
akan mengalami reaktivasi, dan penyebarluasan infeksi (diseminasi) setelah
beberapa tahun kemudian.
Diagnosis
Bila ada kecurigaan infeksi koksidioidomikosis, maka spesimen untuk
biakan meliputi sputum, eksudat dari lesi kulit, cairan spinal , urine, biopsi
jaringan, dan pus. Pada biopsi, gambaran sperula yang matur merupakan petunjuk
diagnosis. Tes serologi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis
koksidioidomikosis.
Terapi
Koksidioidomikosis pulmonalis primer biasanya akan sembuh spontan.
Amfoterisin B intravena yang dosisnya 0,5 hingga 0,7 mg/kg BB per hari selama
beberapa minggu diberikan bila pasien memperlihatkan kecenderungan ke arah
berat atau infeksi primer yang berlarut-larut, dengan harapan mencegah terjadinya
penyakit pulmonalis kronik atau diseminata. Pasien yang keadaannya membaik
setelah penyuntikan amfoterisin B atau memperlihatkan infeksi diseminata yang
tidak aktif dapat dilanjutkan ketokonazol, 400 hingga 800 mg/hari, atau
itrakonazol, 200 hingga 400 mg/hari .
Komplikasi
Meningitis, hidrosefalus
Sumber:
Nasronudin. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing
https://www.cdc.gov/fungal/pdf/cocci-fact-sheet-sw-us-508c.pdf
https://emedicine.medscape.com/article/215978

2.4 Blastomycosis
Definisi
Blastomycosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur yang disebut
dengan Blastomyces. Hidup jamur ini ada di lingkungan seperti tanah, kayu, daun.
Manusia bisa tertular blastomycosis setelah nafas dan terhirup spora jamur di
udara. Gejala nya flu-likes sindrome.
Faktor Resiko
Orang yang bekerja di hutan.
Pemburu
Penebang
Orang yang suka camping
Siklus Hidup
Blastomyces hidup di lingkungan dalam bentuk mold yang bisa
memproduksi spora. Spora kecil, setelah masuk ke dalam tubuh manusia, menuju
ke paru. Suhu tubuh bisa merubah jamur blastomyces menjadi bentuk yeast. Yeast
bisa hidup di paru dan menyebar via darah ke organ lain seperti kulit, dll.
Patogenesis
Patogenesis blastomikosis dimulai dari inhalasi jamur ke paru-paru lalu
terjadi penyebarluasan secara sistemik, terbentuk granuloma verrukosa berulukus
dengan tepi dipenuhi oleh mikroabses dengan runcing merah, Komplikasi dari
penyakit ini adalah pneumonia.
Gejala Klinis
Asimptomatis 50%
Simptomatis setelah 3 minggu-3 bulan setelah paparan, bisa berupa :
- Demam
- Batuk
- Sesak nafas
- Nyeri dada
Bisa menyebabkan meningitis fungal
Diagnosis
Tes laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnose:Spesimen
diambil dari sputum, pus, atau eksudat. Pemeriksaan mikroskopis dapat diketahui
dengan sejumlah specimen basah yang menempel dengan leluasa pada sel-sel ragi
berdinding tebal. Koloni yang dikembang biakan dalam saburoud agar dapat
menghasilkan bentuk pertumbuhan yang berbeda. Pada suhu ruangan akan tumbuh
mold dengan hifa-hifa bersepta dan bercabang. Diagnosis juga dapat ditegakkan
dengan cara imaging test seperti X-ray dan CT-Scan paru.
Penatalaksanaan
Untuk kasus yang ringan hingga sedang bisa menggunakan : Itraconazole
Untuk kasus yang berat bisa menggunakan : Amphotericin B

Sumber :

