Anda di halaman 1dari 40

PROPOSAL KTI

PENERAPAN RELAKSASI PERNAPASAN BALLON BLOWING UNTUK


MENINGKATKAN SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN PPOK

TIYA HILMAWAN
NIM. P05120218080

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLTEKKES


KEMENKES BENGKULU
PRODI DIII KEPERAWATAN TAHUN 2020
1

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronis atau sering disingkat PPOK adalah
istilah yang di gunakan untuk sejumlah penyakit yang menyerang paru-paru
untuk jangka panjang. Penyakit ini menghalangi aliran udara dari dalam
paru-paru sehingga pengidap akan mengalami kesulitan dalam bernapasa.
PPOK umumnya merupakan kombinasi dari dua penyakit pernapasan, yaitu
bronkitis kronis dan efisema (Kementrian Kesehatan RI, 2018). PPOK
adalah penyakit paru yang ditandai dengan gejala pernafasan persisten dan
keterbatasan aliran udara akibat saluran nafas tersumbat dan atau kelainan
alveloer yang disebabkan partikel atau gas yang berbahaya, PPOK juga
disebut dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (WHO, 2019).
World Health Organization (WHO) mendata sebanyak tiga juta
meninggal karena PPOK pada tahun 2016, dan juga menyatakan bahwa
pada dua belas negara di Asia Tenggara ditemukan prevalensi PPOK
sedang-berat pada usia 30 tahun ke atas dengan rata-rata sebesar 6,3%.
Hongkong dan Singapur memiliki angka pervalensi terkecil yaitu 3,5% dan
vietnam sebesar 6,7% .
Prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 4,5% dengan prevalensi
terbanyak yaitu provinsi Sulawesi Tengah sebanyak 5,5%, NTT sebanyak
5,4%, Lmapung sebanyak 1,3%. Angka –angka tersebut menunjukan
semakin meningkatnya kematian akibat penaykit PPOK (Riskesdas, 2018).
Penyebab PPOK yaitu polusi udara merupakan penyebab utama dan
tersering, karena setiap hari manusia melakukan aktivitas menghirup udara,
semakin banyak pula kotoran yang masuk kedalam saluran pernapasan
manusia. Polutan udara ini dapat berupa asap, debu, gas, maupun uap.
Semakin sering seseorang terpapar polutan maka semakin mudah dan
semakin cepat seseoran mengalami penyakit saluran pernapasan kronik
(Ikawati,2011).
2

Tanda dan gejala PPOK bisa dikalsifikasikan berdasarkan derajat


berat ringannya. Derajat 1 biasanya pasien hanya mengeluh batuk berdahak
tetapi tidak sering, derajat 2 biasanya pasien mengeluh sesak saat
beraktivitas, derajat 3 biasanya pasien mengeluh sesaknya lebih berat, dan
derajat 4 biasanya pasien sudah mengalami gagal nafas (GOLD, 2010).

Penanganan medis untuk pasien PPOK dapat dilakukan secara


farmakologis dan non farmakologis, pengobatan farmakologi misalnya
terapi antibiotik, terapi oksigen dan menggunakan bronkodilator (PDPI,
2011).
Salah satu penanganan non farmakologis adalah relaksasi pernafasan
menggunakan balon (ballon blowing) teknik relaksasi dengan meniup balon
dapat memebatu intercosta mengelevasikan otot diafragma dan
kosta.sehingga memungkinkan untuk menyerap oksigen, mengubah bahan
yang masih ada dalam paru dan mengeluarkan karbondioksida dalam paru.
Meniup balon sangat efektif untuk membantu ekspansi paru sehingga
mampu mensuplai oksigen mengeluarkan karbondioksida yang terjebak
dalam paru pasien dengan fungsi pernafasan. Peningkatan ventilasi alveoli
dapat meningkatkan suplai oksigen , sehingga dapat dijadikan sebagai terapi
dalam peningkatan saturasi oksigen. Dalam hal ini perwat menganjurkan
kepada klien relaksasi pernafasan yaitu nafas dalam dengan teknik meniup
balon. Anjurkan klien bagaimana cara menghirup udara melalui hidung
dengan lambat menahan inspirasi dan mengeluarkan melalui mulut kedalam
balon secara maksimak (Tunika. dkk, 2017).
Berdasarkan uraian diatas, maka dari itu penulis tertarik untuk
melakukan studi kasus tentang penerapan “Relaksasi Pernapasan Ballon
Blowing Untuk Meningkatkan Saturasi Oksigen Pada Paien PPOK”.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran pelaksanaan penerapan relaksasi pernapasan
ballon blowing untuk meningkatkan saturasi oksigen pada pasien PPOK ?
C. Tujuan Penelitian
3

Tujuan penulisan di bagi menjadi dua yaitu:


1. Tujuan Umum
Bagaimana gambaran pelaksanaan penerapan relaksasi
pernapasan ballon blowing untuk meningkatkan saturasi oksigen pada
pasien PPOK.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik pasien PPOK
b. Mendeskripsikan fase pra interaksi pelaksanaan penerapan
relaksasi pernapasan ballon blowing untuk meningkatkan saturasi
oksigen pada pasien PPOK.
c. Mendeskripsikan fase orientasi pelaksanaan penerapan relaksasi
pernapasan ballon blowing untuk meningkatkan saturasi oksigen
pada pasien PPOK.
d. Mendeskripsikan fase interaksi pelaksanaan penerapan relaksasi
pernapasan ballon blowing untuk meningkatkan saturasi oksigen
pada pasien PPOK.
e. Mendeskripsikan fase terminasi pelaksanaan penerapan relaksasi
pernapasan ballon blowing untuk meningkatkan saturasi oksigen
pada pasien PPOK.
3. Manfaat Studi Kasus
a) Bagi Perawat
Dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran agar dapat
memahami dan menerapkan asuhan keperawatan secara nyata
kepada pasien PPOK.
b) Bagi Pasien dan Keluarga pasien
Diharapkan dapat meningkatkan informasi dan
keterampilan dari keluarga dalam merawat pasien PPOK.
c) Bagi Pelayanan Kesehatan
Dapat meningkatkan kinerja perawat di rumah sakit dalam
menangani pada pasien PPOK dengan melakukan intervensi
4

relaksasi pernapasan ballon blowing untuk meningkatkan saturasi


oksigen
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan
1. Anatomi

a. Rongga hidung
Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang sangat kaya
akan pembuluh sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam
rongga hidung. Daerah pernapasan dilapisi epitelium silinder dan sel
epitel berambut yang mengandung sel lendir. Sekresi sel itu membuat
permukaan neres basah dan berlendir. Di atas septum nasalis dan
konka, selaput lendir ini yang paling tebal, yang diuraikan di bawah
ini. Tiga tulang kerang (konka) yang diselaputi epitelium
pernapasan,yang menjorok dari dinding lateral hidung ke dalam
rongga, sangat memperbesar permukaan selaput lendir tersebut.
Sewaktu udara melalui hidung, udara disaring oleh bulu-bulu
yang terdapat di dalam vestibulum. Karena kontak dengan permukaan
lendir yang dilaluinya,udara menjadi hangat,dan karena penguapan air
dari permukaan selaput lendir udara menjadi lembab.
7

