Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH STASE KARDIOPULMONAL

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI


EMPHYSEMA
DI BBKPM BANDUNG

Disusun Oleh :
Nama : Erina Ebhi Prabandari
NIM : 181030106013

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2020

HALAMAN PENGESAHAN
MAKALAH PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

MAKALAH

Disusun Oleh:
Nama : Erina Ebhi Prabandari
NIM : 1810306013

Telah Memenuhi Persyaratan Dan Disetujui Oleh Pembimbing Lahan Praktik


Guna Memenuhi Tugas Praktik Program Studi Fisioterapi Profesi Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta Periode 23 Desember 2019 sampai
dengan 08 Februari 2020

Oleh :
Pembimbing : Dyah Widiningsih, Ft,. Ftr
Tempat / Tanggal : Bandung, 30 Januari 2020

Tanda Tangan: ................................


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan pada kami dalam menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Penataksanaan Fisioterapi Pada KasusPenyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)”.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas Praktik Profesi
Universitas ‘Aisiyah Yogyakarta. Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung penulis sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan lancar dalam waktu yang sesuai.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Bandung, 30 Januari 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyebab utama penyakit paru-paru adalah merokok. Kondisi ini dapat
diidentifikasi dengan bantuan dari banyak tanda-tanda dan gejala symptoms
yang paling signifikan dari emfisema adalah sesak napas, di mana seseorang
tidak dapat bernapas bahkan untuk latihan sederhana. Kadang-kadang orang
dengan mengi emfisema juga memiliki masalah, dan pengalaman sesak di
dada. Ada juga mungkin kehilangan nafsu makan dan kehilangan berat badan,
walaupun mungkin tidak ada perubahan dalam diet seseorang (Amoros,
2018).
Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok
tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi
rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang
rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328
miliar batang setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia 215
miliar batang rokok setahun. Kondisi ini memerlukan perhatian semua fihak
khususnya yang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
(American ThoracicAssociation, 2015).
Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis paru yang ditandai
dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus
terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Rokok adalah penyebab
utama timbulnya emfisema paru. Biasanya pada pasien perokok berumur 15-
25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran napas
kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada
umur 45-55 tahun terjadi sesak napas, hipoksemia, dan perubahan spirometri.
Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal yang dapat menyebabkan
kegagalan napas dan meninggal dunia (Andayani, 2014).
Orang yang menderita emfisema mungkin mengalami kelelahan dan
bahkan aktivitas yang sederhana seperti membungkuk untuk mengikat sepatu
mungkin membuat mereka sesak napas. Terlepas dari ini, pasien mungkin
memiliki batuk kronis yang menghasilkan dahak kuning atau hijau, dan bibir
dan kuku mereka mungkin biru atau abu-abu yang rendah menunjukkan
kurangnya oksigen dalam tubuh. Seperti orang yang kesulitan bernafas ketika
mereka merasa dingin (Barcel dan Gea, 2016).
Emphysema bukanlah sesuatu yang terjadi dalam semalam seperti pilek
atau flu, tetapi berkembang selama bertahun-tahun dan tidak ada obat untuk
kondisi ini. Namun, jika pasien berhenti merokok, maka ia dapat
menghentikan kerusakan lebih lanjut paru-paru, sehingga mengurangi
ketidaknyamanan yang ia alami. Oleh karena itu, saat ketika seseorang
merasa sesak napas dan jika ia memiliki kebiasaan merokok, ia harus benar-
benar mendapatkan tes yang relevan yang diperlukan untuk diagnosis dan
menyelamatkan emfisema paru-parunya (Andayani, 2014).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari emfisema ?
2. Bagaimana patofisiologis dari kasus emfisema ?
3. Bagaimana manajemen fisioterapi pada kasus Emfisema ?

B. TUJUAN PENULIS
1. Untuk mengetahui definisi dari emfisema.
2. Untuk mengetahui patofisiologis dari kasus emfisema.
3. Untuk mengetahui bagaimana manajemen fisioterapi pada kasus
Emfisema.
BAB II
PEMBAHASAN

A. SISTEM PERNAPASAN DAN EMFISEMA


Sistem Pernapasan adalah sistem yang terdiri dari paru-paru dan sistem
saluran bercabang yang menghubungkan tempat pertukaran gas dengan
lingkungan luar. Pernapasaan sendiri merupakan proses pertukaran oksigen
dari udara oleh organisme hidup yang digunakan untuk serangkaian
metabolisme yang akan menghasilkan karbondioksida yang harus
dikeluarkan, karena tidak dibutuhkan oleh tubuh (Bentsen, 2010).
Setiap makluk hidup melakukan pernafasan untuk memperoleh oksigen
yang digunakan untuk pembakaran zat makanan di dalam sel-sel tubuh.
Sistem pernapasan terdiri dari organ-organ pernapasan, yaitu rongga hidung,
faring, trakea, pulmo (bronkus, bronkiolus dan alveolus) (Mark, 2011).