CDC (https://www.cdc.gov/fungal/diseases/blastomycosis/index.html)
2.5 Histoplasmosis
Definisi
Histoplasmosis atau yang dikenal sebagai demam gua, demam Darling, atau
demam lembah Ohio (Ohio valley fever) merupakan bentuk infeksi dari jamur
spesies Histoplasma capsulatum var. capsulatum yang banyak dijumpai di kotoran-
kotoran hewan seperti kelelawar dan unggas. Infeksi jamur ini menyebabkan
morbiditas berupa infeksi pernapasan terutama pada orang yang terpapar agen
secara berlebihan dan orang imunokompromis.
Etiologi
Jamur Histoplasma capsulatum. Jamur ini merupakan salah satu jamur yang
bersifat dimorfik sesuai temperatur sekitarnya. Pada lingkungan luar (suhu 25oC),
jamur ini cenderung membentuk kapang (mold) sedangkan apabila berada di dalam
jaringan tubuh manusia (suhu 37oC) membentuk ragi (yeast). Dalam bentuk yeast
jamur ini memiliki bentuk bulat dan bertunas sejajar/berderet seperti rantai
sedangkan dalam bentuk mold jamur ini memiliki filamen hifa panjang dengan
ujung yang membulat dan banyak tonjolan seperti bunga matahari.
Epidemiologi
Jamur ini merupakan endemic di negara bagian Mississippi dan Ohio,
Amerika Serikat. Infeksi pada daerah tropis juga ditemukan di Panama, Amerika
Selatan, Asia Tenggara, dan India. Beberapa kasus juga dilaporkan di daerah
Afrika Sub-Sahara. Diduga akibat angka kejadian HIV yang tinggi serta
penyebaran melalui pelancong yang mengunjungi negara endemis.
Faktor risiko
Pekerja peternakan ayam dan unggas lain, pencari guano (kotoran
kelelawar), penebang kayu, orang yang senang berkemah, dan pekerja lapangan
ialah orang yang berisiko tinggi terkena infeksi jamur ini. Kasus histoplasmosis
juga meningkat pada orang dengan kondisi imun yang tersupresi.
Patofisiologi
Rute masuknya jamur ke dalam tubuh manusia adalah melalui inhalasi
spora jamur yang terdapat pada sumber utamanya (tanah, kotoran
unggas/kelelawar). Karena sifatnya yang mikroskopis maka spora tersebut akan
sampai ke alveolus paru. Selayaknya jamur yang dimorfik, pada suhu tubuh
manusia (37oC), jamur berkembang menjadi bentuk ragi (yeast) dan keberadaannya
memicu terjadinya respon fagositosis dari makrofag alveolar. Sel ragi yang tidak
terfagosit akan membelah memperbanyak diri dan memicu respon imun yang
diperantarai oleh sel limfosit T yang akhirnya akan menuju ke reaksi peradangan
granulomatosa pada paru. Sel ragi ini dapat pula menyebar melalui pembuluh darah
dan terjadilah manifestasi klinis ekstrapulmoner, biasanya pada penderita
imunokompromis.
Gejala Klinis
Gejala awal histoplasmosis mirip dengan influenza-like symptoms seperti
demam akut, batuk, letargi, malaise, diikuti dengan menggigil, keringat malam,
batuk non-produktif/batuk darah. Pada pemeriksaan foto toraks ditemukan
gambaran infiltrat alveolar yang difus dan kalsifikasi pada nodus limfa paratrakeal.
Pada kasus histoplasmosis diseminata/sistemik muncul gejala seperti demam yang
parah, batuk, sesak napas, koagulopati, limfadenopati, perdarahan gastrointestinal,
bahkan dapat jatuh ke dalam kondisi gagal napas/ acute respiratory distress
syndrome (ARDS).
Diagnosis
Diagnosis melalui gejala klinis kurang membantu, maka diagnosis dapat
ditegakkan melalui pemeriksaan sputum, broncho-alveolar lavage (BAL), atau
biopsi paru. Pada pemeriksaan sputum, BAL, dan biopsy yang dilakukan
pewarnaan dengan KOH akan dijumpai bentukan sel ragi meskipun amat jarang
dan sukar ditemukan. Sputum juga bisa digunakan sebagai spesimen dalam kultur
jamur pada agar Saboraud. Pemeriksaan serologis melalui keberadaan antigen
cukup membantu dalam diagnosis pada penderita HIV. Diagnosis banding dari
histoplasmosis ialah tuberculosis, sarcoidosis, infeksi Penicillium marneffei, dan
infeksi Cryptococcus neoformans.
Tes Serologi Skin Test
Tes CF (Complement Fixation) antibodi Reagen histoplasmin skin test sangat
terhadap histoplasmin atau sel ragi didapati penting dalam menentukan daerah endemik
hasil positif dalam waktu 2-5 minggu H. capsulatum. Histoplasmin skin test
pasca infeksi. Titer CF meningkat saat fase menjadi positif segera setelah infeksi dan
penyakit progresif dan kemudian menurun tetap positif selama bertahun-tahun.
ke tingkat yang sangat rendah saat fase Akan tetapi skin test bukanlah tes
penyakit yang inaktif. diagnostik yang sangat membantu,
karena:
- Menjadi negatif pada kondisi
histoplasmosis yang sudah menyebar
secara progresif.
- Skin test yang dilakukan secara berulang
merangsang antibodi serum pada
individu yang sensitif, sehingga dapat
mengganggu interpretasi diagnostik tes
serologis (Complement Fixation).

