ANNISA WULANDARI
P0 5120217003
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma Bronkial atau lebih popular disebut asma telah dikenal luas
masyarakat merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius terjadi di
berbagai negara diseluruh dunia. Asma adalah suatu kondisi di mana jalan
udara dalam paru-paru meradang hingga lebih sensitif terhadap faktor khusus
(pemicu) yang menyebabkan jalan udara menyempit hingga aliran udara
berkurang dan mengakibatkan sesak napas dan bunyi napas mengikik.
(Wahid & Suprapto, 2013)
Asma Bronkial adalah suatu gangguan pada saluran bronkial yang
mempunyai ciri bronkospasme periodic (Kontraksi spasme pada saluran
napas) terutama pada percabangan trakeobronkial yang dapat diakibatkan
oleh berbagai stimulus seperti oleh factor biokemikal, endokrin, infeksi,
otonomik, dan psikologi (Somantri, 2012).
Asma adalah penyakit inflamasi kronik pada jalan napas. Asma sering
ditandai dengan dispnea mendadak, mengi dan rasa berat pada dada, batuk-
batuk dengan sputum yang kental, jernih ataupun kuning, takipnea bersamaan
dengan penggunaan otot-otot aksesoris respiratori, denyut nadi yang cepat,
pengeluaran keringkat (perspirasi) yang banyak, dan bunyi paru yang
hipersonor saat diperkusi. (Nolowala dkk, 2017)
Penyebab penyakit asma sampai saat ini belum diketahui secara pasti
meski telah dilakukan banyak penelitian, namun dapat disimpulkan bahwa
pada penderita asma saluran pernapasannya memiliki sifat yang khas yaitu
sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti polusi udara, asap, debu,
zat kimia, serbuk sari, udara dingin, makanan, hewan berbulu, tekanan jiwa,
bau menyengat dan olahraga. (Prasetyo, 2010)
Pengobatan asma dibagi ada beberapa komponen yaitu penilaian beratnya
asma, pencegahan, pengendalian faktor pencetus serangan, penyuluhan atau
edukasi kepada pasien. Pasien asma diupayakan untuk dapat memahami
sistem penanganan asma secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi
dan variasi keadaan asma. Anti inflamasi merupakan suatu pengobatan rutin
yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan. Bronkodilator
dan inhaler merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi serangan.
Selain itu perawat juga bisa melakukan nebulizer, fisioterapi dada,
mengajarkan batuk efektif dan nafas dalam yang dapat membantu mengatasi
permasalahan yang ditimbulkan akibat asma. Membantu penderita asma
untuk dapat tetap aktif dan mendapatkan kebugaran tubuh yang optimal.
(Sasanahusada, 2013).
Menurut data dari catatan medik RSUD M.Yunus Bengkulu jumlah kasus
asma bronkial dalam kurun waktu 3 tahun terakhir yakni tahun 2016
sebanyak 72 orang dengan perincian, laki-laki sebanyak 27 orang dan
perempuan sebanyak 45 orang. Tahun 2017 sebanyak 71 orang dengan
perincian laki-laki sebanyak 36 orang dan perempuan sebanyak 35 orang.
Tahun 2018 sebanyak 47 orang dengan rincian laki-laki 21 orang dan
perempuan berjumlah 26 orang. (Data Rekam Medis RSUD M.Yunus
Bengkulu, 2019).
Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala yang di
timbulkan berupa batuk-batuk pada pagi hari, siang hari, dan malam hari,
sesak napas/susah bernapas, bunyi saat bernapas (whezzing atau mengi) rasa
tertekan di dada, dan gangguan tidur karena batuk atau Efektifitas Latihan
Nafas sesak napas atau susah bernapas. (Brunner dan Suddarth, 2011)
C. BATASAN MASALAH
Agar karya tulis ilmiah ini terarah pada kasus yang dituju, sehingga
batasan masalah yang penulis angkat dalam karya tulis ilmiah ini adalah
asuhan keperawatan yang berfokus pada Manajemen pengaturan posisi pada
pasien Asma Bronkial di RSUD M.Yunus Bengkulu tahun 2019.
