KARDIORESPIRASI
Pada penyakit influensa babi klasik, virus masuk melalui saluran pernapasan atas
kemungkinan lewat udara. Virus menempel pada trachea dan bronchi dan berkembang secara
cepat yaitu dari 2 jam dalam sel epithel bronchial hingga 24 jam pos infeksi. Hampir seluruh
sel terinfeksi virus dan menimbulkan eksudat pada bronkioli. Infeksi dengan cepat menghilang
pada hari ke 9. Lesi akibat infeksi sekunder dapat terjadi pada paru karena aliran eksudat yang
berlebihan dari bronkhi. Lesi ini akan hilang secara cepat tanpa meninggalkan adanya
kerusakan. Kontradiksi ini berbeda dengan lesi pneumonia enzootica babi yang dapat
bertahan lama. Pneumonia sekunder biasanya karena serbuan Pasteurella multocida, terjadi
pada beberapa kasus dan merupakan penyebab kematian. Pengaruh masalah anatomi dan
fisiologi dapat berkembang menjadi maslah fungsional yang akan menggangu aktivitas
hidup sehari-hari bahkan kematian.
C. Pemeriksaan
1) Pemeriksaan dasar:
a. Anamnesis
Gejala paling umum dari influenza adalah menggigil, demam, nyeri tenggorokan, nyeri otot,
nyeri kepala berat, batuk, kelemahan, dan ketidaknyamanan secara umum.
D. Evaluasi
1) Analisa data hasil Pengukuran subjekti dan objektif dengan standar normal
b Fungsi pernapasan
2) Outcome Measure masalah fisioterapi berdasarkan prioritas.
a. Spirometri
E. Diagnosa Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b.440-449; s. 430; d.410-490; e.110-190
2) Problema aktual dan potensial yang dijumpai
a Nyeri
b Batuk
c Kelemahan dan ketidaknyamanan umum
F. Prognosis Fungsional
Fungsi sempurna setelah masa flu berlalu.
G. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target; Disability target, dan
Environment Target)
a. Pembersihan jalan napas.
b. Meningkatkan ventilasi.
c. Meningkatkan mobilitas toraks.
d. Mencegah dan meningkatkan mobilitas anggota gerak atas
e. Meningkatkan toleransi aktifitas
2) Modalitas yang direkomendasikan berdasarkan PMK 65/2015 ICD 9
I. Referensi
1) Brankston G, Gitterman L, Hirji Z, Lemieux C, Gardam M. Transmission of influenza A in human
beings. Lancet Infect Dis 2007;7(4):257-65.
2) Dewi Murniati, Sardikin Giriputro, Sri Rezeki S.Hadinegoro;2011. RS
Penyakit Infeksi Prof DR Sulianti Saroso dan Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS.Cipto Mangunkusumo
Jakarta; pediatri Volume 12 no 5 .
3) Harper SA, Fukuda K, Uyeki TM, Cox NJ, Bridges CB (July 2005). "Prevention and control of
influenza. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP)".
MMWR Recomm Rep 54 (RR-8): 1–40
4) Kemenkes 2013; Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Kasus Konfirmasi Atau Probabel
Infeksi Virus Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus; Direktorat Jenderal Pengendalian
PenyakitDanPenyehatanLingkungan; Depkes RI
5) Stedman TL. Stedman’s medical dictionary. 28th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006.
6) Ostroff D, McDade J, LeDuc J, Hughes J. Emerging and reemerging infectious disease threats. In:
Dolin R, ed. Principles and Practice of Infectious Disease. Philadelphia: Elsevier Churchill
Livingstone; 2005:173-92
7) WHO/CDS/EPR/2007.6; Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang
cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan; http://apps.who.
int/iris/bitstream/ 10665/69707/14/ WHO_CDS_ EPR_2007.6_ind.pdf
2. FISIOTERAPI PADA SINUSITIS
A. Coding
1) Kode ICD : 10: J01 akut dan Kronik: J 32.0-j 32.8; ICD-9-CM 473.9
2) Kode ICF : b. 310-320,b.450-455, s 3100-3109, d 410-510. e. 110- 210
B. Kondisi kesehatan
1) Pengertian
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis etmoid; sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid.
2) Insidensi dan Prevalensi
Data dari Depkes RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25dari 50 pola
penyakitperingkatutamaatausekitar102.817penderitarawatjalandirumahsakit.
3) Patologi dan Patologi fungsional
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar di
dalam komplek osteo meatal (KOM). Di samping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial
dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernapasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang berhadapan
akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan
tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya
cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila
tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk
tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut
bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut,
akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Gejala paling umum pada sinusitis adalah sumbatan secret hidung anterior/posterior, nyeri pada wajah
dan berkurangnya sensitivitas pembau.
2) Pemeriksaan klinis
Rontgen/CT Scan: mengetahui perubahan anatomi sinus dan hidung
Pemeriksaan Lab: pemeriksaan mukus (transudat atau exudat).
3) Pemeriksaan fisik berdasarkan PMK 65/2015 ICD 9
a. Mengurangi inflamasi
CM – 93.94
Inhalasi CM – 93.35
Ultrasound diathermy MWD CM – 93.34
b. Mengurangi nyeri dan Massage CM – 93.61
mengeluarkan transudate atau MLD CM – 93.66
eksudat Pengaturan posisi 24-72
CM – 93.99
intervensi
pengasatan
selama 2-6
c. Meningkatkan fungsi Latihan pernapasan CM – 93.14
bulan
pernapasan Edukasi CM – 93.82
H. Kriteria Rujukan
6 kali fisioterapi tidak mencapai tujuan 75%.
I. Referensi
1) Dr. Mark Lynch; 2015, demonstrating sinus/throat lymphatic drainage massage Vidio,
https://www.youtube.com/watch?v=0KQYXVjjpio&t=420s
2) Milady's ; 2004; Guide to Lymph Drainage Massage; Ramona Moody French;
Delmar/Cengage;
3) Pedoman Interim WHO Juni 2007 Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan.
4) Richards S (2005). "Flu blues". Nurs Stand 20 (8): 26–7. PMID16295596.
5) Heikkinen T (July 2006). "Influenza in children". Acta Paediatr. 95 (7): 778–
84. doi:10.1080/08035250600612272. PMID16801171
6) Anon JB (April 2010). "Upper respiratory infections". Am. J. Med
3. FISIOTERAPI PADA ASMA BRONKIAL
A. Coding
1) Kode ICD 9 : 493; ICD-10: j45.8
2) Kode ICF : b.440-449; s. 430; d.410-499; e.110-199
B. Kondisi kesehatan
1) Pengertian
Asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran jalan napas yang menyebabkan hiper
reaktivitas jalan napas, yang menimbulkan gejala episodic berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk terutama pada malam dan atau dini hari.
2) Insidensi dan Prevalensi
Asma ekstrinsik umumnya berkembang pada usia muda, dari masa anak hingga remaja dan
berkurang frekuensi serangannya setelah imunitas dan kebugaran anak semakin meningkat. Asma
intrinsic umumnya berkembang pada dewasa madya, akibat penurunan kondisi imunitas dan
kebugaran.
3) Patologi dan Patologi fungsional
Serangan asma dipicu oleh hipereaktivitas bronkioli; mengakibatkan sesak disertai bising napas mengi
pada ekspirasi. Terjadinya bronkospasme merupakan kejadian yang kompleks dari aktivasi sel
imun. Proses regenerasi jaringan pasca inflamasi allergen menimbulkan penyusunan ulang jalan
napas (airway remodeling) setiap kali terjadi paparan allergen. Siklus berulang inflamasi dan
remodeling mengakibatkan terjadinya hipertrofi dan hyperplasia jalan napas; hipertrofi dan
hyperplasia kelenjar mucus, penebalan membrane reticular basal; peningkatan pembuluh darah,
peningkatan fungsi matriks ekstraseluler, perubahan struktur parenkim dan terbentuknya fibrosis jalan
napas. Akibat gangguan anatomi dan fisiologi menimbulkan masalah gerak dan fungsional seperti
berkomunikasi, gerak dasar; ADL; kerja atau rekreasi.
C. Pemeriksaan
A. Anamnesis
Anamnesis ditujukan pada onset serangan, sifat serangan dan gaya hidup terkait asma yang
diderita.
B. Pemeriksaan klinis;
a. Air way: kebersihan jalan nafas, spasme bronkus, sputum dll
b. Breathing : Pemeriksaan spirometry
c. Sirkulasi: keadaan kulit, edema, lympatik
d. Pemeriksaan laboratorium darah
e. Uji bronkodilator
f. Uji alergi
g. Chest XRay
C. Pemeriksaan fisik;
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a. Frekuensi sesak
b. Fungsi Ekspirasi
c. Integritas Otot bantu pernapasan
d. Pola napas
e. Integritas Sangkar Thoraks
f. Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a. Tes endurance
b. Spirometri
c. Antropometri Sangkar Thoraks
d. Borg Scale
E. Diagnosa Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b.440-449; s. 430; d.410-499; e.110-199
2) Problema aktual dan potensial yang dijumpai
a. Sesak
b. Keterbatasan aktivitas kerja
c. Keterbatasan aktivitas rekreasi
d. Deformitas Sangkar Thoraks
F. Prognosis Fungsional
Dengan fisioterapi intensif dan berkomitmen; fungsi pernapasan dapat kembali normal dan individu dapat
beraktivitas sesuai harapan.
G. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target, Disability target, dan Environment
Target)
a. Meningkatkan pemahaman tentang kondisi fisik pasien
b. Mengurangi frekuensi inflamasi saluran napas (S.43010).
c. Ketegangan m. scaleni sterno cledomastoideus, m.Trapezius s.7104)/(s.43038).
d. Kapasitas aerobic (b.4551),
e. FEV1 < 80 % (?)
f. Retensi sekret (b.4501),
g. Sesak napas/tachypnoea (b 4400),
h. Kemampuan latihan rendah (b.4548),
i. Berjalan dan bergerak (d.450-469)
j. Beraktivitas terbatas,
k. berjalan terbatas,
l. bekerja terbatas
m. Perlu alat tranportasi (e.5401)
n. Edukasi dan latihan (e.5851).
2) Modalitas yang direkomendasikan
Tingkat keparahan
0: Beresiko Normal spirometry
Gejala kronik ( Batuk dan produksi sputum)
PPOK Ringan/Mild FEV1/FVC < 70 %
FEV1≥80% perkiraan
Dengan atau tanpa gejala kronik ( batuk dan produksi sputum
2. PPOK Sedang/Moderate FEV1/FVC < 70%
30% ≤ FEV1 < 80% perkiraan ( IIA: 50% ≤FEV1< 80%
perkiraan
(II B: 30% ≤FEV1 < 50% perkiraan)
Dengan atau dengan gejala kronik (Batuk, Produksi sputum
dan sesak napas)
3. PPOK Berat/severe FEV1/FVC < 70%
FEV1 < 30%perkiraan atau FEV1 < 50% perkiraan
gagal pernapasan atau dengan tanda-tanda klinis gagal jantung
kanan
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan pada keluhan; riwayat penyakit dan pencarian factor predisposisi. Keluhan
utama pada pasien PPOK umumnya sesak, batuk produktif dan kelelahan yang progresif.