Hidung menghubungkan lubang-lubang sinus udara


pararanalisis yang masuk ke dalam rongga-rongga hidung dan juga
menghubungkan lubang-lubang nasolakrimal yang menyalurkan air mata
dari mata ke dalam bagian bawah rongga nasalis ke dalam hidung
(Pearce, 2015).
b. Faring ( tekak )
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak
sampai persambungannya dengan usofagus pada ketinggian tulang
rawan krikoid. Maka letaknya di belakang hidung (nasoparing),di
belakang mulut (oroparing) dan di belakang laring (faring-laringeal)
(Pearce, 2015)
c. Laring (tenggorokan)
Laring terletak di depan bagian terendah faring yang
memisahkannya dari kolumna vertebra, berjalan dari faring sampai
ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya.
Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama
oleh ligamen dan membran. Yang terbesar di antaranya adalah tulang
rawan tiroid dan disebalah depannya terdapat benjolan subkutaneus
yang dikenal sebagai jakun, yaitu disebelah depan leher. Laring terdiri
atas dua lempeng atau lamina yang bersambung di garis tengah. Di
tepi atas terdapat lekukan berupa V. Tulang rawan krikoid terletak di
bawah tiroid, bentuknya seperti cincin mohor cincinya di sebelah
belakang (tulang rawan satu-satunya yang berbentuk lingkaran
lengkap). Tulang rawan lainnya ialah kedua tulang rawan rawan
aritenoid yang menjulang di sebelah belakang krikoid, kanan dan kiri
tulang rawan kuneiform dan tulang rawan kornikulata yang sangat
kecil.
Terkait di puncak tulang rawan tiroid terdapat epigotis, yaitu
berupa katup tulang rawan dan membantu menutup laring sewaktu
menelan. Laring di lapisi jenis selaput lendir yang sama dengan yang
8

di trakea, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi sel
epitelium berlapis.
Pita suara terletak disebelah laring,berjalan dari tulang rawan
tiroid di sebelah depan sampai kedua tulang rawan aritenoid. Dengan
gerakan dari tulang rawan aritenoid yang ditimbulkan oleh berbagai
otot laringeal, pita suara ditegangkan atau dikendurkan. Dengan
demikian lebar sela-sela antara pita suara atau rima glotidis berubah
sewaktu-waktu bernafas dan berbicara.
Suara dihasilkan karena getaran pita yang di sebabkan udara
yang melalui glotis. Berbagai otot yang terkait pada laring
mengendalikan suara, dan juga menutup lubang atas laring sewaktu
menelan (Pearce, 2015).
d. Trakea (batang tenggorokan)
Trakea atau batang tenggorokan kira-kira sembilan sentimeter
panjangnya. Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian
vertebra torakalos kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua
bronkus. Trakea tersusun atas enam belas sampai dua puluh lingkaran
tak lengkap berupa cicin tulang rawan yang diikat bersama oleh
jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang
trakea. Selain itu juga memuat beberapa jaringan otot.
Trakea dilapisi selaput lendir yang terdiri atas epitelium
bersilis dan sel lendir. Silia ini bergerak menuju ke atas ke arah laring,
maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang turut
masuk bersama dengan pernapasan dapat dikeluarkan. Tulang rawan
berfungsi mempertahankan agar trakea tetap terbuka karena itu, di
sebelah belakangnya tidak tersambung, yaitu di tempat trakea
menempel pada esofagus yang memisahkan dari tulang belakang.
Trakea servikalis yang berjalan melalui leher disilang olaeh
istmus kelenjar tiroid, yaitu belahan kelenjar yang melingkari sisi-sisi
trakea. Trakea torasika berjalan melintasi mediastrinum di belakang
9

sternum menyentuh arteri iniminata dan arkus aorta. Usifagus terletak


di belakang trakea (Pearce, 2015).
e. Bronkus
Kedua bronkus yang terbentuk dari belahan dua trakea pada
ketinggian kira-kira vertebra torakalis kelima mempunyai struktur
serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-
bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampak paru.
Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada yang kiri,
sedikit lebih tinggi daripada arteri pulmonalis dan mengeluarkan
sebuah cabang yang disebut bronkus lobus arteri, cabang kedua timbul
setelah cabang utama lewat dibawah arteri disebut bronkus lobus
bawah. Bronkus kiri lebih panjang daripada yang kanan dan berjalan
di bawah arteri pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa cabang
yang berjalan ke lobus atas dan bawah (Pearce, 2015)
f. Paru –paru
Paru-paru merupakan alat pernapasan utama. Terletak
disebelah kanan dan kiri dan di tengah dipisahkan oleh jantung beserta
pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak di dalam
mediastinum. Paru-paru berbentuk kerucut dengan apeks (puncak) di
atas dan muncul sedikit lebih tinggi daripada klavikula di dalam dasar
leher. Pangkal paru-paru dudukk di atas rongga toraks diatas
diafragma. Paru-paru mempunyai permukaan luar menyentuh iga-
iga,permukaan dalam yang memuat tampak paru-paru, sisi belakang
yang menyentuh tulang belakang, dan sisi depan yang menutupi
sebagian sisi depan jantung (Pearce, 2015).
2. Fisiologi
a. Inspirasi
Inspirasi adalah proses aktif kontraksi otot-otot inspirasi yang
menaikan volume intratoraks. Selama bernapas tenang tekanan
intrapleura kira-kira 2,5 mmhg (relatif terhadap atmosfer). Pada
permulaan inspirasi menurun sampai 6 mmhg dan paru ditarik kearah
10

posisi yang lebih mengembang di jalan udara menjadi sedikit negatif


dan udara mengalir ke paru. Akhir inspirasi recoil menarik dada
kembali ke posisi ekspirasi karena tekanan recoil paru dan dinding
seimbang menjadi sedikit positif, udara mengalir keluar dari paru
(Suzanne C. Smeltzer, 2002).
b. Ekpirasi
Pernafasan tenang bersifat pasif. Otot-otot yang menurunkan
volume torak berkontaksi permukaan ekspirasi kontraksi ini
menimbulkan kerja yang menahan kekuatan recoil dan melambatkan
ekspirasi-inspirasi yang kuat berusaha mengurang tekanan intrapleura
sampai serendah 30 mmhg, ini menimbulkan pengembangan paru
derajat yang lebih besar. Bila ventilasi meningkat, luasnya deflasi paru
meningkat dengan kontraksi otot-otot pernapasan yang menurunkan
volume intratoraks (Suzanne C. Smeltzer, 2002).
c. Volume dan kapasitas paru
1. Volume paru
Ada empat paru-paru bila semua dijumlahkan sama dengan
volume maksimal paru yang mengembang, yaitu :
a) Volume tidal
Merupakan volume udara yang di inspirasikan dan di
ekspirasikan di setiap pernafasan normal.
b) Volume cadangan inspirasi
Merupakan volume tambahan udara yang dapat di
inspirasikan di atas volume tidal normal, biasanya 3000 ml.
c) Volume cadangan
Merupakan jumlah udara yang masih dapat di keluarkan
dengan ekspirasi tidal yang normal jumlahnya ±1.100 ml.
d) Volume sisa
Merupakan volume udara yang tersisa di dalam paru setelah
kebanyakan ekspirasi kuat, volume ini rata-rata 1.200 ml
(Suzanne, C. Smeltzer, 2002)
11