D. MANFAAT PENULISAN
1. Bagi pelayanan kesehatan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tambahan
tentang manajemen pengaturan posisi pada pasien Asma Bronkial kepada
pelayanan kesehatan, sebagai bahan masukan dan evaluasi yang
diperlukan dalam praktek pelayanan keperawatan Asma Bronkial.
2. Bagi akademik
Merupakan bentuk sumbangsih kepada mahasiswa keperawatan
sebagai referensi untuk menambah wawasan dan bahan masukan dalam
kegiatan belajar mengajar yang berkaitan dengan asuhan keperawatan
terutana manajemen pengaturan posisi pada pasien Asma Bronkial.
3. Peneliti lain
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk melakukan
penelitian yang serupa dengan kasus yang lain maupun dengan kasus yang
sama yaitu Asma Bronkial. Selain itu, diharapkan dimasa mendatang akan
banyak mahasiswa ataupun tenaga keperawatan yang akan membuat jurnal
keperawatan berdasarkan pengalaman praktiknya dalam memberikan
manajemen pengaturan posisi pada pasien Asma Bronkial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Etiologi
Asma disebabkan oleh terjadinya kontraksi otot sekitar bronkus
sehingga terjadi penyempitan nafas, pembengkakan membrane bronkus,
dan bronkus terisi oleh mucus kental. Penyebab lain dari asma adalah
pemakaian obat-obat beta 2 adrenarik yang diberikan melalui spray atau
serbuk untuk inhalasi, yaitu dengan dosis yang tinggi selama waktu yang
cukup lama. Karena obat-obat jenis ini dapat meningkatkan kerentanan
penderita terhadap factor-faktor pencetusnya. Disamping itu akan dapat
timbul halusinasi, sehingga dosis yang efektif selang beberapa waktu
harus ditingkatkan secara perlahan-lahan untuk masih dapat tetap efektif
(Wahid, 2013).
Adapun faktor-faktor pencetus timbulnya serangan asma:
a. Faktor predisposisi
Diturunkannya bakat alergi dari keluarga dekat (genetic), meski
belum diketahui bagaimana penurunannya dengan jelas. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asma bronkial jika terpapar dengan factor pencetus.
b. Faktor Presipitasi
1) Alergen
Allergen dapat dibagi menjadi:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernafasan seperti
debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamir, bakteri dan
polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti
buah-buahan dan angur yang mengandung sodium
metabiusulfide) dan obat-obatan (Seperti aspirin, epinefrin,
ACE-inhibitor, kromolin).
c) Kontakan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (seperti
perhiasan, logam dan jam tangan)
2) Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan
jika melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat.
Serangan asma akrena aktifitas biasanya terjadi segera setelah
beraktifitas. Asma dapat diinduksi oleh adanya kegiatan fisik
atau latihan yang disebut sebagai Exercise Induced Asthma
(EIA) yang biasanya terjadi beberapa saat setelah latihan.
Misalnya: jogging, aerobic, berjalan cepat, ataupun naik tangga
dan dikarakeristik oleh adanya bronkospasme, napas pendek,
batuk, wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan
pemanasan hiperesponsif pada system bronkial.
3) Jenis kelamin
Menurut beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalensi
asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5
sampai 2 kali lipat anak perempuan. Hal ini dihubungkan
dengan karakter biologis, semakin sempitnya saluran
pernapasan, peningkatan pita suara dan terjadi peningkatan IgE
pada laki-laki yang cenderung membatasi respon bernapas.
Pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding antara
laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun.
4) Obat-obatan tertentu
Misalnya golongan aspirin, NSAID, beta blocker dan lain-
lain. Aspirin mempunyai efek samping bronkospasme
(penyempitan pada saluran pernapasan) yang dapat
memperburuk kondisi asma, sehingga sebaiknya aspirin
dihindari.
5) Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus
serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma
yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk mengatasi
masalah pribadinya, karena jika stressnya belum diatasi maka
gejala asmanya belum bisa diobati.
6) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa yang dingin sering memperngaruhi
asma, perubahan cuaca menjadi pemicu serangan asma.
Kadang serangan berhubungan dengan asma seperti: musim
hujan, musim bunga, musim kemarau. Hal ini berhubungan
dengan angina, serbuk bunga, dan debu.
4. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic menurut Wahid (2013)
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan untuk melihat adanya :
a. Kristal – Kristal charcot yang merupakan degranulasi dari
Kristal eosinophil.
b. Spiral curhman, yakni merupakan case cell (sel cetakan) dari
cabang bronkus
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
d. Netrofil dan esinofil yang terdapat pada sputum, umumnya
bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang
terdapat mucus plus.
2) Pemeriksaan darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat
terjadi hipoksemia, hipercapnia atau sianosis.
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH.
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang di atas 15.000/mmᵌ
yang menandakan adanya infeksi.
d. Pemeriksaan alergi menunjukkan peningkatan Ig E. pada
waktu serangan dan menurun pada saat bebas serangan asma.
b. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan radiologi
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi
paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun. Pada penderita
dengan komplikasi terdapat gambaran sebagai berikut :
a. Bila terjadi dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hilus
akan bertambah.
b. Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin
bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase
paru.
d. Dapat menimbulkan gambaran atelectasis paru.
e. Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada
paru.
2) Pemeriksaan tes kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya
antibody IgE spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong
anamnesis, karena uji allergen yang positif tidak selalu
merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
3) Elektrokardiografi
a. Terjadi right deviation
b. Adanya hipertropo otot jantung right bundle branch bock
c. Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES, VES atau
terjadi depresi segmen ST negative
4) Scanning paru
Memalui intilasi dapat diketahui bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5) Spirometri
Menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara
tepat diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometri diakukan sebelum atau
sesudah pemberian aerosol bronkodilator (inlaher dan nebulizer).
5. Tindakan medis
Terdapat lima kategori pengobatan yang digunakan dalam mengobati
asma: agonis beta, metilsantin, antikolinergik, dan inhibitor sel mast
(Smeltzer & Bare, 2002).
a. Agonis beta dalah medikasi awal yang digunkan dalam mengobati
asma karena agen ini mendilatasi otot-otot polos bronkial. Agens
adrenergic juga meningkatkan gerakan siliarsis, menurunkan
mediator kimiawi anafilaktik dan dapat menguatkan efek
bronkodilitasi dari kortosteroid. Agens adrenergic yang paling umum
digunakan adalah epinefrin, albuterol, metaproterenol. Isoproterenol,
isoetharine, dan terbutalin. Obat-obat tersebut biasanya diberikan
secara parental atau melalui inhalasi. Alur inhalasi jalur pilihan
karena cara ini mempengaruhi bronkiolus secara langsung dan
mempunyai efek samping yang lebih sedikit.
b. Metisantin seperti aminofilin dan teofilin, digunakan karena
mempunyai efek bronkodilatasi. Agen ini merilekskan otot-otot
polos bronkus, mengingatkan gerakan mukus dalam jalan nafas, dan
meningkatkan kontraksi diafragma. Aminolin (bentuk IV tofilin)
diberikan secara intravena, teolifin diberikan peroral. Metilsantin
tidak digunakan dalam serangan akut karena awitannya lebih lambat
dibanding agonis beta. Ada beberapa factor yang dapat mengganggu
metabolism metilsantin, terutama sekali teofilin, termasuk merokok,
gagal jantung, penyakit hepar kronis, kontraseotif oral, eritromisin,
dan simetidin. Harus sangat hati-hati ketika memberikan medikasi
ini secara intravena. Jika obat ini diberikan terlalu cepat, dapat
terjadi tatikardia atau disritmia jantung.
c. Antikolinergik, seperti atropine, tidak pernah dalam riwayatnya
digunakan untuk pengobatan resmi asma karena efek samping
sistemiknya. Seperti kekringan pada mulut, penglihatan mengabur,
berkemih ayang-anyangan, palpitasi, dan flusing. Agens ini
diberikan melalui inhalasi. Antikolinergik secara khusus mungkin
bermanfaat terhadap asmatik yang bukan kandidat untuk agonis beta
dan metilsantin karena penyakit jantung mendasari.
d. Kortikosteroid, penting dalam pengobatan asma. Medikasi ini
diberikan secara intravena (hidrekortison, secara oral (prednisone,
prednisolone), atau melalui inhalasi (beklometason, deksametason).