2) Pemeriksaan klinis;
a. Pemeriksaan spirometry,
b. Uji bronkodilator
c. laboratorium darah rutin, dan
d. Chest XRay
3) Pemeriksaan fisik;
A ICD 9
Vital signs: Meliputi: HR, RR,BP CM 93.09
B Pengukuran komposisi tubuh ICD 9
BB dalam Kg, dan TB dalam cm/m CM 93.07
C ICD 9
Pemeriksaan integritas otot pernapasan CM 93.04
D ICD 9
Pemeriksaan Sesak napas CM 93.09
E ICD 9
Pengukuran sangkar thoraks CM 93.09
F Pengukuran kapasitas fungsional pernapasan ICD 9
Prediksi ekspirasi danvolume residual CM 93.01
G ICD 9
Pengukuran Kemampuan daya tahan latihan (b) CM 93.01
H ICD 9
Alat bantu yang digunakan CM 93.01
D. Evaluasi;
1) Pengukuran Objektif
A. Antropometri sangkar thoraks
B. Pengukuran sesak
C. Retensi sputum
D. Daya tahan jantung paru
E. Integritas Otot bantu pernapasan
2) Outcome Measure
a. Antropometri sangkar thoraks
b. Borg ScaleTest endurance
c. Tes panjang otot
E. Diagnosa Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b.440-449, b 455, s430, s.730, d410-429, d450-469
2) Problema aktual dan potensial yang dijumpai
a. Sesak
b. Spasme otot pernapasan
c. Keterbatasan ekspirasi
d. Peningkatan volume residual
e. Retensi sputum
f. Penurunan toleransi aktivitas fisik
F. Prognosis Fungsional
Bisa kembali berfungsi optimal seiring peningkatan status kesehatan.
G. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target, Disability target, dan Environment
Target)
a. Meringankan rasa sesak napas (dyspnea)
b. Mengurangi spasme bronkus
c. Mengurangi spasme otot asesoris
d. Mengurangi keterpasaan ekspirasi
e. Meminimalkan volume residual
f. Memobilisasi sekresi. (s43010)
g. Meningkatkan FEV1 > 80 % (b)
h. Meningkatkan toleransi latihan
i. Meningkatkan kemampuan daya tahan latihan (b).
j. Meminalkan gangguan sikap (s)
k. Meningkatkan kemampuan kerja(d)
l. Menganalisa kebutuhan alat bantu yang digunakan dan lingkungan yang sesuai.
2) Modalitas yang direkomendasikan
H. Kriteria Rujukan
6 kali fisioterapi tidak mencapai tujuan 75%.
I. Referensi
1) Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention.
2015 [cited 2015 Jan 23]. Available from: http://www.ginasthma.org/documents/3
2) Sundaru H. Asma: apa dan bagaimana pengobatannya. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009.
3) Shehab M. Abd El-Kader; 2011; Physical Therapy for Cardiopulmonary disorders;
http://www.kau.edu.sa/Files/0053233/Subjects/Physical%20Therapy%20for%20Cardiopum
onary%20Disorders.pdf.
4) Canadian Lung Association [homepage on the internet]. Asthma: asthma treatment. Ottawa; 2015 [cited
2015 Feb 23]. Available from: http://www.lung.ca/lung-health/lung- disease/asthma/treatment.
5) Bruurs a, Marjolein L.J.,et al.The effectiveness of physiotherapy in patients with asthma: A systematic
review of the literature.Elsevier Journal 2012.
6) Graha,Chairinniza.2008.Terapi untuk Anak Asma.Jakarta:PT.Elex Media Komputindo
7) Jennifer A Pryor; Barbara A Webber; 2001 ; Physiotherapy For Respiratory And Cardiac
Problems ; Second Edition; Churchill Livingstone Edinburgh London New York
Philadelphia San Francisco Sydney Toronto
5. FISIOTERAPI PADA HIPERTENSI
A. Coding
1) Kode ICD 9 :401/ ICD-10 : I10
2) Kode ICF : b.4200 s.410,498 d: 410 e:110
B. Kondisi kesehatan
a. Pengertian
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi di mana tekanan darah melebihi normal atau
jumlah tertentu. Menurut CDC 2013, tekanan sistolik di atas 120 mmHg dan tekanan diastolic di atas
80 mmHg merujuk pada prehipertensi dan harus dilakukan perubahan gaya hidup.
2) Insidensi dan Prevalensi
Hipertensi pada umumnya terjadi pada usia diatas 40 tahun. Di Amerika, data statistik pada tahun 1980
menunjukkan bahwa sekitar 20% penduduk menderita hipertensi. Boedi darmayo dalam
penelitiannya, menemukan bahwa antara 1,8% - 28,6% penduduk dewasa adalah penderita hipertensi.
Angka 1,8% berasal dari penelitian di Desa Kalirejo, Jawa Tengah. Sedangkan nilai 28,6%
dilaporkan dari data hasil penelitian di sukabumi, Jawa Barat.
3) Patologi dan Patologi fungsional
Hipertensi adalah kondisi multifactor, namun diduga ada perubahan kadar aldosterone, penurunan
barorefleks, dan perubahan fungsi genetic yang memungkinkan terjadinya penurunan kemampuan
mengatur tekanan darah.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis ditujukan untuk memahami pola hidup, pola makan, pola aktivitas, dan tingkat stress
2) Pemeriksaan klinis;
a Pemeriksaan Lab lengkap b
Pemeriksaan EKG
c Pemeriksaan Rontgen Dada/Chest X-Ray
3) Pemeriksaan fisik;
D. Evaluasi;
1) Pengukuran Objektif
a. Tekanan darah
b. Spasme otot
2) Outcome Measure
Pemeriksaan tekanan darah
E. Diagnosa Fisioterapi
a. Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b.4200 s.410,498 d: 410 e:110
b. Problema aktual dan potensial yang dijumpai b
Peningkatan tekanan darah
c Ketegangan psikologis d
Risiko spasme otot
e Risiko kelelahan umum
F. Prognosis Fungsional
Pada perawatan yang benar, berkomitmen dan intensif, diharapkan tidak terjadi masalah fungsional
lainnya.
G. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target, Disability target, dan Environment
Target)
a. Gangguan pengaturan tekanandarah
b. Kelelahan
2) Modalitas yang direkomendasikan
H. Kriteria Rujukan
6 kali fisioterapi tidak mencapai tujuan 75%.
I. Referensi
1) Moini, Jahangir, MD, MPH.2013.Introduction to pathology for the physical
therapy assistent.Melbourne:Jones & Barlett Learning.
2) Lescher, Penelope, PT, MA, MCSP.2011.Pathology for the physical therapy
assistant.Philadelphia:Davis Company.
6. FISIOTERAPI PADA DIABETES MELLITUS
A. Coding
1) Kode ICD 9 : 249 ICD 10 E 11
2) Kode ICF : b.540, 545, s.550, 580 d. 450, 530-560, e 110.
B. Kondisi kesehatan
1) Pengertian
Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik di mana ada kadar gula darah tinggi dalam jangka
waktu lama, akibat defisit insulin baik secara absolut atau relatif. DM tipe satu dari kegagalan pankreas untuk
memproduksi insulin yang cukup. DM tipe 2 dimulai dengan resistensi insulin, suatu kondisi di mana sel-sel
gagal untuk merespon insulin dengan baik.
2) Insidensi dan Prevalensi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa diabetes mellitus mengakibatkan 1,5 juta kematian
pada tahun 2012, menjadikannya 8 penyebab kematian terkemuka. Pada tahun 2014, International Diabetes
Federation (IDF) memperkirakan bahwa diabetes mengakibatkan 4,9 juta kematian di seluruh dunia.
3) Patologi dan Patologi fungsional
Penderita DM Tipe 1 tidak mampu menghasilkan insulin. Akibatnya, sel otot danlemak tidak dapat mengakses
glukosa untuk memenuhi kebutuhan energy. Glukosa tidak dapat diserap ginjal, sehingga dikeluarkan (polyuria).
Otak, berdasarkan informasi kurangnya glukosa, memberisinyal haus (polydipsia) dan lapar (polifagia). Bila
proses ini berlanjut, lemak ditransformasi menjadi ketoacid, menurunkan kadar pH dan acidosis metabolic dan
dikompensasikan oleh respirasi Kussmauluntuk menurunkan PCO2.
Pada DM Tipe2, ada gangguan regulasi insulin,menjadi resisten. Akibatnya, walaupun jumlah insulin
memadai,namun tidak responsive terhadap glukosa. Umumnya terjaid karena resistensi insulin dan penambahan
berat badan. Walaupun gejalanya sama dengan DM Tipe 1, namun tidak sama progresifitasnya.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Selain pada gejala triad polyuria,polydipsia dan polifagia; pemeriksaandiarahkan pada gaya hidup dan progresifitas
kondisi pasien.
2) Pemeriksaan klinis;
a. Lab darah
b. Lab urine
c. IMT
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi;
a. Pengukuran Objektif
a. Indeks Massa Tubuh
b. Daya tahan jantung paru
c. Toleransi Aktivitas
d. Partisipasi Lingkungan
b. Outcome Measure
a. Indeks Massa Tubuh Skala Asia Pasifik
b. Tes endurance jantung paru
c. Pemeriksaan sensibilitas
E. Diagnosa Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD b.540,
545, s.550, 580 d. 450, 530-560, e 110
2) Problema aktual dan potensial yang dijumpai a
Penurunan toleransi aktivitas
b Penurunan daya tahan jantung paru c
Neuropati Diabetika
F. Prognosis Fungsional
Pada diabetes mellitus yang terkendali, progresifitas penyakit dapat diperlambat dan penurunan fungsi dapat ditunda. Namun
pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi daya tahan jantung paru danmetabolism.
G. Intervensi6-12 intervensi selama 2-4 minggu
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target, Disability target, dan Environment Target)
a. Menurunkan gula darah dengan meningkatkan fungsi insulin
b. Mengendalikan berat badan
c. Meningkatkan fungsi aerobik.
2) Modalitas yang direkomendasikan
Latihan aerobic – ICD 9 CM 93.36 – 24-72 intervensi selama 2-6 bulan
H. Kriteria Rujukan
Dokter spesialis penyakit dalam
I. Referensi
1) WHO 2016; Diabetes mellitus; http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs138/en/
2) WHO. October 2013. Archived from the original on 26 Aug 2013. Retrieved 25 March 2014
https://en.wikipedia.org/wiki/Diabetes_mellitus.
