Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tuberkulosis paru hingga sekarang masih menjadi suatu sumber masalah bagi
kesehatan, menjadi ancaman serius dikalangan masyarakat diseluruh dunia. Pengendalian
dari penyakit tuberkulosis dapat diperburuk dengan meningkatnya penyakit yang mampu
menurunkan imunitas tubuh manusia seperti HIV dan DM, kurangnya status gizi dan juga
meningkatnya penularan diusia anak-anak hingga usia produktif dan terjadinya resistensi
terhadap obat tuberkulosis (Multi Drug Resistance). Kemiskinan dan kurangnya pengetahuan
mengenai gejala serta penularan berbagai macam penyakit juga dianggap faktor penting yang
dapat meningkatkan resiko dari paparan penyakit seperti tuberkulosis (Rathauser et al, 2019).
Menurut World Health Association (2019) menyatakan bahwa ada 10.000.000 orang
sudah terkena Tuberkulosis parudi tahun 2018 dan ada 1.500.000 orang diantaranya sudah
dinyatakan meninggal dunia. Indonesia berada diperingkat kedua dari negara dengan kasus
orang menderita tuberkulosis paling banyak sedunia (WHO, 2019). Kasus tuberkulosis
ditemukan kurang lebih sebanyak 330.910 hanya dalam waktu satu tahun di Indonesia,
ditemukan provinsi jawa barat, jawa timur, menjadi jumlah kasus tertinggi dan jawa tengah,
dimana kejadian Tuberkulosis Paru pada ke-3 provinsi tersebut sebesar 38% dari semua
kejadian di indonesia (Widianingrum, 2018).
Asal mula kuman mycobacterium-tuberculosis menular lewat percikan air liur ketika
berbicara, batuk-batuk, bersin, kemudian basil mycobacterium tuberculosis tersebut
berterbangan melalui udara dan masuk kedalam suatu jaringan paru-paru orang sehat melalui
jalan nafas (droplet infection) hingga alveolus. Basil tubercle mencapai permukaan alveolus
ini membiasa proses dari inhalasi dan juga terdapat 1-3 unit basil, hal tersebut dapat
merangsang peningkatan sekresi (Rathauser et al, 2019).
Ketidak upayaan pasien dalam memobilisasikan sekresi yang mengakibatkan
menumpuknya suatu secret. Normal suatu secret pada jalan pernafasan akan bisa
diberhentikan dengan merubah posisi seperti batuk efektif. Pada saat pasien imobilise secret
yang terkumpul dijalan nafas akibat gaya tarik bumi dapat mengganggu proses dari disfusi
O2 dan CO2 didalam alveoli. Dan upaya batuk efektif guna mengeluarkan secret juga bisa
terhambat karena tonus otot-otot pernafasan yang melemah, hal tersebut menyebabkan
permasalahan yaitu bersihan jalan nafas. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas merupakan
ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau dengan cara obstruksi dari saluran
pernafasan untuk mempertahankan kebersihan pada jalan nafas (NANDA, 2018).
Penatalaksanaan dari tuberkulosis itu sendiri dapat dibagi menjadi penatalaksanaan medis
dan keperawatan. WHO berhasil menimbulkan strategi upaya penanggulangan terkait
penyakit tuberkulosis yaitu berupa DOTS (Direct Observed Treatment Short). DOTS
berfokus sebagai alat penemu dan pengobatan penyakit tuberkulosis, prioritas hanya
diberikan untuk klien tuberkulosis tipe menular. Strategi DOTS berupaya memutus rantai
suatu penularan penyakit tuberkulosis paru dan menurunkan insidensi tuberkulosis paru
didalam masyarakat. Menemukan kemudian menyembuhkan klien tuberkulosis terlebih
dahulu adalah cara unggul sebagai upaya pencegahan penularan penyakit tuberkulosis paru.
(World Health Organization, 2019).
Tujuan penanganan penyakit tuberkulosis paru dalam waktu lama sebagai penurunangka
sakit dan mati yang akibat dari penyakit tuberkulosis. Penanggulangan dilakukan dengan cara
memberikan asuhan keperawatan yang efektif sesuai diagnosa keperawatan pasien.
Harapannya tidak terulang menjadi faktor kesehatan bagi pasien. Berdasarkan data di atas,
maka penulis tertarik untuk menyusun sebuah Laporan Tugas dengan judul “Asuhan
Keperawatan pada klien Ny. S dengan TB Paru di Ruang Edelweis RS IMC BINTARO” agar
dapat meminimalkan angka kejadian TB Paru, mengetahui secara nyata pelaksanaan asuhan
keperawatan serta sekaligus sebagai salah satu Laporan Tugas pada program stase KMB
STIKes IMC BINTARO.

1.2 Tujuan penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan Laporan Tugas pada stase KMB ini adalah mendapatkan
gambaran dan pengalaman nyata tentang penerapan asuhan keperawatan pada Ny. S
dengan diagnosis TB Paru diruang Edelweis RS IMC BINTARO.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Diharapkan mampu memahami dan mengenal konsep dasar teori dari penyakit TB
Paru.
2. Melakukan asuhan keperawatan mulai dari proses pengkajian sampai dengan evaluasi
dengan diagnosis TB Paru.
3. Mampu mendokumentasikan semua tindakan yang dilakukan dalam merawat pasien
dengan TB Paru.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Penyakit