d. Ventilasi paru
Dari seluruh proses ventilasi paru faktor yang penting adalah
kecepatan pembauan udara dalam area pertukaran paru dan alveolus
setiap menit oleh udara atmosfer (ventilasi alveolus), sebagian besar
udara inspirasi mengisi saluran pernafasan lebih besar, disebut ruang
rugi yang membrannya tidak dapat melakukan pertukaran gas yang
berarti dengan darah. Sistem ventilasi paru adalah sistem yang terus-
menerus memperbaharui udara dalam area pertukaran gas paru, ketika
udara dan darah paru saling berdekatan (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
e. Difusi
Difusi adalah proses dimana terjadinya pertukarab oksigen dan
karbondioksida pada tempat pertemuan udara-darah. Membran
alveolar kapiler merupakan tempat yang ideal untuk difusi karena
membrane ini mempunyai permukaan yang luas dan tipis. Pada orang
dewasa normal, oksigen dan karbondikosida mengalir menembus
membrane alveolar kapiler tanpa mengalami kesulitan (Suzanne C.
Smeltzer, 2002).
g. Perfusi pulmonal
Perpusi pulmonal adalah aliran darah aktual melalui sirkulasi
pulmonal. Darah dipompakan ke dalam paru-paru oleh ventikel kanan
melalui arteripulmonal. Arteripulmonal terbagi menjadi kanan dan kiri
untuk mensuplai kedua paru. Normalnya 2% di pompa oleh ventikel
kanan tidak berfungsi melalui kapiler noormal (Suzanne C. Smeltzer,
2002).
h. Pertukaran gas
Udara yang di hirip untuk bernafas adalah campuran gas-gas
yang terutama terdiri atas nitrigen (78,62%) dan oksigen (20,84%)
dengan renik karbondioksida (0,04), uap air (0,05%), helerium, argon,
dan sebagainya. Tekanan atmosfir pada ketinggian laut adalah sekitar
70mmHg. Tekanan persial adalah tekanan yang dikeluarkan oleh
setiap gas dalam campuran gas-gas yang tedapat dalam campuran gas-
12

gas adalah sebanding dengan jumlah tekanan-tekanan persial


(Suzanne C. Smeltzer, 2002).
i. Trasnportasi oksigen
Oksigen dan karbon dioksida secara stimulan dibawah oleh
sifat kemampuan mereka untuk terlarut dalam darah atau untuk
bergabung dengan beberapa elemen darah. Oksigen dibawah dalam
darah dengan dua bentuk :
1) Sebagai oksigen terlarut secara fisik dalam plasma
2) Dalam kombinasi dengan hemogloin dari sel-sel darah merah.
Setiap 100 ml darah arteri normal membawa 0,3 ml oksigen yang
terlarut secara fisik dalam plasma dan 20 ml oksigen dalam
kombinasi dengan hemoglobin. Sejumlah besar oksigen dapat di
transport dalam darah karena oksigen dengan mudah dapat
bergabung dengan hemoglobin untuk membentuk oksihemoglobin :
O2 + Hb HbO
Volume oksigen yang secara fisik terlarut dalam plasma
beragam secara langsung dengan tekanan persial oksigen dalam arteri
(PaO2). Makin tinggi PaO2 makin tinggi besar jumlah oksigen yang
terlarut. Sebagai contoh pada PaO210 mmHg, 0,3 ml oksigen
dilarutkan dalam 100 ml plasma. Pada 20 mmHg dua kali dari jumlah
ini dilarutkan dalam plasma dan pada 100 mmHg, sepuluh kali lipat
dari jumlah yang dilarutkan. Oleh karenanya jumlah oksigen yang
dilarutkan secara langsung proposionalnya terhadap tekanan persial,
mengabaikan beberap jumlah oksigen yang bergabung dengan
hemoglobin juga tergantung pada PaO2 tetapi hanya sampai pada
PaO2 sekiar 150 mmHg. Ketika PaO2 adalah 150 mmHg, hemoglobin
tersaturasi 100% dan tidak akan bergabung dengan oksigen lagi. Jika
hemoglobin sudah tersaturasi 100%. 1% hemoglobin akan bergabung
dengan 1,34 ml oksigen. Karenanya, pada individu dengan
hemoglobin 14g/dl, setiap 100 ml darahnya akan mengandung sekitar
19 ml oksigen akan lebih rendah (Suzanne C. Semeltzer, 2002).
13

B. Konsep Penyakit PPOK


1. Definisi
PPOK adalah penyakit paru yang ditandai dengan gejala
pernafasan persisten dan keterbatasan aliran udara akibat saluran nafas
tersumbat dan atau kelainan alveloer yang disebabkan partikel atau gas
yang berbahaya, PPOK juga disebut dengan Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (WHO, 2019).
2. Etiologi dan Faktor Resiko
1) Asap rokok
Kebiasaan merokok adalah salah satunya penyebab kausal
yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab
gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Resiko PPOK pada
perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok.
Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis,
karena dipengaruhi oleh faktor resiko genetik setiap individu.
Perokok pasif dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala
respirasi dan PPOK, dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah
inhalasi pertikel dan gas (PDPI, 2011).
2) Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara
sekitar dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran
dan macam partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap
timbulnya dan beratnya PPOK. Polusi udara terbagi menjadi :
a. Polusi di dalam ruangan : asap rokok dan asap kompor
b. Polusi di luar ruangan : asap kendaraan bermotor dan debu
jalanan
c. Polusi tempat kerja : bahan kimia, zat iritasi, dan gas beracun
(PDPI, 2011).
14

3) Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen.
Oksidan endogen timbul dari sel fagosit dan sel tipe lainnya,
sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan asap rokok. Oksidan
intraseluler (endogen) seperti devirat elektron mitokondria transpor
termasuk dalam mekanisme seluler signaling pathway. Sel paru
dilindungi oleh oxsydative chalenge yang berkembang secara
enzimatik atau non enzimatik. Ketika keseimbangan antara oksidan
dan antioksidan berubah bentuk, misalnya ekses oksidan dan atau
deplesi antioksidan akan menimbulkan stres oksidatif. Stres
oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi
juga menimbulkan aktifitas mokuler sebagai awal inflamasi. Jadi,
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan memegang
peranan penting pada patogensi PPOK (PDPI, 2011).
4) Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari
interaksi gen-lingkungan. Faktor resiko genetik yang paling sering
terjadi adalah kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibator dari
protase serin. Meskipun kekurangan alpha 1 antitrypsin yang hanya
sebagian kecil dari populasi di dunia, hal ini menggambarkan
adanya interaksi antara gen dan pajanan lingkungan yang
menyebabkan PPOK. Risiko obstruktif aliran udara yang
diturunkan secara genetik telah diteliti pada perokok yang
mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Halis penelitian
menunjukan keterkaitan bahwa faktor genetik mempengaruhi
kerentanan timbulnya PPOK (PDPI, 2011).
5) Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan
progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi
jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi.
Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebakan penurunan
15

fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa.


Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab
keadaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak
sebagai penyebab dasar timbulnya hiperresponsif jalan napas yang
merupakan faktor resiko pada PPOK. Pengaruh berat badan lahir
rendah akan meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan
faktor risiko PPOK (PDPI, 2011).
6) Usia
Semakin tua usia seseorang, semakin besarrisiko terkena
PPOK karena paru sudah mulai mengalami penurunan fungsi dan
respon inflamasi paru sudah berkurang sehingga seseorang yang
telah tua akan semakin rentan terkena penyakit pada paru (PDPI,
20011).
3. Klasifikasi
Klasifikasi PPOK menurut derajat keparahannya menurut GOLD, 2010:
1) Derajat 1 (PPOK ringan)
Gejala klinis : gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetepi
tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa
fungsi paru mulai menurun.
2) Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis : gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan
kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat
ini biasanya pasien mulai memeriksa kesehatannya.
3) Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa
lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak
pada kualitas hidup pasien.
4) Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : selain terdapat tanda-tanda di atas ditambah tanda-
tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan
16

oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika
eksaserbasi dapat mengancam jiwa
Selain berdasarkan derajatnya, klasifikasi PPOK dapat
terbagi berdasarkan penyakit yang menyebabkan terjadinya
PPOK, yaitu (Smeltzer, 2016) :
a. Bronkitis kronis
Bronkitis kronis merupakan batuk dan produksi sputum
minimal 3 bulan setiap tahun dalam dua tahun berturut-turut.
b. Efisema
Efisema merupakan suatu keadaan abnormal pada anatomi
paru dengan adanya kondisi klinis berupa melebarnya saluran
udara bagian distal bronkiolus terminal yang di sertai dengan
kerusakan dinding alveoli.
4. Patofisiologi
Perubahan patologi PPOK mencangkup saluran napas yang
besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara umum, terdapat
2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis
kronis dengan hipersekresi mukusnya dan efisema paru yang ditandai
dengan pembesaran permanaen dari ruang udara yang ada, mulai dari
distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya. Penyempitan
saluran napas tampak pada saluran napas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran napas terhadap
respon inflamasi yang persisiten.
Bronkitis merupakan peradangan pada bronkus dan bronkiolus,
secara normal silia mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritasn,
yaitu dengan menangkap yang terus menerus seperti asap rokok atau
polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme
pertahanan ini. Asap rokok dan polusi menghambat pembersihan
mukosiliar. Faktor yang menyebabkan gagalnya pembersihan
mukosiliar adanya profilerasi sel globet dan bergantian epitel yang
bersedia maupun yang tidak bersilia. Hiperplasia dan hipertofi kelenjar
17

penghasil mukus menyebabkan pembersihan paru-paru terganggu juga


menyebabkan hipersekresi mukus disaluran napas, mengakibatkan
gejala khas seperti batuk produktif. Faktor etiologi utama asap rokok
dan polusi udara menyebabkan inflamasi bronkiolus dan alveoli
menyebabakan meningkatnya risiko infeksi. Bersama dengan adanya
produksi mukus, terjadi sumbatan bronkus dan bronkiolus.
Asap rokok dan polusi udara juga dapat menyebabkan inflamasi
paru-paru hilangnya antripsin yang menyebabakan efisema. Pada
efisema kerusakan yang terjadi pada dinding alveolar, perjalanan udara
terganggu akibat perubahan ini. Kesulitan saat ekspirasi pada efisema
akibat dari adanya destruksi dinding (sputum) yang paling berkaitan
dengan berkaitan dengan PPOK adalah efisema sentribular, tipe ini
secara selektif menyerang bagian bronkiolus. Dinding-dinding mulai
berlubang membesar dan alveoli pecah, bergabung dan akhirnya
cenderung menjadi satu ruang. Rusaknya daerah permukaan untuk
pertukaran gas dalam asinus berakibat pada hilangnya elstisitas
pengempisan (Somantri, 2012).
18

5. WOC Rokok, polusi udara dan infeksi (bakteri, virus)

Inhalasi droplet melalui udara

Dinding bronkus menebal

Respon alveoli Hiperplasia Penyempitan Saluran Napas Kerja Silia


Dan Hipertropisel globet ventilasi terganggu hipersekresi mukus
Gangguan Pembersihan paru-paru Hipoksia Batuk Produktif
Gangguan fungsi alveoli hiperventilasi pulmonal penumpukan sekret kronis dan terjadi perubahan mukosa

Difusi terganggu Dyspnea Anoreksia penumpukan sputum

BB Obstruksi jalan napas Pola napas


Gangguan pertukaran tidak efektif;;m
gas Suplai 02 ke jaringan
Defisit nutrisi Bersihan jalan napas
tidak efektif
Intoleransi aktivitas

(Somantri, 2012)
19

6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada penderita PPOK
adalah sesak napas, batuk produktif, produksi sputum yang berlebihan,
adanya suara mengi, dada terasa sesak, mudah mengalami kelelahan,
terjadinya penurunan berat badan, bahkan adanya penggunaan otot bantu
pernapasan (GOLD, 2018).
7. Komplikasi
Komplikasi PPOK (PDPI, 2011) :
1) Gagal napas kronik
2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
a. Sesak napas dengan atau sianosis
b. Sputum bertambah dan purulen
c. Demam
d. Kesadaran menurun
3) Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya
infeksi berulang, pada kondisi kronik ini imun menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah
4) Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >50% dapat
disertai gagal jantung kanan.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang PPOK (PDPI, 2011) :
1) Spirometri
2) Laboratorium darah ( Hb, Ht, Tr, lekosit, analisa gas darah)
3) Radiologi (foto thoraks)
4) Faal paru lengkap
5) Uji latih kardiopulmoner
6) Uji provokasi bronkus
7) EKG
20