7. FISIOTERAPI PADA INFARK MIOKARD
A. Coding
1) Kode ICD 9 410 :ICD-10 : I25.2
2) Kode ICF 410. S : 410 d: 410, 450,510 e 110
B. Kondisi kesehatan
a. Pengertian
Miokard infark adalah proses dimana jaringan miokard mengalami kerusakan dalam region jantung yang mengurangi
suplai darah adekuat karena penurunan aliran darah koroner.
b. Insidensi dan Prevalensi
Di Amerika Serikat, diperkirakan 1,5 juta orang menderita miokard infark per tahun, dengan kematian sekitar
500.000. Pada kasus yang fatal, hampir separuh pasien meninggal sebelum sampai ke rumah sakit. Di tanah air
Indonesia angka kejadian penyakit jantung secara umum terus meningkat. Bahkan pada tahun 2000, penyakit jantung
telah menjadi penyebab kematian nomor satu di Indonesia. Insiden miokard infark meningkat sesuai penambahan usia,
dan lebih sering pada usia lebih dari 45 tahun. Laki- laki memiliki kemungkinan terkena miokard infark empat sampai
lima kali dibandingkan perempuan.
c. Patologi dan Patologi fungsional
Kematian jaringan otot jantung terjadi karena penurunan suplai darah sekunder akibat oklusi pada arteri koronaria.
C. Pemeriksaan
a. Anamnesis
Anamnesis diarahkan pada onset nyeri, sifat nyeri, perluasan nyeri, serta tingkat kemampuan melakukan aktivitas.
b. Pemeriksaan klinis;
a. Lab darah dan urine lengkap
b. Lab enzim jantung
c. EKG
d. Chest XRay
c. Pemeriksaan fisik
D. Evaluasi;
1) Pengukuran Objektif
a. Nyeri
b. Sesak
c. Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a. Borg Scale
b. Tes daya tahan jantung paru
E. Diagnosa Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD b
410, s 410, 420 d 410, 450 e 110, 115
2) Problema aktual dan potensial yang dijumpai a
Risiko komplikasi pasca operasi
b Risiko komplikasi tirah baring
c Penurunan daya tahan jantung paru d
Penurunan fungsi pernapasan
e Penurunan efektivitas batuk f
Ketegangan emosional
g Penurunan fleksibilitas dan mobilitas ekstremitas atas
F. Prognosis Fungsional
Dengan fisioterapi intensif, diharapkan dapat kembali ke aktivitas sehari-hari atau menyesuaikan diri terhadap aktivitas fisik
yang diharapkan.
G. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target Disability target, dan Environment Target)
a Meningkatkan ventilasi
b Meningkatkan efektifitas mekanisme batuk c
Mencegah atelectasis
d Meningkatkan kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot respirasi.
e Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine. f
Koreksi pola-pola napas yang tidak efisien dan abnormal
g Meningkatkan relaksasi
h Meningkatkan sirkulasi darah ke arteri coroner i
Mencegah terjadinya iskemia yang luas
j Meningkatkan toleransi aktifitas
k Menjaga mobilitas anggota gerak atas (pencegahan keterbatasan gerak)
2) Modalitas yang direkomendasikan (6-12 intervensi selama 2-4 minggu)
D. Evaluasi;
1) Pengukuran Objektif a
Edema
b Antropometri ekstremitas
2) Outcome Measure a
Antropometri
b Pitting edema
c Stemmer Sign
E. Diagnosa Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD b
435 b439 s420
2) Problema aktual dan potensial yang dijumpai a
Nyeri
b EdemaHambatan aktivitas sehari-hari
F. Prognosis Fungsional
Pada limfedema dengan kausa anatomis dibutuhkan alat bantu untuk mengelola edema. Pada limfedema dengan kausa
fungsional sirkulasi limfatik, dapat diupayakan kembali seperti fungsi normal.
G. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target Disability target, dan Environment Target)
a Melancarkan sirkulasi limpatik
b Meningkatkan ROM / Increased range of motion/flexibility c
Mengurangi pembengkaan.
d Mengurangi nyeri.
e Meningkatkan kekuatan
f Mengembalikan fungsional aktivitas.
2) Modalitas yang direkomendasikan
Pada Limfedema primer atau dengan perubahan struktur anatomis, tidak dapat ditentukan Pada
limfedema fungsional, 24-72 intervensi selama 2-6 bulan
Gravitasi assisted presure (GAP)/
ICD 9
Complete decongetive therapy
A Mengurangi pembengkakan CM 93.66
(CDT)
Manual lymphatic drainage (MLD)
Perawatan luka ICD 9
CM 93.56
B Mencegah/merawat luka
Edukasi ICD 9
CM 93.82
Latihan fungsional ICD 9
CM 93.85
C Meningkatkan kesehatan kardiovaskuler
Latihan aerobik ICD 9
CM 93.36
H. Kriteria Rujukan :
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan.
I. Referensi
1) Pusat data dan informasi kementrian kesehatan Republik Indonesia;2015.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-kanker.pdf
2) Alexandria; 2009; Physical Therapists Play Integral Role In Lymphedema Prevention, Treatmen APTA;
http://www.apta.org/Media/Releases/Consumer/2009/10/13/
3) Siegel R, Naishadham D, Jemal A. Cancer Statistics, 2013. CA Cancer J Clin 2013; 63:11-30.
10. FISIOTERAPI PADA BEDAH THORAKS
A. Koding
1) Kode ICD : I97.0; I34-39
2) Kode ICF : b429 b 449 s498
B. Kondisi kesehatan
1) Pengertian
Bedah thoraks adalah pendekatan yang digunakan untuk manipulasi organ dalam sangkar thoraks, termasuk
transplantasi paru, lobektomi, dan transplantasi jantung. Fisioterapi pada bedah thoraks dilakukan sebelum dan
sesudah terapi. Fisioterapi terbukti mengurangi masa rawat inap dan tagihan biaya per pasien bedah thoraks.
2) Insidensi dan Prevalensi
Di UK, per tahun 1999/2000 dilakukan 10.500 operasi paru. Di Eropa, dilaporkan terjadi 3426 reseksi paru.
3) Patologi dan Patologi fungsional
Praoperasi, fisioterapi diperlukan untuk edukasi kualitas perawatan, pemulihan dan fungsi paru pasca operasi. Pasca
operasi, terdapat nyeri, disfungsi bahu; serta terdapat penurunan kemampuan paru sehingga fisioterapi berperan dalam
peningkatan ekspansi paru dan maneuver pembersihan jalan napas pada stadium awal pascaoperasi.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari tahu keluhan yang dialami pasien dan keadaan mentalnya terkait bedah yang akan
dilaksanakan; dan untuk mencari tahu harapan aktivitas fisik yang ingin dicapai pasca operasi.
2) Pemeriksaan klinis;
a Pemeriksaan radiografi
b Pemeriksaan laboratorium
3) Pemeriksaan fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a. Sesak napas
b. Retensi sputum
c Antropometri sangkar thoraks d
Integritas otot bantu pernafaan e
Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a. Antropometri sangkar thoraks
b. Borg scale
c. Test panjang otot
E. Diagnosis Fisioterapi
a. Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b440, b445, b449, b455, s430, s710, s720, s730, d410 - d429, d450 – d469, e455
b. Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
1) Sesak napas
2) Ketegangan otot bantu pernapasan.
3) Penurunan ventilasi pulmonal
4) Penurunan mobilitas thoraks
5) Retensi Sputum.
6) Penurunan toleransi aktivitas fisik
F. Prognosis Fungsional
Bisa kembali berfungsi optimal seiring peningkatan status kesehatan
G. Intevensi
a. ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target, Disability target, dan Environment Target)
1) Membebaskan jalan napas dan memobilisasi sputum
2) Meningkatkan ventilasi dan ketersediaan oksigen.
3) Meningkatkan kemampuan ambulasi
b. Intervensi yang disarankan (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
Inhalasi ICD 9
CM 93.94
Chest Fisioterapi, ICD 9
CM 93.99
A Memobilisasi sputum latihan batuk/ huffing, ICD 9
CM 93.14
suction, ICD 9
CM 93.19
Incentive spirometri ICD 9
CM 93.14
Manipulasi, ICD 9
CM 93.15
B Rileksasi MLD, ICD 9
CM 93.66
Breathing exercise ICD 9
CM 93.14
ACBT ICD 9
CM 93.14
C Perbaikan ventilasi Mobilisasi toraks ICD 9
CM 93.15
Incentive spirometri ICD 9
CM 93.14
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
1) Cunha, Burke A.,MD.2010.Pneumonia Essentials Third Edition. Massachusets: Physicians’
Press.
2) Misnadiarly.2008.Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak Balita,
Orang Dewasa, Usia Lanjut.Jakarta:Pustaka Obor Populer.
3) Departemen Kesehatan RI, Dirjen P2PL. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan akut. Jakarta
4) Madjoe, L., & Marais, M. (2007). Applied Physiotherapy 203 notes: Physiotherapy in
Respiratory Care. University of theWestern Cape. http://www.physio-pedia.com/Pneumonia
5) Health-cares. (2005). What is pneumonia? http://respiratory-lung.health-cares.net/ pneumonia.php 13
February2009
12. FISIOTERAPI PADA EMPHYSEMA
A. Koding
a. ICD 9. 496, ICD-10 : J44
b. ICF : b.440-449, b 455 s. 430, s.730 d. 410-429 d.450-469
B. Masalah Kesehatan
a. Pengertian
Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal, dimana terjadi pelebaran rongga udara pada asinus yang sifatnya
permanen yang disebabkan oleh kerusakan pada dinding asinus. Pada emfisema terdapat pembesaran alveoli
secara permanen. Masalah utama terdapat di dalam paru-paru yaitu runtuhnya dinding alveolar, sehingga terjadi
pembesaran ruang udara.
b. Insiden dan Prevalensi
Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema. Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara
penyakit kronis yang dapat menimbulkan gangguan aktifitas. Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 %
wanita. Data epidemiologis pada penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta didapatkan prevalensi
PPOK sebanyak 26 %, kedua terbanyak setelah tuberkulosis paru (65
%).
c. Patologi dan PatologiFungsional
Beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas antara lain : inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir
yang berlebihan; kehilangan rekoil elastis jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang
berfungsi. Oleh karena dinding alveoli mengalami kerusakan (suatu proses yang dipercepat oleh infeksi tambahan),
area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan
peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan
difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbon
dioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri (hiperkapnia)
dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Dinding alveolar terus mengalami kerusakan, mengakibatkan jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah
pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri
pulmonal. Sehingga dapat menyebabkan komplikasi gagal jantung sebelah kanan, yang ditandai oleh kongesti, edema
tungkai (edema dependen), distensi vena leher, atau nyeri pada daerah hepar.