2.1.1 Anatomi Fisiologi Penyakit
Sistem pernapasan pada manusia di bagi menjadi beberapa bagian salauran
penghantar udara dari hidung hingga mencapai paru-parusendiri meliputidua bagian yaitu
saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah (Ardiansyah, 2018).
1. Saluran Pernapasan Bagian Atas (Upper Respiratory Airway)
Saluran umum, fungsi utama dan saluran pernapasan atas adalah saluran udara (air
circulation) menuju saluran napas bagian bawah untuk pertukaran gas, melindungi
(protecting) saluran napas bagian bawah dari benda asing, dan sebgai penghangat,
penyaring, serta pelembab (warning fibriation amd humidifiation) dari udara yang
dihirup hidung. Saluran pernapasan atas ini terdiri dari organ organ berikut:
a. Hidung (cavum nasalis)
Rongga hidung di lapisi sejenis selaput lender yang sangat kaya akan pembuluh
darah. Rongga inibersambung dengan lapisan faring dan selaput lender sinus yang
mempunyai lubang masuk kedalam rongga hidung.
b. Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala. Nama sinus
paranasalis sendiri di sesuaikan dengan nama tulang dimana organ itu berada.
Organ ini terdiri dari sinus frotalis, sinus etmoidalis, sinus spenoidalis, dan sinus
maksilaris. fungsi dari sinus adalah untuk emmebantu menghangatkan dan
melembabkan udara manusia dengan ruang resonansi.
c. Faring (Tekak)
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tenglorak sampai
persambungannya dengan esophagus. Pada ketinggian tulang rawan krikoid. Oleh
karena itu letak faring di belakang laring (larynx pharyngeal).
d. Laring (Tenggorokan)
Laring terletak di depan bagian terendah faring yang memisahkan faring dan
columna vertebrata. laring merentang sebagai bagian atas vetebrata servikals dan
masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring terdiri atas kepingan tulang rawan
yang diikat/disatukan oleh ligament dan membrane (Ardiansyah, 2018).
2. Saluran Pernapasan Bagian Bawah (Lower Airway)
Ditinjau dari fungsinya secara umuj saluran pernapasan bagian bawah terbagi
menjadi dua komponen. Pertama, saluran udara kondusif atau yang seiring di sebut
sebagai percabangan dari trakeobronkialis. Saluran ini terdiri atas trakea. Bronki, dan
bronkioli. Kedua saluran respiratorius terminal (kadang kala disebut dengan acini)
yang merupakan saluran udara konduktif dengan fungsi utamanya sebagai penyalur
(Konduksi) gas masuk dan keluar dari saluran respiratorius terminal merupakan
pertukaran gas yang sesunggahnya. Alveoli sendiri merupakan bagian dari satuan
respiratorius terminal.
a. Trakea Trakea atau batang tenggoroakan memiliki panjang kira-kira 9 cm. Organ
ini merentang laring sampai kira-kira di bagian atas vetebrata torakalis kelima.
Dari tempat ini, trakea bercabang menjadi dua bronkus (bronchi). Trakea tersusun
atas 16-20 lingkaran tak lengkap, berupa cincin-cincin tulang rawan yang
disatukan bersama oleh jaringan fibrosa dan melengkapi lingkaran sebelah
belakang trakea . selain itu, trakea juga memuat beberapa jaringan otot.
b. Bronkus dan Bronkeoli
Bronkus yang terbentuk dari belahan dua trakea pada tingkatan vetebrata torakalis
kelima, mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh sejenis sel
yang sama. Bronkus-bronkus itu membentang kebawah dan kesamping, kea rah
tampuk paru. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri,
sedikit lebihtinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkansebuah cabang
utamaleawat dibawah arteri, yang disebut bronkus lobus bawah. Bronkus kiri
lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan serta merentang di bawah arteri
pulmonalis sebelum akhirnya terbelah menjadi beberapa cabang menuju ke lobus
atas dan bawah. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabanglagi menjadi
bronkus lobaris dan kemudian menjadi lobus sementalis. Percabangan ini
merentang terus menjadi bronkus yang ukuranya semakin kecil, sampai akhirnya
menjadi bronkhiolis terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis memiliki garis
tengah kurang lebih 1 mm. Bronkeolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan,
tetapi di kelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh
saluran udara kebawah sampai tingkat bronkhiolus terminalis disebut saluran
penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
c. Alveolus
Alveolus (yaitu tempat pertukaran gas sinus) terdiri dari bronkiolus dan
respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil dan alveoli pada
dindingnya. Alveolus adalah kantung berdinding tipis yang mengandung udara.
Melalui seluruh dinding inilah terjadi pertukaran gas. Setiap paru mengandung
sekitar 300 juta alveoli. Lubang-lubang kecil didalam dinding alveolar
memungkinkan udara melewati satu alveolus yang lain. Alveolus yang melapisi
rongga toraks dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.
d. Paru-Paru
Bagian kiri dan kanan paru-paru terdapat rongga toraks. Paru-Paru yang juga
dilapisi pleura. Didalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi
untuk lubrikn. Paru kanan dibagi atas tiga lobus, yaitu lobus superior, lobus
medius, dan lobus inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastic yang
mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar,
sakkus alveolar, dan alveoli. Diperkirakan, setiap paru-paru mengandung 150 juta
alveoli sehingga organ ini mempunyai permukaan yang cukup luas sebagai tempat
permukaan/pertukaran gas.
e. Toraks, Diagfragma, dan Pleura Rongga toraks berfungsi melindungi paru-paru,
jantung dan pembuluh darah besar. Bagian rongga toraks terdiri atas 12 iga costa.
Pada bagian atas toraks di daerah leher, terdapat dua otot tambahan untuk proses
inspirasi, yakni skaleneus dan stenokleidomastoideus. Otot sklaneuas menaikan
tulang iga pertama dan kedua selama inspirasi untuk memperluas rongga dada
atas dan menstabilkan dinding dada. Otot sternokleidomastoideus berfungsi untuk
mengangkat sternum. Otot parasternal, trapezius, dan pektoralisjuga merupakan
otot untuk inspirasi tambahan yang berguna untuk meningkatkan kerja napas.
Diantara tulang iga terdapat ototinterkostal. Otot interkostal eksternum adalah otot
yang menggerakan tulang iga ke atas dan kedepan, sehingga dapat meningkatkan
diameter anteroposterior dari dinding dada. Diagfragma terletak dibawah rongga
toraks. Pada keadaan relaksasi, diagfragma ini berbentuk kubah. Mekanisme
pengaturan ototdiagfragma (nervus frenikus) terdapat pada tulang belakang
(spinal cord) di servikal ke-3 (C3). Oleh karena itu jika terjadi kecelakaan pada
saraf C3, maka ini dapat menyebabkan gangguan ventilasi. Pleura merupakan
membrane serosa yang menyelimuti paru. Terdapat dua macam pleura, yaitu
pleura parietal yan melapisi rongga toraks dan pleura visceral yang menutupi
setiap paru-paru.
Di antar kedua pleura tersebut terdapat cairan pleura menyerupai selaput tipis
yang memungkinkan kedua permukaan tersebut bergesekan satu sama lain selama
respirasi, sekaligus mencegah pemisah toraks dan paruparu. Tekanan dalam
rongga pleura lebih rendah daripada tekanan atmosfer, sehingga mencegah
terjadinya kolaps paru. Jika pleura bermasalah, misalnya mengalami peradangan,
maka udara cairan dapt masuk kedalam rongga pleura. Hal tersebut dapat
menyebabkan paru-paru tertekan dan kolaps (Ardiansyah, 2018).
3. Fisiologi pernapasan
Proses fisiologi pernapasan dimana oksigen dipindahkan dari udara kedalam jaringan-
jaringan dan CO2 di keluarkan ke udara (ekspirasi), yaitu stadium pertama dan
stadium kedua.
a. Stadium Pertama
Stadium pertama di tandai dengan fase ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-
gas ke dalam dan keluar paru-paru. Mekanisme ini di mungkinkan karena ada
selisih tekanan antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot.
b. Stadium Kedua
Transportasi pada fase ini terdiri dari beberapa aspek yaitu:
1) Disfusi gas antara alveolus dan kapiler pzru-pzru (respirasi eksternal) serta
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan.
2) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan penyesuaianya dengan
distribusi udara dalam alveolus.
3) Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah respimi attau
respirasi internal merupakan stadium akhir darirespirasi, dimana oksigen
dioksida untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah
dari proses metabolisme sel dan keluarkan oleh paru-paru.
4) Transportasi adalah tahap kedua dari proses pernapasan yang mencakup
proses pernapasan yang mencakup proses difusi gasgas melintasi
membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5 mm).
kekuatan mendorong untuk pemindahan ini di peroleh dari selisih tekanan
persial antara darah dan fase gas.
5) Perfusi adalah pemindahan gas secara efektif antar alveolus dan kapiler
paru-paru yang membutuhkan distibusi merata dari udara dalam paru-paru
yang membutuhkan distribusi merata darinudara dalam paru-paru dan
petfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan kata lain, ventilasi dan perfusi
dari unit pulmonary yang sudah sesuai dengan orang normal pada posisi
tegak dan keadaan istirahat, maka ventilasi dan perfusi hamper seimbang,
kecuali pada apeks paru-paru.