8) Pemeriksaan bakteriologi
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronik dapat dilakukan
dengan cara terapi farmakologi dan nonfarmakologi menurut PDPI, 2011
yaitu:
1) Penatalaksanaan farmakologi
a) Terapi antibiotik
Terapi ini dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti
ampisilin atau eritromisin, amoksilin dan asam klavulanat.
Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksilin, atau
doksisiklin pada pasien yang mengalami aksaserbasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat
kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama
periode aksaserbasi.
b) Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan
berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
1) Manfaat oksigen
a) Mengurangi sesak
b) Memperbaiki aktivitas
c) Mengurangi hipertensi pulmonal
d) Mengurangi vasokontriksi
e) Mengurangi hematokrit
f) Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
g) Meningkatkan kualitas hidup
2) Indikasi
a) PaO2 < 60 mmHg atau Saturasi O2 < 90 %
21

b) PaO2 diantara 55-59 mmHg atau saturasi O2 > 89%


disertai korpulmonal, perubahan P pulmonal, Ht > 55%
dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea,
penyakit paru lain.
a. Macam terapi oksigen
1. Pemberian oksigen jangka panjang
2. Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
3. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak
mendadak
4. Pemberian oksigen secara intensif pada waktu
gagal napas

c) Bronkodilator
Macam-macam bronkodilator:
a) Golongan antikolinergik : digunakan pada derajat ringan
sampai berat, bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir
(maksimal 4 kali perhari).
b) Golongan agonis β -2 : bentuk inhaler digunakan untuk
mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang
berefek panjang. Bentuk nebulizer dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk
penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat
c) Kombinasi antikolinergik dan agonis β -2 : kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mempermudah penderita.
22

d) Golongan xantin : dalam bentuk lambat lepas sebagai


pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer
untuk mengatasi sesak, bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan aminofilin darah.
2) Penatalaksanaan non farmakologi
a) Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitis dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru.
b) Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi
yang paling efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya
PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A :
a) Ask (Tanyakan) : mengidentifikasi semua perokok pada
setiap kunjungan.
b) Advise (Nasihati) : dorongan kuat pada semua perokok untuk
berhenti merokok.
c) Assess (Nilai) : keinginan untuk usaha berhenti merokok.
d) Assist (Bimbing) : bantu pasien dengan rencana berhenti
merokok, menyediakan konseling praktis, merekomendasikan
penggunaan farmakoterapi.
e) Arrange (Atur) : buat jadwal kontak lebih lanjut
c) Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi
latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK.
23

d) Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada penderita PPOK, karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi
yang meningkat. Karena hipoksemia kronik dan hiperkapni dapat
menyebabkan terjadinya hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi
akan menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat di evaluasi dengan :
a) Penurunan berat badan
b) Kadar albumin darah
c) Antropomrtri
d) Pengukuran kekuatan otot.
24

C. Konsep Penerapan Prosedur Keperawatan Relaksasi Pernapasan Ballon


Blowing
1. Karakteristik pasien
Identitas pasien meliputi : Nama, jenis kelamin, umur, alamat,
agama, bangsa/suku, pekerjaan, status perkawinan, tanggal masuk rumah
sakit, diagnosa medis, keluarga yang dapat dihubungi, no registrasi rekam
medik.
2. Fase Prainteraksi
fase prainteraksi dimulai sebelum kontrak pertama dengan klien.
Perawat mengumpulkan data tentang klien, mengeksplorasi perasaan,
fantasi dan kekuatan diri dan membuat rencana pertemuan dengan klien.
Sebelum dilakukan tindakan penerapan relaksasi pernapasan ballon
blowing dilakukan pengkajian antara lain
a. Keluhan utama
Keluhan utama pasien PPOK adalah sesak napas, batuk
produktif, produksi sputum yang berlebihan, adanya suara mengi, dada
terasa sesak, mudah mengalami kelelahan, terjadinya penurunan berat
badan, bahkan adanya penggunaan otot bantu pernapasan (GOLD,
2018).
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan Sekarang
Pasien biasanya sesak napas, batuk produktif, produksi sputum yang
berlebihan, adanya suara mengi, dada terasa sesak, mudah
mengalami kelelahan, terjadinya penurunan berat badan, bahkan
adanya penggunaan otot bantu pernapasan (GOLD, 2018).
2) Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adakah penyakit yang di derita anggota keluarga yang mungkin
ada hubungannya dengan penyakit PPOK.
3) Riwayat kesehatan dahulu
25

Pada PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan


interaksi genetik dengan lingkungan, misalnya pada orang yang
merokok, polusi udara dan paparan di tempat kerja.
4) Pengkajian kebutuhan oksigenasi
Berdasarkan data mayor dan minor
1) Menanyakan keluhan batuk
2) Kaji produksi sptum
3) Kaji suara napas
4) Kaji kemampuan bernapas, frekuensi napas
5) Kaji kesulitan bicara
6) Kaji apakah ada sianosis
7) Kaji pola napas
5) Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada pasien PPOK
Berdasarkan respon pasien yang disesuaikan dengan SDKI 2016 :
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi
jalan napas.
Definisi : Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi
jalan napas tetap paten
Prosedur yang akan dilakukan pada tahap pra interaksi penerapan
relaksasi pernapasan ballon blowing yaitu :
1) Perawat mengumpulkan data
1) Membaca status pasien
2) Melakukan pengkajian fisik pasien
2) Perawat membuat rencana pertemuan dengan pasien
3) Persiapan alat
1) Masker
2) Handscoon
3) Balon
4) Pulse oximeter (SpO2)
4) Persiapan perawat
1) Perawat cuci tangan
26

2) Perawat memakai masker


3) Perawat memakai handscoon
5) Persiapan lingkungan
1) Cukup cayaha
2) Terjaga privasi
3) Pasien merasa nyaman
3. Fase orientasi
Fase ini dimulai pertemuan dengan klien. Hal yang utama yang
perlu dikaji adalah alasan klien minta pertolongan yang akan
mempengaruhi terbinanya hubungan perawat-klien. Dalam memulai
hubungan, tugas utama adalah membina rasa percaya, penerimaan dan
pengertian komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak dengan klien.
Mengidentifikasi masalah, serta merumuskan tujuan bersama klien (Stuart
& Sundeen, 2005). Merumuskan tujuan interaksi dengan klien, penerapan
relaksasi pernapasan ballon blowing dengan tujuan untuk meningkatkan
saturasi oksigen pada pasien PPOK. Tindakan relaksasi pernapasan ballon
dilakukan dengan cara tarik napas secara maksimal melalui hidung (3-4
detik), ditahan selama 2-3 detik kemudian tiupkan ke dalam balon secara
maksimal selama 5-8 detik (sampai balon mengembang). Isirahat selama 1
menit untuk mencegah kelemahan otot, hentikan latihan jika pasien pusing
dan nyeri dada. Lakukan 3 kali dalam 1 set latihan (Tunika. dkk, 2017).
Pada fase orientasi, prosedur tindakan penerapan relaksasi
pernapasan ballon blowing yaitu :
1. Salam terapeutik
Mengucapkan salam, memperkenalkan diri, institusi, pendidikan, dan
tujuan penelitian.
2. Evaluasi dan validasi
Menanyakan nama, tanggal lahir, dan mencocokan dengan gelang
identitas pasien, serta menanyakan kabar dan keluhan yang dirasakan
pasien.
27

3. Informed concent
1. Menjelaskan tindakan penerapan relaksasi pernapasan ballon
blowing.
2. Menjelaskan tindakan penerapan relaksasi pernapasan ballon
blowing, tujuan, manfaat, waktu dan persetujuan pasien.
3. Memberikan kesempatan pasien untuk bertanya
4. Meminta persetujuan pasien
28

Intervensi keperawatan
Dalam mengatasi diagnosa bersihan jalan napas tidak efektif maka perawat mengacu kepada intervensi dan kriteria
hasil yang terdapat di SIKI dan SLKI, penulis juga melakukan 1 intervensi tambahan berdasarkan evidence base yang telah
penulis baca dari beberapa sumber ilmiah yang sudah dilakukan penelitian.