Peningkatan produksi Sekret dan tertahan menyebabkan pasien tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat
untuk mengeluarkannya. Hal ini akan mengakibatkan infeksi akut dan kronik menetap dalam paru-paru yang
mengalami dan memperberat empisemanya
Pasien dengan emfisema mengalami obstruksi kronik (ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas) ke aliran masuk
dan aliran keluar udara dari paru-paru. Paru-paru dalam keadaan hiperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara ke
dalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi
dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya
adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-
otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga- iga terfiksasi pada persendiannya. Dada seperti
tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang
berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
C. Pemeriksaan
a. Anamnesis
Anamnesis diarahkan untukmendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan.
b. Pemeriksaan Klinis
1) Pemeriksaan laboratorium
2) Pemeriksaan sputum
3) Chest X-Ray
c. Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
a. Pengukuran Objektif
1) Sesak napas
2) Retensi sputum
3) Antropometri sangkar thoraks
4) Integritas otot bantu pernafaan
5) Daya tahan jantung paru
b. Outcome Measure
1) Antropometri sangkar thoraks
2) Borg scale
3) Test panjang otot
E. Diagnosis Fisioterapi
a. Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b440, b445, b449, b455, s430, s710, s720, s730, d410 - d429, d450 – d469, e455
b. Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
1) Sesak napas
2) Retensi Sputum.
3) Penurunan kapasistas paru
4) Perubahan pola napas
5) Penurunan toleransi aktifitas
6) Penurunan mobilitas thoraks
7) Ketegangan otot-otot pernapasan
F. Prognosis Fungsional
Bisa kembali berfungsi optimal seiring peningkatan status kesehatan
G. Intervensi
a. ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target, Disability target, dan Environment Target)
1) Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk.
2) Mengatasi gangguan pernapasan pasien
3) Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
4) Mengurangi spasme/ketegangan otot-otot leher pasien
b. Intervensi (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
Inhalasi ICD 9
CM 93.94
Chest Fisioterapi Latihan ICD 9
CM 93.99
A Memobilisasi sputum Batuk/Huffing, Suction ICD 9
CM 93.14
Incentive Spirometri ICD 9
CM 93.19
ICD 9
CM 93.14
Manipulasi, ICD 9
CM 93.15
B Rileksasi:
MLD, ICD 9
CM 93.66
Breathing Exercise ICD 9
CM 93.14
Breathing Technique, Mobilisasi ICD 9
CM 93.14
C Perbaikan ventilasi Thoraks, ICD 9
CM 93.15
Incentive Spirometri ICD 9
CM 93.14
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
a. Djojodibroto, Dr.R. Darmanto, Sp.P,FCCP.2007.Respirologi (Respiratory Medicine).Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
b. Morris, Peter E. MD, et al.2008. Early intensive care unit mobility therapy in the
treatment of acute respiratory failure.Critical Care Medicine Journal-Wolters Kluwer Health.
c. Green Robert J., Jr.2007.Natural therapies for emphysema and COPD.Canada:Healing
Arts Press.
13. FISIOTERAPI PADA TUBERKULOSIS (TBC) PARU
A. Koding
a. ICD 9: 011 ICD 10: A15
b. ICF : b: 122, 280, 415,440,445,455,515,710, s:140,430, d 410-450 e.110 dan 210
B. Masalah Kesehatan
a. Pengertian
Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman mycobacterium
tuberculosis. yang terutama menyerang saluran pernapasan, walaupun juga dapat melibatkan semua sistem tubuh.
2) Insiden dan Prevalensi
Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai
masalah penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada
3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia. Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%)
terjadi dinegara-negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49
tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru
dan kematian yang muncul di Asia.
3) Patologi dan PatologiFungsional
Penularan TB Paru terjadi karena kuman mycobacterium tuberculosis. dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat hidup dalam udara bebas selama kurang
lebih 1-2 jam, tergantung pada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Suasana lembab dan
gelap kuman dapat tahan berhari– hari sampai berbulan–bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat maka ia
akan menempel pada jalan napas atau paru–paru.
Partikel dapat masuk ke dalam alveolar, bila ukuran vartikel kurang dari 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi
terlebih dulu oleh neutropil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan dibersihkan oleh
makrofag keluar dari cabang trakea bronkhial bersama gerakan sillia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di
jaringan paru maka ia akan tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa
masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang ke jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang
primer atau efek primer atau sarang ghon (fokus). Sarang primer ini dapat terjadi pada semua jaringan paru, bila
menjalar sampai ke pleura maka terjadi efusi pleura. Kuman dapat juga masuk ke dalam saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit. Kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar keseluruh organ, seperti paru,
otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke dalam arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh bagian paru dan
menjadi TB milier.
Sarang primer akan timbul peradangan getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran
getah bening hilus (limfangitis regional). Sarang primer limfangitis lokal serta regional menghasilkan komplek
primer (range). Proses sarang paru ini memakan waktu 3–8 minggu. Berikut ini menjelaskan skema tentang
perjalanan penyakit TB Paru hingga terbentuknya tuberkel ghon.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan. Pada pasien TBC biasanya akan
ditemukan demam, menggigil, berkeringat di malam hari, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, dan
kelelahan, dan clubbing finger. Ditemukan juga adanya Nyeri dada berkepanjangan, dan batuk produktif. sputum.
Namun sekitar 25% dari orang mungkin tidak memiliki gejala apapun.
2) Pemeriksaan Klinis
a. Pemeriksaan Laboratorium : Pemeriksaan sputum, darah, uji tuberculin
b. Pemeriksaan Rontgen dada
c. CT Scan
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a Sesak napas/nyeri
b Retensi sputum
c Antropometri sangkar thoraks d
Integritas otot bantu pernafaan e
Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a Antropometri sangkar thoraks
b Borg scale
c Test panjang otot
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b440, b445, b449, b455, s430, s710, s720, s730, d410 - d429, d450 – d469, e455
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a Struktur & Fungsi Tubuh :
- Nyeri gerak pada dada saat protraksi dan retraksi
- Spasme padaotot m.sternocleidomastoideus
- Penurunan ekspansi thoraks
- sesak napas
- jalan napas yang terganggu akibat sekres exudat
- inspirasi terbatas
2) Keterbatasan Aktivitas : Berjalan terbatas/ADL terbatas
3) Keterbatasan Partisipasi : Pola hidup sehat, lingkungan bersih, tidak merokok.
F. Prognosis Fungsional
Bisa kembali berfungsi optimal seiring peningkatan status kesehatan
G. Intervensi
a. ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target, Disability target, dan Environment Target)
a Mengurangi sesak napas
b Mengurangi spasme pada otot m.sternocleidomastoideus
c Meningkatkan ekspansi thoraks
d Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk.
e Mengatasi gangguan pernapasan pasien
2) Intervensi (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
H. Kriteria Rujukan :
6-12 intervensi tidak mencapai 75%
I. Referensi
a. Djojodibroto, Dr.R. Darmanto, Sp.P,FCCP.2007.Respirologi (Respiratory Medicine).Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
b. Patel, Pradip R.2005.Lectures Note : Radiology.Jakarta:Penerbit Erlangga
c. Dolin, [edited by] Gerald L. Mandell, John E. Bennett, Raphael (2010). Mandell, Douglas, and Bennett's
principles and practice of infectious diseases (7th ed.). Philadelphia, PA: Churchill
Livingstone/Elsevier. pp. Chapter 250. ISBN 978-0-443-06839-3.
14. FISIOTERAPI PADA EMBOLI PARU
A. Coding
1) ICD 9 : 415 ICD 10: I 27
2) ICF : b: 122, 280, 415,440,445,455,515,710, s:140,430, d 410-450 e.110 dan 210
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Emboli paru adalah sumbatan arteri pulmonalis,yang disebabkan oleh trombus pada trombosis vena dalam di
tungkai bawah yang terlepas dan mengikuti sirkulasi menuju arteri di paru.
2) Insiden dan Prevalensi
Emboli Paru merupakan salah satu masalah kesehatan dunia. Di Perancis diperkirakan angka kejadian pertahunnya
lebih dari 100.000 kasus, di Inggris dan Wales 65.000 kasus penderita yang dirawat , dan lebih dari 60.000 kasus di
Italia. Di Amerika Serikat tiap tahunnya didapatkan lebih dari 600.000 penderita emboli paru, mengakibatkan
kematian 50.000- 200.000, dan menduduki urutan ke tiga penyebab kematian pasien rawat inap.
3) Patologi dan Patologi Fungsional
Embolus paru – paru banyak terjadi akibat lepasnya suatu trombosit yang brasal dari pembuluh darah vena dikaki.
Trombus terbentuk dari beberapa elemen sel dan fibrin –fibrin yang kadang – kadang berisi protein plasma seperti
plasminogen.
Menurut Virchow, terdapat tiga faktor penting yang memegang peranan timbulnyaa thrombus (Trias Virchow),
yaitu:
1. Perubahan permukaan endotel pembuluh darah.
2. Perubahan pada aliran darah.
3. Perubahan pada konstitusi darah.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan. Penderita emboli paru dapat dengan tiba-tiba
mengeluh : dyspnea (sesak napas), takipnea (napas cepat), nyeri dada yang bersifat "pleuritik", batuk dan
hemoptisis ( batuk darah).
2) Pemeriksaan Klinis
a) CT Scan,
b) Scintigraphy paru,
c) Angiogram paru,
d) Rontgen dada,
e) Pemeriksaan laboratorium
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a) Sesak napas
b) Retensi sputum
c) Antropometri sangkar thoraks
d) Integritas otot bantu pernafaan
e) Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a) Antropometri sangkar thoraks
b) Borg scale
c) Test panjang otot
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b440, b445, b449, b455, s430, s710, s720, s730, d410 - d429, d450 – d469, e455
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a) Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh, Melakukan pekerjaan yang berat
b) Struktur & Fungsi Tubuh :
(1) Sesak napas
(2) Airflow limitation
(3) Penurunan kapasitas paru
(4) Gangguan pertukaran gas
(5) Disfungsi otot-otot pernapasan
(6) Abnormal breathing pattern
(7) Deformitas thoraks (perubahan bentuk)
(8) Nyeri
c) Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga
F. Prognosis Fungsional
Sulit untuk menentukan prognosis dari emboli paru, karena banyak kasus yang tidak terdiagnosis. Prognosisnya
seringkali berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya (misalnya kanker, pembedahan, trauma dan lain-lain). Pada
emboli paru yang berat, dimana telah terjadi syok dan gagal jantung, maka angka kematiannya bisa mencapai lebih dari
50%Angka kematian mencapai 10-15%. Dalam persentasi kecil emboli paru massif meninggal sebelum didiagnosis, seringkali
dalam 1 jam pertama. Pada penderita yang mendapat antikoagulan adekuat dengan heparin dan bertahan lebih dari 2
jam, prognosisnya baik..
G. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a) Mengembalikan kemampuan fungsional dan membebaskan jalan napas
b) Menurunkan nyeri
c) Melatih otot-otot pernapasan
d) Meningkatkan ekspansi sangkar thoraks
e) Mengurangi penumpukan sputum
2) Intervensi (6-12 intervensi selama 2-4 minggu)
Inhalasi, ICD 9
CM 93.94
A Membebaskan jalan napas Chest Fisioterapi, ICD 9
CM 93.99
Latihan Batuk/ Huffing ICD 9
CM 93.14
Heating, ICD 9
B Menurunkan nyeri CM 93.34
Breathing Control, ICD 9
CM 93.14
Active Exercise, ICD 9
C Melatih otot-otot pernapasan CM 93.14
Stretching ICD 9
CM 93.11
Thoracic Expansion Exercise ICD 9
D Meningkatkan ekspansi sangkar thoraks CM 93.14
Inhalasi, ICD 9
CM 93.94
Chest Fisioterapi, ICD 9
CM 93.99
Latihan Batuk/ Huffing , ICD 9
E Mengurangi penumpukan sputum
CM 14
ICD 9
Suction,
CM 93.19
ICD 9
Incentive Spirometri CM 93.14
Aerobic Exercise ICD
F Mengembalikan kemampuan fungsional CM 93.36
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
1) Sarwosih, Sri. 2010. Emboli Paru. Surabaya :Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 1. No. 3 Oktober 2010.
2) Weinberger SE, Cockril BA, Mandel J. Pulmonary embolism. In: Texbook of Principles of Pulmonary
Medicine. 4th, ed. Philadelphia: Sounders Elsevier: 2008.p.182-192
3) Stein PD, Sostman HD, Hull RD, Goodman LR, Leeper KV, Gottschalk A, Tapson VF, Woodard PK
(March 2009). "Diagnosis of Pulmonary Embolism in the Coronary Care Unit" Am. J. Cardiol.
103 (6):881–6. doi 10.1016/j.amjcard.2008.11.040 PMC 2717714. PMID 19268750
15. FISIOTERAPI PADA EDEMA PARU
A. Koding
1) ICD 9 : 518/ ICD-10 : J.81
2) ICF : b: 122, 280, 415,440,445,455,515,710, s:140,430, d 410-450 e.110 dan 210
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Edema paru merupakan akumulasi cairan di rongga udara dan parenkim paru yang menyebabkan gangguan
perpindahan udara dan dapat menyebabkan gagal napas.
2) Insiden dan Prevalensi
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta penderita edema paru di dunia. Di Inggris
sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika
Serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema. Penyakit edema paru pertama kali di Indonesia
ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampaitahun
1980 seluruh profinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan
meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar terjadi pada 1998, dengan
Incidence Rate(IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10,17%,
namun tahun-tahun berikutnya IR cenderungmeningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001);
19,24 (tahun 2002);dan 23,87 (tahun 2003).
3) Patologi dan Patologi Fungsional
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan dari bagian dalam
pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya,
menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah
atau tidak ada cukup protein-protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari
darah yang tidak megandung segala sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area yang langsung diluar
pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang
disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida
dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang
sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-
dindig ini kehilangan integritasnya.
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-
pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan- persoalan dengan
pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang
buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai ―air dalam paru-paru‖ ketika menggambarkan kondisi ini pada
pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan oleh
banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary
edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan. Gejala yang luar biasa dari edema paru
adalah kesulitan bernapas, tetapi juga dapat mencakup gejala seperti batuk darah (klasik dilihat sebagai pink, dahak
berbusa), keringat berlebihan, kecemasan, dan kulit pucat. Sesak napas dapat bermanifestasi sebagai ortopnea
(ketidakmampuan untuk berbaring datar karena sesak napas) dan / atau dyspnea nokturnal paroksismal (episode
sesak napas mendadak parah di malam hari).
2) Pemeriksaan Klinik
a) Rontgen Thoraks
b) CT Scan dada
c) USG dada
d) Pemeriksaan Lab
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a. Sesak napas
b. Retensi sputum
c. Antropometri sangkar thoraks
d. Integritas otot bantu pernafaan
e. Daya tahan jantung paru
f. Volume dan kapasitas paru
2) Outcome Measure
a. Antropometri sangkar thoraks
b. Borg scale
c. Test panjang otot
d. Volume dan kapasitas paru
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b440, b445, b449, b455, s430, s710, s720, s730, d410 - d429, d450 – d469, e455
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a) Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh, melakukan pekerjaan rumah
b) Struktur & Fungsi Tubuh :
(1) Abnormal breathing pattern
(2) Penurunan ekspansi sangkar thoraks
(3) Disfungsi otot-otot pernapasan
(4) Penurunan kapasitas paru
(5) Nyeri
c) Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga, Berkebun
F. Prognosis Fungsional
Prognosis baik jika ditangani dengan cepat tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. Dan apabila tidak dapat
ditangani dengan cepat akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada jalan napas.
G. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a) Mengembalikan pola pernapasan yang normal
b) Meningkatkan ekspansi sangkar thoraks
c) Melatih otot-otot pernapasan
d) Meningkatkan kapasitas paru
e) Menurunkan nyeri
f) Meningkatkan aktifitas fungsional
2) Intervensi (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
1) Ware LB, Matthay MA (December 2005). "Clinical practice. Acute pulmonary edema". N. Engl. J. Med.
353 (26): 2788 96.doi:10.1056/NEJMcp 052699.PMID 16382065
16. FISIOTERAPI PADA EFUSI PLEURA
A. Coding
1) ICD 9: 511 ICD 10. J 90
2) ICF : b.415,440,445,459,s:410,430, 710 d: 210, 410-435,530-560 e. 110,210.
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Efusi pleura adalah penumpukan cairan dalam ruang pleura, umumnya merupakan penyakit penyerta seperti
komplikasi dari gagal jantung, tuberkulosis, pneumonia, infeksi paru, nephrotik syndrome, connective tissue
disease, embolus paru-paru, dan neoplastic turmor.
2) Insiden dan Prevalensi
Efusi pleura sering terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, salah satunya di Indonesia. Hal ini lebih banyak
diakibatkan oleh infeksi tuberkolosis. Bila di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, keganasan, dan pneumonia bakteri. Di Amerika efusi pleura menyerang 1,3 juta org/th. Di Indonesia TB
Paru adalah peyebab utama efusi pleura, disusul oleh keganasan. 2/3 efusi pleura maligna mengenai wanita. Efusi
pleura yang disebabkan karena TB lebih banyak mengenai pria.
3) Patologi dan Patologi Fungsional
Patofisiologi terjadinya effusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura.
Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi
yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel
mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Pada kondisi tertentu rongga pleura dapat terjadi penimbunan cairan berupa transudat maupun eksudat.
Transudat terjadi pada peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal jatung kongestif. Pada kasus ini
keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pmbuluh darah. Transudasi juga dapat terjadi pada
hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal. Penimbunan transudat dalam rongga pleura disebut
hidrotoraks. Cairan pleura cenderung tertimbun pada dasar paru akibat gaya gravitasi.
Penimbunan eksudat disebabkan oleh peradangan atau keganasan pleura, dan akibat peningkatan permeabilitas
kapiler atau gangguan absorpsi getah bening.Jika efusi pleura mengandung nanah, keadaan ini disebut empiema.
Empiema disebabkan oleh prluasan infeksi dari struktur yang berdekatan dan dapat merupakan komplikasi dari
pneumonia, abses paru atau perforasi karsinoma ke dalam rongga pleura. Bila efusi pleura berupa cairan hemoragis
disebut hemotoraks dan biasanya disebabkan karena trauma maupun keganasan.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi engembangannya. Derajat gangguan fungsi dan
kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan
tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul dengan sedikit
gangguan fisik yang nyata.
Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal napas. Gagal napas didefinisikan
sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida
arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas darah.
A. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan
2) Pemeriksaan Klinik
a) Rontgen Thoraks : penekanan paru
b) CT Scan dada
c) USG dada
d) Pemeriksaan Lab : Torakosintesis, Biopsi, dan Bronkoskopi
3) Pemeriksaan Fisik
ICD 9
B Pemeriksaan gerakan dasar (aktif, pasif, isometrik)
CM 93.04
ICD 9
C Pemeriksaan ekspansi thoraks
CM 93.05
ICD 9
D Pemeriksaan sesak napas
CM 93.09
ICD 9
E Pemeriksaan spasme otot-otot pernapasan CM 93.04
ICD 9
F Pemeriksaan nyeri dada
CM 93.09
ICD 9
G Pemeriksaan Spirometer
CM 93.01
B. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a. Sesak napas
b. Retensi sputum
c. Antropometri sangkar thoraks
d. Integritas otot bantu pernafaan
e. Daya tahan jantung paru
f. Volume dan kapasitas paru
2) Outcome Measure
a. Antropometri sangkar thoraks
b. Borg scale
c. Test panjang otot
d. Volume dan kapasitas paru
C. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b440, b445, b449, b455, s430, s710, s720, s730, d410 - d429, d450 – d469, e455
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a) Keterbatasan Aktivitas : berjalan jauh, bekerja
b) Struktur & Fungsi Tubuh :
(1) Adanya spasme otot bantu pernapasan (m.Pectoralis mayor, m.pectoralis minor, dan
m.Sternocleidomastoideus)
(2) Penurunan ekspansi sangkar thorak
(3) Penurunan fungsi limpatik
(4) Penurunan fungsi paru
(5) Penurunan kemampuan aktivitas
c) Keterbatasan Partisipasi : Pola hidup sehat, Bersosialisasi
D. Prognosis Fungsional
Prognosis sangat bervariasi dan tergantung pada faktor penyebab dan ciri efusi pleura. Pasien yang mencari
pertolongan medis lebih dini karena penyakitnya dan dengan diagnosis yang tepat serta penatalaksanaan yang tepat
pula memiliki angka komplikasi yang lebih rendah.
E. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a) Meningkatkan ekspansi thoraks
b) Melatih otot-otot pernapasan perut
c) Mengurangi spasme pada otot-otot pernapasan dada
d) Menlancarkan sirkulasi limpatik
2) Intervensi (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
F. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
G. Referensi
1) Widmaier, Eric P.; Raff, Hershel; Strang, Kevin T. (2006). Vander's human physiology : the
mechanisms of body function (10 ed.). Boston, Massachusetts: McGraw-Hill. ISBN 978-
0072827415.
2) Porcel, J.M.; R.W. Light (July 2008). "Pleural effusions due to pulmonary embolism". Current Opinion in
Pulmonary Medicine 14 (4): 337 42. doi:10.1097/MCP. 0b013e3282fcea3c. PMID 18520269
3) Demet, G. Valensa, Valensa, MC, Martos, Cabrera; Sanchez Torres and Moyano Revelles F. 2014. The Effects of a
Physiotherapy Programme on Patients with a Pleural Effusion : a randomized controlles trial. Clinical
Rehabilitation : 1-9. DOI : 10.1177/0269215514530579
17. FISIOTERAPI PADA CYSTIC FIBROSIS
A. Coding
1) ICD 9:277/ ICD-10 : E84
2) ICF : b.415,440,445,455,s:410,430, 710 d: 210, 410-435,530-560 e. 110,210.