Kortikosteroid (tidak melalui inhalasi) mungkin diberikan untuk
serangan asmatik akut yang tidak memberikan respons terhadap
terapi bronkodilator. Kortikosteroid telah terbukti efektif dalam
pengobatan asma dan PPOM. Penggunaan kortikosteroid
berkepanjangan dapat mengakibatkan terjadinya efek samping yang
serius, termasuk ulkus peptikum, osteoporosis, suprei adrenal,
miopati steroid dan katarak.
e. Inhibator Sel Mast adalah bagian integral dari pengbatan asma.
Medikasi ini diberkan melalui inhalasi. Medikasi ini mencegah
pelepasan mediator kimiawi anagilksatik, dengan demikian
mengakibatkan pengurangan penggunaan medikasi lain dan
perbaikan menyeluruh dalam gejala.
6. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Menurut Smeltzer & Bare (2002) penatalaksanaan medis untuk asma
bronkial adalah sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan medis
1) Penangangan awal : beta₂-agonis adrenergic, kortikosteroid,
pemberian suplemen oksigen, dan cairan intravna untuk hi rasi
pasien. Pemberian sedatif dikontraindikasi.
2) Suplemen uksigen aliran-tinggi paling baik diberikan dengan
penggunaan sungkup non-rebreathing total atau parsial (PaO₂
pada level minimum 92 mmHg saturasi oksigen lebih dari 95%).
3) Magnesium sulfat, antagonis kalsium, dapat diberikan untuk
menginduksi relaksasi otot.
4) Hospitalisasi, jika tidak ada respon terhadap tindakan berulang
atau jika kadar gas darah memburuk nilai fungsi pulmoner darah
rendah.
5) Ventilasi jika pasien tampak kelelahan atau mengalami gagal
nafas atau jika kondisi tidak berespon terhadap tindakan yang
diberikan.
b. Penatalaksanaan keperawatan
Fokus utama penatalaksanaan keparawatan adalah mengkaji secara
mendalam jalan nafas dan respon pasien terhadap terapi. Perawat
harus menyiapkan diri untuk intervensi selanjutnya jika pasien tidak
berespon terhadap terapi yang diberikan.
1) Pantau terus kondisi pasien selama 12 jam sampai 24 jam
pertama atau sampai terkendali. Tekanan darah dan irama
jantung harus terus dipantau selama fase akut sampai pasien
kembali stabil dan berespon terhadap terapi.
2) Kaji turgor kulit pasien untuk melihat tanda-tanda dehidrasi
asupan cairan sangat penting untuk mengatasi dehidrasi,
mengencerkan dahak dan memudahkan mengeluarkan dahak.
3) Berikan cairan intravena sesuai program, sampai 3 atau 4 liter
/hari, jika tidak dikontraindikasikan.
4) Anjurkan pasien untuk beristirahat demi menghemat energy.
5) Berikan posisi yang nyaman pada pasien dengan meninggikan
kepala tempat tidur (semifowler), untuk memudahkan fungsi
pernafasan dengan menggunakan grafitasi.
6) Pastikan ruangan pasien tenang dan bebas iritan pernafasan
(misal : bunga, asap, tembakau, parfum, atau bau) batalan
nonalergik harus digunakan.
7. Patofisiologi
Proses muculnya asma mengalami proses imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibody yang dihasilkan ( IgF) kemudian meyerang
sel-sel mast dalam paru.pemanjangan ulang terhadap antigen
mengakibatkan ikatan antigen dengan antibody, menyebabkan pelepasan
produk sel-sel mast (mediator) seperti histamine, bradikinin, dan
prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat.