2.1.2 Definisi penyakit


Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa). Penyakit ini masih menjadi masalah
kesehatan global. Diperkirakan sepertiga dari populasi dunia sudah tertular TB paru,
dimana sebagian besar penderita TB paru adalah usia produktif (15-50 tahun) (Dewanti,
2020). Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Tuberculosis bisa menyerang bagian paru-paru dan dapat menyerang semua bagian tubuh
(Puspasari, 2019).
Tuberkulosis paru (TBC) merupakan bakteri berupa batang yang tahan asam alkohol
(acidalcoholfastbacillus/AAFB) Mycobacterium tuberkulosis yang utama menembus
paru, usus, dan juga kelenjar getah bening (Sutanto & Fitriani, 2017). Penyakit
tuberkulosis paru yaitu suatu penyakit dari basil kecil tahan terhadap asam dinamakan
mycobacterium tuberculosis yang dapat menular melalui bersin batuk air ludah dari
penderita tuberkulosis keorang yang dinyatakan sehat.
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari
kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sumber penularan adalah
pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Pasien TB
dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Infeksi
akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak
yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Kementerian Kesehatan RI, 2016).

2.1.3 Etiologi / Faktor Resiko


Tuberculosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyebarannya
melalui batuk atau bersin dan orang yang menghirup droplet yang dikeluarkan oleh
penderita. Meskipun TB menyebar dengan cara yang sama dengan flu, tetapi
penularannya tidak mudah. Infeksi TB biasanya menyebar antar anggota keluarga yang
tinggal serumah. Akan tetapi seseorang bisa terinfeksi saat duduk disamping penderita di
dalam bus atau kereta api. Selain itu, tidak semua orang yang terkena TB bisa
menularkannya (Puspasari, 2019). TB disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, memiliki dinding lemak yang tebal, tumbuh
lambat, tahan terhadap asam dan alcohol, sehingga sering disebut basil tahan asam
(BTA). Kuman ini memasuki tubuh manusia terutama melalui paru-paru, namun dapat
juga lewat kulit, saluran kemih, dan saluran makanan (Sofro, dkk, 2018).
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri dinamakan Mycobacterium Tuberculosis,
Jenis bakteri ini berbentuk seperti batang amat kecil panjang ukuran 1-4/um dan tebalnya
0,3-0,6/um (Guyton & Hall, 2016). Mycobacterium Tuberculosis termasuk bakteri
sifatnya aerob kemudian kuman tersebut menyerang jaringan yang mempunyai
konsentrasi tinggi terhadap oksigen termasuk paru-paru. Tuberkulosis paru merampak
parenkim paru melalui droplet batuk, bersin dan pada saat berbicara kemudian
berterbangan melalui udara dari penderita ke orang lain. Kuman Mycobacterium
Tuberculosis berupa batang, dan bersifat mampu bertahan terhadap pewarnaan atau asam,
maka dari itu dinamakan basil tahan asam atau disingkat (BTA) (Angelina, 2016).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Bukti gejala tuberkulosis dibagi 2 (dua) golongan seperti gejala sistemik dan
gejala respiratorik (Inayah & Wahyono, 2018).
1. Gejala sistemik.
a. Badan Panas
Tuberkulosis paru gejala pertamanya kadang kala muncul suhu meningkat dikit
disiang hingga disore hari. Badan suhu meningkat menjadi makin tinggi apabila
prosess jadi progresif kemudian penderita merasakan badannya menjadi hangat
atau wajahnya panas.
b. Badan Kedinginan/menggigil
Badan merasa dingin terjadi apabila suhu fisik akan naik secara kilat, tetapi tidak
ada panas dengan angka sama dapat menjadi reaksi umum lebih kuat.
c. Peluh dimalam hari
Peluh malam bukan salah satu gejala patognomonis dari penyakit TB paru. Tetapi
peluh malam pada umumnya akan timbul jika proses sudah lanjut, kecuali
penderita dengan vasodilation labil, peluh malam juga bisa muncul lebih awal.
tachycardia dan kliyengan hanya muncul apabila disertai panas.
d. Malaise
Lantaran penyakit Tuberkulosis paru sifatnya radang menahun, maka penderita
akan merasakan badan sakit tidak enak dirasakan, nafsu makan berkurang, pegal
linu,badan semakin kurus, kliyengan, dan gampang capek.
2. Gejala Respiratorik
a. Batuk-batuk
Batuk awal mulai muncul jika proses dari penyakit TBC sudah mengena
bronkeolus, selanjutnya mengakibatkan peradangan bronkeolus, dan batuk menjadi
aktif. Kemudian bermanfaat sebagai pembuang produk pengeluaran dahak yang
meradang tersebut.
b. Sekret
Sesuatu yang sifatnya mukoid membuntangi paru-paru dan keluar dengan jumlah
sedikit, kemudian akan menjelma seperti muko purulen berwarna kuning atau hijau
sampai purulen tersebut mengalami perubahan dengan tekstur kental jika secret
telah terbentuk menjadi lunak atau seperti keju.
c. Nyeri pada dada
Nyeri dadakan muncul jika sistem syaraf yang ada dalam parietal sudah mengenai,
gejala yang dirasakan sifatnya domestik.
d. Ronchii
Satu hasil pemeriksaan yang tersiar bunyi tambahan seperti suara gaduh terutama
pada saat penderita ekspirasi disertai adanya sekret pada pernafasan.

