STUDI KASUS
DISUSUN OLEH :
1440120003
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberkulosis. Tuberculosis umumnya terjadi setelah masuk ke dalam tubuh melalui rongga
pernapasan, bakteri ini akan menuju ke paru-paru. Tetapi bakteri ini juga dapat menuju
organ tubuh lain, seperti ginjal, limpa, tulang, dan otak (Buku TB Anak 2016.Pdf, n.d.).
Tuberkulosis pada anak merupakan masalah kesehatan yang begitu penting di dunia ini.
Pada tahun 2017, WHO melaporkan TB paru menyebabkan 1,3 juta kematian. Lima Negara
dengan insiden kasus tertinggi yaitu India (27%), China (9%), Indonesia (8)%, Philipina
(6%), dan Pakistan (5%). Indonesia menjadi Negara ketiga penyumbang kasus tuberculosis
setelah India dan China. WHO memperkirakan bakteri ini membunuh sekitar 2 juta orang
setiap tahunnya (World Health Organization, 2018).
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan tingginya kasus TB paru di Indonesia, yaitu waktu
pengobatan yang relative lama (minimal 6 bulan) yang menjadi penyebab penderita sulit
sembuh karena pasien TB berhenti berobat setelah merasa sehat walaupun proses
pengobatan tersebut belum selesai. Orang yang terinfeksi TB paru akan menimbulkan
berbagai dampak dalam kehidupannya, baik secara fisik, mental, dan maupun sosial. Secara
fisik, orang yang telah terinfeksi TB paru merasa sering batuk, sesak nafas, nyeri dada, berat
badan dan nafsu makan menurun, serta berkeringat di malam hari. Hal itu mengakibatkan
orang tersebut menjadi lemah. Secara mental, orang yang telah terinfeksi TB paru umumnya
akan merasakan berbagai ketakutan di dalam dirinya, seperti ketakutan akan kematian,
pengobatan, efek samping dalam melakukan pengobatan, kehilangan pekerjaan,
kemungkinan menularkan penyakit ke orang lain, serta ketakutan akan ditolak dan
didiskriminasi oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Berdasarkan laporan WHO 2017, angka insiden tuberculosis di Indonesia sebesar
391/100.000 penduduk dan angka kematian 42/100.000 penduduk, sedangkan berdasarkan
data hasil survey prevalensi TB paru tahun 2013-2014 angka prevalensi pada tahun 2017
sebesar 619/100.000 penduduk, sedangkan pada tahu 2016 sebesar 628/100.000 penduduk
(World Health Organization, 2018). Di Indonesia, pada tahun 2017 ditemukan jumlah kasus
TB paru sebanyak 425.089 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus TB paru yang
ditemukan pada tahun 2016 sebesar 360.565 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan
terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Jawa Tengah. Di Jawa Tengah, Angka Notifikasi Kasus (CNR) untuk semua kasus TB paru
tahun 2017 sebesar 132,9/100.000 penduduk.(Penderita et al., 2019)
27
Pada tahun 2019 jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan sebanyak 543.874 kasus,
menurun bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2018 yang
sebesar 566.623 kasus. Jumlah kasus tertinggi dilaporkan dari provinsi dengan jumlah
penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di
ketiga provinsi tersebut hampir mencapai setengah dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di
Indonesia (45%)(Kesehatan & Indonesia, n.d.)
Di daerah Jawa Tengah jumlah kasus TB paru pada anak tahun 2019 antara umur 0-11 tahun
yaitu pada anak laki-laki sebanyak 3.749 orang dan pada anak perempuan sebanyak 3.338
orang. Dengan jumlah kasus TB keseluruhan dari mulai kategori anak hingga usia lanjut
dengan jumlah laki-laki 30.326 orang dan perempuan 24.314 orang, sehingga dari jumlah
keseluruhan yaitu berjumlah 54.640 orang.
Adapun solusi untuk seseorang yang terkena TB paru yaitu seperti memberikan asukan
cairan sesuai kebutuhan, memonitor berat badannya, memberikan asupan gizi yang adekuat,
memberikan Obat Anti Tuberculosis (OAT) (Buku TB Anak 2016.Pdf, n.d.)
Solusi lainnya yaitu pemberian vaksin BCG Peneliti yang dilakukan Rosandali, Aziz, &
Suharti (2016) memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
pembentukan scar vaksin BCG dengan kejadian infeksi tuberculosis, artinya orang yang
tidak memiliki scar BCG lebih banyak pada pasien TB dibandingkan dengan orang sehat.
Penelitian Pamungkas, Rahardjo, & Murti (2018) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan antara riwayat pemberian imunisasi BCG dengan kejadian TB paru. Imunisai
BCG dapat mengurangi resiko anak terkena penyakit TB paru dengan efektifitas sebesar
50%. (Info, 2018)
Dari kasus tersebut, sehingga saya tertarik untuk membuat Laporan Studi Kasus ini dengan
judul “Asuhan Keperawatan TB Paru Pada Anak”. Tujuannya agar penyakit TB paru pada
anak dapat dicegah sedini mungkin, mnurunkan angka kematian akibat TB paru pada anak
dan dapat menambah wawasan pegetahuan untuk masyarakat khususnya pada keluarga yang
memiliki anak usia dini.