Organ pernapasan terdiri atas :


1. Rongga Hidung Rongga hidung merupakan saluran yang pertama kali
dilalui dalam proses pernapasan. Dalam rongga hidung terdapat selaput
lendir yang berfungsi menangkap kotoran/benda asing yang masuk
saluran pernapasan. Selain itu terdapat rambut yang berguna untuk
menyaring kotoran yang ikut masuk bersama udara. Terdapat konka yang
berisi banyak kapiler darah untuk menghangatkan udara yang masuk.
2. Faring Merupakan percabangan dua saluran yaitu nasofarings (bagian
depan) dan orofarings (bagian belakang).
3. Trakea merupakan pipa panjang yang sebagian terletak di leher dan
sabagian lagi berada di dada. Strukturnya kaku dan dikelilingi cincin
kartilago. Sel epitel penyusun trakea adalah epitel silindris berlapis semu
bersilia.
4. Bronki Merupakan percabangan setelah trakea. Disusun oleh tulang
rawan yang bentuknya tidak teratur. Bronki bercabang lagi menjadi
bronkiolus.
5. Pulmo terbagi atas dua bagian yaitu bagian dekster (terdiri atas 3 lobus)
dan bagian sinister (terdiri atas 2 lobus). Memiliki dua selubung (pleura)
yang membungkus pulmo. Selaput bagian luar disebut pleura parietalis
yang menyelimuti rongga dada dengan tulang rusuk. Sedangkan selaput
bagian dalam disebut pleura visceralis yang menyelimuti paru-paru
secara langsung.

Inspirasi dan Ekspirasi Pada saat bernapas terjadi kegiatan


inspirasi dan ekspirasi. Fase inspirasi adalah berkontraksinya otot antar
tulang rusuk sehingga rongga dada membesar, tekanan dalam rongga
dada mengecil, udara kaya O2 masuk. Sebaliknya, fase ekspirasi adalah
fase relaksasi atau kembalinya otot antar tulang rusuk ke posisi semula
sehingga rongga dada mengecil, tekanan dalam rongga dada besar, dan
udara kaya CO2 dihembuskan keluar (Bentsen, 2010).
Paru-paru memegang peranan penting dalam mekanisme
pernapasan ini. Paru-paru merupakan organ yang berstruktur seperti spon
yang elastis dan memiliki permukaan yang luas sebagai tempat
pertukaran gas. Di dalam paru-paru, terdapat bronkiolus yang bercabang-
cabang yang berakhir pada organ alveolus (Cully, 2016).
Alveolus menyerupai buah anggur yang memiliki selaput tipis
dimana banyak terdapat kapiler-kapiler darah sehingga memungkinkan
terjadinya difusi antara Oksigen dan karbondioksida. Apabila terjadi
gangguan atau kerusakan pada dinding alveolus, maka akan
menimbulkan akibat yang fatal, salah satunya yaitu emfisema (Cully,
2016).

B. DEFINISI
Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh
kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya.
Gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena
kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami
kerusakan yang luas (GOLD, 2018).
Definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan The
American Thorack society :
1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang
dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.
2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran
abnormal ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan
desruksi dindingnya
3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas
paru dan luas permukaan alveoli.
4. Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai
kerusakan dinding alveolus.
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang
melibatkan kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru.
Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang diperlukan. Emfisema
membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan
sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok (GOLD, 2015).
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus
sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada
penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan
orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari
paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim
alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini
(Gudmonnson, 2015).
Jenis Emfisema Menurut American Thoracic Society (2013), jenis
emfisema terbagi atas :