2.1.5 Patofisiologi
Penyakit tuberkulosis paru ditularkan melalui udara secara langsung dari
penderita penyakit tuberkulosis kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit
tuberkulosis terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular
(terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang sama.
Penyebaran penyakit tuberkulosis sering tidak mengetahui bahwa ia menderita sakit
tuberkulosis. Droplet yang mengandung basil tuberkulosis yang dihasilkan dari batuk
dapat melayang di udara sehingga kurang lebih 1 - 2 jam tergantung ada atau tidaknya
sinar matahari serta kualitas ventilasi ruangan dan kelembaban.
Dalam suasana yang gelap dan lembab kuman dapat bertahan sampai 9 berhari-
hari bahkan berbulan-bulan. Jika droplet terhirup oleh orang lain yang sehat, maka
droplet akan masuk ke system pernapasan dan terdampar pada dinding system
pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran pernapasan bagian atas,
sedangkan droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus manapun, tidak ada
predileksi lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil
tuberkulosis akan membentuk suatu focus infeksi primer berupa tempat pembiakan basil
tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan memberikan reaksi inflamasi.
Setelah itu infeksi tersebut akan menyebar melalui sirkulasi, yang pertama
terangsang adalah limfokinase yaitu akan dibentuk lebih banyak untuk merangsang
macrofage, sehingga berkurang atau tidaknya jumlah kuman tergantung pada jumlah
macropag. Karena fungsi dari macrofag adalah membunuh kuman atau basil apabila
prosesini berhasil dan macrofag lebih banyak maka klien akan sembuh dan daya tahan
tubuhnya akan meningkat. Apabila kekebalan tubuhnya menurun pada saat itu maka
kuman tersebut akan bersarang di dalam jaringan paru-paru dengan membentuk tuberkel
(biji-biji kecil sebesar kepala jarum). Tuberkel lama-kelamaan akan bertambah besar dan
bergabung menjadi satu dan lama-lama akan timbul perkejuan di tempat tersebut. Apabila
jaringan yang nekrosis tersebut dikeluarkan saat penderita batuk yang menyebabkan
pembuluh darah pecah, maka klien akan batuk darah (hemaptoe) (Djojodibroto, 2016)
2.1.6 Patoflow penyakit

Mycobacterium Tuberculosis paru

Alveolus

Respon geram

Leukosit Memfagosit meriang Pencopotan BenihTuberkel Dari


Bacteri Benteng Kavitas

Leukosit Digantikan
Trakeobronkial,
Oleh Makrofag
Ketidakefektifan Bersihan
Makrofag mengadakan Jalan Napas PenimbunanSekret
infiltrasi

Terbentuk Sel tuberkel Batuk Anoreksia, mual,


epiteloid muntah,

Nekrosis Kaseosa nyeri secret

Granulasi Resiko Tinggi Gangguan Keseimbangan Nutrisi


Penyebaran Infeksi Kurang Dari Kebutuhan
Jaringan Parut Kolagenosa

Kerusakan Membran Sesak Gangguan Pola Tidur


Napas
Alveolar

Gangguan Inadekuat O2 beraktivitas


Pertukaran Gas
(Amin & Hardhi, 2016)

