Anda di halaman 1dari 24

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS

TUBERKULOSIS PARU DI RSUD Hj. ANNA

LASMANAH BANJARNEGARA

Disusun oleh :

Ilham Syafiq Imawan (P27226017127)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA

JURUSAN FISIOTERAPI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat melaksanakan kegiatan praktik

klinik dengan baik dan menyelesaikan makalah yang berjudul

“PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS TUBERKULOSIS

PARU DI RSUD Hj. ANNA LASMANAH BANJARNEGARA”.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas praktik

klinik stase kardiorespirasi di bulan Maret 2021 yang dilaksanakan di RSUD Hj.

Anna Lasmanah Banjarnegara. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak

menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Direktur RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara yang telah memberikan

izin praktik klinik di RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara.

2. Bagian diklat RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara yang juga telah

memberikan izin untuk praktik klinik di RSUD Hj. Anna Lasmanah

Banjarnegara.

3. Bapak Agus Budi Sutanto, SST.FT selaku pembimbing lahan praktik klinik di

RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara.

4. Semua fisioterapis dan karyawan lain di poliklinik fisioterapi di RSUD Hj.

Anna Lasmanah Banjarnegara yang telah membimbing kami dalam praktik

klinik di RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara.


5. Semua pihak terkait yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu yang telah

banyak membantu dalam penyusan makalah ini.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukan dan saran agar dapat

melengkapi kekurangan dalam penyusunan makalah ini.

Banjarnegara, 19 Maret 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis paru adalah penyakit yang di sebabkan oleh

mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama

di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan

parsial oksigen yang tinggi (Aini, 2017).

Di seluruh dunia, TB Paru merupakan penyakit infeksi terbesar nomor

2 penyebab tingginya angka mortalitas dewasa sementara di Indonesia TB

Paru menduduki peringkat 3 dari 10 penyebab kematian dengan proporsi

10% dari mortalitas total. Angka insidensi semua tipe TB Paru Indonesia

tahun 2015 adalah 520.000 kasus atau 192 per 100.000 penduduk, angka

prevalensi semua tipe TB Paru 420.000 atau 247 per 100.000 penduduk dan

angka kematian TB Paru 71.000 atau 33 per 100.000 penduduk atau 193

orang per hari. (WHO, 2015).

Pasien TB paru akan mengeluh batuk yang disertai dahak dan atau

batuk berdarah, sesak napas, nyeri pada daerah dada, keringat pada malam

hari, penurunan nafsu makan. Pemeriksaan fisik menunjukkan tandatanda

berupa peningkatan frekuensi napas, irama nafas tidak teratur, dan ronchi

(Tahir, 2019).

Fisioterapi berperan dalam penyembuhan kasus ini karena fisioterapi

salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk individu dan

atau kelompok dalam upaya mengembangkan, memelihara, dan


memulihkan gerak dan fungsi sepanjang daur kehidupan menggunakan

modalitas, mekanis, gerak dan komunikasi. Modalitas yang dapat digunakan

dalam menyelesaikan problematika pada penderita tuberkulosis paru

diantaranya Breathing Control dan Latihan Pernafasan Perut.

Breathing Control bertujuan untuk mengurangi sesak nafas,

meningkatkan ekspansi sangkar thoraks dan meningkatkan aktivitas

fungsional. Sedangkan latihan pernafasan perut bertujuan untuk

meningkatkan fungsional pada otot diafragma.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan

masalah dalam makalah ini, yaitu: “Bagaimanakah penatalaksanaan

fisioterapi pada kasus fraktur tuberkulosis paru ?”.

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kasus

fraktur tuberkulosis paru.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Struktur Anatomi dan Fisiologi Paru

1. Anatomi Paru

Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang

ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada

diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri.

Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri

mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas.

Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa sub-bagian menjadi

sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments.

Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut

mediastinum (Prabandari, 2017).

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Paru (Prabandari, 2017)

Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yang dinamakan pleura.

Pleura terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura


viseralis merupakan selaput yang langsung membungkus paru,

sedangkan pleura pariental merupakan selaput yang menempel di

rongga dada. Di antara kedua pleura ada rongga yang dinamakan cavum

pleura (Muna, 2020).

2. Fisiologi Paru

Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam

keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan

dinding dada sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding

dada. Tekanan pada ruangan antara paru-paru dan dinding dada berada

di bawah tekanan atmosfer (Prabandari, 2017).

Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah

dan atmosfer. Pergerakan dari dalam ke luar paru terdiri dari dua proses,

yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer

ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru

ke atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan

oksigen bagi jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan

oksigen dan karbon dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat

aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi pernapasan harus tetap dapat

memelihara kandungan oksigen dan karbon dioksida (Muna, 2020).

Menurut Prabandari (2017) untuk melaksanakan fungsi tersebut,

pernafasan dapat dibagi menjadi empat mekanisme dasar, yaitu :

a. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli

dan atmosfer.
b. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.

c. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan

tubuh ke dan dari sel.

d. Pengaturan ventilasi

B. Tuberkulosis Paru

1. Definisi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies

Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.

Leprae, dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Bakteri ini biasanya sering menyerang paru-paru, tetapi bakteri TB dapat

juga menyerang dibeberapa bagian organ tubuh lainnya, termasuk

meningens, ginjal, tulang dan nodus limfe. Penyakit ini dapat bersifat

menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Asnidia,

2017).

TB paru merupakan suatu penyakit kronik yang cara penularannya

melalui udara (melalui percikan dahak penderita Tuberkulosis paru)

bakteri yang menyebar di udara melalui semburan air liur dari batuk atau

bersin penderita. Jika penderita TB paru sekali mengeluarkan batuk

maka akan menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak dan percikan

dahak tersebut telah mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis

(Maisarah, 2020).
2. Etiologi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan

oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (basil tuberkulosis) satu

diantara 30 anggota genus Mycobacterium yang telah ditentukan sifatnya

dengan baik dan banyak yang belum diklasifikasi. Mycobacterium

tuberculosis mengandung sususan protein dan antigen polisakarida

(Asnidia, 2017).

Bakteri TB paru merupakan kuman berbentuk batang lurus atau

sedikit melengkung yang berwarna merah dengan ukuran panjang 1-4

mikron dan tebal 0,3- 0,6 mikron. M. tuberculosis merupakan kuman

obligate aerob yang membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Bakteri ini

dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dingin, hal ini terjadi

karena bakteri berada dalam sifat dormant yaitu dapat bangkit kembali

dan menjadikan aktif lagi. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob, sifat ini

menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi

kandungan oksigennya, dalam hal ini tekanan oksigen bagian apikal

paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lain, sehingga bagian apikal ini

merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Maisarah, 2020).

Menurut Asnidia (2017), seseorang yang terinfeksi kuman TB

belum tentu sakit atau tidak menularkan kuman TB. Proses selanjutnya

ditentukan oleh berbagai faktor risiko, yaitu:

a. Resiko eksternal faktor lingkungan seperti rumah tak sehat,

pemukiman padat dan kumuh.


b. Resiko internal penyebabnya ada pada tubuh penderita sendiri yang

disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh

penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan

immunosupresan dan lain sebagainya.

3. Patofisiologi Tuberkulosis Paru

Secara klinis TB paru dapat terjadi melalui infeksi primer maupun

paska primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena TB paru

untuk pertama kalinya. Bakteri ini berkembang biak dengan membelah

diri, kurun waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks

primer adalah 4-6 minggu. Bakteri Mycobacterium tuberculosis masuk

melalui saluran pernafasan atas kemudian turun ke paru-paru. Setelah

adanya infeksi saluran pernafasan akan terjadi peradangan pada alveoli.

Bakteri kemudian menyebar dalam tubuh penderita melalui aliran darah.

Organ utama yang diserang oleh bakteri ini adalah limfe dan bronkus.

Bakteri ini dapat bertahan serta mampu beradaptasi dalam kondisi tubuh

manusia, hal ini menyebabkan cepatnya perkembangan bakteri di dalam

tubuh (Maisarah, 2020).

4. Gejala Tuberkulosis Paru

Menurut Prihatin (2020), gejala umum TB paru adalah batuk lebih

dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam

ringan, nyeri dada dan batuk darah. Gejala lain yaitu kelelahan, anorexia,

penurunan BB.
a. Demam : subfebril menyerupai influenza

b. Batuk : batuk kering (non produktif) atau batuk produktif (sputum),

dan hemaptoe

c. Sesak nafas : pada penyakit TB yang sudah lanjut dimana infiltrasinya

sudah ½ bagian paru-paru

d. Nyeri dada

e. Malaise : anoreksia / nafus makan menurun, sakit kepala, nyeri otot,

keringat di malam hari.

5. Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Menurut Maisarah (2020), klasifikasi TB Paru berdasarkan letak

anatominya dibedakan menjadi 2 yaitu:

a. Tuberkulosis Paru

TB paru yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier

TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.

Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB

ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

b. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang terjadi pada organ selain paru, misalnya:

pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,

selaput otak dan tulang. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan

atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran

radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB

ekstra paru. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan


hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru

harus diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya

Mycobacterium tuberculosis. Bila proses TB terdapat dibeberapa

organ, penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses TB

terberat.

6. Diagnosis Tuberkulosis Paru

Menurut Maisarah (2020) untuk mendiagnosis TB Paru terdapat 5

langkah, yaitu:

a. Diagnosis yang pertama dilakukan yaitu pemeriksaan bakteriologis

dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopis langsung

b. Apabila pemeriksaan bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan

diagnosis dilakukan secara klinis dan melakukan foto toraks

c. Pada sarana terbatas, pasien didiagnosa secara klinis setelah

pemberian terapi antibiotik spektrum luas yang tidak memberikan

perbaikan klinis

d. Tidak dibenarkan mendiagnosis pasien TB paru dengan pemeriksaan

serologis, uji tuberkulin, dan pemeriksaan foto toraks saja

e. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung dengan uji dahak

SPS (Sewaktu – Pagi – Sewaktu), pasein TB paru dinyatakan positif

apabila minimal 1(satu) hasil dari pemeriksaan uji dahak SPS

hasilnya positif BTA positif


BAB III

STATUS KLINIS

Tanggal Pembuatan Laporan : 11 Maret 2021

Kondisi/kasus : Tuberkulosis Paru

I. KETERANGAN UMUM PENDERITA

Nama : Tn. I

Umur : 24 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Pekerjaan :-

Alamat : Petir, Banjarnegara

No. CM : 00492056

II. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT

Diagnosa medis : Tuberkulosis Paru

Hasil pemeriksaan foto rontgen :

- TB duplek

- Besar cor normal

Hasil laboratorium : Leukosit tinggi (19,82)


Medika mentosa :

- D-VIT FT TAB

- COBAZYM

III. SEGI FISIOTERAPI

A. PEMERIKSAAN SUBJEKTIF

1. Keluhan Utama dan Riwayat Penyakit Sekarang

a. Keluhan utama: pasien mengeluhkan sesak napas dan batuk berdahak.

b. Riwayat penyakit sekarang: pasien masuk RSUD Hj. Anna Lasmanah

Banjarnegara pada tanggal 20 Februari 2021. Pasien dirujuk dari RS

PKU Muhammadiyah Banjarnegara dengan keluhan sesak napas dan

batuk. Pasien pernah mengalami batuk < 1 bulan, demam, dan sesak

napas ± 4 hari. Namun pasien tidak mengalami mual, muntah, dan diare.

2. Riwayat Keluarga dan Status Sosial

a. Riwayat keluarga: tidak ada

b. Aktivitas sosial: terhambat untuk bersosialisasi karena masih

menggunakan alat bantu pernapasan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu dan Penyerta

Riwayat penyakit dahulu: tidak ada

Riwayat penyakit penyerta: pneumonia


B. PEMERIKSAAN OBJEKTIF

1. Pemeriksaan Tanda Vital

Tekanan darah : 89/60 mmHg

Denyut nadi : 123 kali/menit

Pernapasan : 22 kali/menit

Temperatur : 36°C

2. Inspeksi/Observasi

a. Inspeksi statis: menggunakan alat bantu pernapasan, pink puffer.

b. Inspeksi dinamis: napas tidak efektif.

3. Palpasi

a. Menggunakan pernapasan dada.

b. Tidak ada pitting oedem.