Terapi
Pada orang yang imunokompeten, umumnya terapi farmakologi tidak
diberikan, hanya diberikan terapi suportif. Namun pada kasus infeksi yang parah
atau pasien dengan imunokomprosi, obat pilihan utama untuk kasus histoplasmosis
adalah amfoterisin B. Selain itu juga dapat diberikan itrakonazol oral 400 mg
dalam 3 hari dilanjutkan dengan pemberian dosis 300 mg pada pasien lanjut
usia/bayi usia di bawah 2 tahun. Pasien dengan infeksi sistemik diberikan
amfoterisin B 0,7-1 mg/kg/hari selama 1-2 minggu diikuti dengan pemberian
itrakonazol. Pada kasus infeksi dengan AIDS, dosis amfoterisin 1 mg/kg/hari
sampai infeksi reda diikuti dengan itrakonazol 200 mg dua kali sehari. Terapi
dengan ketokonazol tidak dianjurkan karena kejadian kambuhan yang cukup tinggi.
Pencegahan
Tidak ada cara pencegahan yang efektif. Tindakan pencegahan yang umum
dilakukan adalah pemberian tanda peringatan pada gua/area yang
dikonfirmasi/diduga mengandung spora Histoplasma dan penyemprotan tanah
yang tercermar dengan 3% cresol atau formalin.
Sumber:
Hunters Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease (2012)
http://botit.botany.wisc.edu/toms_fungi/jan2000.html
https://www.cdc.gov/fungal/diseases/histoplasmosis/index.html
Jawetz, Melnick, & Adelbergs Medical Microbiology 26 Edition. 2013. McGraw-Hill.
Page: 690-691
Kauffman, C. A. Histoplasmosis: a Clinical and Laboratory Update. Clin Microbiol Rev.
2007 Jan; 20(1): 115132. doi: 10.1128/CMR.00027-06