Intoleransi aktivitas
2.1.7 Macam Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan (Puspasari, 2019) :
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit
1. Tuberculosis paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru dan tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberculosis ekstra paru adalah TB yang menyerang organ tubuh selain paru
seperti pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1. Klien baru TB, yakni klien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis).
2. Klien yang pernah diobati TB, yakni klien yang sebelumnya pernah menelan OAT
selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
3. Klien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir :
a) Klien kambuh, yaitu klien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologi atau klinis.
b) Klien yang diobati kembali setelah gagal, yaitu klien TB yang pernah diobati
dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Klien yang diobati kembali setelah putus obat, yakni klien yang telah berobat
dan putus obat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d) Lain-lain, yaitu klien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
1. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.
2. Poli resistan (TB RR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Insoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
3. Multidrug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan.
4. Extensive drug resistan (TB XDR): TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan.
5. Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotype atau
metode fenotipe.
d. Klasifikasi klien TB berdasarkan status HIV
1. Klien TB dengan HIV positif
2. Klien TB dengan HIV negative
3. Klien TB dengan status HIV tidak diketahui.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pengamatan fisik beserta cara anamnesa
2. Cek Lab darah rutin untuk mengetahui LED normal atau terjadi peningkatan.
3. Test photo thoraks PA&lateral. Hasil photo thoraks ada gambaran penunjang
designation tuberkulosis, yaitu :
a. Terdapat gambaran lesi yang terletak diarea paru-paru atau bagian
apikal lobus bagian dasar.
b. Terdapat gambaran berawan dan berbintik atau bopeng.
c. Terdapat adanyaa kavisitas satu atau dobel.
d. Terdapat kecacatan pada bilateral, pertama diarea arah paru-paru.
e. Terdapat adanya suatu kategorisasi.
f. Setelah melakukan photo kembali sebagian minggu akan datang
hasilnya terdapat gambaran masih tampak menetap.
g. Adanya bayangan milier
4. Pemeriksaan sputum Basil Tahan Asam
Suatu cara untuk memastikan diagnosis tuberkulosis paru, akan tetapi
pemeriksaan tidak sensitif yaitu hanya 30-70% penderita TBC yang terdiagnosis
hanya berdasarkan pemeriksaan sputum BTA.
5. Tes Peroksidase Anti Peroksidase
Cara untuk menguji serologi dari imunoperoksidase dengan memakai alat
histogen imunoperoksidase staning untuk menentukan ada tidaknya IgG
bersifat spesifik terhadap suatu basil Tuberkulosis.
6. Tes mantoux atau tuberkulin
7. Teknik PCR (polymerase chain reaction)
Mendeteksi DNA kuman Mycobacterium Tuberculosis secara spesifik
melalui aplifikasi dengan berbagai tahap sehingga mampu mendeteksi
meskipun hanya ada-1 mikro organisme didalam spesimen. Dan juga dapat
mendeteksi adanya retensi adanya TB.
8. Becton Dickinson Diagnostik Instrumen System (BACTEC)
Mendeteksi dengan cara grouth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan
dari suatu metabolisme asam lemak oleh Mycobacterium Tuberculosis.
9. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELIA)
Mampu mendeteksi respon humoral yang memakai antigen atau anti body yang
terjadi. Cara pelaksanaannya cukup rumit dan antibodynya dapat menetap diwaktu
lama sehingga dapat menimbulkan masalah (Brunner & Suddarth, 2016).

2.1.9 Penatalaksanan Keperawatan/Medis

Ada fase metode penyembuhan tuberkulosis yaitu fase mendalam semasa (2


sampai 3 bulan) dalam fase susulan hingga 4 atau 7 candra. Perpaduan obat yang
dipakaiyaitu perpaduan obat pertama dan pula obat susulan(Guyton & Hall, 2016).
Obat pertama yang dipakai dalam terapi Tuberkulosis Paru celah lain menjadi berikut:
1. Obat rifampisin
Rifampisin sediaan obtatnya 10 mg/kg berat badan, maks 600mg 2- 3
x/minggunya (berat badan lebih 60kg sampai 600 mg, berat badannya 40-60 kg
sampai 450 mg, berat badan <40 kg sampai 300 mg,dosisintermediation yaitu 600
mg/x). Obat rifampisin mampu mengakibatkan air seni/kencing berwarna merah,
peluh, air mata, dan selera. Proses metabolisme yang memproses air seni berwarna
merah dan termasuk obat yang tidak berbahaya. Hal tersebut harus diinfokan kepada
pengidap supaya dipahami dan tidak perlu dikhawatirkan. Efek samping ringan
hanya perlu penyembuhan sistematis ialah :
a. Syndrome influenza seperti panas kedinginan bahkan nyeri tulang
b. Syndrome perut dirasakan sepertimulas, mual, taknafsu santap, muntah,
kadang kala berak air.
c. Syndrome kulit dirasakan seperti terasa renyem dan kebiraman.
2. Isoniazid(INH)
Dosis yang diberikan untuk obat INH adalah 5 mg/kg berat badan, maximal 300mg,
10 mg/kg berat badan 3x/seminggunya, 15 mg/kgBB 2x/1 minggu atau (300 mg/hari untuk
orang cukup umur. lntermiten : 600 mg/kali). Efek samping ringan muncul tanda terjadi
keracunan syaraf tepi,kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeriotot. Efek sampingnya bisa
dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100mg/hari dengan vitamin
Bkompleks. Pada suasana tersebut penyembuhan bisa dijalankan. Abnormalitas lain ialah
menyamai syndrom pelagra Efek samping berat bisa berupa hepatitis yang mungkin
muncul kurang lebihnya 0,5% pengidap. Jika terjadi hepatitis dampak obat,
Hentikan OAT dan penyembuhan sinkron dengan arahan tuberkulosis pada suasana
privat.

3. Pirazinamid

Obat ini digunakan pada saat faseintensif 25mg/kg berat badan, 35mg/kg berat
badan 3x/semingggunya, 50 mg/kg berat badan 2 x/satu mingggu atau: berat badan
lebih 60 kg :1500 mg, berat badan 40-60 kg:1000mg, berat badan kurang
40kg :750mg. Efek samping pertamanya hepatitis dampak obat jika
penatalaksanaan menurut arahan tuberkulosis disuasana privat. Nyeri persendian
dirasakan bisa diberikan aspirin dan kadang kala dapat mengakibatkan serbuan
arthritis Gout, hal itu barang kali diakibatkan oleh terbatasnya ekskresi dan
pengumpulan asam urat. Kadang kala timbul reaksi seperti: panas dingin, meluah,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Streptomisin
Pada obat streptomisin ini diberikan dosis 15mg/kg berat badan /(BB lebih 60 kg
sampai 1000 mg, BB nya 40-60 kg= 750 mg, BB kurang 40 kg = sesuai berat
badan). Efek samping yang pertama dapat terjadi keburukan pada syaraf kedelapan
yang berangkaian pada kesepadanan dan pendengaran. Efek lainya ini akan
melonjak seiring dengan tingkat dosis yang digunakan dan berdasarkan usia
pengidap.
5. Etambutol
Untuk obat ini diberikan fase intensif dengan dosis 20mg/kg BB, fase lanjut
15mg/kg berat badan, 30mg/kg berat badan 3x/seminggunya, 45 mg/kg berat badan
2x/seminggu atau : (BB lebih 60kg : 1500 mg, berat badan 40-60 kg : 1000 mg,
berat badan kurang 40kg : 750 mg, Dosis intermiten 40 mg/kg BB/ kali). Etambutol
juga mengakibatkan terganggunya pandangan berupa kurangnya ketajaman
penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung dosis yang digunakan, ronggang terjadi bila
dosisnya 15-25mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB diberikan 3 x/seminggu.
Gangguan pendangan bisa normal lagi setelah seputar minggu obat diperhentikan.
Dianjurkan etambutol tak dikasihkan untuk anak-anak akibat risiko keburukan
okuler dan sulit dideteksi (Guyton & Hall, 2016).