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Cystic fibrosis (CF) adalah kelainan genetik yang mempengaruhi sebagian besar paru-paru, serta pankreas, hati,
ginjal, dan usus. Masalah jangka panjang pada CF termasuk kesulitan bernapas dan batuk berdahak sebagai akibat
dari infeksi paru-paru yang sering. Tanda-tanda dan gejala lainnya yaitu infeksi sinus, perkembangan janin yang
buruk, tinja yang berlemak, clubbing fingers, dan infertilitas pada pria.
2) Insiden dan Prevalensi
Cystic fibrosis adalah penyakit autosomal resesif. Frekuensi diperkirakan heterozygote pada orang kulit putih adalah 1
sampai dengan 20 orang. Setiap keturunan dari 2 orang tua yang memiliki 25% heterozygote berpotensi untuk
cystic fibrosis. Cystic fibrosis adalah penyakit keturunan mematikan yang paling umum terjadi pada populasi putih..
3) Patologi dan Patologi Fungsional
Tanda biofisika diagnostic pada CF epitel saluran napas yaitu adanya peningkatan perbedaan potensi listrik
transepitelial (Potential difference/PD). Transepitelial PD menunjukkan jumlah transport ion aktif dan resistensi
epithelial terhadap aliran ion. CF saluran napas memperlihatkan ketidaknormalan pada absorbsi Na+ dan Sekresi
Cl- aktif (Gambar II). Defek sekresi Cl memperlihatkan alpanya cyclic AMP– dependent kinase dan protein
kinase C–regulated Cl– transport yang dimediasi oleh CFTR. Suatu pemeriksaan yang penting
mengatakan bahwa adanya perbedaan molekul pada Ca2+-activated Cl– channel (CaCC) yang terlihat pada
membrane apical. Channel ini dapat menggantikan CFTR dengan imbas pada sekresi Cl- dan dapat menjadi
target terapeutik berpotensial.
Regulasi abnormal dari absorbsi Na+ merupakan gambaran inti pada CF di epitel saluran napas. Abnormalitas
ini menunjukkan fungsi kedua dari CFTR, yaitu sebagai tonic inhibitor pada channel Na+. Mekanisme molekuler
yang memediasi aksi CFTR belum diketahui.
Klirens mucus merupakan pertahanan innate primer saluran napas terhadap infeksi bakteri yang terhisap.
Saluran napas mengatur jumlah absorbsi aktif Na+ dan sekresi Cl-untuk mengatur jumlah cairan (air), misal ―hidrasi‖,
pada permukaan saluran napas untuk klirens mucus yang efisien. Hipotesis utama tentang patofisiologi CF saluran
napas adalah adanya regulasi yang salah terhadap absorbsi Na+ dan ketidakmampuan untuk mengsekresi Cl-
melalui CFTR, mengurangi volume cairan pada permukaan saluran napas, baik penebalan mucus, maupun
deplesi cairan perisiliar mengakibatkan adhesi mucus pada permukaan saluran napas. Adhesi (tarik-menarik
benda yang sejenis) mucus menyebabkan kegagalan untuk membersihkan mucus dari saluran napas baik melalui
mekanisme siliar dan batuk. Tidak ditemukannya keterkaitan yang tegas antara mutasi genetic dan keparahan penyakit
paru-paru menyimpulkan adanya peran penting dari gen pemodifikasi dan interaksi antara gen dan lingkungan.
Infeksi yang terdapat pada CF saluran napas cenderung melibatkan lapisan mukosa dibandingkan invasi epitel atau
dinding saluran napas. Predisposisi dari CF saluran napas terhadap infeksi kronis Staphylococcus aureus
dan Pseudomonas aeruginosa selaras dengan kegagalan membersihkan mucus. Sekarang ini, telah
didemonstrasikan bahwa tekanan O2 sangat rendah pada mucus CF, dan adaptasi terhadap hypoxia merupakan
penentu penting fisiologi bakteri pada paru-paru CF. Ditekankan bahwa, baik stasis mucus dan hypoxia
mucus dapat berkontribusi terhadap kecenderungan Pseudomonas untuk dapat tumbuh pada koloni
biofilm didalam plak mucus disekitar permukaan saluran napas dengan CF.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan. D. Hasil Pemeriksaan Fisik dan
Pemeriksaan Penunjang
2) Pemeriksaan Klinik
a) Radiografi
b) Ultrasonografi
c) CT Scan Dada
d) Pemeriksaan Lab : Contrast barium enema
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a. Sesak napas
b. Retensi sputum
c. Antropometri sangkar thoraks
d. Integritas otot bantu pernafaan
e. Daya tahan jantung paru
f. Volume dan kapasitas paru
2) Outcome Measure
a. Antropometri sangkar thoraks
b. Borg scale
c. Test panjang otot
d. Volume dan kapasitas paru
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b440, b445, b449, b455, s430, s710, s720, s730, d410 - d429, d450 – d469, e455
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a) Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh,Melakukan pekerjaan rumah
b) Struktur & Fungsi Tubuh :
(1) Abnormal breathing pattern
(2) Penurunan ekspansi sangkar thoraks
(3) Berat badan menurun
(4) Cepat lelah saat aktifitas.
(5) Disfungsi otot-otot pernapasan
(6) Penurunan kapasitas paru
(7) Nyeri dada
c) Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga, Berkebun
F. Prognosis Fungsional
Prognosis untuk cystic fibrosis telah meningkat karena saat ini diagnosis telah melalui screening
sehingga pengobatan dan akses ke perawatan kesehatan dapat lebih baik. Di seluruh dunia, usia hidup
rata-rata pada pasien dengan cystic fibrosis yang tertinggi adalah di Amerika Serikat dengan usia hidup rata-
rata 36,9 tahun. Usia hidup rata-rata pada pria lebih tinggi daripada wanita
G. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a) Meningkatkan dan mempertahankan kekuatan serta daya tahan jantung paru
b) Membersihkan mucus
c) Meningkatkan kapasitas paru
d) Menjaga mobilitas anggota gerak atas (pencegahan keterbatasan gerak)
2) Intervensi (6-12 intervensi selama 2-4 minggu)
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
1) O'Sullivan, BP; Freedman, SD (30 May 2009). "Cystic fibrosis.". Lancet. 373 (9678): 1891 904
2) Martin Brookes (2005). Bengkel Ilmu:Genetika.Penerbit Erlangga. ISBN 65-11-0050. Hal.114-115.
18. FISIOTERAPI PADA BRONCHOPNEUMONIA
A. Coding
1) ICD 9: 485/ICD-10 : J18.0
2) ICF : b.415,440,445,455,s:410,430, 710 d: 210, 410-435,530-560 e. 110,210.
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Menurut Price Sylvia A,bronchopneumonia adalah peradangan yang terjadi pada ujung akhirbronkiolus yang
tersumbat oleh eksudat mukosa purulen untuk membentukbercak konsolidasi pada lobus-lobus yang berada di
dekatnya, disebut jugapneumonia lobularis.
2) Insiden dan Prevalensi
Menurut WHO, 95% pneumonia pada anak-anak di dunia terdapat di negara-negara berkembang. Infeksi saluran
napas bawah menjadi kedua teratas penyebab kematian pada anak-anak di bawah 5 tahun (sekitar 2,1 juta
[19,6%]).
3) Patologi dan Patologi Fungsional
Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang disebabkan oleh bakteri
staphylococcus, Haemophillus influenzae atau karena aspirasi makanan dan minuman.Dari saluran pernapasan
kemudian sebagian kuman tersebut masukl ke saluran pernapasan bagian bawah dan menyebabkan terjadinya infeksi
kuman di tempat tersebut, sebagian lagi masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi saluran pernapasan dengan
ganbaran sebagai berikut:
1. Infeksi saluran napas bagian bawah menyebabkan tiga hal, yaitu dilatasi pembuluh darah alveoli, peningkatan
suhu, dan edema antara kapiler dan alveoli.
2. Ekspansi kuman melalui pembuluh darah kemudian masuk ke dalam saluran pencernaan dan
menginfeksinya mengakibatkan terjadinya peningkatan flora normal dalam usus, peristaltik meningkat akibat usus
mengalami malabsorbsi dan kemudian terjadilah diare yang beresiko terhadap gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan
2) Pemeriksaan Klinik
a) Radiografi
b) Ultrasonografi
c) CT Scan Dada
d) Pemeriksaan Lab
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a) Sesak napas
b) Retensi sputum
c) Antropometri sangkar thoraks
d) Integritas otot bantu pernafaan
e) Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a) Antropometri sangkar thoraks
b) Borg scale
c) Test panjang otot
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b440, b445, b449, b455, s430, s710, s720, s730, d410 - d429, d450 – d469, e455
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a) Struktur & Fungsi Tubuh
(1) Abnormal breathing pattern
(2) Penurunan ekspansi sangkar thoraks
(3) Disfungsi otot-otot pernapasan
(4) Penurunan kapasitas paru
(5) Nyeri dada
b) Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh, Melakukanpekerjaanrumah
c) Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga, Berkebun
F. Prognosisi Fisioterapi
Prognosis baik jika ditangani dengan cepat tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. Dan apabila tidak
dapat ditangani dengan cepat akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada jalan napas.
G. Intervensi
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a) Mengembalikan kemampuan fungsional dengan meningkatkan dan mempertahankan kekuatan serta daya
tahanjantung paru.
b) Meningkatkan ventilasi.
c) Meningkatkan efektifitas mekanisme batuk.
d) Meningkatkan kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot respirasi.
e) Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
f) Koreksi pola-pola napas yang tidak efisien dan abnormal
g) Meningkatkan relaksasi.
h) Meningkatkan toleransi aktifitas
i) Menjaga mobilitas anggota gerak atas (pencegahan keterbatasan gerak)
2) Intervensi ( 24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
1) Price Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, edisi 6 vol 2.Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.
2) Mansjoer, A, (edt). Pneumonia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 2. Media
Aesculapius FKUI. 2000. Jakarta. 465-468.
19. FISIOTERAPI PADA BRONCHIECTASIS
A. Coding
1) ICD 9: 494 ICD 10: J 47.9
2) ICF : b.415,440,445,455,s:410,430, 710 d: 210, 410-435,530-560 e. 110,210.
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Bronchiectasis adalah kondisi yang ditandai dengan dilatasi abnormal di bronki dan kehancuran dinding
bronkial, dan bisa muncul di seluruh pohon trakeobronkial atau bisa terbatas pada satu segmen atau lobus.