Mahasiswa mampu memahami, dan menerapkan asuhan kepeawatan pada anak dengan
kasus TB paru pada anak.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat memahami konsep teori TB paru.
b. Mahasiswa mampu memahami dan menerapkan pengkajian kepada An. Z
dengan kasus TB paru pada anak.
c. Mahasiswaa mampu menegakkan diagnosis keperawatan sesuai dengan
analisa data dari pengkajian pada An. Z
d. Mahasiswwa dapat melakukan tindakan secara baik dan benar sesuai dengan
kasus TB paru.
e. Mahasiswa dapat mengevaluasi hasil dari tindakan keperawatan yang telah
dilakukan dan mendokumentasikan dari pada An. Z dengan kasus TB paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Konsep dasar
1. Anatomi dan fisiologis system pernapasan
a. Anatomi system pernapasan
Pernapasan merupakan proses ganda, yaitu terjadinya pertukaran gas di dalam jaringan atau
“pernapasan dalam” dan didalam paru-paru atau “pernapasan luar”. Saluran pernapasan
bagian atas terdiri dari rongga hidung, faring, laring. Sedangkan bagian bawah yaitu
trachea, bronkus, bronkiolus, alveolus dan paru-paru.
1. Sistem pernapasan bagian atas
a) Rongga hidung
Rongga hidung dilapisi selaput lender yang kaya akan pembuluh darah, bersambung
dengan lapisan faring dan selaput lendir semua sinus yang mempunyai lubang
masuk ke dalam rongga hidung.
Sewaktu udara melalui hidung, udara disaring oleh bulu-bulu yang terdapat didalam
vestibulum. Sehingga menyebabkan udara menjadi hangat, dank arena penguapan
air dari permukaan selaput lendir, udara menjadi lembab.
b) Faring
Faring (tekak) adalah pipa berotot yang berjaalan dari tengkorak sampai
persambungannya dengan usofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Jadi,
letaknya dibelakang hidung (nasofaring), dibelakang mulut (orofaring), dan
dibelakang laring (faring-laringeal).
c) Laring
Laring (tenggorok) terletak didepan bagian terendah faring yang
memisahkannya dari kolumna vertebra, berjalan dari faring sampai vertebra
servikalis dan masuk ke dalamm trakea di bawahnya. Laring terdiri atas
kepingan tulang rawan yang diikat oleh ligament dan membrane.
2. Sistem pernapasan bagian bawah
a) Trachea
Trachea atau batang tenggorok kira-kira memiliki panjang 9 cm. trachea
berjalan dari laring sampai vetebrata torakalis ke lima dan ditempat ini
bercabang menjadi dua bronkus (bronki). Trachea tersusun atas 16-20
lingkaran tak lengkap berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh
jaringan. Fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea.
Selain itu juga membuat beberapa jaringan otot trachea dilapisi selaput lendir
30
yang terdiri atas epitelium bersilia. Silia ini bergerak menjuju ke atas kea rah
laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang turut
masuk bermasa dengan pernapasan dapat dikeluarkan. Tulang rawan
berfungsi mempertahankan agar trachea tetap terbuka.
Trachea servikalis yang berjalan melalui leher disilang oleh istmus kelenjar
tiroid, yaitu belahan kelenjar yang meingkari sisi-sisi trachea. Trachea
torasika berjalan melintasi mediastinum, di belakang sternum menyentuk
arteri inominata dan arkus aorta. Usofagus terletak dibelakang trachea.
b) Bronkus
Bronkus terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian sekitar vertebra
torakalis kelima dimana vertebra ini mempunyai struktur serupa dengan
trachea dan dilapisi oleh jenis sel yang lama.
Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih
tinggi daripada arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang disebut
bronkus lobus. Cabang kedua timbul setelah cabang utama lewat dibawah
arteri, disebut bronkus lobus bawah. Bronkus lobus tengah keluar dari
bronkus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih kecil dari pada
bronkus kanan, dan berjalan dibawah arteri pulmonalis sebelum dibelah
menjadi beberapa cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah.
Struktur mendasar dari paru-paru adalah percabangan bronchial yang
selanjutnya secara berurutan adalah bronki, bronkiolus, bronkiolus terminalis,
bronkiolus respiratorik, duktus alveolar, dan alveoli. Dibagian bronkus masih
disebut pernafasan extrapulmonar dan sampai memasuki paru-paru disebut
intrapulmonary.
c) Paru-paru
Paru-paru terbagi menjadi dua yaitu paru-paru sebelah kanan dan paru-paru
sebelah kiri. Diantara kedua paru tersebut ditengahnya dipisahkan oleh
jantung beserta pembuluh darah besar dan struktur lainnya yang terletak di
dalam mediastinum.