2.1.10 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penyakit TB paru, menurut (Puspasari, 2019) antara lain :
1. Nyeri tulang belakang.
Nyeri punggung dan kekakuan adalah komplikasi tuberculosis yang umum.
2. Kerusakan sendi.
Atritis tuberculosis biasanya menyerang pinggul dan lutut.
3. Infeksi pada meningen (meningitis).
Hal tersebut dapat menyebabkan sakit kepala yang berlangsung lama atau intermiten
yang terjadi selam berminggu-minggu.
4. Masalah hati atau ginjal.
Hati dan ginjal memiliki fungsi membantu menyaring limbah dan kotoran dari aliran
darah. Apabila terkena tuberkulosis maka hati dan ginjal akan terganggu.
5. Gangguan jantung.
Hal tersebut bisa jarang terjadi, tuberculosis dapat menginfeksi jaringan yang
mengelilingi jantung, menyebabkan pembengkakan dan tumpukan cairan yang dapat
mengganggu kemampuan jantung untuk memompa secara efektif.

2.2 Asuhan Keperawatan secara Teoritis


2.2.1 Pengkajian
1) Tujuan
Melakukan pengkajian atau anamnesis untuk membuat sekumpulan suatu
penjelasan dari subyektif didapatkan dari klien mengenai kasus kesehatan yang
dialami klien hingga melaksanakan anjangsana kepelayanan kesehatan (Manurung,
2018). Identitas klien yang harus di teliti meliputi:
a. Identitas pasien dan tempat tinggal pasien
b. Gender : penyakit tuberkulosis paru dapat menyerang laki-laki dan perempuan.
c. Usia pasien
d. Pekerjaan: kesibukan pasien
e. Pengkajian riwayat keperawatan
2) Riwayat kesehatan sekarang
Sebagai pendukung keluhan utama. melakukan pertanyaan yang ringkas dan padat
sehingga klien hanya menjawab dengan logat “iya” atau “nggak” atau hanya
menganggutkan kepala dan menggeleng.
a. Riwayat kesehatan sebelumnya
Sebagai pendukung dalam meneliti apakah pasien sebelumnya klien sempat
mengidap penyakit Tuberkulosis paru atau penyakit lain yang membebani
penyakit Tuberkulosis paru.
b. Riwayat kesehatan keluarga
Menurut pathology penyakit Tuberkulosis paru tak dijatuhkandari riwayat sakit
keluarga, namun juga butuh ditanyakan apakah dari anggota keluarga lainnya
pernah mengalami Tuberkulosis paru.
c. Riwayat tumbuh kembang:
Abnormalitas fisik atau kemendalaman tumbuh kembang seseorang dapat
mengakibatkan suatu kondisi penyakit semacam gizi buruk.
d. Riwayat sosial ekonomi
Menggali kegiatan klien dalam bersosial dilingkungan rumah barang kali klien
menyukai berkumpul orang sekitarnya, lantaran banyaknya orang yang terinfeksi
Tuberkulosis paru bermula dari pemukiman kumuh atau perumahan yang
padat.
e. Riwayat psikologi
Melihat klien Tuberkulosis apakah dirinya dapat menghadapi dan menerima
penyakitnya. Dapat dilihat tingkah laku dan kepribadiannya ketika dirawat di
RS, karena mungkin saja penderita tuberkulosis paru merasa bahwa penyakitnya
seperti aib dan kawatir akan dikucilkan oleh keluarga dan orang-orang sekitar
karena penyakitnya yang menular.

2.2.2 Anamnesa
Data-data yang telah dikumpulkan tersebut harus bisa menggambarkan dua hal
yaitu status kesehatan pasien, kekuatan pasien dan masalah kesehatan yang
dialaminya. Untuk bisa mlakukan pengkajian diperlukan sebuah keahlian-keahlian
(skill) seperti wawancara, pemeriksaan fisik dan observasi. Hasil pengumpulan data
kemudian diklarifikasikan dalam data subjektif dan observatif. Data subjektif adalah
data yang didapatkan dari keterangan-keterangan pasien, yang berupa ungkapan atau
persepsi dari pasien. Sedangkan data objektif merupakan data yang didapatkan dari
hasil observasi, pengukuran dan pemeriksaan fisik.