2) Insiden dan Prevalensi
Penelitian pada tahun 2005 didapatkan sekitar 110.000 pasien dengan bronchiectasis di Amerika serikat. Pada
tahun 2005 penyakit ini sering terjadi pada usia tua dengan dua pertiganya adalah wanita. Weycker, et al.,
melaporkan prevalensi bronchiectasisdi amerika serikat 4,2 per 100.00 orang dengan usia 18-34 tahun dan
272 per 100.000 orang dengan usia 75 tahun. Sedangkan di Auckland, New Zealand terdapat 1 per 6.000
penderita bronchiectasis.
3) Patologi dan Fatologi Fungsional
Infeksi merusakkan dinding bronkial, sehingga akan menyebabkan hilangnya struktur penunjang dan
meningkatnya produksi sputum kental yang akhirnya akan mengobstruksi bronkus. Dinding secara permanen
menjadi distensi oleh batuk yang berat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial, pada kondisi ini timbullah
saccular bronchiectasis. Setiap kali dilatasi, sputum kental akan berkumpul dan menjadi abses paru,
eksudat keluar secara bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya terlokalisasi dan mempengaruhi lobus atau
segmen paru. Lobus bawah merupakan area yang paling sering terkena.
Retensi dari sekret dan timbul obstruksi pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi dan kolaps (atelektasis)
alveoli distal. Jaringan parut (fibrosis) terbentuk sebagai reaksi peradangan akan menggantikan fungsi dari
jaringan paru. Pada saat ini kondisi klien berkembang ke arah insufisiensi pernapasan yang ditandai dengan
menurunnya kapasitas vital (vital capacity), penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio residual volume
terhadap kapasitas total paru. Terjadi kerusakan pertukaran gas di mana gas inspirasi saling bercampur
(ventilasi-perfusi imbalance) dan juga terjadi hipoksemia.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan
2) Pemeriksan Klinik
a) Radiografi
b) Ultrasonografi
c) CT Scan Dada
d) Pemeriksaan Lab
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a. Sesak napas
b. Retensi sputum
c. Antropometri sangkar thoraks
d. Integritas otot bantu pernafaan
e. Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a. Antropometri sangkar thoraks
b. Borg scale
c. Test panjang otot
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b440, b445, b449, b455, s430, s710, s720, s730, d410 - d429, d450 – d469, e455
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a. Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh, Melakukan pekerjaan rumah
b. Struktur & Fungsi Tubuh :
(1) Adanya sesak napas
(2) Adanya penurunan ekspansi thoraks
(3) Adanya spasme pada musculus upper trapezius dan sternocleidomastoideus.
(4) Penurunan kapasitas paru
(5) Nyeri dada
c. Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga, Berkebun
F. Prognosis Fungsional
Prognosis baik jika ditangani dengan cepat tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. Dan apabila
tidak dapat ditangani dengan cepat akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada jalan napas.
G. Intervensi.
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a. Mengembalikan kemampuan fungsional dengan meningkatkan dan mempertahankan kekuatan serta
daya tahan jantung paru.
b. Meningkatkan ventilasi.
c. Relaksasi lokal pada daerah dada dan punggung juga untuk memperbaiki sirkulasi darah
d. Memperbaiki ventilasi udara, melatih pernapasan diafragma, dan menjaga ekspansi thorak
e. Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
f. Meningkatkan toleransi aktifitas
g. Menjaga mobilitas anggota gerak atas (pencegahan
keterbatasan gerak)
2) Intervensi. (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
D. Evaluasin
1) Pengukuran Objektif
a) Sesak napas
b) Antropometri ekstremitas
c) Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a) Antropometri sangkar thoraks
b) Borg scale
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b440, b445, b449, b455, s430, s710, s720, s730, d410 - d429, d450 – d469, e455
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a. Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh
b. Struktur & Fungsi Tubuh :
(1) Adanya sesak napas
(2) Adanya penurunan ekspansi thoraks
(3) Adanya pembengkakan ektremitas
(4) Nyeri dada
c. Keterbatasan Partisipasi : Bermain, belajar
F. Prognosis Fungsional
Tergantung kepada fase episode dan tipe kerusakan jantung yang terjadi
G. Intervensi.
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a. Mengembalikan kemampuan fungsional dengan meningkatkan dan mempertahankan kekuatan serta
daya tahan jantung paru.
b. Meningkatkan ventilasi.
c. Relaksasi lokal pada daerah dada dan punggung juga untuk memperbaiki sirkulasi darah
d. Memperbaiki ventilasi udara, melatih pernapasan diafragma, dan menjaga ekspansi thorak
e. Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
f. Meningkatkan toleransi aktifitas
g. Menjaga mobilitas anggota gerak atas (pencegahan
keterbatasan gerak)
2) Intervensi. (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
Heart and Stroke. Rheumatic heart disease. http://www.heartandstroke.ca/heart/conditions/rheumatic-heart- disease
21. FISIOTERAPI PADA PENYAKIT JANTUNG KONGESTIF
A. Koding
1) ICD 10: I 50.0
2) ICF : b.415,440,445,455,s:410,430, 710 d: 210, 410-435,530-560 e. 110,210.
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Penyakit jantung kongestif adalah kondisi di mana jantung tidak memompa darah yang cukup ke organ tubuh
dan jaringan lain. Karena darah tidak terpompa keluar, maka darah akan menggenang di dalam jantung atau
menyumbat di system peredaran darah dan menimbulkan gagal jantung.
2) Insiden dan Prevalensi
Gagal jantung dapat terjadi di segala usia, terutama anak dengan kelainan jantung bawaan dan orang tua yang
mengalami kerusakan otot dan katup jantung. Perubahan jantung akibat penuaan maupun pola hidup juga dapat
menimbulkan penyakit jantung kongestif.
3) Patologi dan Fatologi Fungsional
ketegangan otot jantung, baik akibat hipertensi, serangan jantung, infeksi, cardiomyopathy, atau retensi cairan
akan menyebabkan otot jantung gagal memompa.
Ketika jantung kiri gagal memompa darah; maka aliran darah ke paru akan berkurang, menimbulkan
kelelahan, sesak napas dan batuk.
Ketika jantung kanan gagal memompa darah, maka aliran darah akan menetap dalam jaringan, menyebabkan
pembengkakan hati, pembengkakan kaki dan nyeri perut.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan
2) Pemeriksan Klinik
a. Radiografi
b. Ultrasonografi
c. CT Scan Dada
d. Pemeriksaan Lab
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a) Sesak napas
b) Retensi sputum
c) Integritas otot bantu pernafaan
d) Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a) Borg scale
E. Diagnosis Fisioterapi
3) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b 410, b 415, b 420, b 455, s410, d220
4) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
1. Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh, Melakukan pekerjaan rumah
2. Struktur & Fungsi Tubuh :
1. Adanya sesak napas
2. Penurunan fungsi pompajantung
3. Nyeri dada
3. Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga, Berkebun
F. Prognosis Fungsional
Pencegahan lebih baik dari pengobatan. Kebiasaan hidup harus diubah
G. Intervensi.
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a. Mengembalikan kemampuan fungsional dengan meningkatkan dan mempertahankan kekuatan serta
daya tahan jantung paru.
b. Meningkatkan ventilasi.
c. Relaksasi lokal pada daerah dada dan punggung juga untuk memperbaiki sirkulasi darah
d. Memperbaiki ventilasi udara, melatih pernapasan diafragma, dan menjaga ekspansi thorak
e. Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
f. Meningkatkan toleransi aktifitas
g. Menjaga mobilitas anggota gerak atas (pencegahan
keterbatasan gerak)
2) Intervensi. (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
Jennifer A Pryor; Barbara A Webber; 2001 ; Physiotherapy For Respiratory And Cardiac Problems; Second
Edition; Churchill Livingstone Edinburgh London New York Philadelphia San Francisco Sydney Toronto
22. FISIOTERAPI PADA VARISES
A. Coding
1) ICD 10: I 83
2) ICF : b 415 b460 s410 d 640
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
varises adalah nama lain dari vena varicose; yaitu pelebaran pembuluh vena yang biasa terjadi pada vena
superficial ekstremitas bawah.
2) Insiden dan Prevalensi
Varises mengenai 10-20% dari populasi keseluruhan, 2-3 kali lebih sering pada perempuan dari laki-laki, dan
hampir setengah dari pasien memiliki riwayat keluarga penderita varises.
3) Patologi dan Fatologi Fungsional
Varises terjadi akibat kegagalan katup vena, mengakibatkan peningkatan tekanan vena dengan dilatasi vena
secara progresif yang diikuti disrupsi katup.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan
2) Pemeriksan Klinik
Ultrasonografi
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a. Nyeri
b. Toleransi kerja
2) Outcome Measure
a. Antropometri
b. VAS
c. Test turniket Trendelenburg
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b 415 b460 s410 d 640
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
1. Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh, Melakukan pekerjaan rumah
2. Struktur & Fungsi Tubuh :
1. Adanya nyeri tungkai
2. Adanya penurunan toleransi kerja
3. Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga, Berkebun
F. Prognosis Fungsional
Prognosis baik jika ditangani dengan cepat tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. Pencegahan
luka perlu dilakukan untuk menghindari kerusakan lebih lanjut.
G. Intervensi.
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a. Relaksasi lokal pada daerah varises juga untuk memperbaiki sirkulasi darah
b. Meningkatkan toleransi aktifitas
2) Intervensi. (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
Massage ICD 9
A Relaksasi lokal CM 93.34
Stretching ICD 9
CM 93.16
Aerobic exercise ICD 9
B Meningkatkan toleransi aktifitas CM 93.36
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
23. FISIOTERAPI PADA GAGAL NAPAS
A. Koding
1) ICD 10: J 96
2) ICF : b.415,440,445,455,s:410,430, 710 d: 210, 410-435,530-560 e. 110,210.
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Gagal napas terjadi akibat tidak adekuatnya pertukaran udara oleh system respirasi, sehingga kadar oksigen,
karbon dioksida arteri tidak dapat dipertahankan pada tingkat normal. Penurunan kadar oksigen disebut
hipoksemia, sementara peningkatan kadar karbon dioksida disebut hiperkapnia.
2) Insiden dan Prevalensi
Gagal napas dapat terjadi karena berbagai hal.