4. Joint Test

a. Pemeriksaan gerak dasar (gerak aktif/pasif/isometrik fisiologis)

- Gerak aktif dan pasif pasien mampu dan tidak ada nyeri

- Gerakan isometrik tidak dilakukan

b. Pemeriksaan gerak pasif accessory

Tidak dilakukan

5. Muscle Test

Tidak dilakukan

6. Neurological Test

Tidak dilakukan
7. Kemampuan Fungsional dan Lingkungan Aktivitas

a. Pasien masih menggunakan alat bantu pernapasan

b. Pola pernapasan pasien tidak efektif

c. Pasien tidak mampu duduk dan berdiri lama

d. Pasien mudah lelah

e. Aktivitas sehari-hari terhambat

8. Pemeriksaan Spesifik

a. S02 tanpa alat bantu pernapasan : 84%

S02 dengan alat bantu pernapasan : 99%

b. Derajat sesak napas skala borg : 3 (sesak sedang)

c. Lingkar thoraks

Titik ukur Inspirasi Ekspirasi Selisih


Axilla 71 cm 70 cm 1 cm
Papilla mamae 69 cm 68 cm 1 cm
Proccecus Xyphoideus 68 cm 67,5 cm 0,5 cm

C. UNDERLYING PROCCESS (CLINICAL REASONING)

Mycobacterium Tuberculosis
TB Paru

- Pink Puffer - Sesak Napas - Penurunan tonus otot


- Demam - Napas tidak efektif - Rawan decubitus
- Batuk

Medika mentosa - Breathing exercise - Passive exercise


- Batuk efektif - Latihan transfer tidur
- Latihan pernapasan ke duduk
dada

Gejala hilang - Mengurangi derajat - Memelihara tonus otot


sesak napas - Mencegah decubitus
- Melatih otot diafragma

Meningkatkan kemampuan fungsional pasien

D. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

1. Impairment
a. Pasien mengalami sesak napas

b. Pernapasan pada pasien tidak efektif

c. Pasein menggunakan pernapasan dada

2. Functional Limitation

a. Belum mampu duduk dan berdiri lama

b. Belum mampu berjalan karena masih merasa pusing

3. Disability/Participation Restriction

Pasien belum mampu beraktivitas sehari-hari

E. PROGRAM FISIOTERAPI

1. Tujuan Jangka Panjang

a. Meningkatkan kemampuan fungsional pernapasan pasien

2. Tujuan Jangka Pendek

a. Menurunkan derajat sesak napas pasien

b. Meningkatkan pernapasan efektif

c. Melatih pernapasan perut

d. Memelihara tonus otot

e. Mencegah decubitus

F. TEKNOLOGI INTERVENSI FISIOTERAPI

1. Breathing exercise
2. Latihan pernapasan perut

3. Batuk efektif

4. Passive exercise

5. Latihan transfer tidur ke duduk

6. Edukasi

G. RENCANA EVALUASI

1. Derajat sesak napas dengan skala borg

H. PROGNOSIS

1. Quo ad vitam : bonam

2. Quo ad sanam : bonam

3. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

4. Quo ad cosmeticam : dubia ad bonam

I. PELAKSANAAN TERAPI

1. Breathing exercise
a. Pasien diminta untuk duduk rileks
b. Kemudian diberi aba-aba untuk melakukan inspirasi melalui hidung
secara maksimal dan ekspirasi melalui mulut secara teratur dan tenang
c. Diulang sebanyak 3-5 kali

2. Latihan pernapasan perut


a. Pasien diminta untuk duduk rileks
b. Kemudian tangan pasien diminta untuk meletakkannya di perut pasien
c. Pasien diminta untuk melakukan inspirasi yang disertai dengan
mengembangkan perut
d. Lakukan secara teratur dan tenang
3. Batuk efektif
a. Pasien diminta untuk duduk rileks
b. Kemudian pasien diminta untuk mengambil nafas dalam melalui
hidung sebanyak 2 kali dan mintalah pasien untuk membatukkan
dengan kuat sebanyak 2-3 kali
c. Setelah itu istirahat 2-3 menit kemudian diulang kembali untuk
latihan mulai langkah dari awal
4. Passive exercise
a. Pasien diminta berbaring terlentang senyaman mungkin
b. Terapis berada di samping kanan atau kiri pasien
c. Kemudian terapis menggerakkan AGA dan AGB di tiap sendinya
untuk memelihara tonus otot pasien
d. Setiap gerakan dapat dilakukan selama 2x8 hitungan
5. Latihan transfer tidur ke duduk
a. Pasien diminta berbaring terlentang senyaman mungkin
b. Kemudian pasien berbaring miring ke kanan dan terapis berada di
samping kanan pasien
c. Tangan kiri pasien menapak di bed, sedangkan kedua kaki didorong
ke luar bed dengan posisi menggantung
d. Pasien diberi aba-aba untuk mendorong tangan kirinya sekuat
mungkin untuk dapat berpindah posisi ke duduk
e. Untuk kembali ke posisi tidur, pasien diberi arahan untuk melakukan
gerakan sebaliknya

6. Edukasi
Pasien diminta untuk sesering mungkin melakukan breathing exercise

untuk meningkat pernapasan menjadi efektif. Serta pasien diminta untuk

transfer tidur ke duduk supaya mencegah decubitus dan meminimalisir

pusing yang berlebih.

J. EVALUASI DAN TINDAK LANJUT

1. Derajat sesak napas dengan skala borg

T0 T1 T2
Skala borg 3 3 2

K. HASIL TERAPI AKHIR

Setelah dilakukan terapi sebanyak 2 kali kepada Tn. I dengan diagnosa

Tuberkulosis Paru dengan modalitas breathing exercise dan latihan pernapasan

perut didapatkan hasil bahwa:

1. Terdapat penurunan derajat sesak napas

2. Terkadang menggunakan pernapasan perut

3. Pola pernapasan masih belum efektif

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari pembahasan yang telah ada pada

lampiran sebelumnya diantaranya sebagai berikut:

1. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang di sebabkan oleh

mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup

terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang

mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi (Aini, 2017). Gejala

umum TB paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa

sputum, malaise, gejala flu, demam ringan, nyeri dada dan batuk

darah. Gejala lain yaitu kelelahan, anorexia, penurunan BB (Prihatin,

2020).

2. Pasien yang berinisial Tn. I dengan usia 24 tahun,

mengalami tuberculosis paru dengan menggunakan alat bantu

pernapasan. Setelah mengalami terapi sebanyak 2 kali menggunakan

modalitas breathing exercise dan latihan pernapasan perut serta

diberikan edukasi, diperoleh hasil yaitu penurunan derjat sesak napas,

terkadang menggunakan pernapasan perut, dan pola pernapasan masih

belum efektif

B. Saran
1. Bagi pasien, untuk sering berlatih pernapasan perut dan breathing

exercise guna menurunkan derajat sesak napas dan mengembalikan

pernapasan yang lebih efektif.

2. Bagi fisioterapis, hendaknya dapat melakukan anamnesis dan

pemeriksaan yang lebih teliti, sehingga dapat memberikan penanganan

dengan modalitas yang sesuai dengan permasalahan pasien serta

menjalin kerja sama yang baik dengan tenaga medis yang lainnya

yang terkait dalam memberikan pelayanan fisioterapi sehingga

penanganan yang diberikan pada pasien akan tepat sasaran dan

sejalan.
DAFTAR PUSTAKA

Aini, D. N., Arifianto, & Sapitri, 2017; Pengaruh Pemberian Posisi Semi Fowler
Terhadap Respiratory Rate Pasien Tuberkulosis Paru Di Ruang
Flamboyan RSUD Soewondo Kendal; STIKES Widya Husada Semarang;
Semarang.
Asnidia, N. M., 2017; Hubungan Sikap Pasien Tuberkulosis Paru Terhadap
Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Di Puskesmas Janti
Kota Malang; Universitas Muhammadiyah Malang: Malang.
Maisarah, S., 2020; Hubungan Pengetahuan Pasien Tuberkulosis Paru Terhadap
Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Di Puskesmas
Mulyorejo Kota Malang; Universitas Muhammadiyah Malang: Malang.
Muna, N., 2020; Perbandingan Tekanan Darah Remaja Perokok Dan Bukan
Perokok Di Malang; Universitas Muhammadiyah Malang: Malang.
Prabandari, E. E., 2017; Perbedaan Nilai Peak Expiratory Flow Antara Penderita
Asma Dan Tidak Asma Pada Mahasiswa Fisioterapi Universitas
Muhammadiyah Malang; Universitas Muhammadiyah Malang: Malang.
Prihatin, S. A., 2020; Studi Literatur Faktor-Faktor Penghambat Keluarga Dalam
Mencegah Penularan TB Paru Pada Anggota Keluarga; Universitas
Muhammadiyah Malang: Malang.
Tahir, R., Imalia, D. S. A., & Muhsinah, S., 2019; Fisioterapi Dada Dan Batuk
Efektif Sebagai Penatalaksanaan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
Pada Pasien TB Paru Di RSUD Kota Kendari; Health Information: Jurnal
Penelitian Vol. 11 no 1 Juni 2019, Poltekkes Kemenkes Kendari.
World Health Organization, 2015; The Stop Tuberculose Strategy; WHO. 24 : 10-
11.

Anda mungkin juga menyukai