 Paracicatricial, yaitu terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan


dinding alveolus di tepi lesi fibrotik paru.
 Lobular, yaitu terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding
alveolus di sinus/lobulus sekunder. Menurut tempat terjadinya,
emfisema terbagi atas :
1. Centriacinar atau Centrilobular Emfisema (CLE) CLE ini secara
selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-
dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya
cenderung menjadi satu ruang. Penyakit ini sering kali menyerang
bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE
lebih banyak ditemukan pada perokok berat dengan bronchitis
kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok.
2. Panacinar atau Panlobular Emfisema (PLE) Panlobular Emfisema
mempengaruhi bagian bawah paru-paru. Jenis emfisema ini
disebabkan terutama karena kekurangan enzim alfa-1 antitrypsin,
yang penting untuk fungsi normal paru-paru. Merupakan bentuk
emfisema yang kurang umum, dan dapat dijumpai pada orang yang
tidak pernah merokok atau perokok pasif. CLE dan PLE sering kali
ditandai dengan adanya bullae tetapi bisa juga tidak.
Biasanya bullae timbul akibat adanya penyumbatan katup
pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus
melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat
penebalan mukosa dan banyaknya mucus. Tetapi sewaktu ekspirasi,
lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan
dapat menghalangi keluarnya udara.
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi
dapat juga tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan
katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkiolus
melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat
penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi,
lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan
dapat menghalangi keluarnya udara.
C. ETIOLOGI
1. Merokok
Rokok Menurut buku Report of the WHO Expert Committee on
Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema
paru. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP
(volume ekspirasi paksa) per 1 detik. Secara patologis rokok dapat
menyebabkan gangguan pergerakkan silia pada saluran pernapasan,
menghambat fungsi makrofag alveolar, dan menyebabkan hipertrofi dan
hiperplasi kelenjar mucus bronkus (Gupta dan Kant, 2019)
Terganggunya fungsi makrofag alveolar akan mempermudah
terjadinya perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta infeksi pada
paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan
obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah.
Disamping itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear
melepaskan enzim protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease
(Alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas
keduanya (Gupta dan Kant, 2019).
2. Infeksi Saluran Napas
Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru lebih
berat. Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis
akut, asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan napas, yang
pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema (Hill et al, 2018).
3. Polusi
Polusi industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya
emfisema. Insidensi dan angka kematian emfisema lebih tinggipada
daerah yang padat industrialisasi. Polusi udara seperti asap rokok juga
menyebabkan gangguan pada silia dan menghambat fungsi makrofag
alveolar (Gupta dan Kant, 2019).
4. Genetik
Keturunan atau Faktor Genetik Biasanya emfisema diderita oleh
orang yang mengalami defisiensi enzim a-1-antitripsin. Enzim ini bekerja
menetalkan enzim proteolitik yang dikeluarkan saat terjadi peradangan
dan kerusakan jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan
jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi a-1-antitripsin adalah suatu
kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Emfisema paru akan
lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok (Hill et al, 2018).
5. Obstruksi Jalan Napas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau
bronkiolus, sehingga terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke
dalam alveolus pada waktu inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada
waktu ekspirasi (Hill et al, 2018).
6. Hipotesis Elastase dan Anti-Elastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan anti elastase supaya tidak ada kerusakan jaringan. Perubahan
keseimbangan akan menimbulkan kerusakan jaringan elastik paru.
Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase
yang penting adalah pankreas, sel-sel PMN dan makrofag alveolar (PAM
atau Pulmonary alveolar macrophage) (Jones, 2018).
Perangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi,
menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem anti elastase
(enzim a-1 protease-inhibitor) menjadi menurun. karena tidak ada lagi
keseimbangan antara elastase dan anti elastase akan menimbulkan
kerusakan jaringan elastin paru dan kemudian terjadi emfisema (Jones,
2018).