Melalui pelapasan mediator-mediator kimia ini meningkatkan produksi
mukus sehingga terjadi penumpukan mukus pada saluran nafas,
penumpukan mukus ini akan berisiko sebagai media tumbuhnya bakteri
yang mungkin akan mencetuskan resiko infeksi. Penumpukan mukus ini
juga menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas sehingga CO²
terperangkap didalam paru sedangkan O² dari atmosfer kesulitan masuk
kedalam paru (Smeltzer & Bare, 2002)
Tertahannnya CO² didalan paru bermanifestasi pada dispnea (sesak
ketika bernafas) sehingga akan menganggu pola tidur (kebutuhan
istirahat tidur tidak terpenuhi dengan baik). Selain itu, sulitnya O² masuk
kedalam paru menyebabkan kekurangan oksigen (hipoksia), sedangkan
O² berperan penting didalam proses metabolism sel, terganggunya proses
metabolism menyebabkan rasa lemah, tidak mampu beraktivitas
(gangguan mobilitas fisik, infoleransi aktivitas) yang menyebabkan
deficit perawatan diri (SAmeltzer & Bare, 2002)
Prostaglandin yang memicu kontaksi otot plos bronkus menyebabkan
bronkokonstriksi yang juga dibantu oleh konsumsi obat-obat misalnya
aspirin dan antibiotic, latihan/olahraga, dan factor emosional atau stress
melalui pengaktifan saraf simpatis. Prostaglandin juga berperan
mengganggu fungsi thermostat hipotalamus sehingga titik suhu normal
tubuh yaitu 36,7-37,4 derajat celcius meningkat. Titik suhu tubuh
meningat sedangkan suhu tubuh sebenarnya normal dianggap rendah
oleh tubuh menghasilkan respon kedinginan/menggigil (Smeltzer &
Bare, 2002).
Mediator kimia lain yaitu, PAF jenis fosfolipid mencetuskan respons
lepuh dan kulit merah. Serta leukotriene yang mencetuskan spasme
(pembengkakan) otot polos bronkus yang lazim disebut bronkospasme.
Pembengkakan bronkus ini akan menyebabkan perubahan status
kesehatan, yang apabila individu atau keluarga tidak tau atau kurang
informasi tentang gejala ini akan menyebabkan kecemasan karena
mekanisme koping individu tidak efektif mungkin karena individu tidak
siap tentang penyakit yang diderita (Smeltzer & Bare,2002).
Adanya penumpukan mukus, bronkokonstriksi, dan bronkospasme
merupakan tanda dari ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Hal ini
menyebabkan gangguan pertukaran gas alveoli karena udara luar yang
mengandung O² terhalang di bronkus begitupun sebaliknya udara dari
dalam paru yang mengandung CO² sulit dikeluarkan melalui proses
ekspirasi. Sulitnya udara luar masuk menyebabkan penurunan volume O²
didalam paru dan kapiler atau hipoksemia terutama di pembuluh darah
arteri (Tambayong, 2002).
Kekurangan O² menimbulkan umpan balik tubuh untuk meningkatkan
aktivitas pernafasan agar kebutuhan O² terpenuhi secara efektif.
Peningkatan aktivitas pernafasan ini akan semakin meningkatkan
kebutuhan O² di jantung agar jantung mengalami peningkatan kontraksi,
dalam hal ini meningkatkan denyut nadi (takikardi). Selain itu,
peningkatan aktifitas pernafasan akan memaksakan pengeluaran CO²
melalui saluran sempit sehingga menimbulkan bunyi mengi (Tambayong,
2002).
8. Pathway/WOC
Hipoksemia
Hiperkapnia
C. Konsep Dasar Manajemen Pengaturan Posisi
1. Definisi Pengaturan Posisi
Posturing atau mengatur dan merubah posisi adalah mengatur
pasien dalam posisi yang baik dan mengubah secara teratur dan
sistematik. Hal ini merupakan salah satu aspek keperawatan yang
penting. Posisi tubuh apapun baik atau tidak akan mengganggu apabila
dilakukan dalam waktu yang lama (Potter dan Perri, 2005).