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Bersihan jalan napas Setelah di lakukan SIKI : Manajemen Jalan Napas
tidak efektif intervensi keperawatan
berhubungan dengan selama...x 24 jam Observasi
hipersekresi jalan diharapkan : 1. Monitor pola napas 1. Mengetahui keadaan

napas SLKI : Bersihan Jalan (frekuensi, kedalaman, usaha pola napas pasien

Gejala dan tanda Napas napas)


2. Monitor bunyi napas 2. Mengetahui bunyi
mayor Dipertahankan ke level
tambahan (mengi, whezzing, napas pada pasien
Data subjektif Ditingkatkan ke level
(tidak tersedia) Deskripsi level ronkhi kering)
3. Mengetahui banyaknya
Data objektif 1. Menurun 3. Monitor sputum (jumlah,
sputum pada pasien
1. Batuk tidak 2. Cukup menurun warna, aroma)
29

efektif 3. Sedang Teraupetik 1. Pengiriman oksigen


2. Tidak mampu 4. Cukup meningkat 1. Posisikan semi fowler atau dapat diperbaiki dengan
batuk 5. Meningkat fowler posisi duduk tinggi serta
3. Sputum berlebih Kriteria hasil mengurangi penekanan
4. Mengi, whezzing, 1. Batuk efektif1/2/3/4/5 diafragma
dan ronkhi kering 2. Pemberian minum
Gejala dan tanda Deskripsi level 2. Berikan minum hangat hangat dapat menurukan
minor 1. Meningkat spasme bronkus
Data subjektif 2. Cukup meningkat 3. Untuk membuang
3. Lakukan fisioterpi dada, jika
1. Dispnea 3. Sedang sekresi yang kental dan
perlu
2. Sulit bicara 4. Cukup menurun memperbaiki ventilasi
3. Orthopnea 5. Menurun pada segmen dasar paru
Data objektif Kriteria hasil 4. Oksigen tambahan dapat
4. Berikan oksigen
1. Gelisah 1. Produksi meningkatkan kadar
2. Sianosis sputum1/2/3/4/5 oksigen yang bersikulasi
3. Bunyi napas 2. Mengi 1/2/3/4/5 dan memperbaiki
menurun 3. Whezzing 1/2/3/4/5 intoleran aktivitas
4. Frekuensi napas 4. Dispnea 1/2/3/4/5
berubah 5. Ortopnea 1/2/3/4/5 5. Penerapan relaksasi 5. Untuk meningkatkan
30

5. Pola napas 6. Sulit bicara 1/2/3/4/5 pernapasan ballon blowing saturasi oksigen
berubah 7. Sianosis 1/2/3/4/5 Edukasi
8. Gelisah 1/2/3/4/5 1. Ajarkan teknik batuk efektif 1. Membantu pasien untuk
mengeluarkan dahak
Deskripsi level Kolaborasi secara maksimal
1. Memburuk 1. Kolaborasi pemberian 1. Merelaksasikan otot-otot
2. Cukup memburuk bronkodilator, jika perlu pada saluran pernafasan
3. Sedang sehingga proses bernapas
4. Cukup membaik menjadi lebih ringan dan
5. Membaik lancar
Kriteria hasil
1. Frekuensi
napas1/2/3/4/5
2. Pola napas 1/2/3/4/5
31

4. Fase interaksi
Pada tahap ini perawat bertanya kepada klien mengenai
keluhannya berkaitan dengan pelaksanaan asuhan keperawatan dan
memberikan kesempatan klien untuk bertanya sebelum tindakan dilakukan
dan setelah tindakan dilakukan evaluasi kerja dan di sampaikan kepada
klien. Untuk itu perawat harus benar-benar melakukan tahap ini dengan
baik, sehingga nilai kerja dan pendokumentasian akan lebih konkrit (Stuart
& Sundeen, 2005).
Relaksasi pernapasan ballon blowing adalah salah satu metode
untuk membantu otot intercosta mengelevasikan otot diafragma dan kosta.
Sehingga memungkinkan untuk menyerap oksigen, mengubah bahan yang
masih ada dalam paru dan mengeluarkan karbon dioksida dalam paru.
Meniup balon sangat efektif untuk membantu ekspansi paru sehingga
mampu mensuplai oksigen dan karbon dioksida yang terjebak dalam paru
pada pasien dengan gangguan fungsi pernapasan. Peningkatan ventilasi
alveoli dapat meningkatkan suplai oksigen, sehingga dapat dijadikan terapi
dalam peningkatan saturasi oksigen (Tunika. dkk, 2017).
Tindakan relaksasi pernapasan ballon dilakukan dengan cara tarik
napas secara maksimal melalui hidung (3-4 detik), ditahan selama 2-3
detik kemudian tiupkan ke dalam balon secara maksimal selama 5-8 detik
(sampai balon mengembang). Isirahat selama 1 menit untuk mencegah
kelemahan otot, hentikan latihan jika pasien pusing dan nyeri dada.
Lakukan 3 kali dalam 1 set latihan (Tunika. dkk, 2017).
Penelitian terdahulu relaksasi pernapasan ballon blowing :
a. Pelatihan relaksasi pernapasan ballon blowing untuk meningkatkan
saturasi oksigen ( Ni Made Yunica Astriani, Putu Agus Ariana, Putu
Indah Sintya Dewi, Mochamad Heri, Errick Endra Cita).
a) Tujuan : Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mitra dalam
teknik latihan nafas ballon blowing.
b) Metodologi : Penelitian ini menggunakan metode ceramah /
penyuluhan, tutorial dan demonstrasi latihan nafas ballon blowing.
32