3) Patologi dan Fatologi Fungsional
gagal napas dapat terjadi pada salah satu komponen system respirasi, termasuk jalan napas, alveoli, system
saraf pusat, system saraf perifer, otot pernapasan, dan dinding dada. Pasien yang mengalami hipoperfusi
sekunder akibat kardiogenik, hipovolemik, atau septic shock seringkali mengalami kegagalan pernapasan.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan
2) Pemeriksan Klinik
a. CT Scan Dada
b. Pemeriksaan Lab
3) Pemeriksaan Fisik
Exercise ICD 9
CM 93.36
Massage, ICD 9
CM 93.66
C Relaksasi lokal pada daerah dada dan punggung juga Heating, ICD 9
untuk memperbaiki sirkulasi darah CM 93.34
Stretching ICD 9
CM 93.16
Memperbaiki ventilasi udara, melatih pernapasan Breathing Technique ICD 9
D diafragma, dan menjaga ekspansi thorak CM 93.14
Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas Thoracic Expansion ICD 9
E chest dan thoracal spine Exerccise CM 93.15
Aerobic Exercise ICD 9
F Meningkatkan toleransi aktifitas CM 93.36
Active Exercise ICD 9
G Menjaga mobilitas anggota gerak atas CM 93.36
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
Jennifer A Pryor; Barbara A Webber; 2001 ; Physiotherapy For Respiratory And Cardiac Problems; Second Edition;
Churchill Livingstone Edinburgh London New York Philadelphia SanFrancisco Sydney Toronto
24. FISIOTERAPI PADA PENYAKIT JANTUNG PULMONAR
A. Coding
1) ICD 10 : I 27
2) ICF : b 429, b 410, b449, b450
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Penyakit jantung pulmonar adalah pembesaran jantung kanan (dengan atau tanpa gagal jantung kiri) sebagai
akibat dari penyakit yang mempengaruhi struktur atau fungsi paru atau vaskularisasinya. Tidak termasuk
di dalamnya kelainan jantung kanan akibat penyakit jantung bawaan atau kelainan jantung kiri.
2) Insiden dan Prevalensi
Penyakit jantung pulmonary dapat bersifat akut maupun kronis. Penyakit jantung pulmonar akut terutama
disebabkan emboli paru massif; sedangkan penyakit jantung pulmonary kronis umumnya disebabkan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK). Pulmonary heart disease kronis umumnya berupa hipertrofi ventrikel kanan;
sementara yang akut berupa dilatasi ventrikel kanan
3) Patologi dan Fatologi Fungsional
Penyakit jantung pulmonar terjadi akibat perubahan fisiologis yang menyebabkan penurunan oksigenasi paru;
menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Hipoksemia dan hiperkapnia menyebabkan vasokonstriksi
arteri pulmonal yang menyebabkan hipertensi pulmonal, dan menyebabkan terjadinya hipertrofi maupun
dilatasi ventrikel kanan; dan diikuti gagal jantung kanan.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan
2) Pemeriksan Klinik
a. Radiografi
b. Ultrasonografi
c. EKG
d. Pemeriksaan Lab
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a. Sesak napas
b. Nyeri dada
c. Retensi sputum
d. Antropometri sangkar thoraks
e. Integritas otot bantu pernafaan
f. Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a. Antropometri sangkar thoraks
b. Borg scale
c. Test panjang otot
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b 429, b 410, b449, b450
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a. Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh, Melakukan pekerjaan rumah
b. Struktur & Fungsi Tubuh :
(1) Adanya sesak napas
(2) Adanya penurunan ekspansi thoraks
(3) Adanya spasme pada musculus upper trapezius dan sternocleidomastoideus.
(4) Penurunan kapasitas paru
(5) Nyeri dada
c. Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga, Berkebun
F. Prognosis Fungsional
Prognosis baik jika ditangani dengan cepat tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. Dan apabila
tidak dapat ditangani dengan cepat akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada keseimbangan kimiawi
tubuh.
G. Intervensi.
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a. Mengembalikan kemampuan fungsional dengan meningkatkan dan mempertahankan kekuatan serta
daya tahan jantung paru.
b. Meningkatkan ventilasi.
c. Relaksasi lokal pada daerah dada dan punggung juga untuk memperbaiki sirkulasi darah
d. Memperbaiki ventilasi udara, melatih pernapasan diafragma, dan menjaga ekspansi thorak
e. Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
f. Meningkatkan toleransi aktifitas
g. Menjaga mobilitas anggota gerak atas (pencegahan keterbatasan gerak)
2) Intervensi. (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
Jennifer A Pryor; Barbara A Webber; 2001 ; Physiotherapy For Respiratory And Cardiac Problems; Second
Edition; Churchill Livingstone Edinburgh London New York Philadelphia San Francisco Sydney Toronto
25. FISIOTERAPI PADA KANKER PARU
A. Koding
1) ICD 10: C30-C39
2) ICF : b 449, s 430
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal
dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru.
2) Insiden dan Prevalensi
Penyakit kanker paru dapat menyerang semua umur, walaupun prevalensi tertinggi pada usia di atas 75 tahun.
Prevalensi kanker paru di Indonesia terus meningkat, diduga karena faktor perilaku dan pola makan.
3) Patologi dan Fatologi Fungsional
sel normal dapat menjadi sel kanker oleh karena ketidak seimbangan antara fungsi onkogen dengan gen
supresor tumor dalam proses tumbuh kembangnya sebuah sel. Perubahan atau mutasi gen yang
menyebabkan terjadinya hipersekresi onkogen dan/atau kurangnya/hilangnya fungsi gen tumor suprespor
menyebabkan sel tumbuh dan berkembang tak terkendali.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan
2) Pemeriksan Klinik
Pemeriksaan Lab
3) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
a. Sesak napas
b. Retensi sputum
c. Antropometri sangkar thoraks
d. Integritas otot bantu pernafaan
e. Daya tahan jantung paru
2) Outcome Measure
a. Antropometri sangkar thoraks
b. Borg scale
c. Test panjang otot
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b 449, s 430
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a. Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh, Melakukan pekerjaan rumah
b. Struktur & Fungsi Tubuh :
(1) Adanya sesak napas
(2) Adanya penurunan ekspansi thoraks
(3) Adanya spasme pada musculus upper trapezius dan sternocleidomastoideus.
(4) Penurunan kapasitas paru
(5) Nyeri dada
c. Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga, Berkebun
F. Prognosis Fungsional
Prognosis baik jika ditangani dengan cepat tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. Dan apabila
tidak dapat ditangani dengan cepat akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat pada jalan napas.
G. Intervensi.
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a. Mengembalikan kemampuan fungsional dengan meningkatkan dan mempertahankan kekuatan serta
daya tahan jantung paru.
b. Meningkatkan ventilasi.
c. Relaksasi lokal pada daerah dada dan punggung juga untuk memperbaiki sirkulasi darah
d. Memperbaiki ventilasi udara, melatih pernapasan diafragma, dan menjaga ekspansi thorak
e. Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
f. Meningkatkan toleransi aktifitas
g. Menjaga mobilitas anggota gerak atas (pencegahan
keterbatasan gerak)
2) Intervensi. 24-72 intervensi selama 2-6 bulan
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi Penyakit Kanker. Departemen Kesehatan Indonesia. 2015
26. FISIOTERAPI PADA OBESITAS
A. Coding
1) ICD
2) ICF : b 530
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Obesitas adalah status gizi yang diberikan kepada individu dengan indeks massa tubuh (IMT/BMI)
≥ 27 dan atau dengan indicator lingkar perut orang dewasa (> 90 cm untuk laki-laki dan > 80 cm untuk
perempuan).
2) Insiden dan Prevalensi
Masalah obesitas berbasis IMT di Indonesia pada tahun 2013 pada kelompok remaja usia 13-15 tahun < 10%;
16-18 tahun 11.5%, pada perempuan dewasa 40%. Obesitas pada perempuan disinyalir muncul sejak suai 20
tahun, proporsinya meningkat mencapai terbesar pada usia 55 tahun, kemudian proporsinya berkurang
pada usia 65 tahun.
Masalah obesitas berbasis indicator lingkar perut sebesar 26,6%.
Obesitas tidak terkait dengan pendidikan, jenis pekerjaan maupun status ekonomi. Namun proporsi
terbesar obesitas terjaid pada kelompok pendidikan rendah dan tidak bekerja.
3) Patologi dan Fatologi Fungsional
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan kalori dengan pengeluaran kalori melalui aktivitas.
Masalah obesitas adalah faktor risiko terjadinya hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus, stroke, dan
berkontribusi terhadap risiko kematian.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat pribadi, dan riwayat
pengobatan
2) Pemeriksaan Fisik
D. Evaluasi
1) Pengukuran Objektif
IMT
2) Outcome Measure
IMT
E. Diagnosis Fisioterapi
1) Berdasarkan ICF komplemen terhadap ICD
b 530
2) Problematik actual dan Potensial yang dijumpai
a. Keterbatasan Aktivitas : Berjalan jauh, Melakukan pekerjaan rumah
b. Struktur & Fungsi Tubuh:
(1) gangguang fungsi mempertahankan berat badan
c. Keterbatasan Partisipasi : Berolahraga, Berkebun
F. Prognosis Fungsional
Prognosis baik jika ditangani dengan cepat tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. Dan apabila
tidak dapat ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi berupa sindrom metabolik.
G. Intervensi.
1) ICF target (Body Function and Body Structure Impairment target,
Disability target, dan Environment Target)
a. Pengaturan berat badan
b. Meningkatkan toleransi aktifitas
2) Intervensi. (24-72 intervensi selama 2-6 bulan)
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas 2013. Jakarta. Kementerian
Kesehatan RI. 2013
27. FISIOTERAPI PADA PERICARDITIS
A. Coding
1) ICD 10: I 30
2) ICF b 410, b 415, b 455, s 410, d220, d 230
B. Masalah Kesehatan
1) Pengertian
Pericarditis adalah peradangan lapisan paling luar jantung (pericardium parietal, pericardium visceral, atau
keduanya).
2) Insiden dan Prevalensi
Pericarditis yang dilaporkan adalah 1% dari instalasi gawat darurat; 2 % kasus disebabkan oleh trauma
tumpul.
3) Patologi dan Fatologi Fungsional
Respon inflamasi pada pericardium bervariasi dari akumulasi cairan (efusi pericard), deposisi fibrin,
proliferasi jaringan fibrosa, pembentukan granuloma, maupun kalsifikasi pericardium. Dengan demikian
manifestasi klinis pericarditis bervariasi.
Terbentuknya parut maupun kalsifikasi akan menghambat pengembangan volume jantug pada fase diastolic.
Pengumpulan cairan intrapericardium menyebabkan tamponade jantung. Tamponade jantung terjadi
akibat peninggian tekanan intrapericardium dan restriksi progresif pengisian ventrikel.
C. Pemeriksaan
1) Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mendapatkan informasi tentang keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat pengobatan
2) Pemeriksan Klinik
a. Radiografi
b. Ultrasonografi
c. CT Scan Dada
d. EKG
e. Pemeriksaan Lab
3) Pemeriksaan Fisik
H. Kriteria Rujukan
Setelah 6 kali intervensi tidak mencapai 75% peningkatan
I. Referensi
Spangler J, Gentlesk PJ. Acute Pericarditis. 2017.
MedScape.https://emedicine.medscape.com/article/156951-overview. Diakses 11 Januari
2018.