2. Posisi Postural Drainage
Suatu bentuk pengaturan posisi pasien untuk membantu pengaliran
mucus sehingga mucus akan berpindah dari segmen kecil ke segmen
besar dengan bantuan gravitasi dan akan memudahkan mucus di
ekspectorasikan dengan bantuan batuk. Dalam pelaksanaannya postural
drainage ini selalu disertai dengan tapotement atau tepukan dengan
tujuan untuk melepaskan mucus dari dinding saluran napas dan untuk
merangsang timbulnya reflek batuk, sehinggga dengan reflek batuk
mucus akan lebih mudah dikeluarkan. Jika saluran napas bersih maka
pernapasan akan menjadi normal dan ventilasi menjadi lebih baik. Jika
saluran napas bersih dan ventilasi baik maka frekuensi batuk akan
menurun. (Dhaenkpedro,2010 )
a. Tujuan Postural Drainage
1) Membantu mengeluarkan dahak.
2) Melepaskan perlengketen sputum pada bronkus.
b. Indikasi
1) Pasien dengan produksi sputum yang berlebih
2) Penumpukan secret
3) bronkoektasis
c. Kontra indikasi
1) Patah tulang rusuk.
2) Emfisema subkutan daerah leher dan dada.
3) Emboli paru.
4) Pneumotoraks tension
d. SOP untuk posisi Postural Drainage adalah sebagai berikut:
Persiapan Alat
1) Bantal
2) Ranjang yang dapat mengatur posisi klien
3) Tisue
4) Handscon bersih
5) Segelas air hangat
6) Pot sputum dengan desinfektan
Fase Kerja
1) Mencuci tangan
2) Memasang masker dan sarung tangan bersih
3) Pilih area tersumbat yang akan di drainage berdasarkan
pengkajian semua bidang paru, data klinis dan gambar
photo dada
4) Baringkan klien dalam posisi untuk mendrainage area yang
tersumbat. Bantu klien untuk memilih posisi sesuai
kebutuhan dan ajarkan klien memposisikan postur lengan
dan posisi kaki yang tepat. Letakan bantal untuk menyangga
dan kenyamanan. Minta klien mempertahankan posisi
selama 10-15 menit
5) Selama posisi lakukan perkusi dan vibrasi dada di area yang
didrainage
6) Berikan tisue untuk membersihkan sputum yang keluar
7) Setelah posisi pertama, minta klien duduk napas dalam dan
batuk effektif. Tampung sekret dalam pot sputum
8) Minta klien untuk istirahat sebentar dan minum sedikit
9) Ulangi langkah 6-12. Setiap tindakan tidak lebih dari 20-30
menit pada bidang paru lain yang terjadi bendungan
3. Posisi Semi Fowler
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma dilakukan sebagai
cara untuk membantu mengurangi sesak napas. Posisi semi fowler
dengan derajat kemiringan 45o, yaitu dengan menggunakan gaya
gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan
dari abdomen pada diafragma.
Penelitian Supadi, dkk (2008), menyatakan bahwa posisi semi
fowler membuat oksigen didalam paru-paru semakin meningkat sehingga
memperingan kesukaran nafas. Posisi ini akan mengurangi kerusakan
membran alveolus akibat tertimbunnya cairan. Hal tersebut dipengaruhi
oleh gaya grafitasi sehingga oksigen delivery menjadi optimal. Sesak
nafas akan berkurang, dan akhirnya proses perbaikan kondisi klien lebih
cepat.
a. SOP untuk posisi Semi Fowler adalah:
1) Cuci tangan
2) Angkat kepala dari tempat tidur ke permukaan yang tepat (15-
45o)
3) Beri sandaran atau bantal untuk menyokonh lengan dan kepala
pasien (jika tubuh bagian atas lumpuh atau lemah)
4) Letakkan bantal di kepala sesuai keinginan pasien
5) Naikkan lutut dari tempat tidur yang rendah menghindari
adanya tekanan dibawah jarak popital (di bawah lutut).
2) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan serangan asma datang mencari pertolongan
dengan keluhan, terutama sesak nafas yang hebat dan
mendadak kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain yaitu:
Wheezing, penggunaan otot bantu pernapasan, kelelahan,
gangguan kesadaran, sianosis, serta perubahan tekanan darah.
Perlu juga dikaji kondisi awal terjadinya serangan.
b) Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu
seperti infeksi sauran nafas atas, sakit tenggorokan, amandel,
sinusitis, polip hidung, riwayat serangan asma, frekuensi,
waktu, alergen-alergen yang dicurigai sebagai pencetus
serangan serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk
meringankan gejala asma
c) Riwayat kesehatan keluarga
Pada klien dengan serangan status asmatikus perlu dikaji
tentang riwayat penyakit asma atau penyakit alergi yang lain
pada anggota keluarganya karena hipersensitifitas pada
penyakit asma ini lebih ditentukan oleh faktor genetik oleh
lingkungan.
d) Riwayat psikososial
Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu
pencetus bagi serangan asma baik gangguan itu berasal dari
rumah tangga, lingkungan sekitar samapi lingkungan kerja.
Sesorang yang punya beban hidup yang berat berpotensial
terjadi serangan asma.
b. Aktivitas/ Istirahat.
1) Aktivitas
Gejala:
a) Keletihan, kelelahan, malaise.
b) Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena
sulit bernafas.
c) Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk
tinggi
2) Sirkulasi
Gejala: pembengkakan pada ekstremitas bawah
3) integritas Ego
Gejala:
a) Peningkatan faktor resiko
b) Perubahan pola hidup
4) Makanan dan cairan
Gejala:
a) Mual/ muntah.
b) Nafsu makan menurun.
c) Ketidakmampuan untuk makan.
5) Pernafasan
Inspeksi: Gerakan dada simetris kanan dan kiri, retraksi iga (-)
Palpasi : Sonor diseluruh lapangan paru, batas hepar-paru di RIC
V LMC dextra
Auskultasi : Wheezzing (+/+), ekspirasi memanjang, ronki (+/+).
Gejala:
a) Nafas pendek, dada rata tertekan dan ketidakmampuan untuk
bernafas.
b) Batuk dengan produksi sputum berwarna keputihan
Tanda:
a) Pernafasan biasanya cepat, fase ekspirasi biasanya memanjang.
b) Penggunaan otot bantu pernafasan
c) Bunyi nafas mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan
kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan/
tidak adanya bunyi nafas
6) Keamanan
Gejala riwayat reaksi alergi/ sensitifitas terhadap zat.
7) Seksualitas
Penurunan libido
8) Pola Mekanisme dan Koping
Stres dan ketegangan emosional merupakan faktor
instrinsik pencetus serangan asma maka perlu dikaji penyebab
terjadinya stres. Frekuensi dan pengaruh terhadap kehidupan
pasien serta cara penanggulangan terhadap stresor.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan
dan, mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah
aktual dan resiko tinggi.
Diagnosa keperawatan yang menjadi fokus utama untuk di bahas
dalam penulisan karya ilmiah adalah Bersihan Jalan nafas Tidak Efektif.
Definisi Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif menurut SDKI (2016) adalah
ketidakmampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan nafas untuk
mempertahankan jalan nafas tetap paten.
3. Intervensi Keperawatan
Dalam mengatasi diagnosis keperawatan bersihan jalan nafs tidak
efektif, maka perawat mengacu kepada intervensi dan kriteria hasil yang
terdapat di NIC NOC (2012). Selain itu, intervensi yang dilakukan selain
mengacu kepada NIC (2012), penulis juga melakukan beberapa intervensi
tambahan berdasarkan evidence base yang telah penulis baca dari beberapa
sumber ilmiah yang sudah dilakukan penelitian. Sehingga penulis
menyusun intervensi untuk diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif
adalah sebagai berikut:
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria yang diharapkan
(Potter & Perry, 2005).
Implementasi yang dilakukan pada pasien Asma Bronkial dapat
bersifat implementasi mandiri dimana perawat dapat melakukannya tanpa
bantuan dari tenaga kesehatan lain, implementasi kolaborasi seperti
pemberian obat dan dialisa, dan implementasi edukasi untuk
meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga mengenai tindakan
pencegahan komplikasi yang dapat dilakukan.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual perawat untuk melengkapi
proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose
keperawatan, rancana keperawatan dan pelaksanaannya sudah dicapai
berdasarkan tujuan yang telah dibuat dalam perencanaan keperawatan
(Potter & Perry, 2005).
Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan intervensi
terhadap pasien adalah pasien mampu mengontrol rasa sesak dengan
perubahan pengaturan posisi yang telah di lakukan sebelumnya, tanda-
tanda vital dalam rentang normal, frekuensi napas dalam rentan normal,
tidak ada suara napas tambahan, tidak ada penggunaan otot bantu napas,
tidak terjadi dispnea saat istirahat, dan pasien menyatakan mengerti dan
nyaman mengenai perubahan posisi yang dilakukan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan/Desain Penelitian
Penelitian kualitatif ini menggunakan desain studi kasus yang bertujuan
untuk mengeksplorasi tahapan penerapan manajemen pengaturan posisi
dengan pendekatan proses asuhan keperawatan pada pasien Asma Bronkial.
Pendekatan yang digunakan pada studi kasus ini yaitu proses asuhan
keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosis keperawatan, intervensi,
implementasi, dan evaluasi keperawatan.
B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah asuhan
keperawatan pada pasien dengan Asma bronkial di ruang Kemuning RSUD
Dr.M.Yunus Bengkulu adalah individu yang menderita gangguan atau
penyakit Asma Bronkial. Adapun subyek penelitian yang akan di teliti
berjumlah dua orang dengan satu kasus masalah asuhan keperawatan pada
pasien Asma Bronkial.
E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini diawali dengan penyusunan usulan penelitian atau proposal
dengan menggunakan metode studi kasus berupa laporan teori asuhan
keperawatan yang bejudul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Asma
Bronkial Di Ruang Kemuning RSUD Dr.M.Yunus Bengkulu tahun 2018.
Setelah di setujui oleh tim penguji proposal maka penelitian ini di lanjutkan
dengan kegiatan pengumpulan data. Data penelitian berupa hasil pengukuran,
observasi, dan wawancara terhadap pasien yang dijadikan subyek penelitian.
G. Keabsahan Data
Keabsahan data dilakukan oleh peneliti dengan cara peneliti
mengumpulkan data secara langsung pada pasien dengan menggunakan
format pengkajian yang telah dibuat terhadap 2 orang pasien. Pengumpulan
data dilakukan pada catatan medis/status pasien, anamnesa dengan klien
langsung, anamnesa dengan kelurga klien, dokter, dan perawat ruangan agar
mendapatkan data yang valid, disamping itu untuk menjaga validitas dan
keabsahan data peneliti melakukan obsevasi dan pengukuran ulang terhadap
data data klien yang meragukan yang ditemukan melalui data sekunder.
H. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menyajikan data hasil pengkajian
keperawatan, yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, pemeriksaan
fisik, dan studi dokumentasi hasil laboratorium dalam bentuk narasi.
Selanjutnya data pengkajian yang berhasil dikumpulkan tersebut akan
dianalisis dengan membandingkannya terhadap pengkajian teori yang telah
disusun. Analisis data terhadap diagnosis keperawatan, intervensi
keperawatan, impelementasi, serta evaluasi keperawatan, yang dilaksanakan
pada studi kasus ini akan dianalisis dengan membandingkan antara hasil
dengan tahapan proses yang telah diuraikan pada tinjauan teori.
DAFTAR PUSTAKA