Paru-paru adalah organ yang berbentuk kerucut dengan apeks (puncak) diatas
dan muncul sedikit lebih tinggi daripada klavikula di dalam dasar leher.
Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Setiap
lobus tersusun atas lobula. Jaringan paru-paru memiliki permukaan elastis,
berpori, dan seperti spons.
31
IV. Etiologi
Tuberkulosis paru (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis.
TB menyerang paru-paru dan dapat menginfeksi orang lain. TB dapat ditularkan melalui
udara saat orang terjangkit TB, batuk atau bersin. Tuberkulosis penyakit lama yang masih
menjadi pembunuh terbanyak di antara penyakit menular. Dunia pun masih belum bebas dari
TBC (Abbas, 2017).
32
TB Paru dapat tersebar melalui udara apabila orang yang mengidap tb paru sedang batuk,
bersin, atau berbicara. Tb paru juga dapat menyebar melalui pergaulan yang lama seperti
sesame anggota keluarga dan teman.
V. Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi TB paru yaitu(Buku TB Anak 2016.Pdf, n.d.)
a. Lokasi anatomi dari penyakit
1. Tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan paru). TB millier
dianggap sebagai TB paru karena dianggap adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra
paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
2. Tuberkulosis ekstra paru.
Penyakit ini terjadi pada organ selain paru, misalnya pleura, kelenjar limffe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang. Pasien TB paru yang
menderita TB pada beberapa organ , diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru
pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap
OAT dan dapat juga berupa :
1. Mono resistan (TB MR)
2. Poli resistan (TB RR)
3. Multi drag resistant (TB MDR)
4. Extensive drug resistant (TB XDR)
5. Resistan rifpampisin (TB RR)
c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1. Pasien baru terkena TB
Untuk pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau
sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (<28 dosis).
2. Pasien yang sudah pernah diobati
Untuk pasien yang sudah pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (>28
dosis). Pasien ini kemudian akan diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir.
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
33
Pada anak yang tidak menimbulkan gejala, tb paru dapat dideteksi apabila diketahui adanya
kontak dengan tb dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan pasien tb dewasa
memberikan hasil uji tuberculosis positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal
serumah dengan penderita tb paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi
berdasarkan pemeriksaan serologi/darah. (J. Ked. N. Med/Vol.1/No.2/Juni 2018)
VII. Patofisiologi
Mycobacterium tuberculosis masuk kedalam tubuh didalam sistem pernapasan. Penularan
infeksi ini lebih banyak terjadi melalui udara. Sesorang yang rentan dan dan menghirup basil
tuberculosis akan mudah terinfeksi. Bakteri ini dapat pindah melalui jalan nafas ke alveoli,
alveoli ini merupakan tempat berkumpul dan berkembangnya bakteri. Bakteri ini juga dapat
34
berpindah melalui limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya seperti ginjal, tulang,
korteks serebri, dan paru-paru.
Pada sistem imun tubuh akan berespon dengan melakukan reaksi inflmasi. Reaksi ini
mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli yang menyebabkan bronkpneumonia.
Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu.
Bersin, batuk
Percikan dahak
Kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis)
Tuberculosis Paru
Proses
Peradangan
Peradangan
Gangguan ADI
Respon batuk
Pengeluaran
droplet
Resiko
penularan
https://id.scribd.com/doc/301661595/Pathway-Tb-Paru
IX. Penatalaksanaan
a. Diagnosis TB anak
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dilaksanakan,
namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik, dapat menggunakan suatu
pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut
dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yaitu IDAI,
Kemenkes dan didukung oleh WHO.
b. Pengobatan
Pengobatan TB pada anak diberikan dalam bentuk kombinasi minimal tiga macam obat
untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan
ekstraseluler. Lamanya pengobatan TB pada anak 6-12 bulan, pemberian obat jangka
panjang ini bertujuan untuk membunuh kuman serta mengurangi kemungkinan
terjadinya kekambuhan.
Pengobatan TB pada anak diberikan dalam bentuk kombinasi minimal tiga macam obat
untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan
ekstraseluler. Lamanya pengobatan TB pada anak 6-12 bulan, pemberian obat jangka
panjang ini bertujuan untuk membunuh kuman serta mengurangi kemungkinan
terjadinya kekambuhan.
36
X. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Klien
Meliputi nama klien, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agama, alamat
rumah, dan nama suami.
b. Diagnosa dan informasi medis
Meliputi tanggal masuk, no mr, ruang rawat, diagnosa medik, alasan masuk RS,dan
yang merujuk.
2. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama :
Batuk, nafsu makan menurun, berat badan tidak naik tiga bulan terakhir.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Batuk, nafsu makan menurun, berat badan tidak naik tiga bulan terakhir. Klien sering
demam, riwayat kontak dengan pasien TB dewasa ada.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Klien tidak ada riwayat penyakit sistemik lain. Klien juga tidak memiliki riwayat
alergi makanan atau obat tertentu.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya riwayat herediter, penyakit menular, dan menderita penyakit sistemik
metabolik ataupun cacat bawaan.