c) Hasil : Rata-rata pengetahuan peserta sebelum dilakukan penyuluhan


adalah sebesar 65% sedangkan setelah dilakukan penyuluhan
meningkat menjadi 83% peningkatan tersebut dikarenakan kegiatan
penyulugan yang dilaksanakan sangat disesuaikan dengan peserta
penyuluhan. Kegiatan demonstrasi latihan nafas ballon blowing rata-
rata saturasi oksigen tertinggi adalah 99% dan terendah adalah 91%
dengan rata-rata saturasi oksigen sebesar 94,53%. Hasil keterampilan
warga tentang latihan nafas ballon blowing meningkat dari 55%
menjadi 80%.
b. Relaksasi pernafasan dengan teknik ballon blowing terhadap
peningkatan saturasi oksigen pada pasien PPOK (Ni Made Dwi Yunica
Astriani, Putu Indah Sintya Dewi, Kadek Hendri Yanti).
a) Tujuan : Untuk menambah wawasan dan pengetahuan kepada
peserta didik tentang pengaruh relaksasi pernafasan ballon blowing
terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK
b) Metodologi : penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dimana
subyek penelitiannya adalah pasien PPOK di RSUD Kabupaten
Buleleng, karena dalam penelitian memeberikan perlakuan atau
intervensi pada objek yang akan di teliti. Desain yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu one group pre-test dan post-test.
Melakukan pre test untuk mengetahui nilai saturasi oksigen pada
pasien PPOK sebelum diberikan teknik relaksasi pernapasan dengan
teknik ballon blowing. Setelah itu memberikan teknik relaksasi
pernapasan dengan teknik ballon blowing pada pasien PPOK 5-10
menit selama 4 minggu. Dilakukan post test untuk melihat
perubahan saturasi oksigen. Teknik sampling yang digunakan adalah
non-probality (total sampling) dengan jumlah sampel 30 orang
responden
c) Hasil : Penelitian ini menunjukan sebelum diberikan teknik ballon
blowing frekuensi saturasi oksigen terendah 86% dan saturasi
oksigen tertinggi 93%, setelah diberikan teknik ballon blowing rata-
33

rata terendah adalah 91% dan tertinggi 99%. Dari hasil penelitian ini
didapatkan bahwa terdapat perbedaan hasil saturasi oksigen amtara
sebelum dan sesudah pemberian relaksasi pernafasan dengan teknik
ballon blowing . sehingga dapat diartikan bahwa relaksasi pernafasan
dengan teknik ballon blowing berpengaruh terhadap peningkatan
saturasi oksigen.
c. Pengaruh pursed lip breathing dan meniup balon terhadap kekuatan otot
pernapasan, saturasi oksigen, dan respiratory rate pada pasien PPOK
(Junaidin, Yuliana Syam, Andi Masyitha Irwan).
a) Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pursed lip breathing
dan meniup balon.
b) Metodologi : Pencarian sistematis studi literatur ini melalui
penelusuran hasil publikasi ilmiah dengan rentang tahun 2010-2018
dalam bahasa Inggris dengan menggunakan detabase pubmed,
science Direct, Google Scholar dan Cochrane berdasarkan teknik
pencarian PICOT dalam studi literatur ini, kata kunci PICOT yang
digunakan adalah P (COPD “OR” Cronic Obstrutif pulmonary
disease), I (Purshed lip breathing) & (blowing ballons), (not purshed
lip breatingg), O (respiratory muscles), (ooxygen saturation),
(respiratory rate) dan T (-).
c) Hasil : Penelitian ini menunjukan sebelum diberikan teknik ballon
blowing frekuensi saturasi oksigen terendah 86% dan saturasi
oksigen tertinggi 93%, setelah diberikan teknik ballon blowing rata-
rata terendah adalah 91% dan tertinggi 99%. Dari hasil penelitian ini
didapatkan bahwa terdapat perbedaan hasil saturasi oksigen amtara
sebelum dan sesudah pemberian relaksasi pernafasan dengan teknik
ballon blowing . sehingga dapat diartikan bahwa relaksasi pernafasan
dengan teknik ballon blowing berpengaruh terhadap peningkatan
saturasi oksigen.
Berdasarkan penelitian diatas pada fase interaksi penerapan
relaksasi pernapasan ballon blowing maka dilakukan prosedur tindakan.
34

Prosedur penerapan relaksasi pernapasan ballon blowing :


1) Lakukan pengecekan saturasi oksigen sebelum dilakukan relaksasi
pernapasan ballon blowing.
2) Mengatur posisi pasien senyaman mungkin.
3) Rileksasikan tubuh, tangan dan kaki pasien.
4) Siapkan balon.
5) Pegang balon dengan kedua tangan yang atau satu tangan memegang
balon tangan yang lain rileks disamping kepala.
6) Tarik napas secara maksimal melalui hidung (3-4 detik), ditahan
selama 2-3 detik, kemudian tiupkan ke dalam balon secara maksimal
selama 5-8 detik (balon mengembang).
7) Tutup balon dengan jari-jari.
8) Tarik napas sekali lagi secara maksimal dan tiupkan lagi ke dalam
balon (ulangi prosedur nomor 6).
9) Lakukan 3 kali dalam i set latihan.
10) Istirahat selama 1 menit untuk mencegah kelemahan otot.
11) Sambil istirahat tutup balon / ikat balon yang telah mengembang.
12) Ambil balon berikutnya dan ulangi prosedur nomor 6.
13) Hentikan latihan jika pasien pusing dan nyeri dada
14) Catat saturasi oksigen setelah dilakukan relaksasi pernapasan ballon
blowing dan catat hasil pengukuran.
5. Fase terminasi
a. Evaluasi subjektif dan objektif
Menanyakan kepada klien bagaimana perasaanya setelah
dilakukan tindakan relaksasi pernapasan ballon blowing dan akan
dilakukan kembali tindakan tersebut.
b. Kontra waktu yang akan datang
Mengontrak kembali waktu pertemuan dengan pasien.
c. Rencana tindak lanjut
Anjurkan pasien untuk melakukan kemabli tindakan yang di
ajarkan.
35

BAB III
METODOLOGI PENULISAN
A. Rancangan Studi Kasus
Rancangan studi kasus pada penelitian ini adalah melakukan
penerapan relaksasi ballon blowing untuk meningkatkan saturasi oksigen
dengan pendekatan proses asuhan keperawatan pada pasien PPOK.
Pendekatan ini digunakan pada studi kasus ini yaitu prosedur tindakan yang
meliputi salam terapeutik, fase pra interaksi, fase orientsai, fase interaksi, dan
fase terminasi.
B. Subyek Studi Kasus
Subyek penelitian dalam relaksasi pernapasan ballon blowing pada
pasien PPOK ini adalah klien dengan diagnosa PPOK di Rumah Sakit X
Bengkulu. Jumlah subyek penelitian yaitu 2 orang pasien dengan minimal
perawatan selama 3 hari. Kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan pada
subyek penelitian ini yaitu:
1. Kriteria inklusi
a) Penderita PPOK
b) Penderita yang bersedia menjadi responden
2. Kriteria eksklusi
a) Penderita PPOK yang dirawat kurang dari 3 hari
b) Pasien dengan komplikasi
C. Fokus Studi Kasus
Fokus studi kasus ini yaitu upaya tindakan perawat dalam pemenuhan
kebutuhan oksigenasi pasien PPOK dengan inovasi penerapan relaksasi
pernapasan ballon blowing sebagai terapi untuk meningkatkan saturasi
oksigen pada pasien PPOK.
D. Batasan Istilah (Definisi Operasional)
Pada studi kasus ini yaitu relaksasi pernapasan ballon blowing
didefinisikan sebagai upaya tindakan perawat untuk meningkatkan saturasi
oksigen pada pasien PPOK dengan cara pasien meniup balon. Saat
36