D. GEJALA DAN KLINIS


Tanda dan Gejala Emfisema Gejala-gejala yang umum ditemukan pada
penderita emfisema antara lain: 1. Sesak napas atau nafas pendek 2. Mengi 3.
Sesak dada (sakit di bagian dada) 4. Batuk kronis 5. Timbul infeksi sistem
respirasi 6. Hilangnya berat badan dan nafsu makan berkurang Hal-hal yang
dapat ditimbulkan oleh Emfisema yaitu :
a. Hilangnya elastisitas paru-paru. Protease (enzim paru) mengubah alveoli
dan saluran nafas kecil dengan cara merusak serabut elastin, sebagai
akibatnya kantong alveolar kehilangan ke-elastisannya sehingga jalan
nafas menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli akan rusak dan
dapat membesar.
b. Hiperinflasi Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru kembali
kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak, akibatnya
membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada
pemeriksaan sinar-X.
d. Kolaps jalan napas kecil yang menyebabkan udara terperangkap Ketika
seorang penderita emfisema berusaha untuk ekshalasi secara kuat,
tekanan positif intratorak akan menyebabkan kolapsnya jalan nafas
(alveoli).
Kerusakan yang disebabkan oleh emfisema adalah permanen
bahkan setelah seseorang berhenti merokok. Orang dengan penyakit ini
tidak mendapatkan cukup oksigen dan tidak dapat membasmi karbon
dioksida, sehingga mereka selalu memiliki kekurangan napas. Emfisema
biasanya awalnya hadir dengan dispnea (sesak nafas) selama aktivitas
fisik (Khausarika, 2013).
Mereka dapat mulai kehilangan berat badan dan memiliki takipnea
(pernafasan cepat) ketika mereka mencoba untuk memperpanjang masa
berlakunya berakhir. Pernapasan sulit dan pasien harus menggunakan
otot aksesori untuk membantu mereka bernapas. Pasien dapat memiliki
peningkatan anteroposteriordiameter dada mereka yang kadang-kadang
disebut “dada barel” (Khausarika, 2013).
Pasien sering terlihat condong ke depan dengan lengan
diperpanjang atau bersandar pada sesuatu untuk membantu mereka
bernapas. Ketika paru-paru auskultasi dan dada perkusi dilakukan ada
suara hyperresonant yang terdengar (Khausarika, 2013).
Emfisema pasien dapat memiliki gejala sianosis, menurunkan kadar
oksigen dan tingkat karbon dioksida meningkat.
Gejala :
 Pada awal gejalanya serupa dengan bronkhitis Kronis
 Napas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit
 Dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol, penderita
sampai membungkuk
 Bibir tampak kebiruan
 Berat badan menurun akibat nafsu makan menurun
 Batuk menahun
Sesak napas dalam waktu lama dan tidak dapat disembuhkan dengan
obat pelega yang biasa digunakan penderita sesak napas. Nafsu makan yang
menurun dan berat badan yang menurun juga biasa dialami penderita
emfisema.Gejala utama dari emfisema adalah sesak napas, sesak nafas dan
mengurangi kapasitas untuk kegiatan fisik, yang keduanya cenderung
menjadi lebih buruk selama penyakit berlangsung. Manifestasi Klinik dari
emfisema adalah sebagai berikut :
1. Kurus, warna kulit pucat, dan flattened hemidiafragma
2. Bibir tampak kebiruan
3. Tekanan darah menurun
4. Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada
stadium akhir
5. Usia 65-75 tahun

E. PATOFISIOLOGIS
Emfisema merupakan kelainan atau kerusakan yang terjadi pada dinding
alveolar dapat menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan
udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada
emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara
alveoli, jalan napas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk
mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan
tertahan di antara ruang alveolar (blebs) dan di antara parenkim paru-paru
(bullae). Proses ini akan mengakibatkan peningkatan ventilator pada dead
space atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah (Megari,
2017).
Kerja napas meningkat dikarenakan kekurangan fungsi jaringan paru
untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru. Akibat lebih lanjutnya adalah
penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat
emfisema di anggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul
pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronkitis
kronis dan merokok (Megari, 2017).
Penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang
berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-
anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan
enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak
jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari
kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat
keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan (Megari, 2017).
Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic
paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase
yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini
menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti
elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim
alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi
keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan
jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema (Megari, 2017).
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai
perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat
menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru.
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi
sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana
pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pada
pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang
bertambah di sebelah distal dari alveolus (Megari, 2017).
Pada Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling sering
terkena adalah belahan paru kiri atas.Hal ini diperkirakan oleh mekanisme
katup penghentian.Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang
terdapat di dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai
kemampuan penyesuaian diri yang berlebihan.Selain itu dapat juga
disebabkan stenosis bronkial serta penekanan dari luar akibat pembuluh
darah yang menyimpang (Megari, 2017).
Mekanisme katup penghentian : Pengisian udara berlebihan dengan
obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu
bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus
menjadi lebih penimbunan udara di alveolus menjadi bertambahsukar
dari pemasukannya disebelah distal dari paru. Pada emfisema
parupenyempitan saluran nafas terutama disebabkan elastisitas paru yang
berkurang (Megari, 2017).
Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang
menarik jaringan paru ke luar yaitu disebabkan tekanan intrapleural dan
otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru
kedalam yaitu elastisitas paru. Bila terpapar iritasi yang mengandung
radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar partikel bebas ini akan sampai di
alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang
dapat merusak paru (Megari, 2017).
Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya
dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase pada
saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial
alveolus.Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat aktivitas
silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang. Sehingga iritasi
pada sel epitel mukosa meningkat (Megari, 2017).
Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini
ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di
saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta
pembentukanjaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan
pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan
obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi
pelebaran alveolus yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli
(Megari, 2017).
F. FAKTOR RESIKO
a. Umur. Meskipun kerusakan paru-paru yang terjadi pada emfisema
berkembang secara bertahap dari waktu ke waktu, kebanyakan orang
yang terkait dengan tembakau emphysema mulai mengalami gejala
penyakit antara usia 50 dan 60.
b. Paparan asap rokok, Secondhand. Asap, juga dikenal atau lingkungan
seperti asap tembakau pasif adalah asap yang secara tidak sengaja Anda
isap dari rokok, pipa seseorang lain atau cerutu.
c. Paparan Pekerjaan untuk uap kimia. Jika Anda bernapas asap dari bahan
kimia tertentu atau debu dari gandum, kapas, atau pertambangan produk
kayu, Anda akan lebih mudah untuk mengembangkan emfisema.Risiko
ini bahkan lebih besar jika Anda merokok.
d. Paparan polusi indoor dan outdoor emphysema. Indoor Breathing polutan
seperti asap dari bahan bakar pemanas maupun outdoor karena polutan
knalpot mobil, misalnya meningkatkan risiko.
e. Keturunan,. Sebuah langka mewarisi kekurangan protein, alpha-1-
antitrypsin (AAT) dapat menyebabkan emphysema, terutama sebelum
usia 50, dan bahkan sebelumnya jika Anda merokok.
f. Infeksi. HIV Perokok yang hidup dengan HIV lebih berisiko terhadap
emphysema – dan pengembangan penyakit tersebut pada usia yang relatif
muda dibandingkan adalah perokok yang tidak memiliki infeksi HIV.