5. Data psikologis
Bagaimana perasaan klien dengan penyakitnya sekarang sekarang.
6. Data sosial ekonomi
Pekerjaan, kebiasaan, dan kehidupan sehari- hari.
7. Aktivitas sehari-hari
Kaji pola makan, minum, eliminasi, istirahat dan tidur.
3. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan umum
a. Keadaan umum TTV (tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu), dan kesadaran.
b. Kepala
37
4. Luaran keperawatan
Standar luaran keperawatan akan menjadi acuan bagi perawat dalam menetapkan
kondisi atau status kesehatan seoptimal mungkin yang diharapkan dapat dicapai oleh
klien setelah pemberian intervensi keperawatan. Dengan adanya luaran keperawatan,
maka tingkat keberhasilan intrvensi keprawatan dapat diamati dan diukur secara
spesifik. Penggunaan standar luaran keperawatan juga kan menjamin penggunaan
terminology luaran keperawatan yang seragam dan terstandarisasi, sehingga luaran
keperawatan dapat dikomunikasikan secara rinci kepada sesame perawat dan/atau
tenaga kesehatan lainnya. Jika terminology keperawatan terstandarisasi, maa
memungkinkan dilakukan pengukuran secara akurat untuk menilai efektifitas dan
kualitas asuhan keperawatan (SLKI, 2018)
5. Evaluasi
Evaluasi yaitu proses berkepanjangan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan
pada klien. Evaluasi terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan
yang dilaksanakan. Evaluasi dilaksanakan dengan SOAP :
S (Subjective) : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O (Objectify) : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A (Analysis/Assesment) : Analisa ulang antara data subjektif dan data objektif untuk
menyimpulkan apa masih muncul masalah baru atau data yang kontraindikasi dengan
masalah yang ada.
P (Planning) : Perencanaan atau rencana asuhan saat ini dan yang akan datang.
Rencana ini disusun berdasarkan hasil analisi dan interpretasi data. Rencana
bertujuan mengusahakan tercapainya kondisi optimals dan kesejahteraan pasien.
39
Rencana ini harus bisa mencapai kriteria tujuan yang ingin dicapai dalam batas
waktu tertentu.
I (Implementation) : Pelaksanaan sesuai dengan rencana yang disusun sesuai dengan
keadaan dan dalam rangka mengatasi masalah pasien.
E (Evaluation) : Evaluasi ini berupa tafsiran dari efek tindakan yang telah diambil
untuk menilai efektivitas asuhan/ hasil tindakan.
R (Revised) : Mencerminkan perubahan rencana asuhan keperawatan dengan cepat,
memperhatikan hasil evaluasi, serta implementasi yang telah dilakukan. Hasil
evaluasi digunakan untuk menentukan ada tidaknya perbaikan atau perubahan
intervensi dan tindakan.
b. Persalinan normal/spontan.
c. Penolong persalinan adalah Bidan.
d. Komplikasi persalinan tidak ada
3. Post Natal
a. Kondisi bayi (BB : 2200 gr dan PB : 47 cm) APGAR 7/8.
b. Anak pada saat lahir tidak mengalami aspiksia.
c. Tidak ada penyakit kuning, kebiruan, kemerahan, dan tidak ada
problem menyusui.
d. Penyakit yang pernah dialami: batuk pilek berlendir, demam dan
berobat ke Puskesmas.
e. Klien tidak pernah mengalami Kecelakaan termasuk keracunan.
f. Prosedur operasi dan perawatan RS: tidak pernah.
g. Alergi (makanan, obat-obatan, zat/substansi, tekstil) tidak ada.
h. Pengobatan dini (komsumsi obat-obatan bebas): tidak ada.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit TB paru maupun penyakit sistemik
lainnya.
D. Riwayat nutrisi
a. Pemberian ASI
1. Pertama kali disusui : sekitar 2 jam setelah melahirkan
2. Waktu dan cara pemberian : tidak teratur (setiap kali menangis)
3. Lama pemberian : sampai anak berhenti sendiri
4. Asi diberikan sampai usia : 2 tahun
41
E. Riwayat Psikososial
Anak bersama ayah, ibu, dan seorang kakak.
Lingkungan berada di desa.
Hubungan antar anggota keluarga : baik
Yang mengasuh anaknya adalah ibu kandung.
F. Riwayat Spritual
Sering ikut ke mesjid bersama ayahnya.
G. Aktivitas sehari-hari
a. Nutrisi
Sebelum sakit:
Makan nasi, sayur dan lauk, selera makan baik, frekuensi 3 x sehari menghabiskan 1
porsi yang disediakan.
Saat sakit:
Makan nasi, sayur dan lauk, selera maka menurun, frekuensi makan 1-2 x/ hari.
Klien menghabiskan ½ porsi makanan yang disediakan. Klien lebih suka jajan di
warung. Orang tua klien tidak bisa melarangnya karena suka.
b. Pola Eliminasi
BAB 1 x sehari, konsistensi lembek, berbau khas.
BAK 4-5 x/ hari, warna kuning jernih, berbau khas.
c. Pola tidur dan istirahat
Klien tidak pernah tidur siang, tidur malam 7-8 jam, tidur klien pulas.
d. Pola aktivitas dan latihan
Aktifitas sehari-hari klien hanya bermain, tidak ada latihan khusus.
e. Personal Hygine :
Mandi : Frekuensi 2 x/ hari, dibantu oleh ibunya.
Cuci rambut : frekwensi 2 – 3 x/mgg ( tergantung kebutuhan ) dibantu
Gunting kuku : setiap kali panjang, dibantu oleh orang tua.
Rekreasi
Rekreasi tidak terjadwal dengan keluarga.
42
H. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum Klien : lemah
Tanda – tanda vital :
Suhu, Nadi, Respirasi, Tekanan Darah
b. Antropometri :
Tinggi Badan, Berat Badan, Lingkar lengan atas, Lingkar kepala, Lingkar dada,
Lingkar perut
c. Sistem Pernafasan
Hidung : Simetris
Pernafasan cuping hidung : tidak ada, secret : tidak ada
Leher : ada pemebesaran kelenjar getah bening
Dada
Gerakan dada : terdapat retraksi dada, tidak simetris ki/ka
Suara nafas : Ronkhi basah
d. Sistem kardiovaskuler :
Conjungtiva : Tidak anemia, bibir : tidak pucat/cyanosis.
Sistem Pencernaan
Skelera : tidak ikterus, Bibir : agak kering
Mulut : Lidah agak kotor, berbau, stomatitis tidak ada, kemampuan menelan
baik, gerakan lidah bagus, jumlah gigi lengkap namun terdapat caries.
Lambung : gerakan paristaltik normal, kembung tidak ada
Anus : tidak ada lecet, hemoroid : tidak ada, spingter Ani berfungsi baik,
klien merasa dan dapat menahan BAB.
e. Sistem indra
Mata : kelopak mata tidak ada kemerahan ataupun ptosis, bulu mata ada posisi agak
lentik, alis tebal, visus 6/6, lapang pandang: Normal
Hidung : Penciuman baik dapat membedakan bau-bauan, perih dihidung tidak ada,
ada cairan hidung berupan secret, trauma hidung tidak pernah, mimisan tidak pernah.
Telinga : Keadaan daun telingan baik, operasi telinga tidak pernah, membran
tympani baik, fungsi pendengran baik dapat mendengar bunyi gesekan rambut.
f. Sistem syaraf
Fungsi cerebral:
Status mental :
Orientasi : tidak dapat orientasi terhadap waktu, orientasi terhadap tempat dan
orang.
43
Bicara : respo terhadap pertanyaan tepat, bicara lancar namun kurang jelas
ekspresi saat bicara baik.
g. Sistem Muskulo Skeletal
Kepala : ubun–ubun besar dan kecil tertutup
Vertebrae : gerakan baik, ROM: baik
Pelvis : kaki sejajar
Kaki : keutuhan ligamen baik, ROM: agak kaku
Bahu : pergerakan baik
Tangan : pergerakan baik
Rambut : warna: hitam, tidak mudah tercabut, cukup bersih
h. Sistem Integumen
Rambut = warna : hitam, tidak mudah tercabut, cukup bersih
Kulit = warna : Sawo matang, temperatur : normal , kelembaban : baik, sering
berkeringat.
Kuku = warna : agak pucat, permukaan kuku datar, tidak mudah patah, bersih.
i. Sistem Endokrine
Kelenjar thyroid : Tidak ada pembesar
Ekskresi urine : sering. 250 cc/ sekali berkemih
Tidak ada riwayat urine dikelilingi semut
j. Sistem perkemihan ( semua normal bak lancar )
Sistem imun :
Tidak ada riwayat alergi
k. Data Penunjang
Laboratorium : LED dan pemeriksaan BTA Ro. Foto Thorax
l. Program dan rencana pengobatan
Pemberian Diet TKTP
OAT kategori anak
B6
m. Analisis Data
Data objektif :
Klien tampak susah
mengeluarkan dahak jika
batuk.
TTV :
TD : 100/60 mmHg
Suhu : 37 ºc
Nadi : 85x/i
P : 30x/i
n. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit nutrisi b.d manajemen cairan
Intervensi
Observasi :
Monitor status hidrasi (mis. Frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler,
kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah).
Monitor berat badan.
Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialysis.
Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis. He matokrit, Na, K, Cl, berat jenis
urine, BUN).
45
Monitor status hemodinamik (mis. MAP, CVP, PAP, PCWP jika tersedia).
Terapeutik :
Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
Berikan cairaan intravena, jika perlu
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian diuretik, jika perlu
Implementasi
Observasi :
Memonitor status hidrasi (mis. Frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian
kapiler, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah).
Memonitor berat badan.
Memonitor berat badan sebelum dan sesudah dialysis.
Memonitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis. He matokrit, Na, K, Cl, berat jenis
urine, BUN).
Memonitor status hemodinamik (mis. MAP, CVP, PAP, PCWP jika tersedia).
Terapeutik :
Mencatat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
Memberikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
Memberikan cairaan intravena, jika perlu
Kolaborasi :
Mengkolaborasi pemberian diuretik, jika perlu
Edukasi :
Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
Anjurkan Tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2 detik,
kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
Anjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3 kali
Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik napas dalam yang ke-3
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektron, jika perlu
Implemenasi
Observasi :
Mengidentifikasi kemampuan batuk
Memonitor adanya retensi sputum
Memonitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
Memonitor input dan output cairan (mis. Jumlah dan karakteristik)
Terapeutik :
Mengatur posisi semi-Fowler atau Fowler
Memasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
Membuang secret pada tempat sputum
Edukasi :
Menjelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
Menganjurkan Tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2
detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
Menganjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3 kali
Menganjurkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik napas dalam yang ke-3
Kolaborasi
Mengkolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektron, jika perlu
o. Evaluasi
Hasil evaluasi asuhan keperawatan pada An. Z didapatkan defisit nutrisi dan jalan nafas
tidak efektif.
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang sifatnya deskriptif dan cenderung menggunakan
analisis. Dalam penelitian ini terdapat proses dan makna (perspektif subjek) akan lebih
menonjol dalam penelitian kualitatif.. landasan teori ini dimanfaatkan sebagai pemandu agar
focus penelitian sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Landasan ini juga bermanfaat
untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan
hasil penelitian. Terdapat perbedaan yang mendasar antara peran landasan teori dalam
penelitian kuantitatif dan penelitian kuantitatif. Peneliti kualitatif juga menggunakan metode
sangat berbeda, termasuk dalam hal mengumpulkan informasi, terutama individu, yaitu
dengan menggunakan wawancara secara mendalam dan grup fokus. Jenis penelitian ini
memiliki sifat yaitu penelitian dan penjelahan terbuka, dan berakhir dengan dilakukannya
wawancara dalam jumlah relative kelompok kecil yang diwawancarai secara mendalam.
Responden diminta untuk menjawab pertanyaan umum, dan pewawancara atau moderator
grup peneliti menjelajah dengan tanggapan mereka untuk mengidentifikasi dan menentukan
persepsi, pendapat dan perasaan tentang gagasan atau tpik yang akan dibahas dan juga untuk
menentukan derajat kesepakatan yang ada di dalam grup itu. Menurut Sugiyono (2017),
metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut, terdapat empat kata kunci yang perlu
diperhatikan yaitu cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan. Oleh sebab itu, peneliti memilih
menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menentukan cara mencari, mengumpulkan,
mengolah dan menganalisis sebuh data hasil penelitian tersebut. Penelitian yang digunakan
yaitu penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif ini adalah berupa
48
penelitian dengan metode atau menggunakan pendekatan studi kasus. (Sugiyono 2017) (Iii,
2017)
B. Batasan Penelitian
Penyakit TB paru pada anak terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Penyakit TB paru biasanya
ditandai dengan gejala batuk persisten, berat badan turun atau tidak ada penambahan berat
badan, demam lama, lesu, dan anak tidak aktif. Penyakit ini menyerang sistem pernapasan.
Penyakit TB ini menyerang paru-oaru daan bisa menyerang organ lain juga. Penularan
penyakit ini melalui udara, pada saat orang yang terkena TB batuk atau bersin.
C. Waktu Penelitian
Dalam studi kasus ini, penulis melakukan penelitian pada hari Senin, tanggal 14 April – 20
April 2019 di Puskesmas Purwojati, Banyumas, Jawa Tengah. Jenis kelamin penderita TB
paru dalam penelitian ini didapatkan laki-laki 14 orang dan perempuan 7 orang. Sebagian
besar penderita TB paru dalam penelitian ini berusia antara 7-13 tahun. Peneliti melakukan
studi kasus kepada An. Z yang berusia 7 tahun.
E. Prosedur Penelitian
Menurut sugiyono (2007) terdapat tiga tahapan utama dalam penelitian kualitatif, yaitu :
1. Tahap deskripsi ata tahap orientasi
Pada taha deskripsi ini, peneliti mendeskripsikan apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan. Peneliti baru akan mendata sepintas tentang informasi yang diperolehnya.
2. Tahap reduksi
Pada tahapan ini, peneliti akan mereduksi segala informasi yang diperoleh pada tahan
pertama untuk memfokuskan pada masalah tertentu.
3. Tahap seleksi
49
Pada tahan seleksi, peneliti menguraikan fokus yang telah ditetapkan menjadi lebih rinci
kemudian melakukan analisa secara mendalam tentang fokus masalah. Hasilnya yaitu
tema yang dikonstruksi berdasarkan data yang diperoleh menjadi satu pengetahuan,
hipotesis bahkan menjadi teori baru.
F. Kuesioner
1. Apakah jenis kelamin berpengaruh terhadap ketidak patuhan berobat pada penderita
TB paru?
2. Apakah umur berpengaruh terhadap ketidak patuhan berobat pada penderita TB
paru?
3. Apakah pendapatan keluarga berpengaruh terhadap ketidak patuhan berobat pada
penderita TB paru?
4. Apakah efek samping obat berpengaruh terhadap ketidak patuhan berobat pada
penderita TB paru?
5. Apakah kualitas pelayanan berpengaruh terhadap ketidak patuhan berobat pada
penderita TB paru?
6. Apakah peran PMO berpengaruh terhadap ketidak patuhan berobat pada penderita
TB paru?
7. Apakah jarak rumah berpengaruh terhadap ketidak patuhan berobat pada penderita
TB paru?
TB paru selain penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga harus
membiayai untuk transport berobat ke puskesmas.
4. Terdapat pengaruh yang signifikan antara efek samping terhadap ketidakpatuhan
berobat pada penderita TB paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan
negative bermakna artinya semakin penderita memiliki banyak keluhan semakin tidak
patuh untuk berobat. Adapun gejala efek samping secara umum yaitu sakit kepala, mual-
mual, muntah, serta sakit sendi tulang.
5. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kualitas pelayanan terhadap
ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru, sehingga dengan demikian bahwa ada
faktor lain yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru seperti
pengetahuan, pendidikan, lama sakit, pendapatan keluarga, dan efek samping obat.
Petugas memberikan kualitas pelayanan kesehatan terhadap penderita tidak
mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru. Hal ini disebabkan
karena petugas kesehatan memberikan perhatian khusus dan informasi yang jelas
sehingga dapat menyebabkan baiknya hubungan dengan setiap penderita TB paru yang
datang ke Puskesmas.
6. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara peran PMO terhadap ketidakpatuhan
berobat pada penderita TB paru, karena setiap penderita TB paru telah memiliki PMO
dan peran PMO yang sudah maksimal dalam pengawasan pengobatan tersebut.
7. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara jarak rumah terhadap ketidakpatuhan
berobat pada penderita TB paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak rumah untuk
menjangkau fasilitas kesehatan atau puskesmas bukan menjadi faktor penentu
ketidakpatuhan penderita dalam pengobatan. Hal ini disebabkan karena lokasi puskesmas
yang ada di Banyumas merata diseluruh kecamatan ada dan biaya transportasi juga
relative murah.
G. Kesimpulan
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendapatan keluarga berpengaruh negatif yang
signifikan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas. Jenis kelamin, umur, kualitas pelayanan, peran PMO, dan jarak rumah tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB
paru di Wilayah Kerja Puskesmas.
BAB IV
4.1 Hasil
Gambaran Lokasi Penelitian
51
Peneliian ini dilakukan di RSUD Goeteng Taroenadibrata Purbalingga yang terletak di jl Tentra Pelajar
no 23 Kembaran kulon Kec.Purbalingga Kab.Purbalingga Jawa Tengah.Rumah Sakit ini pada awalnya
Rumah Sakit zending yang didirikan oleh Belanda yang berlokasi di desa Kalkajar.Dalam penelitian
ini menggunakan Ruang Lavender yaitu bangsal dalam.
A. Pengkajian
Riwayat Penyakit Dahulu Keluarga mengatakan tidak pernah dirawat di rumah sakit
sebelumnya, tidak ada riwayat alergi dan operasi.
Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga mengatakan tidak ada anggota keluarga yang
tinggal serumah yang
pernah menderita penyakit TB paru.
52
No Pemeriksaan Pasien 1
1. Keadaan Umum Posisi pasien saat dikaji fowler, alat medis yang terpasang
yaitu IVFD RL 20tpm dan Nasal Kanul 3lpm.
Kesadaran pasien Compos Mentis dengan GCS E4V6M5.
2. Tanda – Tanda Vital TD : 120/60 mmHg N : 100x/menit
RR : 28x/menit Temp : 36,40C
3. Kenyamanan/Nyeri Tidak ada nyeri
No Pemeriksaan Pasien 1
g. Berpindah / berjalan Skor : 3
h. Memakai baju Skor : 2
i. Naik turun tangga Skor : 1
j. Mandi Skor : 0
e. Telinga Daun telinga sama antara kiri dan kanan, kanalis telinga
bersih
53
NO Pemeriksaan Pasien 1
inspeksi, bentuk dada simetris dengan
frekuensi napas 28x/mnt, irama nafas tidak
teratur, pola napas takipneu, tidak ada pernapasan
cuping hidung, tidak ada otot bantu
pernapasan, terpasang nasal kanul 3lpm
NO Pemeriksaan Pasien 1
ICS IV line sterna kanan.