melakukan teknik relaksasi pernapasan ballon blowing dapat


membantu otot intercosta mengelevasikan otot diafragma dan kosta (Tunika.
dkk, 2017).
Bersihan jalan napas tidak efektif adalah suatu kondisi dimana pasien
mengalami kesulitan bernafas karena adanya penumpukan sekret di jalan
napas.
PPOK adalah suatu penyakit pada sistem respirasi yang terjadinya
sumbatan secara kronis yang dialami oleh pasien.
E. Tempat dan Waktu
Lokasi studi kasus ini dilakukan di Rumah Sakit X Bengkulu. Studi
kasus ini dilaksanakan pada tahun 2021.
F. Pengumpulan Data
Studi kasus ini menggunakan sumber data primer dan sumber data
sekunder. Sumber data primer didapat langsung dari pasien dan keluarga,
sedangkan sumber data sekunder didapatkan dari rekam medis pasien untuk
melihat diagnosis yang keluar dan riwayat perjalanan penyakit pasien.
Metode yang digunakan pada studi kasus ini adalah metode:
a. Wawancara
Wawancara ini digunakan untuk mendapatkan data identitas
klien, keluhan utama yang dirasakan klien, penyebab klien masuk Rumah
Sakit, riwayat merokok, kondisi lingkungan tempat tinggal, pekerjaan
klien, dan kondisi lingkungan tempat kerja.
b. Observasi dan pemeriksaan fisik
Observasi ini digunakan untuk memperoleh data apakah pasien
mampu untuk melakukan penerapan relaksasi pernapasan ballon blowing
untuk meningkatkan saturasi oksigen pada pasien PPOK.
c. Studi dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan dengan mengambil data dari MR
(Medical Record), mencatat pada status pasien, mencatat hasil
laboratorium, melihat catatan harian perawat ruangan, mencatat hasil
pemeriksaan diagnostik.
37

d. Instrumen pengumpulan data


Alat atau instrumen data menggunakan form pengkajian, alat tulis
dan stetoskop.
G. Analisa Data dan Penyajian data
Analisis data dilakukan dengan menyajikan data hasil wawancara,
observas, pemeriksaan fisik, dan studi dokumentasi hasil laboratorium dalam
bentuk narasi. Selanjutnya data pengkajian yang berhasil di kumppulkan
tersebut akan dianalisis dengan membandingkannya terhadap pengkajian teori
yang telah di susun. Analisis data terhadap diagnosa keperawatan, intervensi
keperawatan, implementasi, serta evaluasi keperawatan yang dilaksanakan
pada studi kasus ini akan dianalisis dengan membandingkan antara hasil
dengan tahapan proses yang telah di uraikan pada tinjauan teori.
H. Etika Studi Kasus
Peneliti mempertimbangkan etik dan legal penelitian untuk
melindungi responden agar terhindar dari bahaya serta ketidaknyamanan fisik
dan psikologis. Ethical clearance mempertimbangkan hal-hal di bawah ini:
1. Self determinan
Dalam penelitian ini penulis memberikan kebebasan dan
kesempatan kepada responden untuk memilih, memutuskan, menolak,
dan bersedia untuk menjadi responden tanpa paksaan.
2. Tanpa nama (Anonymity)
Nama responden tidak dicantumkan dalam lembar pengumpulan
data. Penggunaan anonymity pada penelitian ini dilakukan dengan cara
menggunakan kode dan alamat responden pada lembar observasi dan
mencantumkan tanda tangan pada lembar persetujuan sebagai responden.
Peneliti menggunakan nama samaran (anonim) sebagai pengganti
identitas responden.
3. Kerahasiaan (Confidentially)
Pada studi kasus ini penulis menjamin kerahasiaan responden dan
tidak akan disebarluaskan. Semua informasi yang sudah didapat akan di
jaga dengan sebaik-baiknya.
38

4. Keadilan (Justice)
Dalam penelitian ini peneliti memperlakukan responden secara
adil, baik yang bersedia menjadi responden ataupun yang menolak
menjadi responden selama pengumpulan data tanpa adanya deskriminasi.
5. Asas kemanfaatan (Beneficiency)
Studi kasus ini memiliki 3 prinsip asas kemanfaatan yaitu bebas
penderitaan, bebas eksploitasi, dan bebas resiko. Bebas penderitaan yaitu
peneliti akan menjamin pasien tidak akan mengalami cedera atau hal
lainnya yang besifat fatal. Bebas eksploitasi dimana pemberian informasi
dari responden akan digunakan sebaik mungkin.Tujuan penelitian ini
adalah untuk menambah pengetahuan, dalam menerapkan relaksasi
pernapasan ballon blowing pada pasien PPOK.
6. Maleficience
Pada studi kasus ini peneliti tidak menimbulkan kerugian kepada
responden, peneliti akan menjamin kenyamanan, tidak akan menyakiti,
dan tidak akan membahayakan responden baik secara fisik maupun
psikologis.
39

Daftar Pustaka

WHO, 2019. Cronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).


Kementrian Kesehatan RI 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Kemenkes RI.
Diakes Januari 2019.
WHO.(2016), World Health Organization e-Journal Keperawatan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2018. Riskesdas (2018). Laporan
Nasional 2018.
Ikawati, Z.(2011). Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya.
(Anindya (ed)). Bursa Ilmu.
GOLD 2010. Global Strategy For The Diagnosis, Manajemen and Prevention Of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA : GOLD.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronikk
(PPOK), Diagnostik & Penatalaksanaan. Jakarta 2002.
Tunika. Dkk. 2017. Pengaruh Breathing Relaxtation dengan Teknik Ballon
Blowing Terhadap Saturasi Oksigen, Perubahan Fisiologis, Kecemasan
Pasien Dengan PPOK.
Pearce Evelyn C, 1979. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerbit
Gramedia, Jakarta : Cetakan ke empat puluh tiga. 2015.
Smeltzer dan Brenda E. Bare (2002). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8.
Volume 1. Jakarta : EGC.
Smeltzer, s. C. 2016. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart Edisi 12.
Jakarta : EGC.
Somantri, I. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : Salemba Mediaka.
Gold Intiative For Chronic Obstructive Lung Disease. 2018. Startegi Global
Untuk Diagnosis, Manajemen dan Pencegahan Kronis Merintangi Penyakit
Paru (2018 Laporan).
Stuart & Sudden. 2005. Buku Keperawatan (alih bahasa) ACHIR Yani S. Hamid.
Edisi 3. Jakarta : EGC.
40

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Jakarta. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator
Diagnostik Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai