Anda di halaman 1dari 54

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran napas mengalami

penyempitan karena hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang

menyebabkan peradangan (Suprapto,2013). Penyakit asma timbul seiring

dengan perkembangan zaman yang semakin modern, Asma dapat bersifat

ringan dan tidak mengganggu aktivitas sehari - hari (Rosamarlina,2010).

Asma merupakan penyakit saluran nafas kronik yang menjadi masalah

kesehatan serius diseluruh dunia (Depkes,2009). Asma juga disebut sebagai

penyakit inflamasi (radang) kronik saluran nafas menyebabkan peningkatan

hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa

mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batuk terutama terjadi pada malam

hari (Padila,2013).

Laporan WHO (World health Organization ) menunjukkan sekitar 235

juta orang di dunia terkena asma (ejournal.litbang,2015). Data dari kuesioner

ISSAC (international study on asthma and allergy in children) mengatakan

bahwa prevalensi gejala penyakit asma di indonesia meningkat 1,6 % sampai

30,8 % (Who,2017). Di provinsi jawa timur, prevalensi kasus asma

mengalami peningkataan dari 2,6% ditahun 2007 menjadi 5,1% pada tahun

2013 (kemenkes RI,2013). Data dari sistem managemen di RSI Sakinah

Mojokerto ditemukan dari hasil rawat inap selama satu tahun terakhir dengan

penyakit asma bronkial 54 orang dimana 100 % mengalami Ketidakefektifan

1
2

Bersihan Jalan Nafas. Hasil wawancara dan observasi dari 3 responden, dari

ketiga responden menyatakan mengalami ketidakefektifan bersihan jalan

nafas ditandai dengan batuk di malam hari dan sesak nafas.

Penyakit asma bronkial merupakan suatu penyakit pada jalan nafas

yang disebabkan oleh pemaparan alergen yang merangsang terjadinya proses

inflamasi akut dan kronik. Pada asma di tandai oleh inflamasi dinding jalan

nafas oleh banyak sekali sel-sel system imun (Francis,2011). Inflamasi

tersebut menyebabkan terjadinnya bronkhospasme, edema mukosa dan

dinding bronkus, serta hipersekresi mucus yang menimbulkan terjadinya

penyempitan jalan nafas. Hal ini dapat mengakibatkan rasa sesak, nafas

berbunyi (Wheezing) dan batuk produktif (Muttaqin,2013).

Hipersekresi lendir adalah suatu ciri patologis yang terlihat pada asma

dan berpengaruh secara signifikan terhadap hambatan aliran udara dengan

menghambat jalan nafas (Syamsudin,2013). Hal ini dapat menyebabkan

produksi lendir berlebihan di jalan nafas yang dapat menumpuk menjadi

dahak (Djojodibroto,2009). Dampak dari pengeluaran dahak yang tidak

lancar akibat ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah penderita

mengalami kesulitan bernafas, gangguan pertukaran gas bahkan dalam tahap

selanjutnya bisa berada dalan kondisi status asmatikus. Kondisi tersebut dapat

menyebabkan gagal nafas akut yang berakibat kematian (Muttaqin, 2012).

Peran perawat dalam mengatasi masalah ketidakefektifan bersihan

jalan nafas yang dialami pasien Asma Bronkial antara lain : memberikan

asuhan keperawatan diantarannya mendidik keluarga dan penderita jika

terjadi kekambuhan secara mendadak. Saat terjadi kekambuhan penderita


3

disarankan untuk melakukan posisi setengah duduk atau dengan posisi 45 o

(semi fowler), batuk secara efektif, istirahat yang cukup serta membatasi

aktifitas. Penderita juga di instruksikan untuk segera melaporkan tanda-tanda

dan gejala yang menyulitkan keluarga seperti sesak nafas di malam hari.

Untuk itu, penulis ingin mengetahui dan memahami lebih lanjut tentang

penanganan/asuhan terhadap klien dengan “Asma Bronkial” yang tersusun

sebagai study kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang

Mengalami Asma Bronkial Dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas Di

RSI Sakinah Mojokerto ’’


4

1.2 Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada Asuhan Keperawatan klien

yang mengalami Asma Bronkial dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan

Nafas di RSI Sakinah Kabupaten Mojokerto.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien Asma Bronkial dengan

Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSI Sakinah Kabupaten Mojokerto.

1.4 Tujuan Studi Kasus

1.4.1 Tujuan umum

Mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien Asma

Bronkial dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSI

Sakinah Kabupaten Mojokerto.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien Asma Bronkial

dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSI Sakinah

Kabupaten Mojokerto.

2. Menetapkan diagnosis keperawatan pada klien Asma Bronkial

dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSI Sakinah

Kabupaten Mojokerto.

3. Menyusun intervensi keperawatan pada klien Asma Bronkial

dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSI Sakinah

Kabupaten Mojokerto.
5

4. Melaksanakan implementasi keperawatan pada klien Asma

Bronkial dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSI

Sakinah Kabupaten Mojokerto .

5. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien Asma Bronkial

dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSI Sakinah

Kabupaten Mojokerto.

1.5 Manfaat Studi Kasus

1.5.1 Manfaat Praktis

a. Bagi Perawat

Memberikan masukan kepada tenaga kesehatan untuk

meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan

b. Bagi Peneliti selanjutnya

Sebagai data yang dapat digunakan sebagai bahan

perbandingan dan gambaran dalam melakukan penelitian

selanjutnya

1.5.2 Manfaat Teoritis

a. Bagi Peneliti

Sebagai referensi dalam mengaplikasikan ilmu dan

meningkatkan pengalaman dalam melakukan intervensi berbasis

kompetisis di bidang keperawatan medikal bedah

b. Bagi Rumah Sakit

Sebagai referensi bahwa pemberian asuhan keperawatan

merupakan salah satu upaya yang efektif bagi pasien yang

mengalami asma bronkial


6

c. Bagi Institusi

Sebagai referensi bagi institusi pendidikan keperawatan dan

menambah pemahaman tentang ilmu keperawatan medikal bedah


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dijelaskan tentang teori yang mendukung penelitian meliputi :

1) Konsep Asma bronkial, 2) Konsep Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas dan

3) Konsep Asuhan Keperawatan.

2.1 Konsep Asma Bronkial

2.1.1 Pengertian

Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran napas

mengalami penyempitan karena hiperaktivitas pada rangsangan

tertentu, yang menyebabkan peradangan (Wikipedia, 2011 dikutip

oleh abd wahid & imam suprapto 2013).

Asma bronkial adalah penyempitan bronkus yang bersifat

reversibel yang terjadi karena bronkus yang hiperaktif mengalami

kontaminasi dengan antigen (Tabrani, 2010).

Asma bronkial adalah proses peradangan disaluran nafas yang

mengakibatkan peningkatan responsive dari saluran napas terhadap

berbagai stimulus yang dapat menyebabkan penyempitan saluran

napas yang menyeluruh dengan gejala khas sesak napas yang

reversibel (Taufan, 2011).

Asma bronkial adalah hipersensitif terhadap rangsangan dari

luar, seperti debu rumah, bulu binatang, asap, dan bahan lain penyebab

alergi. Gejala kemunculannya sangat mendadak, sehingga gangguan

asma bisa datang secara tiba tiba. Jika tidak mendapatkan pertolongan

7
8

secepatnya, resiko kematian bisa datang. Gangguan asma bronkial

juga bisa muncul lantaran adanya radang yang mengakibatkan

penyempitan saluran pernafasan bagian bawah. Penyempitan ini

akibat berkerutnya otot polos saluran pernafasan, pembengkakan

selaput lendir, dan pembentukan timbunan lendir yang berlebihan

(Hardhi,2016).

2.1.2 Klasifikasi Asma

Menurut Muttaqin (2014) Klasifikasi Asma berdasarkan Etiologi

yaitu :

1. Asma Bronkial tipe Atopik (Ektrinsik)

Asma bronkial timbul karena seseorang yang mengalami

atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk tubuh

melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan, dan lain

lain. Akan di tangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen

presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC

selanjutnya oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th.

Sel APC melalui pelepasan interleukin I(II-1) mengaktifkan sel

Th. Melalui pelepasan interleukin (II-2) oleh sel Th yang

diaktifkan, kepada sel B di berikan sinyal untuk berpoliferasi

menjadi sel plasma dan membentuk IgE . IgE yang terbentuk

akan segera diikat oleh mastosit yang ada di dalam jaringan dan

basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini di mungkinkan karena

kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptore untuk

IgE. Sel eosinofil, makrofag, dan trombosit juga memiliki


9

reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang

sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada

permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang

tersebut sudah dianggap desentisiasi atau baru menjadi rentan.

Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih

dengan alergen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada

dalam permukaan mastosit dan basofil. Ikatan ini akan

menimbulkan influks Ca++ ke dalam sel dan perubahan didalam

sel menurunkan kadar cAMP

Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan

degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama

kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam

granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai

sifat biologis yaitu histamin eosinophil chemotactic Faktor-A

(ECF-A), Neutrophil Chematactic Factor (NCF), trypase, dan

kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah

obstruksi oleh histamin.

Hiperreaktifitas bronchus merupakan bronchus yang

mudah sekali mengerut (kontriksi) bila terpapar dengan bahan

atau faktor dengan kadar yang rendah pada kebanyakan orang

tidak menimbulkan reaksi apa-apa misalnya alergen (inhalan dan

kontaktan) polusi, asap rokok atau dapur, bau-bauan yang tajam

dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan.
10

Saat ini telah diketahui bahwa hiperreaktifitas bronkus

disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronis. Sel-sel inflamasi

terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah yang besar pada

cairan bilas bronkus klien dengan asma bronkial sebagai bronkitis

kronis eosinofilik. Hiperreaktifitas berhubungan dengan beratnya

derajat penyakit secara klinis adanya hiperreaktifitas bronkus

dapat dibuktikan dengan dilakukan uji provokasi yang

menggunakan metakolin atau histamin.

Berdasarkan pada hal-hal tersebut, pada saat ini penyakit

asma secara klinis di anggap sebagai penyakit bronkospasme

yang reversibel. Secara patofisiologi asma juga dianggap sebagai

suatu hiperreaksi bronkus dan secara patologi sebagai suatu

peradangan saluran pernafasan. Mukosa dan dinding bronkus

pada klien dengan asma akan terjadi edema. Terjadinya infiltrasi

pada sel radang terutama eosinofil dan terlepasnya sel silia

menyebabkan adanya getaran silia dan mukus diatasnya. Hal ini

membuat salah satu daya pertahanan saluran pernafasan menjadi

tidak berfungsi lagi. Pada klien dengan asma bronkial juga

ditemukan adnya penyumbatan pada saluran pernafasan oleh

mukus terutama pada cabang cabang bronkus. Akibat dari

bronkospasme edema mukosa dan dinding bronkus, serta

hipersekresi mukus menyebabkan terjadinya penyempitan pada

bronkus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa

sesak, nafas berbunyi atau wheezing dan batuk yang produktif.


11

Adanya stresor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan

keadaan stres yang akan merangsang aksis HPA. Aksis HPA yang

terangsang akan meningkatkan adenocortikotropik hormon

(ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol

dalam darah akan menyupresi imunoglobulin A (IgA). Penurunan

IgA menyebabkan kemampuan umtuk melisiskan sel radang

menurun, reaksi tersebut di respon oleh tubuh sebagai bentuk

inflamasi pada bronkus sehingga menimbulkan asma brochial.

2. Asma Bronkial Tipe Non-atropik (Intrinsik)

Asma nonalergik (asma intrinsik) terjadi bukan karena

pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus

seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas, olahraga atau

kegiatan jasmani yang berat, dan tekanan jiwa atau stres

psikologis. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom

terutama gangguan saraf simpatis, yaitu blokade adrenergik beta

lebih dominan dari pada adrenergik alfa. Pada sebagai penderita

asma, aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat sehingga

mengakibatkan bronkhontriksi dan menimbukan sesak nafas.

Respektor adrenergik beta diperkirakan terdapat dalam enzim

yang berada di membran sel yang dikenal dengan adenil siklese

atau disebut juga messenger kedua. Reseptor yang merangsang

enzim adenil siklase tersebut diaktifkan dan akan mengatalisasi

ATP dalam sel menjadi 3’5’ siklik AMP.


12

CAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot

polos brokhus, menghambat pelepasan mediator dari

mastosit/basofil, dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat

blokade respektor adrenergik beta, fungsi respektor adrenergik

alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga

menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori Blokade

adrenergik beta (Muttaqin,2014).

Menurut Andra (2013) Klasifikasi asma seperti dibawah ini

Berdasarkan Episodik Serangan Asma, dapat dibedakan :

a) Asma episodik yang jarang.

Ditandai oleh adanya episode <1x tiap 4-6 minggu,

mengi setelah aktivitas berat. Biasanya terdapat pada anak usia

3-6 th, serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus pada

saluran nafas. Frekuensi serangan 3-4x/th. Lamanya serangan

beberapa hari dan langsung menjadi sembuh. Gejala menonjol

pada malam hari dapat berlangsung 3-4 hari, sedangkan batuk

10-14 hari, serangan tidak ditemukan kelainan.

b) Asma episodik sedang/sering

Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering dan

timbul mengi pada aktivitas sedang. Gejala kurang dari

1x/minggu. 2/3 golongan ini serangan pertama timbul pada

usia sebulan sampai 3 tahun, serangan berhubungan dengan

infeksi saluran nafas akut, pada usia 5-6 tahun dapat terjadi

serangan tanpa infeksi yang jelas.


13

c) Asma kronik/persisten

Di tandai oleh seringnya episode akut, mengi pada

aktivitas ringan terjadi lebih dari 3x/minggu. Serangan pertama

terjadi pada usia 6 bulan (25%), sebelum usia 1 tahun (75%),

pada 2 tahun pertama (50%) biasanya serangan episodik pada

usia 5-6 tahun akan lebih jelas terjadi obstruksi jalan nafas

yang persisten dan hampir selalu terdapat wheezing setiap hari.

Pada malam hari sering terganggu oleh batuk/wheezing dan

waktu ke waktu serangan yang berat dan sering memerlukan

perawatan rumah sakit.

Menurut Andra (2013) Klasifikasi asma berdasarkan berat

penyakit :

a. Tahap I : Intermitten

Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :

1. Gejala intermiten < 1 kali dalam seminggu dan serangan

singkat.

2. Gejala eksaserbasi singkat (mulai beberapa jam sampai

beberapa hari)

3. Gejala serangan asma malam hari < 2 kali dalam sebulan

4. Asimptomatis dan nilai fungsi paru normal diantara

periode eksaserbasi

5. PEF atau FEV1 : > 80% dari prediksi

Variabilitas < 20%

6. Pemakaian obat untuk mempertahankan kontrol :


14

Obat untuk mengurangi gejala intermiten dipakai hanya

kapan perlu inhalasi jangka pendek beta 2 agonis

Intersitas pengobatan tergantung pada derajat eksaserbasi

kortikosteroid oral mugkin di butuhkan

b. Tahap II : Persisten Ringan

Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :

1. Gejala > 1 kali seminggu tapi < 1 kali sehari

2. Gejala eksaserbasi dapat menggagu aktivitas dan tidur

3. Gejala serangan asma malam hari > 2 kali dalam sebulan

4. PEF atau FEV1 : >80% dari prediksi

Variabilitas 20-30%

5. Pemakaian obat harian untuk mempertahankan kontrol :

Obat-obatan pengontrol serangan harian mungkin perlu

bronkodilator jangka panjang di tambah dengan obat-

obatan antiinflamasi (terutama untuk serangan asma

malam hari)

c. Tahap III : Persisten Sedang

Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :

1. Gejala terjadi setiap hari/ harian

2. Gejala eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur

3. Gejala serangan asma malam hari > 1 kali seminggu

4. Pemakaian inhalasi jangka pendek beta 2 agonis setiap

hari

5. PEV dan FEV1 : >60 % - <80% dari prediksi


15

Variabilitas >30%

6. Pemakaian obat-obatan harian untuk mempertahankan

kontrol :

Obat-obatan pengontrol serangan harian inhalasi

kortikosteroid bronkodilator jangka panjang (terutama

untuk serangan asma malam hari)

d. Tahap IV : Persisten Berat

Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :

1. Gejala terus menerus

2. Gejala eksaserbasi sering

3. Gejala serangan asma malam hari sering

4. Aktivitas fisik sangat terbatas oleh asma

5. PEF atau FEV1 : < 60% dari prediksi

6. Variabilitas >30% (Andra,2013).

2.1.3 Etiologi

Menurut Andra (2013) Etiologi asma dapat di bagi atas :

1) Asma ekstrinsik/alergi

Asma yang disebabkan oleh alergen yang diketahui

masanya sudah terdapat semenjak anak-anak seperti alergi terhadap

protein, serbuk sari, bulu halus, binatang dan debu.

2) Asma instrinsik/idopatik

Asma yang tidak ditemukan faktor pencetus yang jelas,

tetapi adanya faktor-faktor non spesifik seperti : flu, latihan fisik

atau emosi sering memicu serangan asma. Asma ini sering


16

muncul/timbul sesudah usia 40 tahun setelah menderita infeksi

sinus/cabang trakeobroncial.

3) Asma campuran

Asma yang terjadi/timbul karena adanya komponen

ekstrinsik dan instrinsik.

2.1.4 Faktor Pencetus Serangan Asma Bronkial

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma

bronkial atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah :

1) Genetik

Yang diturunkan adalah bakat alergi meskipun belum

diketahui pasti bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan

penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga

menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,

penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika

terpapar dengan faktor pencetus.

2) Alergen

Alergen adalah zat-zat tertentu yang bila di isap atau

dimakan dapat menimbulkan serangan asma. Alergen dapat dibagi

menjadi 3 jenis yaitu :

a. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernafasan. Contoh :

debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan

polusi
17

b. Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contoh : makanan dan

obat - obatan

c. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit .

contoh : perhiasan, logam, dan jam tangan.

3) Infeksi saluran nafas

Infeksi saluran nafas terutama disebabkan oleh virus. Virus

influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering

menimbulkan asma bronkial. Diperkirakan, dua pertiga penderita

asma dewasa serangan asmanya di timbulka oleh infeksi saluran

pernafasan.

4) Tekanan jiwa

Tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi pencetus asma,

karena banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak

menjadi penderita asma bronkial. Faktor ini berperan mencetuskan

serangan asma terutama pada orang yang agak labil

kepribadiannya. Hal ini menonjol pada wanita dan anak-anak.

5) Olahraga/kegiatan jasmani yang berat

Sebagian penderita asma bronkial akan mendapatkan

serangan asma bila melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang

berlebihan. Lari cepat dan bersepeda adalah adalah dua jenis

kegiatan paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan

asma karena kegiatan jasmani (exercise induced asma-EIA ) terjadi

setelah olah raga atau aktivitas fisik yang cukup berat dan jarang

serangan timbul beberapa jam setelah olah raga.


18

6) Obat obatan

Beberapa klien dengan asma bronkial sensitif atau alergi

terhadap obat tertentu seperti penisilin, salisilat, beta blocker,

kodein, dan sebagainya.

7) Polusi udara

Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap

pabrik/kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil

pembakaran dan oksidasi fotokemikal, serta bau yang tajam.

8) Lingkungan kerja

Lingkungan kerja diperkirakan merupakan fator pencetus

yang menyumbang 2-15% dengan asma bronkial (Muttaqin, 2014)


19

2.1.5 Stadium

1. Stadium I

Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk paroksimal

karena iritasi dan batuk kering, sputum yang kental dan

mengumpul merupakan benda asing yang merangsang batuk.

2. Stadium II

Sekresi bronkus bertambah batuk dengan dahak yang jernih

dan berbusa pada stadium ini mulai terasa sesak nafas berusaha

bernafas lebih dalam, ekspirasi memanjang dan ada wheezing otot

nafas tambahan turut bekerja terdapat retraksi supra sternal

epigastrium.

3. Stadium III

Obstruksi/spasme bronchus lebih berat. Aliran darah sangat

sedikit sehingga suara nafas hampir tidak terdengar, stadium ini

sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan pernafasan

dangkal tidak teratur dan frekuensi nafas menjadi tinggi

(Andra,2013).

2.1.6 Patofisiologi

Asma adalah obstruksi jalan nafas difusi reversible. Obstruksi

di sebabkan oleh satu atau lebih dari kontraksi otot-otot yang

mengelilingi bronkhi, yaitu menyempitnya jalan napas, atau

pembengkakan membran yang melapisi bronkhi, atau pengisian

bronkhi dengan mukus yang kental, selain itu otot-otot bronkhial dan

kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan


20

dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di dalam

jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini belum

diketahui, tetapi ada yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem

imunologis dan sistem otonom. Beberapa individu dengan asma yang

mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan. Antibodi

yang dihasilkan IgE kemudian menyerang sel mast dalam paru.

Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen

dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel sel mast (disebut

mediator) seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta

anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat. Pelepasan mediator

ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan

nafas, bronkospasme, pembengkakan membran mukosa dan

pembentukan mukus yang sangat banyak. Sistem saraf otonom

mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vegal

melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi

ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti

infeksi, dingin, merokok, polutan, emosi, jumlah asetilkolin yang

dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung

menyebabkan bronkokontriksi juga merangsang pembentukan

mediator kimiawi, individu dengan asma dapat mempunyai toleransi

rendah terhadap respon parasimpatis. Setelah pasien terpajan alergen

penyebab atau faktor pencetus, segera akan timbul dispnea. Pasien

merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha

penuh mengerahkan tenaga untuk bernafas. Kesulitan utama terletak


21

pada saat ekspirasi. Percabangan trankeobronkial melebar dan

memanjang selama inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara

keluar dari bronkiolus yang sempit, mengalami edema dan terisi

mukus yang dalam keadaan normal akan berkontraksi sampai

tingkatan tertentu pada saat ekspirasi. Udara terperangkap pada bagian

distal tempat penyumbatan, sehingga terjadi hiperfentilasi progesif

paru. Akan timbul mengi ekspirasi memanjang yang merupakan ciri

khas asma sewaktu pasien berusaha memaksakan udara keluar.

Serangan asma seperti ini dapat berlangsung beberapa jam, di ikuti

batuk produktif dengan sputum bewarna keputih putihan sehinggan

dapat mengakibatkan gangguan ketidakefektifan bersihan jalan nafas

(Padila,2013).
22

Pathway
Antigen yang terikat IGE
Faktor pencetus : alergen pada permukaan sel mast
atau basofil

Mengeluarkan mediator
histamine, platelet,
bradikinin

Edema mukosa, sekresi Permiabilitas kapiler menurun


produktif , kontraksi otot
polos meningkat

Spasme otot polos sekresi


kelenjar bronkus meningkat

Penyempitan/obstruksi
proksimal dan bronkus pd
tahap ekspirasi dan inspirasi

Mukus berlebih, batuk,


wheezing, sesak nafas

Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas

Gambar 2.1 Pathway Asma Bronkial (Nanda Nic Noc,2016)


23

2.1.7 Manifestasi Klinik

Tanda dan gejala asma bronkial menurut Suprapto (2013) yaitu :

1. Sesak nafas (dispnea)

Sesak napas atau kesulitan bernapas disebabkan oleh aliran

udara dalam saluran pernapasan karena penyempitan. Penyempitan

dapat terjadi karena saluran pernapasan menguncup, oedema atau

timbulnya sekret yang menghalangi saluran pernapasan. Sesak napas

dapat ditentukan dengan menghitumg pernapasan dalam satu menit.

2. Bising Mengi (wheezing) yang terdengar dengan/tanpa stetoskop

Wheezing adalah suara pernapasan frekuensi tinggi nyaring

yang terdengar di akhir fase ekspirasi. Hal ini disebabkan adanya

penyempitan pada saluran pernapasan.

3. Batuk produktif, sering pada malam hari

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat dan

rangsangan pada bagian-bagian peka dalam saluran pernapasan

misalnya trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam

saluran pernapasan. Batuk timbul sebagai reaksi saluran pernafasan

terhadap iritasi pada mukosa saluran pernapasan dalam bentuk

pengeluaran udara dan lendir secara mendadak disertai bunyi yang

khas.

4. Ada sebagian mengeluh nyeri dada

5. Penggunaan otot-otot bantu napas (sternokleidomastoidius)

6. Takikardia

7. Silent chest (tidak terlihat pergerakan dada).


24

2.1.8 Penatalaksanaan

1. Prinsip umum dalam pengobatan asma :

a. Menghilangkan obstruksi jalan nafas

b. Menghindari faktor yang bisa menimbulkan serangan asma

c. Menjelaskan kepada penderita dan keluarga mengenai penyakit

asma, pengobatannya

2. Pengobatan pada asma

1). Pengobatan farmakologi

a. Bronkodilator : Obat yang melebarkan saluran napas terbagi

dua golongan :

1) Andrenergik (Adrenalin dan efedrin) misalnya:

terbulatin/bricasama Obat golongan simpatomimetik

tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan

semprotan (Metered dose inhaler) ada yang bentuk hirup

(ventolin diskhaler dan bricasma turbuhaler) atau cairan

bronchodilator (alupent, berotec brivasma sets ventolin)

yang oleh alat khusus di ubah menjadi aerosol (partikel

sangat halus) untuk selanjutnya di hirup.

2) Santin/Teofilin(aminofilin) Cara pemakaian adalah dengan

di suntikkan langsung ke pembuluh darah secara perlahan.

Karena sering merangsang lambung bentuk sirup atau

tablet sebaiknya di minum setelah makan, ada juga yang

berbentuk supositoria untuk penderita yang tidak


25

memungkinkan untuk minum obat misalnya dalam kondisi

muntah atau lambungnya kering.

b. Kromalin

Bukan bronkodilator tetapi obat pencegah serangan

asma pada penderita anak. Kromalin biasanya di berikan

bersama obat anti asma dan efeknya baru terlihat setelah satu

bulan.

c. Ketolifen

Mempunyai efek pencegahan terhadap asma dan di

berikan dala dosis dua kali 1 mg/hari. Keuntungannya adalah

dapat di berikan secara oral.

d. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg jika tidak ada

respon maka segera penderita di beri steroid oral (Imam

suprapto & abd wahid,2013)

2). Pengobatan Nonfarmakologi

a) Penyuluhan. Penyuluhan ini ditujukan untuk peningkatan

pengetahuan klien tentang penyakit asma sehingga klien

secara sadar untuk menghindari faktor - faktor pencetus,

menggunakan obat secara benar, dan berkonsultasi pada tim

kesehatan.

b) Menghindari faktor pencetus. Klien perlu dibantu

mengidentifikasi pencetus serangan asma yang ada pada

lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan mengurangi


26

faktor pencetus, termasuk intake cairan yang cukup bagi

klien.

c) Fisioterapi dapat digunakan untuk mempermudah

pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan postural

drainase, perkusi, dan fibrasi dada (Muttaqin,2014).

2.1.9 Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan sputum

Pemeriksaan untuk melihat adanya:

1) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi

dari kristral eosinopil.

2) Spiral curshman, yakni merupakan cast cell (sel cetakan) dari

cabang bronkus.

3) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.

4) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya

bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang

terdapat mucus plug.

b. Pemeriksaan darah

1) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat

terjadi hipoksemia, hipercapnia atau sianosis.

2) Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH.

3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang diatas 15.000/mm3

yang menandakan adanya infeksi.


27

4) Pemeriksaan alergi menunjukkan peningkatan Ig.E pada

waktu serangan dan menurun pada saat bebas serangan asma.

2. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan radiologi

Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi

paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga

intercostalis, serta diafragma yang menurun. Pada penderita

dengan komplikasi terdapat gambaran sebagai berikut:

a) Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hilus

akan bertambah.

b) Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semaklin

bertambah.

c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase

paru.

d) Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru.

e) Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada

paru.

2) Pemeriksaan tes kulit

Dilakukan untuk mencari faktor allergen yang dapat

bereaksi positif pada asma.

3) Elektrokardiografi

a) Terjadi right axis deviation.

b) Adanya hipertropo otot jantung Right bundle branch bock.


28

c) Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardia SVES, VES, atau

terjadi depresi segmen ST negatif

4) Scanning paru

Melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara

selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5) Spirometri

Menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible,

cara tepat diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan

dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan

sebelum atau sesudah pemberian aerosol bronkodilator (inhaler

dan nebuliser), peningkatan FEV1 atau FCV sebanyak lebih dari

20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol

bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan ini berfungsi untuk

menegakkan diagnosis keperawatan, menilai berat obstruksi dan

efek pengobatan banyak penderita tanpa keluhan pada

pemeriksaan ini menunjukkan adanya obstruksi(Suprapto,2013).

2.1.10 Pencegahan

Adapun pencegahan serangan asma bronkial sebagai

berikut:

1. Menjaga Kesehatan

Usaha menjaga kesehatan ini antara lain berupa makan-

makanan yang bernilai gizi baik, minum banyak, istirahat yang

cukup, rekreasi, dan olah raga sesuai. Penderita dianjurkan

banyak minum kecuali bila dilarang dokter sebab, dengan banyak


29

minum dapat mengencerkan dahak yang ada di saluran

pernapasan, sehingga mudah untuk dikeluarkan.

2. Menghindari faktor pencetus

Eksaserbasi dapat di sebakan oleh berbagai faktor atau

disebut sebagai trigger termasuk alergen, virus, polutan, dan obat

yang dapat menimbulkan gejala asma. Jika mungkin harus di

hindari. Banyak penderita asma bereaksi dengan berbagai faktor

yangbanyak di jumpai di lingkungan, sehingga ,enghindari faktor-

faktor tersebut secara total biasanya tidak praktis dan sangat

membatasi pasien.

a) Alergen indoor : tungau, alergen hewan misalnya hewan

berbulu, alergen kecoak, dan jamur.

b) Alergen outdoor : serbuk sari dan jamur. Tidak mungkin di

hindari total, untuk mengurangi paparan dengan menutup

pintu, jendela, dan tetap tinggal dalam rumah saat serbuk sari

dan jamur kadarnya tinggi dan gunakan AC bila mungkin

(Wibisono,2010).

c) Menghindari makanan yang dapat menyebabkan kekambuhan.

Alergi makanan sebagai faktor pencetus eksaserbasi asma tidak

sering dan terjadi terutama pada anak kecil. Sulfit suatu bahan

pengawet sering menyebabkan eksaserbasi berat dan kadang-

kadang sampai kematian dan harus di hindari oleh penderita

yang sensitif (Wibisono,2010).


30

3. Menghindari terjadinya status asmatikus

Status asmatikus merupakan keadaan perjalanan

serangan asma yang terjadi berat dan tidak dapat ditanggulangi

dengan penatalaksanaan serangan asma yang biasa. Serangan

asma yang ringan bisa menjadi berat jika tidak segera mendapat

perhatian dari penderita atau tidak mendapatkan perhatian dari

dokter. Sehingga sangat penting untuk segera berobat ke dokter

saat serangan asma belum berat (Djojodibroto,2009).


31

2.1.11 Penilaian derajat serangan asma

Parameter Ringan Sedang Berat Ancaman henti


nafas
Aktivitas Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi : Bayi : tangis Bayi: berhenti
Menagis pendek makan
Keras dan
lemah
bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopeng
lengan
Kesadaran Mungkin teragitasi Biasanya Biasanya Kebingungan
teragitasi teragitasi
Mengi Sedang, sering hanya Nyaring, Sangat Sulit/tidak
pada akhir sepanjan nyaring, terdengar
ekspirasi g terdengar
ekspirasi tanpa
+ stetoskop
inspirasi
Sesak nafas Minimal Sedang Berat
Otot bantu nafas Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
paradoks
torako
abdominal
Retraksi Dangkal, retraksi Sedang, di Dalam, Dangkal/hilang
interkosta tambah ditambah
retraksi nafas
superter cuping
mal hidung
Laju napas Meningkat Meningkat Meningkat Menurun
Pedoman nilai baku laju nafas pada anak sadar
Usia Laju nafas normal
< 2 bulan <60/menit
2-12 bulan <50/menit
1-5 tahun <40/menit
6-8 tahun <30/menit
Laju nadi Normal Takikardia Takikardia Bradikardia
Pedoman bilai laju nadi pada anak
Usia dan laju nafas normal
2-12 bulan dan < 160/menit
1-2 tahun dan <120/menit
3-8 tahun dan < 110/menit
Pulpus paradoksal Tidak ada <10 Ada 10-20 Ada >20 Tidak ada tanda
mmHg mmHg mmHg kelelahan
otot nafas
PEFR atau FEV1 % nilai % nilai %nilai
32

- Pra dugaan/terbaik dugaan/ dugaan/ni


broncodila >60% nilai lai terbaik
tor terbaik <40%
- Pasca 40-60%
broncodila >80% <60% respon
ator 60-80% <2 jam
SaO2 >95% 91-95% <90%
PaO2 Normal (biasanya >60 mmHg <60 mmHg
tidak perlu
diperiksa )
PaCO2 <45% <45 mmHg >45 mmHg
Tabel 2.2 Tabel Penilaian Derajat Asma (abd wahid & imam suprapto,2013)
2.1.12 Diagnosa Banding

Suatu konsep yang memberikan arahan dan perlu di pahami

benar ialah pengertian dasar bahwa wheezing bukanlah semata-mata

di sebabkan oleh asma, walaupun wheezing itu sendiri sering

dianggap patognomonis bagi asma. Karena itu setiap penderita

dengan keluhan wheezing, perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan

laboratorium yang di teliti sebelum diagnosis asma di tegakkan.

Untuk itu, diagnosis banding yang perlu dipikirkan.

1. Asma kardial

2. Bronkitis akut ataupun menahun

3. Bronkiektasis

4. Keganasan

5. Infeksi paru

6. Alergi bahan inhalan industri

7. Sembab laring

8. Tumor trakeo-bronkhial

9. Tumor atau kista laring

2.1.13 Komplikasi
33

Komplikasi yang mungkin timbul adalah :

a. Status asmatikus: Suatu keadaan darurat medis berupa serangan

asma akut yang berat bersifat refrator terhadap pengobatan yang

lazim pakai.

b. Atelektasis: Pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat

penyumbatan saluran udara atau akibat pernapasan yang sangat

dangkal (ketidakmampuan paru berkembang dan mengempis)

c. Emfisema: Penyakit saluran pernapasan yang berdiri sesak napas

terus menerus yang menghebat pada waktu pengeluaran tenaga

dan sering kali dengan perasaan letih atau bahasa latinnya paru –

paru basah.

d. Bronkhitis atau radang paru-paru : kondisi dimana lapisan bagian

dalam dari saluran pernapasan si paru – paru yang kecil atau

bronkhiolus mengalami bengkak.

e. Pneumothoraks : terdapat udara pada rongga pleura yang

menyebabnya kolapsnya paru.

f. Gagal nafas : ketidakmampuan sistem untuk mempertahankan

oksigenasi dalam darah normal atau PaO2 eliminasi

karbondioksida.

g. Hipoksemia: tubuh kekurangan oksigen (Suprapto,2013).

2.2 Konsep Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas

2.2.1 Pengertian

Bersihan jalan napas adalah suatu keadaan dimana seorang

individu mengalami suatu ancaman yang nyata atau potensial pada


34

status pernapasan sehubungan dengan ketidakmampuan untuk batuk

secara efektif (Carpenito,2007).

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan

untuk membersihkan sekret atau obstruksi saluran na:pas guna

mempertahankan jalan napas bersih (Hardhi,2016).

2.2.2 Batasan karakteristik

1. Batasan karakteristik menurut Nanda nic-noc (2016) adalah

a) Tidak ada Batuk

b) Suara napas tambahan mengi (wheezing)

c) Penurunan bunyi napas

d) Perubahan pada irama nafas lambat dan frekuensi pernapasan

cepat

e) Sianosis

f) Batuk yang tidak efektif

g) Kesulitan bicara atau mengeluarkan suara

h) Orthopneu

i) Dispneu

j) Sputum dalam jumlah yang berlebihan.

k) Mata terbuka lebar.

2. Batasan karakteristik menurut Carpenito (2007) adalah:

Mayor :

Batuk tidak efektif dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan

sekresi jalan napas,

Minor :
35

Bunyi napas abnormal, frekuensi cepat, irama lambat,

kedalaman pernapasan abnormal, dan pernapasan sukar

(Carpenito,2007)

2.2.3 Faktor yang berhubungan

Faktor yang berhubungan menurut Nanda nic-noc (2016) adalah:

a) Lingkungan yang meliputi merokok, menghirup asap rokok, dan

perokok pasif

b) Obstruksi jalan nafas meliputi spasme jalan nafas, retensi sekret,

mukosa berlebihan, adanya jalan napas buatan, adanya eksudat di

alveoli, sekret di bronkhi ataupun terdapat benda asing di jalan

napas.

c) Fisiologis meliputi jalan nafas alergik, asma, penyakit paru

obstruktif kronik, hiperplasi dinding bronkial, infeksi.


36

2.3 Konsep Proses Keperawatan

2.3.1 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian mengenai nama, umur, dan jenis kelamin perlu

dilakukan pada klien dengan asma. Serangan asma pada usia dini

memberikan implikasi bahwa sangat mungkin terdapat status atropik.

Serangan pada usia dewasa dimungkinkan adanya faktor non-atropik.

Tempat tinggal menggambarkan kondisi lingkungan menjadi pencetus

serangan asma. Status perkawinan dan gangguan emosional yang

timbul dalam keluarga atau lingkungan merupakan faktor pencetus

serangan asma. Pekerjaan serta suku bangsa juga perlu dikaji untuk

mengetahui adanya pemaparan bahan alergen. Hal lain yang perlu dikaji

dari klien ini adalah tanggal masuk rumah sakit (MRS), nomer rekam

medis, asuransi kesehatan, dan diagnosis medis.

1. Keluhan utama

Klien dengan serangan asma mengeluh sesak nafas, bernafas

terasa berat pada dada dan adanya keluhan sulit untuk bernafas

(Muttaqin,2014).

2. Riwayat Penyakit saat ini

Klien dengan serangan asma dengan mencari pertolongan

terutama dengan keluhan sesak nafas yang hebat dan mendadak,

kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain seperti wheezing,

penggunaan otot bantu pernafasan, kelelahan, gangguan kesadaran,

sianosis, dan perubahan tekanan darah. Serangan asma mendadak

secara klinis dapat menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai


37

dengan dengan batuk-batuk berkala dan kering . batuk ini terjadi

edema dan pembengkakan bronkus. Stadium kedua ditandai dengan

batuk yang berlebih dan ditandai mukus yang jernih dan berbusa.

Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernapas dalam, ekspirasi

memanjang di ikuti bunyi mengi (wheezing). Klien lebih suka duduk

dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur , tampak pucat,

gelisah dan warna kulit mulai membiru. Stadium ketiga ditandai

dengan hampir tidak terdengarnya suara napas karena aliran udara

kecil, tidak ada batuk, pernapasan menjadi dangkal dan tidak teratur,

irama pernapasan meningkat karena asfiksia. Perawat perlu mengkaji

obat-obatan yang bisa di minum klien dan memeriksa kelbali setiap

jenis obat apakah masih relevan untuk digunakan kembali

(Muttaqin,2014).

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu

seperti adanya infeksi saluran pernafasan atas, sakit tenggorokan,

amandel, sinusitis, dan polip hidung. Riwayat serangan asma,

frekuensi, waktu, dan alergi-alergi yang dicurigai sebagai pencetus

serangan, serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk

meringankan gejala asma (Muttaqin,2014).

4. Riwayat penyakit Keluarga

Pada klien dengan serangan asma perlu dikaji tentang

riwayat penyakit asma atau penyakit alergi yang lain pada anggota
38

keluarganya karena hipersensitivitas asma ini lebih ditentukan oleh

faktor genetik dan lingkungan (Muttaqin,2014).

Pola Fungsi Kesehatan

1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus Asma Bronkial akan timbul ketidaktauhan akan terjadinya

masalah yang mengancam jiwa. Selain itu, pengkajian juga meliputi

kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat/ jamu yang dapat

mengganggu sistem pernafasan, pengkonsumsian alkohol yang bisa

mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau

tidak (Muttaqin,2014).

2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien asma harus mengkonsumsi nutrisi yang di butuhkan oleh

tubuh, seperti karbohidrat, zat besi, protein, vit. C, kebutuhan tersebut

harus dipenuhi setiap hari. pada klien asma biasanya mengalami

penurunan nafsu makan yang disebabkan karena terjadinya distres

pernafasan yang mengakibatkan klien kehilangan nafsu makan

(Muttaqin,2014).

3) Pola Eliminasi

Untuk kasus asma tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi

walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau

feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji

frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga

dikaji ada kesulitan atau tidak (Muttaqin,2014).


39

4) Pola Tidur dan Istirahat.

Semua klien asma timbul rasa sesak dan batuk sehingga hal ini dapat

mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian

dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan

kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Muttaqin,2014).

5) Pola Aktivitas

Karena timbulnya asma, keterbatasan gerak, maka semua bentuk

kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak

dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas

klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan

beresiko untuk terjadinya distres pernafasan (Muttaqin,2014).

6) Pola Hubungan dan Peran

Gejala asma sangat membatasi klien untuk menjalani kehidupan

secara normal. Klien perlu menyesuaikan kondisinya dengan hubungan

dan peran klien, baik di lingkungan rumah tangga, masyarakat, ataupun

lingkungan kerja serta perubahan peran yang terjadi setelah klien

mengalami serangan asma (Muttaqin,2014).

7) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Perlu dikaji tentang persepsi klien terhadap penyakitnya.

Persepsinya yang salah dapat menghambat respons kooperatif pada diri

klien. Cara memandang diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam

kehidupan klien. Semakin banyak stresor yang ada pada kehidupan klien

dengan asma dapat meningkatkan kemungkinan serangan asma berulang

(Muttaqin,2014).
40

8) Pola Sensori dan Kognitif

Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi

konsep diri klien dan akhirnya memengaruhi jumlah stressor yang dialami

klien sehingga kemungkinan terjadi serangan asma berulang pun akan

semakin tinggi (Muttaqin,2014).

9) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien asma yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan

seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan aktivitas yang

dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk

jumlah anak, lama perkawinannya (Muttaqin,2014).

10) Pola Penanggulangan Stress

Stres dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik

pencetus serangan asma. Oleh karena itu perlu dikaji penyebab stres.

Frekuensi dan pengaruh stres terhadap kehidupan klien serta cara

penanggulanganm terhadap stresor (Muttaqin,2014).

11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Kedekatan klien pada sesuatu yang diyakininya di dunia dipercaya

dapat meningkatkan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap tuhan

dan mendekatkan diri kepada-Nya merupakan metode penanggulangan

stres yang konstruktif (Muttaqin,2014).

2.3.2 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

Perawat juga perlu mengkaji tentang kesadaran klien,

kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara, denyut nadi,


41

frekuensi pernafasan yang meningkat, penggunaan otot-otot bantu

pernafasan, sianosis, batuk dengan lendir lengket, dan posisi istirahat

klien.

B1 (Breathing)

1) Inspeksi

Pada klien asma terlihat adanya peningkatan usaha

dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu

pernapasan. Inspeksi dada terutama untuk melihat postur

bentuk dan kesimetrisan. Adanya peningkatan diameter

anteroposterior, retraksi otot-otot interkostalis, sifat dan

irama pernapasan, dan frekuensi pernapasan.

2) Palpasi

Pada palpasi biasanya kesimetrisan, ekspansi, dan

taktil fremitus normal.

3) Perkusi

Pada perkusi didapatkan suara nornal sampai

hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah

4) Auskultasi

Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai

dengan ekspirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3 kali

inspirasi, dengan bunyi napas tambahan terutama wheezing

pada akhir ekspirasi


42

B2 (Blood)

Perawat perlu memonitor dampak asma pada status

kardiovaskuler meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi,

tekanan darah, dan CRT

B3 (Brain)

Pada saat inspeksi tingkat kesadarn penuh dikaji,

disamping itu, diperlukan pemeriksaan GCS, untuk menentukan

tingkat kesadarn klien apakah compos metis, somnolen, atau

koma

B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine perlu dilakukan

karena berkaitan dengan intake cairan, perawat perlu memonitor

ada tidaknya oliguria, karena hal tersebut merupakan tanda dari

syok

B5 (Bowel)

Perlu juga dikaji tentang bentuk, turgor, nyeri, dan

tanda-tanda infeksi, mengingat hal-hal tersebut juga dapat

merangsang serangan asma. Pengkajian tentang status nutrisi

klien meliputi jumlah, frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam

memenuhi kebutuhannya. Pada klien dengan sesak napas, sangat

potensial terjadi kekurangan pemenuhan kebutuhan nutrisi, hal

ini karena terjadi dispnea saat makan, laju metabolisme, serta

kecemasan yang dialami klien.


43

B6 (Bone)

Dikaji adanya edema ekstremitas, tremor, dan tanda-

tanda infeksi pada ekstremitas karena dapat merangsang

serangan asma. Pada integumen perlu dikaji adanya permukaan

yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit,

kelembapan, mengelupas atua bersisik, perdarahan, priruritis,

eksim, dan adanya bekas urtikaria dan dermatitis. Pada rambut,

dikaji warna rambut, kelembapan, dan kusam. Perlu dikaji pula

tentang bagaimana tidur dan istirahat klien yang meliputi berapa

lama klien tidur dan istirahat, serta berapa besar skibst kelelahan

yang dialami klien. Adanya wheezing, sesak, dan ortopnea dapat

memengaruhi pola tidur dan istirahat klien. Perlu dikaji tentang

aktifitas keseharian klien seperti olah raga, bekerja, dan aktivitas

lainnya. Aktivitas fisik juga dapat menjadi faktor pencetus asma

yang disebut dengan exercise induced asma (Muttaqin,2014)

2.3.3 Analisa Data

Analisa data adalah penafsiran data ke dalam permasalahn atau

diagnose spesifik yang sudah diidentifikasi oleh perawat.

Diagnose : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

adanya bronkhokontriksi, bronkhospasme, edema mukus

dan dinding bronkus, serta sekresi mukus yang kental


44

2.3.4 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan merupakan rencana asuhan keperawatan

yang dapat terwujud dari kerjasama antara perawat dan dokter untuk

melaksanakan rencana asuhan keperawatan yang menyeluruh dan

kolaboratif.

Diagnosa Keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

berhubungan dengan peningkatan

produksi sekret, sekresi tertahan, batuk

tidak efektif.

Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif (1-3 hari)

Kriteria hasil :

1. Dapat mendemonstrasikan batuk efektif

2. Dapat menyatakan strategi untuk menurunkan

kekentalan sekret

3. Tidak ada suara nafas tambahan atau wheezing (-)

4. Tidak ada sianosis dan dispnea

5. Pernafasan klien normal (16-20x/menit) tanpa ada

gangguan otot bantu nafas.

6. Mempertahankan jalan nafas pasien dengan bunyi

bersih nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang

normal).

7. Mampu mengeluarkan sputum

8. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak

merasa tercekik, irama )


45

Intervensi

1) Kaji / pantau frekuensi pernafasan.

Rasional : Takipnea biasanya ada pada beberapa

derajat asma dan dapat di temukan pada penerimaan

atau selama stres/ adanya proses infeksi akut.

2) Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh

meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandaran

tempat tidur.

Rasional : Peningkatan kepala tidur memudahkan

fungsi pernapasan dengan menggunakan

gravitasi.

3) Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 2-2,5l/hari

sesuai indikasi, memberikan dengan air hangat.

Rasional : Hidrasi membantu menurunkan kekentalan

secret, penggunaan cairan hangat dapat

menurunkan kekentalan secret, penggunaan

cairan hangat dapat menurunkan spasme

bronkus.

4) Lakukan fisioterapi dada dengan tehnik drainage

postural, perkusi, fibrasi dada.

Rasional : Fisioterapi dada merupakan strategi untuk

mengeluarkan sekret.
46

5) Lakukan Nebulizer jika di perlukan.

Rasional : Nebulizer berfungsi untuk mengencerkan

sekret yang tertahan

6) Berikan Health education tentang faktor pencetus asma

untuk menghindari faktor pencetus (mis : asap rokok,

debu, makanan, aktivitas, cuaca).

Rasional : Menurunkan intesitas serangan asma.

7) Ajarkan cara batuk efektif

Rasional : Batuk yang terkontrol dan efektif dapat

memudahkan pengeluaran sekret yang

melekat dijalan napas.

8) Bantu klien latihan nafas dalam.

Rasional : Ventilasi maksimal membuka lumen jalan

nafas dan meningkatkan gerakan sekret ke

dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.

9) Evaluasi frekuensi pernafasan, bunyi, irama nafas catat

rasio inspirasi/ekspirasi.

Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi

dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/

tidak dimanifestasikan adanya advertisius.

10) Observasi warna, kekentalan, dan jumlah sputum.

Rasional : Karakteristik sputum dapat menunjukkan

berat ringannya obstruksi


47

11) Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator dan

oksigenasi.

Rasional : Merelaksasikan otot halus dan menurunkan

spasme jalan nafas, wheezing, dan produksi

mukosa (Doengoes,2012).

2.3.5 Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan adalah semua tindakan tindakan

yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien beralih dari status

kesehatan saai ini ke status kesehatan yang diuraikan dalam hasil yang

diharapkan (Potter & Perry, 2009).

Klien mungkin membutuhkan intervensi dalam bentuk

dukungan, medikasi pengobatan untuk kondisi terbaru, edukasi klien-

keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan dimasa

mendatang.

2.3.6 Evaluasi

Evaluasi merupakan kegiatan membandingkan antara hasil

implementasi dengan kriteria yang telah diterapkan untuk melihat

keberhasilannya. Pada tahap ini evaluasi menggunakan SOAP secara

operasional dengan tahapan sumatif yang di lakukan selama proses

keperawatan maupun evaluasi akhir atau disebut formatif.

Evaluasi keperawatan pada asma bronkial dengan ketidakefektifan

bersihan jalan nafas :

1. Bersihan jalan nafas kembali efektif

2. Klien mampu melakukan batuk efektif


48

3. Bunyi nafas kembali normal

4. Sesak nafas tidak ada

5. Pernafasan 16020 x/menit

6. Wheezing (-)

7. Tidak mennggunakan otot bantu nafas (Setiadi,2008).


BAB 3

METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang pendekatan yang digunakan dalam

menyelenggarakan studi kasus.

3.1 Desain penelitian

Desain penelitian adalah sesuatu yang vital dalam penelitian yang

memungkinkan memaksimalkan suatu kontrol beberapa faktor yang biasa

mempengaruhi validity suatu hasil, selain itu desain riset juga berguna

sebagai petunjuk peneliti dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian

untuk mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu pertanyaan

(Notoatmodjo,2012).

Desain penelitian ini adalah case study yaitu meneliti suatu

permasalahan memalui studi kasus yang terdiri dari unit tunggal. Unit tunggal

disini dapat berarti satu orang, sekelompok penduduk yang terkena masalah.

Unit yang menjadi kasus tersebut secara mendalam dianalisis baik dari segi

faktor yang berhubungan dengan kasus itu sendiri, faktor yang

mempengaruhi, maupun kejadian yang muncul sehubungan dengan kasus

serta tindakan dan reaksi kasus terhadap suatu perlakuan tertentu

(Notoatmodjo,2012)

3.2 Batasan istilah

Batasan istilah dalam studi kasus dengan judul “Asuhan keperawatan

pada klien yang mengalami Asma bronkial dengan diagnosa keperawatan

49
50

ketidakefektifan bersihan jalan nafas di RSI Sakinah Kabupaten Mojokerto

adalah sebagai berikut:

Asma bronkial merupakan penyakit pada saluran pernafasan yang

disebabkan oleh alergen. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan

pada menstabilkan kondisi pasien pada keadaan fisiologis pasien dan

pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera

membantu pasien kembali pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman dan

nyaman (Potter & Perry,2010). Asma bronkial dapat menimbulkan masalah

ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

merupakan ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi

saluran nafas guna mempertahankan jalan nafas bersih (Nanda,2016).

Menurut carpenito (2007) batasan karakteristik ketidakefektifan bersihan

jalan nafas adalah sebagai berikut :

1) Dispnea

2) Adanya suara nafas tambahan (rales,ronkhi,crackle dan wheezing)

3) Penurunan suara nafas

4) Perubahan pada irama dan frekuensi pernafasan

5) Sianosis

6) Kesulitan bicara

7) Gelisah

8) Sputum berlebihan
51

3.3 Partisipasi

Study kasus ini adalah orang yang dijadikan subyek dilakukan study

kasus (Notoadmodjo, 2010). Subyek study kasus ini dilakukan pada 2 klien

yang sama mengalami asma bronkial hari ke 1 sampai 5 dengan

ketidakefektifan bersihan jalan nafas di RSI Sakinah Mojokerto.

3.4 Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja RSI Sakinah Mojokerto.

Waktu study kasus dilaksanakan 3 hari berturut- turut (Notoadmodjo, 2010).

3.5 Pengumpulan data

Cara yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan data adalah

sebagai berikut :

1. Pengkajian : dilakukan melalui wawancara dengan klien atau keluarga

yang berisi tentang riwayat keperawatan yaitu data biografi,

riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu,

riwayat kesehatan keluarga, riwayat psikososial dan pola

fungsi kesehatan.

2. Observasi dan pemeriksaan fisik : data yang disapatkan dari hasil

pemeriksaan fisik yang terdiri dari inspeksi, palpasi,

auskultasi dan perkusi yaitu keadaam umum, kesadaran,

tanda-tanda vital dan pemeriksaan breathing, blood, brain,

bladder, bowel, dan bone

3. Studi dokumentasi dan angket (hasil dari pemeriksaan diagnostik dan data

yang lain yang relevan).


52

3.6 Uji keabsahan data

Uji keabsahan data yaitu untuk menguji kualitas data informasi yang

diperoleh sehingga menghasilkan data dengan validasi tinggi. Disamping

integritas peneliti. Uji keabsahan data dapat dilakukan

1. Memperpanjang waktu pengamatan/tindakan yang dilakukan selama tiga

hari berturut-turut di mulai dari pengkajian sampai evaluasi.

2. Sumber informasi tambahan menggunakan triangulasi dari tiga sumber

data tama yaitu klien, perawat, keluarga yang berkaitan dengan masalah

yang diteliti.

3.7 Analisa data

Analisa data dilakukan sejak peneliti dilapangan sewaktu

pengumpulan data dengan semua data terkumpul. Analisa data dilakukan

dengan cara mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan dengan teori

yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk opini pembahasan. Teknik

analisa data yang digunakan dalam study kasus ini diperoleh dari hasil

interprestasi wawancara mendalam yang dilakukan untuk tnya jawab rumusan

masalah. Teknik analisis digunakan dengan cara observasi oleh peneliti dan

studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk selanjutnya

diinterprestasikan dan dibandingkan teori yang ada sebagai bahan untuk

memberikan rekomendasi dalam intervensi. Berikut urutan dalam pembuatan

analisa data :
53

3.7.1 Pengumpulan data

Data dikumpulkan dari hasil WOD ( wawancara, Observasi,

Dokumentasi). Hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian

disalin dalam bentuk transkrip (catatan terstruktur).

3.7.2 Mereduksi data

Data yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan dijadikan

satu dalam bentuk transkrip dan dikelompokan menjadi data subyektif

dan data objektif, diianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik

kmudian dibandingkan nilai normal.

3.7.3 Penyajian data

Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bangun

maupun teks nuratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan

mengaburkan identitas klien. Dari data yang disajikan, kemudian data

dibahas dan dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu dan secara

teoritis dengan prilaku kesehatan.

3.7.4 Simpulan

Penarikan simpulan dilakukan dengan metode diskusi.

Dicantumkan etika yang mendasari penyusun studi kasus, terdiri dari:

1) Informed konsent (persetujuan menjadi klien)

2) Anonimity (tanpa nama)

3) Confidentiality (kerahasiaan)
54

3.8 Etik Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini peneliti mendapat rekomendasi

dari STIKES Bina Sehat PPNI Mojokerto serta mengajukan permohonan

kepada untuk mendapatkan persetujuan dilakukan penelitian. Setelah

mmebuat persetujuan, selanjutnya penelitian dilakukan dengan

menekankan etika penelitian yaitu:

3.8.1 Lembar persetujuan penelitian (informed concent)

Lembar persetujuan di berikan kepada responden, tujuannya

adalah subjek mengetahui dari tujuan penelitian seta dampak yang

di teliti selama mengumpulkan data. Jika responden bersedia di

teliti maka harus menandatangani lembar penelitian, jika menolak

maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya

(Alimul,2008)

1.8.2 Tanpa nama (anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden penelitian

tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar observasi

yang di isi oleh responden, lembar tersebut hanya di beri nomor

kode tertentu (Alimul,2008)

1.8.3 Kerahasiaan (confidentiality)

Kerahasiaan informasi perkembangan anak di jamin oleh

peneliti hanya tertentu saja yang di cantumkan sebagai hasil riset

(Alimul,2008)

Anda mungkin juga menyukai