2.2.3 Pemeriksaan fisik


1. Keadaan Umum
Pemeriksaan pada pasien dengan tuberkulosis pada parudapat dilakukan
secara umum memonten keadaan fisik disetiap badan pasien untuk mengatahui
kondisi pasien secara umum. Kemudian perlu juga menilai tingkat kesadaran
pasien yang terdiri dari composmentis, apatis, somnolen, isopor, soporokoma,
atau koma. Hasil pengkajian TTV pada penderita tuberkulosis paru ditemukan
adanya kenaikan suhu tubuh secara cepat, dan frekuensi nafas menjadi naik
jika disertai sesak saat bernafas, denyut nadinya mungkin saja naik seirama
dengan kenaikan dari suhu badan dan frekuensi pernafasan atau TD biasanya
sesuai apabila mempunyai penyakit bawaan seperti hipertensi (Margareth TH,
2015).
2. Pemeriksaan Head to toe
a. Pemeriksaan kulit kepala
Tujuan : Supaya memahami kondisi turgor kulit dan permukaan kulit pada kepala,
serta mengidentifikasi adanya luka atau lesi
Inspeksi : Memeriksa adakah luka, bengkak, dan karakteristik rambut termasuk
warna serta apakah ada kerontokan rambut
Palpasi : Meraba kulit kepada untuk memahami modisi turgor kulit pada kepala,
permukaan dan suhu kulit
b. Pemeriksaan Rambut
Tujuan : Melihat warna, percabangan & tekstur rambut guna mengidentifikasi
kekuatan rambut dan kebersihan rambut
Inspeksi : Lihat kerataan rambut, kotor dan bercabang atau tidak.
Palpasi : Gampang rontok/tidak, tektur kasar/halus.
c. Pemeriksaan wajah
Tujuan : Mengidentifikasi fungsi dan bentuk kepala, serta menlihat kelainan dan
luka pada kepala
Inspeksi : Mengetahui kesimetrisan bentuk wajah pasien, jika terjadi perbedaan
antara wajah kiri dengan kanan atau misal lebih condong ke salah satu sisi, itu
menandakan terdapat kelumpusan otot saraf.
Palpasi : Mengidentifikasi adanya luka, respon nyeri dan kelainan pada bagian
kepala berdasarkan keinginan.
d. Pemeriksaan Mata
Tujuan : Memahami fungsi & bentuk mata (lapang pandangan, visus & otot-otot
pada mata), serta juga untuk melihat adanya kelainan penglihatan.
Inspeksi : Untuk mengetahui kelopak mata terdapat lubang/tidak, reflek kedip
mata, sclera dan konjungtiva merah/konjungtivitis, ikterik atau indikasii
hiperbilirubin atau terjadi kelainan pada hati, pupil: isokor, miosis/medriasis.
Palpasi : Untuk memahami tekanan intra okuler dengan cara tekan secara ringan
kornea mata, jika terasa keras, biasanya pasien mengalami glaucoma atau
rusaknya dikus optikus) serta kaji adanya nyeri tekan.
e. Pemeriksaan Hidung
Tujuan : Mengetahui fungsi dan bentuk hidung, serta melihat adanya sinusitis
atau inflamasi
Inspeksi : Melihat bentuk hidung apakah simetris, apa ada inflamasi, secret, serta
pernafasan cuping hidung.
Palpasi : Mengetahui nyeri tekan atau massa.
f. Pemeriksaan Telinga
Tujuan : Mengidentifikasi kedalaman telinga dari luar, saluran telinga dan
gendang telinga.
Inspeksi : Melihat bentuk kedua daun telinga simetris atau tidak, warna, ukuran,
kebersihan serta lesi.
Palpasi : Mengetahui respon nyeri pada telinga, merasakan lenturnya
kartilago
g. Pemeriksaan Mulut dan faring
Tujuan : Mengidentifikasi bentuk, kelainan dan kebersihan pada mulut.
Inspeksi : Mengamati bibir apakah ada kelainan congenital (bibir sumbing) warna,
apakah simetris, apakah lembab, ada bengkak, luka, amati bentuk dan jumlah gigi,
warna plak dan lubang serta kecerahan gigi.
Palpasi : Melihat apakah ada massa, tumor, bengkak atau nyeri dengan cara
pegang dan tekan darah pipi
h. Pemeriksaan Leher
Tujuan : Untuk mengetahui struktur, bentuk integritas leher, bentuk,
pembesaran kelenjar limfa dan organ yang berkaitan
Inspeksi : Melihat mbentuk, warna kulit, jejaring parut, mengamati pembesaran
kelenjar tiroid, amati bentuk leher apakah ada kelainan atau tidak.
Palpasi :Melihat apakah ada pembesaran kelenjar tiroid dengan cara meraba leher
klien, intruksikan pasien menelan dan merasakan adanya massa atau pembesaran
pada kelenjar tyroid.
i. Pemeriksaan Dada
Tujuan : Mengidentifikasi bentuk dada, frekuensi nafas, irama nafas, sakit saat
ditekan dan massa, serta dengarkan suara paru.
Inspeksi : Melihat bentuk dada dada kanan & kiri, lihat danya retraksi interkosta
dan lihat gerakan paru.
Palpasi : Mendeteksi rasa sakit saat tekan dan massa pada dada
Perkusi : Guna memastikan batas normal paru.
Auskultasi : Memahami bunyi nafas, vesikuler, wheezing atau crecles.
j. Pemeriksaan Abdomen
Tujuan : Mengidentifikasi bentuk dan pergerakan perut, dengarkan bunyi
peristaltik usus, respon nyeri saat ditekan pada organ abdomen.
Inspeksi : Melihat bentuk perut secara umum, warna kulit, retraksi, massa,
apakah bentuk simetris, dan apakah ada ascites.
Palpasi : Mengidentifikasi massa dan reflek sakit saat ditekan.
Auskultasi : Mendengarkan bising usus pasien, dengan nilai normal
10–12x/menit.
k. Pemeriksaan Muskuloskeletal
Tujuan : Mengidentifikasi mobilisasi pasien, kekekaran otot & kelainan pada
pergerakan pasien
Inspeksi : Melihat bentuk atau adanya kelainan pada ekstremitas, cek kekekaran
otot dengan diberikan penahan pada anggota gerak atas & bawah
l. Pemeriksaan Kuku
Tujuan : Mengidentifikasi keadaan kuku, jenjang dan warna untuk memahami
kapiler refill time.
Inspeksi : Mengetahui kondisi capilarry refill time pada kuku pasien seperti
warna biru menandakan sianosis, merah menandakan lonjakan visibilitas Hb,
susunan menandakan clubbing sebab hypoxia biasanya pada penderita kanker
paru.
Palpasi : Mengetahui reflek sakit saat ditekan, hitung jumlah detik kapiler refil
(pada pasien hypoxia lamban 5-15 detik).
2.2.4 Pengkajian fungsional KMB/ orem theory
Self care menurut Orem (2001) adalah kegiatan memenuhi kebutuhan dalam
mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan individu baik dalam
keadaan sehat maupun sakit yang dilakukan oleh individu itu sendiri. Teori defisit
perawatan diri (Deficit Self Care) Orem dibentuk menjadi 3 teori yang saling
berhubungan :
1) Teori perawatan diri (self care theory) : menggambarkan dan menjelaskan tujuan
dan cara individu melakukan perawatan dirinya.
2) Teori defisit perawatan diri (deficit self care theory) : menggambarkan dan
menjelaskan keadaan individu yang membutuhkan bantuan dalam melakukan
perawatan diri, salah satunya adalah dari tenaga keperawatan.
3) Teori sistem keperawatan (nursing system theory) : menggambarkan dan
menjelaskan hubungan interpersonal yang harus dilakukan dan dipertahankan oleh
seorang perawat agar dapat melakukan sesuatu secara produktif.