NO Pemeriksaan Pasien 1
d. Perkusi Pada saat melakukan perkusi, tidak ada nyeri
ketuk di ginjal
10. Syaraf Memory panjang,
perhatian dapat mengulang, bahasa
baik, kognisi baik, orientasi pada orang, tempat
dan waktu, saraf sensori pada nyeri tusuk, suhu,
sentuhan, tidak ada keluhan pusing, ada
gangguan pola tidur, istirahat tidur hanya kurang
lebih 3 jam
Pemeriksaan syaraf kranial I. Pasien dapat membedakan bau
minyak kayu putih
II. Pasien dapat melihat dengan jelas
dengan jarak 30cm
III. Pasien dapat mengikuti
gerakan pensil ke kanan dan ke kiri
IV. Pasien dapat melihat ke bawah
dan ke samping
V. Pasien dapat
menggerakkan rahang
VI. Pasien dapat melihat ke kanan
dan ke kiri
VII. Pasien dapat merasakan
makanan
VIII. Pasien dapat mendengar
dengan jelas
IX. Pasien dapat mengunyah
X. Pasien dapat menelan
55
N Pemeriksaan Pasien 1
O
XI. Pasien dapat menggerakkan
kepala
XII. Pasien dapat mengeluarkan
lidahnya
N Pemeriksaan Pasien 1
O
bantu
d. Menggunakan IV Skor : 0
atau cateter
e. Kemampuan berjalan Skor : 0
f. Status mental Skor : 0
15. Psikososial Persepsi pasien terhadap penyakitya adalah cobaan
tuhan, ekspresi pasien terhadap
penyakitnya adalah gelisah, reaksi saat interaksi
cukup kooperatif, dan tidak ada
gangguan konsep diri
Spiritual
Sebelum sakit pasien sering beribadah, setelah sakit
pasien kadang- kadang beribadah
16. Personal Hygiene Pasien mandi 1x sehari, belum ada keramas, belum ada
memotong kuku, tidak merokok, tidak minum alkohol,
mengganti pakaian 1x sehari, belum ada sikat gigi
56
B. Diagnosa Keperawatan
No
Urut Hari/ Diagnosa Keperawatan (kode SDKI)
Tanggal
ditemukan
1 Kamis, 9 mei Bersihan jalan napas tidak efektif b/d hipersekresi jalan napas
2019 (D.0001)
DS :
- Pasien mengatakan sesak napas
- Pasien mengatakan batuk berdahak
DO :
- RR : 28x/mnt
- Polanapas : takipneu
- Terdengar ronchi
- Terdapat sputum berwarna putih kekuningan
- Terpasang nasal kanul 3lpm
Sesudah sakit
- BB : 48kg
- TB : 165cm
NO
Hari/ Diagnosa Keperawatan (kode SDKI)
Tanggal
ditemukan
3 Kamis, 9 mei Gangguan pola tidur b/d hambatan lingkungan (D.0055) DS
2019 :
- Pasien mengatakan sulit tidur akibat sesak nafas
- Pasien mengatakan mudah terbangun ketika ada suara
bising
DO :
- Pasien terlihat mengantuk
- Pasien terlihat gelisah
Tabel 4.5
Intervensi Keperawatan Pasien 2 dengan TB Paru di Ruang Seruni
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Hari/ Diagnosa Tujuan dan Perencanaan
Tanggal Keperawatan Kriteria (SIKI)
Hasil
Kamis, 9 1) Pola nafas Setelah dilakukan Manajemen jalan napas
mei 2019 tidak efektif b/d intervensi keperawatan (I.01011)
Hambatan upaya selama 3x24jam maka 1.1 Monitor pola
nafas (D.0005) pola napas membaik napas
dengan kriteria hasil : 1.2 Monitor
- Frekuensi napas bunyi napas tambahan
membaik 1.3 Posisikan
(16-20x/mnt) semi- fowler atau fowler
(L. 01004) 1.4 Berikan oksigen
Pemantauan respirasi (I.
01014)
1.5Monitor RR
58
4.2 Pembahasan
teori yang terdapat dalam buku SDKI dengan kriteria mayor dan
minor yaitu batuk tidak efektif, sputum berlebih, terdapat suara ronchi,
keperawatan selama 3x24 jam, maka bersihan jalan napas tidak efektif
terdapat dalam buku SDKI dengan kriteria mayor dan minor yaitu
mual dan muntah, monitor tanda vital, jelaskan jenis obat dan alasan
dalam buku SDKI dengan kriteria mayor dan minor yaitu mengeluh
sulit tidur, mengeluh tidak puas tidur, mengeluh pola tidur berubah,
pasien sulit tidur karena sesak napas, posisi pasien fowler tidak bisa
BAB V
KESIMPULAN DAN
SARAN
Kesimpulan
penulis, pada diagnosa bersihan jalan napas dan pola napas tidak
sudah teratasi.
Saran
Hasil studi kasus ini dapat dijadikan data dasar untuk melakukan
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kajianpustaka.com/2019/04/karakteristik-jenis-dan-prosedur-
penelitian-kualitatif.html
268–275.https://doi.org/10.20473/jbe.v6i32018.268-275
Penderita, K., Samping, E., Berobat, P., & Paru, T. (2019). HIGEIA JOURNAL
https://id.scribd.com/doc/301661595/Pathway-Tb-Paru