G. KOMPLIKASI
Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami
kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida
dalam darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaringan kapiler
pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan
dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah (kor pulmonal) adalah salah
satu komplikasi emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema
dependen), distensi vena jugularis, atau nyeri apada region hepar menandakan
terjadinya gagal jantung (PDPI, 2011).
 Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
 Daya tahan tubuh kurang sempurna
 Tingkat kerusakan paru semakin parah
 Proses peradangan kronis pada saluran nafas
 Pneuomonia
 Atelaktasis
 Pneumothoraks
 Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien

H. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI
1. Infra Merah
a. Persiapan Alat : Siapkan alat kemudian cek keadaan lampu, cek
kabel, ada yang terkelupas atau tidak.
b. Persiapan Pasien : Posisikan pasien senyaman mungkin, bebaskan
area yang akan diterapi dari kain atau pakaian, sebelum diterapi kulit
harus kering dan dilakukan tes sensibilitas terlebih dahulu serta
berikan informasi yang jelas tentang tujuan terapi mengenai apa yang
akan dirasakan dan apa yang tidak boleh dilakukan selama terapi.
c. Pelaksanaan : Alat diatur sedemikian rupa, sehingga lampu sinar
infra merah dapat menjangkau daerah dada dan punggung dengan
jarak 30-45 cm. Posisi lampu sinar infra merah tegak lurus daerah
yang akan diterapi. Setelah semuanya siap alat dihidupkan, kemudian
atur waktu 10- 15 menit. Selama proses terapi berlangsung fisioterapi
harus mengontrol rasa hangat yang diterima pasien, jika selama
pengobatan rasa nyeri, pusing, ketegangan otot meningkat. Dosis
harus dikurangi dengan menurunkan intensitasnya, dengan sedikit
menjauhkan sinar infra merah. Hal ini berkaitan dengan adanya over
dosis. Setelah proses terapi selesai matikan alat dan alat dirapikan
seperti semula.
2. Breathing Excercise
a. Persiapan Pasien : pasien rileks, pasien duduk ditepi Bed
b. Pelaksanaan : Pasien diinstruksikan untuk menarik nafas panjang
melalui hidung dan mengeluarkannya secara pelan- pelan melalui
mulut pengulangan 2-5 kali.

3. Mobilisasi Sangkat Torak


a. Persiapan Pasien : Pasien tidur telentang
b. Pelaksanaan : Pasien diberi contoh oleh Terapis
kemudian disuruh untuk mengulanginya, pasin disuruh ambil nafas
panjang melalui hidung bersamaan dengan itu pasien menggerakkan
kedua lengannya keatas.
kemudian disuruh untuk menghembuskannya secara pelan-pelan
melalui mulut sambil kedua tangannya diturunkan. Ulangi 1-8 kali.