2.2.5 Nursing Diagnosis (SDKI)


Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman atau
respon individu, keluarga, atau komunkasi pada masalah kesehatan. Pada resiko
masalah kesehatan atau pada proses kehidupan. Diagnosis keperawatan merupakan
bagian viral alam menentukan asuhan keperawatan yang sesuai untuk membantu klien
mencapai kesehatan yang optimal. Mengingat pentingnya diagnosis keperawatan
dalam pemberian asuhan keperawatan, maka dibutuhkan standar diagnosis
keperawatan yang dapat diterapakan secara rasional di Indonesia dengan mengacu
pada standar diagnosis internasional yang telah dilakukan sebelumnya (SDKI, 2017).
Tipe diagnosa keperawatan meliputi :
1) Aktual Menyajikan keadaan klinis yang telah divalidasikan melalui batasan
karateristik mayor yang diidentifikasi.
2) Resti atau risiko tinggi. Risiko tinggi adalah keputusan klinis tentang individu,
keluarga, atau komunitas yang sangat rentan untuk mengalami masalah
dibanding individu atau kelompok lain pada situasi yang sama atau hampir
sama.
3) Kemungkinan Kemungkinan adalah pernyataan tentang masalah yang diduga
masih memerlukan data tambahan dengan harapan masih diperlukan untuk
memastikan adanya tanda dan gejala utama adanya faktor risiko.
4) Sejahtera Diagnosa keperawatan sejahtera adalah ketentuan klinis mengenai
individu, kelompok, atau masyarakat dalam transisi dari tingkat kesehatan
khusus ke tingkat kesehatan yang lebih baik. Menurut : (SDKI, 2016) diagnosa
keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan kasus TB Paru yaitu :

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi


jalan napas
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur

2.2.7 Intervensi keperawatan atau perencanaan

Luaran (outcome) keperawatan merupakan aspek-aspek yang dapat diobservasi dan


diukur meliputi kondisi, perilaku, atau dari persepsi pasien, keluarga atau komunitas
sebagai respons terhadap intervensi keperawatan. Luaran keperawatan menunjukkan
status diagnosis keperawatan setelah dilakukan intervensi keperawatan. Luaran
keperawatan memiliki 3 komponen utama yaitu label, ekspektasi, dan kriteria hasil
(PPNI, 2019).

Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang
diharapkan. Setiap intervensi keperawatan pada standar terdiri dari 3 komponen yaitu
label, definisi, dan tindakan (observasi, terapeutik, edukasi, dan kolaborasi) (PPNI,
2018).

Intervensi dapat dilaksanakan oleh perawat berdasarkan standard intervensi


keperawatan Indonesia (SIKI) :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
D.0001
a) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan bersihan jalan napas
diharapkan meningkat, dengan
b) Kriteria hasil :
1) Batuk efektif meningkat
2) Produksi sputum menurun
3) Wheezing menurun
4) Frekuensi napas membaik
c) Intervensi
Observasi
1) Identifikasi kemampuan batuk
2) Monitor adanya retensi sputum
Terapeutik
1) Atur posisi semi-fowler
2) Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
3) Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
2) Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama
2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan)
selama 8 detik.
3) Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
4) Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam yang ke 3
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian mukolitik, atau ekspektoran, jika perlu.

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis D.0077


a) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri akut
terkontrol/berkurang, dengan
b) Kriteria hasil :
1) Keluhan nyeri menurun
2) Meringis menurun
3) Frekuensi nadi membaik
c) Intervensi
Observasi
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respon nyeri non verbal
Terapeutik
1) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(aromaterapi)
2) Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
1) Jelaskan strategi meredakan nyeri
2) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur D.0055
a) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola tidur
meningkat, dengan
b) Kriteria hasil :
1) Kesulitan tidur menurun
2) Keluhan pola tidur berubah
3) Kemampuan beraktifitas meningkat
c) Intervensi
Observasi
1) Identifikasi pola istirahat dan tidur
2) Identifikasi faktor pengganggu tidur (fisik/psikologis)
Terapeutik
1) Modifikasi lingkungan (pencahayaan)
2) Tetapkan jadwal tidur rutin
3) Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (pengaturan posisi)
Edukasi
1) Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
2) Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur

2.2.8 Impementasi Keperawatan

Pelaksanaan keperawatan adalah pemberian asuhan keperawatan yang dilakukan


secara langsung kepada pasien. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap
implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan untuk
menciptakan hubungan saling percaya dan saling membantu, kemampuan teknik
psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan memberikan
pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi dan evaluasi. Tindakan keperawatan adalah
perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk
mengimplementasikan intervensi keperawatan yang telah disusun. (PPNI, 2018).

2.2.9 Evaluasi
Evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan, dan terarah ketika pasien
dan professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menuju pencapaian tujuan atau
hasil keefektifan rencana asuhan keperawatan dengan tindakan intelektual dalam
melengkapi proses keperawatan yang menandakan keberhasilan untuk diagnosis
keperawatan, rencana intervensi dan implementasinya. (Adinda, 2019).

Jenis-jenis evaluasi dalam asuhan keperawatan antara lain :

a. Evaluasi formatif (proses) adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil
kualitas pelayanan asuhan keperawatan.
b. Evaluasi sumatif (hasil) rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa
status kesehatan sesuai waktu pada tujuan. (Adinda, 2019).

Hasil dari evaluasi dalam asuhan keperawatan adalah :

a. Tujuan tercapai/masalah teratasi : jika pasien menunjukkan perubahan sesuai


dengan standar yang telah ditetapkan.
b. Tujuan tercapai sebagian/masalah teratasi sebagian : jika pasien menunjukkan
perubahan sebagian dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan.
c. Tujuan tidak tercapai/masalah tidak teratasi : jika pasien tidak menunjukkan
perubahan dan kemajuan sama sekali dan bahkan timbul masalah baru. (Adinda,
2019).

Penentuan masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi adalah dengan cara
membandingkan antara SOAP dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.

a. S (Subjective) : adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari pasien


setelah tindakan diberikan.
b. O (Objective) : adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan.
c. A (Analisis) : adalah membandingkan antara informasi subjective dan objective
dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan bahwa masalah
teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi.
d. P (Planning) : adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa. (Adinda, 2019).

Anda mungkin juga menyukai