2.6 Kandidiasis
2.6.1 Kandidiasis Vulvovaginitis
Definisi
Vulvovaginitis kandida bukan infeksi menular seksual karena jamur
candida merupakan penghuni normal vagina. Pada 25% perempuan bahkan
dijumpai di rektum dan rongga mulut dalam persentase yang lebih besar.
Etiologi
Candida albicans menjadi patogen pada 80% sampai 95% kasus
vulvovaginitis kandida, dan sisanya ialah C. glabrata dan C. tropicalis.
Faktor risiko
Faktor risiko kandidiasis meliputi: Imunosupresi, diabetes melitus,
perubahan hormonal seperti pada ibu hamil, terapi antibiotik spektrum luas
jangka panjang, obesitas.
Patofisiologi
Enzim proteoliik, toksin dan enzim phospolipase dari jamur candida dapat
merusak protein bebas dan protein sel sehingga memudahkan invasi jamur
ke jaringan. Faktor predisposisi memudahkan pertumbuhan jamur sehingga
jamur candida di vagina menjadi berlebih kemudian terjadi koloni
simptomatik.
Tanda dan Gejala
Beratnya keluhan tidak ada hubungannya dengan jumlah organisme.
Keluhan yang menonjol ialah pruritus yang seringkali disertai iritasi vagina,
disuria, atau keduanya. Cairan vagina khas berwarna putih seperti susu
pecah yang menjendal dan tidak berbau. Pada pemeriksaan dengan
spekulum seringkali memperlihatkan eritema dinding vulva dan vagina,
kadang-kadang dengan plak yang menempel.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dibuat dengan membuat kerokan pada kulit atau mukosa lalu
menggunakan larutan KOH 10-20%. Pseudohifa akan tampak pada preparat
bila dilihat dengan mikroskop. Larutan KOH digunakan karena dapat
menyebabkan lisis sel darah merah dan putih sehingga mempermudah
identifikasi jamur.
Terapi
Terapi terdiri dari aplikasi topical imidazol atau triazol, seperti mikonazol,
klotrimazol, atau butokonazol. Obat-obat tersebut dapat diresepkan sebagai
krim, supositoria, atau keduanya. Lama pengobatan bervariasi tergantung
obat yang dipilih. Vulvovaginal candidiasis (VVC) dapat ditangani dengan
topical antifungal agents atau single dose oral fluconazole. Single dose oral
fluconazole (150 mg) pada VVC episode akut menurut data klinis dan
microbiologi telah menunjukkan hasil yang sebaik atau bahkan lebih baik
dari topical antifungal agents. Sebagian kecil (< 5%) perempuan mengalami
chronic recurrent VVC infections. Pada pasien tersebut, treatment yang
direkomendasikan meliputi fluconazole 150 mg setiap hari untuk 3 dosis,
dilanjutkan dengan fluconazole 150-200 mg setiap minggu selama 6 bulan.
Penanganan ini mencegah recurrence pada lebih dari 80% kasus.
Vulvovaginal Candidiasis tanpa komplikasi
Terapi Mikonazol (Monistat-3) Satu supositoria
Intravaginal vaginal 100 mg/hari
selama 7 hari
Mikonazol (Monistat-1, ovula vaginal) Satu supositoria
vaginal 200 mg/hari
selama 3 hari
Satu supoturia vaginal
Salep tiokonazol 6,5% (monistat-1 day)
1200 mg
Nistatin vaginal Satu supoturia vaginal
80 mg/hari selama 3
hari.
Satu tablet vagina
100.000 u/hari selama
14 hari.
Satu dosis tunggal
150 mg oral.
Sumber:
Ilmu Kandungan Sarwono Prawirohardjo Edisi Ketiga. 2011
https://emedicine.medscape.com/article/213853

2.6.2 Kandidiasis Kutan


Sering terjadi karena tidak intaknya pertahanan mekanis berupa kulit.
Seringkali karena riwayat trauma, luka bakar, atau maserasi. Infeksi intertrigin
dapat terjadi pada bagian tubuh yang hangat dan lembab seperti ketiak,
selangkangan, dan lipatan payudara. Daerah yang terinfeksi nantinya menjadi
merah dan bervesikel disertai rasa gatal yang sangat. Penatalaksanaan dapat
diberikan grup azol antara lain mikonazol 2% berupa krim atau bedak,
klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim, siklopiroksolamin 1% larutan,
krim.
Sumber :
Widaty, S. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi VII. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI
2.6.3 Kandidiasis Sistemik
Candideima dapat disebabkan karena pemasangan kateter yang menetap,
pembedahan, atau penyalahgunaan obat intravena. Lesi samar dapat
terjadi dimana saja terutama ginjal. Pengobatan untuk kandidiasis sistemik
dapat diberikan Amphotericin B dikombinasi dengan flucytosil.
2.6.4 Kandidiasis Oral
Memiliki gejala yaitu trus dan perleche. Trush biasanya mengenai bayi, pasien
terinfeksi HIV dan AIDS. Tampak pseudomembran putih coklat muda kelabu
yang menutup lidah, palatum molee, pipi bagian dalam, dan permukaan rongga
mulut yang lain. Lesi dapat terpisah-pisah, dan tampak seperti susu pecah pada
rongga mulut. Bila pseudomembran terlepas dari dasarnya tampak daerah yang
basah dan merah. Sedangkan perleche lesi berupa fisura pada sudut mulut, lesi
ini mengalami maserasi, erosi, basah, dan dasarnya eritematosa. Faktor
predisposisinya antara lain adalah defisiensi riboflavin dan kelainan gigi.
Candidiasis yang seringkali muncul seperti bentuk sariawan pada orang dengan
sistem imun rendah seperti pada penderita HIV/AIDS dapat diberikan
ketokonazol atau fluconazole
3. Farmakologi Anti Jamur
3.1 Klasifikasi

Class Mechanism of action Drugs

Allylamine Inhibits squalene epoxidase Terbinafine

Ketoconazole

Fluconazole
Azole Impairs ergosterol synthesis
Itraconazole

Voriconazole

Echinocandin Impairs 1,3 glucan synthesis Caspofungin

Nucleoside Impairs pyrimidine


Flucytosine
analog metabolism

Amphotericin B
deoxycholate

Amphotericin B colloidal
dispersion
Polyene Binds to ergosterol

Amphotericin B lipid
complex

Liposomal amphotericin B

Sumber :
https://www.medscape.com/viewarticle/460694
3.2 Sediaan

Obat antijamur

Obat Sistemik Obat sistemik oral Obat Topikal

Untuk infeksi sistemik Untuk mukokutis Untuk mukokutis

Contohnya: Contohnya: Contohnya:


Amfoterisin B, Griseofulvin, Nistatin, azol
Flusitosin, Azol, terbinafin topikal, alilamin
Ekinokandin topikal

Amphotericin B
- Mekanisme kerja: bekerja dengan berikatan erat pada ergosterol pada dinding sel
jamur yang tidak ada manusia. Ergosterol yang rusak membuat dinding sel jamur
tidak intak dan terbentuk pori-pori pada dinding sel tersebut yang berakibat pada
keluarnya molekul penyusun sel dan menyebabkan kematian sel
- Distribusi: Dapat diberikan secara intravena namun kadar obat di SSP sangat
sedikit sehingga tidak cocok untuk infeksi jamur pada SSP. Penggunaan obat ini
lebih pada infeksi sistemik fungi non-SSP seperti pneumonia pada histoplasmosis
dan blastomikosis.
- Efek samping: Efek samping yang dapat timbul pada pemberian obat ini yaitu
demam, kedinginan, sesak, dan hipotensi dan nefrotoksik (pada kasus berat).
Flucytosin
- Mekanisme kerja: Bekerja dengan terlebih dahulu ditranspor ke dalam sel-sel
jamur melalui suatu permease. Zat ini diubah oleh enzim cytosine deaminase
menjadi 5-flurouracil dan bergabung menjadi 5-flurodxyurilic acid
monophospatase yang menganggu aktivitas sintetase thymidylate dan sintesis sel
DNA.
- Indikasi: karena penetrasi obat ini pada SSP lebih baik dari pada amphotericin B
dan tingkat resistensi nya yang mneingkat apabila digunakan sendiri, obat ini dapat
digunakan pada infeksi cryptococcossi dan candidiasis yang dapat menimbulkan
komplikasi meningitis.
- Efek samping: Pemberian dalam waktu lama dapat terjadi supresi sumsum tulang
belakang, kerontokan rambut, dan fungsi hati yang abnormal.
Golongan azole
Merupakan golongan obat yang memiliki spectrum luas, dapat digunakan untuk lokal
maupun sistemik.
- Mekanisme kerja: Dapat menganggu sintesis ergosterol yang terdapat di dinding
sel. Ergosterol sendiri terbentuk melalui precursor cytochrome P-450 dari
lanasterol. Obat ini menghambat demetilasi -14- dari cytochrome P-450, sehingga
ergosterol sulit terbentuk dan dinding sel tidak intak.
- Indikasi: Berbeda untuk masing-masing obat. Ketoconazole berguna dalam
pengobatan candidiasis mukotan kronis, dermatofitosis, dan blastomikosis non-
- Efek samping: Karena golongan azole menganggu cytochrome P-450 yang juga
menjadi precursor dari kolesterol yang dimiliki dinding sel manusia, Oleh karena
itu dapat menghambat sintesis testosterone dan cortisol yang bisa menyebabkan
ginekomasti dan penurunan libido.
Griseofulvin
- Mekanisme kerja: obat yang diambil dari golongan jamur. Merupakan obat pilihan
dari infeksi akibat dermatofit karena sifatnya yang terakumulasi pada
lapisan/stratum korneum atau jaringan berkeratin. Griseofulvin berkerja dengan
berikatan pada mikrotubulus dan mematahkan gelondong mikotik sehingga
perkembangbiakan sel menjadi terganggu.

Terbinafin
- Mekanisme kerja: memblokir sintesis ergosterol melalui epoxide squalene.

Nistatin
Nistatin merupakan salah satu antibiotik polien yang berasal dari Streptomyces noursei.
Nistatin memiliki struktur kimia dan mekanisme kerja mirip dengan amfoterisin B namun
nistatin lebih toksis sehingga tidak digunakan sebagai obat sistemik.
- Mekanisme kerja : Nistatin sangat selektif terhadap jamur karena hanya berikatan
dengan ergosterol pada membran sel jamur. Akibat ikatannya dengan ergosterol,
terjadi perubahan permeabilitas membran sel pada jamur sehingga sel tersebut akan
lisis.
- Farmakologi: Nistatin bersifat fungistatik dan fungisidal serta tidak dapat diserap
melalui pemberian secara oral, topical, maupun vaginal (mukosa) sehingga tidak
dijumpai metabolisme dan ekskresi obat dari tubuh. Pemberian bersamaan dengan
amfoterisin B meningkatkan efek samping dari nistatin.
- Indikasi: Nistatin terutama digunakan untuk infeksi Candida sp. di kulit, mukosa,
dan saluran cerna. Pemberian topikal dilakukan untuk paronikia, vaginitis fungal,
dan kandidiasis oral. Selain itu nistatin juga sensitif terhadap jamur spesies lain
seperti Torulopsis glabrata, Tricophyton rubrum, dan Tricophyton
mentragrophytes. Resistensi dilaporkan pada kasus kandidiasis.
- Efek samping: Jarang ditemukan efek samping pada pemakaian nistatin. Mual,
muntah, dan diare ringan dapat terjadi setelah pemakaian per oral.
Sumber:
Farmakologi dan Terapi UI Edisi 5 (2007)
Goodman dan Gilman Manual Farmakologi dan Terapi
https://www.drugbank.ca/drugs/DB00646

4. Manajemen Penyakit Jamur yang Terstruktur


Upaya pencegahan dan perawatan penyakit akibat infeksi jamur efektif dicapai dengan
pengendalian faktor risiko dan menjauhi kontak dengan benda atau individu lain yang
terpapar.
1. Tindakan promotif dengan penyebarluasan informasi mengenai faktor risiko,
klasifikasi, gejala, hingga tatalaksana dini penyakit akibat infeksi jamur.
2. Menggalakkan upaya preventif dengan mengendalikan faktor risiko penyakit
infeksi jamur, diantaranya:
Konsumsi obat-obatan profilaksis bagi pasien imunosupresan,
Pengendalian dan pemeriksaan rutin kadar gula darah bagi pasien diabetes
melitus,
Menggunakan pakaian dan kaos kaki dengan bahan yang mudah menyerap
keringat,
Mengganti pakaian sesegera mungkin jika pakaian yang digunakan basah,
Rutin mengganti pakaian dan kaos kaki setiap hari,
Menggunting kuku tangan dan kaki,
Cuci tangan dan mandi minimal dua kali sehari dengan air bersih,
Mengeringkan kulit secara menyeluruh dengan handuk setelah mandi, cuci
tangan, atau cuci baju,
Tidak berbagi handuk dengan orang lain,
Rutin mengganti pembalut minimal tiga kali sehari bagi perempuan,
Konsumsi antibiotik hanya bila dengan resep dokter,
Merawat luka atau trauma dengan baik.
Penggunaan APD bagi pekerjaan yang beresiko untuk terinfeksi jamur
3. Penatalaksanaan kasus infeksi jamur secara paripurna dengan identifikasi dini,
edukasi, pengobatan anti jamur, dan konseling.
Profilaksis
Pasien immunocompromised memiliki risiko yang tinggi untuk terinfeksi jamur, oleh
sebab itu diperlukan profilaksis antijamur. Imidazol oral atau antijamur triazol merupakan
obat pilihan untuk profilaksis. Flukonazol lebih mudah diabsorpsi daripada itrakonazol dan
ketokonazol serta lebih aman dibanding ketokonazol untuk terapi jangka panjang. Infus
amfoterisin intravena digunakan untuk terapi empiris pada infeksi jamur serius. Flukonazol
digunakan untuk mengatasi infeksi Candida albicans.
Sumber: http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi/53-anti-jamur

Cara pencegahan ringworm atau tinea:


1. Jaga agar kulit tetap bersih dan kering.
2. Kenakan sepatu yang memungkinkan udara beredar bebas di sekitar kaki Anda.
3. Jangan berjalan tanpa alas kaki di area seperti ruang loker atau kamar mandi
umum.
4. Usahakan kuku jari tangan dan kaki tetap pendek dan selalu bersih.
5. Ganti kaus kaki dan celana dalam setidaknya sehari sekali.
6. Jangan berbagi pakaian, handuk, seprai, atau barang pribadi lainnya dengan
seseorang yang memiliki tinea atau ringworm.
7. Cuci tangan Anda dengan sabun dan air mengalir setelah bermain dengan hewan
peliharaan. Jika Anda menduga hewan peliharaan Anda memiliki kurap, bawa ke
dokter hewan.
8. Jika Anda seorang atlet yang terlibat dalam olahraga, segera mandi setelah sesi
latihan dan jagalah agar semua peralatan olah raga dan seragam Anda bersih.
Jangan berbagi perlengkapan olahraga (helm, dll) dengan pemain lain.

Sumber: https://www.cdc.gov/fungal/diseases/ringworm/risk-prevention.html

Cara pencegahan Coccidioidomycosis


1. Cobalah untuk menghindari area dengan banyak debu seperti lokasi konstruksi atau
penggalian. Jika Anda tidak dapat menghindari area ini, kenakan respirator N95
(sejenis masker wajah) saat Anda berada di sana.
2. Tinggal di dalam rumah selama badai debu dan tutup jendela Anda.
3. Hindari kegiatan yang melibatkan kontak dekat dengan kotoran atau debu,
termasuk pekerjaan pekarangan, berkebun, dan penggalian.
4. Gunakan filtrasi udara di dalam ruangan.
5. Bersihkan luka kulit dengan baik dengan sabun dan air untuk mengurangi
kemungkinan terkena infeksi kulit, terutama jika luka terkena kotoran atau debu.
6. Gunakan obat profilaksis jika memerlukannya.

Sumber: https://www.cdc.gov/fungal/diseases/coccidioidomycosis/risk-prevention.html

Anda mungkin juga menyukai