4. Batuk Efektif
a. Persiapan Pasien : Posisi pasien duduk ditepi bed
b. Pelaksanaan : Tarik nafas pelan & dalam dengan
pernafasan diafragma, Tahan nafas 2 detik atau hitung sampai 2
hitungan Batukkan 2 kali dengan mulut sedikit terbuka. Batuk
pertama akan melepaskan secret atau mucus dari tempatnya dan
batuk kedua akan mendorong keluar mucus tersebut. Batuk yang
efektif adalah yang bersuara “huk“. Sebagian penderita harus
didorong untuk berani batuk. Sugesti dapat diberikan dengan cara
terapis batuk mendahului penderita.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh
kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya.
Gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena
kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami
kerusakan yang luas
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadi emfisema,
diantaranya adalah: rokok, infeksi, polusi, faktor genetik, obstruksi jalan
napas emfisema.

B. Saran
Setiap penyakit mempunyai faktor resiko masing-masing, dari faktor
yang mempengaruhi kita dapat memperlajari dan memberikan tindakan
terhadap penderita. Dari yang sudah dipaparkan diatas diharapkan bisa
mempermudah kita dalam mengenal penyaki paru obstruksi kronik termasuk
dengan emfisema tersebut. Sehingga dapat kita cegah dan dapat kita hindari.
DAFTAR PUSTAKA

American Lung Association. (2015).Trends in COPD (Chronic Bronchitis


andEmphysema): morbidity and mortality.Epidemiology and statistics
unitresearch and healtheducation division.

Amoros. (2018).Quality oflife in patient withchronic obstructivepulmonary


disease : the predictive validity of the BODE Index. Slae Pub.Chronic
Respiratory Disease 5 : (7-11)

Andayani, N. (2014).Hubungan derajat sesak napas penyakit paru


obstruktifkronik dengan simptom ansietas.Jurnal Kedokteran Syiah Kuala
Volume 14Nomor 2

Balcells, E., Gea, J. (2016).Factors affecting the relationship


betweenpsychological status and quality of life inCOPD patients.BioMed
Central.Health and Quality of Life Outcomes, 8: 108 : Barcelona, Spanyol.

Bentsen. (2010). Self-efficacy as a predictor of improvement in health statusand


overall quality of life in pulmonary rehabilitation an exploratory study.Patient

Mark. (2011).COPDSignificantly reduces health-related quality of life.Respir.


Med. 105 (57-66)

Cully. (2016).Quality of life in patients with chronic obstructive


pulmonarydisease and comorbid anxiety or depression.Psychosomatics. 47:
312-319.The Academy of Psychosomatic Medicine

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD).


(2018).Globalstrategy for the diagnosis, management, and prevention of
chronicobstructive pulmonary disease (update 2013).June 20, 2013. Am J
RespirCrit Care Med. Vol 187, Iss 4, pp 347-365 : American Thoracic
Society.

Global Initiative for Chronic Obstructive LungDisease (GOLD), Update


2015.Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of
chronicobstructive pulmonary disease.Barcelona: GOLD Inc

Gudmundsson, G.,et al. (2015).Risk factor for rehospitalisation in COPD : Roleof


health status, anxiety, and depression.Eur Respir J 2005; 26:414-419.

Gupta, B., & Kant, S. (2019).Health related quality of life(HRQoL) in COPD.The


Internet Journal of Pulmonary Medicine.11 (1). TheInternet Journal
ofPulmonary Medicine.
Hill, K., Geist, R., Goldstein, R.S., & Lacasse, Y. (2018).Anxiety and
depressionin end-stage COPD. Series “Comprehensive Management of End-
StageCOPD” Eur Respir J 2008; 31 : 667-677

Jones, P.W. (2018).St george’s respiratory questionnaire–Manual.Version


2.3.London (UK) : St. George’s University of London.

Khausarika, S. (2013).Kualitas hidup pasienpenyakit paru obstruktif kronik dipoli


paruRsudza Banda Aceh. Skripsi. Aceh : ETD Unsyiah

Megari, K. (2017).Quality of life in chronic disease patients.Health


PsychologyResearch, Volume 1:e27.School of Psychology, Aristotle.
University ofThessaloniki, Greece.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia(PDPI). (2011).Diagnosis


danpenatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronik(PPOK).Jakarta
:Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Anda mungkin juga menyukai